Dampak Penguasaan Kawasan Halimun oleh Pemerintah dan Korporasi
Terhadap Kehidupan Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar
Rahmad Efendi1, Dwi Rahma Safitri2, Ita Nurmawati3, Tuflicatul Ilmiyah4
1,2,3,4
Jurusan Antropologi FISIP Unpad, Jalan Raya Jatinangor-Sumedang, Km 21, Jawa Barat, Indonesia
Ringkasan
Penelitian ini membahas tentang masalah yang dihadapi Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar
ketika kawasan Halimun sudah dikuasai oleh banyak pihak. Masalah tersebut membuat ruang
gerak mereka jadi terbatas sehingga mengancam keberlangsungan adat istiadat mereka.
Penelitian ini menggunakan desain metode penelitian kualitatif untuk menggali pemahaman
masyarakat akan persoalan tersebut. Pada Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar, terdapat
tradisi berpindah kampung beserta lahan garapan sebagai pengetahuan lokal mereka. Tradisi
berpindah merupakan mekanisme untuk mengatasi tekanan penduduk. Masalah tekanan
penduduk mesti diatasi untuk menjaga keberlangsungan tatanan adat mereka. Akan tetapi ketika
kawasan Halimun sudah dikuasai oleh banyak pihak, Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar
tentu akan sulit untuk menjalankan mekanisme tersebut, karena lahan sudah terbatas. Persoalan
ini tentunya akan mempengaruhi sistem adat mereka, sehingga akan mempengaruhi
keberlangsungan hidup mereka nantinya.
Kata kunci : Masyarakat Adat, Kasepuhan Ciptagelar, Kawasan Halimun, TNGHS, tekanan penduduk, pengetahuan lokal
1. Pendahuluan
Kawasan Taman Nasional Gunung
Halimun-Salak (TNGHS) merupakan
kawasan hutan konservasi terluas di Pulau
Jawa. TNGHS memiliki peran sangat
penting dalam menunjang keseimbangan
iklim global dan hidrologis bagi lingkungan
sekitarnya. Selain berfungsi sebagai
penyeimbang kehidupan, potensi sumber
daya alam yang dikandung sangatlah tinggi
nilainya. Di kawasan inilah kita dapat
menemukan beragam kehidupan, baik flora
fauna maupun masyarakatnya
(www.tnhalimun. go.id).
Selain menjadi rumah bagi beragam
flora dan fauna, kawasan Halimun juga
dihuni masyarakat lokal yang dikenal
Masyarakat Adat Kasepuhan merupakan
suatu komunitas yang ruang hidupnya
berada di dalam kawasan TNGHS serta
menjalankan pola perilaku sosio-budaya
yang mengacu pada kehidupan masyarakat
tradisional Sunda pada abad 18 (Asep, 2000
dalam RMI, 2004) .
Masyarakat Adat Kasepuhan yang paling
dikenal adalah Kasepuhan Ciptagelar.
Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar
memiliki beragam pegetahuan lokal yang
menjadi ciri khas dari mereka. Pengetahuan
tersebut ditunjukkan dari model pengelolaan
dan penjagaan hutan, model pertanian
tradisional dengan beragam ritual yang
mengikutinya serta tradisi berpindah tempat
tinggal. Hingga saat ini, pengetahuan lokal
tersebut masih dipertahankan dan dijalankan
dalam keseharian hidup Masyarakat Adat
Kasepuhan Ciptagelar.
Dalam usaha menjaga dan melestarikan
pengetahuan lokal tersebut, masyarakat
Kasepuhan Ciptagelar berusaha mematuhi
segala ketentuan dan kesepakatan adat
kesepuhan. Seperti contoh larangan adat
agar tidak mengusik kawasan hutan yang
termasuk dalam kawasan THGH (www.
tnhalimun.go.id).
Kedekatan hubungan fisik dan spiritual
komunitas ini dengan bumi yang telah
menghidupi mereka selama beberapa
generasi, menciptakan hukum adat dan
kearifan lokal yang unik dan mendukung
pelestarian lingkungan Prinsip hidup ini
menjamin kelestarian alam agar dapat
dilestarikan demi generasi mendatang.
Kelestarian wilayah Kasepuhan Ciptagelar
merupakan cerminan dari pengelolaan
lingkungan yang berdasarkan sistem adat
tersebut (Ciptagelar.org).
Atas dasar nilai-nilai luhur dan
bermanfaat yang diusung, adat istiadat
Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar ini diakui
oleh pemerintah sebagai suatu kearifan lokal
yang layak di lestarikan. Akan tetapi
kearifan lokal Masyarakat Adat Kasepuhan
saat ini sedang menghadapi tantangan pelik.
Setidaknya ada empat hal yang bisa
mempengaruhi keberlanjutan kearifan lokal
yakni, pertumbuhan penduduk, masuknya
teknologi dan budaya modern dari luar,
berkembangnya kapitalisme, serta terjadinya
kemiskinan dan kesenjangan dalam
masyarakat (Suhartini, 2009).
Terkait isu kearifan lokal, disiplin
Antropologi Ekologi melihat pengembangan
kearifan lokal sebagai bentuk dari
kebudayaan adaptif dalam mempertahankan
keberlangsungan hidup suatu masyarakat.
Dengan menggunakan perspektif tersebut,
penelitian ini berusaha mengkaji bagaimana
Adat Kasepuhan Ciptagelar sebagai
mekanisme adaptif untuk bertahan
menghadapi berbagai tekanan baik dari luar
ataupun dari dalam masyarakat itu sendiri.
Beberapa tantangan yang menjadi
perhatian kami antara lain terkait tekanan
pertumbuhan penduduk, penurunan daya
dukung lahan, kemudian pembatasan ruang
gerak Masyarakat Adat Kasepuhan akibat
penguasaaan kawasan Halimun oleh pihak
pemerintah dan korporasi. Dalam konteks
ini kami melihat kecenderungan
terancamnya keberlanjutan adat istiadat
Kasepuhan Ciptagelar akibat tiga tantangan
tersebut.
Masyarakat Adat Kasepuhan merupakan
“penghuni lama” di tengah rimba Halimun,
namun saat ini mereka sudah tidak sendiri
lagi. Saat ini kawasan kasepuhan juga
dikuasai oleh pemerintah dan beberapa
korporasi nasional juga swasta. Saat ini
ruang gerak Masyarakat Adat Kasepuhan
semakin terbatas karena adanya batas-batas
wilayah yang sudah tidak bisa lagi untuk
diakses.
Persoalan ini menjadi sumber konflik
bagi Kasepuhan. Taman nasional yang
diperluas hingga wilayah adat Kasepuhan
Cipta Gelar mengancam cara hidup
masyarakat adat yang diwariskan melalui
beberapa generasi. Akibat dari persoalan ini
bisa jadi membuat kearifan lokal akan
terganggu. Sehingga keberlangsungan adat
istiadat yang selama ini mereka jalani dan
pertahankan sebagai upaya mempertahankan
keberlanjutan hidup masyarakat juga ikut
terpengaruh (ciptagelar.org).
Oleh karena itulah, penelitian ini
berupaya mangkaji masalah tersebut dengan
menggunakan sudut pandang Antropologi
Ekologi. Masalah-masalah tersebut tentunya
sangat relevan dalam kajian antropologi,
ekologi mengenai hubungan pertumbuhan
penduduk dengan keterbatasan lahan dan
terjadinya perubahan sosial-budaya pada
Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar.
2. Metodologi
Penelitian ini dilakukan dengan desain
metode penelitian kualitatif. Diawali dengan
studi literatur dari sumber buku dan internet
guna mendapatkan informasi awal tentang
Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar.
Selanjutnya dilakukan observasi partisipan
serta wawancara kepada informan.
Observasi dilakukan terhadap kondisi
fisik wilayah Kasepuhan Ciptagelar,
aktivitas pemanfaatan lahan. serta masalah
kependudukan. Wawancara dilakukan
kepada informan kunci yang telah
disesuaikan dengan kebutuhan informasi.
wawancara, singkat wawancara mendalam,
dan Focus Group Discussion.
Pengumpulan data dilakukan untuk
melakukan refleksi atas pengetahuan
masyarakat tentang relasi manusia dan alam
serta mengidentifikasi masalah yang sedang
mereka hadapi. Selanjutnya data yang
diperoleh dimaknai dan dikonstruksi
berdasarkan perspektif Antropologi Ekologi
dalam menganalisis dampak tekanan
pertumbuhan penduduk dan keterbatasan
lahan terhadap keberlanjutan adat istiadat
Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar.
3. Keadaan Umum Daerah Penelitian
3.1. Letak, Luas dan Wilayah
Kasepuhan Ciptagelar adalah salah satu
dari tiga kasepuhan yang berada di wilayah
di Desa Sirnaresmi. Wilayah Kasepuhan
Ciptagelar dibagi atas tiga dusun yakni
Dusun Sukamulya, Dusun Situmurni dan
Dusun Cipulus. Dari tiga dusun dibagi lagi
ke dalam 16 kampung (lembur).
Secara administratif Kasepuhan
Ciptagelar termasuk dalam wilayah Desa
Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten
Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. Adapun
batas wilayah Desa Sirna Resmi adalah :
Tabel.1 Batas Wilayah Ciptagelar
No Arah Batas
1 Utara Desa Sirnagalih, Kec.
Cibeber, Propinsi
Banten
2 Selatan Desa Sirnarasa, Kec.
Cikakak, Kab.
Sukabumi, Propinsi
Jabar
3 Barat Dusun Cimapag, Desa
Sirnaresmi, Kec.
Cisolok, Kab.
Sukabumi, Propinsi
Jabar.
4 Timur Desa Cihamerang, Kec.
Kalapanunggal, Kab.
Sukabumi, Propinsi
Jabar.
Sumber : data potensi Kasepuhan Ciptagelar Desa
Sirnaresmi Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi
(Desember 2008, dalamwww. repository.ipb.ac.id)
Gambar.1 Lokasi Kasepuhan Cipatgelar
Secara geografis Kasepuhan Ciptagelar
terletak antara koordinat S 06° 47’ 10,4” ;
BT 106° 29’ 52” di ketinggian 1200 mdpl.
Luas wilayah kasepuhan adalah 202 Ha
dengan pembagian dan pemanfaatan lahan
antara lain :
Tabel.2 Pemanfaatan Lahan Wilayah
Ciptagelar
N
o
Penggunaan
lahan
Luas
(Ha)
Propor
si (%)
1 Tanah basah/sawah 65 32,18
2 Tanah darat/kering
a. Pemukiman/pe
karangan
17 8,42
b. Perladangan 13 6,44
c. Tegalan 50 24,75
d. Talun 35 17,33
3 Kehutanan 22 10,89
Total luas lahan 202 100
Sumber : data potensi Kasepuhan Ciptagelar Desa
Sirnaresmi Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi
(Desember 2008, dalam www. repository.ipb.ac.id)
3.2. Kondisi Kependudukan, Ekonomi,
Sosial dan Budaya
Penduduk sebagian besar warga asli
(warga kasepuhan) dan sebagian kecil
pendatang. Sementara itu data pertumbuhan
penduduk kampung adat Ciptagelar adalah
sebagai berikut;
Tabel.3 Pertumbuhan Penduduk Kasepuhan Ciptagelar
No Tahun Jumlah
penduduk
Jumlah
KK
1 2001 80 20
2 2008 250 60
3 2010 338 76
Sumber : dweepitt.multiply.com, data tahun 2006
,www.forumbebas.com, data tahun 2008, Disbudpar
Jabar data tahun 2010 dan baris kolot kasepuhan
Ciptagelar data tahun 2010.
Tingkat pendidikan tergolong rendah
karena sebagian besar hanya tamat SD. Mata
pencaharian utama penduduk adalah bertani
dan sebagian kecil bekerja di bidang lain.
Lingkup pekerjaan bertani antara lain
budidaya tanaman padi di sawah, huma
kebun dan talun. Pekerjaan lain yakni
berkebun, berternak, membuat gula kawung,
dan membuat kerajinan anyaman. Hasil
pertanian padi tidak boleh diperjual belikan
terkait dengan larangan adat. Hasil yang
boleh dijual antara lain bunga cengkeh,
buahan, kayu, ternak, serta produk olahan
seperti gula kawung dan anyaman.
Tabel.4 Tingkat Pendidikan Penduduk
Kasepuhan Ciptagelar
No Tingkat pendidikan Proporsi
1 SD 92,56
2 SLTP 3,63
3 SMA 0, 41
4 Pesantren -
5 Akademi -
6 Perguruan Tinggi 0,24
7 Kursus/Keterampilan 0,47
Jumlah 100
Sumber : data potensi Kasepuhan Ciptagelar Desa
Sirnaresmi Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi
(Desember 2008, dalam www. repository.ipb.ac.id)
Tabel.5 Mata Pencaharian Penduduk
Kasepuhan Ciptagelar
No Mata
pencaharian/profesi
Presentase
(%)
1 Bertani 77,63
2 Buruh 13,61
3 Tukan/Jasa 4,62
5 Berdagang 1,59
6 Buruh Tani 1,30
7 Pegawai/Karyawan 0,36
7 Pegawai Negeri 0,47
8 Wiraswasta 0,41
9 TNI/Polri -
Jumlah 100
Sumber : data potensi Kasepuhan Ciptagelar Desa
Sirnaresmi Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi
(Desember 2008, dalam www. repository.ipb.ac.id)
Masyarakat di kasepuhan Ciptagelar
desa Sirnaresmi terutama dalam satu
kampung, umumnya masih memiliki
hubungan kekerabatan. Warga yang sangat
dekat kekerabatannya biasanya ada dalam
satu rendangan/kasepuhan lingkungan
(ikatan satu keturunan dari orang pertama
yang menempati wilayah kampung
tersebut). Penduduk kasepuhan Ciptagelar
semuanya beragama Islam, namun sebagian
besar masih memegang kepercayaan
terhadap leluhur dan Dewi padi (Dewi Sri
atau Nyi Pohaci). Hal tersebut terkait
dengan sistem adat istiadat Masyarakat Adat
Kasepuhan. Adat memegang peranan
penting dalam kehidupan, terutama terkait
dengan ritual pertanian.
Penerapan adat juga diselaraskan dengan
perubahan zaman. Beberapa teknologi yang
sebelumnya merupakan pantangan, saat ini
telah masuk dalam kehidupan masyarakat.
Seperti pemanfaatan listrik dari PLTA untuk
pengunaan alat elektronik. Bahkan
pengembangan sistem informasi juga sudah
maju, ditunjukkan dengan adanya
penggunaan telepon seluler, adanya
pemancar radio komunitas (Swara
Ciptagelar) dan adanya stasiun Televisi
(Ciptagelar TV).
Namun untuk masalah pertanian,
masyarakat Ciptagelar sangat selektif dalam
pengembangan teknologi, karena hal
mereka, hingga saat ini menurut pengakuan
masyarakat, hal baru yang bisa masuk hanya
penggunaan pupuk kimia saja.
3.3. Kawasan Ekosistem Halimun Sebuah
Arena Pergulatan Kepentingan
(disarikan dari laporan penelitian RMI,
2004)
Kawasan ekosistem Halimun merupakan
kawasan hutan primer dan sekunder yang
berada di wilayah Selatan Jawa Barat dan
Banten. Istilah kawasan gunung Halimun
muncul setelah sebagian wilayahnya
dikelola oleh taman nasional. Adimiharja
(1992) menyebutkan luas total dari kawasan
ekosistem Halimun yakni 122.000 Ha, yang
terdiri dari 82.000 Ha kawasan hutan
lindung dan 40.000 Ha cagar alam.
Kemudian bebekal informasi yang
dikeluarkan oleh FAO (1978) dan kemudian
diperkuat oleh LIPI-PHPA-JICA (1998),
Taman Nasional Halimun (TNGH)
mendefinisikan kawasan gunung Halimun
sebagai kawasan konservasi yang
dikategorikan masih sangat baik di pulau
Jawa. Berada di antara 1060 21’ BT dan
diantara 60 37’ – 60 31’ Barat Daya Propinsi
Jawa Barat, dan terletak di ketinggian
500-1929 mdpl.
Berdasarkan fungsi ekologi kawasan,
para ahli konservasi dan lingkungan
memaknai kawasan ekosistem Halimun
sebagai daerah resapan air terpenting yang
menjaga ketersediaan air di wilayah Jawa
Barat dan Banten. Selanjutnya, dengan
kekayaan ekosistem yang dimiliki, kawasan
Halimun dimaknai sebagai salah satu
sumber penting pendapatan Negara. Sejak
tahun 1970-an dimulailah kegiatan investasi
berskala nasional dan internasional melalui
perkebunan teh, hutan pinus, dan
pertambangan emas. Bagi korporasi dan
Negara, kawasan Halimun merupakan
wilayah yang berpotensi besar menghasilkan
keuntungan.
Namun berbeda dengan pendapat orang
luar, masyarakat yang bermukim di dalam
dan sekitar kawasan Halimun mengenalnya
sebagai kawasan Gunung Sangga Buana
yang bermakana gunung penyangga bumi,
yang mana salah satu gunung tertinggi di
dalamnya bernama gunung Halimun.
Kawasan ini merupakan wilayah yang harus
dijaga kelestariannya agar tidak terjadi
bencana.
Masyarakat tersebut dikenal sebagai
Masyarakat Adat Kasepuhan. Mereka adalah
masyarakat adat yang menetapkan luas
Halimun berdasarkan tiga hal, yakni;
1. dalam konteks semantik bahasa sunda
Halimun sebagai wilayah yang ditutupi
2. dalam konteks geografis yakni batasan
wilayah gunung Halimun dengan
gunung lain, dan
3. dalam konteks budaya, Halimun sebagai
wilayah kesatuan budaya yang mewakili
wilayah penyebaran Masyarakat Adat
Kasepuhan sesuai kemampuan daya
jelajah mereka.
Dalam keyakinan Masyarakat Adat
Kasepuhan terdapat wejangan leluhur
mengenai kewenangan pengelolaan Halimun
yang berbunyi “…jeulma anu salapan anu boga gunung Halimun dititipkeun ka jeulma tilu dititah ngarekasa sangga buana…”
yang artinya ada sembilan manusia
(komunitas) yang memiliki gunung
Halimun, dititipkan pada tiga orang
(komunitas) yang diperintah menjaga sangga
buana.
Adapun komunitas yang disebut
memiliki kawenangan di atas secara implisit
menunjuk pada komunitas yang ada didalam
dan sekitar kawasan Halimun, yakni
Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul
yang terdiri dari kasepuhan Citorek,
kasepuhan Ciptagelar, kasepuhan
Sirnaresmi, kasepuhan Cicarub, kasepuhan
Cisungsang, kasepuhan Urug, kasepuhan
Bayah, kasepuhan Cisitu, dan Masyarakat
Adat Baduy/Kanekes. Kemudian komunitas
yang ditugasi menjaga dan memeriksa
kondisi hutan diserahkan kepada Kasepuhan
Ciptagelar, Kasepuhan Urug dan Kasepuhan
Citorek.
Bagi komunitas ini, kawasan Halimun
adalah tempat hidup mereka, karena itu
harus dijaga kelestariannya demi menunjang
keberlangsungan hidup mereka. Bahkan
dalam lintasan sejarah, kasepuhan
Ciptagelar telah melakukan 14 kali
perpindahan kampung sebagai bagian dari
tradisi kepatuhan pada leluhur. Semua
perpindahan selalu berkisar di seputar
kawasan gunung Halimun, artinya
ketersediaan lahan untuk tempat berpindah
sangat penting bagi Masyarakat Adat
Kasepuhan Ciptagelar agar tradisi tesebut
dapat terus berlanjut. Karena tidak mungkin
mereka berpindah jika lahan tempat pindah
sudah dipenuhi kebun atau penduduk atau
tempatnya tidak boleh ditempati karena
sudah milik orang.
Namun saat ini, kawasan yang mereka
jaga ternyata sudah bukan milik Masyarakat
Adat Kasepuhan lagi seutuhnya.
Sebagaimana penjelasan awal di atas, saat
ini sudah banyak pihak yang memiliki
kekuasaan mengatur dan menguasai
kawasan Halimun. Berlandaskan hukum
nasional, saat ini Negara dan korporasi besar
telah menguasai sebagian besar kawasan
Adapun beberapa pihak-pihak yang
berhubungan dengan Masyarakat Adat
Kasepuhan di arena Halimun adalah sebagai
berikut.
a. Sebagai penanggung jawab konservasi
hutan alam, TNGH mengembangkan
Zonasi Hutan yang sesuai dengan
Kepmenhut No. 282/Kpts-II/1992.
Dengan menyatakan bahwa wilayah
TNGH secara geografis terletak di antara
60 37’ - 60 51’ LS dan 1060 21’- 1060 38
BT dengan luas 40.000 Ha yang tersebar
di Kab. Lebak seluas 14.487 Ha dan
25.513 Ha di Kab. Bogor dan Kab.
Sukabumi. Kemudian berdasarkan
Kepmenhut baru, No.175/Kpts-II/2003,
wilayah tersebut diperluas ke wilayah
Gunung Salak, sehingga menjadi
113.357 Ha dengan nama baru Taman
Nasional Gunung Halimun Salak
(TNGHS). Keberadaan TNGHS ini
bertujuan untuk menjaga kelestarian
kawasan ekosistem Halimun untuk
kepentingan hidup orang banyak. Karena
itulah kebijakan utamanya menjaga
hutan dari segala hal yang bisa merusak
hutan, termasuk upaya masyarakat
mencari nafkah di hutan.
b. Sebagai BUMN penghasil keuntungan
untuk Negara, Perum Perhutani Unit III
Jawa Barat mengembangkan industri
kehutanan yang menghasilkan produk
berupa barang dan jasa yang bermutu
tinggi dan menghasilkan keuntungan
banyak. Di kawasan ekosistem Halimun,
wilayah kerja dan produksi Perum
Perhutani terdiri dari Kesatuan
Pemangku Hutan (KPH) Bogor seluas
69.872 Ha, KPH Sukabumi seluas
83.166 Ha dan KPH Lebak seluas
63.478,59 Ha. Lahan tersebut berasal
dari asset nasionalisasi perkebunan VOC
oleh nagara. Dalam pengembangan
hutan produksi, awalnya perhutani
sangat tegas menindak masyarakat yang
masuk hutan mereka. Namun aktivitas
perhutani tersebut mendapat perlawanan
dari masyarakat. Menyikapi hal itu
perhutani mengembangkan program
Corporate Sosial Responsibility (CSR)-nya yang berupa sistem Pengelolaan
Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)
untuk kembali merangkul masyarakat
dalam menjaga dan menikmati hasil
hutan. Namun berdasarkan tinjauan RMI
(2004), sistem PHBM tersebut lebih
berupa pengembangan lanjutan dari
sistem culturestelsel dan preangerstelsel
zaman VOC. Hal tersebut ditunjukkan
Perhutani dengan membiarkan petani
menanam palawija (yang ditentukan
pohon pinus milik Perhutani, namun
masyarakat harus membayar sebagai
ganti sewa lahan.
c. Kegiatan usaha yang dilakukan PTPN
VIII meliputi pembudidayaan tanaman,
pengolahan/produksi, dan penjualan
komoditi perkebunan teh (26.703 Ha),
Karet (28.879 Ha), Kina (4.105 Ha),
kakao (4.478 Ha), Kelapa Sawit (5.056
Ha), dan Getah Percha (714 Ha). Lahan
yang digunakan berasal dari asset
perkebunan VOC yang di nasionalisasi
oleh Negara.
d. Pihak Korporasi Swasta diwakili oleh
PT. Nirmala Agung dan PT. Aneka
Tambang. Perkebunan Nirmala
merupakan perkebunan teh seluas
971,22 Ha. Berasal dari lahan garapan
perkebunan VOC yang dilanjutkan pihak
swasta. Sementara itu PT Aneka
Tambang merupakan perusahaan
penambang emas yang 65% sahamnya
dikuasai Negara dan selebihnya milik
swasta. Penambangan emas dilakukan di
Gunung Pongkor dengan luas area 4.058
Ha yang terletak di tiga desa (Bantar
Karet, Cisarua dan Malasari).
4. Telaah Konseptual
(disarikan dari buku Johan Iskandar,
2009)
4.1. Populasi Penduduk dan Pasokan
Pangan
Perdebatan mengenai persoalan ini
diawali pandangan model klasik Malthus
yang menjelaskan pola hubungan pasokan
pangan dan pertumbuhan penduduk. Dalam
bukunya, Essay On The Principle Of Population (1789) Malthus merumuskan bahwa dalam jangka panjang pertumbuhan
penduduk dibatasi oleh pasokan pangan.
Dalam hal ini, Malthus mengasumsikan
bahwa laju pertumbuhan pangan merupakan
variabel bebas yang mengikat laju
pertumbuhan penduduk. Malthus melihat
bahwa pertumbuhan manusia yang bersifat
eksponen menuntut bertambahnya
kebutuhan pangan. Sementara itu laju
pertumbuhan pangan yang linear hanya bisa
ditingkatkan dengan penambahan curahan
tenaga kerja di lahan. Namun hal tersebut
tidak akan berpengaruh besar terhadap
peningkatan pasokan pangan.
Hal lain yang ditakutkan Malthus adalah
ketidakmampuan manusia dalam mengatasi
gejala alam yang tidak bisa diprediksi dan
dihindari, seperti bencana alam contohnya.
Akibat dari hal tersebut menurut Malthus
akan menimbulkan wabah penyakit,
kelaparan, dan perang yang kemudian akan
pertumbuhan yang seimbang dengan
pertumbuhan pangan.
Atas dasar pemikiran seperti itu, Malthus
menyarankan suatu tindakan preventif.
Yaitu melakukan pengendalian jumlah
penduduk dengan patokan jumlah yang ideal
adalah jumlah penduduk yang dapat
ditampung suatu wilayah ketika wilayah
tersebut ditimpa bencana atau perang.
Namun Malthus mengesampingkan
kemampuan manusia dalam
mengembangkan sistem teknologi sebagai
cara bertahan hidup, dari sisi inilah Malthus
mendapat kritikan dari ilmuan lainnya.
Pendapat Malthus tersebut ditentang
oleh Boserup (1965) lewat tulisannya yang
dikenal dengan Model Kontra Malthus.
Boserup memiliki pandangan bahwa
pertumbuhan penduduk tidak bergantung
pada pertumbuhan pangan. Malah dengan
meningkatnya pertumbuhan penduduk maka
akan meningkatkan pertumbuhan pangan.
Karena penduduk akan merespon
meningkatnya kebutuhan pangan dengan
mengembangkan teknologi pertanian yang
ditunjukkan dengan perubahan menuju
intensifikasi tata guna lahan, perubahan
metoda kultivasi dan perubahan peralatan
pertanian. Perubahan teknologi tersebut
akan memicu kompleksnya organisasi sosial
ekonomi yang ada di dalam masyarakat
sebagai bentuk berbagi peran dan kerja.
Dalam pendapatnya, Boserup
menekankan kemampuan penduduk dalam
mengatasi keterbatasannya terhadap
penguasaan alam sebagai pemenuhan
kebutuhan hidup. Menurut Boserup,
meningkatnya populasi akan mendorong
semakin kompleksnya pengetahuan populasi
akan pemenuhan kebutuhan hidup.
Dalam hal ini, Boserup mencontohkan
perubahan yang terjadi pada masyarakat
ladang berpindah. Ketika populasi
meningkat, masa istirahat lahan yang
ditinggalkan masyarakat akan semakin
sebentar karena tuntutan pemenuhan
kebutuhan. Bahkan ketika populasi semakin
besar, akan terjadi perubahan dari ladang
berpindah menjadi ladang menetap dengan
pengembangan intensifikasi tata guna lahan
dan pengembangan alat-alat pertanian.
Secara eksplisit pandangan Boserup ini
menunjukkan bagaimana proses perubahan
suatu populasi masyarakat tradisional
menjadi populasi pengeksplotasi lahan yang
terorganisir.
Merespon Model Klasik Malthus dan
Model Kontra Malthus tersebut, Wilkinson
(1973) menyatakan pandangan yang
berbeda. Menurut Wilkinson pada umumnya
sumber daya alam secara berkelanjutan
tanpa eksploitasi. Masyarakat tradisional
biasanya mengembangkan nilai-nilai tradisi
yang berguna untuk menjaga keseimbangan
ekologi.
Nilai tradisi yang dibicarakan oleh
Wilkinson adalah upaya pengendalian
populasi dalam bentuk aborsi, pembunuhan
bayi dan pelarangan berhubungan badan
selama masa menyusui anak. Sejalan dengan
pandangannya, Wilkinson sepakat dengan
saran Malthus mengenai pengendalian
jumlah penduduk.
4.2. Model Ekspansi Statis dan Nilai
Kebudayan Masyarakat Petani di
Jawa
Diskusi para ahli diatas ternyata belum
bisa diaplikasikan sepenuhnya dalam
konteks kehidupan petani di pulau Jawa.
Penelitian Boeke (1974) menunjukkan
perkembangan masyarakat petani di Jawa
lebih bersifat sosial ketimbang ekonomi
sebagaimana pendapat Boserup.
Pada umumnya petani di Jawa dan
Madura bekerja di sawah bukan untuk
mencari keuntungan namun sekedar
mencukupi kebutuhan pangan keluarga. Jika
hasil panen sudah mencukupi kebutuhan
keluarga setahun, mereka sudah merasa
puas, tentram dan aman. Tujuan hidup
mereka bukan mencari harta namun
mencapai ketenangan dan kepuasan batin.
Nilai inilah yang disebut Boeke dengan
istilah limited needs atau oriental mysticism
yang tentunya bertentangan dengan nilai
hidup orang barat yang bersifat unlimited needs.
Namun ternyata persoalan tidak selesai
hanya dengan merasa cukup dari apa yang
ada. Sejalan dengan pertambahan penduduk
yang cepat, lahan menjadi habis terbagi
sebagai warisan ke anak cucu. Dengan
sistem nilai masyarakat pulau Jawa yang
mewariskan harta bagi seluruh anak dalam
keluarga, menyebabkan kepemilikan lahan
di setiap keluarga menjadi turun. Akibatnya
pendapatan mereka akan berkurang dan
menyebabkan kemiskinan.
Menurut Boeke, apabila kasus tesebut
terjadi pada orang Jawa yang berideologi
limited needs, maka respon mereka yaitu melakukan static expansion (memperluas daerah pertanian, namun tetap dengan
tingkat teknologi dan pembagian kerja
seperti semula).
Sebagian dari mereka akan membuka
lahan pertanian dan desa baru di hutan-hutan
sekitar desa yang lama. Di pemukiman
tersebut para petani sudah cukup puas jika
sudah mencapai tingkat kehidupan ekonomi
tua mereka. Pada suatu masa permukiman
baru ini berkembang makin padat dan
menimbulkan kemiskinan. Lantas, pola yang
sama akan berulang kembali (Marzali,2003).
4.3. Pengendalian Tekanan Penduduk
Untuk Menjaga Keseimbangan
Ekologi
Upaya pengendalian jumlah penduduk
merupakan salah satu respon adaptif
terhadap kondisi lingkungan. Sejalan dengan
konsep materialisme budaya milik Harris,
mode of reproduction sebagai salah satu unsur infrastruktur akan mempengaruhi
sistem organisasi sosial dan ideologi suatu
masyarakat.
Pada wilayah yang luas dan perlu
banyak tenaga untuk mengolahnya,
berkembanglah keyakinan banyak anak
banyak rezeki. Sementara pada lahan yang
tidak kondusif bagi pertumbuhan populasi
yang tinggi, maka pengendalian jumlah
penduduk adalah bentuk adaptasinya.
Pengendalian populasi ini penting
dilakukan agar lingkungan mereka tidak
rusak. Jika lingkungan rusak, maka
kehidupan mereka akan lebih terancam lagi
keberlangsungannya, karena dalam
pandangan materialisme budaya, manusia
tergantung pada alam.
Pada beragam masyarakat masalah
tekanan penduduk diatasi dengan berbagai
cara. Pada masyarakat pedalaman Dayak di
Kalimantan dan Nias di Sumatera Utara
dikembangkan semacam mitos adanya hantu
pemakan bayi. Mitos tersebut berguna untuk
menutupi pembunuhan bayi yang dilakukan
oleh orangtua mereka sendiri. Pembunuhan
bayi tersebut dilakukan agar tidak
membebani keluarga dan mengurangi
dampak kerusakan pada lingkungan.
Kemudian pada masyarakat Maring
Tsembaga yang berada di New Gunea Timur
juga melakukan upaya pengendalian tekanan
populasi. Masyarakat maring tsembaga
masih pada tahap perladangan berpindah,
Masalah yang dihadapi oleh masyarakat
ini adalah kesulitan untuk membuka lahan
untuk perluasan lahan pertanian dan
pemukiman namun mereka berdiam
menghuni suatu tempat yang dikelilingi oleh
hutan yang lebat. Ekpansi lahan sulit
dilakukan karena mereka dibatasi oleh hutan
dan lanskap yang bergunung-gunung.
Dalam kasus ini, masalah pengendalian
populasi sangat pnting bagi keseimbangan
relasi mereka dengan lingkungan. Untuk
menjaga hal tersebut, masyarakat Tsembaga
mengembangakan mekanisme peperangan
antar kelompok lokal agar populasi cepat
Masyarakat adat Baduy di Banten,
memiliki cara lain untuk menjaga
keseimbangan jumlah penduduk. Meski
mereka terbatas wilayahnya seperti halnya
masyarakat Tsembaga, namun mereka
mengembangkan sistem nilai yang berbeda.
Masyarakat Baduy mengembangkan
nilai adat yang ketat dalam mengatur
kehidupan masyarakatnya. Bagi anggota
masyarakat yang melanggar aturan, sangsi
terbesarnya adalah dikeluarkan dari teritori
Baduy Dalam (Iskandar, 2009). Hal tersebut
sangat bermanfaat mengatasi tekanan
penduduk.
Sementara pada Masyarakat Adat
Kampung Kuta di Ciamis, dikembangkan
sistem nilai yang menghalangi orang untuk
memiliki anak yang banyak, dan dikuti
berkembangnya sistem KB alami.
Pembatasan jumlah anak tersebut
mereka lakukan untuk mempertahankan
stabilitas jumlah penduduk yang sesuai
dengan daya dukung lingkungan mereka,
terkait dengan keterbatasan lahan hidup
mereka karena adanya hutan larangan.
Namun pada Masyarakat Adat
Kasepuhan Ciptagelar, nampaknya
mekanisme yang dikembangkan untuk
mengatasi tekanan penduduk terhadap daya
dukung lingkungan bukan dengan cara
membunuh bayi, membatasi kelahiran,
berperang ataupun mengusir orang keluar
kampung.
Masyarakat Adat Kasepuhan
mengembangkan sistem adat yang
memberikan kesempatan pada keluarga inti
dari struktur pimpinan untuk pindah ke
tempat baru yang lebih lapang dengan daya
dukung lingkungan yang baik ketika terjadi
tekanan penduduk di kampung yang lama.
Ketika berpindah, tidak semua penduduk
yang ikut berpindah, hanya keluarga inti dan
orang-orang pilihan saja yang wajib
bepindah, sementara masyarakat biasa
dibebaskan untuk ikut pindah atau tidak.
Karena itu, setiap perpindahan kampung
atau pusat pemerintahan, akan terjadi
pengurangan penduduk yang besar, dan hal
itu akan menjaga kestabilan relasi populasi
dengan lingkungan.
5. Temuan Penelitian
5.1. Pengetahuan Lokal Masyarakat Adat
Kasepuhan Ciptagelar Dalam Upaya
Menjaga Keseimbangan Ekosistem
Gunung Halimun
Pengetahuan lokal dimaknai sebagai
kebijaksanaan manusia yang bersandar pada
filosofi, nilai-nilai, etika dan cara-cara
berperilaku yang melembaga secara
tradisional (Geriya, 2009). Pengetahuan
bentuk, yaitu pengetahuan yang bersifat
pragmatis terhadap dunia alamiah/dunia
objektif yang sedang berlangsung, dan
pengetahuan supranatural menyangkut
nilai-nilai cultural/ dunia subjektif, yang
seringkali mempengaruhi atau memodifikasi
keninginan seseorang terhadap sesuatu
(Prasodjo). Pengetahuan lokal yang unik
biasanya disebut dengan kearifan lokal.
Berbeda dengan pengetahuan lokal,
sebagai sebuah istilah, kearifan lokal adalah
sebuah tema humaniora yang diajukan untuk
memulihkan peradaban dari krisis
modernitas. Ia diunggulkan sebagai
“pengetahuan” yang “benar” ketika
berhadapan dengan “saintisme” modern.
Sains modern menganggap unsur “nilai”
dan “moralitas” sebagai unsur yang tidak
relevan untuk memahami ilmu pengetahuan.
Bagi “sains”, hanya fakta-fakta yang dapat
diukurlah yang boleh dijadikan dasar
penyusunan pengetahuan. Kearifan Lokal
adalah “Hujjah” (argumen) untuk
mengembalikan “nilai” dan “moralitas”
sebagai pokok pengetahuan (Rahmawati,
2008).
Dalam konteks ini, pengetahuan lokal
adalah pengetahuan yang erat hubungannya
dengan aspek pengelolaan sumber daya
alam dan mata pencaharian. Secara
konseptual, Berkes (1995) mengemukakan
bahwa pengetahuan lokal dalam aspek
ekologis dan dalam sistem nafkah, sangat
penting peranannya pada konservasi
keragaman hayati.
Berkes melihat kekuatan utama sistem
pengetahuan lokal dalam aspek ini adalah
(1) menjadi kunci penting konservasi dari
kesadaran dalam diri, (2) sistem
pengetahuan akumulatif dari pola adaptasi
ekologis yang berlangsung lama, dan (3)
sangat membantu untuk mendesain upaya
konservasi yang efektif.
Pada Masyarakat Adat Kasepuhan
Ciptagelar, bentuk-bentuk pengetahuan
pragmatis didasarkan pada sistem
kepercayaan yang merupakan bentuk
pengetahuan supranatural. Masyarakat Adat
Kasepuhan Ciptagelar memiliki beberapa
pengetahuan utama yang saling berkaitan.
Pengetahuan tersebut terutama yang
berhubungan langsung dengan masalah
pertanian. Seperti contohnya berladang
hanya sekali dalam setahun, tidak
menggunakan teknologi pertanian modern
pada pertanian, tidak menjual padi hasil
panen, sistem penyimpanan padi di leuit,
serta pelaksanaan ritual ungkapan
terimakasih kepada Dewi Sri.
Kemudian bentuk pengetahuan lain
adalah berupa pembagian hutan kawasan
adalah hutan larangan yang sama sekali
tidak boleh diganggu, kemudian hutan
titipan yang boleh diakses seijin leluhur, dan
yang terakhir hutan sempalan yang boleh
digarap untuk pemenuhan kebutuhan hidup
masyarakat.
Pengetahuan lain yang menarik dari
Masyarakat Adat Kasepuhan adalah tradisi
berpindah kampung dan lahan garapan yang
telah belasan kali dilakukan Masyarakat
Adat Kasepuhan sejak berdirinya 600-an
tahun silam.
Dalam kerangka materialisme budaya,
Harris, pengetahuan yang dikembangkan
Masyarakat Adat Kasepuhan merupakan
bentuk adaptif dalam upaya menjaga
keseimbangan lingkungan.
Masyarakat yang berada di kaki gunung
tentu bergantung terhadap keseimbangan
ekosistem gunung yang memberikan air dan
lahan yang subur bagi pertanian mereka.
Terjaganya kelestarian alam adalah
prasyarat berlanjutnya usaha pertanian.
Sebagai masyarakat petani, kehidupan
bertani sangat penting artinya bagi mereka,
karena disanalah fungsi subsisten pertanian
untuk kehidupan mereka.
Karena itu perlu adanya kesadaran akan
penjagaan kelestarian lingkungan yang
terlembaga dalam organisasi sosial
kemasyarakatan berikut dengan sistem
kepercayaan yang akan mempertegasnya.
Pengetahuan Masyarakat Adat
Kasepuhan mengenai pertanian tradisional
dan pengelolaan dan penjagaan sumber daya
hutan memang telah terbukti kebenaran dan
manfaatnya. Terbukti, hingga saat ini
Masyarakat Adat Kasepuhan tidak pernah
mengalami kekurangan pangan, karena
kesuburan tanah yang selalu terjaga
memberikan hasil panen yang melimpah.
Bahkan kemungkinan terjadinya musim
peceklik telah diantisipasi dengan
keberadaan leuit yang mempu menyimpan
padi hingga bertahan beberapa tahun.
Dengan penjagaan hutan, air berlimpah
dapat mereka nikmati. Tidak hanya sekedar
untuk minum, mandi, mencuci dan mengairi
sawah saja, saat ini ketersediaan air tersebut
bahkan telah menjadi sumber daya
pembangkit listrik tenaga air milik
Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar.
Karena itulah pengetahuan tersebut bahkan
diakui sebagai suatu kearifan lokal
Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptagelar
yang didukung dan diapresiasi oleh berbagai
pihak. Karena dengan pengetahuan tersebut,
ekosistem Halimun tetap terjaga dan
masyarakatpun menikmati manfaatnya.
Namun tidak semua pengetahuan
apresiasi baik. Salah satu pengetahuan
Masyarakat Adat Kasepuhan yang masih
diperdebatkan hingga kini adalah tradisi
berpindah kampung gede beserta lahan
garapannya. Tradisi ini memancing
persoalan karena menurut beberapa pihak
terkait dengan pembukaan lahan hutan
lindung dan masalah status kepemilikan
lahan.
5.2. Tradisi Berpindah Sebagai
Mekanisme Pengendalian Tekanan
Populasi
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada
pembahasan sebelumnya, dari sisi pandang
materialisme budaya, tradisi berpindah ini
erat kaitannya dengan upaya pengendalian
tekanan populasi. Hal tersebut terkait
dengan daya dukung lingkungan yang terus
menurun.
Daya dukung lingkungan tersebut
dimaksudkan sebagai total maksimum
populasi manusia yang dapat didukung oleh
suatu lingkungan tertentu secara tak terbatas
tanpa mengakibatkan degradasi lingkungan
(Iskandar, 2009). Berdasarkan teori tersebut
dapat dikatakan bahwa : “Jika populasi tumbuh lebih cepat dari kemampuan bumi dan lingkungan untuk memperbaiki sumber daya maka kemampuan bumi akan
terlampaui dan berimbas pada kualitas hidup manusia yang rendah”.
Sejalan dengan teori tersebut, tradisi
berpindah ini dilakukan untuk menghindari
penurunan kualitas hidup Masyarakat Adat
Kasepuhan yang kemudian akan berimbas
pada terganggunya tatanan adat istiadat yang
selalu mereka jaga.
Sebagaimana yang dijelaskan Prof.
Kusnaka Adimiharja dalam bukunya
(Kasepuhan yang tumbuh di atas yang luruh, 1992), hingga tahun 1983 Masyarakat Adat Kasepuhan telah menjalani 13 kali
perpindahan kampung gede beserta ladang.
Ditambah dengan perpindahan terakhir di
tahun 2001, maka saat ini total sudah 14 kali
perpindahan.
Dalam kepercayaan Masyarakat Adat
Kasepuhan, perpindahan tersebut murni
datang sebagai perintah dari leluhur yang
datang sebagai wangsit pada sesepuh girang.
Jika sudah mendapat wangsit, mau tidak
mau mereka harus berpindah pada lokasi
yang telah ditentukan.
Alasan berpindah tidak pernah
dijelaskan secara gamblang, karena
semuanya hanya berpatokan pada wangsit
yang diterima sesepuh girang. Namun
menurut beberapa baris kolot yang menjadi
informan, perpindahan tersebut merupakan
pengaruh perubahan yang sedang terjadi di
dalam masyarakat serta dari pengaruh
tekanan dunia luar.
Karena masyarakat yang terus
berkembang, beragam hal baru muncul baik
itu dari pengaruh warga kasepuhan yang
merantau lalu pulang dengan membawa
kebudayaan luar dan juga dari perilaku
pendatang yang ditiru masyarakat. Pada
masyarakat yang terus berkembang seperti
itu, kondisi sudah tidak tenang lagi, karena
itu perpindahan adalah suatu mekanisme
agar tatanan adat tetap terjaga.
Namun ada juga informasi yang
menguatkan perihal wangsit yang diterima
sesepuh girang benar adanya karena hal itu
pertanda dari leluhur terkait dengan suatu
kepercayaan mereka yang disebut “uga”.
Menurut kepercayaan mereka “uga”
mengungkapkan bahwa suatu waktu, sejalan
dengan janji karuhun, kasepuhan akan
pindah suatu tempat yang makmur yang
mereka sebut dengan “lebak cawene” yang
berarti “lembah perawan”. Jika kasepuhan
sudah mewujudkan janji karuhunnya, maka
pelabuhan ratu akan menjadi sebuah kota
yang ramai dikunjungi orang dari berbagai
belahan dunia (Adimiharja, 1992).
Sekiranya cerita inilah yang masih
diyakini oleh sebagian besar Masyarakat
Adat Kasepuhan, sehingga mereka menjadi
tunduk dan taat ketika wangsit berpindah
diterima oleh sesepuh girang, karena mereka
menganggapnya adalah bagian dari petunjuk
menuju “lebak cawene”.
Akan tetapi berdasarkan adat istiadat
Masyarakat Adat Kasepuhan, yang wajib
berpindah hanyalah keluarga dari sesepuh
girang bersama para pegawainya.
Masyarakat biasa tidak diwajibkan untuk
pindah kecuali yang sengaja mendapat titah
dari sespuh girang untuk ikut serta.
Meski demikian, biasanya banyak juga
masyarakat biasa yang ikut pindah menuju
kampong yang baru. Namun, yang pastinya
setiap perpindahan akan selalu
meninggalkan masyarakat di kampung lama,
dan masyarakat tersebut terus berkembang
hingga saat ini. Karena itulah kebanyakan
desa-desa yang berkembang di sekitaran
kawasan Halimun dulunya adalah bekas
kampung gede.
Selain itu ada juga informan yang
menjelaskan prakondisi sebelum berpindah
biasanya karena terjadinya kepadatan
penduduk. Adat waris yang memberikan
waris tanah pada semua anak menyebabkan
berkurangnya pendapatan tiap keluarga.
Jika lahannya cukup luas, maka bertani
sekali satahun juga cukup, namun jika
lahannya sudah sempit, maka akan susah
setahun. Namun masih ada sistem
pinjam-meminjam padi pada tetangga ataupun leuit
gede, sehingga sangat membantu
pemenuhan kebutuhan pangan bagi keluarga
yang kurang mampu.
Atas dasar informasi yang didapatkan di
atas, pendekatan materialism budaya dapat
dipergunakan mengkaji hakikat perpnidahan
tersebut sebagai wujud upaya mengatasi
tekanan populasi. Ketika tekanan populasi
dan pengaruh luar mulai menggangu,
kebijakan untuk berpindah datang. Dengan
beberapa alasan logis karena tidak mungkin
mencukupi kebutuhan dengan sumber daya
dan pola produksi yang terbatas.
Membiarkan masalah tersebut berlanjut
sama artinya membiarkan terancamnya
keberlangsungan tatanan adat Kasepuhan
Ciptagelar, karena dengan kondisi seperti itu
control kaum elit kasepuhan terhadap
masyarakat akan semakin lemah dan
nantinya bisa berujung pada penurunan nilai
tatanan adat.
Karena adat mereka dalam cara bertani
tidak mau dirubah, sementara mereka juga
tidak mengembangkan sistem pengendalian
reproduksi dengan semacam KB alami. Jika
pada kondisi seperti itu terjadi masalah
tekabab penduduk, maka langkah tepat yang
diambil adalah berpindah. Mencari tempat
baru yang lebih lapang dan subur, dan
kembali menikmati masa-masa tenang dan
kepuasan atas hasil yang didapat dengan
cara produksi yang masih sama dengan yang
dulu.
Hampir serupa dengan ekspansi statis
seperti yang dikemukan oleh Boeke.
Polanya hampir sama, tekanan penduduk,
kemiskinan, pembukaan lahan baru, mode of production yang tidak berubah, kepuasaan dengan hasil yang pas-pasan, pertumbuhan
populasi, pewarisan tanah yang
memiskinkan, dan polanya kembali
berulang.
6. Tradisi berpindah, masih
mungkinkah?
Sebagaimana yang dijelaskan diatas,
perpindahan terus menerus yang dilakukan
Masyarakat Adat Kasepuhan di dasari
keyakinan mereka atas pencarian “lebak
Cawene” sesuai janji leluhur. Karena itulah
perpindahan tersebut berkisar di kawasan
gunung Halimun, berpindah dari satu sisi ke
sisi yang lainnya namun tetap berada di
kawasan gunung Halimun. Entah “lebak
cawene” sudah ditemukan atau belum,
namun berdasar informasi dari almarhum
Abah Anom dalam sebuah laporan
perjalanan (dweepitt.multiply.com/
journal/item/8) ”jika melihat perjalanan
tahun 2040 warga adatnya itu masih akan
terus berpindah tempat. Tetapi, pindahnya
ke mana Abah sendiri belum tahu," ungkap
Abah Anom. Melihat fenomena seperti itu,
wajar kiranya kita bertanya dimanakah
sebenarnya akan ditemukan “lebak cawene”
tersebut?. Sedangkan menurut informasi
yang diterima Prof. Kusnaka dari tokoh adat
di berbagai wilayah kasepuhan, lebak
cawene kasepuhan Ciptagelar terletak pada
suatu tempat di lembah gunung Ciawitali
(1530 m).
Gambar.2 Pola Perpindahan Kasepuhan
Cipategelar
Sumber peta : www.tnhalimun. go.id, Sumber pola
berpindah : Adimiharja, 1992.
Jika benar lebak cawene memang di
sana, maka akan menjadi sulit bagi
Masyarakat Adat Kasepuhan untuk
mencapainya, karena selain wilayah gunung
tersebut masuk dalam zonasi hutan primer
yang dilindungi, wilayah tersebut juga
masuk dalam area kelola Perum Perhutani
unit III Jawa Barat dan wilayah Taman
Nasional Gunung Halimun (TNGH).
Hal ini tentu menjadi persoalan bagi
banyak pihak yang memiliki status
kepemilikan atau penguasaan terhadap
lahan-lahan di kawasan Halimun tersebut.
Perpindahan tersebut dinilai mengganggu
kawasan yang menjadi zonasi hutan lindung
atau lahan garapan milik pihak tertentu.
Karena pada kenyataannya, konsep zonasi
hutan yang dimiliki Masyarakat Adat
Kasepuhan berbeda dengan konsep zonasi
hutan yang dibuat pemerintah.
Oleh karena itu terjadi permasalahan
ketika Masyarakat Adat Kasepuhan melihat
kawasan tersebut adalah hutan sempalan
yang boleh digarap, sementara itu pihak
pemerintah menetapkan wilayah tersebut
sebagai hutan yang tidak boleh diganggu.
Jika persoalan sudah seperti ini masih
mungkinkah Masyarakat Adat Kasepuhan
tetap menjalankan tradisi berpindah
tersebut?.
7. Catatan Penting Untuk Ke Depan
Melihat situasi seperti ini, dengan
banyaknya hak kepemilikan dan pengelolaan
membuat ruang gerak bagi perpindahan
Masyarakat Adat Kasepuhan menjadi
semakin terbatas. Hal tersebut jika tidak
ditindaklanjuti dengan bijaksana, tentu akan
banyak persoalan yang muncul dikemudian
hari.
Pihak Negara dan korporasi tentu tidak
ingin wilayah hutan yang penting bagi
mereka terancam akan “digarap”
Masyarakat Adat Kasepuhan, sedangkan
Masyarakat Adat Kasepuhan akan bingung
jika nanti pindah lagi akan kemana arahnya
karena sebagian besar lahan sudah dikuasai
orang.
Mungkin merubah aturan pemerintah
tidaklah mudah, oleh karena itu penting
adanya semacam refleksi bagi Masyarakat
Adat Kasepuhan Ciptagelar dalam upaya
penyesuaian terhadap masalah yang mereka
hadapi ini.
Seperti yang dijelaskan di atas, tradisi
berpindah sebagai fungsi pengendalian
populasi sangat penting bagi
keberlangsungan tatanan adat Masyarakat
Adat Kasepuhan. Dalam pandangan klasik
Malthus, jika mereka diam pada suatu
tempat dengan populasi yang terus
bertambah, sementara produksi mereka tetap
segitu saja tentu akan muncul masalah yang
mempengaruhi keberlangsungan tatanan
adat.
Namun sesuai dengan saran Malthus,
jika Masyarakat Adat Kasepuhan mau
bertindak preventif, maka sebaiknya
diupayakan pengendalian jumlah kelahiran
bayi yang ketat, demi pertumbuhan
penduduk menjadi rendah bahkan nol.
Sehingga Masyarakat Adat Kasepuhan
Ciptagelar tetap bisa bertahan tanpa takut
akan tekanan penduduk.
Sementara itu dalam pandangan Boserup
yang dikoreksi Boeke jika Masyarakat Adat
Kasepuhan tidak bisa pindah lagi dengan
penduduk yang dibiarkan tetap bertambah,
tentunya perlu upaya adaptasi menyangkut
pengembangan teknologi dan organisasi
sosial-ekonomi yang mampu meningkatkan
produksi pertanian mereka yang sebaiknya
dikembangkan dari sistem nilai yang mereka
punya sehingga lebih menuju arah evolusi.
Seperti keyakinan Boserup akan
kemampuan manusia untuk beradaptasi
dengan kondisi lingkungan dengan
pengembangan teknologi, begitu juga
Masyarakat Adat Kasepuhan pasti mampu
mengembangkan sistem teknologi dan
organisasi sosial-ekonomi yang mampu
menyokong hidup mereka tanpa merubah
ataupun meninggalkan nilai tradisi yang
sudah mereka pegang sejak lama.
Para pihak pemangku kepentingan dalam
perlu memikirkan baik-baik solusi yang
tepat. Dimana pihak pemerintah dan
korporasi hendaknya mementingkan
keberadaan dan keberlanjutan hidup
Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptgelar.
Selain itu upaya-upaya pembangunan yang
dilakukan pemerintah sebaiknya
menghindarkan pola yang berpusat dari
kebijakan di atas. Karena hal tersebut
tentunya akan memberikan pengaruh besar
terhadap pergesaran nilai dan pengetahuan
local milik masyarakat kasepuhan. Lebih
tepat menawarkan pembangunan yang
bersumber dari kebijakan dan pengetahuan
yang dimiliki oleh masyarakat sendiri. Agar
ke depannya sistem pengetahuan mereka
dapat tetap terjaga dan semakin berdaya
guna sebagai fungsi adaptasi dengan kondisi
lingkungannya.
Kemudian tentunya akan lebih bijak
untuk semua pihak yang berkepentingan
agar saling bekerjasama untuk menghasilkan
kesepakatan. Sehingga pengelolaan dan
penjagaan yang dilakukan dapat menjamin
keberlanjutan fungsi kawasan ekosistem
Halimun beserta keberlanjutan Masyarakat
Adat Kasepuhan yang ada di dalamnya.
Ucapan terimakasih kami sampaikan
kepada:
- Masyarakat Adat Kasepuhan
Ciptagelar yang telah menerima
kami dengan sangat baik sekali serta
telah bersedia berbagi
pengetahuannya kepada kami.
- Jurusan Antropologi Fisip Unpad
yang telah memberikan fasilitas
kepada kami sehingga dapat
menjalankan kuliah lapangan ini
dengan baik.
- Tim Dosen pengampu mata kuliah
Antropologi Ekologi yang telah
mencurakan pikiran waktu dan
tenaganya untuk memberikan
pengetahuan kepada kami.
- Teman-teman sejawat mahasiswa
Jurusan Antropologi Fisip Unpad
yang mengambil mata kuliah
Antropologi Ekologi, terima kasih
Referensi
Buku :
Adimihardja, Kusnaka.(1992).Kasepuhan yang tumbuh di atas yang luruh : pengelolaan lingkungan secara tradisional di
kawasan Gunung Halimun Jawa Barat.,
Bandung : Tarsito
Hanafi, Imam, dkk. (2004). Nyoreang Alam Ka Tukang Nyawang Anu Bakal Datang: Penelusuran Pergulatan di Kawasan Halimun, Jawa Barat-Banten. Bogor : RMI.
Iskandar, J. (2009). Ekologi Manusia dan Pembangunan Berkelanjutan. Bandung: Program Studi Magsiter Ilmu
Lingkungan Universitas Padjadjaran.
Jurnal :
Rita Rahmawati et.al. (2008). Pengetahuan Lokal Masyarakat Kasepuhan :
Dinamika,konflik dan Adaptasi Sosio-Ekologis. Sodality : Jurnal Transdisplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia , 02, 151-190.
Media Elektronik :
Anonim.(2006). Ciptagelar di Gunung Halimun. Dipetik pada tanggal 20 Mei 2001 dari www.dweepitt.multiply.com.
Anonim.(2008).Dilema, mengamankan hutan konservasi TNGHS di Sukabumi.Dipetik pada tanggal 20 Mei 2011 dari
www.tnhalimun.go.id
Anonim. (2008). Masyarakat Lokal. Dipetik pada tanggal 20 Mei 2011 dari
www.tnhalimun.go.id
Anonim.(2009). Keadaan umun wilayah penelitian. Dipetik pada tanggal 20 Mei 2011 dari www.repository.ipb.ac.id.
Anonim. (2010). Ciptagelar Senada Alam.
Dipetik pada tanggal 20 Mei 2011 dari www.ciptagelar.org
Gun.(2008). Kampung Ciptagelar. Dipetik pada tanggal 20 Mei 2011 dari
www.forumbebas.com
Suhartini.(2009). Materi seminar nasional MIPA :Tantangan Kearifan Lokal. Dipetik pada tanggal 20 Mei 2011 dari