• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jepang dengan Dua Korea Stagnansi Hubung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Jepang dengan Dua Korea Stagnansi Hubung"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Nama : Meilinda Sari Yayusman

NIM : 11/312161/SP/24501

Jepang dengan Dua Korea: Stagnansi Hubungan dengan Korea Utara dan Fokus Politik Luar Negeri Jepang terhadap Sengketa Kepulauan Takeshima dengan Korea Selatan

Hubungan Jepang dengan dua Korea memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Pada

awalnya, Jepang telah berusaha untuk bernegosiasi baik dengan Korea Selatan maupun Korea

Utara untuk membicarakan upaya perbaikan hubungan melalui pembangunan hubungan

diplomatik diantara kedua negara. Hubungan diplomatik antara Jepang dengan Korea Selatan

dapat diwujudkan di tahun 1965 melalui serangkaian negosiasi yang berjalan selama 14

tahun.1

Upaya negosiasi yang panjang ini dikarenakan oleh faktor historis antara Jepang dan

Korea Selatan yang penuh luka dan perlu disepakati bersama atas hal-hal yang sebelumnya

menyebabkan hubungan keduanya menjadi dingin. Terlebih Jepang pernah mengokupasi

Korea dari tahun 1910 sampai dengan 1945,2 sehingga muncul ketidakpercayaan Korea

terhadap Jepang sampai okupasi berakhir. Selain itu, pasca peninggalan Jepang, Korea

menjadi salah satu dampak dari Perang Dingin diantara dua negara besar, yakni Uni Soviet

dan Amerika Serikat.3

Hal ini menjadi awal mula terpisahnya dua Korea dengan bagian Utara

di bawah kekuasaan Uni Soviet dan bagian Selatan di bawah kekuasaan Amerika Serikat.

Sejarah panjang hubungan antara Korea dengan Jepang tidak lantas membuat upaya

pembangunan hubungan diplomatik antara Jepang dan Korea Selatan terhambat. Meskipun

perlu melewati serangkaian kompleksitas dan isu-isu sensitif diantara keduanya, keberhasilan

normalisasi hubungan diantara Jepang dan Korea Selatan dapat terjadi. Terdapat beberapa isu

yang begitu sensitif, sehingga penyelesaiannya cenderung ditunda atau tidak dibahas terlebih

dahulu agar normalisasi hubungan ini dapat terjadi, salah satunya adalah isu persengketaan

Kepulauan Tekeshima atau Dokdo.4 Isu sensitif ini dapat dilewati oleh kedua negara dalam

upaya normalisasi dengan pertukaran nota antara Jepang dan Korea Selatan untuk melakukan

resolusi konflik dengan jalan negosiasi. Untuk itu, kedua negara sepakat akan menyelesaikan

permasalahan sengketa wilayah dengan jalan negosiasi dan tidak menganggap sengketa

wilayah ini menjadi hambatan pembentukan perjanjian dan normalisasi hubungan Jepang dan

       1

K. Togo, Japan’s Foreign Policy 1945-2003, The Quest for a Proactive Policy, 2nd edn, Brill Academic, Leiden, 2005, p. 157.

2 K. Togo, Japan’s Foreign Policy 1945-2003, The Quest for a Proactive Policy, p. 158.

3 M. Mas’oed & Yang Seung-Yoon, Memahami Politik Korea, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta,

2005, pp.236-238.

(2)

Korea Selatan pada tahun 1965. Upaya gag rules5

kedua negara dalam permasalahan

Kepulauan Takeshima atau Dokdo kenyataanya terus menghantui hubungan mereka sampai

sekarang. Mulanya, hubungan kedua negara membawa implikasi positif terutama pada bidang

ekonomi, akan tetapi normalisasi hubungan Jepang dengan Korea Selatan ini tidak

sepenuhnya berjalan dengan mulus. Dinamika hubungan diantara keduanya pun turut

mewarnai normalisasi hubungan, terutama dalam permalasahan sengketa Kepulauan

Takeshima atau Dokdo yang dibiarkan, namun semakin menimbulkan permasalahan diantara

keduanya.

Berbeda halnya dengan keberhasilan normalisasi hubungan melalui pembukaan

hubungan diplomatik antara Jepang dan Korea Selatan, upaya serupa juga turut dilakukan

oleh Jepang terhadap Korea Utara. Namun, kesuksesan tidak terjadi diantara keduanya.

Fluktuasi hubungan saat proses negosiasi dilakukan menjadi pengaruh kegagalan normalisasi

hubungan antara Jepang dan Korea Utara. Sama seperti Korea Selatan, Jepang dengan Korea

Utara juga perlu melalui berbagai kompleksitas dan isu sensitif akibat sejarah masa lampau

keduanya. Meskipun Jepang telah berusaha untuk meminta maaf dan mengajukan inisiasinya

guna membangun hubungan dengan Utara melalui deklarasi yang dilakukan oleh Perdana

Menteri Takeshita pada 30 Maret 1989 setelah Perang Dingin berakhir,6

usulan baik Jepang

tidak ditanggapi secara antusias oleh Korea Utara. Pertemuan-pertemuan yang dilakukan dari

negosiasi pertama sampai dengan kedelapan tidak menghasilkan berita baik untuk normalisasi

hubungan keduanya. Dengan adanya fluktuasi hubungan diantara keduanya, menjadikan

politik luar negeri Jepang pada tahun 2002 fokus kepada normalisasi hubungan dan

pembukaan hubungan diplomatik dengan Korea Utara yang ditandai oleh kunjungan Perdana

Menteri Koizumi ke Pyongyang.7

Namun, upaya yang dilakukan Jepang tidak membawa

keberhasilan bagi normalisasi hubungan keduanya. Hal ini ditandai dengan

kepentingan-kepentingan kedua negara yang tidak dapat dinegosiasikan dengan baik, terutama dalam

isu-isu penculikan warga negara Jepang oleh Korea Utara. Akhirnya, normalisasi hubungan ini

mengalami kegagalan dan tidak berusaha diupayakan kembali pada akhir tahun 2002.8

      

5 Menurut Stephen Holmes, Gag rules merupakan ‘issues avoidance’ atau penghindaran isu, serangkaian aturan,

provisi, pemahaman secara diam-diam, baik secara formal maupun informal, untuk menghilangkan isu dari agenda politik atau dari debat politik.

6 Dae-Sook Suh (ed.), Korean Studies: New Pacific Currents, University of Hawaii Press, Honolulu, 1994, p.

215.

7 K. Togo, Japan’s Foreign Policy 1945-2003, The Quest for a Proactive Policy, p. 189.

8 W. Haruki, ‘Japan-North Korea Relations – A Dangerous Stalemate,’ The Asia-Pacific Journal (daring), 22

(3)

Sekarang ini, Jepang tidak berusaha secara intensif untuk melakukan normalisasi

hubungan dengan Korea Utara karena pertimbangan untung rugi diantara keduanya, sehingga

politik luar negeri Jepang cenderung fleksibel dalam urusan yang berhubungan dengan negara

tersebut. Kecendurungan untuk lebih fleksibel ini lebih mengarah kepada mengikuti aliansi

Jepang, yakni Amerika Serikat dan Korea Selatan. Meskipun Jepang bergabung dalam the

Six-party talks bersama Cina, Rusia, Amerika Serikat, dan Korea Selatan pada Februari 2004

untuk menanggapi masalah pengembangan senjata nuklir yang dilakukan oleh Korea Utara,9

tetapi Jepang tidak memiliki peran signifikan dalam menggagasi sebuah keputusan sampai

sekarang ini. Kim Sung-han, profesor hubungan internasional di Korea University,

mengatakan bahwa Jepang tidak akan mengambil posisi berbeda dengan aliansi-aliansinya,

sederhananya, Jepang akan mengambil tindakan yang serupa dengan Amerika Serikat dan

Korea Selatan.10

Namun yang terjadi adalah ketika hubungan Amerika Serikat dan Korea

Selatan mulai menghangat, berbeda dengan Jepang. Negara matahari terbit ini tetap dingin

terhadap Korea Utara. Untuk itu, keterlibatan Jepang dalam upaya mencegah pengembangan

nuklir oleh Korea Utara merupakan langkah yang diambil dengan tujuan menyelaraskan

kebijakan negara-negara aliansinya, sehingga peran yang diambil oleh Jepang dalam

permasalahan ini tidak jelas dan kurang signifikan.

Sementara itu, fokus politik luar negeri Jepang justru mengarah pada penyelesaian

sengketa Kepulauan Takeshima atau Dokdo dengan Korea Selatan yang sudah berlarut-larut.

Terdapat perbedaan perspektif diantara keduanya, Jepang menganggap bahwa Takeshima

berada di bawah pemerintahan Jepang secara efektif dengan adanya banyak bukti-bukti

dokumen sejarah pemerintahan. Sedangkan bagi Korea Selatan, Takeshima menjadi bagian

dari wilayah Jepang berdasarkan ‘taken by violence and greed’ seperti yang tertulis dalam

Deklarasi Kairo pada 1943. Menambahi hal tersebut, Takeshima dianggap sebagai bagian dari

wilayah Korea Selatan berdasarkan ‘Rhee Syng-Man Line’ yang digambarkan pada tahun

1952, sehingga Korea Selatan secara permanen memiliki Kepulauan Takeshima atau Dokdo

sejak Juli 1954.11

Dewasa ini, persengketaan Kepulauan Takeshima atau Dokdo semakin

memanas. Hal ini dikarenakan oleh kunjungan yang dilakukan oleh Presiden Korea Selatan,

Lee-Myun Bak, tanpa persetujuan Jepang. Kunjungan ini dianggap peringatan bagi Jepang

       9

Z. Pan, ‘Solution of the Nuclear Issue of North Korea, Hopeful but Still Uncertain: on the Conclusion of the Second Round of the Six-party Talks,’ The Journal of East Asian Affairs, vol. 18, no. 1, Spring/Summer 2004, pp. 19-48.

10 R. York, ‘Japan’s Role in Six-party nuclear talks Uncertain,’ The Korea Herald (daring), 5 October 2011,

<http://www.koreaherald.com/view.php?ud=20111005000870>, diakses pada 5 Mei 2014.

(4)

untuk terus mengawasi perilaku Korea Selatan yang menganggap Takeshima atau Dokdo

merupakan bagian dari wilayah mereka. Jepang tidak tinggal diam dalam menanggapi

kunjungan ini. Sehari setelahnya, 11 Agustus 2012, Menteri Luar Negeri Jepang, Koichiro

Genba, mendeklarasikan bahwa permasalahan sengketa kepulauan ini perlu diserahkan ke

tingkat International Court of Justics (ICJ).12

Sebelumnya, Jepang juga pernah mencoba

memasukan agenda sengketa ini ke ICJ pada tahun 1954 dan 1962. Namun, tidak

mendapatkan respon dari Korea Selatan. Di tahun 2012 sampai sekarang, Jepang berfokus

untuk memasukan agenda sengketa ini ke tingkat ICJ namun mendapatkan penolakan dari

Korea Selatan. Bagi Korea Selatan, apabila mereka menyetujui untuk memasukan agenda

sengketa ini ke tingkat ICJ, hal ini berarti Korea Selatan menyadari bahwa ada persengketaan

di Kepulauan Takeshima atau Dokdo sementara Korea Selatan menganggap bahwa tidak ada

permasalahan di kepulauan tersebut karena wilayah ini memang milik mereka dan tidak ada

yang patut dipersengketakan dan diselesaikan. Jika permasalahan diserahkan ke tingkat ICJ,

ada potensi kehilangan kepulauan tersebut. Hal ini sama saja bahwa Korea Selatan kembali

mengakui kolonialisme Jepang yang merupakan luka dimasa lampau. Selain itu, membawa

permasalahan ke ICJ belum tentu dapat menyelesaikan sengketa karena tidak ada jaminan

kedua negara akan mematuhi peraturan-peraturan yang diformulasikan oleh ICJ apabila

nantinya kepulauan ini berada di bawah pengawasan ICJ.13

Sampai sekarang, Jepang cenderung memfokuskan politik luar negerinya terhadap

Korea Selatan dalam permasalahan sengketa Kepulauan Takeshima atau Dokdo dibanding

upaya untuk normalisasi hubungan serta peredaman senjata nuklir yang dikembangkan oleh

Korea Utara. Permasalahan wilayah merupakan hal yang begitu penting bagi Jepang karena

sejak kekalahan pada Perang Pasifik, Jepang harus kehilangan banyak wilayah jajahannya

sebagai konsekuensi dari perjanjian yang ditandatanganinya. Hubungan Jepang dengan Korea

Utara sendiri hanya didasari adanya the Six-party talks dimana Jepang tidak terlalu memiliki

peran signifikan dan hanya mengikuti aliansinya saja dalam mengambil keputusan.

      

12 S. Tosa, ‘Japan to Submit Takeshima Territorial Dispute to ICJ,’ The Asahi Shimbun (daring), 11 August

2012, <http://ajw.asahi.com/article/behind_news/politics/AJ201208110056>, diakses pada 5 Mei 2014.

13 M. S. Lovmo (ed.), ‘The Territorial Dispute over Dokdo,’ Dokdo Research (daring),

(5)

Referensi

Sumber Buku

Dae-Sook Suh (ed.), Korean Studies: New Pacific Currents, University of Hawaii Press,

Honolulu, 1994.

Mas’oed, M. & Yang Seung-Yoon, Memahami Politik Korea, Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta, 2005.

Togo, K., Japan’s Foreign Policy 1945-2003, The Quest for a Proactive Policy, 2nd

edn, Brill

Academic, Leiden, 2005.

Sumber Jurnal

Pan, Z., ‘Solution of the Nuclear Issue of North Korea, Hopeful but Still Uncertain: on the

Conclusion of the Second Round of the Six-party Talks,’ The Journal of East Asian

Affairs, vol. 18, no. 1, Spring/Summer 2004, pp. 19-48.

Sumber Internet

Haruki, W., ‘Japan-North Korea Relations – A Dangerous Stalemate,’ The Asia-Pacific

Journal (daring), 22 June 2009, < http://japanfocus.org/-Wada-Haruki/3176>, diakses

pada 5 Mei 2014.

Lovmo, M. S. (ed.), ‘The Territorial Dispute over Dokdo,’ Dokdo Research (daring),

<http://dokdo-research.com/page10.html>, diakses pada 5 Mei 2014.

Tosa, S., ‘Japan to Submit Takeshima Territorial Dispute to ICJ,’ The Asahi Shimbun

(daring), 11 August 2012,

<http://ajw.asahi.com/article/behind_news/politics/AJ201208110056>, diakses pada 5

Mei 2014.

York, R., ‘Japan’s Role in Six-party nuclear talks Uncertain,’ The Korea Herald (daring), 5

October 2011, <http://www.koreaherald.com/view.php?ud=20111005000870>, diakses

Referensi

Dokumen terkait

Artinya bahwa perlakuan berbagai dosis probiotik tidak berpengaruh terhadap bobot testis kanan itik setelah 30 hari perlakuan.Ukuran sistem reproduksi untuk bobot

Tidak diperbuat daripada kain yang nipis Tidak menyerupai lelaki atau wanita.. PERBEZAAN

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala yang telah melimpahkan rahmat, hidayah serta karunia-Nya, sehingga penulis dapat

(etela dilakukan tindakan kepera%atan selama ...)*+ jam status nutrisi pasien normal dengan indikator '.  ntake

Tujuan dari penelitian ini, Untuk mengidentifikasi dan mendeteksi kerusakan bantalan akibat korosi pada pompa sentrifugal dengan kondisi yang telah ditentukan melalui

Produksi antibodi ikan kerapu macan (E. fuscoguttatus) yang disuntik bakterin lebih rendah dari yang diinjeksi protein outer membran (Gambar 3).Tiga dosis yang disuntikkan, dosis

Hal itu dapat dijelaskan sebagai berikut, apabila sama sekali tidak ada individu yang puas terhadap layanan maka tidaklah berarti dalam populasi tidak ada sama sekali tingkat

dimodifikasi untuk membaca parameter koordinat Z yang telah dibuat.Perubahan yang dilakukan adalah dengan merubah dimensi yang pada awalnya 2D hanya untuk memproses