Laporan Analisis Kebijakan
KAJI AN MASTERPLAN PERCEPATAN DAN
PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI I NDONESI A
( MP3EI )
Handew i P. Saliem
Supriyati
Erizal Jamal
Sri Hery Susilow aty
Helena Juliani Purba
Rina Cantayani
PUSAT SOSI AL EKONOMI DAN KEBI JAKAN
PERTANI AN
BADAN PENELI TI AN DAN
PENGEMBANGAN PERTANI AN
PENDAHULUAN
1.1. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi I ndonesia ( MP3EI ) 2011- 2025
Selaras dengan visi pembangunan nasional sebagaimana tertuang dalam Undang- Undang
Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025,
maka visi Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi I ndonesia adalah “Mewujudkan
Masyarakat I ndonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur” (Republik I ndonesia, 2011). Visi
menjadi negara maju dan sejahtera dengan indikator PDB sekitar USD 4,3 Triliun dan menjadi
negara dengan PDB terbesar ke-9 di dunia. Untuk mewujudkan visi tersebut maka pada tanggal
20 Mei 2011 telah diterbitkan Peraturan Presiden Republik I ndonesia Nomor 32 Tahun 2011
tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi I ndonesia (MP3EI )
2011-2025. Ditargetkan kontribusi PDB dari koridor ekonomi sebagai bagian dari transformasi
ekonomi sekitar 82 persen atau USD 3,5 Triliun. MP3EI merupakan dokumen rencana
pembangunan dimana arahnya tidak pernah bergeser, tetap berpatokan pada Visi I ndonesia
2025, yaitu mengangkat I ndonesia menjadi negara maju dan merupakan kekuatan 12 besar
dunia di tahun 2025 dan 8 besar dunia pada tahun 2045 melalui pertumbuhan ekonomi tinggi
yang inklusif dan berkelanjutan.
MP3EI adalah program pemerintah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah
I ndonesia. Pembangunan koridor ekonomi di I ndonesia dilakukan berdasarkan potensi dan
keunggulan masing-masing wilayah yang tersebar di seluruh I ndonesia. Sebagai negara yang
terdiri atas ribuan pulau dan terletak di antara dua benua dan dua samudera, wilayah
kepulauan I ndonesia memiliki sebuah konstelasi yang unik, dan tiap kepulauan besarnya
memiliki peran strategis masing-masing yang ke depannya akan menjadi pilar utama untuk
mencapai visi I ndonesia tahun 2025. Dengan memperhitungkan berbagai potensi dan peran
strategis masing pulau besar (sesuai dengan letak dan kedudukan geografis
masing-masing pulau), telah ditetapkan 6 (enam) koridor ekonomi.
Melalui langkah MP3EI , percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi akan
menempatkan I ndonesia sebagai negara maju pada tahun 2025 dengan pendapatan per kapita
yang berkisar antara USD 14.250-USD 15.500 dengan nilai total perekonomian (PDB) berkisar
antara USD 4,0-4,5 triliun. Untuk mewujudkannya diperlukan pertumbuhan ekonomi riil sebesar
Pertumbuhan ekonomi tersebut akan dibarengi oleh penurunan inflasi dari sebesar 6,5 persen
pada periode 2011-2014 menjadi 3,0 persen pada 2025. Kombinasi pertumbuhan dan inflasi
seperti itu mencerminkan karakteristik negara maju (Gambar 1).
Gambar 1. Aspirasi Pencapaian PDB I ndonesia (Republik I ndonesia 2011)
Dalam penjelasan UU 17 tahun 2007, dinyatakan bahwa visi 2025 akan diwujudkan
melalui 3 (tiga) misi yang menjadi fokus utamanya, yaitu:
1. Peningkatan nilai tambah dan perluasan rantai nilai proses produksi serta distribusi dar i
pengelolaan aset dan akses (potensi) SDA, geografis wilayah, dan SDM, melalui penciptaan
kegiatan ekonomi yang terintegrasi dan sinergis di dalam maupun antar-kawasan
pusat-pusat pertumbuhan ekonomi.
2. Mendorong terwujudnya peningkatan efisiensi produksi dan pemasaran serta integrasi pasar
domestik dalam rangka penguatan daya saing dan daya tahan perekonomian nasional.
3. Mendorong penguatan sistem inovasi nasional di sisi produksi, proses, maupun pemasaran
untuk penguatan daya saing global yang berkelanjutan, menuju innovation-driven economy.
Terkait dengan focus misi untuk mencapai visi 2015, maka t ema pembangunan
masing-masing koridor ekonomi dalam percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi adalah
1. Koridor Ekonomi Sumateramemiliki tema pembangunan sebagai “Sentra Produksi dan
Pengolahan Hasil Bumi dan Lumbung Energi Nasional”;
2. Koridor Ekonomi Jaw amemiliki tema pembangunan sebagai “Pendorong I ndustri dan Jasa
Nasional”;
3. Koridor Ekonomi Kalimantanmemiliki tema pembangunan sebagai “Pusat Produksi dan
Pengolahan Hasil Tambang & Lumbung Energi Nasional”;
4. Koridor Ekonomi Sulaw esimemiliki tema pembangunan sebagai ‟Pusat Produksi dan
Pengolahan Hasil Pertanian, Perkebunan, Perikanan, Migas dan Pertambangan Nasional” ;
5. Koridor Ekonomi Bali – Nusa Tenggaramemiliki tema pembangunan sebagai‟Pintu
Gerbang Pariwisata dan Pendukung Pangan Nasional”;
6. Koridor Ekonomi Papua-Kepulauan Malukumemiliki tema pembangunan sebagai
“Pusat Pengembangan Pangan, Perikanan, Energi, dan Pertambangan Nasional”.
Dengan diterapkannya koridor ekonomi yang tertuang di dalam MP3EI ini, secara
keseluruhan, PDB I ndonesia akan bertumbuh lebih cepat dan lebih luas, baik untuk daerah di
dalam koridor, maupun untuk di daerah di luar koridor. Pertumbuhan tahunan PDB nasional
dengan penerapan MP3EI akan menjadi sekitar 12,7 persen secara nasional, dengan
pertumbuhan wilayah di dalam koridor sebesar 12,9 persen. Pertumbuhan di luar koridor juga
akan mengalami peningkatan sebesar 12,1 persen sebagai hasil dari adanya spillover effect
pengembangan kawasan koridor ekonomi. Pertumbuhan tahunan di Koridor Ekonomi Jawa
disesuaikan dengan RPJMN agar tercapai pengurangan dominasi Pulau Jawa dibandingkan
dengan pulau-pulau lain pada tahun 2025. Selain itu, diharapkan juga terjadi kenaikan
pertumbuhan ekonomi secara merata untuk koridor-koridor ekonomi di luar Jawa (BBSDL,
2011).
Pengembangan MP3EI berfokus pada 8 program utama, yaitu: pertanian, pertambangan,
energi, industri, kelautan, pariwisata, telematika, dan pengembangan kawasan strategis.
Kedelapan program utama tersebut terdiri dari 22 kegiatan ekonomi utama yang disesuaikan
dengan potensi dan nilai strategisnya masing-masing di koridor yang bersangkutan.
Pengembangan kegiatan ekonomi utama Koridor Ekonomi membutuhkan dukungan dari
sisi energi. Dengan adanya Masterplan P3EI ini, penambahan kebutuhan energi listrik di
I ndonesia hingga tahun 2025 diproyeksikan mencapai sekitar 90.000 MW (dalam kondisi beban
mendukung pembangunan dan pengembangan kegiatankegiatan ekonomi utama di dalam
koridor. Untuk mendukung pengembangan kegiatan ekonomi utama, telah diindikasikan nilai
investasi yang akan dilakukan di keenam koridor ekonomi tersebut sebesar sekitar Rp 4.012
Triliun. Dari jumlah tersebut, Pemerintah akan berkontribusi sekitar 10% dalam bentuk
pembangunan infrastruktur dasar, seperti: jalan, pelabuhan laut, pelabuhan udara, serta rel
kereta dan pembangkit tenaga listrik, sedangkan sisanya diupayakan akan dipenuhi dari swasta
maupun BUMN dan kolaborasi antara BUMN dan swasta.
1.2. I nisiatif Strategi
Laporan BBSDL (2011) mengemukakan bahwa pelaksanaan MP3EI dilakukan melalui 3
(tiga) strategi utama yang dioperasionalisasikan dalam inisiatif strategis, yaitu:
1. Strategi pertama adalah pengembangan potensi melalui 6 koridor ekonomi yang
dilakukan dengan cara mendorong investasi BUMN, Swasta Nasional dan FDI dalam skala
besar di 22 kegiatan ekonomi utama. Penyelesaian berbagai hambatan akan diarahkan pada
kegiatan ekonomi utama sehingga diharapkan akan terjadi peningkatan realisasi investasi
untuk memacu pertumbuhan ekonomi di 6 koridor ekonomi. Berdasarkan potensi yang ada,
maka sebaran sector, fokus dan kegiatan utama di setiap koridor ekonomi ditampilkan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Fokus dan kegiatan utama tiap koridor ekonomi MP3EI .
No Koridor Fokus kegiatan utama
1 Sumatera Kelapa Sawit, Karet, Batubara, Besi-Baja, JSS
2 Jawa I ndustri Makanan Minuman, Tekstil, Permesinan, Transportasi,
Perkapalan, Alutsista, Telematika, Metropolitan Jadebotabek
3 Kalimantan Kelapa Sawit, Batubara, Alumina/ Bauksit, Migas,
Perkayuan, Besi-Baja
4 Sulawesi Pertanian Pangan, Kakao, Perikanan, Nikel, Migas
5 Bali NT Pariwisata, Peternakan, Perikanan
6 Papua- Maluku Food Estate, Tembaga, Peternakan, Perikanan, Migas, Nikel.
2. Strategi kedua, memperkuat konektivitas nasional melalui sinkronisasi rencana aksi
penyelesaian masalah peraturan nasional dan infrastruktur utama nasional. Menurut laporan
Menko Perekonomian, berdasarkan hasil diskusi dengan para pemangku kepentingan,
khususnya dunia usaha, teridentifikasi sejumlah regulasi dan perijinan yang memerlukan
debottlenecking yang meliputi:
i. Mempercepat penyelesaian peraturan pelaksanaan undang-undang
ii. Menghilangkan tumpang tindih antar peraturan yang sudah ada baik ditingkat pusat
dan daerah, maupun antara sektor/ lembaga
iii. Merevisi atau menerbitkan peraturan yang sangat dibutuhkan untuk mendukung
strategi MP3EI (seperti Bea keluar beberapa komoditi)
iv. Memberikan insentif kepada kegiatan-kegiatan utama yang sesuai dengan strategi
MP3EI
v. Mempercepat dan menyederhanakan proses serta memberikan kepastian perijinan
Adapun Elemen Utama dari Strategi Kedua adalah:
i. Menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan utama untuk memaksimalkan
pertumbuhan berdasarkan prinsip keterpaduan, bukan keseragaman.
ii. Memperluas pertumbuhan dengan menghubungkan daerah tertinggal dengan pusat
pertumbuhan melalui inter-modal supply chain systems.
iii. Menghubungkan daerah terpencil dengan infrastruktur & pelayanan dasar dalam
menyebarkan manfaat pembangunan secara luas. (Pertumbuhan yang inklusif)
3. Strategi ketiga, pengembanganCenter of Excellence di setiap koridor ekonomi. Dalam hal
ini akan didorong pengembangan SDM dan I PTEK sesuai kebutuhan peningkatan daya saing.
Percepatan transformasi inovasi dalam ekonomi yang dilakukan melalui:
i. Pengembangan modal manusia berbasis ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi
secara terencana dan sistematis.
ii. Memasukkan unsur Sistem I novasi Nasional (SI NAS) dan berbagai upaya
transformasi inovasi dalam kegiatan ekonomi.
Adapun I nisiatif Strategisnya adalah sebagai berikut:
i. Revitalisasi Puspitek sebagai Science and Technology Park
ii. Pengembangan I ndustrial Park
iii. Pembentukan klaster inovasi daerah untuk pemerataan pertumbuhan
iv. Pengembangan industri strategis pendukung konektivitas
I I . PERMASALAHAN PENGEMBANGAN SENTRA PRODUKSI PERTANI AN
Kementerian Pertanian (Kemtan) menindaklanjuti rencana Pengembangan Koridor Ekonomi
I ndonesia di 6 (enam) koridor utama yang telah direncanakan dalam MP3EI , dengan tema
pembangunan pertanian pada masing-masing koridor sebagai sentra pengembangan baru
yaitu:
(a) Koridor Ekonomi Sumatera sebagai “Produksi Kelapa Sawit dan Karet”
(b) Koridor Ekonomi Jawa sebagai “Pengembangan I ndustri Makanan/ Pangan”
(c) Koridor Ekonomi Kalimantan sebagai “Produksi Kelapa Sawit ”
(d) Koridor Ekonomi Sulawesi sebagai “Produksi Beras, Jagung dan Kakao”
(e) Koridor Ekonomi Bali-NTB-NTT sebagai “ Produksi Jagung, Kedelai dan Ternak”
(f) Koridor Ekonomi Papua sebagai “Produksi Pangan, Perkebunan dan Peternakan”
Dalam periode 2010-2014, Kemtan mempunyai landasan program yang tertuang dalam
Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2009-2014 (Renstra Kemtan). Tujuan pembangunan
pertanian dalam periode 2010-2014 adalah: (i) Mewujudkan sistem pertanian industrial unggul
berkelanjutan yang berbasis sumberdaya local; (ii) Meningkatkan dan memantapkan
swasembada berkelanjutan; (iii) Menumbuhkembangkan ketahanan pangan dan gizi termasuk
diversifikasi pangan; (iv) Meningkatkan nilai tambah, daya saing dan ekspor produk pertanian;
dan (v) Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani (Kemtan, 2010).
Sesuai dengan tujuan tersebut, maka selama lima tahun ke depan (2010-2014), dalam
membangun pertanian di I ndonesia, Kemtan mencanangkan 4 (empat) target utama, yaitu:
1. Pencapaian Swasembada dan Swasembada Berkelanjutan.
2. Peningkatan Diversifikasi Pangan.
3. Peningkatan Nilai Tambah, Daya Saing, dan Ekspor.
4. Peningkatan Kesejahteraan Petani.
Swasembada ditargetkan untuk tiga komoditas pangan utam a yaitu: kedelai, gula dan
daging sapi. Swasembada berkelanjutan ditargetkan untuk komoditas padi dan jagung. Di
samping prioritas pada lima komoditas pangan utama, juga akan dikembangkan 34 komoditas
lainnya sehingga berjumlah 39 komoditas yang disebut komoditas unggulan nasional.
Komoditas unggulan nasional tersebut terdiri dari 7 komoditas tanaman pangan, 10 komoditas
Tabel 2. Komoditas Unggulan Nasional
No Komoditas Pangan Non-Pangan
1
Tanaman Pangan (7)
padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang
hijau, ubi kayu, ubi jalar
2 Hortikultura (10) cabe, bawang merah, kentang, mangga, rimpang, tanaman pisang, jeruk, durian, manggis hias
3 Perkebunan (15) kelapa sawit, kelapa, kakao, kopi, lada, karet, kapas,
jambu mete, teh, tebu tembakau, cengkeh, jarak pagar, nilam, 4 Peternakan (7) sapi potong, sapi perah, kerbau, kambing/
domba, babi, ayam buras, itik Sumber: Kemtan, 2010
Dalam pengembangan komoditas/ subsector di enam koridor, secara umum masih
dijumpai permasalahan pada masing-masing kelompok komoditas/ subsector. Dalam tulisan ini,
sentra pengembangan baru dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (i) Pengembangan Sentra
Produksi Pangan (Padi, Jagung dan Kedelai); (ii) Pengembangan Sentra Produksi Ternak (Sapi
potong dan sapi perah); dan (iii) Sentra Produksi Perkebunan (kakao, karet, dan kelapa sawit).
Uraian berikut akan membahas permasalahan 3 kelompok komoditas sentra pengembangan
dalam aspek pengembangan wilayah, produksi dan mutu, serta agroindustri dan pemasaran.
Dalam masing-masing aspek akan dibahas permasalahan dalam bidang regulasi, infrastruktur,
insentif, sumberdaya manusia (SDM) serta riset dan teknologi.
2.1. Permasalahan Pengembangan Sentra Produksi Pangan ( Padi, Jagung dan Kedelai)
2.1.1. Aspek Pengembangan W ilayah
Komoditas padi dan jagung ditargetkan menjadi komoditas yang mencapai swasembada
berkelanjutan, sementara komoditas kedele ditargetkan mencapai swasembada pada tahun
2014. Dalam periode 2000-2010, luas panen padi dan kedele cenderung meningkat dengan laju
peningkatan 0.83 persen dan 2.49 persen, sementara itu, luas panen kedele cenderung
menurun sebesar 0.93 persen (Tabel 3). Untuk mencapai target swasembada dan swasembada
berkelanjutan, pemerintah memerlukan tambahan lahan pertanian minimal seluas 161,400 ha
per tahun (Wahyunto et al, 2011). Penyediaan lahan untuk pangan menghadapi tekanan
persaingan penggunaannya dengan sektor lain sebagai akibat pertumbuhan ekonomi dan
produktivitas 5,16 ton per ha, kemampuan lahan pertanian (land carrying capacity)
menyediakan pangan yang layak bagi penduduk sejumlah 237 juta telah berada pada batas
kritis. Apalagi dari luas lahan tersebut hanya 40 persen (3,15 juta ha) yang beririgasi teknis dan
diantaranya hanya 818.423 yang pengairannya berasal dari bendung air permanen (Sumarno,
2011).
Tabel 3. Perkembangan Luas Panen Padi, Jagung, Kedele di I ndonesia, 2000-2010
Tahun Luas Panen (Ha)
Padi Jagung Kedele
2000 11,793,475 3,500,318 824,484
2001 11,499,997 3,285,866 678,848
2002 11,521,166 3,109,448 544,522
2003 11,488,034 3,358,511 526,796
2004 11,922,974 3,356,914 565,155
2005 11,839,060 3,625,987 621,541
2006 11,786,430 3,345,805 580,534
2007 12,147,637 3,630,324 459,116
2008 12,327,425 4,001,724 590,956
2009 12,883,576 4,156,706 721,499
2010 12,147,637 4,131,676 660,823
Pertumbuhan (%) 0.83 2.49 -0.93
Permasalahan yang dihadapi dalam aspek pengembangan wilayah, antara lain:
1. Bidang Regulasi: (i) Untuk melindungi lahan pertanian telah diterbitkan Undang Undang
No. 41 tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan,
Namun, belum semua rancangan PP, Permentan dan Perda sebagai penjabaran UU
tersebut belum selesai sampai saat ini; (ii) Diperlukan UU I rigasi untuk menjamin
ketersediaan air irigasi untuk lahan-lahan pertanian.
2. Bidang I nfrastruktur: (i) Terbatas dan belum memadainya areal produksi tanaman
pangan utama (padi, jagung, kabi); (ii) Ketersedian bendungan dan jaringan irigasi
terbatas; (iii) Kondisi bendungan dan jaringan irigasi kurang terpelihara.
3. Bidang I nsentif: (ii) Diperlukan dana yang memadai untuk penyediaan data dan
informasi ketersediaan SDL dan SD Air pada skala yang operasional
4. Bidang SDM: (i) Tenaga kerja pertanian langka, umumnya berusia lanjut; (ii) Peneliti
dan teknisi di bidang pengembangan wilayah semakin terbatas; (iii) Pengelola tata air
5. Bidang Riset dan Teknologi: (i) I nventarisasi dan Karakterisasi SDL dan SD Air pada
tingkat opersional untuk tujuan peningkatan I P maupun untuk perluasan areal masih
terbatas; (ii) Tata air mikro lahan rawa belum berkembangng; dan (iii) Disain pintu air
sesuai dengan agroekosistem dan kebutuhan belum berkembang.
2.1.2. Aspek Produksi dan Mutu
Permasalahan yang dihadapi dalam aspek produksi dan mutu, antara lain:
1. Bidang Regulasi: (i) Rancangan Permentan tentang Penjabaran UU No. 12 Tahun 1992
Tentang Sistem Budidaya Tanaman dan PP No. 18 Tahun 2010 Tentang Usaha Budidaya
Tanaman, belum tersusun; (ii) Revisi Permentan No. 40/ 2009, tentang Rekomendasi
Pemupukan NPK spesifik lokasi belum selesai; (iii) Diperlukan Pedum Pembinaan terkait
dengan Permentan Permentan No. 43/ 2011 tentang syarat dan tata cara pendaftaran
pupuk anorganik dan Revisi Permentan No. 28/ 2009 tentang Pupuk Organik;
2. Bidang I nfrastruktur: (i) Kondisi Jalan usahatani untuk pengangkutan hasil kurang
memadai; (ii) Kondisi transportasi desa kurang memadai; (iii) Perlu modernisasi
peralatan laboratorium tanah dan pupuk; (iv) Peralatan Uji Tanah yang sederhana dan
mudah dibawa masih terbatas; ; (v) Penyediaan dan jaringan penyedia benih sumber
belum terbentuk; dan (vi) Rendemen dan mutu giling RMU rendah
3. Bidang I nsentif: (i) Diperlukan jaminan harga output di tingkat petani; (ii) Diperlukan
Ketersediaan saprodi yang memenuhi 6 tepat (jenis, jumlah, mutu, lokasi, tepat dan harga); (iii) masih terbatasnya BUMA traktor tangan dan kredit alsintan (alat dan mesin pertanian); (iv) Subsidi pupuk organik yang selama ini diberikan ke pabrik pupuk
(BUMN) dinilai kurang tepat, sebaiknya dialihkan ke petani/ kelompok tani produsen
pupuk organic; (v) Belum diberlakukannya insentif mutu.
4. Bidang SDM: (i) Ketrampilan petani menggunakan teknologi masih rendah, cenderung
secara manual sehingga produksi dan efisiensi rendah; (ii) Kesadaran petani
menggunakan benih berlabel masih rendah; (iii) Kesadaran petani melakukan
pemupukan berimbang masih rendah; (iv) Kesadaran petani menggunakan pupuk
organik masih rendah; (v) Ketrampilan petani memproduksi pupuk organik masih
rendah; (vi) Pengetahuan para petugas/ penyuluh kurang mutakhir; (vii) Extention
Linkage belum berjalan; (viii) Kesenjangan antara tunjangan fungsional peneliti K/ L
5. Bidang Riset dan Teknologi: (i) Mekanisasi di Lahan Rawa belum berkembang; (ii)
Teknologi alsin yang mampu menekan kehilangan hasil belum tersedia; (iii) Teknologi
alsin yang efektif dan efisien menurut jenis lahan dan komoditas belum berkembang;
(iv) Teknologi dan keragaman genetik varietas unggul pilihan petani masih terbatas; (v)
Penelitian dan pengembangan Perangkat Uji Tanah, pupuk, teknologi Nano, pupuk
hayati Silikat dan pembenah tanah masih terbatas; (vi) Diperlukan penelitian dan
pengembangan teknologi Penaggulangan Lahan Tercemar di lahan Sawah; (vii)
Penelitian dan pengembangan Teknologi Perubahan I klim masih terbatas; (viii)
Penelitian dan pengembangan teknologi Pengelolaan Air di Lahan Rawa Lebak, hemat
Air di Lahan Sawah belum memadai; (ix) Penelitian dan pengembangan Teknologi
Pengelolaan Sawah Bukaan Baru belum cukup; (x) Diperlukan pemuliaan tanaman untuk
pangan fungsional
2.1.3. Aspek Agroindustri dan Pemasaran
Permasalahan yang dihadapi dalam aspek agroindustri dan pemasaran tanaman pangan, antara
lain:
1. Bidang Regulasi: (i) Regulasi impor terigu masih kurang; (ii)Regulasi produk pangan
non-beras belum ada; (iii) I mplementasi Permentan No. 43 Tahun 2009 tentang
Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) Berbasis Sumber
Daya Lokal belum berkembang; (iv) Petani kurang terlindungi dari tengkulak;
Pembentukan dan pemberdayaan keltan berorientasi pemasaran belum diatur; (v)
Sistem informasi pasar yang up to date belum diatur; (vi) Standar mutu dan pengolahan
belum diatur; (vii) I mplementasi aturan permodalan petani untuk usaha-tani belum
optimal; (viii) Aturan pembentukan jaringan kerjasama petani dengan swasta sebagai
mitra belum ada; (ix) Tata manajemen pemasaran bagi petani belum diatur.
2. Bidang I nfrastruktur: (i) Belum berkembangnya pabrik mini pengolah hasil pertanian
tanaman pangan; (ii) Clustering kawasan ubi kayu belum berkembang; (iii) Terbatasnya
sarana akses petani ke pasar; (iv) Belum terbentuknya jaringan informasi tentang harga
pasar dan permintaan; (v) Belum dibangunnya sentra pendidikan berbasis pemasaran
hasil pertanian; (vi) Pasar tani bagi produsen belum ada di semua sentra produksi; (vii)
Pemanfaatan STA (Sub Terminal Agribisnis) dan TA (Terminal Agribisnis) belum
terbatas; (ix) Belum terbentuknya jaringan koneksi antar sentra produsi; (x) Standar
peralatan pengolahan belum ada; (xi) kesepahaman antara pemerintah dan Bank belum
optimal; (xii) Belum terbentuknya sistim informasi pasar dan perangkat pendukungnya.
3. Bidang I nsentif: (i) Harga mocaf lebih tinggi dari harga terigu, diperlukan subsidi harga
tepung mocaf agar dapat bersaing dengan tepung terigu; (ii) Belum ada insentif mutu;
(iii) Memberikan berbagai kemudahan bagi produsen bahan pangan non beras yang
murah dan praktis; (iv) Jaminan harga bahan pangan non beras melalui subsidi harga;
(v) Dibentuk lembaga penjaminan harga output; (vi) Pemerintah perlu memberikan
subsidi bunga bagi petani dikombinasikan dengan penjaminan kredit; (vii) Diperlukan
I nsentif bagi swasta yang melakukan kemitraan (misal berupa bunga kredit modal
kerja rendah ); (viii) I nsentif yang memadai bagi petugas sistim informasi pasar.
4. Bidang SDM: (i) Kemampuan kewirausahaan masih relative kurang; (ii) Pelatihan
teknologi pengolahan masih terbatas; (iii) Kemampuan pengolahan produk masing
rendah; (iv) Sosialisasi Diversifikasi pangan masih rendah; (v) Komitmen dan gerakan
Pemda mempromosikan gerakan diversifikasi pangan belum optimal; (vi) Kapasitas
petani melakukan rebut tawar masih rendah; Keterampilan manajemen dan peran
kelompok dalam pemasaran masih rendah; (vii) Keterampilan manajemen kelompok
untuk pemasaran masih rendah; (viii) Keterampilan dalam mutu dan penanganan masih
rendah; (ix) Belum ada keseragaman mutu; (x) Sosialisasi kredit program oleh Dinas
Pertanian / penyuluh masih rendah; (xi) Pemberdayaan penyuluh untuk melakukan
sosialisasi kredit program masih rendah; (xii) Belum semua petani dapat memenuhi
standar mutu yang diminta oleh lembaga mitra;
(xiii)
Perlu peningkatan kemampuanpetani dalam perencanaan pemasaran dan antisipasi harga
5. Bidang Riset dan Teknologi: (i) Masih diperlukan teknologi pengolahan MOCAF; (ii)
Masih diperlukan teknologi pengolahan tepung komposit; (iii) Masih diperlukan alsin
Beras buatan; (iv) Masih diperlukan teknologi pengolahan tepung pangan non-beras; (v)
Perlu dikaji tingkat bunga dan tingkat penjaminan yang optimal untuk meningkatkan
akses petani terhadap kredit program; (vi) Perlu dikaji pola/ model kerjasama yang
2.2. Permasalahan Pengembangan Sentra Produksi Ternak ( Sapi potong dan sapi perah)
2.2.1. Aspek Pengembangan W ilayah
Permasalahan yang dihadapi dalam aspek pengembangan wilayah, antara lain:
1. Bidang Regulasi: (i) Belum ada Permentan/ Ekuin tentang penyertaan sapi dalam
integrasi sapi- kelapa sawit; (ii) Belum ada Permentan/ Ekuin tentang pembatasan
ekspor limbah pertanian sebagai pakan ternak
2. Bidang I nfrastruktur: (i) Belum tersedia infrastruktur untuk lahan peternakan ( sumber
air : sumur dalam/ em-bung, padang penggembalaan, jalan untuk akses tataniaga) ; (ii)
Belum tersedia transportasi (kapal laut dan KA) dari daerah produsen ke konsumen; (iii)
Belum tersedia RPH modern terintegrasi dengan pengolah daging segar dan olahan; (iv)
Belum tersedia I ndustri Pangan olahan asal ternak yang bahan bakunya dari luar
Jawa; (v) Belum semua perusahaan / plasma kelapa sawit bersedia menerima sapi; (vi)
Belum tersedia pabrik pengolah bahan pakan berbasis limbah pertanian
3. Bidang I nsentif:
-4. Bidang SDM: (i) Kurangnya petugas RPH terlatih dan bersertifikat ; (ii) Kurangnya
ketrampilan petani kelapa sawit dalam budi daya sapi; (iii) Kurangnya pengetahuan
pengusaha sawit tentang penggunaan bahan pakan ternak berbasis lokal
5. Bidang Riset dan Teknologi:
2.2.2. Aspek Produksi dan Mutu
Permasalahan yang dihadapi dalam aspek produksi dan mutu, antara lain:
1. Bidang Regulasi: (i) Permentan/ Permendag tentang kuota pemasukan/ impor sapi
bakalan, daging beku dan susu belum sesuai Blue Print PSDSK/ 2014; (ii) Belum ada
peraturan tentang kewajiban pemurnian sapi induk lokal melalui I B; (iii) Belum
ditegakkan UU 18/ 2009 beserta PP nya dalam pengamanan produk ternak dari cemaran
penyakit / residu/ bahan pengawet dan kandungan bahan berbahaya lainnya; (iv) Gelum
ada UU I mpor Sapi Hidup
2. Bidang I nfrastruktur: (i) Belum semua RPH memenuhi syarat; (ii) Keterbatasan sarana
budidaya sapi perah; (iii) Masih terdapat I nstalasi Karantina Hewan Sementara (I KHS)
di beberapa lokasi/ propinsi; (iv) Kandang kumunal masih terbatas; (v) I nstalasi APPO
3. Bidang I nsentif: (i) Pajak impor susu rendah ; (ii) Kesenjangan insentif petugas
karantina dengan bea cukai ; (iii) Aturan KUPS perlu diperbaiki; (iv) Bantuan sapi perlu
digalakkan lagi.
4. Bidang SDM: (i) SDM pengelola RPH belum semua terlatih dan bersertifikat; (ii)
Kurangnya ketrampilan peternak dan lemahnya kelembagaan; (iii) Kurangnya
pengetahuan petugas mengenai gejala penyakit berbahaya dan cara
penanggu-langannya; (iv) Kurangnya ketrampilan deteksi cepat penyakit hewan/ residu/ bahan
pengawet; (v) Kurangnya pelatihan dan pendampingan
5. Bidang Riset dan Teknologi: (i) Diperlukan prototipe alsin SI TT (shredder, APPO,
biogas)
2.2.3. Aspek Agroindustri dan Pemasaran
Permasalahan yang dihadapi dalam aspek agroindustri dan pemasaran, antara lain:
1. Bidang Regulasi: (i) Belum ada Permenhub/ Permendagri tentang penyediaan moda
transportasi ternak (kapal laut dan kereta api); (ii) Belum ada Permentan/ Permendag
tentang penetapan batas minimal harga jual sapi berdasarkan kategori bibit, bakalan,
dan pejantan; (iii) Peraturan impor daging beku masih longgar
2. Bidang I nfrastruktur: (i) Belum tersedia kapal laut di sentra produksi dan transportasi
KA untuk ternak di Pulau Jawa; (ii) Belum tersedia pasar hewan modern; (iii) RPH dan
RPA belum menerapkan SOP ketahanan pangan
3. Bidang I nsentif: (i) Adanya pungutan dan retribusi berlebihan pada setiap check-point
daerah; (ii) I nsentif mutu belum ada
4. Bidang SDM: Keterampilan pengolahan pasca panen ternak masih kurang untuk
memberi nilai tambah
5. Bidang Riset dan Teknologi: Teknologi penanganan karkas belum diterapkan.
2.3. Permasalahan Sentra Produksi Perkebunan ( kakao, karet, dan kelapa saw it) 2.3.1. Aspek Pengembangan W ilayah
Permasalahan yang dihadapi dalam aspek pengembangan wilayah, antara lain:
1. Bidang Regulasi: (i) I jin pelepasan lahan untuk perkebunan sawit belum jelas; (ii)
Sosialisasi Perpres No. 10/ 2011 tentang Moratorium Hutan dan Lahan gambut masih
terbatas; (iii) Keterkaitan Perpres No 32 tahun 2011 tentang Masterplan percepatan dan
perluasan pembangunan ekonomi I ndonesia (MP3I ) dengan kebijakan lain perlu
2. Bidang I nfrastruktur: (i) Terbatasnya jalan usahatani perkebunan rakyat; (ii) Data dan
informasi lahan gambut yang rinci dan mutakhir sangat terbatas; (iii) (iii) Data dan
informasi lahan sesuai pada skala yang lebih rinci untuk pengembangan tanaman Sawit,
Karet dan Kakao belum tersedia.
3. Bidang I nsentif: Diperlukan dana yang memadai untuk penyediaan data dan informasi
penyebaran lahan gambut.
4. Bidang SDM: (i) Terbatasnya tenaga terampil perkebunan; (ii) Peneliti dan teknisi di
bidang ini semakin terbatas
5. Bidang Riset dan Teknologi: (i) Kajian RTRW tingkat Nasional dan Regional; (ii) Evaluasi
SDL untuk pengembangan Kelapa sawit, karet dan Kakao pada skala yang lebih rinci di
setiap koridor pengembangan
2.3.2. Aspek Produksi dan Mutu
Permasalahan yang dihadapi dalam aspek produksi dan mutu, antara lain:
1. Bidang Regulasi: (i) Permentan yang mengatur harga biji kakao fermentasi dan
nonfermentas belum ada; (ii) Penyelesaian Perda sebagai penjabaran Permentan No. 14
tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pengembangan Kelapa
Sawit belumselesai.
2. Bidang I nfrastruktur: Belum tersedia pembangunan sentra pengolahan kakao
3. Bidang I nsentif: (i) I nsentif harga kakao fermentasi relatif rendah, petani cenderung
memproduksi mutu rendah; (ii) dukungan kredit investasi dan modal kerja dengan
subsidi bunga.
4. Bidang SDM: Tenaga terampil terbatas
5. Bidang Riset dan Teknologi: (i) Belum tersedianya bahan tanam dan benih unggul yang
cukup disentra produksi perkebua; (ii) Teknologi pengelolaan gambut ramah lingkungan
dikaitkan dengan penurunan emisi GRK
2.3.3. Aspek Agroindustri dan Pemasaran
Permasalahan yang dihadapi dalam aspek agroindustri dan pemasaran, antara lain:
1. Bidang Regulasi:
-2. Bidang I nfrastruktur: (i) Pabrik pengolah hasil perkebunan rakyat terbatas; (ii) Belum
3. Bidang I nsentif: (i) Modal usaha yang dimiliki umumnya kecil; (ii) Diperlukan dukungan
kredit modal kerja dengan subsidi bunga.
4. Bidang SDM: Peningkatan keterampilan pekebun dalam hal pengolahan
5. Bidang Riset dan Teknologi:
I I I . RENCANA TI NDAK LANJUT ( RTL) PROGRAM PENGEMBANGAN SENTRA PRODUKSI PERTANI AN
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka di bawah ini disampaikan rencana
tindak lanjut (RTL) program pengembangan sentra produksi tanaman pangan (padi, jagung,
kedele), ternak sapi potong dan sapi perah, serta tanaman perkebunan (kakao, karet, kelapa
sawit). Dalam RTL, diperlukan dukungan dari kementerian/ lembaga di luar Kementerian
Pertanian, sehingga program pengembangan menjadi program bersama lintas sektor (Tabel 4,
Tabel 4. Matrik RTL Program Bersama Pengembangan Sentra Produksi Pangan (Padi, Jagung dan Kedelai)
KEMENTERI AN / I NSTI TUSI
REGULASI I NFRA STRUKTUR I NSENTI F (fiscal/ non-fiskal
an bendungan; waduk , embung, jaringan
REGULASI I NFRA STRUKTUR I NSENTI F (fiscal/ non-fiskal
Aspek Produksi dan mutu ( Lanjutan)
Kemendiknas Perbaikan kurikulum
pendidikan pertanian berorientasi
peningkatan nilai tambah dan daya saing
Kemenristek Konsorsium Riset
pangan
PATI R-BATAN Reaktor nuklir Perakitan varietas
Teknologi pasca panen
(pengawetan)
LI PI Perbaikan
tunjangan
fungsional peneliti K/ L
Lomba karya ilmiah Pemuliaan dengan teknik biomol
Eksplorasi sumberdaya hayati
Teknologi mitigasi perubahan iklim Riset pangan
potensial
LAPAN Teknologi inderaja
KEMENTERI AN / I NSTI TUSI
REGULASI I NFRA STRUKTUR I NSENTI F (fiscal/ non-fiskal
SDM RI SET & TEKNOLOGI Aspek Agro- I ndustri dan pemasaran
Tabel 5. Matrik RTL Program Bersama Pengembangan Sentra Produksi Ternak (Sapi potong dan sapi perah) KEMENTERI AN/
I NSTI TUSI
penggemba-KEMENTERI AN/ I NSTI TUSI
REGULASI I NFRA STRUKTUR I NSENTI F (fiscal/ non-fiskal
SDM RI SET & TEKNOLOGI
Kemenristek Aspek Agro- I ndustri dan pemasaran
Tabel 6. Matrik RTL Program Bersama Sentra Produksi Perkebunan (kakao,karet dan kelapa saw it)
KEMENTERI AN/ I NSTI
TUSI
REGULASI I NFRA STRUKTUR I NSENTI F (fiscal/ non-fiskal
SDM RI SET &
TEKNOLOGI
Aspek Pengembangan Wilayah Kemhut I jin pelepasan lahan
untuk perkebunan
Kemen PU Pembanguan Jalan
usahatani perkebunan rakyat
Aspek Produksi dan mut u
Kemtan Permentan yang mengatur harga biji kakao fermen-tasi dan nonfer-mentasi
Bantuan benih dan bibit
I nsentif harga un-tuk produk ermen-tasi
Kemen PU Pembanguan jalan
KEMENTERI AN/ I NSTI
TUSI
REGULASI I NFRA STRUKTUR I NSENTI F (fiscal/ non-fiskal
SDM RI SET & TEKNOLOGI
Aspek Agro- I ndustri dan pemasaran Kementan Pengaturan Kembali
peran KPB dengan Gapoktan
Pembinaan kelompok tani dan Ga[ poktan
Kemenperin Tersedia Pabrik pengolah hasil perkebunan rakyat
Kemendag jaminan harga yang
berbasis kualitas
Kemenristek Konsorsium
Perkebunan
Kemenkeu Kementan
DAFTAR PUSTAKA
Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 2011. Penyusunan Data Dasar Mendukung MP3EI Koridor Kalimantan Dan Lintas Koridor. Laporan Penelitian.
Kementerian Pertanian. 2010a. Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014.
Republik I ndonesia. 2011. Masterplan Percepatan Dan Perluasan Pembangunan Ekonomi I ndonesia 2011-2025 Peraturan Presiden Republik I ndonesia Nomor 32 Tahun 2011 Tanggal 20 Mei 2011.
Sumarno .(2011). Ketersediaan Sumberdaya Lahan Pertanian dan Ketahanan Pangan Nasional. Makalah Seminar di Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor, 29 Novem ber 2011.