• Tidak ada hasil yang ditemukan

Revisi Makalah Hukum Perdata badan hukum perdata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Revisi Makalah Hukum Perdata badan hukum perdata"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Hukum perdata memuat seperangkat aturan tentang hak dan kewajiban

perorangan, seperangkat aturan tersebut berdasarkan ilmu hukum diklasifikasikan menjadi beberapa bagian, 1) Hukum tentang diri seseorang; 2) Hukum keluarga; 3) Hukum kekayaan; dan 4) Hukum warisan. Hukum perdata juga memiliki

pembagian yang berbeda jika ditinjau berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pembagiannya diklasifikasikan menjadi empat, yaitu 1) Buku I memuat perihal orang, didalamnya membahas hukum diri seseorang dan hukum keluarga; 2) Buku II memuat perihal kebendaan yang membahas hukum perbendaan dan hukum kewarisan; 3) Buku III memuat perihal perikatan dalam pembahasannya memuat hukum kekayaan yang terkait dengan hak-hak dan kewajiban setiap orang atau pihak-pihak tertentu; 4) Buku IV memuat perihal pembuktian dan daluwarsa, bagian ini memuat perihal alat-alat pembuktian dan akibat-akibat lewat waktu terhadap hubungan hukum.

Bagian pembahasan hukum perdata berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang ke-IV tentang pembuktian dan daluwarsa merupakan hal yang urgen untuk dipahami, sebab ini merupakan sebagian pengetahuan yang terdapat dalam hukum acara perdata, artinya dengan mempelajari serta mengetahui hukum pembuktian dan daluwarsa kita telah mengetahui dasar-dasar pelaksanaan hukum acara perdata. Hal inilah yang melatar belakangi disusunnya makalah ini. B. Rumusan Masalah

(2)

pembuktian dan daluwarsa tersebut. Untuk itu masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengertian serta teori-teori yang menjelaskan tentang pembuktian?

2. Apa-apa saja alat yang digunakan dalam perkara pembuktian? 3. Bagaimanakah pengertian, syarat, serta bentuk daluwarsa?

(3)

PEMBAHASAN A. Pengertian Pembuktian

Pembuktian (Inggris: evidentiary, Belanda: bewijs) berasal dari kata bukti, yang berarti keterangan nyata; sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa (KBBI, 1999:151). Menurtu beberpa ahli diantaranya R. Subekti (1975:5)

pembuktian adalah upaya meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dengan persengketaan. Kemudian Nashr Farid Washil (2004:26) mengartikan pembuktian sebagai upaya atau kegiatan menampilkan alat-alat bukti yang sah berdasar hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perekara guna mentapkan apakah seseorang itu memiliki hak atau tidak.

Pembuktian memiliki dasar yang dituangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dasar ini terdapat dalam pasal 1865 yang berbunyi “Setiap orang yang mendalikan bahwa dia mempunyai suatu hak atau, guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjukan kepada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut” ( Tjitrosudibio, 2006:475). Dari pasal tersebut dapat dipahami bahwa tuntutan untuk mendapatkan hak, meneguhkan, atau pun membantah hak orang lain terhadap sesuatu, pihak yang menuntut, meneguhkan, atau pun melakukan pembelaan harus memiliki bukti atas hak tersebut.

(4)

A. Pitlo (1968:3) mengatakatan bahwa acuan yang digunakan oleh orang-orang dalam mengartikan hukum pembuktian menggunakan dua macam pendekatan yang berbeda, yaitu:

1. Hukum materil adalah hukum dalam suasana damai, dan hukum formil adalah suasana pertentangan. Hukum pembuktian sebagai bagian dari hukum acara, dan dalam hukum acara terdapat pertentangan-pertentangan, untuk itu menurut pandangan pertama ini hukum pembuktian diartikan sebagai hukum formil dikarenakan sebuah indikator, yaitu adanya pertentangan

2. Hukum materil adalah suatu aturan mengenai isi aturan, dan hukm formil adala suatu aturan yang mengenai bentuk luar. Berbeda dengan pendekatan yang pertama pendekatan ini mengetikan hukum pembuktian termasuk dalam hukum materil, pendekatan ini menggunakan gugatan sebagai indikator utama dalam mengartikan hukum pembuktian. Artinya adalah hukum gugatan merupakan kumpulan-kumpulan yang melukiskan hukum materil.

B. Teori-teori Pembuktian

Ilmu pasti memandang pembuktian harus logis dan seksama. Sebagai contoh ilmu pasti dapat membuktikan secara pasti bahwa tiga ditambah dengan dua ditambah tiga hasilnya tetap akan sama, dan dua garis yang sejajar tidak akan pernah bertemu merupakan hal yang tak dapat diperdebatkan lagi validitas dan kebenaran pembuktiannya.

(5)

ilmu hukum tentang hal ini adalah jika bukti itu sempurna, maka bukti sangkalan tidak mungkin diberikan (Pitlo,1968:8).

A.Pitlo (1968:45) mengatakatan bahwa terdapat teori-teori pembuktian dalam ilmu hukum, diantaranya sebagai berikut:

1. Teori hak (Teori hukum subjektif)

Teori ini mengajarkan bahwa suatu perkara selalu mengenai hal mempertahankan hak. Siapa yang mengemukakan suatu hak, mesti membuktikan haknya. Tetapi tidak perlu membuktikan segala apa yang diperlukan untuk membuktikan haknya.

Tuntutan untuk membuktikan dalam mempertahankan hak apakah benar adanya akan memberikan keabsahan atas hak yang dimiliki tersebut. pada dasarnya setiap manusia memiliki hak atas apa yang dimiliki, untuk membuktikan kepemilikan tersebut sudah pasti harus dibuktikan terlebih dahulu, agar supaya hak tersebut diakui oleh hukum.

2. Teori hukum (Teori hukum objektif)

Siapa yang datang kepada hakim, maka perbuatannya tidak lain dari pada meminta kepada hakim untuk melaksanakan peraturan hukum atas fakta-fakta yang penuntut kemukakan. Untuk itu, perlu fakta tersebut dibuktikan kebenarannya, yang akan mengesahkan pelaksanaan peraturan hukum termaksud hakim bersifat pasif. Hakim mengambil

(6)

Praktek peradilan mengajarkan kita, bahwa hakim dalam taraf terakhir selalu menyisihkan aturan-aturan tentang beban pembuktian, apabila aturan itu dalam hal yang konkrit membawa kepada hal yang tidak patut. Apabila pelaksanaan aturan membawa kepada hal yang tidak patut, maka ia

mengikkuti perasaan kepatutannya dan mewajibkan beban pembuktian, menurut perasaannya itu. ia boleh berbuat demikian.

C. Alat-alat Pembuktian

Subekti,R,Tjitrosudibio,R (2006:475) berpendapat bahwa alat-alat yang digunakan dalam pembuktian sebagaiman yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (B.W) dalam pasal 1866 terdiri atas:

1. Bukti tulisan;

2. Bukti dengan sakasi-saksi; 3. Persangkaan-persangkaan; 4. Pengakuan;

5. Sumpah;

Berikut uraian dari alat-alat yang digunakan dalam hukum pembuktian: 1. Bukti Tulisan

Selanjutnya berkaitan dengan bukti tulisan undang-undang B.W mengatur cara-caranya, dalam hal ini terdapat dalam pasal 1867

(7)

mana bahwa ia mengenal sipenanda tangan atau bahwa orang yang diperkenalkan kepdannya, bahwa isi akta telah dijelaskan kepda si penandatangan, dan bahwa setelah itu penanda tangan telah dilakukan dihadapan pegawai tersebut.

2. Bukti Saksi-saksi

Sesudah pembuktian dengan tulisan, pembuktian dengan kesaksian merupakan cara pembuktian yang terpenting dalam perkara yang sedang diperiksa didepan hakim. Suatu kesaksian, harus mengenai peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan mata sendiri atau yang dialami sendiri oleh seorang saksi. Jadi tidak boleh saksi itu hanya mendengar saja tentang adanya peristiwa dari orang lain. Selanjutnya tidak boleh pula keterangan saksi itu merupakan kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya dari peristiwa yang dilihat atau dialaminya, karena hakimlah yang berhak menarik

kesimpulan-kesimpulan itu.

Kesaksian bukanlah suatu alat pembuktian yang sempurna dan

mengikat hakim, tetapi terserah pada hakim untuk menerimanya atau tidak. Artinya, hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai

keterangan seorang saksi. Seorang saksi yang sangat rapat hubungan kekeluargaan dengan pihak yang berperkara, dapat ditolak oleh pihak lawan, sedangkan saksi itu sendiri dapat meminta dibebaskan dari kewajibannya untuk memberikan kesaksian.Selanjutnya, undang-undang menetapkan bahwa keterangan satu saksi tidak cukup. Artinya, hakim tidak boleh mendasarkan putusan tentang kalah menangnya suatu pihak atas keterangannya satu saksi saja. Jadi kesaksian itu selalu harus ditambah dengan suatu alat pembuktian lain.

(8)

yang dungu, sakit jiwa, mata gelap yang berada di bawah pengampuan, orang yang lemah ingatannya (pitlo, 1968:115).

Hal ini ditentukan dikarenakan tidak adanya kemampuan dari golongan orang-orang tersebut, yang apabila dijadikan sebagai saksi, kesaksiannya tidak valid bahka bisa melenceng dari kebenaran. 3. Persangkaan-persangkaan

Persangkan ialah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata. Dari peristiwa yang terang dan nyata ini ditarik kesimpulan bahwa suatu peristiwa lain yang dibuktikan juga telah terjadi. lebih jelasnya lagi bahwa Persangkahan adalah jika dari fakta-fakta di ketahui di simpulkan dari kearah kepastian, tentang adanya suatu

pemikiran yang sebelumnya tidak di ketahui. Jadi dalam persangkaan. Kita berhbungan dengan bukti langsung, jadi saya membuktikan bahwa saya pada suatu hari tertentu tidak di A untuk itu saya membuktikan bahwa saya pada hari itu berada di B, dari kenyataan, bahwa saya berada di B, orang (hakim) menarik kesimpulan, bahwa saya tidak ada di A, hakim akan berbuat demikian, apabilah undang-undang tidak menyinggung

persangkaan tampa memakai persangkaan orang hamper tidak mungkin melaksanakan pembuktian (pitlo,1968:123).

Dalam pembuktian, ada dua macam persangkaan, ada persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang sendiri (watterlijk vermoeden) dan persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden).

Persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang (watterlijk vermoeden), pada hakekatnya merupakan suatu pembebasan dari kewajiban

membuktikan suatu hal untuk keuntungan salah satu pihak yang

(9)

sewa untuk waktu yang sebelumnya juga telah dibayar olehnya.

Persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden), terdapat pada pemeriksaan suatu perkara dimana tidak terdapat saksi-saksi yang dengan mata kepalanya sendiri telah melihat peristiwa itu. Misalnya, dalam suatu perkara dimana seorang suami mendakwa istrinya berbuat zina dengan lelaki lain. Hal ini tentunya sangat sukar memperoleh saksi-saksi yang melihat dengan mata kepalanya sendiri perbuatan zina itu. Akan tetapi, jika ada saksi-saksi yang melihat si istri itu menginap dalan satu kamar dengan seorang lelaki sedangkan didalam kamar tersebut hanya ada satu buah tempat tidur saja, maka dari keterangan saksi-saksi itu hakim dapat menetapkan suatu persangkaan bahwa kedua orang itu sudah melakukan perbuatan zina. Dan memang dalam perbuatan zina itu lazimnya hanya dapat dibuktikan dengan persangkaan.

4. Pengakuan

A.Pitlo (1968:150) berpendapat bahwa Pengakuan adalah keterangan dari salasatu pihak dalam satu perkara, dimana ia mengakui dimana apa yang dikemukakan oleh pihak lawan atau sebagian dari apa yang di kemukakan dari pihak lawan. Sebenarnya pengakuan bukan suatu alat pembuktian, karena jika suatu pihak mengakui sesuatu hal, maka pihak lawan dibebaskan untuk membuktikan hak tersebut, sehingga tidak dapat dikatakan pihak lawan ini telah membuktikan hal tersebut. Sebab

pemeriksaan didepan hakim belum sampai pada tingkat pembuktian. Menurut undang-undang, suatu pengakuan di depan hakim,

(10)

menghapuskan dasar tuntutan. Misalnya, ia mengakui adanya perjanjian jual beli, tetapi mengajukan bahwa ia sudah membayar harganya barang yang telah ia terima dari penggugat.

Menurut UU suatu pengakuan yang demikian, oleh hakim tidak boleh dipecah-pecah hingga merugian kedudukkan pihak tergugat didalam proses yang telah berlangsung itu. Dengan kata lain, suatu pengakuan yang disertai suatu peristiwa pembebasan oleh UU tidak dianggap sebagai suatu pengakuan (onplitsbare bekentenis). Jadi dalam praktek, si penjual barang masih harus membuktikan adanya perjanjian jual beli dan terjadinya penyerahan barang yang telah dibelinya itu pada si pembeli. Perlu diterangkan, bahwa dalam suatu hal UU melarang dipakai pengakuan sebagai alat pembuktian dalam suatu proses, yaitu dalam suatu perkara yang diajukan oleh seorang istri terhadap suaminya untuk mendapatkan pemisahan kekayaan.

5. Sumpah

Tidak semua orang suka pada kebenaran. Hal ini berlaku secara menonjol apabila kepentingannya dipertaruhkan. Selain dari itu ilmu spikologi mengajarkan kepada kita, bahwa tidak berkata benar tidak selalu disebabkan oleh karena kita tidak berkehendak untuk mengatakan

sebenarnya, akan tetapi oleh karena kita tidak sanggup mengatakan hal yang sebenarnnya, tidak ada sesuatu keterangan pun yang dapat diastikan, bahwa tidak berisikan kebenaran, wakapun, tergantung dari orang yang memberikan keterangan itu dan dari keadaan keliling dimana ini telah terjadi, keterangan yang satu lebih dapat dipercaya dari pada yang lain (pitlo,1968:172).

(11)

yang ”menentukan” (decissoire eed) adalah sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada pihak lawan dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang sedang diperiksa oleh hakim. Jika pihak lawan mengangkat sumpah yang perumusannya disusun sendiri oleh pihak yang memerintahkan pengangkatan sumpah itu, ia akan dimenangkan, sebaliknya, jika ia tidak berani dan menolak pengangkatan sumpah itu, ia akan dikalahkan. Pihak yang diperintahkan mengangkat sumpah,

mempunyai hak untuk ”mengembalikan” perintah itu, artinya meminta kepada pihak lawannya sendiri mengangkat sumpah itu. Tentu saja perumusan sumpah yang dikembalikan itu sebaliknya dari perumusan semula. Misalnya, jika rumusan yang semula berbunyi : ”Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya telah menyerahkan barang” perumusan sumpah yang dikembalikan akan berbunyi ”Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya tidak menerima barang”. Jika sumpah

dikembalikan, maka pihak yang semula memerintahkan pengangkatan sumpah itu, akan dimenangkan oleh hakim apabila ia mengangkat sumpah itu. Sebaliknya ia akan dikalahkan apabila dia menolak pengangkatan sumpah itu. Jika suatu pihak yang berperkara hendak memerintahkan pengangkatan suatu sumpah yang menentukan, hakim harus

mempertimbangkan dahulu apakah ia dapat mengizinkan perintah mengangkat sumpah itu. Untuk itu hakim memeriksa apakah hal yang disebutkan dalam perumusan sumpah itu sungguh-sungguh mengenai suatu perbuatan yang telah dilakukan sendiri oleh pihak yang mengangkat sumpah atau suatu peristiwa yang telah dilihat sendiri oleh pihak itu. Selanjutnya harus dipertimbangkan apakah sungguh-sungguh dengan terbuktinya hal yang disumpahkan itu nanti perselisihan antara kedua pihak yang berperkara itu dapat diakhiri, sehingga dapat dikatakan bahwa

(12)

pada salah satu pihak yang beperkara apabila hakim itu barpendapat bahwa didalam suatu perkara sudah terdapat suatu ”permulaan pembuktian”, yang perlu ditambah dengan penyumpahan, karena dipandang kurang

memuaskan untuk menjatuhkan putusan atas dasar bukti-bukti yang terdapat itu. Hakim, leluasa apakah ia akan memerintahkan suatu sumpah tambahan atau tidak dan apakah suatu hal sudah merupakan permulaan pembuktian.

Pihak yang mendapat perintah untuk mengangkat suatu sumpah tambahan, hanya dapat mengangkat atau menolak sumpah itu. Tetapi ia tak dapat ”mengembalikan” sumpah tersebut kepada pihak lawan. Sebenarnya, terhadap sumpah tambahan ini pun dapat dikatakan, bahwa ia menentukan juga jalannya perkara, sehingga perbedaan sebenarnya dengan suatu sumpah decissoir ialah, bahwa yang belakangan diperintahkan oleh suatu pihak yang beperkara kepada pihak lawannya, sedangkan sumpah

tambahan diperintahkan oleh hakim karena jabatannya, jadi atas kehendak hakim itu sendiri.

Tidak semua orang suka pada kebenaran. Hal ini berlaku secara menonjol apabila kepentingannya dipertaruhkan. Selain dari itu ilmu spikologi mengajarkan kepada kita, bahwa tidak berkata benar tidak selalu disebabkan oleh karena kita tidak berkehendak untuk mengatakan

sebenarnya, akan tetapi oleh karena kita tidak sanggup mengatakan hal yang sebenarnnya, tidak ada sesuatu keterangan pun yang dapat diastikan, bahwa tidak berisikan kebenaran, wakapun, tergantung dari orang yang memberikan keterangan itu dan dari keadaan keliling dimana ini telah terjadi, keterangan yang satu lebih dapat dipercaya dari pada yang lain. D. Pengertian Daluwarsa

(13)

Pemlik dari sebidang tanah dalam melawan orang yang memakai sebagian dari tanahnya tanpa izinnya. Seorang kreditur dapat menggugat debiturnya yang lalai membayar. Bagaimana caranya orang mempertahankan haknya diatur oleh undang-undang.

Orang yang haknya dilanggar dapat juga bersifat pasiv. Pemilik tanah membiarkan orang menyerobot tanahnya. Kreditur membiarkan saja debiturnya membayar. Hal ini bisa terjadi, oleh karena orang tidak mengetahui, bahwa ada pelanggaran hak. Bisa juga terjadi oleh karena ia tidak cekatan, suka mengalah, atau oleh suatu sebab lain apapun maka terjadilah sesuatu yang nyata yang

berlawanan dengan keadaan menurut hukum. Pemerintah tidak dengan sendirinya mencampuri hal ini, karena tidak berada dibidang hukum perdata. Hakim

menunggu sampai orang yang dirugikan meminta jasanya.

Tata masyarakat menghendaki, bahwa keadaan yang baru ini, apabila sudah lama berjalan menjadi suatu keadaan hukum, suatu tuntutan yang diladeni oleh hukum. Adalah tidak patut apabila pemilik tanah selama 50 atau 100 tahun membiarkan saja penyerobot dan ahli warisnya, kemudan tiba-tiba mengusr mereka itu. Demikian juga tidak dapat dibenarkan juga apabla seorang kreditur, sesuadah 50 atau 100 membiarkan saja debiturnya yang lalai itu, kemudian menuntut debitur itu (Pitlo,1968:211).

E. Syarat-syarat Daluwarsa

Daluwarsa yang berlaku tidak hanya dilihat dari waktu yang telah lewat sebagai akibat hukum. Akan tetapi terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi agar supaya hukum daluwarsa ini berlaku. Dalam hal ini terdapat dua syarat yang harus terpenuhi pertama yaitu kedudukan atau kekuasaan yang jelas terhadap suatu objek daluwarsa tersebut, dan beritikad baik bagi orang yang telah mendapatkan

(14)

Untuk menjadi orang yang berhak, diperlukan orang yang menguasai benda dari orang lain selama waktu yang diperlukan untuk daluwarsa, menguasai benda itu bagi dirinya sendiri. Kemudian orang yang mendapatkan kekuasaan terhadapp benda tersebut harus beritikad baik, agar supaya terhindar dari situasi yang dapat merugikan orang lain (Pitlo,1968:214).

F. Bentuk-bentuk Daluwarsa

Ada dua macam Daluarsa atau Verjaring : 1. Acquisitieve Verjaring

Acquisitieve Verjaring Adalah lampau waktu yang menimbulkan hak. Syarat adanya kedaluarsa ini harus ada itikad baik dari pihak yang

menguasai benda tersebut. Daluwarsa bentuk ini juga disebut sebagai daluwarsa memperoleh.(Pitlo,1968:214)

Pasal 1963 KUH Perdata: Pasal 2000 NBW “ Siapa yang dengan itikad baik, dan berdasarkan suatu alas hak yang sah, memperoleh suatu benda tak bergerak, suatu bunga, atau suatu piutang lain yang tidak harus dibayar atas tunjuk, memperoleh hak milik atasnya dengan jalan daluarsa , dengan suatu penguasaan selama dua puluh tahun “. Dan “ Siapa yang dengan itikad baik menguasainya selama tiga puluh tahun, memperoleh hak milik dengan tidak dapat dipaksa untuk mempertunjukkan alas haknya”.

(15)

pekarangan itu menjadi miliknya dan tanpa dipertanyakannya alas hukum tersebut.

2. Extinctieve Verjaring

A.Pitlo (1968:214) berpendapat bahwa Extinctieve Verjaring atau daluwarsa membebaskan Adalah lampau waktu lampau yang

melenyapakan atau membebaskan terhadap tagihan atau kewajibannya. Misalnya: Dheya telah meminjam uang kepada Syamsul sebesar

Rp.10.000.000,00 . Dalam jangka waktu 30 tahun, uang itu tidak ditagih oleh Syamsul, maka berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, maka Dheya dibebaskan untuk membayar utangnya kepada Syamsul.

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

Hukum pembuktian merupakan sebuah hukum yang digunakan untuk menyelesaikan sebuah perkara sengketa. Hukum ini juga termasuk sebagai pembahasan hukum acara perdata, sebab dalam perkara acara perdata

(16)

tiga, yaitu teori hak (Teori hukum subjektif), teori hukum (Teori hukum objektif), dan teori hukum acara dan teori kepatutan. Alat-alat yang digunakan sebagai pembuktian dalam penyelesaian sengketa atau pun perkara diantaranya adalah bukti tertulis, bukti saksi, bukti persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Masing-masing dari setiap alat bukti tersebut memiliki kekuatan hukum untuk digunakan dalam menyelesaikan perkara.

Hukum daluwarsa mengatur tentang tatacara masyarakat dalam menyelesaikan perkara kekuasaan terhadap suatu benda. Dalam menyelasaikan perkara tersebut para pihak harus memenuhi dua syarat, yaitu memiliki kekuasaan atau kedudukan atas benda yang diperkarakan dan harus memiliki iktikad baik bagi orang yang mendapatkan kekuasaan bagi benda tersebut. Perkara daluwarsa juga terbagi menjadi beberapa bentuk yaitu daluwarsa memperoleh (Acquisitieve Verjaring) dan daluwarsa membebaskan (Extinctieve Verjaring)

DAFTAR PUSTAKA

Pitlo, A. 1968. Pembuktian dan Daluwarsa menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda. Nederlannd: H.D. Tjeenk willink & Zoon, NV Haarlem.

(17)

Wansyah, Riyo. “Pembuktian dan Daluwarsa”. diambil pada tanggal 15 juni 2017. Dari http://riyowansyah.blogspot.co.id/2014/10/makalah-pembuktian-dan-daluarsa.htm, 2014.

Tim Penyusun, 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua, Jakarta: Balai Pustaka.

Subekti, R. 1975. Hukum Pembuktian. Jakarta: Padnya Paramita.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini diharapkan dapat membantu para pelaku pariwisata dan pemangku kepentingan, baik pemerintah maupun masyarakat dalam mengambil kebijakan yang dianggap

Komponen DSS Subsystems: Data management Dikelola oleh DBMS Model management Dikelola oleh MBMS User interface. Knowledge Management and organizational

Pada setiap stasiun, nilai nitrat dan posfat masing- masing memiliki nilai yang sama (0,07 mg/l dan 0,03 mg/l) tidak ditandai oleh tingginya kelimpahan sel

Dengan tampilnya moral Kristen, kebudayaan- kebudayaan lain dicap sebagai barbar, akan tetapi hal inilah yang kemudian malah mengantarkan Eropa masuk ke dalam

Distribusi senyawaan golongan hopana dan oleanana dapat dilihat pada m/z 191 untuk fraksi saturat bercabang dan siklik, Gambar 4.16 - 4.19 merupakan parsial

Persentase hidup spermatozoa ayam Kampung setelah pengenceran pada perlakuan jenis krioprotektan DMF (84,81%) hasilnya sama baik dibandingkan dengan DMA (78,50%) dan

Perbedaan hasil penelitian – penelitian terdahulu mengenai faktor – faktor yang berpengaruh terhadap underpricing yang diukur dengan Initial Return (IR) perusahaan mendorong

landasan agama, dan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan sekolah. Dalam landasan pengembangan kurikulum dilihat dari aspek agama,.. SMK Al Huda lebih menekankan