• Tidak ada hasil yang ditemukan

REALITAS KASUS MAGDALENES LAUNDRY DI IRL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "REALITAS KASUS MAGDALENES LAUNDRY DI IRL"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

REALITAS KASUS MAGDALENE’S LAUNDRY DI IRLANDIA: RENTETAN PELANGGARAN HAM DENGAN DALIH PERLINDUNGAN

Disusun sebagai Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Pengantar Studi Hak Asasi Manusia

Dosen Pengampu : Dr. Dafri agussalim, MA Randy W. Nandyatama, SIP, Msc.

Ester Margaretha

13/350078/SP/25923

Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

(2)

"It is not easy to stand outside the mainstream and to continue to press for the truth, but we know

this is the way in which human rights defenders undertake their work in every country around

the world."— Dr. Maurice Manning, President, Irish Human Rights Commission

Manusia dan segala interaksi dengan sesamanya telah menjadi realitas tak terhindarkan

yang kadang saling bersinggungan bahkan bergesekan. Interaksi yang ada kemudian saling

membentuk konstelasinya tersendiri, menciptakan seperangkat aturan dan norma-norma yang

diharapkan dapat menjaga keteraturan dan tatanan yang ada. Berbagai batasan dirumuskan dan

ditetapkan oleh tiap-tiap kelompok, sehingga tak elak menimbulkan kesadaran akan kebebasan

dan persamaan terhadap individu dari manusia itu sendiri.

Jauh sebelum konsep aturan atau hukum internasional dicanangkan, ide mengenai hak

asasi manusia telah muncul sejak tahun 539 SM, Cyrus the Great. Setelah menaklukan kota

Babilonia, ia melakukan tindakan yang tidak terduga dimana ia membebaskan seluruh budak

untuk kembali ke rumah mereka masing-masing. Ia juga membebaskan rakyatnya dalam memilih

agama mereka masing-masing. The Cyrus Cylinder, catatan dari tanah liat yang memuat

pernyataannya tersebut merupakan deklarasi hak asasi manusia pertama dalam sejarah.

Pada perkembangannya, hak asasi manusia semakin meningkatkan kesadaran dan

perhatian dari masyarakat internasional mulai dari The Magna Charta (1215), The Petition of

Right (1628), dan berbagai dokumen internasional lainnya. Hingga kemudian terbentuklah

konsensus bersama, dokumen pertama yang mengidentifikasi 30 hak asasi yaitu The Universal

Declaration of Human Rights (1948).1 Kepekaan masyarakat internasional dalam melihat

signifikansi dari penegakan hak asasi itu sendiri ditindak lanjuti dengan berbagai kovenan

maupun konvensi yang memuat lebih mendetail mengenai individu maupun tindakan tertentu.

Terkait dengan individu dan tindakan tertentu, perempuan dan anak merupakan objek

pelanggaran HAM yang kerap ditemui dalam realitas sosial masyarakat. Kedua golongan ini

seringkali mengalami penyiksaan, pelecehan seksual, dan berbagai tindakan pelanggaran lainnya.

Berbagai kasus baik dalam lingkup domestik maupun internasional terkait pelanggaran tersebut

menunjukkan betapa rentannya kedua golongan tersebut. Salah satu kasus yang memiliki

1 Anonim, “A Look at the Background of Human Rights”, Youth For Human Rights,

(3)

signifikansi erat terkait pelanggaran tersebut yakni kasus Magdalene’s Laundry pada tahun 1993

di Irlandia. Di era abad pertengahan tersebut, stigma mengenai sikap dan pergaulan perempuan

sangatlah rentan sehingga menjadikan mereka seringkali dikeluarkan dari rumah, dikucilkan,

hingga diabaikan oleh keluarga mereka sendiri. Hal ini menjadikan Magdalene’s Laundry

sebagai pilihan yang terasa lebih baik dibandingkan mereka harus hidup di jalanan.2

Magdalene’s Laundry sendiri merupakan institusi yang terdapat di berbagai belahan

dunia yang muncul dan berkembang sekitar abad ke-18 hingga abad ke-20 pertama kali di

Irlandia. Institusi ini mengambil nama dari tokoh alkitab atau injil kristiani, Maria Magdalena,

seorang pelaku prostitusi yang bertobat dan melakukan pembaharuan spiritual. Pada awalnya,

institusi ini dijalankan oleh masyarakat awam dimana tidak dibawahi oleh Katolik. Namun,

Katolik sendiri memang berperan besar dalam perkembangannya3. Selain itu, dinamakan laundry

atau binatu karena pada era tersebut industri binatu merupakan industri yang dapat menarik masa

atau lapangan kerja dalam jumlah banyak. Kontrak terhadap pihak atau kelompok tertentu juga

sangat intensif dan mudah untuk dilakukan.

Institusi yang ditemukan oleh Lady Arabella Denny ini diharapkan dapat menjadi suatu

gerakan untuk menyelamatkan dan menyediakan suatu pekerjaan alternatif bagi para pelaku

prostitusi. Hal ini disebabkan oleh latar belakang mereka yang sangat dianggap tabu saat itu dan

menjadikan mereka kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak.4 Benar saja, institusi

Magdalene’s Laundry yang pertama ditemukan sekitar akhir 1758 di Whitechapel, Inggris ini

dianggap berhasil. Institusi dengan istilah Magdalene’s Asylum ini juga kemudian menginspirasi

Irlandia untuk turut mendirikan institusi serupa pada tahun 1767. Selain itu di Amerika Serikat

juga terdapat insitusi yang lagi-lagi serupa yaitu Magdalen Society of Philadelphia, ditemukan

pada tahun 1800. Adapun kota-kota di Amerika Utara seperti New York, Boston, Chicago, dan

Toronto dengan segera mengikuti tindakan Philadelphia tersebut dan membuka fasilitas

Magdalena untuk para parempuan yang telah “jatuh” atau berdosa.

2 Violet Veng, ”Magdalene Laundry”, Sunday Morning, 8 Agustus 2013,

http://www.cbsnews.com/news/the-magdalene-laundry/ (diakses tanggal 2 Juli 2014).

3 James M. Smith, Ireland’s Magdalen Laundries and the Nation’s Architecture of Containment

(4)

Institusi yang juga merupakan tempat rehabilitasi para pelaku prostitusi ini kemudian

meluas perananannya kepada para ibu yang tidak menikah dan remaja perempuan yang bagi

gereja dianggap suka memberontak5. Selain itu anak perempuan yang terkait atau terlibat dalam pelecehan seksual, memiliki pergaulan terlalu terbuka, bahkan hanya berpotensi menimbulkan

nafsu seperti terlalu cantik juga pun dapat untuk dikirimkan ke insitusi ini.6

Sebelum tahun 1900 sendiri, diperkirakan terdapat 40% sukarelawan yang menjadi

penghuni dan masuk dalam institusi ini dengan fleksibilitas untuk keluar-masuk insitusi. Namun

di akhir abad, beberapa pihak menganjurkan untuk memperpanjang periode penetapan para

penghuni institusi tersebut. Pada dasarnya para perempuan maupun anak perempuan ini

digolongkan dalam dua kelompok yaitu para wanita yang telah “jatuh” yaitu mantan pelaku

prostitusi dan juga para perempuan atau anak perempuan yang memasuki tempat tersebut sebagai

tindakan preventif. Mereka, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kira-kira mengalami

krisis moral.7

Kemudian, para penghuni Magdalene’s Laundry pada dasarnya wajib mengikuti

beberapa peraturan yang berlaku. Salah salah satu yang cukup ekstrim adalah dimana mereka

hingga akhir hidupnya tinggal di tempat tersebut dan mengambil sumpah agama. Magdalene’s

Laundry dalam perspektif masyarakat di era tersebut boleh dikatakan dianggap sebagai tempat

penebusan dan pemurnian dosa. Namun demikian dalam pelaksanaannya, ternyata sangat

berbanding jauh dari ekspektasi yang diharapkan.

Terdapat berbagai penyimpangan yang terjadi dalam institusi yang dioperasikan oleh

empat ordo Katolik ini. Pengurusnya yaitu para biarawati ini telah melakukan berbagai bentuk

pelanggaran HAM terhadap lebih dari 10.000 perempuan dan anak perempuan sejak tahun 1922

hingga 1996. Mereka adalah orang-orang yang dianggap menyusahkan oleh keluarga, sekolah,

hingga negara dan telah menghabiskan waktu kira-kira enam bulan hingga setahun, terkunci

5 Violet Veng, ”Magdalene Laundry”, Sunday Morning, 8 Agustus 2013,

http://www.cbsnews.com/news/the-magdalene-laundry/ (diakses tanggal 2 Juli 2014).

6 Anonim, Documenting our Heritage: The Magdalen Asylum Co.Cork”, Abandoned Ireland,

http://www.abandonedireland.com/mc.html (diakses tanggal 2 Juli 2014).

(5)

dalam insitusi ini dan harus melakukan pekerjaan manual tanpa digaji. Sebagian di antara mereka

bahkan terus berada di sana selama bertahun-tahun tanpa mereka inginkan.

Magdalene’s Laundry telah menjadi suatu mekanisme dimana masyarakat, perintah

agama dan bahkan negara untuk menyingkirkan orang-orang yang dianggap tidak dapat

menyesuaikan diri dan tidak lagi menjalankan suatu budaya yang “kudus” atau “suci” yang

seharusnya menjadi bagian daripada identitas orang Irlandia itu sendiri. Dikenal dan dicap

sebagai wanita yang telah “jatuh” dan penuh dosa, para penghuni atau pekerja ini diperbolehkan

untuk meninggalkan institusi tersebut hanya jika terdapat anggota keluarga yang mau

mengeluarkan mereka atau biarawati sebagai pengurus institusi tersebut menemukan pekerjaan

dan posisi yang tepat bagi mereka. Apabila mereka mencoba kabur dan keluar dari perbatasan

area institusi tersebut, mereka akan dibawa kembali oleh para polisi Irlandia.8

Sayangnya, persayaratan tersebut sangatlah sulit dipenuhi. Dimana diketahui bahwa

ternyata identitas dari para penghuni ini sendiri telah diganti oleh para biarawati.9 Hal ini

tentunya sangat menyulitkan keluarga yang bersangkutan yang ingin menemukan mereka. Selain

itu, janji para biarawati untuk menemukan dan memberikan pekerjaan dan posisi yang tepat dan

layak juga sulit untuk terpenuhi. Laporan mengejutkan lainnya adalah ternyata terdapat

keterlibatan negara terkait kasus ini. Magdalene’s Laundry yang sebelumnya telah diungkapkan

dimana banyak para penghuninya yang telah menghabiskan bertahun-tahun lamanya terkunci

dalam institusi ini, nyatanya menjadi penghuni karena rekomendasi pemerintah. Laporan yang

diungkapkan Time menyatakan bahwa terdapat 2.124 perempuan (26.5%) dari 10.012 yang

diakui dari 1922 hingga 1996 telah ditunjuk negara untuk menjadi bagian penghuni dari institusi

tersebut. Meskipun demikian, para pemerintah Irlandia telah menyangkal bahwa negara turut

campur dalam mengirimkan para wanita ke Magdalene’s Laundry.

Laporan tersebut juga menemukan bahwa dalam institusi tersebut penghuni termuda

adalah anak perempuan berusia 9 tahun dan penghuni tertua adalah seorang wanita tua berusia 89

8 Dylan Matthews, “How Mid Century Ireland Dealt with Unwed Mothers and Their Children”, Vox, 5 Juli 2014, http://www.vox.com/2014/6/5/5779902/how-mid-century-ireland-dealt-with-unwed-mothers-and-their-children (diakses tanggal 2 Juli 2014).

9 Jerome Elan, “Sinead O’Connor Reveals Her Abuse Catholic Magdalan”, The Washington Times

(6)

tahun. Selain itu, hampir 900 wanita meninggal ketika bekerja di binatu tersebut, dimana yang

termuda adalah seorang remaja perempuan berumur 15 tahun. Penemuan ini tersebut

menunjukkan bagaimana keadaan tersebut sangat berdampak pada kondisi psikologis mereka

yang pastinya traumatis dan bertahan lama.10

Penyiksaaan fisik, seksual, dan emosional sangat mudah ditemukan dalam institusi ini.

Salah satu korban yang selamat mengungkapkan tindakan pemerintah setelah ia mengalami

pelecehan seksual berupa pemerkosaan. Ibunya kemudian menelepon polisi dan melaporkan

tindak pemerkosaan tersebut, namun polisi justru datang dan menangkap anak perempuan

tersebut. Lebih jauh, hakim justru menganggap hal tersebut sebagai kesalahannya sendiri dan

menghukum dia untuk menjadi buruh kasar dalam Magdalene’s Laundry.

Para korban penghuni Magdalene’s Laundry dipaksa untuk bekerja dalam waktu yang

lama dan selama berjam-jam harus menahan diri untuk diam dalam hening. Hukuman yang

diberikan pula tidak tanggung-tanggung, seperti berbagai pukulan keras dan berat dan juga

dikunci di toilet selama berhari-hari. Penyerangan seksual bahkan menjadi suatu kejadian rutin di

lembaga ini dimana ketika mereka mencoba melakukan perlawanan malah mengakibatkan

hukuman yang lebih kejam11. Dalam bukunya yang berjudul The Origins of the Magdalene

Laundry, Rebecca Lea McCarthy menjabarkan bagaimana kovenan Magdalena ini justru

menyebar di berbagai penjuru Eropa dan ditransisikan dari tempat perlindungan yang seolah

penuh harapan menjadi penjara penuh keputusasaan.12

Akhirnya pada tahun 1993, salah satu insitutusi Magdalene’s Laundry terbesar di Irlandia

yang berlokasi di Dublin, menjual sebagian tanah kepada seorang pengembang property. Namun

ketika proyek tersebut baru saja dimulasi, penggalian masif menemukan terdapat 155 mayat

perempuan dimana hanya 75 diantaranya yang dapat diidentifikasi. Fakta tersebutlah yang

kemudian menjadikan masyarakat untuk terbuka dan benar-benar mencoba mencari tahu

10 Sorcha Pollak, “The Magdalene Laudries: Irish Report Exposes a National Shame”, Time, 7 Februari 2013,

http://world.time.com/2013/02/07/the-magdalene-laundries-irish-report-exposes-a-national-shame/ (diakses tanggal 2 Juli 2014).

11 Jerome Elan, “Sinead O’Connor Reveals Her Abuse Catholic Magdalan”, The Washington Times

Communities, 7 Februari 2013, http://communities.washingtontimes.com/neighborhood/heart-without-compromise-children-and-children-wit/2013/feb/7/sinead-oconnor-reveals-her-abuse-catholic-magdalan/ (diakses tanggal 2 Juli 2014).

(7)

kebenaran di balik insitusi ini dimana kala itu sangat sedikit informasi yang diketahui

masyarakat perihal kasus Magdalene’s Laundry ini. Eksistensi dan pengaruh gereja yang kuat di

Irlandia khususnya era tersebut memang sangat mendominasi agenda politik negara. Gereja dan

negara menjadi suatu kekuatan besar dahsyat dalam membendung berbagai tindak kejahatan

dalam insitusi tersebut. Bahkan meskipun berbagai fakta telah diungkapkan, sebagian besar

gereja memilih bungkam terkait kasus ini.13 Hingga pada akhirnya institusi terakhir Magdalene’s

Laundry di Irlandia ditutup pada 25 September 1996.14

Melalui pemaparan yang telah diungkapkan, terlihat jelas betapa banyak dan masifnya

pelanggaran HAM yang telah dilakukan institusi berbasis agama tersebut. Hal ini mungkin tidak

benar-benar menyita perhatian internasional namun tentu menjadi bahasan yang sangat

signifikan dimana negara bahkan agama turut menjadi pelaku atau subjek pelanggaran HAM.

Meskipun, perempuan dan anak menjadi korban atau objek pelanggaran HAM, dalam melihat

hal tersebut dibutuhkan interseksi yang tepat. Dalam hal ini, perempuan dan anak tidak dapat

dipisahkan eksistensinya sebagai dua komponen berbeda sehingga analisis yang dilakukan bukan

terkait hak perempuan dan anak yang diatur dalam CEDAW, CPRW, CRC maupun International

Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment.

Perempuan dan anak harus dalam persoalan ini harus dilihat dalam konteks sebagai warga

negara, bagian terpenting dimana negara seharusnya memberikan perlindungan terhadap hak-hak

mereka. Oleh karena landasan yang dipakai dalam menganalisis persoalan ini yaitu International

Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).

ICCPR mengandung berbagai hak demokratis dan esensial, yang kebanyakan berkaitan

dengan fungsi suatu negara dan hubungannya dengan warga negaranya. Dalam hal ini, negara

sebagai suatu insitusi berdaulat memiliki kewenangan unutk melakukan pengurangan kewajiban

dalam ICCPR, namun terdapat beberapa hak yang tidak dapat dilakukan pengurangan antara

lain: hak hidup (Pasal 6), Bebas dari penyiksaan (Pasal 7), Bebas dari perbudakan (Pasal 8), dan

Kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama (Pasal 18).

13 Violet Veng, ”Magdalene Laundry”, Sunday Morning, 8 Agustus 2013,

http://www.cbsnews.com/news/the-magdalene-laundry/ (diakses tanggal 2 Juli 2014

14 Anonim, Documenting our Heritage: The Magdalen Asylum Co.Cork”, Abandoned Ireland,

(8)

Terkait dengan persoalan yang ada, dapat dilihat dengan jelas pasal berapa yang telah

dilanggar oleh negara sebagai institusi yang bertanggung jawab dan berkewajiban memberikan

perlindungan. Pasal 7 terkait larangan penyiksaan dan perlakukan atau penghukuman yang

kejam, tidak mausiawi dan merendahkan martabat manusia nyatanya telah dilanggar. Kaum

perempuan dan anak yang menjadi penghuni Magdalene’s Laundry telah terabaikan hak sipilnya

dimana justru hanya tinggal diam bahkan turut campur dalam melakukan pelanggaran HAM

tersebut. Jelas terlihat bahwa terdapat penyiksaan, penghukuman yang kejam dan tidak

manusiawi dalam insitusi dengan kedok agama dan moralitas tersebut15.

Selain itu, terdapat beberapa hak sipil lain yang juga telah dilanggar yakni Pasal 8 terkait

larangan perbudakan, perdagangan budak dan kerja paksa atau kerja wajib, Pasal 10 terkait hak

semua orang yang berasal dari kebebasannya untuk diperlakukan secara manusiawi16, dan Pasal

26 terkait hak atas persamaan di depan hukum dan perlindungan hukum yang sama.17

Magdalene’s Laundry telah melakukan kerja paksa terhadap para penghuni institusi

tersebut dimana mereka tanpa digaji harus melakukan pekerjaan manual dalam hal ini pekerjaan

binatu. Selain itu mereka juga diperlakukan secara tidak manusiawi dimana para biarawati

tersebut melakukan berbagai tindakan tidak etis dan juga bermoral. Salah satu korban yang

selamat, menceritakan bagaimana institusi tersebut memaksanya untuk terpaksa memakan

makanan yang ada di lantai dan berbagai tindakan tidak manusiawi lainnya. Selain itu, seperti

yang telah diungkapkan, terdapat kecacatan hukum dimana hakim malah menjadikan korban

pelecehan seksual sebagai kesalahan yang harus ditanggung sendiri dan menghukum korban

dalam institusi Magadalene’s Laundry.

Meskipun kasus ini telah resmi ditutup, namun kegagalan Irlandia sebagai negara dalam

memberikan perlindungan terkait hak sipil jelas merupakan suatu hal yang amat memalukan dan

perlu menjadi pembelajaran tersendiri. Masyarakat sebagai komponen utama dalam negara juga

perlu lebih peka terhadap lingkungan di sekelilingnya. Berbagai pelanggaran HAM seharusnya

ditindak secara cepat dan tegas sehingga tidak berlarut-larut dan menimbulkan korban jiwa yang

15 Drs. Dafri Agus Salim, MA, “Diktat Mata Kuliah Pengantar Studi Hak Asasi Manusia (HAM): Semester

Genap”, 2013, 29.

(9)

lebih banyak lagi. Pemerintah Irlandia maupun gereja tidak seharusnya menutup-nutupi kasus

ini, karena pada akhirnya hal tersebut hanya justru semakin menjatuhkan kredibilitas mereka.

Sangat disayangkan ketika institusi seperti Magdalene’s Laundry seharusnya mampu

menjadi sarana perlindungan bagi kaum perempuan, tempat mereka melakukan penebusan dosa

malah berubah menjadi penjara yang sangat menyiksa. Hal ini seharusnya menjadi perhatian,

dimana perlu ada pengawasan mengenai insitusi-institusi terkait yang menjunjung tinggi

kebaikan bahkan mungkin hak asasi malah menjadi bentuk penyimpangan dengan berbagai

rentetan pelanggaran di dalamnya. Oleh karena itu, perlu adanya sinergitas antara pemerintah

dan masyarakat dalam penanganan berbagai pelanggaran HAM. Masyarakat maupun pemerintah

tidak boleh bersikap apatis. Magdalene’s Laundry merupakan salah satu sejarah menarik yang

kelam bagi Irlandia. Namun, diharapkan kasus serupa tidak akan terulang lagi dan hal ini

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. “A Look at the Background of Human Rights”. Youth For Human Rights,

http://www.youthforhumanrights.org/what-are-human-rights/background-of-human-rights.html (diakses tanggal 2 Juli 2014).

Anonim. Documenting our Heritage: The Magdalen Asylum Co.Cork”, Abandoned Ireland,

http://www.abandonedireland.com/mc.html (diakses tanggal 2 Juli 2014).

Elan, Jerome. “Sinead O’Connor Reveals Her Abuse Catholic Magdalan”. The Washington

Times Communities. 7 Februari 2013

http://communities.washingtontimes.com/neighborhood/heart-without-compromise-

children-and-children-wit/2013/feb/7/sinead-oconnor-reveals-her-abuse-catholic-magdalan/ (diakses tanggal 2 Juli 2014).

Matthews, Dylan. “How Mid Century Ireland Dealt with Unwed Mothers and Their Children”.

Vox/ 5 Juli 2014.

http://www.vox.com/2014/6/5/5779902/how-mid-century-ireland-dealt-with-unwed-mothers-and-their-children (diakses tanggal 2 Juli 2014).

McCarthy, Rebecca Le. Origins of the Magdalene Laundries: An Analytical History. 2013.

Pollak, Sorcha. “The Magdalene Laudries: Irish Report Exposes a National Shame”. Time. 7

Februari 2013.

http://world.time.com/2013/02/07/the-magdalene-laundries-irish-report-exposes-a-national-shame/ (diakses tanggal 2 Juli 2014).

Pollaneckzy, Ronnie. “Woman Exposed Ireland: Magdalene Laundries Asylum”. Philladelphia,

23 Mei 2013.

http://www.phillymag.com/articles/woman-exposed-ireland-magdalene-laundries-asylum/ (diakses tanggal 2 Juli 2014).

Salim, Drs. Dafri Agus MA. “Diktat Mata Kuliah Pengantar Studi Hak Asasi Manusia (HAM):

Semester Genap”. 2013.

Smith, James M. Ireland’s Magdalen Laundries and the Nation’s Architecture of Containment.

Manchester: Manchester University Press. 2008.

Toyntanen, Garth. 2008. Institutionalised.

Veng, Violet. ”Magdalene Laundry”, Sunday Morning, 8 Agustus 2013,

Referensi

Dokumen terkait

Optimasi awal penelitian sebelumnya (kristalisasi berbasis pelarut organik non-air) telah berhasil mengkristalkan senyawa glikosida alami stevia, tetapi kendala yang dihadapi

Pada tabel 2, indikator ALOS > 3 dan BTO < 80, ha1 ini rnerupakan daerah efisiensi, narnun jika digarnbarkan pada grafik Barber Johnson hanya ada4 rurnah sakit yang

Sistem perakaran padi sawah cenderung memiliki perkembangan akar secara horizontal dan apabila terjadi cekaman kekeringan maka perkembangan akar akan terhambat baik secara

Yang membuat PWM ini istimewa dan lebih bermanfaat adalah kita dapat menetapkan berapa lama kondisi ON harus bertahan dengan cara mengendalikan siklus kerja atau Duty

Di dalam perpustakaan tersedia layanan yang memberikan fasilitas asistensi untuk mengidentifikasi sumber informasi berupa cetakandan elektronik yang relevan dan sesuai

Berikut adalah program yang menerima input dari keyboard untuk merotasi 2 garis... Perhatikan bahwa untuk menerima input dari

Pada komputer, memory untuk menampilkan gambar biasanya diisi dengan gambar yang berasal dari perintah gambar paling akhir, jadi perlu dibersihkan dengan warna

Oleh sebab itu, penelitian ini mencoba untuk mengukur diantara tiga variabel tersebut, variabel mana yang memiliki pengaruh dalam menjelaskan variabel