Tugas Akhir Semester Matakuliah Kebudayaan Visual
Nama : Fina Zahra
NIM. : 14/371664/PMU/8260 Jurusan : Kajian Budaya dan Media
Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Tayangan Edukatif Alternatif dalam Konvergensi Media Televisi di Indonesia, Tanggungjawab Siapa?
Beberapa tahun terakhir, industri pertelevisian di Indonesia banyak mendapat cibiran dan menuai protes dari masyarakatnya sendiri. Program-program yang ditayangkan oleh stasiun televisi---terutama stasiun televisi berskala nasional--- dianggap hanya mementingkan laba dan mengesampingkan isi siaran. Heru Effendy, seorang pengamat televisi nasional, pernah menulis bahwa perkembangan industri televisi tanah air memberikan dampak yang kontras sekaligus: kemajuannya telah membuat arus informasi menjadi sangat lancar, namun juga menimbulkan disintegrasi bangsa (2009). Disintegrasi bangsa menjadi topik yang banyak didiskusikan oleh kalangan akademis. Persoalan ini dinilai menjadi penyebab merosotnya kualitas moral masyarakat, terutama kaum muda, namun hasil pembahasannya kerap kali sangat teoretik tanpa memberikan suatu alternatif praktis.
Awal kelahiran televisi sebagai sebuah media massa dikarenakan kebutuhan manusia untuk mendapatkan informasi. Karena itulah, program yang pertama muncul adalah program berita. Pada masa awal tersebut, televisi berperan sebagai layanan berita publik yang menjadi sumber informasi masyarakat terhadap kondisi di dunia yang ingin diketahui namun sulit untuk dicapai secara langsung. Kini, fungsi televisi didasarkan pada tiga hal, yakni informasi, pendidikan, dan hiburan. Sayangnya, dari sekian banyak program televisi yang ditayangkan di Indonesia, sebagian besar berupa program hiburan yang langgeng namun sebenarnya banyak menuai kritik, baik dari kalangan akademis maupun masyarakat luas. Kritik yang ditujukan pada acara-acara tersebut kebanyakan disebabkan kekerasan verbal maupun komedi slapstick dalam acara televisi. Selain itu, acara yang ditampilkan di televisi kini lebih banyak menampilkan tindakan yang tidak mencerminkan budaya bangsa, hedonis, dan mengajak mimpi belaka.
alasan penayangan program tersebut didasarkan pada selera dan permintaan masyarakat. Dalam hal ini, tampak bahwa masyarakat atau penonton cenderung dijadikan kambing hitam. Fakta ini kebanyakan berakhir pada kesimpulan bahwa masyarakatlah yang harus mengubah selera dan penilaiannya. Padahal, hingga saat ini masyarakat lebih banyak sekedar menerima apa yang ditampilkan oleh televisi tanpa mampu memilih.
Menanggapi fenomena yang telah disebutkan sebelumnya, maka harus ada sebuah upaya pasti dari stasiun televisi dan komitmen teguhnya sebagai sebuah media massa. Bagaimana pun juga, televisi membangun fondasi ideologi sekaligus menggoyahkannya (Burton, 2000: xii). Karena itu, upaya tersebut dapat dilancarkan melalui apa yang telah ada di televisi dan merupakan sesuatu yang telah familiar dalam masyarakat, yaitu program feature.
Feature dalam Pertelevisian Indonesia
Sebuah program yang menarik di antara beberapa program yang banyak ditayangkan stasiun televisi di Indonesia adalah feature. Feature merupakan program televisi yang menampilkan suatu topik dengan cara yang umum ditemukan pada dokumenter. Namun, feature tidak mengupas secara mendalam layaknya dokumenter. Feature hanya menyoroti permukaannya saja. Di dunia akademik, terkadang feature dianggap sebagai semi dokumenter, atau bahkan bagi beberapa orang yang sinis, dianggap sebagai pelarian kegagalan dalam membuat dokumenter. Namun di dunia pertelevisian, feature merupakan program yang menjanjikan. Feature termasuk program yang sederhana dalam proses produksinya, sehingga seringkali diproduksi oleh stasiun televisi sendiri tanpa melibatkan rumah produksi.
Pada feature, format pengemasan topik yang cenderung secara globalnya saja sering diakali dengan menghadirkan host untuk mengantarkan topik dan menjelaskan beberapa hal. Uniknya, genre program ini tidak ditemukan pada stasiun televisi di negara lain dan hanya ada di Indonesia. Contoh program feature yang banyak mendapat perhatian masyarakat antara lain: “Si Bolang” dan “Laptop Si Unyil”.
berbagai kebudayaan di Indonesia. Hal ini disesuaikan dengan kondisi masyarakat dan agenda pemerintah untuk kembali membangkitkan nasionalisme.
Feature sebagai sebuah program yang ditayangkan secara reguler di stasiun televisi harus selalu bisa mengangkat topik baru. Inilah yang membuat feature hanya ada di Indonesia. Mengangkat topik baru setiap minggunya bukanlah perkara mudah. Produser sebagai penanggungjawab program harus selalu memiliki stok bahan yang akan diliput. Indonesia sebagai negara dengan beragam budaya dan bentang alam yang dinamis serta luas menjadi bahan produksi yang menjanjikan. Karena itulah, jenis yang paling banyak diproduksi adalah kuliner serta adat dan budaya suatu masyarakat di daerah terpencil.
Tahapan Produksi Feature
Di banyak stasiun televisi, feature berada di bawah divisi program yang dikepalai oleh manajer. Manajer ini mengatur produser yang bertanggung jawab atas setiap satu program. Lalu, setiap produser feature bertanggung jawab atas keseluruhan proses, mulai pra-produksi hingga pasca-produksi. Sebelum memproduksi suatu feature, bahkan sebelum ditentukan iya atau tidaknya suatu feature diproduksi, seluruh produser program dan manajer program terlebih dahulu merundingkannya bersama pemimpin stasiun televisi. Pada tahap awal inilah, seorang produser program dapat mengemukakan idenya berdasarkan ideologinya serta berusaha meyakinkan semua yang hadir. Namun, tidak semua ide diterima. Dalam hal ini, pemimpin stasiun televisilah yang mengambil keputusan berdasarkan potensi program yang diajukan untuk diproduksi.
Tahap paling awal sebelum memproduksi sebuah program merupakan saat paling penting karena menentukan bagaimana format program yang akan diproduksi. Di tahap ini, seluruh anggota rapat akan mempertimbangkan apa yang sedang menjadi kecenderungan dan kesukaan masyarakat sebagai calon penonton, ideologi apa yang akan disampaikan melalui program tersebut, bagaimana akan dikemas, dan apakah ada kemungkinan menggandeng sponsor besar. Jika memungkinkan, program tersebut dapat menjadi ajang pencitraan dan bahkan alat politik pemilik stasiun televisi.
Alat tersebut disediakan secara beramai-ramai. Karena itu, setiap produser harus mengatur jadwal bersama dengan bagian penjadwalan dan bagian teknis. Produksi feature seringkali bersifat outdoor, sehingga prosesnya sedikit berbeda dengan program yang diproduksi di dalam studio. Dalam hal ini, produser juga harus memperhitungkan akomodasi kru beserta seluruh alat produksi.
Selama produksi, produser mengawasi dan memberikan arahan mengenai gambar yang harus diambil, bagaimana gambar diambil, siapa saja yang diwawancarai dan diambil gambarnya, dan mengatur waktu produksi. Selain itu, produser jugalah yang memberikan arahan kepada host mengenai apa yang harus ditampilkan dan dijelaskan. Sedangkan terhadap narasumber, produser harus memberikan arahan mengenai pertanyaan apa yang akan ditanyakan dan bila memungkinkan juga menentukan penampilan yang nantinya diserahkan pada bagian make up and wardrobe.
Pada pasca-produksi, biasanya produser membuat naskah untuk gambar yang telah diambil lalu menyerahkannya ke bagian editing. Untuk bagian voice over, produser lebih sering meminta host acara tersebut untuk mengisinya dan memberikan arahan bagaimana intonasi yang harus digunakan.
Dikarenakan feature merupakan program yang umum di televisi indonesia, tiap produser feature harus mengemasnya agar tampak lebih menarik dari yang lain, baru, atau minimal memiliki kekhasan. Produser memiliki wewenang dalam gaya pengemasan program, namun produser juga harus mempertimbangkan bagaimana kecenderungan stasiun televisi yang menyiarkan, sebab bagaimanapun juga, produser berada di bawah kekuasaan dalam struktur perusahaan televisi. Produser adalah seniman yang memiliki kemampuan unggul, namun kemampuannya masih sangat terbatas dibandingkan kekuasaan yang berada di lingkungannya. Produser tidak akan bisa diakui tanpa adanya lingkungan serta struktur yang sesuai dan menyokongnya (Zolberg, 1990:121).
Distribusi Program
Penyiasatan jam siaran sangat penting demi mencapai target audiens. Seringkali, sebuah program acara baru ditempatkan di antara dua program favorit. Dengan demikian, penonton yang tadinya tidak berniat menonton acar baru tersebut akan juga menontonnya jika malas untuk mengganti channel pada jeda dua acara favoritnya. Cara ini, meski tidak valid, namun dianggap mampu mendongkrak rating acara baru tersebut.
mungkin, tetap perlu diupayakan iklan untuk program acara tersebut. Iklan ini berguna untuk selalu mengingatkan pemirsa mengenai jam tayang feature. Iklan feature seringkali bersifat umum untuk semua episode, namun agar lebih menarik, terkadang dilakukan juga iklan untuk episode selanjutnya. Dengan demikian, diharapkan lebih menarik rasa ingin tahu pemirsa. Iklan ini diusahakan singkat namun menarik.
Mengakali Pengemasan Feature
Kebutuhan dan hasrat konsumen merupakan aspek terpenting dalam proses produksi (Walker dan Chaplin, 1997:67). Meskipun masyarakat Indonesia ingin memperoleh informasi mengenai bangsanya dan negerinya, namun perasaan fetis terhadap kebudayaan lain masih mendominasi. Contohnya, feature yang mengulas hal-hal teknis seperti modifikasi otomotif masih ada dan dikemas sebagai sebuah gaya hidup. Gaya hidup yang ditampilkan pun merujuk pada bagaimana negara lain, seringkali merujuk pada negara-negara Barat. Hal ini harus bisa diatasi agar dapat menjadikan feature sebagai sarana edukatif alternatif di media massa.
Kondisi alam Indonesia yang luas, kekayaan alamnya yang dikenal seantero dunia, dan ratusan budaya luhurnya telah sering didengar oleh masyarakat Indonesia. Namun, semua itu seakan menjadi dongeng bagi masyarakat Indonesia sendiri karena pengetahuan mereka akan negerinya dan bangsanya begitu minim.
Dalam beberapa waktu terakhir, kecanggihan teknologi komunikasi telah membawa serta beragam budaya lain ke dalam keseharian masyarakat Indonesia. Namun secara bersamaan, masyarakat Indonesia menjadi silau terhadap produk dan budaya lain. Lalu, terjadilah chaos karena anomalitas sosial akibat terkikisnya ketertarikan dan kebanggaan akan budaya sendiri. Kondisi ini menimbulkan sikap inferioritas terhadap bangsa lain. Bagi masyarakat Indonesia, kesadaran akan kondisi ini kemudian memunculkan kebutuhan yang lebih spesifik, yakni kebutuhan untuk memperoleh informasi mengenai seluk-beluk bangsa dan negerinya sendiri.
Feature sebagai sebuah program yang seolah-olah dilabeli “khas Indonesia” tentunya berusaha mengikuti kemauan pasar, dalam hal ini mengacu pada penonton. Hal ini memberi kesan bahwa televisi merupakan pihak yang simpatik, paham kebutuhan penonton. Namun sebenarnya, penonton seringkali menjadi kambing hitam. Stasiun televisi pada dasarnya bersifat kapitalis, sehingga seringkali menjadi alat sponsor. Permasalahannya, seringkali sponsor berusaha membentuk pasar dengan cara membentuk pola pikir masyarakat. Bila sudah demikian, kapitalis akan berusaha membentuk masyarakat yang konsumtif dan menyebarkan pemikiran ini melalui program yang ditayangkan
Di dalam program feature, informasi mengenai suatu topik ditampilkan secara global dan cenderung dangkal. Namun, hal ini justru sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Pengemasan informasi yang ringan dalam feature sebenarnya merupakan pancingan agar masyarakat (penonton) menjadi tertarik pada topik yang diulas dalam feature. Pengemasan informasi dalam feature ditampilkan secara santai. Hal ini mungkin tampak wajar mengingat feature melakukan ulasan secara dangkal. Namun bila ditinjau lebih jauh, pengemasan yang demikian menunjukkan sebuah upaya untuk menarik minat masyarakat. Bila feature ditampilkan secara serius, ada kekhawatiran masyarakat (atau lebih tepatnya penonton) akan kurang tertarik. Hal ini membuktikan bahwa pihak televisi masih belum cukup percaya diri untuk mengalihkan hasrat penonton terhadap budaya lain ke arah budaya sendiri. Pihak televisi masih belum sepenuhnya percaya akan penontonnya, apalagi daya saing budayanya.
Keraguan stasiun televisi terhadap penontonnya dan kebudayaannya bergabung dengan semangat kapitalis pihak sponsor merupakan sikap pesimistis dan tidak produktif jika dilihat dari kacamata nasionalisme. Jika hal ini terus berlangsung, maka tak ada cara acara televisi di Indonesia mengalami peningkatan. Di sisi lain, penonton tidak pernah benar-benar bisa menyentuh pihak televisi dan memilih acara yang benar-benar diinginkan, yaitu tidak sekedar menghibur tetapi juga mengedukasi. Penonton televisi seolah diberi media untuk berpendapat melalui lini telepon ataupun surat, namun hal itu tak pernah benar-benar berpengaruh terhadap pihak televisi karena masih ada birokrasi dan perhitungan kapitalis di balik setiap tayangan televisi.
hubungan antara produsen dan konsumen itu saling berkaitan. Namun, merujuk pada pendapat Burton, televisi memiliki kemampuan menciptakan ilusi kedekatan atau hubungan palsu antara pengirim di layar dengan penonton sebagai penerima. Selain itu, teks yang ditampilkan di layar televisi merupakan versi realitas yang tergantung pada posisi dan kepentingan sosial serta tujuan produsernya (Burton, 2000). Pihak televisi selaku produsen memiliki pilihan yang sangat beragam. Maka, pihak televisi harus menyadari kemampuannya ini dan menggunakannnya secara bijaksana. Melalui siaran televisi, nasionalisme dan pelestarian budaya dapat dikemas secara menarik dan menghasilkan laba yang tidak sedikit. Mengapa masih ragu?
Sumber Pustaka:
Burton, Graeme. (2000). Membincangkan Televisi: Sebuah Pengantar Kajian Televisi (Terjemahan). Yogyakarta: Jalasutra.
Effendy, Heru. (2008). Industri Pertelevisian Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Walker, John A., dan Chaplin, Sarah. (1997). Visual Culture An Introduction. USA, New York: St. Martin’s Press.