• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eksperimen Sistem Nilai Budaya

Dalam dokumen Paradigma Berpikir penulisan ilmiah (1) (Halaman 60-81)

Eksperimen Sistem Nilai Budaya

dalam Masyarakat Terasing

Talang Gedabu dan Rawang Kao sebagai Objek

Uji Coba Penelitian

Dengan menggunakan paradigma positif, dapat dibuat asumsi tingkah laku atau kreativitas suatu masyarakat yang ditentukan oleh nilai budaya yang dimilikinya. Nilai budaya tersebut merupakan nilai hakiki dan tertinggi yang telah berurat dan berakar dalam pikiran kelompok masyarakat tersebut. Nilai budaya adalah suatu tanggapan masyarakat terhadap masalah hakiki dalam hidup. Dengan menemukan pola nilai budaya suatu masyarakat, dapat diketahui bentuk tingkah lakunya atau kreativitas masyarakat tersebut. Kemudian, dibuat strata, sehingga menjadi skala nilai budaya (Gedabu). Ada dua objek penelitian terpilih, yaitu sebagai berikut.

a. Masyarakat Talang Gedabu

Talang Gedabu adalah bagian dari Suku Talang Mamak. Sebuah suku pedalaman di Provinsi Riau Kabupaten

Indragiri Hulu Kecamatan Rakit Kuli yang terletak sekitar 200 km dari Pekanbaru arah selatan (sekarang sudah menjadi desa). Wilayah ini masih asli hutan rimba berbukit, sungai-sungai dan rawa-rawa. Sungai terbesar adalah Sungai Indragiri. Pada saat penelitian dilakukan, tempat ini jauh di pedalaman dan tidak memiliki peralatan teknologi dari luar. Kehidupan sehari- hari masyarakat masih berpakaian kulit kayu (dinamai Cawek dari kulit kayu Towok). Mereka makan dari hasil alam, berburu rusa, menangkap ikan dan makan umbi-umbi yang ditanam di hutan. Kalau dilihat dari bahasa Talang Mamak dapat diartikan sebagai ―Kampung Paman‖. (Talang= Kampung, Mamak= Paman). Pada saat penelitian, belum ada penduduk tersebut bersekolah kecuali satu orang atas binaan sebuah yayasan.

Maksud dipilihnya tempat penelitian ini adalah untuk menemukan indikator terendah nilai budaya manusia, karena kreativitas mereka tidak ada yang dapat dimanfaatkan manusia lain. Bahkan, diri mereka sendiri masih tergantung kepada alam seadanya. Dalam penelitian ini, kami sebutkan memiliki strata asli atau orisinil.

b. Masyarakat Desa Rawang Kao

Desa Rawang Kao terletak di Provinsi Riau Kabupaten Siak, sekitar I50 km dari Pekanbaru arah ke utara. Jalan tersebut kelihatan jauh karena memutar sesuai dengan jalan PT Caltex. Namun, kalau dilihat pada peta sekitar 50 km saja. Penduduk sudah mulai belajar bertani, tetapi masih tergantung pada alam. Penduduk belum bisa menggunakan pupuk, bahkan pupuk untuk kelapa sawit bantuan pemerintah menumpuk dan terbuang di gudang, sehingga menjadi sampah yang menyengat di tengah desa.

Tujuan memilih Desa Rawang Kao ini adalah untuk mendapatkan indikator nilai budaya yang akan berubah dari orisinil ke arah perubahan. Alasan kuat dikatakan mereka

masih orisinil karena mereka masih hidup dengan tradisi dan cara berpikir mereka. Namun, mereka sudah mulai dipengaruhi oleh masyarakat pendatang, yaitu transmigrasi. Ternyata terjadi konflik antara masyarakat asli dan pendatang terutama menyangkut kepemimpinan desa dan cara kepemilikan tanah. Kepemimpinan desa dilakukan melalui demokrasi dan pemilihan lansung. Karena penduduk pendatang lebih dominan, pemilihan dimenangkan oleh penduduk pendatang. Akan tetapi, mereka tetap berpegang pada struktur adat, sehingga masyarakat tetap di bawah kendali kepala suku mereka yang ada di Lubuk Dalam yang disebut dengan Bathin (kepala suku). Bagi masyarakat yang mau menjual tanah kepada pendatang, harus seizin Bathin.

Dari tempat penelitian yang berdasarkan strata asli dan awal perubahan pada masyarakat terasing. Dari data penelitian, nilai budaya masyarakat terasing dapat dijelaskan dan dikembangkan sebagai berikut.

Indikator-indikator Nilai Budaya Masyarakat Terasing

Pola orientasi nilai budaya masyarakat terasing dimaksudkan untuk mendapatkan indikator nilai budaya terendah dan indikator nilai budaya awal perubahan.

a) Hakikat Hidup

Masyarakat Talang Gedabu telah puas dengan budaya yang mereka miliki. Mereka tertutup terhadap budaya luar yang berkembang. Mereka memandang dirinya belum bisa membedakan dirinya dengan diri orang lain secara hakiki. Mereka menanggapi permasalahan hidup ini seolah-olah tidak ada masalah. Mereka mengatakan nenek moyang mereka telah

berhasil dalam meraungi hidup ini, demikian jugalah selama-lamanya. Untuk itu dapat kita katakan bahwa tanggapan tersebut ―dari baik ke baik‖.

Lain halnya dengan masyarakat terasing di Rawang Kao, mereka sudah merasakan ada perubahan dari yang lalu. Hidup yang dianggap pada dasarnya baik tetapi sekarang sudah bisa menjadi buruk. Hidup yang pada zaman nenek moyang mereka dipandang sebagai ukuran kesempurnaan, tetapi akibat datangnya penduduk berstatus transmigrasi berubah menjadi buruk. Dengan demikian, perubahan yang terdapat pada masyarakat penduduk asli adalah ―dari baik menjadi buruk‖.

b) Hakikat Karya

Masyarakat di Talang Gedabu memandang karya adalah warisan nenek moyang yang telah dibuat untuk mereka, sehingga harus diwarisi seperti adanya. Mereka tidak memikirkan untuk membuat karya baru dalam menghadapi lingkungan tempat tinggal, walaupun lingkungan mengadakan perubahan. Mereka menganggap aktivitas dirinya untuk memenuhi kebutuhan pokok, yaitu makan, minum, dan rumah saja, seperti halnya nenek moyang mereka dulu. Untuk itu, tanggapan mereka terhadap karya dapat kami katakana ―dari nafkah ke nafkah‖.

Peralatan hidup yang dulunya tak lebih digunakan untuk alat mencari nafkah dalam pekerjaan demikian dalam tujuan yang sama masih dianggap memadai untuk cara hidup sekarang. Mereka menganggap karya yang tidak terdapat dari nenek moyang mereka dianggap bukan milik masyarakat mereka. Peralatan modern dipandang sebagai alat

perusak lingkungan dan kehidupan seandainya digunakan dalam lingkungan mereka. Oleh karena itu, peralatan modern tidak saja karena sukar didapatkan, tetapi karena mereka tidak membutuhkan juga.

Lain halnya dengan masyarakat di Rawang Kao yang sudah mulai berubah dari pendirian pendahulunya. Mereka sudah mulai mengarahkan diri kepada karya, tetapi lebih mengutamakan nafkah. Mereka berkarya untuk mencari cara hidup baru selama tidak mengganggu untuk mencari nafkah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tanggapan mereka terhadap hakikat karya ini ―dari nafkah ke karya‖. c) Hakikat Waktu

Masyarakat di Talang Gedebu memandang seluruh aktivitas mereka merupakan warisan masa lalu tanpa memperhitungkan apa dan bagaimana situasi sekarang. Mereka seolah tidak memperdulikan waktu dan situasi sekarang, yang penting masa lalu seperti nenek moyang mereka ketika hidup. Oleh karena itu, pola tanggapan mereka tentang waktu adalah ―dari dulu ke dulu”.

Masyarakat di Rawang Kao memandang situasi sekarang berbeda dengan yang lalu. Yang menjadi pemikiran mereka adalah bagaimana hidup sekarang ini menjadi baik sampai pada anak cucu mereka nanti. Namun, sangat disayangkan mereka belum bisa menggambarkan kehidupan masa yang akan datang. Mereka sangat membutuhkan estimator dan dapat dikatakan tanggapan mereka tentang waktu ialah ―dari dulu ke esok‖.

d) Hakikat Interaksi Antarsesama

Dalam interaksi antarsesama masyarakat Talang Gedebu yang menonjol ialah pandangannya terhadap pemimpin. Mereka menganggap bahwa segala aktivitas hanya dapat dilaksanakan setelah ada perintah dari atasan. Peranan Bathin oleh masyarakat Talang Gedebu sangat menentukan, baik berhubungan antarsesama maupun dengan masyarakat di luar lainnya. Karena seluruh aktivitas datang dari perintah atasan, baik dari zaman nenek moyang mereka maupun tanggapan mereka untuk masa selanjutnya, pola dalam menanggapi hubungan antarsesama yang demikian dapat dikatakan sebagai pola ―dari intruksi ke intruksi‖.

Masyarakat Rawang Kao memandang hubungan sesama ini ditentukan oleh atasan. Akan tetapi, atasan yang dulu harus diterima begitu saja, sekarang dan untuk masa yang selanjutnya sudah dimusyawarahkan. Perubahan dapat dilihat dengan jelas pada kasus pemilihan kepala desa, yaitu antara penduduk asli dan masyarakat transmigrasi.

Rupanya perbedaan masing-masing kelompok

terhadap pimpinan menghasilkan saling

mempengaruhi. Pandangan masyarakat berstatus penduduk asli dulunya dari instruksi ke instruksi kemudian dengan adanya pembaharuan tersebut berubah menjadi dari ―instruksi ke mufakat‖.

Maka dari itu, kondisi dari instruksi ke mufakat ini ialah di mana kepala desa dengan calon tunggal dengan panitianya seluruh penduduk asli seperti kebiasaan mereka dulu. Akan tetapi, setelah pemilihan kepala desa tersebut penduduk transmigrasi tidak setuju dengan calon dan cara demikian serta memenangkan kotak kosong dalam pemilihan (hari H). Akhirnya

perintah dari atasan yaitu Camat dan Ka. KUPT

(Kepala Unit Pemukiman Transmigrasi)

memerintahkan kepada warga tersebut untuk mufakat lagi tentang calon yang akan dipilihkan lagi.

e) Hakikat Alam

Masyarakat di Talang Gedabu memandang bahwa alam mempunyai kekuatan yang menakjubkan. Pengertian tentang kemisterian alam merupakan ukuran dan penentu harga diri seseorang di tengah-tengah masyarakat. Orang yang mempunyai harga diri ini dalam masyarakat Talang Gedabu disebut dukun atau bomo. Dukun atau bomo memang tidak terletak dalam pimpinan formal, tetapi punya andil dalam masyarakat yang berkaitan dengan bercocok tanam, berusaha di hutan, dan sebagainya. Tanggapan mereka terhadap alam dapat ditegaskan bahwa alamlah yang menguasai manusia sejak dari nenek moyang mereka sampai sekarang, sehingga dapat disebut bahwa alam adalah

dari qadim ke qadim31‖.

Masyarakat di Rawang Kao sudah mulai menyadari bahwa alam dapat diubah oleh tangan manusia. Umpamanya, tanah pada masa dahulu dianggap gersang, sehingga kurang menguntungkan untuk bercocok tanam. Akan tetapi, sekarang sudah bisa ditanami tanaman kelapa sawit berkat pemupukan. Zimat penangkal atau warisan yang mempunyai kekuatan magis hanya digunakan atau dipakai dalam keadaan bahaya saja. Padahal, dahulu sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam menanggapi hakikat alam ini mereka memandang ―dari qadim kebaharu‖.

31

Konsekuensi Logis

Konsekuensi adalah akibat logis sebuah pernyataan. Perakit kondisional menghubungkan proposisi tunggal, sehingga menjadi proposisi kompleks kondisional. Dalam proposisi kondisional, anggotanya yang menyatakan kondisi tersebut disebut dengan anteseden atau implikasi, sedangkan anggotanya yang tergantung pada anteseden disebut dengan implikasi atau konsekuensi. Jenis konsekuensi yang dipakai di sini adalah konsekuensi definisional. Dalam hal ini, perakit implikasi mendasarkan antesedennya pada definisi. Jadi, konsekuensi yang ditarik merupakan implikasi dari anteseden secara definisional.

―Terasing‖ merupakan bahan pikiran atau materi. Dari materi dibangun konsep atau keterangan-keterangan yang dibuat untuk memperlihatkan kekuatan pikiran. Proposisi- proposisi tunggal yang ditemukan pada terasing itu kemudian dapat kita carikan implikasinya berupa konsekuensi definisional tersebut.

Terasing adalah tempat suatu masyarakat dalam berkreativitas yang berpedoman kepada nilai budaya super statis (asli) dan statis (awal perubahan). Jika terasing dihubungkan secara kontradiktori sebagai pasangannya, ditemukanlah termaju dan termodern. Jika masyarakat terasing terdapat masyarakat yang dalam berkreativitas berpedoman kepada nilai superstatis, pasangannya tentu super dinamis. Jika masyarakat berhubungan dekat dengan nilai budaya superstatis adalah statis, yang berhubungan dekat dengan superdinamis adalah dinamis. Sementara itu, jika tempat bersandar antara satu dan yang lain secara kontradiktori, yang bersandar pun kontradiktori. Jadi, masyarakat tempat budaya statis bertentangan dengan dinamis.

Proposisi-proposisi yang terdapat pada masyarakat yang nilai budayanya berpolakan superstatis dapat dihubungkan dengan super dinamis secara kontradiktori. Demikian juga, antara statis dan dinamis. Untuk mudahnya pengertian ini, dapat dikatakan bahwa pola super statis disebut dengan pola I, pola statis disebut pola II, pola dinamis disebut pola III, dan pola superdinamis disebut pola IV. Maka, proposisi-proposisi pada hasil penelitian tentu yang tunggal dapat menjadi majemuk berdasarkan aturan logika di atas. Jika hakikat hidup pada pola I adalah dari baik ke baik, pola IV tentu berpolakan dari buruk ke buruk, demikian selanjutnya. 32

Paradigma Alamiah sebagai Pertimbangan untuk

sebuah Aplikasi

Ketika teori Gedabu diaplikasikan dalam lapangan kehidupan nyata, selain menggunakan paradigma positif yang telah membangun teori tersebut, diperlukan keberadaan paradigma alami yang dipertimbangkan apa adanya. Jadi, pengkajian paradigma alami ini hanya sebatas dan sekadar pemberian pengertian tentang kedudukan teori tersebut. Di samping itu, juga bermaksud untuk dapat memberi pandangan dan diskusi dengan teori yang berasal dari masing-masing paradigma yang telah diangkat.

Teori di atas berasumsi bahwa tingkah laku disebabkan oleh nilai budaya yang telah berhasil menemukan indikator nilai terendah dan dikembangkan secara logis menjadi sebuah kesatuan. Indikator pada variabel nilai budaya antara satu dan yang lainnya adalah rangkaian yang menunjukkan nilai tingkah

32

Lihat Lampiran V. (untuk lebih mudah melihatnya dapat dibuatkan kerangkanya).

laku. Dalam hal ini, dapat dinyatakan bahwa variabel pada nilai budaya adalah bebas dan berhubungan secara integral, terutama pada variabel inti. Paradigma positif telah mengukuhkan bahwa penyebab tingkah laku adalah nilai budaya tersebut. Namun, dengan melihat proses yang demikian tidak lagi sepenuhnya menjelaskan secarah tegas mana yang sebab dan mana yang akibat di antara keduanya. Variabel inti yang dimaksud adalah antara alam atau ruang dan waktu sebagai tempat berdirinya nilai budaya dan dilakukannya aktivitas manusia.

Kalau pengertian waktu merujuk pada Enstein, dapat dinyatakan bahwa waktu bersifat relatif.33Sementara itu, pengertian untuk bumi seperti yang disebutkan oleh J. E. Lovelock adalah bumi membutuhkan cinta kasih seperti manusia dan bumi juga mengatur keseimbangan dirinya, sehingga bumi dikatakan hidup. Demikian juga hakikat manusia seperti ajaran Louis Leahy bahwa manusia hanya dapat dipahami sebagai makhluk paradogsal yang penuh dengan pertentangan, sehingga manusia digambarkannya manusia sebagai makhluk misteri dan rumit. Kesimpulan yang sama dengan Leahy juga ditemukan oleh Alexis Carrel dalam bukunya yang berjudul ―Man The Unknown‖.

Dalam pengertian sederhana dan telah diakui bersama, bumi berputar menurut garis edarnya, yang padanya ada waktu karena mataharilah yang menyebabkan siang dan bulan- bintang sebagai tanda dan adanya waktu telah mengeluarkan sinar secara bebas. Dengan demikian, bumi juga berputar tanpa ada pengaruh, tetapi saling bertemu untuk manusia dalam berkarya dan berinteraksi dengan sesama. Maka, perbedaan teori dalam paradigma positif dan alami dapat digambarkan pada bentuk persamaan dan integral.

33

y

Gambar I. Faktor x adalah tingkah laku dan y adalah nilai budaya yang berhubungan secara paralel dengan dalil

―semakin tinggi tingkatan nilai budaya semakin tinggi pula

nilai kreativitas atau tingkah laku suatu masyarakat tersebut‖. Hubungan ini dibentuk atas dasar paradigma positif.

Gambar II. Faktor y merupakan waktu relatif dan X merupakan bumi berputar dan yang hidup, di mana Y dan X berhubungan secara bebas dan padanya manusia misteri (A) melakukan kreativitas untuk berkarya dan berinteraksi (yang diarsir) secara relatif. Hubungan seperti ini diangkat dari paradigma alami. Jadi, dalam paradigma alami, di dalamnya ada unsur persamaan dan mempunyai batas awal dan akhir, sehingga dari diskusi dan perbandingan dari dua paradigma bukan bertentangan, tetapi saling melengkapi dalam penerapannya.

Teori di atas dibangun atas paradigma positif yang dapat dilakukan dalam perhitungan statistik dalam penerapannya. Akan tetapi, mendapat kemungkinan kesalahan jika dihadapkan pada keluasan populasi dan masa berlakunya.

y

x

x‖ = y

Gambar III. ruang yang diarsir adalah besar kemungkinan kesalahan, dan ruang kosong adalah gambar tersebut menyatakan, ―semakin kecil sampel yang diambil untuk jangka waktu yang lama, semakin besar kemungkinan kesalahan yang ditemui.

Contoh Aplikasi Termometer Gedabu

Termometer Gedabu ialah ukuran atau tingkatan relatif yang digunakan untuk mengukur kualitas tingkah laku suatu masyarakat secara kuantitatif. Dengan melihat ukuran tersebut, suatu masyarakat diharapkan dapat memberi pengertian umum tentang tingkah laku dan kreativitas masyarakat yang diukur dalam waktu tertentu.

Skala yang dimaksud tak lebih dari mengurai dan mengukur variabel dan indikator secara bersambung, sehingga rumus yang digunakan dapat berupa mencari rata-rata pada variabel ganda atau dalam hal ini dapat lebih disederhanakan. Skala tersebut dapat digunakan dalam penelitian kuantitatif dan contoh penggunaannya sebagai berikut.

y

Sumber data: kelompok masyarakat X, setelah melakukan wawancara awal dan mengamati suatu kelompok masyarakat kemudian dapat ditemukan segmen-segmen kekuatan yang bekerja di masyarakat, di antara kelompok; agama, ibu-ibu, olah raga, seniman, remaja karang taruna, karyawan PT A, intelektual dan pengusaha (delapan kelompok besar). Kemudian masing-masing kelompok diambil 3 orang hasil terdapat sampel sebanyak 24 orang. Tiga orang dalam tiap kelompok diambil dengan cara 2 (dua) orang saling bertentangan dan satu orang yang bersifat netral.

Teknik pengambilan data: data diambil dengan metode wawancara yang bersifat partisipasi. Pertanyaan dibuat sedemikian rupa sehingga mengandung unsur-unsur nilai budaya, diaplikasikan tidak kaku dan sesuaikan dengan situasi masyarakat itu sendiri. Skala Gedabu sebagai skala relativitas tingkah laku dengan dalil yang digunakan ―semakin tinggi nilai budaya suatu masyarakat, semakin tinggi pula nilai kreativitasnya‖. No Persepsi Terhadap Masalah Dasar Dalam Hidup Indikator Nilai Budaya Telly Nilai Indikat or Nilai Murni 1. Hakekat hidup dari Baik ke Baik I I I II I I I 8 x I 8 dari Baik ke Buruk I I I I II I I 8 x 2 I6 dari Buruk ke Baik I I I I II I I 8 X 3 24 dari Buruk ke Buruk ___ ___ __ 0 X 4 0. + Jumlah 48.

2. Hakekat Karya dari Nafkah ke Nafkah IIIIIIIII I0 X I I0 dari Nafkah ke Karya IIIIIIIIII I0 X 2 20 dari Karya ke Kafkah IIIIIIII 4 X 3 I2 dari Karya ke Karya ---- ---- ---- - 0 X 4 0 Jumlah 42 3. Hakekat Waktu dari Dulu ke Dulu IIIIIIIII 9 X I 9 dari Dulu ke Besok IIIIIIIIIII I1 X 2 22 dari Besok ke Dulu IIII 4 X 3 I2 dari Besok ke Besok ---- ---- ---- - 0 X 4 0 Jumlah 42 4. Hakekat Interaksi antar Sesama dari Instruksi ke Instruksi IIIIIIIII I0 X I I0 dari Instruksi ke Musyawarah II 2 X 2 4 dari Musyawarah ke Instruksi IIIIIIIIIII 12 X 3 36 dari Musyawarah ke Musyawarah ---- ---- ---- - 0 X 4 0 Jumlah 50 2. Hakekat Alam dari Qadim ke Qadim IIIIII 7 X I 7 dari Qadim ke Baharu IIIIIIIIII I0 X 2 20

dari Baharu ke Qadim IIIIIII 7 X 3 I2 dari Baharu ke Baharu ---- ---- ---- - 0 X 4 0 Jumlah 48

Rumus untuk mencari rata-rata dalam satatistik geometri dijelaskan dengan rumus sebagai berikut.

atau

Atau pendekatan dalam ilmu eksakta.

Keterangan:

= rata-rata hitung xi = nilai sampel ke-i n = jumlah sampel

Dengan menghitung rata-rata pada variabel majemuk, dapat dijumlahkan rata-rata setiap variabel yang dicari. Akan tetapi, oleh statistik berkemungkinan akan bisa disederhanakan

lagi dan hal tersebut tidak akan kita bicarakan di sini lebih jauh. Dengan memakai rumus rata-rata tersebut, dapat dinyatakan bahwa nilai masing-masing pola sebagai kemungkinan dalam penerapannya pada suatu masyarakat.

1. pada pola I berkisar antara nilai 0,00- 1, 00 2. pada pola II berkisar antara nilai I,01- 2, 00 3. pada pola III berkisar antara nilai 2,01- 3, 00 4. pada pola IV berkisar antara nilai 3,01- 4,00

Pola yang disusun di atas menggunakan paradigma positif. Sementara itu, untuk mencari nilai budaya sebagai penyebab tingkah laku dengan pertimbangan paradigma alamiah, peneliti ingin membuat suatu formulasi skala relativitas tingkah laku suatu masyarakat yang disebabkan oleh nilai budaya.

‗G= ( n Vp) : Np n

Keterangan :

‗G = (dibaca derajat atau skala Gedabu)

nVp = jumlah nilai indikator dalam setiap variabel n = jumlah variabel yang dihitung

Np = jumlah populasi terpilih dalam suatu habitus

Dengan menggunakan formulasi ‗G, diketahui nilai minimal tingkah laku adalah 0‘G (nol derjat Gedabu), sedangkan nilai

maksimal 4 ‗G (empat derjat Gedabu).

Dari contoh penggunaan skala di atas dapat dihitung :

‗G = (48 + 42 + 43 + 59 + 51) : 24 5

=(243 ) : 24 5

Jadi, ‗G suatu habitus contoh di atas adalah 2, 25 ‗G (dibaca dua koma dua puluh lima derjat Gedabu)

Maka, pola yang ditempati oleh masyarakat tersebut adalah pola II lebih dominan dan resesif untuk pola III. Namun, diingatkan pada praktisi yang menggunakan metode partisipasi harus hati-hati dalam mengadakan aksi pada variabel yang sedang membentuk paristiwa. Selain itu, diharapkan pada variabel yang sedang membentuk peristiwa untuk menggunakan metode non-partisipasi saja, jika tidak sanggup mengambil risiko. Akan tetapi, bagi praktisi diharapkan mendapatkan risiko ini dalam suatu peristiwa secara profesional.

Perubahan Nilai Budaya dan Peristiwa

Suatu teori yang kuat sudah tentu dapat meramal dan menentukan kemungkinan, baik masa lalu maupun masa akan datang. Apabila dilengkapi dengan data yang autentik untuk masa lalu dan ketelitian yang dilakukan pada masa sekarang, akan dapat meramal masa yang akan datang. Pekerjaan tersebut dapat dilakukan dengan melihat grafik yang dihitung dengan metode statistik. Untuk metode statistik ini, tidak akan dibuat contoh penggunaannya. Sebab hal tersebut akan mudah apabila sudah mengerti dengan statistik.

Meramal yang dimaksud di sini ialah meramal nilai yang dimunculkan dari suatu peristiwa. Teori Kastigliano adalah metode-metode umum untuk menentukan formasi dari struktur-struktur linier. Predikasi ini dapat dinyatakan sebagai berikut,

―Derivatif parsial yang pertama dari jumlah daya renggang dari struktur-struktur yang berkaitan dengan salah

satu dari aksi yang ditetapkan memberi perubahan kedudukan

menurut arah aksi tersebut‖. 34

Sebelum penggunaan di lapangan untuk menilai budaya suatu masyarakat, secara umum perlu perhitungan yang matang dan lama dengan menggunakan rumus integral, serta dapat mengontrol semua variabel nilai budaya pada masyarakat yang diteliti.

Sebagai contoh sederhana, dalam menggunakan metode Kastigliano ini bisa diambil suatu peristiwa pada pemilihan kepala desa di desa Rawang Kao. Di sini variabel yang diukur adalah masalah interaksi antarsesama. Pemilihan kepala desa yang dimaksudkan adalah pada masyarakat Rawang Kao yang berhubungan antara kelompok masyarakat penduduk asli dan penduduk transmigrasi untuk memilih kepala desa yang telah dicalonkan oleh panitia.

Pada saat pemilihan kepala desa (hari H), terjadilah peristiwa. Masyarakat penduduk asli yang menanggapi pimpinan mereka (kepala suku yang sekaligus ketua penitia) dari interaksi ke interaksi, sedangkan penduduk yang datang dari pulau Jawa dengan tidak maunya memilih calon kepala

Dalam dokumen Paradigma Berpikir penulisan ilmiah (1) (Halaman 60-81)

Dokumen terkait