• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.1. Unsur-unsur Makna di dalam Ritual Tulude. - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perubahan Identitas dalam Ritual Tulude

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "4.1. Unsur-unsur Makna di dalam Ritual Tulude. - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perubahan Identitas dalam Ritual Tulude"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

BENTUK PERUBAHAN IDENTITAS DI DALAM PROSES RITUAL TULUDE

Perubahan identitas bagi Peter Burke terjadi melalui empat model yaitu: Pertama, perubahan identitas yang disebabkan oleh dominasi situasi.1 Kedua,

perubahan identitas yang disebabkan oleh konflik identitas, sehingga menjadikan lahirnya kesepakatan terhadap suatu makna untuk dipilih oleh individu/kelompok.2 Ketiga, pemilihan suatu makna oleh individu/kelompok melalui keputusan rasional.3

Keputusan ini didorong oleh perbedaan makna yang terdapat di dalam individu/kelompok dengan makna yang ada disekitar/lingkungan dimana individu/kelompok itu berada. Keempat, proses memasukan makna yang didapatkan dari orang lain kedalam diri sendiri/kelompok, dengan cara memahami orang lain melalui interaksi.4

Sehubungannya dengan ritual Tulude, maka kita akan melihat bagaimana keempat model perubahan identitas di atas terjadi selama proses ritual Tulude

berlangsung. Oleh karena itu, maka terlebih dahulu kita akan melihat unsur-unsur makna apa saja yang terdapat di dalam ritual Tulude untuk mempermudah kita memahami proses jalinan makna yang membentuk perubahan indentitas tersebut.

4.1. Unsur-unsur Makna di dalam Ritual Tulude.

4.1.1. Makna Dari Sejarah.

Pada dasarnya suku Sangihe mengenal asal-usul keberadaan mereka, telah hidup dan berinteraksi dalam kelompok yang terpisah-pisah. Hal ini karena mereka berasal dari tiga suku yaitu Apapuhang yang memiliki tempat tinggal di atas pohon, Papenggo memiliki tempat tinggal yang tidak menetap, dan suku

1 Peter J. Burke, and Jan E. Stets, Identity Theory. New York: Oxford University Press (2009), 180. 2 Burke and Stets, Identity Theory, 183

(2)

Ansuang memiliki tempat tinggal di bahwa kaki gunung merapi yang bernama gunung Awu.5 Dalam proses ritual Tulude perbedaan ini terlihat pada

pembagian tingkatan kedudukan berdasarkan warna pakaian adat yang digunakan.6 Misalnya warna kuning keemasan untuk raja, warna kuning atau

putih untuk pegawai tinggi, warna biru untuk pegawai menengah, warna ungu atau biru untuk pegawai rendah.7

Makna yang terkandung dalam legenda sejarah yang ada ini, menurut penulis ialah, suku Sangihe memiliki cara hidup yang terpisah dan tidak menyatu sebagai satu suku Sangihe.

4.1.2. Makna Dari Tindakan Nedosa.

Tindakan nedosa merupakan pantangan bagi suku Sangihe dalam mempersiapkan diri untuk melaksanakan ritual Tulude. Di dalam pantangan ini terdapat pesan moral tentang bagaimana menjaga hubungan yang baik dalam kehidupan bersama. Keharmonisan hubungan sesama itu dijaga oleh sikap hidup yang menjauhkan diri dari perselisihan, perzinahan, mencuri, membunuh, dan sebagainya.8 Intinya ialah keharmonisan hubungan bersama menjadi hal utama selama suku Sangihe mempersiapkan diri untuk melaksanakan ritual Tulude.

Makna yang terkandung dalam nedosa ini adalah suku sangihe secara bersama dibentuk oleh ikatan persaudaraan yang kuat, sebagai sesama manusia yang hidup bersama dengan dasar hidup bermoral.

4.1.3. Makna Dari Ghenggona Langi Duata Saruluang.

Suku Sangihe mempercayai adanya kekuatan dari roh-roh halus, arwah orang mati, benda-benda sakti, kekuatan-kekuatan gaib yang dapat

5 Lihat bab III (catatan kaki nomor 3,4,5). 6 Lihat bab III (catatan kaki nomor 32).

7 Lihat bab III (poin tentang penjelasan penggunaan Perlengkapan Adat dalam ritual Tulude, khsusnya

poin 3.3.7.1 mengenai pakaian Adat).

(3)

mendatangkan bencana maupun kebaikan dalam kehidupan. Akan tetapi, selain dari kekuatan-kekuatan tersebut ada satu pemilik kekuatan di atas dari semuanya yaitu Ghenggona Langi Duata Saruluang.9 Kepercayaan mereka terhadap

Ghenggona Langi Duata Saruluang memiliki proyeksi yang berbeda dari kekuatan lainnya. Mereka mempercayai bahwa Ghenggona Langi Duata

Saruluang sebagai Ilahi yang suci dan bisa memberikan keselamatan hidup bagi mereka. Oleh karena itu mereka menyebut Ilahi itu sebagai “I Ghenggona Langi

Duata Saruluang Manireda Bihingang” (Dia yang di atas langit penguasa alam

semesta melindungi kita semua). Pemahaman atas Ghenggona Langi Duata

Saruluang itu membuat suku Sangihe menyebutkan nama tersebut tidak secara sembarangan, sehingga nama itu memiliki sapaan yang lain dalam kehidupan sehari-hari yaitu Mawu Ruata/Mawu Duata.10 Penyebutan Ghenggona Langi

Duata Saruluang biasanya dipakai dalam ritual yang dilaksanakan seperti

Tulude.

Makna yang terkandung dalam kepercayaan terhadap Ghenggona Langi

Duata Saruluang ini adalah kesatuan kepercayaan terhadap satu nama Ilahi ditengah banyak kepercayaan kekuatan-kekuatan lain. Meskipun ada banyak kepercayaan terhadap hal-hal yang dapat mendatangkan kekuatan untuk kebaikan suku Sangihe, pada akhirnya mereka memiliki konsekuensi yang kuat atas satu nama Ilahi dalam kehidupan bersama. Sehingga makna akan satu nama itu mengikat mereka dalam perasaan yang sama terhadap satu Ilahi ketika ritual dilaksanakan.

(4)

4.1.4. Makna Dari Tamo.

Bagi suku Sangihe kue Tamo Banua melambangkan persatuan dan kesatuan; kesuksesan dan keberhasilan; serta suatu isyarat kepada kita, bahwa seorang pemimpin harus menjamin nilai kemanusiaan, moral dan berlaku bijaksana dalam kehidupannya.11 Tamo Banua juga melambangkan ungkapan

syukur kepada Ghenggona Langi yang empunya kehidupan dan sumber berkat.12

Makna yang terkandung dalam Tamo adalah para pemimpin memiliki tanggungjawab moral untuk menjamin nilai kemanusiaan rakyatnya, dan pemimpin secara bijaksana juga memikirkan kesejahteraan rakyatnya. Pada sisi yang lain, Tamo ini juga memberi makna bahwa perlunya memberi ucapan syukur kepada Ghenggona Langi yang memberkati kehidupan suku Sangihe. 4.1.5. Makna Dari Menahulending.

Menahulending yang ada di dalam proses ritual Tulude memiliki empat hal yaitu: pertama, pemulihan keadaan yang rusak, penyucian hidup. Kedua, menghindarkan diri dari bencana. Ketiga, permohonan diberikan ketabahan dalam menghadapi cobaan hidup. Kelima, memohon berkat dan kekuatan dalam bekerja. Semua hal di atas ditujukan bagi pemerintah maupun masyarakat.13

Makna yang terkandung dalam menahulending ini adalah harapan bersama terhadap suatu kehidupan.

4.1.6. Makna Dari Tarian Adat.

Ada enam model tarian yang terdapat dalam adat suku Sangihe yaitu:

Salo, alabadiri, gunde, upase, bengko, dan ransansahabe. Tarian ini

(5)

dilaksanakan dalam rangka mengingatkan bahwa suku Sangihe itu memiliki kepribadian sebagai seorang prajurit yang setia terhadap raja, pahlawan yang perkasa, pembela tanah kelahirannya sampai mati, dan tetap waspada terhadap ancaman dari luar.14

Makna yang terkandung dalam tarian adat ini ketika dipraktekkan dalam ritual Tamo adalah mengingatkan bahwa kepribadian suku Sangihe itu memiliki sikap yang setia terhadap bangsa dan negara.

4.1.7. Makna Dari Nyanyian Adat.

Ada tiga model nyanyian yang dipakai dalam ritual Tulude yaitu:

sasambo, kakumbaede,dan mebawalese. Penggunaan nyanyian adat ini dalam proses ritual Tulude sebagai suatu pemujaan, permohonan, dan menceritakan kisah tentang kekuatan dari Ghenggona Langi Duata Saruluang dalam bentuk bahasa sastra yang diiringi oleh alat musik adat.15

Makna yang terkandung dalam nyanyian adat ini adalah masyarakat suku Sangihe memiliki kesadaran untuk berterimakasih kepada pemilik kehidupan atas apa yang telah diberikan dalam kehidupan mereka. Kemudian mereka juga mengetahui bahwa sumber segala kehidupan itu berasal dari Ghenggona Langi

Duata Saruluang. Jadi adanya makna tentang kesadaran memuji dan memohon kepada Ghenggona Langi Duata Saruluang.

4.1.8. Makna Dari Hukum Adat.

Hukum adat merupakan landasan untuk berinteraksi dalam seluruh kehidupan suku Sangihe. Ada tiga bentuk sanksi yang termuat dalam hukum adat yaitu denda (salahoko), pemberitahuan ke publik tentang seseorang yang

14 Lihat bab III (catatan kaki nomor 25 poin 3.1.8.3 mengenai tarian adat dan mengenai penjelasan

penggunaan perlengkapan adat dalam ritual Tulude khususnya tari-tarian poin 3.3..7.5).

15 Lihat bab III (catatan kaki nomor 25 poin 3.1.8.1 mengenai seni vocal dan penjelasan penggunaan

(6)

melakukan pencurian (memohang), diasingkan (iwembang). Hukum adat ini diberlakukan karena adanya tindakan perkara sumbang. Pelanggaran ini terbagi atas tiga jenis yaitu sumbang berat, sumbang ringan, dan sumbang enteng.

Perkara sumbang ini adalah larangan terhadap tindakan persetubuhan orang tua dengan anak, dan persetubuhan antara sedarah sampai pada keturunan keenam, kemudian larangan terhadap persetubuhan saudara tiri.16

Makna yang terdapat dalam hukum adat ini adalah persoalan moral maupun etika kehidupan yang menjaga agar tidak terjadinya pelecehan seksualitas dalam kehidupan bersama.

4.1.9. Makna Dari Mangumbaede.

Ada lima bagian dalam proses mangumbaede yaitu: Lahaghatong, lahakane, la’ala e, la’ansuhe, dan hakane. Dalam kegiatan ini semua yang hadir pada ritual Tulude akan mendengarkan pengajaran nilai-nilai kehidupan dari Petua adat yang bertugas. Nilai kehidupan itu diajarkan dalam bentuk pesan-pesan hikmat ketika mau mengambil keputusan dalam kehidupan. Kemudian mereka diingatkan lagi bahwa nilai kehidupan yang benar itu berasal dari

Ghenggona Langi Duata Saruluang.17

Makna yang terdapat dalam mengumbaede ini adalah pengajaran. Mereka sebagai pemerintah, sebagai masyarakat, sebagai pemimpin agama, sebagai Petua adat, selalu di ingatkan tentang bagaimana mereka melaksanakan tanggungjawab masing-masing. Misalnya: kehidupan seorang yang menjabat sebagai pemerintah harus memperhatikan masyarakat yang miskin, tertindas. Kemudian sebagai masyarakat, mereka harus patuh pada aturan-aturan yang telah dibuat oleh pemerintah. Bagi pemimpin agama, bagaimana mereka

16 Lihat bab III (catatan kaki nomor 23, 24).

(7)

berperan penting untuk menjaga serta mengembangkan nilai toleransi perbedaan agama yang sudah ada. Jadi maknanya adalah pengajaran.

4.2. Jalinan Makna di dalam Ritual Tulude.

Bagi Burke bahwa jalinan makna itu merupakan identitas itu sendiri.18 Disini

terdapat sembilan unsur makna yang ada di dalam proses ritual Tulude yaitu: pertama, suku Sangihe memiliki latar belakang kehidupan yang terpisah. Kedua, suku Sangihe memiliki ikatan moral bersama. Ketiga, suku Sangihe mempunyai kepercayaan terhadap Tuhan dengan nama yang sama ditengah kepercayaan yang lain. Keempat, suku Sangihe memahami adanya tanggunjawab moral terhadap sesama. Kelima, suku Sangihe mengetahui bagaimana mempertahankan kehidupan yang diproyeksikan melalui harapan. Keenam, suku Sangihe memiliki kepribadian yang setia kepada bangsa dan negara. Ketujuh, suku Sangihe memahami suatu kesadaran untuk memuji kekuasaan Tuhan, dan bagaimana mereka bermohon kepada-Nya. Kedelapan, suku Sangihe mempunyai suatu hukum yang mengatur nilai moral dan etika. Kesembilan, suku Sangihe memiliki sistem pengajaran tentang cara untuk hidup bersama sesuai dengan keinginan Tuhan melalui tindakan berhikmat dan bijaksana dalam mengambil suatu keputusan atau menata suatu stuktur kehidupan.

Makna yang terdapat di atas menjadikan setiap individu maupun kelompok yang hadir dalam ritual Tulude terus mengidentifikasi setiap makna terbalik atau lawan makna dari makna yang mereka temukan dalam ritual Tulude. Mislanya, jika ada perbuatan asusila dalam masyarakat maka mereka mengidentifikasinya dengan nilai dari makna moral dan etika yang mereka temukan dalam ritual Tulude melalui tindakan nedosa. Jika ada tindakan penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah, mereka mengidentifikasi makna itu dengan makna yang terdapat dalam pengajaran

(8)

(mangumbaede). Jika ada konsep atau dogma agama yang sering menjustifikasi agama lain, maka pemimpin agama maupun masyarakat mengidentifikasinya dengan makna bagaimana mereka menyebut nama Tuhan dengan menggunakan kata yang sama yaitu Ghenggona Langi Duata Saruluang. Jika ada individu atau kelompok yang mencoba merusak alam dengan tidak bertanggunjawab maka mereka mengidentifiksinya dengan makna menahulending banua, bahwa Genggona Langi Duata Saruluang akan menghukum tindakan tersebut dengan bencana.

Dengan adanya jalinan makna itu maka menciptakan standar identitas bagi suku Sangihe. Bagaimana proses terjadinya standar identitas itu, berikut akan diuraikan tentang prosesnya.

4.3. Ritual Tulude Menjadi Standar Identitas.

Peter Burke menyebutkan bahwa kumpulan makna tidak lain merupakan standar identitas.19 Kumpulan makna dalam ritual Tulude dapat dilihat dalam beberapa bagian sebagai berikut:

4.3.1. Praktek Tulude Sebagai Praktek Ritual.

Praktek Tulude pada proses pelaksanaanya melibatkan tarian adat (Salo, Gunde, Upase), nyanyian adat (Sasambo, Kakumbaede, Mebawalase), musik adat (Bambu, Oli, Tagonggong, Nanaungang) makanan adat (pemotongan kue

Tamo), pakaian adat (Tepu/Baniang), atribut adat (Soho U Wanua, Paporong/Umbe, Salikuku/Papehe, Bawandang Liku), dan kepercayaan kepada Ilahi (Genggona Langi Duata Saruluang).20 Aktifitas ini terus dilaksanakan setiap tahunnya oleh suku Sangihe.

(9)

Kebiasaan praktek seperti di atas berdasarkan pemahaman Sims dan Stephens didefinisikan sebagai praktek ritual.21 Dalam pemahaman mereka

bahwa ritual itu merupakan penyatuan cerita lisan, adat, dan materi. Cerita lisan dilihat dalam bentuk nyayian dan bacaan puisi. Adat, dilihat dari bentuk tari-tarian. Sedangkan materi dilihat dari makanan, tulisan, dan pakaian. Kemudian aktifitas pelaksanaanya dilakukan secara berulang-ulang, dengan memiliki hubungan spiritual terhadap yang Ilahi. Dengan demikian maka praktek Tulude

dalam hal ini merupakan praktek ritual dalam kehidupan suku Sangihe, yang diartikan sebagai standar identitas pertama. Jadi praktek Tulude sebagai suatu ritual adalah standar identitas pertama dari suku Sangihe.

4.3.2. Ritual Tulude sebagai ritual Formal.

Ritual Tulude diawali oleh kegiatan persiapan yang dibentuk oleh Dewan adat suku Sangihe. Ada tiga model persiapan sebelum melaksanakan ritual

Tulude yaitu: pertama, persiapan dalam kehidupan masyarakat suku Sangihe. Di dalam proses ini, masyarkat diarahkan untuk mempersiapkan diri secara pribadi dengan cara mematuhi beberapa pantangan hidup sesuai dengan hukum adat suku Sangihe.22 Pantangan tersebut berupa cara hidup yang mejauhkan diri dari

tindakan berzinah, membunuh, mencuri, membuang anak, kemudian tidak boleh bertengkar antara anak dengan orang tua, kakak beradik, bersaudara tiri, tetangga, dan dengan siapa saja. Kedua, membentuk Panitia pelaksana ritual

Tulude. Pada bentuk persiapan ini panitia tersebut melibatkan Petua adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan pemerintah. Mereka bertugas menyusun pelaksanaan ritual Tulude dari awal sampai akhir, kemudian memberitahukan kepada seluruh suku Sangihe bahwa akan dilaksanakannya ritual Tulude pada

(10)

waktu dan hari yang telah ditentukan. Setelah itu maka Panitia tersebut mempersiapkan kelengkapan yang akan dipakai dalam ritual Tulude. Kelengkapan yang dimaksud seperti: tempat pelaksanaan, kue Tamo, pakaian adat, personil adat yang bertugas, dan atraksi-atraksi kesenian tradisional.

Sims dan Stephens menyebutkan bahwa ritual formal adalah ritual yang memerlukan perencanaan khusus dan disampaikan atau diumumkan kepada banyak orang dengan kata lain melibatkan banyak orang dalam proses ritual formal.23 Proses persiapan ritual Tulude memiliki perencanaan khusus, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan kehidupan bersama. Perencanaan itu terlihat di dalam cara mereka mempersiapkan diri untuk menyambut hari pelaksanaan ritual Tulude, dengan mempraktekkan nilai etika dalam berinteraksi satu dengan lainnya. Selain itu, panitia yang telah ditetapkan oleh dewan adat memberitahukan kepada banyak orang (suku Sangihe, termasuk simpatisan) bahwa akan diadakannya ritual Tulude. Oleh karena itu berdasarkan hal tersebut maka, ritual Tulude ini dapat disebut ritual formal. Jadi standar identitas kedua bagi suku Sangihe adalah ritual Tulude sebagai ritual formal.

4.3.3. Ritual Tulude sebagai ritual Sakral.

Praktek ritual Tulude sangat erat hubungannya dengan dunia spiritual. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana suku Sangihe melibatkan Ilahi dalam proses ritual tersebut. Ilahi yang disapa dengan nama Ghenggona Langi Duata

Saruluang adalah sumber penjawab segala harapan dari suku Sangihe ketika mereka melakukan ritual Tulude.24 Harapan tersebut adalah terciptanya

kehidupan yang damai antara sesama manusia, pemerintah yang memimpin memiliki kebijaksanaan dan keadilan, hasil panen melimpah, penangkapan ikan

23 Lihat bab II (catatan kaki nomor 6).

(11)

di laut melimpah, dan wabah penyakit tidak akan menimpa kehidupan suku Sangihe. Keyakinan suku Sangihe sangatlah kuat terhadap terjadinya intervensi dari Ghenggona Langi Duata Saruluang atas kehidupan mereka untuk mendatangkan kehidupan yang baik, dan penuh kedamaian. Sehingga di dalam proses ritual Tulude seluruh yang terlibat seakan menciptakan batasan dari berbagai perbedaan identitas, mereka memasuki suatu fenomena kehidupan yang lain dari biasanya.

Sims dan Stephens menyebutkan bahwa ritual Sakral itu adalah praktek yang melibatkan dunia spiritual.25 Model fenomena yang terjadi di dalam proses

ritual Tulude adalah fenomena hidup sakral. Oleh Dhurkeim disebutkan sebagai cara hidup yang memisahkan diri dari yang profan, atau dengan kata lain sejenak memisahkan diri dari kehidupan yang penuh kesalahan untuk masuk pada penyucian hidup.26 Penyucian hidup dalam ritual Tulude ini dipraktekkan melalui proses menahulending tembonange dan menahulending banua.27 Tujuan dalam dua model menahulending ini ialah proses penyucian berbagai kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat. Harapan yang diukir oleh suku Sangihe dalam proses menahulending ini ialah setelah semua telah disucikan, maka Ghenggona Langi Duata Saruluang akan mengembalikan semua yang rusak menjadi baik. Hal itu dikarenakan, terdapatnya proses pembersihan diri dari tindakan yang salah itu melalui fenomena spiritual dalam praktek

menahulending, maka ritual Tulude ini adalah ritual Sakral. Oleh karena itu, dengan adanya harapan tersebut menciptakan identitas standar yang ketiga bagi suku Sangihe yaitu bagi mereka ritual Tulude merupakan sesuatu yang Sakral.

25 Lihat bab II (catatan kaki nomor 8). 26 Lihat bab II (catatan kaki nomor 2).

(12)

4.3.4. Ritual Tulude sebagai bentuk Passage.

Ritual Tulude tidak hanya melibatkan suku Sangihe dalam proses pelaksanaanya, tetapi juga melibatkan undangan pejabat pemerintah diluar dari daerah Sangihe. Kehadiran mereka mendapatkan penghargaan khusus dalam kebiasaan suku Sangihe. Penghargaan itu berupa pemberian gelar adat, seperti

Malambem Banua Liune dan Wawu Boki.28 Gelar ini memiliki arti bahwa seorang pemimpin laki-laki dan perempuan datang dari seberang lautan telah diterima dan menjadi bagian pemimpin dalam suku Sangihe.

Dalam uraian Sims dan Stephens terdapat tiga bentuk/jenis ritual yaitu: pertama, jenis Passage, ritual ini dipakai untuk memberikan tanda kepada keturunan melalui marga. Kedua, jenis Inisiasi, ritual ini dipakai untuk menyambut seseorang menjadi anggota individu. Ketiga, jenis Penamaan, ritual ini dipakai untuk memberikan nama kepada anak yang baru lahir.29 Oleh karena itu ritual Tulude juga merupakan ritual Passage dalam pengertian sebagai bentuk penamaan dan inisiasi anggota kelompok. Maka standar identitas keempat bagi suku Sangihe adalah ritual Tulude sebagai ritual yang dapat mengesahkan seseorang dari luar suku Sangihe sebagai sesama yang bisa memimpin dalam kehidupan suku Sangihe.

4.3.5. Ritual Tulude sebagai bentuk/jenis ritual Causality.

Ritual Tulude dipraktekkan oleh suku Sangihe dalam situasi dimana adanya pengharapan akan kebaikan hidup, ketika mereka mengalami bencana.30 Misalnya bagi petani adanya serangan hama terhadap tanaman mereka. Bagi nelayan, ikan akan sangat sulit untuk didapatkan dan cuaca di laut sangat buruk.

28 Lihat bab III (catatan kaki nomor 63 poin 3.3.8.2 mengenai penjemputan tamu). 29 Lihat bab II (catatan kaki nomor 15,16,17).

(13)

Bagi masyarakat, mereka akan diserang wabah penyakit yang mengakibatkan kematian. Mereka percaya dan menyakini bahwa musibah tersebut adalah bagian dari murka atau kemarahan Ghenggona Langi kepada umat manusia atas dosa yang telah dilakukan. Ritual ini, mengandung permohonan doa kepada

Ghenggona Langi agar memulihkan keadaan alam seperti sedia kala dan memberi pengampunan kepada orang-orang yang telah berbuat salah melalui pentahiran. Proses pentahiran itu melalui ritual menahulending banua.

Tujuannya agar diluputkan dari malapetaka yang menimpa, segala hama penyakit dihilangkan, supaya kebun mendapatkan hasil yang banyak. Demikian juga ikan-ikan akan berdatangan ke tempat-tempat yang dapat dijangkau oleh para nelayan.

Kepercayaan suku Sangihe atas adanya dampak bencana karena kesalahan manusia, merupakan bentuk dari cara mereka menjalani hidup di dunia ini. Cara hidup seperti itulah yang selama ini menjadi dasar berpijak keyakinan mereka untuk menjalani kehidupan ini. Sehingga kepercayaan bersama itu telah menjadikan standar identitas bagi mereka. Pengalaman hidup itu memberi pengetahuan bagi mereka tentang hukum causality (sebab-akibat) kehidupan. Hal itulah yang mendorong ritual Tulude dilaskanakan, sehingga bentuk/jenis ritual ini oleh penulis disebut sebagai ritual causality. Dengan demikian standar identitas yang kelima bagi suku Sangihe adalah ritual Tulude

(14)

4.4. Bentuk Perubahan Identitas di Dalam Proses Ritual Tulude.

Peter Burke menguraikan ada empat model perubahan identitas.31 Keempat

model itu akan dipakai untuk melihat perubahan identitas selama proses ritual Tulude

berlangsung pada bagian dibawah ini.

4.4.1. Dominasi Makna Hidup Dalam Proses Ritual Tulude.

Embrio makna atau sumber makna yang terdapat dalam proses ritual

Tulude berada pada keyakinan suku Sangihe terhadap Ghenggona Langi Duata Saruluang sebagai pemberi segala sesuatu yang baik bagi manusia.32 Makna akan mempertahankan kehidupan merupakan makna yang paling tinggi dan kuat dalam pengharapan suku Sangihe. Kelahiran makna ini karena adanya situasi yang merugikan dan mengancam kehidupan mereka, seperti bencana alam, wabah penyakit, dan gagal panen. Mereka meyakini bahwa untuk menghilangkan situasi yang merugikan dan mengancam kehidupan itu dapat di hilangkan melalui ritual Tulude. Dengan adanya situasi ini maka keberagaman identitas yang dimiliki oleh setiap individu/kelompok dalam suku Sangihe tidak mempengaruhi pikiran mereka ketika mereka melakukan identifikasi diri. Penyebab dari mereka tidak dipengaruhi oleh identitas di luar dari standar identitas itu karena pengharapan bersama yang menciptakan satu situasi atau dorongan bagi mereka untuk menjadi satu dalam keberagaman identitasnya. Dorongan itu tidak lain adalah bentuk dominasi situasi dari pengharapan, yang menciptakan keadaan tekanan terhadap keberagaman identitas individu maupun kelompok suku Sangihe. Maka dominasi situasi tersebut dengan sendirinya merubah keberagaman identitas itu menjadi satu identitas atau fucion identity

(penyatuan keberagaman identitas).

(15)

Burke pernah menyinggung tentang praktek agama, dimana perubahan identitas itu dapat terjadi.33 Hanya saja pertanyaanya ialah apakah praktek satu

agama dapat mempengaruhi individu yang berbeda agama? Mungkin bisa terjadi tetapi kemungkinannya kecil, dan dia mungkin akan menganut agama atau kepercayaan yang mepengaruhinya. Kalau di dalam ritual Tulude orang yang memiliki agama berbeda sebagai identitasnya, tidak perlu beralih agama atau melepaskan agamanya, tetapi dia mengalir dengan sendirinya dan menyatu dengan semua yang berbeda identitasnya menjadi satu dalam pengharapan bersama itu, pengharapan akan keselamatan yang akan diberikan oleh

Ghenggona Langi Duata Saruluang. Situasi ini memiliki dampak bagi cara hidup suku Sangihe dalam kehidupan bersama. Output dari ritual bersama itu adalah ketika pernah terjadi perselisihan antar agama, maka setelah terjadi bencana, kemudian mereka melaksanakan ritual Tulude, interaksi individu yang memiliki perbedaan agama menjadi lebih baik dari semula. Dalam hal inilah toleransi antar umat beragama itu terjaga dan berkembang sebagai bentuk perubahan identitas.

Bagi Burke bahwa dominasi keadaan untuk merubah identitas itu terjadi melaui perubahan bentuk akibat dominasi salah satu gender, penyucian otak, dan dominasi yang terjadi dalam strukutur.34 Akan tetapi, perubahan bentuk

makna yang penulis temukan dalam proses ritual Tulude bukan hanya adanya hal-hal seperti yang diungkapkan oleh Burke, melainkan karena suatu pengharapan bersama. Pengharapan bersama itu merupakan bentuk spiritual yang dimiliki oleh suku Sangihe. Spiritual inilah yang mendominasi keadaan

(16)

dan situasi saat mereka melakukan ritual Tulude melalui proyeksi pengharapan bersama.

Meskipun berbeda tentang bentuk perubahan identitas seperti yang digambarkan diatas, pada sisi lain Burke benar bahwa ketika terjadi perubahan identitas maka konsep makna ikut berubah. Hanya saja sesuatu yang menyebabkan perubahan makna itu yang berbeda. Burke menemukanya dalam bentuk dominasi gender, pengaruh cuci otak, dan dominasi struktur, tetapi dalam proses ritual Tulude, bentuknya ialah dominasi spiritual.

4.4.2. Kesepakatan Makna Hidup dalam Proses Ritual Tulude.

Telah dibahas bahwa latar belakang pelaksanaan ritual Tulude karena adanya fenomena wabah penyakit bagi desa, serangan hama terhadap tanaman, kesulitan dalam mencari ikan di laut, terjadinya bencana alam seperti banjir bandang, tanah longsor yang menimpa rumah warga kemudian mengakibatkan korban yang cukup banyak (kejadian tanah longsor yang berbeda dari biasanya).35 Suku Sangihe melihat bahwa fenomena itu karena akibat dari

tindakan manusia yang melanggar hukum adat dalam kehidupan bersama. Pelanggaran tersebut adalah pelanggaran terhadap kode etik kehidupan, seperti ayah menyukai anak kandung perempuannya, atau ibu menyukai anak kandung laki-lakinya. Kakak beradik saling menyukai satu dengan lainnya, dan terjadinya pemerkosaan. Termasuk penyalahgunaan kekuasaan pemerintah demi kepentingan dirinya sendiri. Pada sisi yang lain adanya pelanggaran terhadap alam, seperti menebang pohon yang dilarang untuk ditebang, dan mencemari lingkungan yang dianggap keramat.

(17)

Pada perkembangannya suku Sangihe telah hidup dalam modernisasi, berpikir secara rasional terhadap setiap kejadian yang terjadi. Akan tetapi dari fenomena bencana yang pernah terjadi di atas, membentuk suatu situasi yang membuat mereka sulit untuk memahami kejadian tersebut secara rasional. Identitas mereka sebagai manusia yang hidup dalam dunia moderen mengalami konflik ketika diperhadapkan dengan kejadian alam yang misterius seperti di atas. Mereka beranggapan bahwa tidak mungkin bencana itu terjadi hanya karena mereka menebang pohon yang dilarang, tidak mungkin bencana itu juga terjadi bagi seluruh desa hanya karena kesalahan satu orang yaitu ketika terjadinya pelanggaran hukum adat ataupun karena kesewenangan pemerintah dalam kebijakan mereka. Akan tetapi kenyataan dari beberapa kejadian yang pernah terjadi membuktikan hal tersebut.

Fenomena ketidakmungkinan di ataslah yang menciptakan krisis identitas mereka yaitu benturan antara identitas mereka sebagai manusia moderen yang mulai melihat kejadian alam dari segi rasional, dengan identitas mereka sebagai suku Sangihe yang pernah menerima berbagai kisah lisan tentang mitologi bencana dalam kehidupan suku Sangihe. Dengan adanya krisis identitas itu, maka mereka diperhadapkan dengan situasi yang memerlukan jalan keluar untuk menjawab persoalan krisis identitas tersebut.

(18)

moderen dengan standar identitas (identitas awal) suku Sangihe. Hasil dari penggabungan identitas itu memiliki bentuk makna baru yaitu, meskipun mereka hidup dalam dunia modern yang mengkaji berbagai makna dalam segi rasional tetapi juga mereka meyakini hal-hal misterius seperti makna dari beberapa kejadian bencana yang menimpa hidup mereka. Bahwa bencana yang terjadi itu merupakan bagian dari kesalahan yang mereka lakukan. Dalam hal ini mereka menemukan jawaban melalui proses krisis identitas atau benturan identitas antara identitas mereka sebagai manusia moderen yang berpikir logis dan mereka sebagai suku Sangihe yang pernah memahami mitos yang ada.

Bentuk perubahannya terletak pada perbedaan makna sebelum mereka hidup dalam dunia moderen dimana mereka melihat bahwa kejadian bencana itu hanya karena bagian dari hal-hal mistis saja, tetapi karena ritual Tulude

(19)

Burke mejelaskan tentang perubahan identitas dalam hal ini terbentuk oleh kesepakatan makna yang mendominan.36 Ritual Tulude melahirkan

dominasi makna melalui ingatan terhadap cerita lisan yang disampaikan secara turun temurun, sehingga mampu mempengaruhi identitas modern yang terdapat dalam setiap individu suku Sangihe. Oleh karena itu dalam kesadaran mereka sebagai individu/kelompok mereka memiliki kesadaran baru baik secara rasional maupun secara mistis. Kesadaran baru inilah yang membentuk makna baru, dan hal ini yang membedakan temuan Burke terhadap perubahan identitas. Burke menemukan kesepakatan makna karena dominasi makna dari identitas secara rasional saja, sedangkan dalam ritual Tulude makna terbentuk dalam cerita lisan melalui mitologi. Jadi kesepakatan makna yang diuraikan oleh Burke hanya berdasarkan pada pemikiran rasional saja, sedangkan kesepakatan makna dalam ritual Tulude terjadi secara rasional dan pemikiran mistis.

4.4.3. Keputusan Rasional untuk Memilih Suatu Makna Hidup dalam Proses Ritual Tulude.

Kita mengetahui bahwa latar belakang suku Sangihe dan arti dari warna pakaian adat menerangkan cara hidup terpisah-pisah.37 Akan tetapi ketika

pemberitahuan untuk diadakannya ritual Tulude, mereka baik yang beragama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, termasuk agama suku “Islam Tua” mempersiapkan diri bersama-sama dalam menyambut ritual Tulude tersebut. Ketika mereka hadir dalam ritual itu, seharusnya terjadi dominasi dari Petua adat yang memimpin ritual dengan menggunakan cara atau dogma dari agama baru yang di anut. Misalnya, dalam penyebutan nama Tuhan, jika dia beragama Kristen seharusnya menyebutkannya dengan nama Yesus Kristus, atau ketika

(20)

dia beragama Islam memakai kata Allah. Akan tetapi yang dipakai adalah

Ghenggona Langi Duata Saruluang. Mengapa nama itu digunakan? Disinilah terjadi proses pemilihan secara rasional. Mereka melihat bahwa nama itu memiliki makna yang dapat digunakan oleh siapa saja tanpa menjustifikasi keberadaan salah satu kepercayaan dari agama moderen yang dianut oleh suku Sangihe.

Pilihan rasional terhadap satu makna juga terjadi disaat mereka berada pada proses makan kue Tamo. Mereka tidak memikirkan persoalan makanan yang haram dan halal, siapa yang membuat kue Tamo, apakah dia menganut agama yang sama atau tidak, apakah layak untuk dikonsumsi atau tidak. Pertimbangan-pertimbangan tersebut tidak mengalir dalam pemikiran suku Sangihe disaat memasuki ritual makan Tamo, melainkan mereka berada pada satu keputusan rasional yang berdasar pada makna dari kue Tamo itu sendiri. Bahwa kue tersebut merupakan sesuatu yang menggantikan kesalahan yang mereka buat dan ketika mereka memakannya mereka mendapatkan pengampunan sehingga memiliki kehidupan yang layak dihadapan Tuhan. Tujuannya adalah mereka dijauhkan dari malapetaka, dan bencana dalam kehidupan. Dari beragam identitas dogma yang berbeda mereka lebih memilih untuk mendapatkan kehidupan secara bersama-sama, daripada terikat pada ajaran dogma agama baru, misalnya tentang haram-halal, atau kafir-tidak kafir.

(21)

masyarakat, tokoh agama, kemudian mereka memasuki identitas bersama melalui pilihan rasional dalam proses ritual makan kue Tamo.

Bagi Burke, pilihan rasional yang terjadi merupakan dampak dari adanya persoalan identitas yang terjadi dalam individu maupun kelompok.38 Akan tetapi

dalam kasus pilihan rasional terhadap suatu makna dalam proses ritual Tulude, terjadi dalam bentuk penyeberangan identitas. Suku Sangihe bisa saja bertahan dalam identitasnya masing-masing, walaupun terdapat suatu persoalan identitas, tetapi mereka memilih sercara rasional untuk menyeberang ke identitas yang terdapat dalam ritual Tulude itu sendiri.

4.4.4. Verifikasi Makna Hidup dalam Proses Ritual Tulude.

Ketika Tulude menjadi standar identitas yang dapat dilihat dalam lima bentuk yaitu, sebagai ritual, sesuatu yang sakral, formal, cara menerima orang lain (inisiasi), dan memiliki unsur sebab akibat. Kelima bentuk itu memiliki makna yang menjadi dasar untuk mengidentifikasi setiap makna kehidupan suku Sangihe. Hal itu terjadi di saat mereka berada dalam proses ritual Tulude.

Setelah proses identifikasi terjadi kemudian memverfikasinya. Mereka memverifikasi setiap makna yang sama dari setiap makna yang mereka temukan dalam kehidupan di luar dari proses ritual Tulude. Misalnya: jika dalam kehidupan agama moderen diajarkan tentang makna mengasihi, maka makna itu diverifikasi dengan nilai etika maupun moral yang terdapat dalam hukum adat. Verifikasi itu juga terjadi terhadap makna pujian terhadap yang Ilahi, atas kebaikan yang Dia berikan dalam kehidupan manusia. Hal tersebut berkaitan dengan bagaimana mereka mengungkapkan rasa syukur melalui pujian lewat nyanyian adat dan musik tradisional.

(22)

Jadi, ada makna-makna tertentu yang diverifikasi oleh suku Sangihe dalam proses ritual Tulude. Perubahan identitas disini terjadi dalam bentuk penghayatan terhadap yang Ilahi, cara melakukan puji-pujian, ataupun permohonan. Penghayatan tersebut bersumber dari identitas agama baru, tetapi teks dari penghayatan itu menggunakan teks bersama sesuai dengan unsur-unsur makna di dalam ritual Tulude. Sehingga kita dapat melihat bahwa bentuk perubahan itu terletak pada cara memaknai Ilahi, puji-pujian, dan permohonan sesuai dengan kepercayaan agama baru dengan penyebutan yang sama yaitu

Ghenggona Langi Duata Saruluang. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Burke, bahwa memasukkan makna kedalam diri individu atau kelompok dilakukan dengan cara verifikasi makna yang ditemukan dalam jalinan makna.39 Dari empat model perubahan identitas di atas, dapat diambil beberapa bentuk perubahan identitas sesuai dengan perubahan makna yang terjadi dalam setiap jalinan makna. Bentuk tersebut ialah: pertama, spiritualitas dalam ritual Tulude menghasilkan pengharapan untuk hidup bersama dalam perbedaan. Kedua, pemikiran mistis di dalam ritual Tulude menghasilkan kesadaran hidup bersama dalam perbedaan.

4.5. Pengaruh Bentuk Perubahan Identitas dalam Sistem Kehidupan Suku

Sangihe.

4.5.1. Bermasyarakat.

Pengaruh bentuk perubahan identitas dari spiritualitas suku Sangihe yang didapatkan setiap kali mereka mengikuti ritual Tulude terhadap kehidupan bermasyarakat bersumber dari nilai-nilai etika, moral, dan sakral. Nilai etika, mengikat cara hidup masyarakat untuk menghargai satu dengan lainnya baik dia sebagai pemerintah, maupun sebagai masyarakat biasa, yang tua dan muda, kaya

(23)

dan miskin, berpendidikan dan tidak sekolah. Nilai moral, mengikat setiap tindakan kesewenangan terhadap yang lemah. Sedangkan nilai sakral, mengikat keberagaman pendapat tentang kebenaran-kebenaran Tuhan disetiap agama moderen, menjadi satu dalam Ghenggona Langi Duata Saruluang Manireda

Bihingang” (Dia yang di atas langit penguasa alam semesta melindungi kita

semua).40

Pengaruh bentuk perubahan identitas dari pemikiran mistis suku Sangihe yang didapatkan setiap kali mereka mengikuti ritual Tulude terhadap kehidupan bermasyarakat bersumber dari cerita mitos. Mereka diingatkan melalui cerita mitos tersebut bahwa jika tidak bertanggungjawab terhadap alam dan Ilahi, sesuai dengan kentutan hukum adat, maka akan terhadi bencana alam yang menimpa kehidupan mereka. Sehingga, pola hidup mereka atas kesewengan alam dan kesewengan terhadap sesama memiliki sistem kontrolnya. Bentuk dari sistem kontrol ini menjadi nyata dalam kehidupan bermasyarakat ketika di daerah Kabupaten Kepulauan Sangihe, dan SITARO terdapat banyak potensi pariwisata laut, dan daratan.

Secara umum dapat kita lihat bahwa bentuk dari pengaruh perubahan identitas yang terjadi dalam ritual Tulude bagi masyarakat adalah cara hidup yang saling menghargai satu dengan lainnya. Suku Sangihe dalam kehidupan bermasyarakat memiliki tenggang rasa yang tinggi, dalam bahasa Sangihe

disebut dengan “mahungge”.

(24)

4.5.2. Agama.

Ketika agama moderen masuk di daerah suku Sangihe sekitar abad XV,41

telah menambahkan keberagaman makna dalam spiritualitas mereka. Perbedaan itu menciptakan konsep yang tidak sama dari sesuatu yang disembah sebagai yang Ilahi. Spiritualitas yang berbeda ini pada dasarnya mempengaruhi cara hidup mereka, dengan menciptakan perbedaan pemahaman tentang keselamatan hidup. Akan tetapi pengaruh bentuk perubahan identitas spiritual yang didapatkan melalui ritual Tulude, ketika mereka selalu diingatkan bahwa

GhenggonaLangi DuataSaruluang sebagai pemberi keselamatan itu bagi suku Sangihe, integrasi perbedaan itu menyatu dalam pengharapan yang sama pada satu nama Ilahi. Dampak dari harapan itu dalam bentuk kehidupan beragama ialah terciptanya kesetaraan sebagai manusia yang diberikan keselamatan oleh Ilahi bagi manusia tanpa ada perbedaan.

Mereka menjadi setara dihadapan Ilahi karena keselamatan bersumber dari Ilahi yang memiliki satu nama yaitu Ghenggona Langi Duata Saruluang, kemudian mereka menjadi setara dalam kehidupan bersama, karena semua menerima keselamatan itu, apapun bentuk agamanya.

Kesetaran itu juga lahir dari pemikiran mistis terhadap hukum sebab akibat. Dimana mitologi yang menceritakan hukum sebab akibat dari suatu tindakan pelanggaran manusia yang disucikan melalui proses menahulending

menciptakan ikatan kesadaran untuk membenah diri dari perbuatan yang akan merugikan orang lain. Misalnya: perbuatan menghina satu ajaran agama, atau menghancurkan tempat ibadah, mengganggu agama lain yang sementara melaksanakan ibadah, menganggap bahwa agama yang mereka anut paling

(25)

benar, dan lain sebagainya yang merugikan agama lain. Cara maupun tindakan yang seperti itu terus diperbaiki dalam kehidupan suku Sangihe, karena adanya pemikiran mistis tentang hukum sebab akibat bahwa ketika mereka melakukan perbuatan yang merugikan orang lain maka akan terjadi bencana bagi kehidupan suku Sangihe. Hal inilah yang menciptakan kesadaran hidup bersama itu.

Dengan demikian kita dapat melihat bahwa baik bentuk perubahan spiritual maupun perubahan pemikiran mistis yang didapatkan dari proses ritual

Tulude itu, menciptakan kesetaraan dalam kehidupan beragama di suku Sangihe. 4.5.3. Berbangsa dan Bernegara.

Letak geografis dari tempat tinggal suku Sangihe dan latar belakang nenek moyang suku Sangihe, menggambarkan adanya ikatan kuat antara suku Sangihe dengan negara Philipina, terlebih khusus daerah selatan dari Philipina.42

Keadaan ini seharusnya menciptakan daerah suku Sangihe itu bersatu dengan negara Philipina, karena latar belakang sejarah nenek moyang yang sama, dan letak geografis yang memiliki posisi daerah begitu dekat. Rasa cinta terhadap daerah Philipina seharusnya lebih besar, daripada Indonesia. akan tetapi kenyataanya terbalik, kecintaan suku Sangihe bagi negara Indonesia begitu kuat. Pada posisi daerah perbatasan bagian Utaranya Indonesia, suku Sangihe terus menjaga kestabilan keamanan daerahnya dengan seluruh cara hidupnya, bahkan nyawa menjadi taruhan atas rasa untuk mempertahankan bagian dari negara Indonesia itu. Kesadaran untuk membela Tanah Air Indonesia itu, sebenarnya berasal dari makna yang terus teridentifikasi ketika mereka hadir dalam ritual

Tulude, melalui tarian adat. Salah satu tarian adat yang menghadirkan makna rasa cinta terhadap tanah air itu ialah tarian salo. Tarian itu mengisahkan watak

(26)

suku Sangihe sebagai prajurit yang siap mati demi membela bangsa dan negara. Makna yang terkandung di dalamnya adalah suku Sangihe memiliki suatu kesadaran sebagai prajurit yang berani, kuat, dan mengorbankan nyawanya untuk membela bangsa dan negara sebagai tempat tinggal bersama.

Ada juga makna yang terkandung dalam tarian upase. Tarian ini, memberi suatu identitas bagi suku Sangihe sebagai prajurit yang menjaga dan melindungi petinggi-petinggi pemerintah sebagai pemimpin bangsa dan negara dengan jiwa dan raga mereka. Keselamatan pejabat pemerintah merupakan tanggunjawab bersama seluruh suku Sangihe, untuk dilindungi.

Dari hal di atas, kita bisa melihat bahwa adanya suatu proses spiritual dan alam pikir mistis yang lahir dari makna tari-tarian adat suku Sangihe. Letaknya ada ketika mereka memaknai bahwa Ghenggona Langi Duata

Saruluang telah menghadirkan mereka di dunia ini sebagai seorang prajurit yang tangguh, dan kuat untuk melidungi bangsa dan negara dimana mereka hidup bersama. Ketika hal ini tidak dilakukan maka, mereka akan dituntut Ghenggona

Langi Duata Saruluang atas tindakan yang tidak mereka pertanggunjawabkan itu. Sehingga dari tuntutan itu kehidupan masyarakat penuh dengan penderitaan karena adanya musibah dan wabah penyakit. Jadi harapan dan kesadaran inilah yang terus mengikat perjalanan kehidupan suku Sangihe.

(27)

Dengan demikian kita dapat melihat adanya dua proses jalinan makna dalam hal ini: pertama, jalinan makna ritual Tulude dengan makna individu atau kelompok, jalinan makna ini menghasilkan makna baru yang mempengaruhi sistem kehidupan suku sangihe. Makna baru ini kemudian menjadi makna individu/kelompok. Kedua, jalinan makna antara makna di dalam ritual Tulude, dengan makna baru yang berasal dari pengaruh perubahan makna pertama. Kemudian jalinan makna inipun menjadi makna baru lagi dalam kehidupan bersama, dan setelahnya menjadi makna dalam individu atau kelompok. Model jalinan makna ini terjadi terus menerus dalam integrasi kehidupan suku Sangihe.

4.6. Ritual Tulude Menjadi Wadah Pembentukan Identitas Baru Suku Sangihe.

Sehubungan dengan ritual Tulude sebagai pembentuk identitas baru, maka dalam pemikiran penulis bahwa, proses itu terjadi ketika praktek Tulude merupakan praktek ritual yang melibatkan setiap unsur dalam kebiasaan suku Sangihe, kemudian ritual Tulude melibatkan banyak individu yang berinteraksi, dimana interaksi itu menciptakan fenomena dunia yang sakral yang bersumber dari kepercayaan atas

Ghenggona Langi Duata Saruluang sebagai pencipta adanya sistem sebab akibat berdasarkan mitologi suku Sangihe. Langkah pembentukan identitas itu terjadi ketika adanya penyatuan banyak unsur makna, kemudian adanya jalinan makna yang terus diidentifikasi. Proses identifikasi ini menurut saya menghasilkan dua hal yaitu verifikasi dan falsifikasi. Verifikasi berfungsi untuk mengeneralisir setiap makna yang sama dan dimasukkan kedalam individu/kelompok untuk menjadi milik mereka. Sedangkan falsifikasi berfungsi untuk mengeneralisir setiap kesalahan makna untuk di perbaharui sesuai dengan makna didalam ritual Tulude. Kemudian dimakna itupun diserap oleh setiap individu atau kelompok yang hadir selama ritual Tulude

(28)

Gambar berikut menerangkan model pembentukan identitas baru melalui ritual

Tulude.

Jadi pembentukan identitas baru dalam hal ini terjadi melalui jalinan makna antara standar identitas dengan makna dari luar standar identitas. Kemudian jalinan makna itu di dalamnya memiliki proses identifikasi, dimana hal tersebut memilik dua bentuk yaitu verifikasi dan falsifiksi. Pada akhir dari proses itu maka terbentuklah identitas baru yang memiliki makna baru. Kemudian identitas baru itu akan diidentifikasi lagi disaat mereka hadir lagi dalam proses ritual Tulude. Pola seperti gambar di atas terus terjadi dalam interaksi suku Sangihe. Demikianlah ritual Tulude

Gambar

Gambar berikut menerangkan model pembentukan identitas baru melalui ritual

Referensi

Dokumen terkait

Makna yang terkandung dari tradisi Lamporan diantaranya adalah makna tradisi Lamporan dalam bidang religi/ agama yaitu sebagai ritual untuk menjaga desa dari segala

4.3.Sejarah Masuknya Aliran Musik Black Metal di Boyolali 29 4.4.1 Sekilas Tentang Komunitas Pengging Total Hitam .. : SIRAMANDALEM LEGION dalam Ritual

moyang mereka, selain itu makna dari ritual yang mereka lakukan adalah sebagai. pelengkap dalam penampilan mereka agar Jawa mereka tidak tenggelam

lebih dalam memahami tentang makna yang terdapat di balik ritual

Oleh karena itu, penulis terdorong untuk meneliti apa makna pulau Sabu sebagaimana yang tercermin dalam ritual pebale rau kattu do made dan bagaimana narasi tempat

Ritual pebale rau kattu do made adalah salah bentuk ritual dari masyarakat Sabu diaspora yang.. dilakukan untuk menunjukkan bahwa sekalipun masyarakat Sabu diaspora telah

Raja Sangen : Anak dari manusia laki-laki dan perempuan pertama dalam mitologi suku Dayak Ngaju, yang tinggal. Batu

Sementara dalam kehidupan penulis sendiri, identitas teritorial ini terbentuk dan termanifestasikan melalui penyelesaian tesis ini, yang sejatinya adalah hasil integrasi