• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jalan Raya dan Politik Penguasa di Kota

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Jalan Raya dan Politik Penguasa di Kota"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Artikel ini akan membahas secara spesifik mengenai perkembangan dari jalan raya yang ada di kota Surakarta pada awal abad XX. Jalan raya merupakan salah satu faktor yang vital dalam perkembangan suatu kota, baik dalam kegiatan ekonomi, transportasi, bahkan hingga kepentingan militer. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana jalan raya yang terbentuk dan kemudian membentuk suatu kawasan yang baru yang terletak di pinggir jalan raya yang ada di Surakarta.

Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian mengenai jalan raya yang ada di Surakarta pada awal abad XX adalah dimulai dengan tahap Heuristik atau pengumpulan data-data yang berupa arsip sezaman, surat kabar sezaman, artikel, foto, gambar, atau buku-buku referensi. Tahap selanjutnya adalah Kritik Sumber yaitu tahap menganalisis keaslian dan kevalidan dari sumber yang digunakan baik sumber tertulis maupun sumber lisan. Tahap interpretasi adalah tahap menganalisis data yang diperoleh sehingga memperoleh fakta-fakta yang terjadi dalam suatu peristiwa. Tahap yang terakhir adalah tahap historiografi yang menyajikan fakta-fakta yang telah diperoleh dari sumber-sumber yang valid menjadi suatu penulisan sejarah. Pendekatan dari cabang-cabang ilmu lain juga sangat diperlukan dalam penelitian ini, terutama dalam menganalisis dari segi tata kota dan kearsitekturan.

Hasil dari penelitian ini akan mengungkapkan seperti apa fungsi jalan raya yang ada di kota Surakarta beserta dengan dampak sosial ekonomis serta urban symbolisme yang terjadi dan untuk mengetahui bagaimana jalan raya yang terbentuk dan kemudian membentuk suatu kawasan yang baru yang terletak di pinggir jalan raya yang ada di Surakarta. Surakarta yang pada awal abad XX telah menjadi salah satu kawasan perkotaan yang ramai, hal ini karena Surakarta terdapat dua poros kerajaan besar yaitu Kasunanan dan Mangkunegaran. Membahas mengenai jalan raya di Surakarta tidak terlepas dari Jalan Slamet Riyadi atau dulu sering disebut dengan poerwasariweg yang merupakan jalan utama kota Surakarta dan jalan raya lama atau jalan yang digunakan dalam rute paliyan nagari “boyong kedhaton” dari Kartasura ke Surakarta yang disebut sebagai salah satu jalan tertua yang ada di daerah Vorstenlanden. Kehidupan perekonomian di Surakarta juga sudah maju dengan adanya beberapa pabrik-pabrik besar, mulai dari pabrik gula Colomadu dan Tasikmadu, pabrik es Sari Petojo, pabrik air mineral, dan pabrik rokok Faroka yang sebagian besar berada di pinggir jalan raya. Keberadaan jalan raya kemudian juga melahirkan alat-alat transportasi modern yang muncul di Surakarta pada awal abad XX, mulai dengan adanya trem hingga mobil-mobil pribadi yang juga berbagi jalan dengan para pejalan kaki serta gerobak. Jalan raya yang dianggap penting sebagai pendorong perekonomian kota, salah satu yang dibutuhkan yaitu penerangan. Sebuah lampu minyak yang sengaja dipasang untuk menerangi jalan raya barulah beralih menjadi lampu kota bertenaga listrik setelah masuknya listrik di Surakarta pada tahun 1905. Alat transportasi dan listrik ini juga menimbulkan pembangunan hotel-hotel, tempat-tempat hiburan dan toko-toko kelontong yang mulai menjamur di Surakarta.

(2)

Jalan Raya dan Politik Penguasa

di Kota Solo Awal Abad XX

Disusun Guna Memenuhi Tugas Sejarah Perkotaan

Pengampu : Asti Kurniawati, S.S, M.Hum.

Disusun Oleh:

1. Apriliandi Damar Priyambodo C0510011

2. Sayid Basunindyo C0510039

JURUSAN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

(3)

Jalan Raya dan Politik Penguasa di Kota Solo Awal Abad XX Oleh : Apriliandi Damar & Sayid Basunindyo

Masalah kondisi lingkungan kota-kota di Indonesia di awal abad XX yang salah satunya menyangkut tentang jalan raya. Pada dasarnya tengah kota di seluruh Indonesia mengalami permasalahan yang sama mengenai buruknya infrastruktur kota yang disebabkan ketidakpedulian pemerintah kolonial. Pada masa itu pemerintah kolonial terlalu mementingkan pembangunan dalam sektor-sektor yang berhubungan erat dengan perekonomian, contohnya adalah pembangunan besar-besaran dalam sektor perkebunan yang membuat pemerintah terlalu acuh dalam pembangunan infrastruktur perkotaan.

Kota Surakarta yang menjadi pusat kerajaan Mataram ditambah dengan kehadiran residen pada tahun 1755 membawa perkembangan baru terhadap perkampungan di kota Surakarta yang diidentifikasi oleh munculnya gedung-gedung bergaya Eropa, komplek pertokoan, sekolah, dan Benteng Vastenburg sebagai pusat perkampungan Eropa yang terletak di Loji Wetan.1 Pusat kota sering diidentikkan dengan pusat perekonomian dan juga pusat pemerintahan. Sebagian besar pemukim di daerah pusat kota adalah para pejabat atau juga para bangsawan dan juga orang-orang yang mempunyai uang yang banyak. Pembangunan perkotaan ini mulai dilakukan saat awal abad 17 dengan gaya bangunan Eropa yang mendominasi kawasan kota.2 Ketakutan orang Eropa terhadap penduduk asli setempat dengan begitu memunculkan pemikiran untuk menciptakan pemukiman dengan benteng-benteng pertahanan seperti Benteng Vastenburg.

Pengaturan tempat yang sedemikian rupa itu berkaitan dengan kepentingan keamanan pemerintah kolonial di Surakarta. Sebelum menguasai sebuah kota, biasanya pemerintah kolonial mendirikan benteng di sekitar sungai yang berfungsi sebagai tempat menyimpan hasil bumi yang akan dijadikan sebagai barang ekspor. Setelah berhasil

1 M. Hari Mulyadi & Soedharmono, Runtuhnya Kekuasaan Keraton Alit, (Surakarta: LPTP,1999), hlm. 190.

(4)

menguasai sebuah kota kemudian pemerintah kolonial membangun sebuah townhall atau balaikota sebagai pusat pemerintahan yang nantinya akan menjadi pusat kota baru. jalan yang berada di sekitar townhall nantinya akan menjadi jalan utama kota atau heerenstraat.3

Jalan utama di Surakarta yang menjadi heerenstraat adalah poerwasariweg atau Jalan Slamet Riyadi, yang kemudian lambat laun tumbuh sebagai aspek pendukung aktivitas ekonomi kota. Dengan demikian proses perkembangan Poerwasariweg sejak mulai dibangun hingga menjadi sebuah jalan raya serta urban simbolisme yang meniimbulkan persaingan simbol politik dan budaya antar penguasa menarik untuk dibahas.

Poerwasariweg: Jalan Raya Pertama Kota Solo

Jalan dinilai sebagai elemen penting dalam keberlangsungan suatu kota, bahkan juga negara. Hal inilah yang mendorong Daendels ketika menjadi Gubernur Jenderal untuk membuat akses jalan agar dapat mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Daendels kemudian membangun jalan dari Anyer-Panarukan atau yang sering disebut juga sebagai Grote Postweg guna mempermudah dalam mobilisasi militer di Jawa. Grote Postweg atau jalan raya pos ini memiliki skema yang sama seperti “Roman Highroads”, dimana pembangunannya untuk kepentingan militer. Pembangunan jalan ini membutuhkan biaya dan pekerja dalam jumlah besar. Dampak positif dari Jalan raya pos ini adalah mampu meningkatkan keuntungan penduduk lokal baik industri maupun perdagangan dan bagi pemerintah kolonial dapat memudahkan mobilisasi militer.

Surakarta sebagai kota yang strategis juga memiliki beberapa akses jalan yang sangat mendukung. Jalan Slamet Riyadi atau Poerwasariweg merupakan jalur pindahan dari jalan protokol kota yang sebelumnya berada melintasi Kartasura hingga Slompretan atau kawasan Klewer. Peristiwa penting yang terjadi di jalan itu yakni prosesi boyong kedhaton atau perpindahan Kraton Kartasura ke sebuah desa Sala yang kemudian menjadi

(5)

pusat Kraton Surakarta Hadiningrat akibat dari peristiwa geger pecinan yang membumihanguskan Kartasura sehingga diyakini telah hilang kesuciannya.

Jauh seusai peristiwa palihan nagari dari Kartasura ke Surakarta yang diikuti oleh kehadiran pemerintahan kolonial, mulai memunculkan keinginan untuk menciptakan akses baru menuju pusat pemerintahan kolonial. Pada tahun 1900 pembangungan terhadap infrastruktur kota yang diprakarsai oleh pemerintah kerajaan dan pemerintah kolonial menghasilkan infrastruktur yang mengacu pada konsep kota modern. Salah satunya yaitu pembangunan jalan raya dari kawasan Purwosari hingga kawasan Benteng Vastenburg yang kala itu menjadi pusat pemerintahan. Jalan yang sengaja dibangun sebagai akses langsung mengarah ke wilayah mancanegara ini berguna untuk mempermudah proses mobilitas antar wilayah kekuasaan pemerintah kolonial. Barulah semenjak itu jalan Slamet Riyadi dikatakan sebagai hereenstraat atau jalan utama.

Penentuan jalan utama ini bisa dilihat dalam hal penamaan jalan, Poerwasariweg yang menggunakan akhiran “weg” bukan “straat”. Kata straat mempunyai arti jalan lokal atau juga jalan yang masih berbatu, sedangkan weg mempunyai arti menghubungkan dua lokasi. Lokasi yang dimaksud adalah Pusat kota (Vastenburg) dan Purwosari, maka dinamakanlah jalan ini Poerwasariweg. Jalan sepanjang sekitar 5 km ini merupakan tempat favorit bagi orang Eropa dan orang kaya untuk membangun rumah yang mewah dan juga kawasan pertokoan.

Semenjak Poerwasariweg menjadi jalan utama, banyak muncul komunitas asing yang mulai tergerak untuk memanfaatkan keberadaan jalan untuk kepentingan perekonomian dengan membuka komplek pertokoan, hotel atau penginapan, pabrik dan pusat hiburan. Antara lain pertokoan yang telah ada di Surakarta yakni Toko Daging Kemasan “Parmesan”, Toko Keju “Edam”, Toko Pakaian bagi militer maupun sipil, Toko Lobato, Toko Ahli Membuat Jam “Fritchi”. Kemudian untuk pabrik-pabrik yang didirikan antara lain Pabrik Rokok “Faroka”, Pabrik Es “Sari Petodjo”, Pabrik Air Mineral serta hotel yang berdiri adalah Hotel Soerakarta.4 Kemunculan beberapa pertokoan maupun hotel yang

(6)

berada di sekitar Poerwasarieweg menunjukkan terjadinya perubahan gaya hidup kota. Letak Sriwedari yang berada di pinggir Poerwasarieweg juga menjadi suatu daya tarik tersendiri, mulai dari bioscoop, kebun binatang, pertunjukan wayang orang, dan restauran terdapat di kompleks Sriwedari.

Aktivitas yang ada di jalan raya ini tidak hanya berlangsung saat pagi hingga siang hari saja sehingga untuk menunjang aktivitas di malam hari diberikan penerangan yang berupa lampu ting atau lampu teplok yang memakai kaca berbentuk segi empat. Lampu ting itu ditata secara tergantung di tengah jalan raya dengan jarak 1 meter setiap lampunya. Hanya saja kelemahan dari lampu ting ini terletak pada kondisi cuaca, hujan maupun angin. Barulah pada tahun1902, teknologi listrik masuk di Surakarta dengan sebuah pembangkit listrik yang kemudian berkembang menjadi sebuah perusahaan listrik “Solosche Electriciteist Maatschappij” dengan dukungan para saudagar yang dirasa sangat membutuhkan teknologi baru ini. Dan pada saat itu pula transformasi pada penerangan kota dari lampu minyak menjadi lampu kota bertenaga listrik.5 Selain berkaitan dengan penerangan juga berkaitan dengan peningkatan perekonomian di sepanjang jalan Poerwasarieweg seperti halnya bertambahnya waktu produktif yang diterapkan di toko-toko maupun hotel.

Semakin besar pertumbuhan ekonomi suatu perkotaan juga mempengaruhi pertumbuhan penduduk dan semakin menunjukkan secara jelas corak kekotaan suatu tempat. Kehidupan sosial yang berada di pinggir Poerwasarieweg juga mencerminkan betapa majunya Surakarta sebagai suatu kota besar, hal ini ditunjukkan dengan orang-orang di pinggir jalan Poerwasarieweg terdorong untuk melakukan kegiatan mencari nafkah di bidang non-agraris seperti perdagangan, industri dan perkantoran. Poerwasarieweg menjadi salah satu titik pertemuan orang-orang di Surakarta, mulai dari orang-orang Eropa, bangsawan, dan pribumi baik yang bekerja sebagai pegawai pemerintahan, pedagang, maupun buruh.

Indonesia IX di Jakarta, 5 -8 Juli 2011. hlm. 3

(7)

Pengguna dari jalan Poerwasarieweg ini juga bermacam-macam dan terdapat stratifikasi pengguna jalan, mulai dari pejalan kaki, gerobak, mobil, dan trem. Para pejalan kaki yang kebanyakan merupakan pribumi, baik bangsawan maupun rakyat jelata mendominasi jalan Poerwasarieweg pada awalnya. Pejalan kaki ini awalnya bersaing dengan gerobak sapi dalam penggunaan jalan, namun seiring perkembangan teknologi transportasi Poerwasarieweg mulai disesaki oleh kendaraan bermotor seperti mobil-mobil para bangasawan dan trem. Keberadaan mobil dan trem tersebut semakin membuat para pejalan kaki berdebar-debar karena semakin tergusur dengan pengguna mobil yang kerap melaju kencang. Untuk meminimalisir kecelakaan yang terjadi antara pejalan kaki dan pengguna mobil maka ditugaskan beberapa orang yang ditempatkan di persimpangan yang ramai. Untuk mendukung suasana perkotaan yang rindang maka pinggiran jalan Poerwasarieweg sengaja ditanami dengan pepohonan yang didominasi oleh pohon asem jawa dan penduduk sekitar Poerwasarieweg menyediakan kendi yang berisi air untuk para pejalan kaki. Hal tersebut menunjukkan interaksi sosial yang terjadi karena adanya jalan Poerwasarieweg.

(8)

Poerwasarieweg ini juga sudah memperhatikan dalam hal drainase, dimana letaknya kini berada di atas jalur city walk. Saluran drainase ini sangatlah penting karena Surakarta sering mengalami banjir saat musim hujan yang meluap sampai ke pusat kota. Belanda memang menciptakan Surakarta dengan baik, ramah lingkungan, dan mendukung aktivitas ekonomi yang bermanfaat bagi orang Belanda sendiri bukan untuk pribumi. Hal ini didukung dengan pembangunan jalur trem dari Sangkrah-Purwosari untuk selanjutnya menuju Jogjakarta dan dari Balapan menuju ke Semarang. Serta kebanyakan penumpang dari trem adalah para orang Eropa dan juga pribumi yang mampu saja.

Pembatas Ruang Politik dan Budaya

Poerwasarieweg membelah kota menjadi dua kultur yang berbeda, antara kampung lor dan kampung kidul yang mendapat pengaruh dari penguasa di kota Solo yakni Kasunanan dan Mangkunegaran. Ideologi kerajaan yang berbeda ini mempengaruhi pertumbuh struktur perkotaan di sekitarnya. Seperti pada aspek pendidikan, yang dimana pada belahan utara jalan slamet riyadi berkembang pendidikan dengan system modern seperti MULO karena Mangkunegaran banyak mendapat stimulan dari pihak kolonial yang ikut berpartisipasi dalam pemerintahan Mangkunegaran. Sedangkan di belahan Poerwasarieweg tumbuh pendidikan dengan sistem islam, seperti halnya banyak ditemui pondok pesantren seperti Mamba’ul Ulum, Ta’mirul, dan Jamsaren. Hal ini dipengaruhi oleh ideologi islam yang dianut oleh Kasunanan, karena memang masih mengadopsi kultur dari dinasti Mataram Islam.

(9)

mangkunegaran untuk kepentingan yang berkaitan dengan romantisme Mangkunegaran dengan pihak colonial. Terlihat pada banyaknya societeit di sekitar kadipaten Mangkunegaran. Berbanding terbalik dengan kondisi yang ada di sekitar Kasunanan, kebudayaan tradisional sangat dipertahankan dengan berbagai macam upacara yang digelar serta tradisi yang berkembang lebih kompleks.

Poerwasarieweg ini juga dapat menjadi sebuah penanda selain Gapura jika sudah berada di pusat kota Surakarta. Indikasi tersebut didapat karena sepanjang Poerwasarieweg ini banyak berjajar pemukiman-pemukiman mewah, pusat hiburan berupa komplek Sriwedari dan gedung teater, pusat pemerintahan yaitu gedung Residen dan Asisten residen berada di pinggir Poerwasarieweg bahkan Kapiten Cina juga mempunyai rumah di dekat Sriwedari. Saat seseorang berada di Poerwasarieweg yang mereka pikirkan adalah sebuah pusat kota. Orang-orang mancanegara memang menjadikan Surakarta sebagai kota destinasi wisata seiring dengan kebutuhan akan munculnya ekonomi waktu luang atau leisure economy.6

Perang Simbol Penguasa di Jalan Raya

Transportasi publik yang memadai bagi penduduk maupun pendatang sepanjang Poerwasarieweg dimana pengadaan trem untuk angkutan terjadi pada sekitar tahun 1900 yang dimulai dari pusat kota, yaitu dari halte di depan Benteng Vastenburg. Trem ini ditarik dengan kuda yang pada setiap pos akan berhenti karena menjadi tempat naik turunnya penumpang. Rute yang dilalui dari Benteng Vastenburg ke arah selatan ke barat menuju Purwosari, trem berhenti sekali di Kauman menuju Derpoyudan sebelah barat Nonongan, ke barat sampai di halte Pasar Pon, dari situ kereta dapat bersimpangan dengan trem yang datang dari barat. Perjalanan trem melintasi jalan besar di sebelah selatan ke barat berhenti di Bendha depan Sriwedari menuju Pesanggrahan (Ngadisuryan) berbelok ke utara memotong jalan besar sampai stasiun Purwosari dan berhenti di situ. Dari Purwosari kereta

(10)

menuju ke barat dan berakhir di Dusun Gembongan di mana ada pabrik gula. Trem berhenti di situ sebagai pengangkut punggawa pabrik yang akan pergi ke Solo.7

Selain trem, jalanan Poerwasarieweg sudah dipenuhi dengan para pejalan kaki dan gerobak-gerobak kuda atau sapi yang hilir mudik sepanjang jalan. Para pejalan kaki ini umumnya berjalan tanpa alas kaki, mereka harus berbagi jalan dengan gerobak-gerobak sapi yang kadang kala membuang kotoran di sepanjang jalan dan belum lagi debu-debu yang dihasilkan saat mobil-mobil melintas menambah kesengsaraan para pejalan kaki ini. Perkembangan dalam dunia otomotif ini semakin menggusur para pejalan kaki ini, hal ini menyimbolkan bahwa adanya penindasan para pejalan kaki yang kebanyakan merupakan pribumi oleh para pengemudi mobil-mobil yang kebanyakan merupakan orang Eropa seperti yang diungkapkan oleh Mas Marco dalam Doenia Bergerak. Jalan awalnya memang dibuat untuk memudahkan mobilisasi orang atau barang dari satu tempat ke tempat lain, namun seiring dengan berkembangnya zaman jalan memiliki makna dan implikasi yang semakin luas. Jalan tidak lagi sebagai infrastruktur kota tapi juga sebagai arena untuk mempertontonkan kekuasaan, kekayaan, gaya hidup, dan bahkan dalam waktu yang bersamaan dapat juga untuk meminggirkan kelompok-kelompok tertentu yang kalah dalam persaingan.8

Pakubuwono X lalu menggunakan mobil sebagai simbol perlawanan terhadap Belanda, sikap ini diperjelas dengan pembelian mobil Daimler tersebut oleh keluarga Sunan Solo, disebabkan karena Sunan tidak mau kalah gengsi dengan Gubernur Jenderal. Sebelumnya, ketika Gubernur masih menggunakan mobil merk Fiat atau sebuah kereta yang ditarik dengan 40 ekor kuda, tidak seorang pun berani menyainginya. Tetapi tiba-tiba saja Sunan Solo memesan mobil dari pabrik dan merk yang sama, Kanjeng Raden Sosrodiningrat memesan mobil Daimlernya lewat Prottel & Co.9

7 Joko Prayitno, Masyarakat Dan Perubahan Sosial: Surakarta Awal Abad XX dalam http://phesolo.wordpress.com/2012/06/28/masyarakat-dan-perubahan-sosial-surakarta-awal-abad-xx/ diakses pada 21 Mei 2014

8 Purnawan Basundoro., op.cit., hlm. 167.

(11)

Terciptanya suatu pusat kota baru yaitu dalam bentuk jalan Poerwasariweg yang semakin “merusak” sentralitas raja. Pembentukan pusat kota baru di Surakarta ini nampaknya hanya menguntungkan bagi pihak Belanda, karena secara gamblang pertumbuhan kota Surakarta terlepas dari rencana keraton. Belanda mulai membangun komunitas-komunitas pemukiman Eropa di Loji Wetan dan Vastenburg dibangun dekat dengan keraton agar mudah mengawasi raja. Pergeseran orientasi yang memperlemah simbolisme tradisional ini terjadi juga pada tata letak bangunan Eropa di lingkungan istana. Di Solo, pada awal abad XX masyarakat kota sudah bisa menyaksikan perpaduan kekuasaan yang mengganggu keseimbangan istana. Kantor Residen Belanda berdiri melawan Gedung Kepatihan, Benteng Vastenburg melawan Panggung Sanggabuwana, Gereja Khatolik Purbayan melawan Masjid Agung, Bondolumekso melawan Javasche Bank dan Volkscredit Bank, serta Taman Sriwedari dan Balekambang yang melawan Schouwburg dan Gedung Societeit.10

Kesimpulan

Fungsi Poerwasariweg sebagai sebuah jalan raya di Surakarta memiliki fungsi sebagai sebuah akses menuju wilayah sentral yang mana berkaitan dengan wilayah pemerintahan baik pmerintah kolonial pada benteng maupun pemerintah tradisional pada istana atau kraton. Selain itu Poerwasariweg juga berfungsi menjadi sebuah jalur perdagangan Solo-Jogja maupun dari Purwosari ke arah pusat-pusat perekonomian seperti Pasar Gedhe dan Pasar Slompretan atau Klewer. Dari situ pula lah di pinggir jalan raya didapati komplek pertokoan yang dimiliki oleh komunitas asing.

Munculnya komunitas-komunitas asing di sekitar Poerwasariweg ini menunjukkan adanya dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan oleh keberadaan jalan raya. Poerwasariweg menjadi lokasi favorit bagi orang kaya dari kalangan Eropa, Tionghoa, maupun pribumi untuk membangun rumah besar yang mewah, dikelilingi halaman luas, di lingkungan cukup representatif. Mereka menganggap bahwa Poerwasariweg memiliki nilai

(12)

ekonomis, sehingga mereka mulai bermunculan komplek pertokoan yang berupa ruko-ruko di pinggir jalan.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin Kusno. 2012. Zaman Baru dan Generasi Modernis: Sebuah Catatan Arsitektur, Jogjakarta: Ombak.

Colombijn, Freek (ed) dkk. 2005. Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-Kota di Indonesia, Jogjakarta: Ombak.

Hari Mulyadi, M., & Soedharmono. 1999. Runtuhnya Kekuasaan “Kraton Alit”. LPTP: Surakarta.

Mrazek, Rudolf. 2006. Engineers of Happy Land: Perkembangan Tekologi dan Nasionalisme di sebuah Koloni, Jakarta: Yayasan Obor.

Nas, Peter J.M. 1979. Kota di Dunia Ketiga: Pengantar Sosiologi Kota - Buku 1: Kota dalam Berbagai Kawasan, Kebudayaan dan Masa. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

_____________. 2009. Masa Lalu dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

_____________. 1993. Urban Symbolism, Koln: Brill.

Purnawan Basundoro.2012. Pengantar Sejarah Kota, Jogjakarta: Ombak.

R.M. Sayid. 2001. Babad Sala (edisi terjemahan oleh Darweni). Surakarta: Perpustakaan Rekso Pustoko.

Rully Damayanti & Handinoto, Kawasan “Pusat Kota” Dalam Perkembangan Sejarah Perkotaan Di Jawa dalam jurnal Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 33, No. 1, Juli 2005.

Sri Margana & M. Nursam. 2010. Kota-Kota Di Jawa: Identitas, Gaya Hidup, & Permasalahan Sosial. Jogjakarta: Ombak.

Referensi

Dokumen terkait

1. Menghindari kontak langsung dengan Handphone ketika menelepon ataupun menerima telephone. Menghindari pajanan saat menggunakan Handphone pada waktu signal kurang baik

Tujuannya untuk mengetahui hubungan antara antara kecepatan dan kelincahan terhadap ketrampilan menggiring bola dalam sepak bola pada siswa Lembaga Pendidikan Sepak Bola (LPSB)

Untuk mengetahui pengaruh yang terjadi antara variabel independen terhadap variabel dependen, maka model analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

A descriptive case study is used to find out the accuracy of the calculation using existing cost method and ascertain that this method is less accurate to identify

Ditemukan juga bahwa terdapat hubungan antara karakteristik informasi berupa broadscope dengan kinerja manajerial yang diukur dalam hal kiprah manajer di

Berdasarkan permasalahan di atas penulis membuat sebuah aplikasi penjualan yang akan mempercepat proses pencatatan produk yang akan dipesan oleh customer, yang mana pada

baling kapal Anugerah Perdana-09 yang telah dilakukan pengujian dengan cairan magnavis 7HF MPI Ink dan cairan magnavis WCP-2.Tapi hasil tidak terdapat cacat

2) Perancangan Sistem Pendeteksian Warna Perancangan sistem pada penelitian ini mengunakan perangkat lunak Matlab 7 untuk analisis citra sehingga dapat mendeteksi gerakan