BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN
A.Ruang Lingkup Perjanjian
1. Pengertian Perjanjian
Hukum Perjanjian diatur dalam bab II dan bab V sampai dengan Bab XVIII buku III
KUH Perdata, yang memiliki sifat terbuka artinya isinya dapat ditentukan oleh para
pihak dengan beberapa syarat yaitu tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan dan undang-undang. Hal ini memiliki makna bahwa buku III KUH Perdata
dapat diikuti oleh para pihak atau dapat juga para pihak menentukan
lain/menyimpanginya namun hanya bersifat pelengkap saja dan mengikuti beberapa
syarat, karena di dalam ketentuan umum ada yang bersifat pelengkap dan pemaksa (yang
bersifat pemaksa, misalnya Pasal 1320 KUH Perdata).
Dikatakan bersifat pelengkap berarti bahwa pasal-pasal dalam perjanjian itu dapat
disingkirkan manakala dikehendaki oleh para pihak yang membuat perjanjian, mereka
diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian yang mereka
adakan dan diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari
pasal-pasal hukum perjanjian. Jika para pihak tidak mengatur sendiri sesuatu soal, maka
dapat dikatakan mereka tunduk kepada undang-undang. Hal ini dapat disimpulkan dari
ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi :
“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
Definisi perjanjian dalam KUH Perdata dalam Pasal 1313 mengatakan suatu
persetujuan adalah suatu perbuatan yang terjadi antara satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih. Definisi perjanjian yang terdapat
dalam ketentuan KUH Perdata ini terlalu luas dan tidak lengkap, dikatakan tidak lengkap
karena hanya mengenai perjanjian sepihak saja.9
Yahya Harahap mengatakan perjanjian atau Verbitensis mengandung pengertian
suatau hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang
memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus
mewqjibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.
Dikatakan terlalu luas karena dapat sampai mencakup hal-hal janji kawin yaitu
perbuatan didalam hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga. Namun,
istimewa sifatnya karena dikuasai oleh ketentuan-ketentuan tersendiri. Sehingga buku ke
III KUH Perdata secara langsung tidak berlaku juga mencakup perbuatan melawan
hukum, sedangkan didalam perbuatan melawan hukum ini tidak unsur persetujuan.
Adanya ketidaksempurnaan definisi perjanjian yang berada dalam KUH Perdata
ini membuat para sarjana dan ahli hukum membuat definisi atau melengkapi definisi
perjanjian yang ada menuru pendapat mereka masing-masing.
10
9
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis,PT Alumni,Bandung,2005,hal.18 10
R. Setiawan, menyebutkan bahwa perjanjian ialah suatu perbuatan hukum di mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih.11
Penyempurnaan definisi perjanjian Pasal 1313 menurut Handri Raharjo, “suatu
hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subjek
hukum yang satu dengan yang lain, dan di antara mereka (parapihak/subjek hukum)
saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang berhak atas prestasi dan begitu
juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestastinya sesuai
dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut menimbulkan akibat
hukum.”
12
Menurut Subekti, suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang
berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal.13
Dari peristiwa ini ditimbulkan suatu hubungan antara dua orang yang
dinamakan “perikatan”. Perjanjian tersebut menimbulkan suatu perikatan antara dua
orang yang membuatnya. Dengan demikian hubungan antara perikatan dan perjanjian Subekti mengatakan bahwa perjanjian mempunyai suatu
hubungan yang khusus dengan perikatan. Perikatan adalah suatu perhubungan hukum
antara dua orang atau dua “pihak”, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut
suatu hal dari pihak yang lain, yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu.
11
R. Setiawan, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, Bina Cipta, Bandung, 1987, hal.49. 12
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009, hal.42. 13
adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan.14
14
Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional ,Alumni,Bandung,1976,hal.13
Perjanjian adalah sumber
perikatan, walaupun perikatan itu paling banyak diterbitkan oleh suatu perjanjian, tetapi
ada juga sumber lain yang melahirkan perikatan. Subekti menyimpulkan bahwa apabila
orang-orang yang mengadakan suatu perjanjian, maka maksud mereka adalah agar
antara mereka itu berlaku suatu perikatan hukum.
Perjanjian dalam pembicaraan umum dan buku-buku hukum adalah menunjuk
kepada perjanjian yang mengikat, dan juga dalam buku ini bila tidak dinyatakan lain
maka yang dimaksudkan dengan perjanjian adalah perjanjian yang mengikat (perikatan)
Perikatan-perikatan yang dimaksudkan diatas adalah merupakan suatu peristiwa
dimana dua orang atau pihak saling menjanjikan sesuatu. Peristiwa ini paling tepat
dinamakan “perjanjian” yaitu suatu peristiwayang berupa rangkaian janji-janji. Dapat
dikatakan bahwa “perjanjian sudah sangat populer dikalangan rakyat.
Ada juga beberapa penulis yang memakai perkataan “persetujuan” , yang tentu
saja tidak salah, karena peristiwa yang dimaksud juga merupakan suatu kesepakatan atau
pertemuan kehendak dua orang atau pihak untuk melaksanakan sesuatu dan perkataan
“persetujuan” kalau dilihat dari segi terjemahan memang lebih sesuai dengan perkataan
Belanda “overeenkomst” yang dipakai oleh KUH Perdata tetapi karena perjanjian oleh
masyarakat sudah dirasakan sebagai suatu istilah yang mantap untuk menggambarkan
rangkaian janji-janji yang pemenuhannya dijamin oleh Hukum, maka banyak para
Perjanjian menurut Wirjono Prodjodikoro adalah suatu perhubungan hukum
mengenai harta benda antara dua pihak, dari mana suatu pihak berjanji atau dianggap
berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang
pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.15
a. Asas kebebasan berkontrak
Secara umum pengertian-pengertian yang diungkapkan oleh para sarjana adalah
merupakan memenuhi ketidaklengkapan definisi perjanjian yang terdapat dalam Pasal
1313 KUH Perdata saja, dapat disimpulkan bahwa perjanjian adalah perbuatan hukum
dimana satu orang atau lebih saling mengikatkan dirinya terhadap yang satu dengan
yang lain.
Dalam hukum perjanjian terdapat beberapa asas, namun secara umum asas
perjanjian hanya terdapat lima, yaitu:
Asas ini mempunyai makna setiap orang bebas membuat perjanjian dengan
siapapun, apapun isinya, apapun bentuknya sejauh tidak melanggar
undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Asas ini bersifat relatif (kebebasan
kontrak yang bertanggungjawab) dan asas inilah yang menyebabkan hukum
perjanjian bersifat terbuka.
b. Asas konsensualisme
Yang dimaksud dengan asas konsensualisme adalah jika perjanjian tersebut
telah dibuat, maka telah sah perjanjian tersebut mengikat secara penuh. Asas ini
15
dapat ditemukan dalam pasal 1320 yang ditemukan istilah “semua”. Kata-kata
“semua” menunjukkan bahwa setiaporang diberi kesempatan untuk menyatakan
keinginannya (wil), yang rasanya baik untuk menciptakan perjanjian.16
c. Asas pacta sunt servanda
Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata bahwa perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.
Dimana perjanjian tersebur mengikat para pihak tersebut secara penuh sesuai
dengan isi perjanjian.
d. Asas itikad baik
Adanya perjanjian dilakukan berdasarkan itikad baik, asas ini terdapat dalam
Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata. Itikad baik ada dua yaitu pertama, bersifat
objektif artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan. Kedua, bersifat subjektif
artinya ditentukan oleh sikap batin seseorang.
e. Asas kepribadian (personalitas)
Pada umumnya tidak seorang pun dapat mengadakan perjanjian kecuali
untuk dirinya sendiri. Pengecualian tersebut terdapat dalam Pasal 1317 KUH
Perdata tentang janji untuk pihak ketiga.
Menurut Asser dalam perjanjian terdiri dari bagian inti (essensialia) dan
bukan bagian inti (Naturalia dan Accidentalia)17
16
a. Bagian inti (Essensialia)
Merupakan unsur yang mutlak harus ada. Merupakan sifat yang harus ada
didalam perjanjian, sifat yang menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta.
Contoh: Kesepakatan
b. Bukan bagian inti (Naturalia dan Accidentalia)
Merupakan sifat bawaan (natuur) perjanjian sehingga secara diam-diam
melekat pada perjanjian, misalnya: Menjamin terhadap cacat tersembunyi.
Sedangkan, Accidentalia merupakan sifat yang melekat pada suatu perjanjian yang
secara tegas diperjanjikan oleh para pihak. Misalnya: Pemilihan tempat
kedudukan.
2. Jenis-jenis Perjanjian
Perjanjian dapat dibedakan dengan berbagai cara,yaitu18
a. Perjanjian menurut sumbernya :
:
1) Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, misalnya: perkawinan.
2) Perjanjian yang bersumber dari hukum kebendaan, adalah perjanjian yang
berhubungan dengan peralihan hukum benda.
3) Perjanjian obligator, adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban.
17
Mariam Darus Badrulzaman, KUHPERDATA Buku III, PT Alumni, Bandung, 1996, hal.99 18
4) Perjanjian yang bersumber dari hukum acara.
5) Perjanjian yang bersumber dari hukum publik.
b. Perjanjian menurut hak dan kewajiban para pihak, dibedakan menjadi19
1) Perjanjian timbal balik, adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban
pokok bagi kedua belah pihak. Perjanjian ini ada 2 macam, yaitu timbal
balik sempuran dan tidak sempurna. Misalnya, perjanjian jual beli :
2) Perjanjian sepihak, adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pada
satu pihak saja, sedangkan pada pihak lain hanya ada hak. Contoh: hibah
(Pasal 1666 KUH Perdata) dan perjanjian pemberi kuasa (Pasal 1792 KUH
Perdata)
c. Perjanjian menurut namanya, dibedakan menjadi perjanjian
khusus/bernama/nominaat dan perjanjian umum/tidak
bernama/innominaat/perjanjian jenis baru (Pasal 1319 KUH Perdata).20
1) Perjanjian khusus/bernama/nominaat, adalah perjanjian yang memiliki nama
dan diatur dalam KUH Perdata. Contoh, perjanjian-perjanjian yang terdapat
dalam buku III Bab V-XVIII KUH Perdata. Contoh : perjanjian jual beli,
perjanjian tukar menukar, perjanjian sewa menyewa, perjanjian untuk
melakukan perkerjaan, perjanjian pinjam pakai, perjanjian pinjam
meminjam dan sebagainya.
19
Salim HS,Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia,Sinar Grafika,2003,hal.9 20
2) Perjanjian umum/tidak bernama/innominat/perjanjian jenis baru, adalah
perjanjian yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat karena asas
kebebasan berkontrak dan perjanjian ini belum dikenal pada saat KUH
Perdata diundangkan.21
d. Perjanjian menurut bentuknya ada 2 macam, yaitu perjanjian lisan/tidak tertulis
dan perjanjian tertulis, termasuk perjanjian lisan adalah Perjanjian konsensual
dan perjanjian riil. Perjanjian konsesual adalah perjanjian diantara kedua belah
pihak yang telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan.
Menurut KUH Perdata perjanjian ini sudah memiliki kekuatan mengikat (Pasal
1338 KUH Perdata).
Sedangkan perjanjian riil adalah perjanjian yang dimana berlaku setelah
terjadi penyerahan barang. Misalnya, perjanjian penitipan barang (pasal 1692
KUH Perdata), pinjam pakai (pasal 1740 KUH Perdata).22
Perjanjian yang termasuk dengan perjanjian tertulis, adalah perjanjian
standar dan perjanjian formal. Perjanjian standar atau baku perjanjian tertulis
berbentuk tertulis berupa formulir yang isinya telah dibakukan terlebih dahulua
secara sepihak olehprodusen, bersifat massal, tanpa mempertimbangkan
perbedaan kondisi yang dimiliki konsumen. Sedangkan,perjanjian formal adalah
perjanjian yang telah ditetapkan dengan formalitas tertentu. Misalnya, perjanjian
perdamaian yang harus secara tertulis (pasal 1851 KUH Perdata)
21
Ibid hal. 4 dan 17 22
e. Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya menurut Mariam Darus
Badrulzaman23
1) Perjanjian liberator, yaitu perjanjian yang para pihak yang membebaskan
diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan hutang (kwijschelding)
pasal 1438 KUH Perdata. , yaitu:
2) Perjanjian pembuktian (beweijsovereenkomst), yaitu perjanjian antara pihak
untuk menentukan pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka.
3) Perjanjian untung-untungan, misalnya perjanjian asuransi pasal 1774 KUH
Perdata.
4) Perjanjian publik, yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai
oleh hukum publik karena salah sau pihak bertindak sebagai penguasa
(pemerintahan), misalnya perjanjian ikatan dinas dan perjanjian pengadaan
barang pemerintah (keppres No.29/84)
f. Perjanjian campuran/contractus sui generis, perjanjian ini terdapat unsur-unsur
dari beberapa perjanjian bernama yang terjalin menjadi satu sedemikian rupa
sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan sebagai perjanjian yang berdiri sendiri.
Contoh perjanjian pemilik hotel dengan tamunya.
g. Perjanjian garansi (Pasal 1316 KUH Perdata) dan Derden Beding (Pasal 1317
KUH Perdata), perjanjian garansi adalah suatu perjanjian dimana seorang
menjamin pihak lain (lawan janjinya) bahwa seorang pihak ketiga yang ada
23
diluar perjanjian (bukan pihakdalam perjanjian yang bersangkutan) akan
melakukan sesuatu dan kalau sampai terjadi pihak ketiga tidak memenuhi
kewjajibannya, maka ia akan bertanggung jawab untuk itu.
Derden Bending (janji pihak ketiga) berdasarkan asas pribadi suatu perjanjian
berlaku bagi pihak yang mengadakan perjanjian sendiri dan para pihak tidak
dapat mengadakan perjanjian yang mengikat pihak ketiga, kecuali dalam apa
yang disebut dengan janji guna pihak ketiga (pasal 1317 KUH Perdata).
B. Subjek dan Syarat Sahnya Perjanjian
1. Subjek perjanjian
Pada umumnya tidak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau
meminta ditetapkan suatu janji, selain untuk dirinya sendiri. Perjanjian timbul
disebabkan oleh dua orang atau lebih, masing-masing orang itu menduduki tempat
yang berbeda. Satu orang menjadi pihak kreditur, dan yang seorang lagi menjadi
pihak debitur.kreditur dan debitur tersebutlah yang menjadi subjek perjanjian.24
Yang dimaksud dengan subjek perjanjian ialah pihak-pihak yang terikat dengan
suatu perjanjian. Subjek hukum dalam perjanjian dibagi atas manusia dan badan
hukum, yang kedua-duanya merupakan penunjang hak dan kewajiban. Namun
memiliki perbedaan yaitu manusia menjadi subjek hukum sejak dia dilahirkan,
sedangkan badan hukum menjadi subjek hukum pada saat benda itu telah
didaftarkan dan benda tersebut tidak bernyawa seperti manusia.
24
Subjek perjanjian diatur dalam pasal 1315, 1317, 1318 dan 1340 KUH Perdata.
Ketentuan-ketentuan dalam pasal tersebut dikenal dengan asas pribadi. KUH
Perdata membedakan tiga golongan yang tersangkut pada perjanjian25
a) Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri
, yaitu:
b) Para ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak daripadanya
c) Pihak ketiga.
Pada dasarnya suatu perjanjian berlaku bagi pihak yang mengadakan perjanjian
itu (Pasal 1315 KUH Perdata). Para pihak tidak dapat mengadakan perjanjian yang
mengikat pihak ketiga (Pasal 1317 KUH Perdata).
Beralihnya hak kepada ahli waris adalah akibat peralihan dengan alas hak
umum yang terjadi pada ahli warisnya. Beralihnya perjanjian kepada orang-orang
yang memperoleh hak berdasarkan atas alas hak khusus, misalnya orang yang
menggantikan pembeli mendapat haknya sebagai pemilik. Hak terikat kepada
sesuatu kualitas itu dinamakan hak kualitatif.
Dalam kaitannya dengan janji guna pihak ketiga, maka siapa saja yang telah
menjanjikan sesuatu seperti itu, tidak boleh menarik kembali apabila pihak ketiga
telah menyatakan kehendaknya untuk mempergunakannya.26
25
Maria Darus Badrulzaman,1996, Op.cit.,hal.22 26
2. Syarat Sahnya Perjanjian
Agar suatu perjanjian dianggap sah oleh hukum, maka haruslah memenuhi
beberapa persyaratan sahnya perjanjian. Persyaratan ini harus dipenuhi agara
perjanjian tersebut mempunyai kekuatan mengikat.
Syarat sahnya perjanjian tersebut sudag ditentukan oleh KUH Perdata, karena
perjanjian dianggap sah jika memenuhi 4 (empat) persyaratan yang berada dalam
KUH Perdata yaitu dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Keempat syarat sahnya perjanjian yang ditentukan dalam KUH Perdata adalah
sebagai berikut:
a) Adanya kesepakatan untuk mengikatkan diri;
b) Cakap untuk membuat suatu perikatan;
c) Suatu hal tertentu;
d) Suatu sebab yang halal;
Kedua syarat yang pertama dinamakan syarat subjektif dikarenakan kedua
syarat tersebut mengenai subjek perjanjian. Bila syarat ini tidak dipenuhi maka
perjanjian dapat dibatalkan (untuk membatalkan perjanjian itu harus ada inisiatif
minimal dari pihak yang merasa dirugikan).27
27
R. Subekti,Hukum Perjanjian, Op.cit. hal 20
Dengan batas waktu membatalkannya
5 tahun (Pasal 1454 KUH Perdata) Sedangkan kedua syarat terakhir disebutkan
dipenuhi maka perjanjian dianggap batal demi hukum (sejak semula dianggap tidak
pernah ada perjanjian sehingga tidak perlu pembatalan).28
a) Sepakat
Keempat syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH
Perdata tersebut akan diuraikan lebih lanjut sebagai berikut.
Kesepakatan para pihak merupakan insir mutlak untuk terjadinya suatu
perjanjian. Kesesuaian, kecocokan, pertemuan kehendak dari yang mengadakan
perjanjian atau pernyataan kehendak disetujui antara pihak-pihak.29
Kesepakatan itu penting diketahui karena merupakan awal terjadinya
perjanjian. Untuk mengetahui kapan kesepakatan itu terjadi ada beberapa macam
teori/ajaran, yaitu
Pernyataan
pihak yang menwarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang
menerima tawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).
30
a) Teori kehendak (wilstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat
kehendak penerima dinyatakan, misalnya dengan melukiskan surat. :
b) Teori pengiriman (verzendtheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada
saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.
28
Ibid. 29
Maria Darus Badrulzaman,1996,Op.cit., hal.98 30
c) Teori pengetahuan (vernemingstheorie) mengajarkan bahwa pihak yang
menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya sudah diterima.
d) Teori kepercayaan (vertrowenstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan itu
terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang
menawarkan.
Selanjutnya menurut Pasal 1321 KUH Perdata, kata sepakat harus diberikan
secara bebas, dalam arti tidak ada paksaan, penipuan, dan kekhilafan. Masalah lain
yang dikenal dalam KUH Perdata yakni disebut dengan cacat kehendak (kehendak
yang timbul tidak murni dari yang bersangkutan). Tiga unsur cacat kehendak (Pasal
1321 KUH Perdata) :
a) Kekhilafan/kekeliruan/kesesatan/dwaling (1321 KUH Perdata)
b) Paksaan /dwang (Pasal 1323-1327 KUH Perdata)
c) Penipuan/bedraq (Pasal 1328 KUH Perdata)
Kekhilafan terjadi jika salah satu pihak keliru tentang apa yang diperjanjikan,
namun pihak lain membiarkan pihak tersebut dalam keadaan keliru. Undang undang
membedakan dua jenis kekhilafan, yaitu mengenai orang (error inpersonal) dan
kekhilafan mengenai barang yang menjadi pokok perjanjian (error insubtantia).
Paksaan merupakan bukan karena kehendaknya sendiri, namun karena
dipengaruhi oleh orang lain. Paksaan dapat terjadi jika perbuatan tersebut dapat
menimbulkan ketakutan bahwa dirinya diancam atau kekayaan dengan suatu
kerugian (Pasal 1324 s.d 1327 KUH Perdata). Dengan demikian maka pengertian
paksaan adalah kekerasan jasmani atau ancaman (akan membuka rahasia) dengan
sesuatu yang diperbolehkan hukum yang menimbulkan ketakutan kepada seseorang
sehingga ia membuat perjanjian.31
Perjanjian dapat dibatalkan, apabila terjadi ketiga hal yang sudah dijelaskan
diatas. Dalam perkembangannya muncul unsur cacat kehendak diluar KUH Perdata,
yaitu penyalahgunaan keadaan. Dalam hal ini tidak adanya ancaman fisik hanya
terkadang salah satu pihak punya rasa ketergantungan, suatu hal darurat, tidak
berpengalaman, atau tidak tahu.
Sedangkan, Penipuan terjadi jika salah satu pihak secara aktif memngaruhi
pihak lain sehingga pihak yang dipengaruhi menyerahkan sesuatu atau melepaskan
sesuatu. Pihak tersebut menipu dengan daya akalnya menanamkan suatu gambaran
yang keliru tentang orangnya atau objeknya sehingga pihak lain bergerak untuk
menyepakati.
32
b) Kecakapan
Setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perikatan kecuali jika
undang-undang menyatakan bahwa orang tersebut adalah tidak cakap. Orang-orang yang
tidak cakap membuat perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa dan mereka
31
Maria Darus Badrulzaman,1996,Op.cit., hal 101 32
yang berada dibawah pengampuan. Dalam hal kecakapan ini diatur dalam KUH
Perdata Pasal 1329 sampai dengan 1328.
Dulu orang-orang perempuan yang telah bersuami termasuk orang yang tidak
cakap berbuat (Pasal 108 KUH Perdat), tetapi hal ini sudah dicabut dengan SEMA
No.3 Tahun 1963 tentang kedudukan seorang wanita diangkat derajatnya sama
dengan laki-laki sehingga untuk mengadakan perbuatan hukum dan menghadap
pengadilan ia tidak memerlukan bantuan suaminya lagi.33
Kedua,mereka yang diletakkan dibawah pengampuan. Hal ini diatur dalam
Pasal 433-462 KUH Perdata tentang pengampuan. Pengampuan adalah dimana
keadaan seseorang tidak dapat cakap bertindak karena sifat-sifat pribadinya ataupun
tidak dalam segala cakap untuk bertindak dalam lalu lintas hukum, karena orang
tersebut oleh putusan hakim dimasukkan kedalam golongan orang yang tidak cakap
bertindak dan diberi wakil menurut undang-undang sebagai pengampu.
Dengan demikian maka orang yang tidak cakap, yaitu pertama, mereka yang
belum cukup umur. Menurut Pasal 1320 KUH Perdata adalah mereka yang belum
genap berusia 21 tahun dan belum menikah. Agar mereka yang belum dewasa dapat
melakukan perbuatan hukum maka harus diwakilkan oleh wali/perwalian (Pasal
33-414 KUH Perdata).
34
33
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/17319,diakses tanggal 1 April 2013 jam 15.30 wib 34
Ibid, hal.54
Tidak
cakap tersebut seperti dalam Pasal 433 KUH Perdata, yaitu keadaan dungu, sakit
kewajibannya) dan Pemboros/pemabuk (ketidakcakapan bertindak terbatas pada
perbuatan-perbuatan dalam bidang hukum harta kekayaan saja).
Akibat hukum dari perbuatan yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap
berbuat hukum adalah dapat dimintakan pembatalannya (Pasal 1331 ayat 1 KUH
Perdata).35
c) Suatu hal tertentu
Undang-undang menetukan benda-benda yang dapat dijadikan obek perjanjian.
Benda-benda itu adalah yang dipergunakan untuk kepentingan umum. Suatu
perjanjian harus mempunyai objek tertentu sekurang-kurangnya dapat ditentukan
(Pasal 1332 sampai dengan 1335 KUH Perdata). Objek perjanjian dapat
dikategorikan dalam pasal tersebut36
1) Objek yang akan ada (kecuali warisan), asalkan dapat ditentukan jenis dan dapat
dihitung.
:
2) Objek yang dapat diperdagangkan (barang-barang yang dipergunakan untuk
kepentingan umum tidak dapat menjadi objek perjanjian).
d) Suatu sebab yang halal
Untuk sahnya suatu perjanjian, undang-undang mensyaratkan adanya kausa.
Undang-undang tidak memberikan pengertian kausa. Kausa yang dimaksudkan
35
Ibid 36
bukanlah hubungan sebab akibat, melainkan isi atau maksud dari perjanjian itu
sendiri atau tujuan dari para pihak mengadakan perjanjian.
Melalui syarat ini, didalam praktik maka hakim dapat mengawasi perjanjian
tersebut. Hakim dapat menilai apakah isi perjanjian tidak bertentangan dengan
undang-undang ketertiban umum dan kesusilaan (Pasal 1335 s.d 1337 KUH
Perdata).37
C. Berakhirnya Perjanjian
Berdasarkan rumusan di atas, dapat diambil beberapa ketentuan yang penting
dalam hukum perjanjian, dan hal inilah yang merupakan akibat dari perjanjian yang
terdapat dalam Pasal 1338 KUH Perdata, yaitu undang-undang menentukan bahwa
perjanjian yang sah berkekuatan sebagai undang-undang. Semua persetujuan yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.
Persetujuan-persetujuan tersebut tidak dapat ditarik kembali selain kesepakatan
kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan
cukup untuk itu (Pasal 1338 ayat 2 KUH Perdata). Persetujuan-persetujuan itu
haruslah dilakukan dengan itikad baik (Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata).
Melaksanakan apa yang menjadi hak disatu pihak dan kewajiban dipihak lain dari
yang membuat perjanjian.
Mengenai berakhirya perjanjian diatur dalam Bab ke empat Buku ke III KUH
Perdata tentang hapusnya perikatan. Masalah “hapusnya perjanjian” (tenietgaart van
37
verbintenis) bisa juga disebut dengan “hapusnya persetujuan” (tenietgaan van
overeenkosmt). Berarti, menghapuskan semua pernyataan kehendak yang telah dituangkan
dalam persetujuan bersama antara pihak kreditur dan debitur.38
1. Pembayaran (Pasal 1382-1403 KUH Perdata)
Banyak cara dan macam dapat menghapuskan perjanjian. Misalnya dengan cara
membayar harga yang dibelinya atau dengan jalan mengembalikan barang yang dipinjam.
Bisa juga dengan pembebasan hutang dan sebagainya.
Adapun cara-cara penghapusan perjanjian telah diatur dalam Pasal 1381 KUH
Perdata. Dalam pasal ini telah disebut satu persatu cara dan jenis penghapusan perjanjian.
Cara penghapusan yang disebut Pasal 1381 KUH Perdata adalah:
Pembayaran adalah pelunasan utang (uang,jasa,barang) atau tindakan pemenuhan
prestasi oleh debitur kepada kreditur.39 Pihak-pihak yang wajib melaksanakan
pembayaran selain debitur. Berdasarkan Pasal 1382 KUH Perdata mengatur tentang
orang-orang selain debitur sendiri yang dapat melaksanakan perikatan, yaitu40
a) Mereka yang mempunyai kepentingan, misalnya kawan terhutang dan seorang
penanggung.
:
38
M Yahya Harahap, Op.cit.,hal.106 39
Handri Raharjo, Op.cit.,hal.96 40
b) Seorang pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan, asal saja orang pihak
ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi hutangnya debitur atau pihak
ketiga itu bertindak atas namanya sendiri, asal tidak menggantikan hak-hak tertentu.
Berdasarkan Pasal 1385 KUH Perdata pihak-pihak yang berhak menerima
pembayaran:
a) Kreditur sendiri
b) Seseorang yang diberi kuasa oleh kreditur
c) Seseorang yang diberi kuasa oleh hakim atau undang-undang
Undang-undang telah menentukan pihak-pihak yang berhak menerima pembayaran
meskipun begitu penentuan tersebut tidak bersifat mutlak. Tidak bersifat mutlak
dikarenakan masih diberikan kemungkinan bagi debitur untuk membayarkan prestasi pada
“orang yang tidak menerima pembayaran” dengan syarat, yaitu kreditur membenarkan
pembayaran tersebut atau nyata-nyata telah mendapat manfaat daripadanya. Bila debitur
melakukan pembayaran kepada kreditur yang tidak cakap maka pembayaran itu tidak sah,
hal ini terdapat didalam Pasal 1387 KUH Perdata.
Pada dasarnya pembayaran dilakukan ditempat yang diperjanjikan namun bila didalam
perjanjian itu tidak ditentukan tempat pembayaran, maka hal itu diatur di dalam Pasal 1393
KUH Perdata. Subrogasi adalah penggantian kedudukan kreditur oleh pihak ketiga,
diperjanjikan ataupun ditetapkan oleh undang-undang. Subrogasi ini dibedakan menjadi
dua, yaitu:
a) Subrogasi karena perjanjian. Diatur dalam Pasal 1401 KUH Perdata
b) Subrogasi karena undang-undang. Diatur dalam Pasal 1401 KUH Perdata.
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan/penitipan (konsinya)
Penawaran pembayaran tunai terjadi apabila dalam suatu perjanjian debitur hendak
membayar utangnya tetapi pembayaran ini ditolak oleh kreditur, maka debitur dapat
menitipkan pembayaran melalui kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat. Perihal
tentang konsinya diatur dalam Pasal 1404-1412 KUH Perdata.
3. Novasi/pembaharuan hutang (Pasal 1413-1424 KUH Perdata)
Merupakan perjanjian antara debitur dengan kreditur dimana perikatan yang sudah ada
dihapuskan dan kemudian dibuat suatu perikatan yang baru. Novasi berdasarkan Pasal
1413 KUH Perdata terdiri dari 3 bentuk, yaitu41
a) Debitur dan kredditur mengadakan perjanjian baru, dengan mana perjanjian lama
dihapuskan.
:
b) Apabila terjadi penggantian debitur, dengan penggantian nama debitur lama
dibebaskan dari perikatannya.
41
c) Apabila terjadi penggantian kreditur, dengan mana kreditur lama dibebaskan dari
perikatannya.
Bentuk pertama dinamakan novasi objektif, bentuk kedua dinamakan novasi subjektif
yang pasif, bentuk ketiga dinamakan novasi subjektif yang aktif.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1415 KUH Perdata tentang kesepakatan antara mereka
yang mengadakan pembaharuan utang, Gunawan Widjaja mengatakan berarti suatu
pembaharuan utang harus dengan tegas menyatakan bahwa utang lama atau perikatan
lama yang ada diantara debitur dan kreditur menjadi hapus demi hukum, dan sebagai
penggantinya dibuat dengan segala ketentuan dan syarat-syarat yang baru, yang berlaku
bagi debitur dan kreditur dalam perikatan yang baru tersebut.42
4. Perjumpaan hutang/kompensasi (Pasal 1425-1435 KUH Perdata)
Merupakan penghapusan masing-masing hutang dengan jalan saling memperhitungkan
hutang yang sudah dapat ditagih secara timbal balik antara debitur dengan kreditur.
Berdasarkan Pasal 1426 KUH Perdata kompensasi terjadi demi hukum. Pasal 1427
KUH Perdata menentukan syarat terjadinya kompensasi, yaitu:
a) Kedua-kedua berpokok sejumlah uang.
b) Berpokok sejumlah barang yang dapat dihabiskan (dalam arti diganti)
c) Kedua-duanya dapat ditetapkan dan dapat ditagih seketika.
42
Undang-undang menjelaskan bahwa kompensasi terjadi demi hukum, akan tetapi
apabila dibaca melalui ketentuan Pasal 1430, 1432, 1435 KUH Perdata, maka
kompensasi tersebut menghendakinya adanya aktivitas dari pihak-pihak yang
berkepentingan untuk mengemukakan hutang masing-masing dan pelaksanaan dari
perhitungan atau kompensasinya. Pelarangan dilakukannya kompensasi diatur di dalam
Pasal 1429 KUH Perdata.
5. Konfisio/pencampuran hutang (Pasal 1436-1437 KUH Perdata)
Merupakan pencampuran kedudukan (kualitas) dari pihak-pihak yang mengadakan
perjanjian. Sebagai orang yang berutang (debitur) dengan kedudukan sebagai kreditur
menjadi satu dalam hal ini hapuslah perjanjian tersebut. Konfisio dapat terjadi
berdasarkan :
a) Alas hak hukum
b) Alas hak khusus, misalnya jual beli atau legaat
6. Pembebasan utang (Pasal 1438-1443 KUH Perdata)
Undang-undang tidak memberikan definisi apa yang disebutkqn dengan pembebasan
utang. Namun, menurut Mariam Darus Badrulzaman pembebasan utang adalah
pembuatan atau pernyataan kehendak dari kreditur untuk membebaskan debitur
perikatan dan pernyataan kehendak tersebut diterima oleh debitur.43
43
Mariam Darus Badrulzaman, 1996, Op.cit.,hal 187
Menurut Pasal
dibuktikan. Misalnya, pengembalian sepucuk tanda piutang asli secara sukarela oleh
kreditur, merupakan bukti tentang pembebasan hutangnya.
7. Musnahnya barang yang terutang (Pasal 1444-1445 KUH Perdata)
Perikatan hapus dengan musnahnya atau hilangnya barang tertentu yang menjadi pokok
prestasi yang diwajibkan kepada debitur untuk menyerahkannya kepada debitur.
8. Kebatalan dan pembatalan perjanjian (Pasal 1446-1456 KUH Perdata)
Dalam Pasal 1446 KUH Perdata terdapat perkataan “batal demi hukum” yang dimana
maksudnya adalah “dapat dibatalkan”. Undang-undang menentukan jangka waktu suatu
tuntutan pembatalan itu harus diajukan yaitu, lima tahun, yang mulai berlaku :
a) Dalam hal kebelumdewasaan, sejak hari kedewasaan.
b) Dalam hal pengampuan sejak hari pencabutan pengampuan.
c) Dalam hal paksaan sejak hari paksaan itu telah terhenti.
d) Dalam hal kekhilafan atau penipuan sejak hari itu diketahuinya kekhilafan atau
penipuan itu.
e) Dalam hal kebatalan tersebut dalam Pasal 1341 KUH Perdata, sejak hari
diketahuinya bahwa kesadaran yang diperlukan untuk pembatalan itu ada.
9. Berlakunya syarat batal (Pasal 1265 KUH Perdata)
Memiliki pengertian suatu syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan perjanjian dan
perjanjian (Pasal 1253 dan 1266 KUH Perdata). Berlakunya syarat ini diatur dalam