• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alienasi dan Lenyapnya Batas Diri dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Alienasi dan Lenyapnya Batas Diri dalam"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

ALIENASI DAN LENYAPNYA BATAS DIRI DALAM PERSEPSI MANUSIA (Membongkar Fenomena Alienasi pada Novel Rafilus)

Renda Yuriananta rendayuriananta@gmail.com

Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya

Pengantar

Alienasi adalah sebuah konsep yang disampaikan Marx dalam menyatakan keterasingan dari manusia terhadap apa pun di luar dirinya yang dipengaruhi oleh kapitalisme. Ritzer (2012:87) menyatakan bahwa ada penyesatan dari kapitalisme terhadap hubungan antara kerja dan hakikat manusia, penyesatan itulah yang dikatakan alienasi oleh Marx. Manusia terasingkan oleh hakikat manusia dan kerja. Secara lebih luas, alienasi tidak hanya terbatas pada permasalahan kapitalisme. Alienasi juga terjadi dalam berbagai aspek kehidupan, seperti pendidikan, kebudayaan, kemasyarakatan, keagamaan, dan aspek-aspek yang lainnya (Sujarwa, 2011:167). Pengertian secara luas tersebut ditambahkan oleh Kaufmann yang menyatakan bahwa pemahaman utama kita terhadap ‘alienasi’ dan antfremdung adalah suatu keadaan manusia—keadaan teralienasi atau dikucilkan atas sesuatu atau seseorang (Kaufmann, 2005:xxvii). Jelas bahwa alienasi bukanlah konsep yang mapan hanya dalam suatu bidang tertentu, seperti sosiologi, tetapi konsep alienasi juga terdapat dalam berbagai bidang yang melibatkan hubungan antara manusia dan hal lain di luar dirinya atau bahkan dirinya sendiri. Bidang-bidang lain itu di antaranya adalah bidang politik, budaya, agama, dan yang lainnya.

(2)

Dalam karya sastra, alienasi muncul sebagai bentuk representasi keterasingan manusia dalam kehidupannya. Pada masa modern seperti saat ini, banyak manusia yang merasa terasingkan oleh kehidupannya. Hal tersebut terjadi karena perkembangan teknologi, pendidikan, ekonomi, budaya, dan perkembangan yang lainnya. Semakin berkembang suatu zaman, maka masyarakat juga akan berkembang sehingga individu-individu yang tidak dapat mengikuti perkembangan tersebut akan teralienasi dari perkembangan tersebut.

Budi Darma (yang selanjutnya BD) adalah salah satu pengarang novel yang banyak memunculkan keterasingan-keterasingan pada para tokoh yang diciptakannya. BD sering menciptakan tokoh dengan sudut pandang orang pertama yang menggambarkan sosok orang ketiga dengan tanpa mengesampingkan perasaan yang dirasakan oleh orang pertama tersebut. Penggunaan sudut pandang tersebut dapat dilihat pada novelnya, Olenka (1980), Rafilus (1988), dan Ny. Talis (1996). Ketiga novel tersebut menceritakan orang pertama yang menggambarkan sosok Olenka (pada novel Olenka), sosok Rafilus (pada novel Rafilus), dan sosok Ny. Talis (pada novel Ny. Talis) dengan menggunakan dunia batin orang pertama. Ketiga novel tersebut juga menggambarkan mengenai keterasingan para tokoh dari dunia yang mereka tinggali. Keterasingan tersebut tidak hanya terjadi pada orang pertama saja, tetapi juga pada tokoh-tokoh lain yang diciptakan dalam novel.

Penciptaan tokoh-tokoh yang teralienasi bukanlah tanpa alasan yang jelas. Siswanto (2013:15—16) menjabarkan bahwa BD menciptakan tokoh-tokoh tersebut adalah karena obsesi yang mempengaruhinya1. Dari sini, jelas bahwa faktor psikologislah yang banyak

mempengaruhi BD dalam proses kreatifnya, tanpa menyisihkan faktor sosiologi2 dan faktor

lainnya. Oleh karena faktor psikologi adalah faktor pemengaruh utama, maka alienasi akan banyak muncul dalam karyanya. Selain itu, BD juga merupakan tokoh yang karya sastranya beraliran eksistensialis, di samping Iwan Simatupang dan Putu Wijaya. Biasanya, sastrawan yang beraliran eksistensialis mengangkat permasalahan seperti, kesendirian, keterasingan, kegilaan, dan kematian ke dalam karyanya. Hal tersebut dikarenakan aliran tersebut

1 Obsesi Budi Darma yang sejak kecil selalu mempertanyakan berbagai hal, mulai dari ilmu pengetahuan hingga hal yang bersifat hakiki. Oleh karena itu,

pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawabnya dalam novel-novel yang ia tulis dengan memunculkan tokoh-tokoh yang seakan mencari jawaban atas keterasingan mereka (Siswanto,

2013:16)

(3)

menggambarkan dan mempersoalkan keberadaan manusia dalam hubungannya dengan sesama manusia, alam, dan Tuhan (Siswanto, 2013:185).

Rafilus3 adalah novel yang banyak memunculkan keterasingan tokoh di dalamnya.

Secara sosiologis, novel tersebut berlatar sosial4 daerah Surabaya, yang merupakan tempat

tinggal BD. Pengaruh aspek sosial tersebut dipadukan dengan aspek psikologi (obsesi) dan imajinasi BD sehingga terciptalah sebuah karya yang dapat dikatakan “nyeleneh” dan terkesan membingungkan. Novel tersebut berlatar sosial Surabaya, tetapi penciptaan tokoh hingga alur ceritanya menimbulkan keterasingan pembaca terhadap cerita dalam novel tersebut. Hubungan antara pembaca dan karya sastra saja sudah menampakkan alienasi, jelas dalam karya sastra tersebut juga terdapat alienasi antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lainnya dan tokoh dengan peristiwa yang dialaminya.

Representasi Alienasi Individu-Individu oleh Perkembangan Zaman5

Dalam beberapa bagian novel, BD menyampaikan beberapa gagasannya mengenai alienasi yang terjadi pada individu dan masyarakat sebagai akibat dari perkembangan zaman manusia. Ketidakmampuan seorang individu atau masyarakat dalam beradaptasi dengan perkembangan zaman akan membuat individu atau masyarakat tersebut dalam keadaan yang teralienasi (Muhammad, 2011:197).

Alienasi oleh teknologi

Dalam perkembangan zaman, satu hal yang secara langsung mengalami perubahan adalah produk manusia. Salah satu produk manusia adalah teknologi. Teknologi berkembang sangat pesat setelah terjadinya revolusi industri di Inggris. Rakyat dan para pakar di Inggris melakukan tatanan baru. Para pakar mengembangkan ilmu pengetahuan dan menciptakan produk-produk praktis. Pada akhirnya, muncuullah teknologi sebagai produk manusia yang terus berkembang. Teknologi tidak semata-mata hadir dan dapat diterima dengan mudah oleh manusia. Para masyarakat maju, hanya membutuhkan waktu singkat untuk menyesuaikan diri dengan teknologi. Berbeda dengan masyarakat di negara berkembang seperti Indonesia. Di Indonesia membutuhkan waktu lama agar masyarakat dapat menerima perkembangan teknologi dengan baik. Selain itu, masyarakat Indonesia masih banyak melihat suatu hal dari

3 Novel kedua Budi Darma yang terbit pada tahun 1988

4 Siswanto (2013:2—6) menjabarkan asal sosial Budi Darma dalam hubungannya dengan karya-karyanya

(4)

segi spiritual dan bukan material sehingga sulit dalam mengadaptasikan dirinya dengan teknologi yang merupakan produk berupa hal yang bersifat material.

Perkembangan teknologi yang cukup pesat, membuat masyarakat teralienasi oleh teknologi. Mereka merasa terasingkan oleh teknologi, terlebih bagi masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia terasingkan oleh teknologi. Secara khusus, masyarakat kelas sosial bawah teralienasi oleh perkembangan teknologi. Hal itu terjadi karena barang-barang yang tercipta dari perkembangan teknologi bukanlah barang-barang yang murah, melainkan barang yang mahal harganya. Bagi kelas sosial atas, harga tidak menjadi masalah sehingga mereka dapat sedikit lebih cepat dalam menyesuaikan diri dengan teknologi. Berbeda dengan kelas sosial bawah, mereka harus sangat berhemat untuk menghidupi keluarganya sehingga tidak dapat membeli barang-barang hasil perkembangan teknologi. Pada akhirnya, mereka teralienasi oleh teknologi. BD menggambarkan alienasi masyarakat oleh teknologi adalah sebagai berikut.

“Di banyak tempat, katanya, kamera-kamera Jumarup mengintip kebodohan para tamunya dan keserakahan mereka mencaplok makanan. Tamu yang mempunyai sedikit harga-diri katanya, pasti merasa dimata-matai.” (Rafilus, hal.11)

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat yang teralienasi oleh perkembangan teknologi. Dalam hal ini, korban adalah masyarakat dan teknologi sebagai pelaku alienasi. BD juga menjelaskan pada catatan kaki novel Rafilus tersebut sebagai berikut.

“Pada tahun 1980, sebelum video merajalela, saya pernah diundang oleh seseorang untuk menghadiri pesta di rumahnya. Banyak tamu yang merasa tersinggung, karena tuan-rumah mengerahkan sekian banyak kamera untuk merekam mereka. Hal tersebut dikarenakan perkembangan teknologi dan masyarakat masih merasa asing pada teknologi.” (Rafilus, hal.232)

Penjelasan BD tersebut mencerminkan sikap dari masyarakat yang masih belum siap dalam menerima perkembangan teknologi (kamera). Terlebih, terjadinya peristiwa tersebut adalah pada tahun 1980, yang secara pasti perkembangan teknologi mulai dapat dirasakan seluruh orang di dunia. Pada akhirnya, individu maupun kelompok yang tidak dapat menyesuaikan diri akan teralienasi dari perkembangan tersebut. Khususnya, bagi masyarakat kelas soaial bawah, mereka tidak dapat mengikuti perkembangan teknologi sehingga teralienasi oleh produk-produk hasil perkembangan teknologi.

(5)

Selain alienasi dalam perkembangan teknologi, BD juga mencoba untuk menggambarkan individu yang teralienasi dari perkembangan pendidikan. Perkembangan pendidikan yang tergambar dalam novel Rafilus lebih kepada sisi negatif administrasi pendidikan. Pendidikan bukan lagi suatu lembaga pentransfer ilmu pengetahuan yang dapat mencerdaskan semua orang, tetapi sudah menjadi lembaga untuk berbisnis ilmu pengetahuan sehingga tidak dapat diakses oleh semua orang, khususnya orang yang tidak mampu. Ilmu pengetahuan menjadi sangat mahal harganya di dalam lembaga pendidikan sehingga orang yang berpenghasilan menengah ke bawah akan sulit untuk memperoleh pendidikan yang baik. Hal tersebut dapat dibaca pada kutipan berikut.

“Sementara itu semua sekolah yang baik jauh dari rumahnya, dan dia tidak mempunyai sepeda, apalagi ongkos becak dan bemo. Dan semua sekolah yang baik tidak disediakan bagi anak yang mirip pengemis. Ongkos masuk bukan main tinggi, demikian juga sumbangan ini itu.” (Rafilus, hal.80)

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa pendidikan sudah beralih-fungsi. Digambarkan juga bahwa sekolah yang bagus tidak disediakan bagi orang-orang yang tidak mampu. Hal tersebut tercermin pada kalimat “dan semua sekolah yang baik tidak disediakan bagi anak yang mirip pengemis”. Penggunaan istilah “anak yang mirip pengemis” merujuk pada kelas sosial yang kurang mampu, yang mungkin masih di atas kategori pengemis. Kelas sosial di atas pengemis saja tidak mampu mendapatkan pendidikan yang baik, apalagi dengan pengemis dan golongan-golongan mereka yang lainnya. Dalam kutipan tersebut, Pawestri adalah anak yang berada di kelas sosial bawah dan memiliki kecerdasan yang baik. Oleh karena sekolah yang baik itu membutuhkan biaya yang banyak, dia pun harus bertengkar dengan orang tuanya untuk dapat bersekolah di sekolah yang biasa saja (swasta). Pada akhirnya, dia pun bersekolah di sekolah swasta.

Gambaran tersebut memperlihatkan bahwa ada alienasi dalam bidang pendidikan. Alienasi tersebut melibatkan dua hal, yaitu masyarakat kelas bawah sebagai korban dan lembaga pendidikan sebagai pelaku alienasi. Masyarakat kelas sosial bawah telah teralienasi dari lembaga pendidikan. Hal itu dikarenakan oleh ketidakmampuan masyarakat kelas bawah mengeluarkan biaya besar untuk jasa pendidikan. Semakin besar biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan pendidikan yang baik, maka masyarakat kelas sosial bawah akan semakin teralienasi dari perkembangan pendidikan.

(6)

Selain alienasi dalam bidang teknologi dan pendidikan, BD juga memunculkan alienasi dalam bidang kebudayaan. Sama halnya dengan teknologi dan pendidikan, kebudayaan juga akan terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, budaya sendiri juga dikatakan sebagai sesuatu yang bersifat dinamis. Kedinamisan tersebut mengakibatkan alienasi terhadap individu-individu yang tidak dapat mengikuti perkembangan dari kedinamisan tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.

“Waktu mereka makan, nampak mereka melakukannya bukan oleh kebutuhan, melainkan oleh kewajiban.” (Rafilus, hal.11)

Terlihat bahwa modernisasi membuat manusia melupakan kodrat dan hakikatnya, sehingga hanya mementingkan formalitas kewajiban atas hak yang dimiliki orang lain6.

Dalam kutipan tersebut terlihat bahwa manusia telah menjadi makhluk yang dikendalikan oleh suatu nilai dalam masyarakat. Manusia tidak lagi memiliki kebebasan dalam menentukan langkah. Manusia seakan telah menjadi robot nilai-nilai yang berada dalam kebudayaan. Kutipan tersebut menunjukkan masyarakat modern telah mengadaptasi budaya kewajiban makan pada acara tertentu sehingga masyarakat modern tidak lagi menganggap proses makan yang mereka lakukan adalah untuk memenuhi kebutuhan mereka, melainkan untuk menggugurkan kewajiban mereka atas hak dari penyelenggara acara.

Alienasi terhadap persepsi ruang yang terus berkembang juga muncul dalam novel Rafilus. persepsi ruang adalah anggapan seseorang terhadap ruang yang dilihat olehnya, yang akan terus berkembang seiring berkembangnya kebudayaan masyarakat tersebut. Salah satu perihal mengenai ruang yang terus berkembang adalah bahan-bahan arsitektur hingga hasil konkret arsitektur (dalam hal ini adalah rumah). Perkembangan tersebut mengakibatkan perubahan terhadap persepsi ruang yang dimiliki oleh masyarakat. Pada awalnya, masyarakat Indonesia tidak membuat rumah dengan tatanan ruang yang rumit dan terdiri atas banyak sekali ruang. Tatana arsitektur yang seperti itu adalah adaptasi dari gaya Eropa. Da;pat di lihat di sebagian besar rumah-rumah masyarakat Indonesia, biasanya ruang hanya terdiri atas kamar tidur, ruang tamu, ruang keluarga, dapur, dan kamar mandi. Persepsi atas ruang di Indonesia sudah terbentuk seperti itu sehingga pada saat muncul gaya ruang yang baru, masyarakat merasa teralienasi. Lebih jelasnya dapat dilihat pada kutipan berikut.

“Dan di dalam rumah terdapat sekian banyak ruang, lorong, dan lika-liku. Saya tidak dapat membayangkan mengapa dia membuat rumah seolah-olah bukan untuk tempat tinggal, melainkan untuk membingungkan semua orang yang memasukinya.” (Rafilus, hal.11)

(7)

Dari kutipan tersebut terlihat bahwa tokoh saya merasa asing di dalam rumah yang mewah. Tokoh saya merasa seperti dipermainkan dan dibingungkan oleh ruangan dan lorong-lorong di dalam rumah tersebut. Dapat dihubungkan dengan kenyataan yang terjadi pada masa modern, orang-orang sering membuat rumah yang besar dan megah dengan banyak ruang di dalamnya. Hal tersebut mungkin tidak lagi asing bagi orang-orang yang sudah berada dalam lingkungan yang serba mewah, berbeda dengan orang yang berada pada kelas bawah. Orang kelas bawah umumnya memiliki rumah yang sederhana dan dapat ditinggali oleh keluarga kecil mereka. Ketika orang kelas bawah tersebut mengunjungi tempat yang mewah, mereka pasti akan merasakan keterasingan. Dalam novel Rafilus, latar waktu yang digunakan adalah awal munculnya modernisasi di Indonesia. Di sana, hanya orang-orang yang berada di kelas ataslah yang dapat menikmati dan segera beradaptasi dengan zaman modern tersebut. Oleh karena itu, masyarakat kelas bawah akan merasa teralienasi dari segala hal yang modern, seperti gaya rumah mewah. Jadi, jelas bahwa terdapat individu-individu yang teralienasi dari persepsi ruang yang terus berkembang seiring dengan perkembangan suatu zaman.

Alienasi dalam interaksi antarindividu

Dalam perkembangan zaman, nilai-nilai yang dianut oleh individu-individu dalam masyarakat juga ikut berkembang. Perkembangan tersebut tidak menutup kemungkinan merupakan perkembangan yang negatif. Meskipun perkembangan tersebut bersifat negatif, tetap saja hal tersebut dianggap sebagai perkembangan. Perkembangan nilai-nilai tersebut mengubah persepsi individu-individu dalam hubungannya dengan orang lain. Pada akhirnya, nilai-nilai tersebut mengalienasi individu-individu dari kodrat mereka sebagai makhluk sosial7. Salah satu nilai yang dianut masyarakat dalam hal ini adalah nilai-nilai atau tata cara

dalam berinteraksi. Nilai tersebut adalah mengenai nilai dalam berinteraksi antarindividu. Hal tersebut tercermin dalam kutipan berikut.

“Saya mendekat, tapi mereka tetap tidak memperhatikan saya. Dan saya pura-pura tidak memperhatikan mereka.” (Rafilus, hal.12)

Kutipan tersebut menunjukkan bagaimana sikap individualis dari individu terhadap individu-individu yang lainnya dalam hal berinteraksi. Tokoh saya merasa teralienasi dari kelompok orang yang sedang berbincang-bincang. Oleh karena kelompok orang tersebut

(8)

tidak memperhatikannya di saat dia mendekat, dia pura-pura untuk tidak memperhatikan mereka. Nilai tersebut adalah nilai yang dimiliki oleh masyarakat modern. Masyarakat modern cenderung untuk mementingkan urusan mereka sendiri dan mengacuhkan orang lain, seperti di daerah Eropa. Kecenderungan mementingkan diri sendiri tersebut membuat manusia tersebut teralienasi dari kodrat mereka sebagai makhluk sosial. Di satu sisi, tokoh saya teralienasi oleh subjek “mereka” dan di sisi lain, subjek “mereka” teralienasi dari tokoh saya. Pada tataran di atas lagi, sebenarnya tokoh saya dan subjek “mereka” teralienasi oleh nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat serta budaya tempat kedua subjek tersebut tinggal.

Alienasi dalam bidang profesi kultural (dukun dan medis)

Satu hal lagi yang dapat dilihat sebagai permasalahan alienasi dalam novel Rafilus adalah teralienasinya individu-individu oleh perkembangan dalam bidang medis atas profesi kultural. Masyarakat (khususnya Indonesia) pada masa sebelum datangnya modernisasi menganggap bahwa dukun adalah satu-satuhya orang yang ahli dalam bidang apa pun, termasuk bidang medis sehingga dukun menjadi salah satu profesi kultural yang kuat bagi masyarakat. Pada masyarakat modern, bidang medis yang sebelumnya dipercayakan kepada seorang dukun, beralih kepada dokter. Seorang dokter manjadi orang yang ahli di bidang medis. Hal inilah yang menjadikan masyarakat yang termasuk dalam masyarakat sebelum modern, merasa teralienasi oleh perkembangan bidang medis (dokter). Kutipan novel Rafilus berikut akan membuktikan bagaimana alienasi tersebut dimunculkan oleh BD.

“Ketika tiba gilirannya, dukun menjadi heran. Dukun iu mengundang dukun lain, dan dukun lain ini pun memanggil dukun lain. Ketiga dukun menyatakan bahwa daging Rafilus terlalu keras. Mereka menyatakan menyerah. Barulah setelah dokter datang, dia dapat dikhitan dengan cepat dan baik. Tapi dia masih ingat, ketika dagingnya dipotong, darahnya enggan ke luar.” (Rafilus, hal.18)

(9)

diakibatkan oleh perkembangan zaman. Perkembangan zaman inilah yang pada akhirnya mengalienasi individu-individu yang tidak dapat menyesuaikan atau mengakomodasikan dirinya dengan perkembangan zaman tersebut.

Perkembangan zaman telah memaksa individu-individu untuk segera menyesuaikan dirinya dengan perkembangan tersebut. Apabila masih ada dari mereka yang tidak dapat menyesuaikan diri, maka mereka akan teralienasi oleh perkembangan zaman dalam berbagai bidang. BD menyampaikan banyak fenomena alienasi dalam novel Rafilus. Alienasi-alienasi tersebut diantaranya adalah pada hubungan manusia dengan manusia yang lainnya, manusia dengan perkembangan teknologi, manusia dengan perkembangan pendidikan, manusia dengan perkembangan sistem nilai, manusia dengan perkembangan objek benda (hasil produk manusia), manusia dengan perkembangan medis, dan manusia dengan kodrat atau hakikat manusia itu sendiri. Berbagai alienasi tersebut terdapat dalam novel BD. Hal ini dikarenakan dalam proses kreatifnya, BD menitikberatkan proses kreatifnya pada aspek psikologis dan menghubungkannya dengan aspek-aspek lain, seperti sosiologis dan lainnya8.

Oleh karena itu, banyak alienasi-alienasi yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam novel Rafilus.

Representasi Alienasi yang Dialami oleh Kaum Buruh dan Kaum Kapitalis

Marx (dalam Scott, 2011:11) menyatakan bahwa tenaga kerja adalah suatu ekspresi, barangkali merupakan ekspresi tertinggi, dari karakter dasar manusia. Konsep tersebut menunjukkan bahwa aktivitas bekerja manusia adalah sebuah kodrat yang telah dimiliki oleh manusia di dunia ini. Manusia tidak dapat mengingkari hal tersebut. Apabila hal itu dilakukan, maka manusia akan teralienasi dari hakikat manusia itu sendiri. Hal itu dijabarkan oleh Scott (2011:11—12) sebagai berikut.

“Bagi buruh, untuk menghilangkan kontrol terhadap aktivitas manusia yang mendasar ini sama halnya keluar menuju banyak ekspresi lain dari suatu tatanan sosial yang teralienasi; ketidaksetaraan yang meningkat, kemiskinan yang cukup banyak, antagonisme sosial dan perjuangan kelas, perubahan yang mendadak dan/atau kemerosotan bahkan kaum kapitalis pun terjebak dan menderita karenanya. Keretakan ini telah memisahkan kedua belah pihak dari keberadaannya masing-masing.”

Secara sadar atau tidak, antara buruh dan pemilik modal telah terjadi alienasi. Alienasi tersebut tidak hanya menjadikan buruh sebagai korban, tetapi juga kaum kapitalis atau pemilik modal. Alienasi tersebut terjadi dari dua sisi. Kaum buruh teralienasi dari hakikat

(10)

kerja yang mereka lakukan dan kaum kapitalis teralienasi dari buruh yang bekerja pada mereka dan hasil kekayaan yang mereka miliki.

BD menggambarkan alienasi tersebut dalam novel Rafilus. Dia tidak hanya menunjukkan satu sudut pandang alienasi saja, tetapi dari dua sudut pandang yang berbeda, yaitu kaum buruh dan kaum kapitalis. Sudut pandang pertama adalah alienasi yang dialami oleh kaum buruh dari hakikat kerja yang mereka jalani. Kutipan pendukung argumentasi tersebut adalah sebagai berikut.

“Kadang-kadang orang lain merasa kasihan kepada dia, dan kerena itu memberinya kesibukan lain dengan memberi sedikit upah. Mereka menyuruh dia membeli rokok, menyemir sepatu, atau mengantar minuman. Tapi dia merasa pekerjaan-pekerjaan tambahan itu bukan pekerjaannya, dan karena itu dia cenderung menolak. Memang dikantor itu ada pesuruh, sementara dia bukan pesuruh.” (Rafilus, hal.2—3)

Kutipan tersebut menunjukkan sosok pekerja yang teralienasi dari pekerjaan yang dilakukannya. Dia merasa terasingkan oleh pekerjaan baru yang ditawarkan oleh orang lain. Hal itu dikarenakan dia sudah terlanjur terasingkan dari hakikat kerja yang melekat padanya. Dia hanya melakukan pekerjaan sebagai penjaga kantor, yang dilakukannya dengan penuh rasa bosan. Dia tidak lagi dapat merasakan pekerjaan sebagai hakikat atas dirinya hidup di dunia ini. Dia hanya merasa bahwa bekerja adalah sebuah kewajiban dan tanggung jawab yang harus dilakukannya dengan baik. Di sini, manusia tidak lagi bebas dalam bertindak dan bekerja untuk memenuhi kebutuhannya.

Selain itu, penjaga kantor tersebut juga teralienasi dari orang-orang (orang lain) di sekitar tempat kerjanya. Terlihat pada kalimat pertama kutipan tersebut, orang lain merasa kasihan pada kegiatan rutin yang dilakukan oleh penjaga kantor tersebut. Penjaga kantor tersebut seakan hanya pasrah menerima perintah dari pemilik kantor untuk menjagakan kantor tersebut. Di sisi lain, orang lain juga teralienasi dari penjaga kantor tersebut. Orang lain tidak memahami bagaimana perasaan dari penjaga kantor dalam menjalani rutinitas membosankan yang dilakukan oleh penjaga kantor tersebut. Berikut adalah kutipan mengenai alienasi orang lain tersebut oleh penjaga kantor.

“Semua orang yang melihat dia merasa betapa lambatnya waktu berlalu. Bagi mereka tempo dalam kehidupan penjaga kantor itu benar-benar lambat. Irama kehidupannya hanyalah itu-itu, dan sama sekali tidak pernah bergerak cepat. Bagi orang lain dia dungu, bagi dia sendiri mungkin tidak. Bahkan mungkin bagi dia, orang lain justru aneh.” (Rafilus, hal.3)

(11)

kantor tersebut merasa seakan waktu berjalan begitu lambat. Penjaga kantor terasa asing bagi bereka. Dia seakan bukan manusia pada umumnya yang cepat merasa bosan dengan aktivitas yang dilakukan secara berulang-ulang. Dari sudut yang berbeda, mereka juga teralienasi dari diri mereka sendiri. Mereka merasa bahwa merekalah yang mungkin aneh di pandangan si penjaga kantor. Alienasi tersebut terjadi pada semua pihak yang melakukan hubungan dengan pihak lain.

Kaum kapitalis yang menciptakan alienasi antara kaum buruh dan hakikat kerja juga tidak terlepas dari dampak alienasi. Kaum kapitalis juga menjadi pihak yang teralienasi dari hasil usaha mereka dan kaum buruh yang bekerja pada mereka. BD menggambarkan hal tersebut dalam novel Rafilus sebagai berikut.

“Dan memang banyak tamu yang tidak saling mengenal. Bahkan siapa Jumarup pun banyak di antara mereka yang tidak saling tahu dan tidak sanggup menebak.” (Rafilus, hal.10)

“Dari pembicaraan mereka saya tahu, bahwa mereka pegawai pabrik kaos oblong milik Jumarup di Jl. Pendegiling. Juga dari pembicaraan mereka saya tahu, bahwa tidak ada seorang pun di antara mereka yang pernah melihat, apalagi bertemu dengan Jumarup. Mereka hanya berhubungan dengan atasan mereka, yaitu orang-orang bawahan juragan mereka. Setiap pabrik atau perusahaan memiliki pemimpin sendiri yang diangkat oleh Jumarup. Sementara itu, pegawai-pegawai pabrik kaos ini ternyata juga tidak tahu siapa pemimpin pabrik tempat mereka bekerja. Mereka hanya tahu bahwa pabrik itu kepunyaan Jumarup.” (Rafilus, hal.12)

Kedua kutipan tersebut menunjukkan secara langsung alienasi yang dialami oleh Jumarup (representasi dari kaum kapitalis). Jumarup teralienasi dari kaum buruh yang bekerja padanya. Tidak ada satu buruh pun yang mengetahui bagaimana diri Jumarup secara fisik maupun batin. Mereka hanya tahu bahwa pemilik pabrik yang mereka tempati untuk bekerja adalah Jumarup. Selain pengetahuan itu, mereka tidak tahu apa pun mengenai Jumarup. Hal itulah yang dirasakan sebagai alienasi yang dialami oleh pemilik modal dari para buruh yang bekerja padanya. Jumarup juga merasakan alienasi dari hasil yang diperolehnya atau kekayaannya. Hal itu dapat diketahui dari kutipan berikut.

(12)

Kutipan tersebut menunjukkan alienasi yang dialami Jumarup dalam hubungannya dengan kekayaan yang dimilikinya dan kebosanan terhadap pekerjaannya (pemilik modal). Dia bermaksud untuk menghilangkan alienasi atas dirinya tersebut dengan cara mengadakan acara pesta khitan anaknya dengan mengundang banyak orang, termasuk para buruh yang bekerja padanya. Dengan cara tersebut, dia mengharapkan keterasingan yang dialaminya dari kekayaan dan kaum buruh dapat mencair, tetapi hal itu tidak dapat terwujud dengan baik. Jumarup tetap teralienasi dari dirinya sebagai kaum kapitalis, dari kekayaan yang dimilikinya, dan dari buruh yang bekerja padanya.

Alienasi tidak hanya terjadi pada satu pihak yang berhubungan dengan pihak lain, tetapi pihak lain pun juga akan merasakan alienasi. Kaum buruh teralienasi oleh hakikat kerja, sesama buruh lainnya, dan pemilik modal. Kaum kapitalis teralienasi oleh dirinya sendiri, kekayaan yang dimilikinya, dan kaum buruh. Alienasi tidak hanya mono-arah, melainkan multi-arah.

Alienasi Manusia dan Lenyapnya Batas Diri dalam Persepsi

Dalam masyarakat modern, manusia sering terjebak dalam persepsi negatif yang diciptakannya sendiri9. Manusia sering beranggapan yang tidak-tidak terhadap orang lain,

persepsi ruang, maupun situasi tertentu. Anggapan tersebut muncul karena manusia tersebut semakin waspada dengan perkembangan zaman yang semakin maju dan tidak dapat ditebak. Ketika manusia larut dengan buaian perkembangan tersebut, maka manusia akan menjadi makhluk yang tidak benar-benar hidup dalam hakikatnya sebagai manusia. Fenomena ini banyak terdapat dalam novel Rafilus. BD sering memunculkan kelenyapan batas diri dalam persepsi diri atas seorang tokoh terhadap tokoh-tokoh lainnya. Lenyapnya batas diri dalam persepsi tersebut adalah akibat dari alienasi yang dirasakan oleh tokoh dari tokoh-tokoh lainnya. Alianasi yang dialami oleh tokoh menimbulkan lenyapnya batas diri dalam persepsi atas tokoh yang lainnya atau bahkan dirinya sendiri. Berikut adalah kutipan-kutipan yang menunjukkan lenyapnya batas diri dalam persepsi tokoh dalam hubungannya dengan tokoh lain dan dirinya sendiri.

1. Tokoh Saya yang menciptakan persepsi diri atas tokoh Rafilus. Persepsi tersebut muncul karena alienasi yang dirasakan tokoh Saya terhadap Rafilus.

“Tentu saja kesan saya salah. Tidak mungkin dia akan mati. Meskipun demikian hampir selamanya saya tidak dapat mengelak untuk berpendapat, bahwa sosok tubuhnya tidak terbentuk dari daging, melainkan dari besi. Kulitnya hitam

(13)

mengkilat, seperti permukaan besi yang sering dipoles dan hampir tidak pernah berhenti digosok.” (Rafilus, hal.7)

“Andaikata Rafilus sebuah kejanggalan, tidak pernah sebelumnya saya menyaksikan kejanggalan seperti dia. Pernah saya mendengar orang berkepala dua, orang yang tidak mempunyai kaki, dan orang yang mempunyai pantat tanpa lubang. Banyak pula kejanggalan-kejanggalan lain, akan tetapi orang-orang janggal itu tidak terbuat dari bahan yang keliru. Mereka tetap terbentuk dari daging. Pada suatu saat mereka akan rebah, terguling ke tanah, dan kembali menjadi tanah. Alur ke mana nyawa mereka akan melesat sudah jelas. Amal dan perbuatan mereka akan menentukan apakah mereka akan terlempar ke sorga atau tergelincir ke neraka. Sebaliknya, nampak benar Rafilus terbuat dari bahan yang keliru” (Rafilus, hal.9)

“Saya sakin bahwa dia mempunyai paru, hati, ginjal, limpa, pankreas, dan lain-lain. Meskipun demikian saya selalu memperoleh kesan, bahwa dia tidak memerlukan apa-apa selain minyak pelumas.” (Rafilus, hal.12)

2. Tokoh Saya yang menciptakan persepsi diri atas Munandir. Persepsi tersebut muncul karena alienasi yang dirasakan tokoh Saya terhadap Munandir.

“Meskipun sudah berkali-kali datang ke rumah saya, dan sudah berkali-kali pula minta minum, Munandir merasa perlu memperkenalkan diri. Saya pura-pura tidak ingat bahwa sebetulnya saya sudah mengenalnya.” (Rafilus, hal.33)

“Kadang-kadang saya menaruh curiga, jangan-jangan dia mengada-ada. Mungkin juga dia tidak mengarang cerita, tapi otaknya sudah terlanjur uzur. Peristiwa-peristiwa terpisah dirangkainya demikian saja. Kadang-kadang ada juga serangkaian peristiwa yang menurut saya beruntun, oleh dia ditebar dengan cara sembarang. Sering pula dia melantur, mengulang, berbelit, dan berkelit. Sementara itu wajahnya selalu tampak jujur.” (Rafilus, hal.38)

3. Tokoh Saya yang menciptakan persepsi diri atas Pawestri. Persepsi tersebut muncul karena alienasi yang dirasakan tokoh Saya terhadap Pawestri.

“Saya lupa. Sayang omong asal omong karena saya tidak tahu harus berbuat apa. Rupanya dia mendengarkan saya juga sekedar mendengarkan. Dan rupanya dia juga tidak tahu harus berbuat apa selain mendengarkan saya.” (Rafilus, hal.62) “Dia memberi aba-aba agar saya kembali ke kursi saya. Kemudia dia menyatakan, bahwa dia luar biasa sehat. Mungkin di seluruh Indonesia tidak ada orang sesehat dia. Setahun sekali dia datang ke dokter, dan semua dokter yang memeriksanya tidak pernah tidak terkagum-kagum. Darahnya benar-benar istimewa, dan sulit dicari tandingannya. Dia akan tetap tegak berhadapan dengan segala macam penyakit, sebab semua penyakit justru takut kepadanya.” (Rafilus, hal.68)

4. Tokoh Saya yang menciptakan persepsi diri atas Jumarup. Persepsi tersebut muncul karena alienasi yang dirasakan tokoh Saya terhadap Jumarup.

(14)

datang, dia tidak ada. Di mana anak Jumarup dan seluruh keluarganya, tidak juga ada yang tahu.

5. Tokoh Rafilus yang menciptakan persepsi diri atas dirinya. Persepsi tersebut muncul karena alienasi yang dirasakan Rafilus terhadap dirinya sendiri.

“Dia selalu berusaha untuk menyadarkan dirinya bahwa dia hanyalah sebatang kara. Untuk selamanya dia akan sendirian. Hubungannya dengan siapa pun hanya bersifat sementara. Dia hanya mengharapkan apa yang mungki dia capai, yaitu mempunyai anak.” (Rafilus, hal.9)

“Dan entah mengapa dia sering menginginkan kepalanya melesat, lepas dari tubuhnya, kemudian tangannya mengelus-elus kepalanya sendiri.” (Rafilus, hal.24)

6. Tokoh Rafilus yang menciptakan persepsi diri atas Munandir. Persepsi tersebut muncul karena alienasi yang dirasakan Rafilus terhadap Munandir.

“Sebaliknya, Munandir kurang sadar mengenai apa yang diceritakannya. Dia membaurkan kenyataan dengan khayalan, dan sebaliknya. Dan dia terpukau oleh gerak otak dan perasaannya sendiri, sampai-sampai kata-katanya sendiri membiusnya. Dia sendiri tidak menyadari sejauh mana dia sedang mengkaburkan kenyataan dan bukan kenyataan.” (Rafilus, hal.144—145)

7. Tokoh Munandir yang menciptakan persepsi diri atas Rafilus. Persepsi tersebut muncul karena alienasi yang dirasakan Munandir terhadap Rafilus.

“Katanya sekali lagi, Rafilus luar-biasa baik. Meskipun demikian dia menaruh curiga, bahwa kebaikan Rafilus hanyalah usaha untuk mengubur kedekilan jiwanya belaka. Gerak dan warna mata Rafilus, katanya, merupakan pasang-surut pertempuran antara kebajikan dan kejahatan. Dalam sekian banyak pertempuran, kebajikan hampir-hampir tidak pernah menang.” (Rafilus, hal.35)

“Andaikata setan dapat dilihat, pasti warna tubuh setan gelap bagaikan tubuh Rafilus. Dan kegelapan tubuh Rafilus adalah kegelapan jiwanya.” (Rafilus, hal.149)

8. Tokoh Pawestri yang menciptakan persepsi atas ayah dan ibunya. Persepsi tersebut muncul karena alienasi yang dirasakan tokoh Pawestri terhadap ayah dan ibunya.

(15)

“Andaikata dia mampus, mungkin ibunya baru sanggup mencuci pakaiannya sendiri. Tapi karena dia sanggup bernafas, ibunya masih senang memperlakukannya sebagai budak belian. Sering ibunya mengatakan, andaikata tidak ada dia, tidak mungkin ada dia, yaitu Pawestri. Dan ibunya menuntut haknya sebagai orang yang pernah mengadakannya, meskipun sama sekali dia tidak pernah meminta diadakan. Dia justru sering menyesal mengapa dia sudah terlanjur ada. Dan karena sudah terlanjur ada itulah, dia harus tegak.” (Rafilus, hal.104)

Poin-poin kutipan di atas menunjukkan alienasi yang dialami oleh para tokoh dalam novel tersebut. Alienasi tersebut mengakibatkan terciptanya persepsi diri dari seorang tokoh terhadap tokoh yang lainnya. Persepsi tersebut kebanyakan berupa persepsi negatif yang mempengaruhi tingkat alienasi dari tokoh yang teralienasi. Semakin benyak persepsi negatif yang diciptakan oleh seorang tokoh, maka akan semakin teralienasilah tokoh tersebut dari tokoh yang dipersepsikannya. Semua tokoh yang diciptakan BD dalam novel Rafilus mengalami alienasi dari tokoh lain dan bahkan dari diri tokoh itu sendiri. Mengenai bukti alienasi tersebut, dapat dilihat pada kutipan-kutipan mengenai persepsi yang diciptakan oleh tokoh terhadap tokoh lain di atas.

Simpulan

BD adalah seorang pengarang beraliran eksistensialis, yang sering memunculkan tokoh-tokoh bermasalah atau “aneh” dalam karya-karyanya. Salah satu karya BD adalah novel Rafilus. Novel Rafilus banyak memunculkan tokoh-tokoh yang teralienasi dari dunia. Mereka teralienasi dari zaman yang terus berkembang, perbedaan kelas sosial, tokoh lain, diri mereka sendiri, dan sampai mengakibatkan persepsi negatif terhadap tokoh lain, bahkan diri mereka sendiri.

Alineasi tercipta atas hubungan tokoh dengan tokoh lain, tokoh dengan benda lain di luar dirinya, tokoh dengan dirinya sendiri, dan tokoh dengan perkembangan zaman. Alienasi yang dirasakan oleh setiap tokoh tersebut menciptakan persepsi diri dari tokoh yang teralienasi tersebut. Semakin banyak persepsi negatif yang diciptakan oleh tokoh, maka tokoh tersebut akan semakin teralienasi dari tokoh lain, bahkan dirinya sendiri. Terbukti, bahwa banyak tokoh yang semakin teralienasi karena persepsi negatif yang mereka ciptakan.

Daftar Pustaka

Darma, Budi. 2007. Bahasa, Sastra dan Budi Darma. Surabaya: JP BOOKS Darma, Budi. 2008. Rafilus. Yogyakarta: Jalasutra

(16)

Piliang, Yasraf Amir. 2008. Multiplisitas dan Diferensi: Definisi Desain, Teknologi dan Humanitas. Yogyakarta: Jalasutra

Pruit, Dean. G. dan Jeffrey, Z. Robin. 2011. Teori Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Glosarium: 1.250 Entri Kajian Sastra, Seni, dan Sosial

Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Schacht, Richard. 2005. Alienasi Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra Scott, John. 2011. Sosiologi The Key Concepts. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada

Siswanto, Wahyudi. 2013. Pengantar Teori Sastra. Malang: Aditya Media Publishing Soetomo, Greg. 2001. “Seni, Kebudayaan, dan Marxisme Perasaan Putus Asa Para

Referensi

Dokumen terkait

Jadi, berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa sarana dan prasarana pendidikan adalah proses pendayagunaan sarana dan prasarana sesuai dengan prosedur

Hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa pada alpha 5% rata-rata kemampuan kognitif keluarga dalam merawat klien gangguan jiwa meningkat secara bermakna pada kelompok

Ketika suatu plat rata vertical dipanaskan maka akan akan terbentuklah suatu lapisan batas konveksi bebas, Profil kecepatan pada lapisan batas ini tidak seperti profil

Sebagai alternatif, atau jika tidak terlarut air, serap dengan bahan kering yang lengai dan isikan dalam bekas pelupusan bahan buangan yang wajar.. Buang melalui kontraktor

Dari pengujian uji t komparatif didapat nilai thitung = -3,76 dan ttabel = 2,02, dimana nilai thitung lebih kecil dari dari -ttabel dan berada di daerah penolakan H0,

[r]

Penilaian tingkat pengetahuan dilakukan dalam tiga kategori yaitu baik (> 75%), Sedang (56–74%) dan kurang (55%) yang dianalisis secara deskriptif dan diinterpretasikan ke

Pengguna Arena membangun model eksperimen dengan menempatkan modul kotak dari berbagai bentuk yang mewakili proses atau logika. Garis konektor digunakan untuk