BAB I PENDAHULUAN
1.4Latar Belakang
Dimata sebagian ahli, kemiskinan acapkali didefinisikan semata hanya
sebagian fenomena ekonomi, dalam arti rendahnya penghasilan atau tidak
dimilikinya mata pencarian yang cukup mapan untuk bergantung hidup.
Kemiskinan bukan semata kurangnya pendapatan untuk memenuhi hidup pokok
atau standar hidup layak. Kemiskinan menurut konsepsi ortodoks, dilihat sebagai
situasi dimana orang-orang tidak mempunyai uang yang cukup untuk membeli
makanan ataupun kebutuhan-kebutuhan dasar mereka secara memuaskan, dan
sering kali kondisi ini dimasukkan ke dalam situasi un-or underemployed
(Suyanto, 2013: 1).
Berbagai keterbatasan yang membelenggu keluarga miskin, selain
melakukan langkah-langkah penghematan, mengurangi kualitas menu makanan,
atau meminta bantuan kerabat, memperkerjakan anak dalam usia dini untuk ikut
dalam membantu keluarga dalam mencari nafkah dan melibatkan perempuan
dalam aktivitas ekonomi baik di sekitar domestik maupun publik adalah salah satu
populer dan acap kali dilakukan keluarga miskin. Anak-anak keluarga miskin
acapkali harus melakukan suatu hal, dimana keadaan yang harus diterimanya,
karena memang tidak ada pilihan lain. Mencari nafkah dan mengorbankan waktu
yang seharusnya untuk bermain di sekolah sepenuhnya digunakan untuk bekerja,
bagi anak-anak keluarga miskin acapkali harus dilakukan karena memang tidak
ada pilihan lain yang bisa dilakukan. Anak-anak terpaksa putus sekolah di tengah
jalan dan tidak dapat melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang Sekolah
Menengah Atas (SMA) atau bahkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) adalah
hal yang lazim terjadi (Suyanto, 2013: 212).
Salah satu data dari organisasi di bawah Perserikatan Bangsa-bangsa
penting dari 2,2 milyar anak disegala penjuru dunia antara lain adalah Indonesia
yang ada diperingkat ke 72 dari 194 negara dalam hal jumlah kematian anak di
bawah 5 tahun, 152.000 anak meninggal selama tahun 2013. Penduduk Indonesia
di bawah garis kemiskinan Internasional (US $1,25 per hari berjumlah 16%).
Jumlah anak yang mendapat hak-hak pendidikan menengah 64% laki-laki, 61%
perempuan. Dan yang berasal dari negara miskin 36% anak laki-laki, 30% anak
perempuan. Sekitar 57 juta anak usia Sekolah Dasar (SD) di dunia putus sekolah
pada tahun 2011. Selama tahun 2013 sekitar 130 juta anak bersekolah tapi tidak
mencapai kualitas minimal pendidikan. (Tempo 5-11 Januari 2015 halaman 11).
Data yang dirilis tersebut menunjukkan bahwa angka-angka itu merupakan
gambaran kondisi anak yang bisa digunakan untuk program kemanusiaan yang
berpihak pada anak-anak. Secara ideal, anak adalah pewaris dan pelanjut masa
depan bangsa. Secara real, situasi anak Indonesia masih dan terus memburuk.
Dunia anak yang seharusnya diwarnai oleh kegitan bermain, belajar, dan
mengembangkan minat serta bakatnya untuk masa depan, realitasnya diwarnai
data kelam dan menyedihkan.
Secara substansial, Indonesia merupakan suatu negara yang cukup
memadai dalam mengatur perlindungan hukum anak ini. Berbagai peraturan
tersebar dalam ketentuan UU, peraturan pemerintah dan keputusan-keputusan
eksekutif lainnya. Berbagai konvensi PBB tentang anak tahun 1989, konvensi ILO
No. 138 tahun 1973 tentang batas minimum anak boleh bekerja sampai yang
terakhir konvensi ILO No.182 tentang bentuk-bentuk terburuk pekerjaan anak.
Namun, kenyataannya dimana anak-anak terlibat dalam dunia kerja sama sekali
tidak bergeming (Ikhsan, dkk, 2000: 1).
Masalah anak yang bekerja tidak terlepas dari mencari nafkah untuk
membantu ekonomi keluarganya, semakin meningkatnya upah dan terbukanya
peluang kerja bagi anak, maka semakin meningkat juga cara mencari uang dalam
membantu ekonomi keluarga mereka (Huraerah, 2012: 87). Akibat dari
mempunyai keterbatasan ekonomi, banyak isu-isu anak yang bekerja (Working
Children) yang telah menjadi program aksi badan-badan dunia. Dilihat dari segi
dan 25 persen anak-anak di Afrika telibat dalam pemburuhan. Sedangkan di
Indonesia menurut data BPS 1,9 juta anak-anak usia 10 sampai 14 tahun bekerja
atau aktif secara ekonomi, belum termasuk usia 10 tahun (Sofian, 2012: 34-35).
Akibat dari permasalahan ekonomi keluarga, eksistensi anak sudah mulai
berkurang. Padahal, anak-anak adalah generasi penerus bangsa, mereka
merupakan calon-calon pengganti pemimpin bangsa, beban berat bangsa ini ada di
pundak mereka. Apabila kita memimpikan suatu masa depan yang
menyenangkan, tentunya anak-anak sekarang seharusnya juga mendapat
kesenangan yang sesuai dengan kapasitasnya sebagai anak-anak, misalnya
memiliki tempat bermain, pendidikan, jaminan kesehatan, dan lain sebagainya
yang layak untuk mereka, sebagai perwujudan rasa tanggung jawab kita terhadap
kelangsungan hidup bangsa. Sepintas alasan yang menyebabkan mengapa anak
dalam usia dini sudah terlibat dalam kegiatan produktif dan bahkan terkadang
terpaksa putus sekolah sebagian besar karena faktor ekonomi
Bisa dibayangkan sebuah keluarga yang secara ekonomi kehidupannya
selalu pas-pasan bahkan serba kekurangan, tentu wajar jika anak-anak kemudian
terpaksa dilibatkan ikut mencari uang sebagaimana layaknya bapak dan ibunya.
Didalam keluarga seringkali seorang dianggap mempunyai makna ataupun peran
ganda dalam keluarga dan masyarakat. Pada satu sisi anak dianggap sebagai
penerus keluarga dan masyarakat yang artinya mereka harus mendapat fasilitas
yang memadai untuk perkembangan hidupnya. Akan tetapi disisi yang lain, anak
dianggap memiliki aset ekonomi potensial yang dapat dioptimalkan sebagai salah
satu pilar penyangga ekonomi keluarga (Sasmito, 1996 dalam Jurnal Rahmadani).
Jika ditelaah lebih mendalam, sebenarnya banyak faktor yang memicu anak untuk
bekerja di saat mereka seharusnya menikmati masa-masa yang menyenangkan
Kondisi krisis ekonomi yang melanda Indonesia yang semakin
harga barang yang tentunya akan berimbas pada penambahan biaya hidup yang
harus ditanggung oleh keluarga mereka. Mereka akan senantiasa berusaha untuk
menyambung hidup dengan mencari uang, sehingga mereka hanya dijejali dengan
pemikiran bagaimana cara untuk mencari uang
tanggal 17 Februari 2015 pukul 22.08 wib).
Masalah anak berdasarkan dibahas juga di ILO, perkiran ILO ada sekitar
250 juta anak berusia 5 sampai 14 tahun yang bekerja, sebagian besar di
negara-negara berkembang. Hampir separuh dari mereka (kira-kira 120 juta) bekerja full
time setiap hari, sepanjang tahun. Sebagian diantaranya atau kira-kira 50 sampai
60 juta anak berusia 5 sampai 11 tahun. Data yang menunjukkan bahwa jumlah
anak laki-laki adalah lebih banyak dari anak perempuan yang aktif secara
ekonomi, namun jumlah anak perempuan yang melakukan pekerjaan domestik
dan mengasuh anak tidak termaukdalam statistik ini. Bekerja diusia dini mungkin
akan memberi dampak yang lebih signifikan terhadap anak perempuan, sehingga
menimbulkan adanya diskriminasi gender dan mengakibatkan adanya penolakan
dalam hal pendidikan dan kesempatan-kesempatan lain (Buku Pedoman Bagi
Pengawas Ketenagakerjaan alam Menanggulangi Pekerja Anak, 2007: 4).
Di lintas budaya pun, anak-anak yang bekerja membantu orang tuanya
atau keluarganya merupakan sebuah fenomena yang normal. Bekerja dalam
situasi itu merupakan sebuah proses pembelajaran yang dipandang sangat positif
bagi perkembangan jiwa dan kepribadian anak. Masalah muncul ketika anak-anak
bekerja tidak lagi atas kesadaran dan keinginan anak-anak yang pada usia mereka
melainkan telah dipengaruhi berbagai tekanan yang ada disekeliling mereka.
Ketidakmampuan keluarga dalam merespon tuntutan kehidupan (utamnya
ekonomi) telah menyeret anak-anak tersebut dalam kehidupan kerja yang
selayaknya tidak mereka gumuli. Penyebabnya sebenarnya tidaklah sederhana itu,
ia lebih banyak ditimbulkan oleh sebuah akar struktural yang lebih dalam yakni
ketika negara dengan berbagai kebijaknnya telah memaginalisasi (memiskinkan)
Hal yang paling banyak ditemukan penyebab anak bekerja memang karena
dari segi ekonomi keluarga yang miskin, tetapi kemiskinan bukan satu-satunya
penyebab seorang anak bekerja di bawah umur, faktor lingkungan juga berperan
sangat penting. Anak-anak yang hidup di lingkungan teman-teman yang
cenderung menyukai bekerja daripada sekolah, meskipun orang tua mereka cukup
mampu untuk membiayai sekolah mereka ataupun anak-anak yang bekerja karena
adanya orang-orang terdekat dilingkungannya yang mengajak mereka untuk
bekerja. Sebab lingkungan disekitarnya mempunyai pengaruh yang cukup besar
dalam menanamkan nilai-nilai tertentu yang mereka anggapan sesuai dengan
dunia mereka.
Di Indonesia baik di sektor formal dan informal merupakan suatu
cerminan kemiskinan baik secara ekonomi maupun pendidikan. Tidak bisa
melanjutkan sekolah karena biaya pendidikan yang relatif mahal menyebabkan
banyak anak yang bekerja untuk membantu keluarga dalam biaya sekolah serta
pemenuhan ekonomi rumah tangga. Adapun beberapa faktor lain anak yang
bekerja merupakan anak yang dari keluarga yang broken home sehingga hak-hak
dia sebagai anak tidak terpenuhi secara baik. Selanjutnya dari faktor budaya, yang
asal mulanya dari lingkungan anak yang rata-rata anak-anak tersebut bekerja
untuk membantu ekonomi keluarga ataupun bekerja demi memenuhi
kebutuhannya sendiri.
Hal lain untuk menekankan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan anak
bekerja tidak hanya dari segi kemiskinan. Seperti berita yang dikutip dari surat
kabar Suara Merdeka, informasi yang diambil dari ungkapan oleh Wakil
Gubernur Jateng H. Ali Mufiz MPA menyampaikan hal itu dalam ''Penjelasan atas
Penyampaian Raperda Provinsi Jateng tentang Penanggulangan Pekerja Anak''
dalam rapat paripurna DPRD Jateng, di Gedung Berlian, Selasa (23/1). Wagub
menyebutkan sejumlah faktor yang menyebabkan anak di bawah umur harus
bekerja, di antaranya akibat faktor ekonomi, kemiskinan, dipaksa bekerja oleh
tanggal Rabu, 24 Januari 2007), jadi faktor kemiskinan bukanlah satu-satunya
yang membuat anak bekerja di bawah umur.
Salah satu fenomena anak-anak bekerja layaknya orang dewasa di Aceh
sudah berlangsung lama. Tidak hanya bekerja di pabrik bata (walaupun mereka
tidak diikat dengan waktu dan aturan), tetapi juga bekerja di pasar menjadi
pemulung, bahkan pengemis. Penggagas Forum Perlindungan Anak Aceh
(FPAA), Nurjannah Husien, mengaku miris dan menyayangkan para orangtua
yang membiarkan anak-anak mereka mencari nafkah sendiri. Anak-anak bekerja
demi menafkahi diri sendiri atau keluarga sangat banyak di Indonesia terutama
Provinsi Sumatera, dan tidak terkeculi di Kota Aceh. Maraknya anak yang bekerja
di Aceh membuat sejumlah aktivis yang peduli anak merasa prihatin. Seperti pada
kasus anak siswa kelas 5 Sekolah Dasar (SD) , merupakan salah satu anak yang
bekerja untuk membantu ekonomi keluarga dengan menyusun batu bata. Sepasang
tangan mungil yang dibalut sarung tangan lusuh dengan ukuran lebar menyusun
batu bata yang masih berasa panas. Sedikit demi sedikit hingga terhitung satu
kepala. Satu kepala berarti seratus batu bata dan itu berharga dua ratus rupiah.
Sudah lima kepala tumpukan, dimana masing-masing tumpukan berjumlah seratus
buah. Uang sejumlah seribu rupiah pun sudah bisa dipastikan untuk dikantongi
bocah pemilik tangan mungil dengan sarung tangan lusuh itu. Bocah itu adalah
Abrar Khoiri, siswa kelas 5 di sebuah Sekolah Dasar di Kecamatan Baitussalam,
Aceh Besar. Hampir setiap hari, sepulang sekolah, Abrar menghabiskan waktunya
di pabrik batu bata di kecamatan yang sama. Setiap tumpukan seratus batu, ia
diupah dua ratus rupiah. Tujuan Abrar bekerja karena membantu orang tua dan
untuk jajannya sendiri (Kompas, 2015)
Tidak hanya di Aceh, kasus anak yang bekerja juga ada di Binjai, Medan,
Sumatera Utara. Supriadi yang berusia 13 tahun sangat dibanggakan ibunya
karena dapat lulus di SMPN 3 Binjai. Menjelang caturwulan, Supriadi terpaksa
berhenti sekolah karena tidak memiliki biaya untuk membayar buku. Ibunya
sangat kecewa. Supriadi mengatakan bahwa ia juga merasa terlalu capek untuk
terus bersekolah. Pada pagi hari ia kadang-kadang bekerja di kebun sebagai
Disamping itu ia masih harus bekerja di rumah. Ia diantar adiknya pergi ke
sekolah sampai di ujung jalan sebelum menaiki kendaraan umum. Pulangnya ia
harus berjalan kaki karena tidak ada yang menjemputnya. Ia tiba di rumah sekitar
pukul 19.00 wib malam dan ia merasa sangat capek dan tidak dapat mengerjakan
tugas rumahnya. Sejak tidak bersekolah, Supriadi disuruh ibunya bekerja di
kebun, mencari pinang, angon lembu dan membantu pekerjaan ibunya di rumah.
Beda dengan Supriadi, kasus lain dapat dilihat pada Andi (10 tahun).
Walaupun bertujuan untuk mendapatkan uang jajan dan membeli buku, ia
menganggap pekerjaan menebang dan mengikat tebu menyenangkan. Ia dapat
pergi dan pulang naik sepeda dengan abangnya, mendapatkan teman-teman dari
bekerja, dan dapat bermain bola bersama mereka seusai bekerja. Ia menyukai
teman-temannya karena selalu membantunya jika kesulitan mengikat tebu.
Kuswidyadarma (14 tahun) juga merasakam hal yang hampir sama. Ia termasuk
pekerja harian lepas. Ia menyukai bekerja meskipun membuatnya sangat lelah
karena dapat berkumpul dan bercerita bersama teman-teman sebayanya saat pergi
dan pulang dari memotong ataupun mengikat tebu (Ikhsan, dkk, 2000: 51).
Masyarakat biasanya mendefinisikan anak yang bekerja sebagai upaya
membantu orang tua. Anak yang tidak bekerja dan sementara orang tua
mengharapkannya untuk bekerja disebut tidak mengerti keadaan orang tua,
sedangkan anak yang bekerja tanpa disuruh dan diharapkan untuk bekerja disebut
anak yang mengerti kesulitan orang tua. Hal sebaliknya dapat dilihat pada
Hermawanto (17 tahun) yang tidak bekerja, ibunya menunjukkan rasa kesal
dengan melemparkan sepeda, parang, dan cangkul yang biasa digunakan anaknya
untuk bekerja di halaman depan rumahnya. Ibunya mengatakan, “ Anak tidak tahu
untung, tidak mau membantu orang tua!”. Hermawanto tidak berani pulang, dan
tidak makan ataupun tidur di rumahnya saat itu. Istri kepala lingkungan yang
merasa kasihan melihatnya dan mengajak Hermawanto untuk makan di dapur
rumahnya (Ikhsan, dkk, 2000: 53).
Salah satu fenomena sosial yang belakangan ini semakin nyata di Deli
Serdang khususnya di Desa Baru, adalah masalah anak-anak yang bekerja.
juga beberapa faktor-faktor lain yang menjadikan anak-anak di Desa Baru ikut
bekerja disela-sela kesibukannya yang juga sekolah ataupun belajar. Di Desa
Baru, banyak anak-anak di sekitar daerah tersebut yang sekolah ataupun belajar
dilakukannya sambil bekerja, menjadikan anak tidak mendapatkan haknya sebagai
anak. Anak-anak di Desa Baru tersebut banyak juga yang bekerja dalam mencari
nafkah untuk membantu ekonomi keluarganya. Keadaan ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang menyebabkan mereka ikut bekerja seperti kemiskinan dan
keingintahuan anak untuk bekerja yang akhirnya membawa mereka masuk dunia
kerja sepenuhnya. Padahal dilihat dari kegiatan yang ada di Desa Baru cukup
banyak di rumah-rumah membuka les semua mata pelajaran dan juga ada posko
Kids Club dari Yayasan Fondasi Hidup Indonesia (FH-INDONESIA) yang
memberikan bantuan program pendidikan untuk anak-anak yang perekonomian
keluarganya yang tidak mampu, yaitu dengan hanya mengikuti les di Kids Club
tersebut secara rutin tanpa dipungut biaya sedikit pun. Tetapi masih banyak
anak-anak di Desa Baru tidak bisa mengikuti kegiatan tersebut karena ikut bekerja,
mereka bekerja sebagai pemulung sampah, bekerja sebagai tukang Doorsmeer,
bekerja sebagai montir di bengkel, pemungut barang bekas (botot) dan
sebagainya. Berdasarkan informasi dan peristiwa tersebut, maka peneliti tertarik
untuk mengkaji lebih lanjut masalah tersebut dalam bentuk skripsi dengan judul
“Faktor-faktor Penyebab Anak Bekerja di Desa Baru Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang”.
1.5Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka masalah penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut: “ Apa Faktor-faktor Penyebab Anak Bekerja di Desa
Baru Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang?”.
1.6Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Faktor-faktor yang
menjadi Penyebab Anak Bekerja di Desa Baru Kecamatan Pancur Batu
1.3.2 Manfaat penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan serta
pengetahuan mengenai faktor-faktor penyebab anak bekerja di Desa Baru
Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang.
b. Sebagai sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan lebih
lanjut dan sebagai langkah awal untuk penelitian-penelitian berikutnya.
1.7Sistematika Penelitian
Sitematika penulisan secara garis besarnya dikelompokkan dalam enam bab,
dengan urutan sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini berisikan mengenai latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penelitian.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisikan tentang teori teori yang mendukung dalam
penelitian, kerangka pemikiran, definisi konsep dan definisi
oprasional.
BAB III : METODE PENELITIAN
Bab ini berisikan tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi
dan sampel, teknik pengumpulan data, serta teknik analisis data.
BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini berisikan tentang gambaran umum lokasi penelitian dan
data – data lain yang turut memperkaya karya ilmiah ini.
BAB V : ANALISIS DATA
Bab ini berisikaan tentang uraian data yang di peroleh dari hasil
penelitian serta analisis pembahasannya.
BAB VI : PENUTUP
Bab ini berisikan kesimpulan dari hasil penelitian dan saran–saran