• Tidak ada hasil yang ditemukan

Paradigma Berpikir penulisan ilmiah (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Paradigma Berpikir penulisan ilmiah (1)"

Copied!
197
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

GEDABU

Termometer Paradigma

Berpikirdan Bela Negara

Penulis Dr. Mhd. Halkis

[email protected]

ISBN:978-602-17915-9-2

Halaman 184 halaman

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang Cetak Pertama, Mei 2016

Diterbikan oleh Universitas Pertahanan

Bogor, Maret 2016

Jl. Anyar DesaTangkil

Kawasan IPSC Sentul Bogor Indonesia 16730

(3)

Pengantar Rektor Unhan;

Revolusi Mental, Bela Negara dan

Paradigma Berpikir

Paradigma postmodern telah membangun peradaban yang semakin liberal. Postmodern mendasari pemikiran pada ketidakpastian, tidak ada satu pun yang permanen di dunia ini. Kalau ketidakpastian menjadi landasan berpikir tentang negara, persepsi dan keyakinan orang terhadap eksistensi negara perlu diselidiki. Melihat pengalaman beberapa negara ternyata keinginan untuk maju dan berubah menjadi penentu eksistensi sebuah negara. Untuk itu, pertanyaannya adalah apa strategi kita untuk menghadapi perubahan tersebut. Konsep Revolusi Mental yang dicanangkan pemerintah tampaknya memiliki relevansi dan memungkinkan untuk menjadi solusi problem kenegaraan di era kita ini.

Kalau konsep Revolusi Mental bertitik tolak pada konsep keseimbangan antara hak dan kewajiban selaku warga negara, sesungguhnya masalah perubahan seperti apapun tidak masalah. Hak dan kewajiban selaku warga negara bersifat konstitusional. Menjadi warga negara adalah hak, tetapi di situ juga ada kewajiban. Untuk itu, implementasi usaha membela negara melalui Revolusi Mental perlu diwujudkan.

(4)

sangat terasa kalau kita memahami kondisi globalisasi saat ini. Sikap-sikap sebagian anggota masyarakat dimungkinkan karena sistem komunikasi global saat ini yang mengatur kepentingan bisnis, politik, kebudayaan tidak lagi terkait dengan tembok teritorial negara, sehingga bernegara tak lebih dari urusan birokrasi pemerintah. Untuk mengantisipasi perubahan pola interaksi antar masyarakat sebagai bagian dari kehidupan bernegara, di beberapa negara maju menjadikan program pendidikan kewarganegraan menjadi program wajib, termasuk Indonesia. Bedanya di negara-negara liberal diaplikasikan dalam materi pelajaran sosial budaya. Sementara itu, di Indonesia materi pelajaran kewarganegaraan dilaksanakan sejalan dengan materi Pelajaran Pancasila. Secara formal materi bela negara dapat dimasukkan sebagai bagian dari pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan ataupun dalam kegiatan ekstrakurikuler kampus.

Kedua, memberikan landasan moral bagi aparatur penyelenggara negara dalam melakukan aktivitas cinta negara. Memang hukum lahir dan berkembang di tengah masyarakat melalui proses demokrasi. Namun tatkala hukum belum terwujud dalam sebuah ketentuan perundangan, sedangkan dinamika masyarakat semakin tinggi dan sisi lain aparatur negara yang diberi tanggung jawab yang diharapkan bertindak cepat. Untuk itu, Revolusi Mental memberikan pencerahan dalam membangun moral bangsa, hukum akan lahir dan hidup melalui moral kebangsaan yang berlandasan Pancasila.

(5)

bersama. Selain ideologi, politik, dan bahasa alat pemersatu intern dan ekstern primordial adalah Revolusi Mental. Sulit dibayangkan jika dalam kehidupan kebangsaan tidak memiliki perekat, kehidupan bela negara menjadi terancam. Partisipasi rakyat melalui Revolusi Mental dapat merekatkan kembali ikatan intern dan ektern dalam primordial yang renggang tersebut.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana konsep dan teknis mewujudkan Revolusi Mental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Secara praktis proses Revolusi Mental dapat dilakukan melalui tiga jalur, yaitu lingkungan pemukiman, lingkungan pendidikan, dan lingkungan pekerjaan. Secara teoretis, Jurgen Habermas menjelaskan di era post nationalism negara tidak hanya ditentukan oleh hukum ekonomi, tetapi tinjauan dari perspektif lain dan saling ketergantungan di arena lain justru kadangkala menentukan.1Pentingnya ruang publik dan partipasi publik terhadap bela negara melalui demokrasi merupakan pilihan. Althusser memisahkan ruang privat dan ruang publik, karena kalau revolusi mental hanya dalam ruang privat kemajuan publik akan timpang untuk itu penting hubungan Ideological State Aparatus (ISA) dengan Repressive State Apparatus (RSA). Aparatur ideologis berperan memanggil (interpelasi) aparatur represif melalui ideologi. Kemajuan dalam kehidupan bernegara bukan hanya untuk suatu class struggles semata walaupun adanya kelompok suatu keniscayaan.

Lain lagi dengan Husserl; manusia lahir bersifat given (terberikan, menerima apa adanya) untuk itu lebenswelt (dunia

1

(6)

kehidupan) dipengaruhi ruang dan waktu. Ideologi berperan dalam merumuskan baik dan buruk, bahkan salah dan benar. Dalam penyatuan ruang publik dan ruang privat, Louis Altusser menyarankan melalui aparatur ideologi dan aparatur represif. Teori ini mampu mengelola dan menghubungkan kepentingan privat dalam ruang publik. Jawaban lain dikemukan oleh Lacan. Melalui teori psikoanalisis, Lacan menjelaskan peran bahasa tahap imajinari mengantarkan kesadaran manusia mewujudkan nilai dalam kehidupan. Untuk itu, peran bahasa dalam menjaga persatuan dan kesatuan perlu diperhatikan. Petatah petitih tentang nilai-nilai toleransi dalam kehidupan masyarakat merupakan simbol kehidupan bersama.

Halkis dalam bukunya “GEDABU, Termometer

Paradigma Berpikir dan Bela Negara” menjelaskan bahwa kreativitas dan perilaku disebabkan oleh nilai budaya. Sementara itu, nilai budaya dikonstruksi oleh paradigma berpikir. Oeh karena itu, dengan memahami paradigma berpikir seseorang akan dapat dipahami pola kreativitas dan perilaku seseorang melalui nilai-nilai budaya tersebut. Termometer paradigma dapat membedakan konstruksi nilai-nilai budaya yang dimiliki para agen pembaharuan dan yang dimiliki oleh struktur nilai dominan aparatur. Penggunaan termometer paradigma berpikir tidak hanya sampai memahami cara berpikir, tetapi dapat juga diaplikasikan sebagai termometer bela negara. Kadar bela negara seseorang dapat diketahui, sehingga bermanfaat untuk rekayasa sosial budaya dalam konteks Revolusi Mental melalui bela negara.

Kunci persoalannya menyangkut pemahaman atas

negara sebagai sebuah “subjek”. Problemnya adalah indikator

(7)

subjek dengan others (identitas yang lain) perlu dilihat sebagai sebuah proses dalam membangun sebuah konstelasi. Negara sebagai sebuah subjek terkait others dalam membangun karakter bangsa. Untuk itu, termometer paradigma berpikir dengan pendekatan psiko-kultur ini dimungkinkan untuk termometer bela negara juga. Setelah dapat merumuskan negara sebagai subjek. Indikator-indikator tes paradigma berpikir dapat mengukur kadar bela negara seseorang atau suatu kelompok masyarakat.

Terlepas dari kekuatan dan kelemahan teori ini, paling tidak sebuah upaya dalam mendeteksi paham-paham yang perlu diwaspadai dalam konteks bela negara perlu diapresiasi. Bela negara bersifat pragmatis, sedangkan termometer paradigma bersifat teoretis-praktis dalam mendeteksi sang subjek, dan mengukur jarak antara subjek dean negara (Subjek). Melalui penjelasan termometer paradigma berpikir subjektivitas seseorang tidak selalu sama, karena memiliki latar belakang dan pengalaman berbeda. Namun, penggunaan Termometer paradigma berpikir memberikan tawaran pemahaman yang menarik, negara akan tetap eksis karena adanya konstelasi yang selalu bekerja menjadi Lebenswelt (duniakehidupan) bangsa Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika.

(8)

KATA PENGANTAR PENULIS

Revolusi Mental berdasarkan “maximum prosperity

dikembangkan oleh Frederick W.Taylor dan Daniel Nelson

dalam bukunya “A Mental Revolution, Scientific Management

since Taylor” bergema sampai Indonesia di era kepemimpinan Jokowi-JK. Menurut Nelson, kunci sukses menuju kemakmuran dapat tercapai dengan mengembangkan ide dalam mengelola setiap usaha tidak hanya bertitik tolak pada keuntungan investor, tetapi dampaknya terhadap kemakmuran masyarakat lebih penting.2Bagi Indonesia, jargon istilah “revolusi” tidak bisa terlepas dari “Bung Karno” sebagai salah seorang The Founding Fathers bangsa Indonesia. Bung Karno di awal kemerdekaan bermaksud untuk menggerakkan semangat rakyat mengusir kolonial dari bumi Indonesia dan mengubah mindset kaum feodal tidak hanya mengejar keuntungan keluarga, tetapi juga persatuan dan kesatuan bangsa.

Sekalipun maksudnya berbeda antara Taylor dan Bung Karno, dalam kepemimpinan Jokowi-Jk tampaknya berusaha menyatukan antara semangat liberal dan sosialis itu dalam satu Rumah Besar Indonesia. Program membuka jalur tol laut misalnya, muncul harapan baru bagi investor dan di balik itu bagi sang negarawan bermaksud menghubungan Sabang-Merauke dalam kerangka Bhineka Tunggal Ika. Upaya menjaga persatuan bangsa tidak hanya tanpa paksaan, tetapi cara-cara baru demikian menjadi spirit baru dalam mengelola manajemen bela negara. Untuk membuka rahasia

2

(9)

pandangan ini dikembangkan dalam Studi Peperangan asimetrik, khususnya bidang kajian asimetrik kultural.

Pendekatan asimetrik kultural juga dapat digunakan

dalam melihat kasus bom “Sarinah”. Ketika banyak pengamat

menyebutkan bom Sarinah adalah lanjutan bom Paris dan bom Turki, jaringan ISIS bekerja menebarkan rasa takut di kalangan masyarakat. Akan tetapi di Indonesia justru menjadi tontonan gratis di siang bolong. Memang fenomena sosial budaya di masyarakat semakin aneh dan rumit. Banyak orang bertekuk lutut untuk mengerti dengan peristiwa, tingkah laku dan nilai dalam masyarakat saat ini. Teori-teori sosial modern tidak mampu menjelaskan mengapa ini berbeda, ini begini, itu begitu, semestinya tidak begitu tetapi kok begitu. Aturan hukum tidak ada yang pasti, sementara tuntutan meminta kepastian. Kekacauan realitas nilai menusuk hati sanubari, jawaban sementaranya karena dampak hempasan ombak globalisasi, informasi masuk tanpa permisi membangun nilai dan persepsi. Hasrat klasik dipandang takdir tidak lagi memberikan makna karena sang tuan mestinya menguasai budaknya, majikan menguasi pembantunya, penguasa menguasai massanya. Namun kenyataan tidak lagi demikian, justru sebaliknya. Sang tuan diatur budaknya, sang raja diatur hambanya dan sebagainya.

(10)

manusia. Bagi peneliti tidak hanya teori di atas kertas, tetapi praktek dalam kehidupan.

Pemahaman akan diri sendiri menjadi awal untuk mencari posisi, subjektivitas dalam berkreativitas dipandang penting. Kesesuaian alam pikiran dan ruang mendukung suasana batin manusia untuk berkreatif. Untuk itu termometer Gedabu ini akan bermanfaat kalau dapat digunakan dalam menjaga arah tindakan siapa diri sendiri (subjek) dan siapa yang lainnya (others/objek). Demikian juga hanya ketika subjetivitas negara dapat ditemukan, pendekatan nilai-nilai Pancasila melalui konstelasi politik dapat pahami, skala Gedabu dapat dioperasikan sebagai termometer bela negara.

Terselenggaranya tugas ini berkat dukungan banyak pihak. Untuk itu kami ucapakan terima kasih kepada ayah-bunda, istri, anak-anak, adik-adikdan teman-temankami. Almamater kami UIN Suska (S1,1992), Universitas Andalas (S2,2006) dan Universitas Indonesia (S3,2014). Kemudian khusus Rektor Universitas Pertahanan, Dekan Fakultas Strategi Pertahanan dan Kaprodi Peperangan Asimetris tempat kami mengabdi yang mendukung sepenuhnya atas diterbitkannya buku ini saat di usia kami genap 47 tahun.

Bogor, 13 Mei 2016

(11)

DAFTAR ISI

Pengantar Rektor Unhan……… ii

Pengantar Penulis……… v

Bab 1 Manusia Selaku Subjek Berbudaya……….. 1

Mengukur Tingkah Laku Manusia ……… 1

Pokok Persoalan………. 7

Landasan Teori………... 9

Metodologi ……….... 20

Bab 2 Paradigma Berpikir dan Teori Nilai Budaya...………..………… 29

Paradigma Berpikir dan Ontologi Nilai dalam Pemikiran Barat……….… 29

Pengertian Nilai dan Paradigma Berpikir dalam Islam……….………... 40

Bab 3 Eksperimen Sistem Nilai Budaya dalam Masyarakat Terasing………... 47

Talang Gedabu dan Rawang Kao sebagai Objek Uji Coba Penelitian ………. 47

Indikator-indikator Nilai Budaya Masyarakat Terasing……… 49

(12)

Paradigma Alamiah sebagai Pertimbangan untuk

sebuah aplikasi ……….. 55

Contoh Aplikasi Termometer Gedabu……….. 59

Perubahan Nilai dan Peristiwa………. 64

Membangun Dinamika Grup ……….. 65

Bab 4 Termometer Gedabu dan Habitus Masyarakat………...... 68

Habitus Masyarakat Vakum ……… 69

Habitus Masyarakat Pasif……… 74

Habitus Masyarakat Aktif……… 77

Habitus Masyarakat Hiperaktif……… 82

Bab 5 Aplikasi Gedabu sebagai Termometer Bela Negara……… 87

Persoalan Negara sebagai Subjek. ……… 87

Persatuan Vs. Individual………. 89

Anarkisme dan Marxisme Selalu Menggorogoti Stabilitas 92 Ideologi Tengah dan Kanan Selalu Bekerja……… 95

Menafsir Hukum dan Pentingnya Dekonstruksi………… 97

Agen Radikal, Demokrasi dan Globalisasi……… 106 Bab 6 Pancasila sebagai Subjek Memanggil………… 111

Agama dan Praktek Ketuhanan Yang Maha Esa………… 111

Persatuan dan Politik Pengakuan: Subjek Lokal, Persatuan dan Politik Pengakuan; Subjek Lokal, Otda dan Otsus……….. ……….. 121

Sublimasi dan Interpelasi (Memanggil) Pancasila……….. 132

(13)

Bab 7 Ilmu Pertahanan dan Bela Negara dalam Filsafat

Pertahanan……… 149

Ontologi Ilmu Pertahanan……….….. 148

Kompetensi Ilmu Pertahanan……….. 152

Filsafat Ilmu……… … 157

Studi Sosial Budaya Terapan………... 161

Sertifikasi Gedabu………..………... 164

Bab 8 Penutup……….. …. 166

Kesimpulan………. 166

Rekomendasi……… 170

Glossary. ………... 173

Daftar Pustaka………... … 175

LAMPIRAN I. ORISINIL KERANGKA KLUCKHOHN……....…. 180

LAMPIRAN II TERMOMETER GEDABU..……….…... 181

LAMPIRAN III LEMBERAN TES GEDABU…………..………. 182

LAMPIRAN IV REKOMENDASI YANG DIBERIKAN TES………….. 183

(14)

Bab 1

Manusia Selaku Subjek Berbudaya

Mengukur Tingkah Laku Manusia

Setiap ada masyarakat, di situ ada budaya.1 Budaya merupakan kemampuan berkreasi manusia dalam mengatasi masalah di lingkungannya. Semakin besar masalah yang dihadapi, semakin tinggi kemampuan suatu masyarakat yang dibutuhkan. Kemampuan suatu masyarakat terlihat dari kreativitas masyarakat dalam menghasilkan ide, kebijaksanaan, dan karya teknologi dari waktu ke waktu. Apabila suatu permasalahan tersebut tidak bisa diatasi, di dalam masyarakat akan timbul konflik berkepanjangan dan berakibat budaya masyarakat tersebut akan ketinggalan, bahkan hilang dalam peta dunia. Usaha perlindungan sebuah kebudayaan suatu masyarakat tersebut dapat muncul dari masyarakat tersebut atau datang dari luar masyarakat tersebut. Proses pembentukan budaya sebagai kreasi manusia sebagai hasil kemampuan suatu masyarakat yang didapat dengan belajar disebut sebagai kebudayaan dan kadang kala disebut juga sebagai peradaban. Ketika manusia berkreasi sendiri atau sama-sama

1

Cicero menyebutnya Ubi societas ibi Ius,(baca: ū´bē sōkē´ātas, ē´bē yūs .

ū´bē susī´etus, i´bē jus) dimana ada masayarakat di situ ada hukum.

(15)

menghasilkan peradaban, pada saat itu manusia disebut sebagai subjek.

Masyarakat dan kebudayaan berkaitan dengan lingkungan dan kreativitas manusia di dalamnya. 2Kebudayaan pada suatu waktu berupa perlombaan menguasai alam dengan teknologi. Suatu masyarakat terlihat maju ketika memiliki implikasi terhadap interaksi peradaban manusia global. Setelah dua kali perang dunia, timbul kesadaran bahwa keadilan dan kesejahteraan tidak dapat tercapai tanpa memperhatikan esensi hakikat manusia itu sendiri dan diatur secara bersama-sama dalam organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Melalui lembaga ini, negara dilihat sebagai sebuah organ dan hubungan antara satu dan yang lainnya yang diatur oleh PBB. Sekalipun produk hukum yang dimiliki PBB berupa konvensi yang tidak efektif karena berhadapan dengan kedaulatan suatu negara, tetapi memiliki arti yang sangat besar, terutama terkait dengan perjuangan hak asasi manusia.

Salah satu persoalan hak asasi manusia yang mengemuka dan cukup rumit setelah perang dunia kedua adalah masalah hak-hak masyarakat terasing. Dalam literatur, hal ini dapat dipahami melalui istilah indigenous people. Dalam Konvensi 169, disebutkan bahwa suku-suku di negara-negara merdeka memiliki kondisi sosial, budaya, dan ekonomi yang berbeda dari bagian lain dari masyarakat nasional. Selain itu, status mereka diatur seluruhnya atau sebagian oleh adat atau tradisi mereka sendiri atau oleh undang-undang atau peraturan khusus.

Latar belakang pemikiran konvensi ini adalah kesadaran para intelektual masyarakat modern bahwa terdapat

2

(16)

jarak antara negara yang diatur oleh masyarakat intelektual tinggi dan masyarakat terasing yang tidak memiliki akses dengan kekuasaan. Oleh karena itu, perlu perhatian khusus agar tercapai keadilan sosial secara global. Dikotomi perbedaan tersebut antara masyarakat yang dinamis dan memiliki kreativitas dan masyarakat yang vakum yang hampir tidak ada kreativitas, atau secara ekstim disebut juga masyarakat malas. Secara sederhana, masyarakat terasing jauh dari proses kemajuan masyarakat modern. Dalam budaya fisik, antara masyarakat maju dan masyarakat terasing terdapat perbedaan, misalnya masyarakat Jepang dari teknologi fisik dapat menghasikan mesin Toyota, Honda, Yamaha, dan sejenisnya. Mesin-mesin buatan Jepang itu sangat dibutuhkan oleh setiap masyarakat dunia sebagai peralatan hidup.

Masyarakat terasing memiliki berbagai jenis budaya. Secara sederhana, dilihat dari tingkat keterpengaruhannya dalam hal teknologi, masyarakat terasing dapat dibagi menjadi dua, yaitu masyarakat yang mulai terpengaruh teknologi tetapi masih terlihat statis dan masyarakat yang tidak tersentuh oleh perkembangan teknologi yang terlihat super-statis. Secara umum, masyarakat terasing tidak mampu berproduksi yang diperlukan oleh masyarakat lain, bahkan hampir tidak mampu berkomunikasi dengan masyarakat lain. Sebaliknya, masyarakat maju seperti Jepang dapat menjangkau bahkan menguasai masyarakat di dunia ini.

(17)

imitasinya. Budaya fisik masyarakat terasing kurang dibutuhkan oleh Jepang atau masyarakat lainnya, karena budaya masyarakat Jepang lebih berkualitas, walaupun dalam bentuk dan model yang hampir sama.

Indonesia adalah sebuah negara yang masyarakatnya dominan tinggal di desa. Masyarakat desa disebut juga sebagai masyarakat agraris. Masyarakat agraris berusaha menggunakan teknologi buatan Jepang atau imitasi buatan Jepang untuk membantu dan mempercepat proses suatu pekerjaan. Masyarakat semacam ini lebih suka menjual hasil alami kepada masyarakat lain. Derajat kehidupan dari segi ekonomi dapat dilihat dan ditentukan oleh kemampuan masyarakat tersebut dalam menggunakan budaya masyarakat modern. Lembaga-lembaga pendidikan digunakan untuk menampung perkembangan teknologi modern dengan mendidik kelompok masyarakat yang disebut mahasiswa, siswa atau pelajar.

Sistem komunikasi masyarakat desa juga sangat terbatas dan sangat ditentukan oleh kepala desa. Kepala desa mempunyai peranan yang sangat besar dan menjadi perantara masyarakat dengan dunia luar. Warga desa dapat diberikan surat jalan oleh kepala desa untuk menjamin identitas seorang penduduk dalam melakukan perjalanannya ke luar desa. Untuk itu, masyarakat desa dapat disebut sebagai masyarakat terasing. Menurut UU Hamidi secara umum masyarakat terasing memiliki tanda-tanda sebagai berikut.

(18)

dalam alam pikiran yang bersifat mitos melakukan kepercayaan nenek moyang seperti animisme dan dinamisme.‖3

Ilustrasi di atas memberi pengertian umum kepada kita bahwa ada beberapa variasi budaya yang merupakan hasil kreativitas dan tingkah laku suatu masyarakat. Kalau kita mengatakan suatu masyarakat, berarti suatu kelompok manusia yang memiliki cara tersendiri, pola kesadaran ruang dan waktu, pemahaman tentang pendekatan dan tujuan tindakan struktur dan agen yang oleh Bourdieu disebut sebagai

―habitus‖. 4

Pada kenyataannya, budaya tersebut membedakan suatu masyarakat dengan masyarakat yang lainnya. Persoalannya, bukan hanya berbeda tetapi ada nilai kontradiksi bahwa budaya yang satu dipersepsikan lebih tinggi dari yang lain. Oleh karena itu, jika ada nilai tinggi dan rendah suatu budaya serta nilai budaya ada ukurannya, inti persoalannya adalah bagaimana cara mengukurnya.

Banyak cara dari berbagai kalangan untuk mengukur nilai budaya, tetapi secara umum bersifat subjektif. Misalnya, kalangan agama merasa nilai budaya mereka lebih tinggi, karena mereka meyakini kelompok mereka adalah utusan Tuhan. Kemudian, dari kelompok etnis juga ada yang merasa kelompoknya adalah manusia super. Alasan yang demikian tampaknya menimbulkan konflik, bahkan dapat memicu perang dari zaman ke zaman, termasuk teroris-teroris yang dipahami melalui doktrin-doktrin ajaran mereka. Untuk itu peneliti mencoba merumuskan skala nilai budaya dari dimensi keilmuan, sehingga diharapkan lebih objektif. Kalangan ilmuwan psikologi juga telah banyak menghasilkan

3

UU. Hamidy, Masyarakat Terasing Daerah Riau Di Gerbang Abad XXI, Pekanbaru, Zamrad, I99I, pp I7-I8.

4

(19)

indikator tingkah laku manusia sebagai pedoman dalam menentukan klasifikasi manusia untuk tujuan tertentu. Oleh karena itu, dalam hal ini peneliti hanya menyempurnakan teori yang sudah ada.

Kalau melihat cara kerja Celcius dalam menentukan skala suhu, peneliti mestinya mencari indikator terendah dan indikator tertinggi untuk merumuskan skala nilai budaya. Dalam penelitian ini, pertama, peneliti mencari objek yang terendah, kemudian mencari indikator tertinggi dengan melakukan refleksi implikasi logika. Untuk mengambil indikator terendah, peneliti mengambil kelompok masyarakat terasing. Masyarakat terasing yang dipilih ada dua, yaitu masyarakat di hutan Talang Gedebu (Suku Talang Mamak, Riau), karena belum tersentuh sama sekali oleh teknologi dari luar, dan masyarakat terasing di desa Rawang Kao (Suku Kubu), karena sedang menghadapi pengaruh dari luar atau menghadapi perubahan lingkungan transmigrasi. Pada saat dilakukan penelitian, masyarakat Rawang Kao sedang menghadapi konflik dengan masyarakat transmigrasi dari pulau Jawa. Pilihan masyarakat ini kemudian akan dikonstruksi menjadi sebuah skala nilai budaya untuk semua kelompok masyarakat secara universal.

(20)

Pokok Persoalan

Pokok persoalan dalam penelitian ini adalah mengapa nilai budaya suatu kelompok masyarakat (habitus) ada yang tinggi dan ada yang rendah. Karena nilai budaya bersifat abstrak dan perilaku diyakini sebagai wujud nilai budaya, dengan mengukur nilai budaya berarti mengukur tingkah laku itu sendiri. Kondisi yang berbeda antara suatu masyarakat dan masyarakat yang lain disebabkan oleh produksi budaya yang berbeda-beda. Dalam hal ini, tingkah laku diartikan sebagai kreativitas. Hal ini karena budaya sesungguhnya merupakan kreativitas manusia. Kreativitas ini dapat terjadi di bidang ekonomi, politik, militer, teknologi, dan sebagainya.

Budaya merupakan manifestasi dari kemampuan suatu masyarakat dalam menghadapi permasalahan dan memenuhi kebutuhan dalam lingkungan masing-masing. Gambaran budaya masyarakat berarti gambaran dari kreativitas suatu masyarakat tersebut. Karena peneliti meneliti budaya, peneliti semestinya menggambarkan bentuk karya masing-masing masyarakat yang berkaitan dengan sistem-sistem gagasan, tindakan-tindakan dan karya fisik milik masyarakat tersebut. Keadaan lingkungan dan historis masing-masing kelompok masyarakat penting untuk dipahami sebagai faktor yang saling mempengaruhi. Demikian juga halnya tentang sistem nilai budaya, norma-norma, peraturan-peraturan dan hubungan antarsub-budaya.

(21)

konsep operasional penelitian sebagai implementasi teori dalam menjawab pokok persoalan.

Dengan berbagai pertimbangan konsep operasional, peneliti memilih teori Kluckhohn. Dalam teori Kluchohn, konsep operasional penelitian berpijak pada pengertian bahwa sistem nilai budaya yang dimaksud adalah tanggapan suatu masyarakat dalam menjawab permasalahan dasar dalam hidup. Kemudian, permasalahan mendasar dalam hidup dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan seperti bagaimana tanggapan masyarakat terasing tentang masalah hakikat hidup? Bagaimana tanggapan masyarakat terasing tentang hakikat karya? Bagaimana tanggapan masyarakat terasing tentang hakikat waktu? Bagaimana tanggapan masyarakat terasing tentang hakikat hubungan antarsesama? Bagaimana tanggapan masyarakat terasing tentang masalah hakikat alam?

Indikator-indikator yang ditemukan dalam objek penelitian tentang tingkah laku masyarakat terasing dikelompokkan menjadi kelompok masyarakat vakum dan pasif. Masyarakat vakum adalah masyarakat yang tidak memiliki kreativitas, karena semuanya tergantung pada alam. Sementara itu, masyarakat pasif adalah masyarakat yang hanya menerima perubahan dengan terpaksa. Kedua habitus kelompok masyarakat ini menjadi fondasi pembentukan indikator skala nilai budaya masyarakat terasing tersebut. Untuk mencapai tujuan penelitian ini, peneliti mengkonstruksi proposisi-proposisi yang ditemukan untuk membentuk sebuah rangkaian indikator nilai budaya.

(22)

paradigma-paradigma berpikir sebagai pelindung yang membenarkan tindakan tersebut. 5Hal ini masih terkait dengan struktur. Akan tetapi, ketika digunakan dalam kehidupan bernegara, teori diaplikasikan dalam sebuah kepentingan. Jika kepentingan tersebut untuk kepentingan negara, relevan disebut untuk membela negara. Untuk itu, Gedabu memungkinkan dapat digunakan sebagai alternatif termometer bela negara.

Landasan Teori

Persepsi adanya tinggi dan rendah nilai budaya suatu kelompok masyarakat (habitus) menyangkut paradigma berpikir. Teori paradigma berpikir terkait dengan filsafat ilmu, yang lebih spesifik lagi disebut philosophy of mind. Elemen dasar dalam philosophy of mind adalah persepsi, intensionalitas, subjektivitas, dan mentalitas. Kalau difokuskan pada intensionlitas, persoalannya adalah mental representation (menghadirkan mental), problem kesadaran, dan problem persepsi. 6Karena penelitian ini bersifat filosofis dan diteliti dalam lingkungan empiris aktivitas kehidupan manusia, studi ini termasuk psikologi dan secara khusus lagi pada pendekatan studi psikoanalisis. Untuk itu Gedabu, termometer paradigma berpikir dan bela negara dalam studi ini dapat dipahami melalui tes-tes kepribadian, paradigma berpikir dan psiko-kultur. Dengan demikian, apabila termometer gedabu diperuntukan untuk diri sendiri, dapat juga disebut sebagai termometer narsis.

5

Pohon ada akarnya, pada ujung akar tersebut terdapat tudung akar atau disebut kaliptra. Kaliptra identik dengan ideologi, nilai budaya akarnya.

6

(23)

a. Tes Kepribadian

Metode umum untuk menganalisis watak (kepribadian) umum adalah dengan menganalisis individu yang telah dikembangkan oleh antropologi, yaitu tes Rorschach. Hal ini dilakukan dengan menggunakan kartu-kartu yang tertera 10 macam noda-noda tinta yang bilateral dan simetris. Klien diminta untuk menceritakan dan mengarang hal-hal yang dilihatnya. Walaupun masing-masing peserta mempunyai gambar yang sama, jawaban akan berlainan. Untuk itu, mereka yang terlibat dalam tes tersebut memang memproyeksikan tanda-tanda yang terdapat dalam noda tersebut dan itulah maknanya. Tes Rorscach ini dapat disebut sebagai percobaan proyektif. Hasil analisis dari jawaban pertanyaan itu dapat digunakan untuk mengetahui kepribadian seseorang. Namun, banyak juga ahli yang menolak tes Rorschach ini karena banyak menghabiskan waktu. Di sisi lain, ada juga yang membelanya karena tes ini dapat mengetahui subjektivitas klien tanpa perlu pandai menulis.7

Ada lagi cara lain untuk mengetahui kepribadian ini, yaitu dengan menyelesaikan yang terbengkalai,8metode tes gambar adalah Machover DAP tes dan Buck HTP tes, 9

Rosenzweig Test. Hal ini dilakukan dengan membuat pernyataan provokatif yang lain. Selain itu, pemirsa memutuskan bagaimana karakter kedua harus merespon. Kemudian yang cukup banyak digunakan oleh seksi

DAP adalah singkatan dari Draw a Person, dan HTP adalah singkatan dari Hause Tree-Person. keterangan terinci mengenai teori dan arti dari analisis gambar dalam ilmu psikologi dapat dilihat dalam buku K.

(24)

personalia dalam melakukan seleksi penerimaan karyawan antara lain sebagai berikut.

1) Graphologi, yaitu analisis tulisan tangan dan tanda tangan.

2) Luscher Colour Test. Peringkat kartu berwarna dalam urutan pilihan digunakan untuk mengungkapkan ciri-ciri kepribadian.

3) Hand Test. Metode ini digunakan untuk menilai agresi, kecemasan, dan kepribadian lainnya.

4) Tes Penyelesaian Kalimat, misalnya "Kalau saja aku bisa..." Tes ini valid untuk mengukur ego, seperti moralitas dan empati.

5) Szondi Test, menggunakan foto-foto pasien dan pilihan untuk mengungkapkan sesuatu yang paling bernilai.

6) Tes IQ. Tes intelligence quotient (IQ) digunakan untuk mengukur tingkat kecerdasan seseorang dalam menyelesaikan masalah. Perbandingan usia mental dan usia fisik menjadi patokan dan bersifat personal.

b. Teori Kluchohn dan Psiko-Cultur

(25)

Kluchohn membuat kerangka yang dapat dilakukan dengan perhitungan statistik. Kerangka tersebut dibuat untuk meneliti lima golongan sosial di Rimrock. 10Kerangka Kluchohn tersebut dijadikan hipotesis dalam penelitian ini dengan maksud sebagai berikut.

a. Melihat hasil dugaan bahwa teori yang dibangun atas data empiris dapat disempurnakan dengan rasional.

b. Mengembalikan permasalahan filosofis (nilai) yang telah terjun ke dalam dunia ilmu kepada kajian yang bersifat filosofis.

Dengan ditemukannya beberapa kesalahan dari kerangka Kluchohn yang kemudian disintesiskan lagi sehingga menjadi lebih bermanfaat daripada awalnya, baik dari segi teoretis maupun praktis. Setelah mendapat kesimpulan dalam penelitian tersebut, penulis ingin berdiskusi beberapa teori psikologi sebagai kemungkinan keberadaan teori yang diujicobakan. Teori tersebut memiliki kelemahan dan berdiri tidak terpisah dengan keberadaan teori yang lain. Diskusi tersebut hanya berupa teori-teori yang lemah yang dapat runtuh. Kehancuran teori yang dimaksud bukan berarti tidak dapat lagi dipakai pada bidangnya. Mencari kelemahan teori-teori dalam hal ini, jika teori-teori tersebut diterapkan dalam dunia antropologi.

Teori tingkah laku telah dibicarakan oleh Scopenhour dengan anggapan bahwa tingkah laku manusia ditentukan oleh pembawaan sejak lahir. Teori ini disebut sebagai teori nativisme. Lain halnya dengan John Locke yang menyatakan bahwa manusia lahir laksana kartu putih, sehingga tingkah laku didapat dari lingkungan. Teori tingkah laku yang disebabkan oleh lingkungan ini disebut tabula rasa atau

10

(26)

empirisme. Sebagai jalan tengah dari kedua teori tersebut, Williem Sterm membangun teori konvergensi. Teori konvergensi ini menyatakan bahwa individu adalah hasil heriditas dan lingkungannya.

Ivan Petrovich Pavlov menarik kesimpulan dari percobaannya bahwa tingkah laku adalah rangkain refleks berkondisi. Rangkaian refleks berkondisi terjadi setelah proses kondisioning. Dalam hal ini, refleks-refleks yang tadinya dihubungkan dengan rangsangan tidak berkondisi dan lama- kelamaan dihubungkan dengan rangsangan berkondisi.11

Edward Spranger merupakan seorang tipolog yang membagi tipe manusia yang didasarkan pada nilai budaya. Spranger berpendapat bahwa pada diri seseorang hanya ada satu nilai dominan yang kemudian membentuk tingkah laku seseorang. 12Lain halnya dengan Kohler yang mengatakan bahwa tingkah laku merupakan produk coba-coba salah. Kohler mengolah teori asosiasi dengan hukum kontinguitasnya.13 Sementara itu, Sigmun Freud, dalam teori psikoanalisisnya, menyatakan bahwa itu terjadi dari tiga sistem, yaitu id sebagai dorongan primitif yang terletak dalam ketidaksadaran dan belum dipengaruhi oleh kebudayaan, super ego adalah kebalikan dari id. Untuk menjaga keseimbangan ini, ego mengambil fungsi.14

Hendri Alexander Murray mengatakan ada 28 macam kebutuhan pokok manusia, yang kemudian dikembangkannya untuk tes kepribadian. Dalam hal ini, tingkah laku erat hubungannya dengan tekana-tekanan dari lingkungan untuk

11

Sarwito Wirawan Sarwono, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokih-tokoh Psikilogi, Jakarta: Bulan Bintang, I978, p. I29

12

Sumadi Suryabrata, Psikologi Kepribadian, Jakarta: Raja Wali Perss, I983, p. I29.

13

Lihat loc. cit. , pp. I59-I64.

14

(27)

memenuhi kebutuhan tersebut.15 Manusia dan lingkungan berhadapan dengan waktu, sehingga manusia menghadapi adanya perubahan setiap saat.

Nostradamus merupakan seorang peramal masa depan yang terkenal dan hidup pada abad 16 di Eropa bersamaan dengan Jayabaya di Indonesia. Oleh Sir Thomas More, karyanya yang demikian diberi nama ―Utopia‖. Kalau kita sebut pemikiran dan ramalan mereka yang sekarang tidak lagi sebagai ramalan, tetapi hampir sudah dirasakan sepenuhnya. Bagaimanapun perkembangan tersebut ditentukan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi.

A. Comte mengatakan bahwa perubahan masyarakat terdiri dari tiga tahap, yaitu religius, metafisis, dan science (ilmu pengetahuan). Sementara itu, dari segi cara masyarakat memecahkan masalah dalam hidupnya, dapat dilihat dari beberapa tahap.

Pertama, tahap mistis. Pada tahap ini, manusia dan alam saling meresapi, sehingga kebutuhan manusia dan ilahi dipandang saling melebur. Nilai-nilai dan norma-norma dipegang sangat kuat dan para tokoh mitos dipandang sebagai sesuatu yang suci. Problem yang muncul diselesaikan melalui tokoh-tokoh suci tersebut.

Kedua, tahap ontologis. Peralihan ini disebut sebagai peralihan dari mistis ke logos. Manusia sudah mulai mengambil jarak dengan alam dan mempelajari daya-daya alam dan manusia. Peristiwa alam tidak lagi terhenti sampai kepada kesalutan saja, tetapi mereka pikirkan.

Ketiga, tahap fungsional. Pemikiran yang ketiga tertuju kepada masyarakat modern. Manusia sudah dapat melihat dirinya sebagai sebuah subjektif diri, tetapi ia juga sebagai sebuah yang objektif. Manusia menyadari bahwa dirinya

15

(28)

merupakan pengembangan kebudayaan dan menggunakannya serta mengembangkan alam.16

Demikianlah beberapa teori tentang tingkah laku dan gerak kebudayaan. Teori mengenai permasalahan tersebut sangat banyak. Akan tetapi, dari berbagai sudut pandang dan pertimbangan, sangatlah cukup yang telah ditulis di atas. Namun, teori berfokus pada teori Kluchohn tentang tingkah laku dan nilai budaya. Kalau disederhanakan, teori tersebut dapat dibuat dalam gambar sebagai berikut.

16

(29)

Keterangan:

= Hubungan Kausalitas Potensi membangun budaya. Kemampuan yang dimiliki:

1. Pikiran 2. Rasa 3. Karsa

KEBUDAYAAN MANUSIA

3. Macam wujud Kebudayaan:

a. Ide

b. Kebijaksanaan c. Bentuk Fisik

Ide dapat berbentuk dan berwujud kepada:

1. Sistem Nilai Budaya

2. Norma-norma 3. Peraturan-peraturan 4. Dan lain-lain

Sistem nilai budaya ialah tanggapan masalah dasar dalam hidup;

1. Hakekat Hidup. 2. Hakekat Karya 3. Hakekat Waktu

4. Hubungan antar sesama 5. Hakekat Alam

(30)

Penelitian ini berbentuk field research (penelitian lapangan) dan bersifat kualitatif. Harapan peneliti adalah untuk menemukan indikator-indikator baru, tetapi tidak dapat dipungkiri adanya subjektivitas peneliti melalui pengalaman yang sudah ada. Pengalaman tersebut sebagai dugaan-dugaan awal atau asumsi yang berguna untuk mengarahkan penelitian tentang hal-hal yang ingin diteliti.

1) Gejala jiwa manusia dapat dilihat dari tingkah lakunya. Tingkah laku adalah akibat dari nilai budaya yang dimilikinya. Dengan mengetahui nilai budaya suatu masyarakat, berarti mengetahui tingkah lakunya. 2) Nilai budaya masyarakat bermacam-macam. Setiap

yang bermacam pasti ada tingkatannya. Jadi setiap wujud budaya pasti ada nilai tingkatannya dan pasti bisa diukur. Jadi, nilai budaya masyarakat pasti ada nilai dan ada ukurannya. Jika nilai budaya bisa diukur, tingkah laku pun bisa diukur.

3) Jika tingkat kemampuan memecahkan masalah disebabkan oleh nilai budaya terendah, kemampuan tersebut adalah tingkat terendah.

4) Nilai budaya adalah ciptaan manusia. Ciptaan manusia adalah sebatas yang dapat diamati. Setiap yang dapat diamati dalam ruang dan waktu tetap bersifat relatif. Jadi, nilai budaya dan tingkah laku masyarakat bersifat relatif.

(31)

berubah. Kemungkinan pola nilai budaya masyarakat adalah sebagai berikut.

a) Hakikat Hidup: hidup itu buruk, hidup itu baik, hidup itu buruk tetapi manusia wajib berikhtiar. b) Hakikat Karya: karya itu untuk nafkah, karya

itu untuk kedudukan, dan karya itu untuk kehormatan.

c) Hakikat Waktu: orientasi ke masa depan, orientasi ke masa lalu, dan orientasi ke masa sekarang.

d) Hakikat Hubungan Antarsesama: orientasi kolateral (horizontal), rasa ketergantungan antarsesama orientasi vertikal, rasa ketergantungan kepada atasan dan berpangkat, individualistis menilai tinggi usaha kemampuan sendiri.

e) Hakikat Alam: manusia tunduk kepada alam yang dahsyat, manusia berusaha menjaga keselarasan dengan alam, manusia berhasrat menguasai alam.

c. Paradigma Berpikir

Paradigma berpikir dapat diartikan secara sederhana sebagai pola pikir. Banyak paradigma yang digunakan untuk memandu penelitian. Berbagai skema paradigmati digunakan untuk membangun konsep dan mengklasifikasikan penelitian serta menggiring suatu penelitian dalam sebuah konteks.17 Dalam penelitian

17

Ponterotto, Joseph G. , Qualitative Research in Counseling

Psychology: A Primer on Research Paradigms and Philosophy of Science, Journal of Counseling Psychology. The American Psychological

(32)

ini, peneliti berusaha menyederhanakan posivis-teknikal, fenomenologikal, critical, dan pragmatis-virtual. Untuk membongkar kandungan setiap paradigma dalam ilmu filsafat, digunakan pisau analisis berupa ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

Ontologi terkait dengan yang ada (eksistensi) dan atau menjadi (being). Epistemologi tentang ilmu pengetahuan, sedangkan aksiologi tentang nilai. Aksiologi membagi nilai dalam beberapa cabang, yaitu etika, estetika, dan logika. Etika membicarakan nilai perbuatan baik dan buruk. Estetika membicarakan nilai keindahan dan kejelekan sesuatu. Sementara itu, logika untuk mengetahui benar atau salah. Ketiga cabang aksiologi ini biasanya disebut sebagai trinitas nilai.

Etika meninjau secara rinci tentang perbuatan dan norma-norma yang dianut atau dipakai oleh manusia. Di sinilah tokoh-tokoh etika melahirkan bermacam-macam aliran, seperti hedonisme, pragmatisme, fatalisme, dan sebagainya. Estetika meninjau sebuah karya sebagai manifestasi dari semua kelompok masyarakat atau seseorang dalam hal keindahan dan kejelekan. Dalam pengertian ini, sesuatu yang indah atau jelek juga mempunyai versi beragam. Pengertian tersebut berbeda jika dilihat berdasarkan paling tidak ada dua sumber. Ada ahli yang mengatakan keindahan atau kejelekan itu berasal dari dalam diri sendiri. Akan tetapi, ada pula yang mengatakan sebaliknya, yaitu berasal dari luar dirinya.

(33)

kuantifikasional. Akan tetapi, dalam pembicaran mengenai penalaran, tidak akan terlepas dari logika yang bersifat induktif atau deduktif. Dalam dunia ilmu pengetahuan, keduanya digunakan untuk saling menyempurnakan. Perkembangan trinitas nilai ini dari waktu ke waktu mengalami perkembangan tersendiri, sehingga pembicaraan mengenai nilai tidak dapat ditentukan garis akhirnya. Namun, yang jelas trinitas merupakan bentuk nilai.

Metodologi

Metodologi merupakan prosedur dan teknik yang digunakan untuk mencapai tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk membuat alat ukur paradigma berpikir habitus yang selanjutnya diberi nama Gedabu. Termometer Gedabu dikonstruksi dari nilai budaya dan paradigma berpikir yang dilihat melalui tingkah laku. Untuk itu, alat ukur ini diharapkan dapat diterapkan untuk mengukur potensi paradigma berpikir seseorang, lingkungan sosial budaya sebuah perusahan, kelompok masyarakat, dan juga dapat diterapkan dalam mengukur kadar bela negara seseorang.

a. Prosedur Pendekatan

Prosedur pendekatan dimaksudkan untuk

(34)

indikatornya. Pilihan Celsius pada merkuri karena koefisien muai air raksa cukup konstan dan perubahan volume akibat kenaikan atau penurunan suhu hampir selalu sama. Beberapa termometer keluarga mengandung alkohol dengan tambahan pewarna merah agar lebih mudah untuk dibaca. Cara kerja termometer terdiri dari pipa kapiler dari kaca. Pipa ini dibuat hampa udara. Ukurannya jika temperatur meningkat, merkuri tersebut akan naik ke atas pipa sesuai dengan garis skala yang telah dibuat. Dengan mengunakan tabung berisi air raksa, dapat digunakan untuk mengukur suhu dengan menjadikan titik es mencair sebagai titik nol atau titik terendah dan air mendidih sebagai titik tertinggi atau dibuat 100 derajat celsius. Menyamakan suhu dengan tingkah laku dan merkuri dengan nilai budaya merupakan persoalan keilmuan. Namun, cara kerja ini merupakan pilihan. Sekalipun upaya membangun skala tingkah laku bukan sesuatu yang baru, tetapi peneliti melakukan dengan cara yang berbeda dengan peneliti sebelumnya. Peneliti melakukan bongkar pasang kerangka Kluckhohn sebagai indikatornya dan tingkah laku sebagai fakta empirisnya. Hal ini merupakan cara yang baru dalam bidang antropologi dan psikologi. Peneliti melakukan modifikasi atau menyempurnakan menjadi skala relativitas tingkah laku yang berlaku secara universal dan kemungkinan penerapannya terhadap bela negara. Kerangka Kluckhohn awalnya hanya dimaksudkan untuk mendeskripsikan nilai budaya suatu komunitas masyarakat. Akan tetapi, peneliti menyempurnakannya sebagai alat untuk mengukur tinggi-rendahnya tingkat kreativitas suatu masyarakat.

(35)

ini disebut sebagai psycho cultural. Intinya ilmu psikologi kultur terkait dengan persoalan kebudayaan atau karakteristik sebuah kelompok masyarakat, sehingga sekarang sudah merupakan subilmu tersendiri. Perkembangan tersebut disebabkan oleh beberapa hal, yaitu sebagai berikut.

1) Suatu usaha memandang kebudayaan sebagai kesatuan yang holistik dan memfokuskan pada watak khas yang dipancarkan oleh suatu kebudayaan yang sedang diteliti, termasuk kebudayaan sebuah bangsa.

2) Sampai sejauh mana konsep atau teori psikologis yang berlaku didapat dari data kebudayaan Eropa dan Amerika dalam penerapannya di luar kebudayaan tersebut, termasuk usaha membela negara.

3) Berkeinginan untuk mendeskripsikan kepribadian umum penduduk suatu kebudayaan tertentu.18

Penelitian ini juga diharapkan berguna untuk: a.cermin masyarakat tentang tingkah laku dan nilai budaya yang dimilikinya, b. sebagai teropong oleh orang yang akan terjun ke dalam masyarakat untuk sekadar mendapatkan pengertian umum, c. alat ukur tingkatan (derajat) tingkah laku masyarakat, dan d. sarana atau alat ukur nilai kadar bela negara seseorang.

b. Teknik Pengumpulan Data

Logika ilmiah ialah interaksi logika induktif dan deduktif. Logika induktif berawal dari fakta-fakta kemudian ditarik pernyataan-pernyataan umum. Penelitian melalui logika induktif ini bertujuan untuk menampilkan temuan dan penelitian yang bersifat kualitatif. Kemudian, diadakan pembuktian di lapangan dan diskusi-diskusi dengan hasil

18

(36)

penelitian terdahulu. Temuan atau kesimpulan umum dalam penelitian hasil induktif ini berupa teori yang dapat diverifikasikan lagi.

Logika deduktif ini berasal dari pernyataan umum yang kemudian diverifikasi. Penelitian ini menggunakan hipotesis untuk melakukan verifikasi dan penelitian umumnya bersifat kuantitatif. Dari hasil verifikasi tersebut dapat dipertanyakan lagi pada pernyataan pertama. Artinya, logika induktif bertititik tolak dari fakta yang bersifat temuan dan data tersebut umumnya bersifat kualitatif, sehingga digolongkan penelitian kualitatif. Sementara itu, logika deduktif bersifat pembuktian hipotesis di lapangan, sehingga indikator-indikator dalam setiap variabel dihitung dengan angka. Oleh karena itu, penelitian tersebut digolongkan pada penelitian kuantitatif. Logika deduktif dalam penelitian bisa juga dihitung secara kualitatif dengan menyebutkan hipotesis sebagai faktor-faktor yang diteliti.

Dalam dunia keilmuan, kedua jenis logika deduktif-induktif ini digunakan dan saling korektif demi kesimpulan yang mencapai kearah kesempurnaan. Dinamika antarsegmen pemikiran filosofis, yaitu empirisme vs. idealisme (ontologis, masalah ada/menjadi), realisme vs. rasionalisme (epistemologis masalah proses) dan subjektif vs. objektif (aksiologis masalah nilai) membangun suatu konstelasi merupakan perkembangan suatu keilmuan.

(37)

dalam penelitian ini, diarahkan dengan teori Kluchohn. Persoalannya, peneliti menggunakan teori Kluchohn bukan untuk diterapkan. Akan tetapi, untuk dilakukan uji coba dan disempurnakan, sehingga mendapatkan manfaat lebih dari teori tersebut. Kluchohn berhasil membangun kerangka sistem nilai suatu masyarakat, tetapi belum bisa untuk digunakan mengukur tinggi rendahnya nilai budaya suatu masyarakat. Dengan demikian, perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh peneliti dan Kluchohn adalah peneliti bisa menyempurnakan dan membangun indikator-indikator untuk menilai budaya suatu masyarakat.

Untuk menjelaskan cara kerja metode penelitian ini, peneliti merujuk kepada epistemologi dalam perspektif Karl Raimund Popper. Epistemologi ini bercirikan hampir sama dengan Immanuel Kant yang ingin menjembatani antara empirisme dan idealisme. Kant berpendapat bahwa tak mungkin pengetahuan merupakan impresi realitas, sehingga Kant membangun dan mengakui pengetahuan yang bersifat apriori-aposteriori. Popper tidak hanya sampai di situ, ia ingin melepaskan pernyataan bahwa pengetahuan bersifat apriori yang bersifat genetik. Popper membangun dunia baru untuk menangkap dunia sebenarnya. Dunia tersebut terlepas dari dunia materi dan dunia psikologis. Popper menyebutkan dirinya rasional kritis, kadang-kadang disebut juga empiris kritis, kadang kala disebut juga pseudo empiris.

(38)

1. Problem awal.

2. Teori yang dicobakan.

3. Diskusi kritis untuk membuang kesalahan.

4. Problem percobaan bukan untuk diverifikasi, tetapi untuk diklasifikasikan terhadap teori dan reputasi yang baru yang muncul.

5. Membuat garis/titik minimal tingkatan nilai budaya sebagai penyebab tingkah laku (eksperimen). Kemudian menganalisis secara rinci antara kedua titik tersebut (menggunakan hukum-hukum logika). Teknik pengambilan data berupa hasil eksperimen dunia ketiga (riset metafisis) pada wilayah masyarakat terasing yang dapat digambarkan sebagai berikut.

Dunia III : Riil Dunia I : Dunia Materi

Dunia II : Dunia Psikologi

Zona Masyarakat Super Statis

Zona Masyarakat Dinamis

(Habitus Aktif) Zona Masyarakat

Statis

Zona Masyarakat Super Statis Terpilih

(Habitus Vacum)

Masyarakat Statis Terpilih

(Habitus Pasif

Zona Masyarakat Super Dinamis

(39)

Dunia materi (zona dunia I) adalah alam nyata yang dapat diamati terpisah dari diri kita. Kemudian, dunia psikologis (zona dunia II) dalam diri kita dan dunia kesaran melewati dunia subjektivitas manusia itu sendiri disebut dengan dunia riil (zona dunia III). Data primer adalah pikiran sendiri, sedangkan data sekunder merupakan pengalaman langsung atau tak lansung.

c. Teknik Analisa.

Teknik analisa dalam model penelitian ini disebut juga model bongkar pasang. Indikator yang ditawarkan oleh Kluchohn, misalnya hakikat waktu berupa past, present, dan future. Menurut peneliti, jika past dimaksudkan sebagai indikator persepsi waktu, manusia hanya ada dalam satu dimensi. Padahal, menurut peneliti, sebagai kajian psikologi kultur persepsi kelompok manusia dalam ruang dan waktu. Artinya, manusia membandingkan dan membedakan waktu dalam ruang. Jadi, manusia dalam suatu kelompok paling tidak melihat dimensi waktu dari dua dimensi, misalnya ― past-future‖, dalam penelitian ini disebutkan ―dari dulu ke esok‖. Demikian juga dengan indikator dalam variabel lainnya. Untuk lebih lengkap, lihat tabel lampiran II.

d. Pengujian

Agar dalam penyusunan indikator tersebut dapat diuji dengan logis, peneliti menggunakan aturan-aturan dalam logika. Beberapa ekuivalensi digunakan untuk metode deduksi, sehingga tertautologi. Prosedur yang digunakan dalam pembangunan proposisi untuk penelitian ini, yaitu:

p ^ q = q ^ p komutasi p v q = q v p

(40)

p ^ (q v r) =(p ^ q) v (p^r ) distribusi p v (q ^ r) =(p v q) (p v r)

I (p ^ q) > r) = Ip > (q > r) I eksportasi

Setelah termometer Gedabu dapat dirumuskan bahwa nilai budaya sebagai penyebab tingkah laku, ternyata dalam analisis lebih lanjut nilai budaya didasari oleh paradigma berpikir. Nilai budaya dikonstruksi oleh paradigma berpikir, sehingga indikator nilai budaya merupakan implementasi dari paradigma berpikir. Susunan paradigma berpikir menjadi skala pradigma, sehingga secara ekstrim skala pradigma berpikir merupakan indikator nilai budaya. Perdebatan hukum kausalitas dalam waktu diabaikan dan berlindung pada relativitas. Untuk itu, termometer ini disebut juga termometer yang bersifat relativitas. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada skema Ontologi Gedabu Lampiran V.

Aplikasi lebih lanjut, sesuai dengan program pendidikan di bawah binaan Unhan, sedang melaksanakan pengembangan ilmu pertahanan dan bela negara. Maka dari itu, pertanyaannya adaah bisakah termometer paradigma berpikir digunakan mengukur semangat bela negara seseorang. Jawabannya bisa iya dan bisa juga tidak. Penentuan indikator bela negara akan menjadi debatable, baik dalam level teori maupun praktis. Untuk itu, perlu pemahaman ilmu negara dalam artian luas. Karena dengan subjektivitas negara dapat dirumuskan, baru termometer paradigma dapat beroperasi. Untuk itu perlu tester termometer paradigma berpikir dalam memahami filsafat dan sosial budaya.

(41)
(42)

Bab 2

Paradigma Berpikir dan Teori

Nilai Budaya

Paradigma Berpikir dan Ontologi Nilai dalam

Pemikiran Barat

Paradigma dalam Kamus Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai model dalam teori ilmu pengetahuan; kerangka berpikir.19Paradigma berpikir terkait dengan filsafat ilmu, yaitu ontologi, epistemology, dan aksiologi. Kalau ontologi menjawab persoalan tentang ada (esensi, eksistensi) dan atau menjadi (being in time). Sementara itu, epistemologi menjawab bagaimana ilmu didapat, proses ilmu pengetahuan digambarkan dan dimunculkan. Kemudian, aksiologi menjawab bagaimana mengukur kebenaran, manfaat atau kebaikan ilmu. Logika berperan menentukan benar dan salah, etika menjelaskan indikator baik dan buruk, sedangkan estetika menentukan indah dan jelek.

Pokok persoalan dalam filsafat ilmu adalah pola persepsi manusia tentang relasi subjek dan objek, sehingga

19

(43)

menentukan bentuk paradigma berpikir sesorang. Dalam praktik keilmuan, tiap paradigma akan menekankan beberapa kemungkinan, yaitu sebagai berikut.

1) Objektivitas, menekankan objektivitas semata baik sumber ilmu atau indikator kebenaran yang digunakan.

2) Subjektivitas, baik sumber data, pengelolaan data maupun indikator kebenarannya menggunakan standar subjektivitas.

3) Objektif-Subjek, menghubungkan objek dengan subjek, tetapi dalam praktiknya terlihat mengutamakan objektivitas.

4) Subjek-Objek, menghubungkan subjektivitas dengan objektivitas, tetapi dalam kenyataannya mengutamakan subjektivitas.

Spektrum pola hubungan subjek-objek dalam paradigma berpikir ini dapat digambarkan sebagai berikut.

Positivis, Teknikal

Sumber data mutlak bersifat objektif.

Standar indikator juga objektif

Radikal

Data dan indikator

(44)

(tesa-anti tesa-sintesa). Loncatan antara satu tonggak ke tonggak lain kadang kala tersamar, bahkan hanya dapat dilihat dengan keberanian. Fakta dan peristiwa dalam berkarya mengubah gerak dunia menjadi patokan yang pasti, sehingga berkembang paradigma hidup dalam suatu tradisi. Karya-karya monumental bidang fisika Galileo, Newton, Einsten dan Andre Geim & Novoselov yang paling umum terungkap. Secara umum, perkembangan paradigma ini secara sederhana dapat dilihat dengan urutan sebagai berikut.

Narsis--Positivis—Postpositivis---Fenomenologis—Critical Theory--Pragmatis--Virtual.

Persoalannya kalau dideret seperti ini, dalam realitas tidak selalu linear, tetapi bisa jadi berbolak-balik. Seseorang berawal dari narsis berakhir pada virtual. Namun, ketika sudah pada titik pragmatis, kembali pada narsis lagi. Bagaimanapun yang pasti tindakan atas keyakinan demi subjek melalui subjek menentukan other (yang lain) sebagai langkah awal memahami subjek.20Rujukan utama mencari subjek dalam ruang ketidaksadaran dalam studi psikoanalisis karya Sigmun Freud. Karya Freud dikembangan dalam persoalan budaya oleh Lacan, Jung, Altusser, Michael Foucault, Slavoj Zizek dan lain-lain dengan cara yang berbeda.

Hubungan subjek dan objek/others menjadi pokok perhatian. Diferensiasi menimbulkan keretakan, tetapi dalam

20

(45)

waktu dan ruang terbangun suatu konstelasi yang dilihat dengan dinamis. Positivisme yang dikembangkan Comte berhasil memisahkan subjek dan objek. Pemikiran Comte berpijak pada pemikiran David Home (Inggris) yang menganggap bahwa ilmu yang benar merujuk pada ilmu pasti. Bagi penganut fenomenologi, Husserlian (Jerman) berusaha menjembatani keretakan subjek dengan other melalui intensionalitas. Bagi Husserl, subjektivitas dapat membangun konstelasi. Bagi Husserl melihat seseorang sebagai anak generasi sebuah negara bersifat given (terberikan). Dengan demikian, kesadaran bahwa kita adalah given merupakan indikator dalam skala Gedabu. Kesadaran akan given sekalipun bukan dimaksud sebagai nilai, tetapi menunjukkan konstelasi yang sudah terbangun.

Radikalisme dekonstruksi Derrida (Perancis) berkeyakinan tidak ada kebenaran yang abadi, distansi, keretakan subjek dengan others perlu dicermati. Perbedaan/diferensiasi menimbulkan oposisi biner (misal tradisional vs. modern, terasing atau tersisih vs. maju, siang vs. malam). Pemikiran Derrida terbangun dalam tradisi demokrasi Perancis yang didominasi masalah politik. Namun, pada sisi lain, keberanian cara berpikir psiko-cultur dikembangkan oleh Lacan dengan baik. Menurut Zizek, hubungan subjek dengan objek dapat digambarkan sebagai berikut.21

21

(46)

Critical Theory sepintas bersifat pragmatis karena teori sebagai proxy untuk mencapai tujuan. Ilmu pengetahuan menyiapkan layanan kadangkala tidak sama dengan maksud diciptakannya. Perbedaan konteks dan tujuan kadangkala terabaikan, sehingga critical theory bisa jatuh kepada radikal dan kadangkala lebih konservatif. Kalau radikal terlihat pada perbedaan pendekatan dan atau perbedaan tujuan, sedangkan konservatif lebih menarik objek persoalan ke retensi. Untuk itu, kelompok critical theory lebih banyak terjun ke dunia praktis untuk membuktikan karya-karya nyatanya.

William James tokoh pragmatis Amerika yang tersohor, kemudian dicermati dengan baik oleh Ernes Sosa (Amerika). Pragmatis konsisten bahwa segala sesuatu yang penting itu bermanfaat. Kadangkala tidak jelas mana yang benar dan salah, baik dan buruk, tetapi kemanfaatan sesuatu adalah keutamaan. Perdebatan penyerangan Amerika terhadap Irak sebagai contoh. Ernes Sosa menjelaskan hubungan kebenaran dan kepercayaan; S percaya pada P, P adalah benar. P dijustifikasi oleh S ketika S percaya pada P. 22 Peperangan akan benar kalau dilandasi degan keyakinan benar. Amerika

22

(47)

percaya kepada Arab Saudi. Saudi benar memiliki otoritas tentang Islam. Saudi dibenarkan Amerika ketika Amerika percaya kepada Saudi. Rumusan yang benar atas dasar kebenaran universal adalah milik bersama, bukan milik Amerika dan bukan pula milik Saudi. Untung dan rugi baik sisi Amerika, Saudi dan Irak tidak bisa lagi dihitung.

Paradigma berpikir merumuskan indikator nilai. Atas dasar nilai, tindakan dan kekuatan digelar. Nilai mempunyai arti menyangkut dengan guna, yaitu apakah berguna atau tidak. Dengan melihat guna tersebut, seseorang atau masyarakat dapat menentukan apa yang paling berguna dan untuk apa mereka lakukan yang demikian. Guna adalah realisasi dari tujuan yang menggambarkan tanggapan manusia secara intrinsik dan aktivitas atau tingkah laku sebagai eksplisitnya.

Sesuatu bernilai adalah objek keinginan yang menyebabkan orang mengambil sikap dan membentuk identitas. Dengan identitas, mereka mewujudkan nilai yang mereka miliki secara kausal. Walaupun demikian, dengan yang dimiliki belum pasti dapat diketahui nilai yang sebenarnya. Sesuatu diberi nilai untuk menanggapi sesuatu dalam hal yang diinginkan, sehingga lahirlah sebagai macam sebagai bentuk-bentuk akibat yang dilihat, dianalisis dan disintesis. Hasil-hasil yang disintesis tersebut dapat dieksistensinya secara universal. Untuk memproyeksikan nilai itu ke dunia luar dan menganggapnya sebagai benda yang memuaskan keinginan.23 Nilai dikatakan juga bersifat subjektif. Dalam artian bahwa nilai itu tergantung pada hubungan antara seorang penganut dalam hal yang dinilai. Sementara itu, nilai itu objektif dengan anggapan nilai-nilai kita itu terdapat di dunia kita ini dan harus

23

(48)

kita gali. Nilai fakta kualitas atau kumpulan kualitas mengundang pertimbangan kita. 24 Apa hakikat nilai? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada beberapa hal yang dapat dilakukan, yaitu sebagai berikut.

1. Nilai sepenuhnya bersifat subjektif, yaitu nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung kepada pengalaman mereka. 2. Nilai merupakan kenyataan sendi logis yang dapat

diketahui dengan akal, ―objektivitas logis‖. Nilai merupakan unsur objektif yang bisa menyusun kenyataan, yang demikian itu disebut objektif metafisis.25 Pengalaman tentang nilai tersebut menurut Ewing merupakan hasil pengenalan nilai itu sendiri. Pengenalan itu membuktikan bahwa objek yang dinilai merupakan sarana untuk mencapai tujuan atau akibat-akibat tertentu. Urban mengatakan bahwa nilai adalah satuan yang merupakan kenyataan yang sejak semula sudah terkandung dalam kenyataan itu sendiri. Diri manusia merupakan suatu yang baik, yaitu jika diri tersebut dapat dipunyai oleh objek si pembuat sesuatu itu menjadi baik.

Nietzsche melihat nilai dari dimensi kesadaran tidak normal dari subjektif manusia. Menurut Nietzche, manusia itu tak ubahnya diri yang sebenarnya lebih dekat dengan diri seekor binatang yang berambut pirang. Etika susila merupakan aturan yang dipunyai oleh budak-budak yang lemah dan tidak bisa mencapai manusia atas. Sementara itu, Schopenhour berkeinginan dan menganjurkan untuk menghilangkan diri itu.

24

Titus Smit Nolan, Persoalan-persoalan filsafat, terj. Rasyidi, Jakarta; Bulan Bintang, I984, . p. I24.

25

(49)

Selain itu, David Home juga menyatakan bagaimana tanggapan kesusilaan mengenai perwujudan diri. 26

Scopenhour juga menganjurkan bahwa manusia mewujudkan dirinya sepanjang perwujudan tadi berguna bagi kebaikan. Sementara itu, jawaban untuk Home adalah tugas yang baik adalah mengembangkan kepribadian dan kesusahan dunia adalah akibat tidak berkembangnya kepribadian ―adanya sesuatu tidak dapat dipernahkan diasalkan bahwa hal itu

seharusnya ada‖. 27

Realitas terakhir pada diri sendiri. Hal ini dapat diperdebatkan karena menurut subjektivitas hanya dengan demikian kita bisa bersikap tepat pada realitas, jika tampak proses kebudayaan yang tak terhingga. Kesusilaan pertama adalah bahwa tradisi kita mengenal dualisme yang terdiri dari satu pihak suatu realitas objektif yang pada dirinya sendiri (yang ada pada dirinya sendiri dalam istilah Kant disebut dunia naumenal).

Lebih-melebihi dan bertentangan dengan realitas yang tampak pada kita dan di pihak lain muncul subjektivitas di dunia ini (dalam istilah Kant disebut noumena). Inilah yang menyisihkan antara objektif dan subjektif dengan apa yang kita sebut sebagai realitas. Ini memberikan pemecahan yang baik atas masalah universal. Akan tetapi, kesulitannya adalah tak seorang pun sampai ke dunia noumena itu.

Dunia ini berisi material dan immaterial. Hal ini merupakan dualisme dan dapat diatasi jika metafisika dan antropologi filsafat yang berawal dari keheranan dan situasi yang problematika dari pandangan intelektual dapat membangkitkan kesadaran kita. Dualitas ini merupakan perspektif yang mengejutkan, karena dapat membangkitkan

26

Ibit, p. 37I.

27

(50)

emosional dan memori kita. Namun, pada akhirnya memberikan kita orientasi yang mewujudkan dalam situasi yang telah terbentuk sebelumnya. 28

Keheranan dapat membuka mata pada realitas, sehingga keheranan disebut juga sebagai jendela ilmu. Persoalannya, kalau keheranan mempertemukan das sein dan das sollen menuju realitas, realitas menurut Antonin Artaud hanya panggung vitual reality. Apa yang tampilkan tak ubahnya seperti simbol kimia, panggung sandiwara. Semua ahli kimia tahu bahwa simbol kimia adalah kiasan untuk suatu material, ekspresi identitas, karakter, objek, gambar yang secara umum merupakan teater virtual reality. Padahal, di sinilah dunia murni fiktif dan ilusi berkembang.29

Praxis virtual reality pada awalnya dimaksudkan untuk membangun sebuah dunia lain dari apa yang dipersepsikan, dirasakan, dan dipikirkan. Dua dari lima pancaindra dipisahkan, yaitu mata dan telinga digunakan untuk menonton sesuatu yang terpasang di kepala atau Head-mouted Display (HMD). Persoalannya tidak hanya HMD yang telah menarik jauh manusia dalam alam nyatanya, tetapi justru membuat realitas itu sendiri dipertanyakan. Lebih lanjut penggunaan teknologi komputer melalui internet, satelit dan perangkat pendukung lainnya telah menarik manusia dalam suatu teater desentralisasi informasi. Virtual reality menjadi arena baru dalam dunia bisnis, politik, dan militer, bahkan tinjauan lebih lanjut menjadi persoalan etik dan teologis. Ontologis virtual ini merambah ke aksiologis yang pragmatis, sehingga dunia terlihat tanpa kendali dan tidak ada wasit yang adil. Semuanya bermain dalam dunia asimetris.

28

Ibit. p. I07

29

(51)

Bagaimana perubahan nilai? Menurut Karl Marx, hakikat manusia adalah tingkah laku, sedangkan Cassirer mengatakan hakikat manusia adalah apa yang dibuatnya secara khas. Manusia adalah simbolis, yaitu menyangkut penggunaan simbol-simbol. Jadi, instrumen nilai dapat digunakan, tetapi nilai potensial dapat diwujudkan untuk lebih dahulu memiliki nilai intrinsik.

Dari pembicaraan di atas untuk dapat memberikan pengertian tentang nilai sebagai titik simpul, ada baiknya merujuk kepada pengertian nilai menurut Louis O. Kattsoff.

1. Nilai merupakan kualitas empiris yang tidak dapat didefinisikan. Kualitas adalah sesuatu yang terdapat pada objek atau kualitas merupakan suatu segi dari barang atau merupakan bagian dari barang tersebut dan dapat membantu melukiskannya. Kualitas empiris adalah nilai yang dapat diketahui melalui pengalama/ Hal ini tidak dapat hanya didefinisikan, karena tidak dapat dipulangkan kepada unsur-unsur lain ataupun analogi yang mewakili. Nilai tidak dapat diberikan pengertian yang setara. Jika nilai merupakan suatu kualitas objektif atau perbuatan tertentu, objektif dan perbuatan tersebut dapat didefinisikan berdasarkan nilai-nilai, tetapi tidak mungkin sebaliknya. Misalnya, kesehatan itu baik, ini tidak dapat dikatakan baik itu adalah kesehatan.

2. Nilai sebagai objek suatu kepentingan. Setiap nilai menyangkut sikap dan orang tidak sepakat mengenai nilai karena masalah prioritas. Akan tetapi, sama juga benarnya orang dapat memperoleh nilai dari kesepakatan.

(52)

kepada akibat-akibatnya. Menurut John Dewey, pemberian nilai menyangkut perasaan, keinginan dan sebagainya, dan tindakan yang mengukur serta menyangkut sarana dengan tujuan.

4. Nilai sebagai esensi

Keberadaan nilai dari sudut ontologi. Menurut pragmatism, menghubungkan antara nilai dan yang tahu sedemikian hingga dalam hal ini pandangan mereka dekat dengan idealisme. Lain halnya dengan pendapat Urban dalam bukunya yang berjudul ―The Inteligable Word”. Urban memandang nilai sebagai suatu kesatuan yang merupakan kenyataan sejak semula. Kenyataan itu sudah terkandung dalam sesuatu itu sendiri. Nilai sebagai esensi adalah suatu kenyataan, tetapi tidak bereksistensi. Sehubungan dengan hal itu, nilai yang bereksistensi dan esensi tidak dapat dipisahkan dalam pembicaraan. 30

Kesimpulan dari C. A van Peursen dalam bukunya

yang berjudul ―Facts Value Evens‖ tentang nilai adalah nilai fakta dan peristiwa berkaitan erat dengan realitas. Dalam realitas, manusia berefleksi untuk mengambil keputusan. Realitas tidak dapat dipungut begitu saja melainkan kejadian sehari-hari dan kejadian dalam sejarah manusia. Peursen tidak membedakan dunia fenomena yang subjektif dan dunia noumena yang objektif.

Dapat dipahami bahwa pembicaraan mengenai nilai tidak ada hentinya. Namun, dari ilustrasi di atas, filsuf Barat tetap konsisten dengan alur pikiran masing-masing, yaitu apakah realitas itu berada dalam subjektif yang bersifat a priori ataupun objektif yang bersifat apestriori. Pemikiran yang empiris tidak dapat memberikan pengertian sempurna

30

Gambar

Gambar I.  Faktor x adalah tingkah laku  dan y adalah nilai
Gambar II.  Faktor y merupakan waktu relatif dan X
Gambar III.  ruang yang diarsir adalah besar kemungkinan kesalahan,  dan ruang kosong adalah gambar tersebut menyatakan, ―semakin kecil sampel yang diambil untuk jangka waktu yang lama, semakin besar kemungkinan kesalahan yang ditemui
Gambar 1 (Agama meliputi

Referensi

Dokumen terkait

Alat yang digunakan dan yang menunjang pelaksanaan penelitian ini adalah thermometer air raksa untuk mengukur suhu perairan, GPS yang digunakan untuk menandai lokasi

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah ring sampel untuk mengambil sampel tanah, tensiometer untuk mengukur tegangan air tanah, termometer tanah untuk mengukur suhu tanah,

Adapun instrumen penelitian yang digunakan berupa: Gayung sebagai alat bantu dalam pencidukan larva, alat penumbukan untuk menumbuk lada, termometer untuk mengukur suhu,

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah ring sampel untuk mengambil sampel tanah, tensiometer untuk mengukur tegangan air tanah, termometer tanah untuk mengukur suhu tanah,

Alat yang digunakan dan yang menunjang pelaksanaan penelitian ini adalah thermometer air raksa untuk mengukur suhu perairan, GPS yang digunakan untuk menandai lokasi

Prototype Alat Untuk Mengukur pH, Suhu, Dan Kadar Kekeruhan Air Tambak Untuk Budidaya Udang Vaname Litopenaeus Vannamei Menggunakan Arduino Uno by Nuzul Hikmah Submission date: