PENDAHULUAN
Keinginan seseorang untuk menjadi penulis di media massa, apakah dia sebagai staf pengajar di perguruan tinggi maupun seorang budayawan bahkan sebagai pekerja swasta bahkan kalangan birokrat sekalipun adalah sangat didambakan. Sesungguhnya untuk menjadi penulis seperti di media massa misalnya merupakan sesuatu yang mudah, asalkan ada kemauan melalui proses belajar yang panjang. Mengapa ? Sebab siapapun kalau dia baru mulai menggoreskan kata-kata yang kemudian menjadi rangkaian kalimat, dan seterusnya menjadi hasil karya tulis dia dalam wujudnya yang sederhana sekalipun pasti menghadapi kendala.
Yang dimaksud disini adalah bahwa hasil karya tulis itu bagi penulis pemula belum merupakan karya yang sekali jadi akan tetap merupakan latihan yang berulang-ulang dan harus pantang menyerah.
PERMASALAHAN
Dalam makalah ini yang disajikan manfaat akademis yang diperoleh bagi seorang
tenaga pengajar yang selalu menulis, dan bagaimana kiat dia menulis supaya dimuat di media massa.
PEMBAHASAN
a. Beberapa Prasyarat
disamping kesungguhan dan ketekunan dalam latihan menuangkan ide yang dapat dikonsumsi publik, ada beberapa prasyarat lain yang harus dipenuhi oleh seorang penulis pemula. Pertama ia harus banyak membaca untuk memperluas wawasan sehingga dapat menyeleksi masalah apa yang patut ditulis. Disamping membaca, ia juga harus rajin mendengar informassi dari pelbagai media yang menginformasikan masalah-masalah actual yang perlu dipecahkan. Bukan hanya ini saja, akan tetapi pernyatan dari para petinggi tentang suatu masalahpun bias menggoda kita untuk menulis, sebab kemungkinan ada pemikiran lain dari kita dengan adanya pernyataan itu. Dan yang penting lagi adalah masalah bagaimana pengamatan atas suatu fenomena yang
MANFAAT AKADEMIS DAN KIAT TEMBUS MENULIS DI
MEDIA MASSA
Jefta Leibo
sedang terjadi dan bias dikaji lebih dalam tentang prospek jangka panjangnya dengan adanya masalah tadi. Penulisan dari masalah yang sudah diseleksi itu sendiri harus memenuhi beberapa syarat yaitu dari segi logika penulisan harus runtun. Artinya, ada prolog kemudian ada data pendukung yang mencerminkan masalah itu patut dikaji dalam tulisan dan kemudian solusi yang ditawarkan (lihat, Slamet Soeseno, 1993 : 101 – 109).
Disamping logika penulisan adalah masalah gaya penulisan yang biasanya enteng jika dibaca public dan mudah difahami atau dengan kata lain bahasanya dalam bentuk ilmiah popular. (lihat, Slamet Soeseno 1980 : 3 – 4). Setiap orang tentu memiliki gaya bahasa sendiri dan ini tentunya dilatarbelakangi oleh disiplin ilmu yang dimilikinya. Hal inni penting untuk menganalisis masalah yang akan atau sedang ditulisnya. Kalau dia seorang sosiolog maka pasti akan kentara dalam analisisnya, begitu juga dengan disiplin ilmu lain.
Memang dalaam kenyataan belum ada “buku pintar” yang membimbing seseorang secara khusus dan praktis untuk menjadi penulis artikel di media massa. Akan tetapi setidaknya seperti yang ditulis oleh Slamet Soeseno (1980 dan 1993) dan redi Panuju (1993 dan 1994) dan
diadakannya diskusi ini dapat membantu penulis pemula tentang masalah ini. Untuk sampai pada tahap memulai menulis tentu harus disertai dengan pengalaman trial and eror dan juga secara jeli melihat masalah apa yang akan ditulis. Yang jelas masalah yang akan ditulis adalah yang actual. Misalnya ketika pemerintah (thn 1997) menaikkan harga gabah dan pupuk, maka banyak penulis dari berbagai disiplin ilmu menulis tentang hal ini. Sosiolog yang menggeluti masalah-masalah pembangunan di pedesaan melihat hal ini sebagai tidak menguntungkan petani (petani kecil). Kebijakan ini hanya menguntungkan petani berlahan luas. Padahal petani di Jawa sebagian besar memiliki tanah kurang dari 0,25 hektar.
Dengan contoh ini sebenarnya saya ingin mengatakan bahwa dari sudut otoritas keilmuan, masing-masing individu punya peluang untuk melontarkan pendapatnya tentang berbagai masalah yang ada disekitarnya. Otoritas keilmuan kita tidak hanya berkutat dalam kampus saja akan tetapi perlu dinikmati oleh masyarakat luas, bahkan merupakan bahan masukan bagi pemerintah. Artinya legitimasi kadar intelektual kita tidak hanya pada mahasiswa dalam proses belajar mengajar di kelas akan tetapi lebih dari itu adalah masyarakat yang melegitimasinya. Disini juga mengandung makna bagaimana kita memberi kontribusi pada masyarakat tentang suatu masalah yang dianggap sangat mendassar. Kasus kenaikan harga gabah dan pupuk misalnya, dengan berbagai tulisan (opini) secara langsung maupun tidak sudah memberi kredit point tersendiri bagaimana kaum intelektual (di kampus) telah membela petani (terutama petani gurem) katimbang HKTI, walaupun nantinya keputusan terakhir berada pada penguasa yang berwenang.
Juga kausus Busang dan Freeport sebenarnya bias ditulis dari berbagai disiplin ilmu. Hanya saja gaya penulisannya memerlukan teknik yang prima. Maksudnya cara penyajiannya menuntut kita untuk berhati-hati dalam memberi
mengadakan rapat-rapat yang diadakan sesuai dengan posisinya itu. Dalam khasanah budaya jawa kritik secara frontal dan kurang memperhitungkan tatakrama memang sangat tidak dianjurkan dan tidak disukai (lihat Frans Magnis Suseno, 1985). Dengan meminjam istilah Prof. Dr. Loekman Soetrisno (Alm) masyarakat Jawa tidak senang dengan “Bratayudha culture”, akan tetapi lebih senang dengan “Ramayana culture”. Kemudian kita temui dalam kehidupan kita sehari-hari ada ungkapan “ngono yo ngono ning ojo ngono” tentu juga mencerminkan nasihat agar gaya kritik yang berbasis budaya Jawa memiliki muatan tatakrama yang santun.
Barangkali ada pertanyaan dikalangan intelektual apakah posisi kita selalu seperti itu ? Artinya posisi dalam hal mengkritik kebijakan penguasa selalu memperhitungkan berbagai hal ? Jawabnya secara empirik adalah Ya. Mengapa ? karena sekali lagi perlu diperhitungkan faktor budaya. Selain itu ada beberapa hal fundamental yang tak boleh dilanggar adalah : jangan menulis sesuatu yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45. Hal ini dikalangan penulis artikel di media massa lebih populer dengan istilah “tabu area” (pinjam istilah Moegono, SH). Sebagai kaum intelektual rambu-rambu ini harus diketahui dan jangan dilanggar. Toh kalau
mau nyrempet bahaya, pakailah polesan bahasa yang hanya diketahui strata masyarakat tertentu saja.
b. Manfaat Akademis
Jadi yang jelas manfaat akademis dalam hal menulis di media massa adalah : pertama secara individual semakin memperkaya wawasan keilmuan kita sekaligus membuat kita peka dan kritis terhadap berbagai persoalan dalam perubahan sosial yang tengah berlangsung. Kedua secara kelembagaan (fakultas/
lembaganya. Jadi dengan demikian ada legitimasi dari masyarakat (ilmiah) tentang kualitas tenaga pengajar lewat tulisannya di media massa. Jadi tidak sepenuhnya benar bahwa kualitas perguruan tinggi seakan akan bisa diukur dari banyaknya jumlah Guru besar yang dihasilkan. Karena ironis memang pada lembaga perguruan tinggi tertentu di negeri ini terkadang seseorang setelah mendapat predikat Guru Besar itu tidak mengeluarkan pandangan dan pendapat ke masyarakat lewat tulisan yang memberi kontribusi bagi masyarakat secara luas. Maka jangan heran kalau ada gurauan terhadap mereka dengan sebutan “GBHN” alias Guru Besar Hanya Nama (hanya predikatnya saja tanpa ada karya ilmiah lanjutan). Situasi ini jangan sampai berjangkit pada dosen muda yang potensial tapi tanpa punya karya tulis apa-apa. Dengan demikian tetaplah kalau kita mau mengikuti sindiran yang dilontarkan oleh Prof.DR. Sartono Kartodirdjo bahwa Guru Besar yang demikian itu ibarat pohon pisang yang sekali berbuah dan ditebang, maka habislah sudah riwayatnya. Artinya tesis dan disertasi serta pidato pengukuhan itu bukan karya yang pertama dan terakhir. Keempat dampak lain adalah lembaganya semakin dikenal oleh masyarakat, disamping juga individu tersebut mendapat income dalam rangka “survival” jika yang bersangkutan
merasa demikian. Maksudnya disini adalah media massa yang memuat tulisan dari para intelektual itu tidaklah gratisan. Setiap jerih payah para intelektual itu tidaklah gratisan. Setiap jerih payah para intelektual dihargai dalam bentuk financial oleh media massa sebab disini ada semacam “simbiose mulualistis”. Maksudnya semakin sering suatu Koran meminta pendapat dari para intelektual dan berfungsi sebagai sumber berita kaitannya dengan masalah yang sesuai dengan kepakarannya atau tulisannya dimuat, maka dari pihak koran sendiri dapat meraih segmen pasarnya. Sebab kita tahu Koran merupakan suatu institusi bisnis. Itulah sebabnya ada kecenderungan Koran tertentu yang suka memesan tulisan dari para intelektual yang menjadi “kesayangan” pembacanya/pelanggannya kaitannya dengan ketajaman analisisnya. Sebagai contoh dari tulisan pesanan/langganan seperti dari Kwik Kian Gie, Kristianto Wibisono, Mohamad Sobari, Ashadi Siregar dan Mariane Katopo (Suara Pembaruan) Prof.DR. Umar Kayam dan T.Jacob (Kedaulatan Rakyat), Hotman Siahaan (Surabaya Post), Riswanda Himawan (Bernas) dll.
ada persoalan-persoalan actual yang tidak pernah ditanya wartawan, maka bisa diajukan suatu hipotesis PTN atau PTS tersebut berada dalam keadan sakit. Atau setidaknya mengalami apa yang saya sebut sebagai “penyakit rematik social” (mengalami keju-keju dan linu-linu) yang menghambat gerak dan dinamika pengembangan akademik, sementara PTN dan PTS yang lain sudah jauh melaju dengan cepatnya.
CATATAN PENUTUP
Lontaran pikiran singkat ini tentunya belum memuaskan semua pihak, karena kita tahu bahwa ada legitimasi masyarakat terhadap kadar otoritas keilmuan seseorang tidak hanya melalui penulisan artikel di media massa, tapi dalam bentuk penulisan di jurnal penelitian maupun majlah ilmiah bahkan dalam menulis buku. Namun harus disadari bahwa frekwensi
penulisan di media massa lebih intens dan memiliki magnit yang kuat bagi penulis dengan otoritas keilmuwan yang dimilikinya dan lembaga dimana ia bekerja.
DAFTAR PUSTAKA
Frans magnis Suseno, 1985, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijakan Hidu Jawa, PT. Gramedia, Jakarta.
Slamet Soeseno, 1980, Teknik Penulisan Ilmiah Populer, Penerbit PT. Gramedia Jakarta.
_____________ , 1993, Teknik Penulisan Ilmiah Populer : Kiat Menulis Nonfiksi Untuk Majalah, PT. Gramedia Jakarta.
Redi Panuju, 1993, Merambah Hutan Belantara Penulisan Di Media Massa, PT Gramedia.