• Tidak ada hasil yang ditemukan

Paradigma Berpikir dan

Dalam dokumen Paradigma Berpikir penulisan ilmiah (1) (Halaman 42-60)

Paradigma Berpikir dan Teori

Nilai Budaya

Paradigma Berpikir dan Ontologi Nilai dalam

Pemikiran Barat

Paradigma dalam Kamus Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai model dalam teori ilmu pengetahuan; kerangka berpikir.19Paradigma berpikir terkait dengan filsafat ilmu, yaitu ontologi, epistemology, dan aksiologi. Kalau ontologi menjawab persoalan tentang ada (esensi, eksistensi) dan atau menjadi (being in time). Sementara itu, epistemologi menjawab bagaimana ilmu didapat, proses ilmu pengetahuan digambarkan dan dimunculkan. Kemudian, aksiologi menjawab bagaimana mengukur kebenaran, manfaat atau kebaikan ilmu. Logika berperan menentukan benar dan salah, etika menjelaskan indikator baik dan buruk, sedangkan estetika menentukan indah dan jelek.

Pokok persoalan dalam filsafat ilmu adalah pola persepsi manusia tentang relasi subjek dan objek, sehingga

19

menentukan bentuk paradigma berpikir sesorang. Dalam praktik keilmuan, tiap paradigma akan menekankan beberapa kemungkinan, yaitu sebagai berikut.

1) Objektivitas, menekankan objektivitas semata baik sumber ilmu atau indikator kebenaran yang digunakan.

2) Subjektivitas, baik sumber data, pengelolaan data maupun indikator kebenarannya menggunakan standar subjektivitas.

3) Objektif-Subjek, menghubungkan objek dengan subjek, tetapi dalam praktiknya terlihat mengutamakan objektivitas.

4) Subjek-Objek, menghubungkan subjektivitas dengan objektivitas, tetapi dalam kenyataannya mengutamakan subjektivitas.

Spektrum pola hubungan subjek-objek dalam paradigma berpikir ini dapat digambarkan sebagai berikut.

Positivis, Teknikal

Sumber data mutlak bersifat objektif.

Standar indikator juga objektif

Radikal

Data dan indikator

kebenaran objektif dulu, kemudian pertimbangan subjektivitas dukung teori

Fenomenal

Subjektivitas dulu, kemudian buktikan di arena objektif

Pragmatis, virtual

Sumber data mutlak

pengalaman subjektif diri

sendiri dan ukuran

kebenaran interpretasi diri sendiri

Tingkah laku dibentuk oleh sistem nilai. Sistem nilai tersebut dibentuk oleh paradigma dialektika proses berpikir

(tesa-anti tesa-sintesa). Loncatan antara satu tonggak ke tonggak lain kadang kala tersamar, bahkan hanya dapat dilihat dengan keberanian. Fakta dan peristiwa dalam berkarya mengubah gerak dunia menjadi patokan yang pasti, sehingga berkembang paradigma hidup dalam suatu tradisi. Karya-karya monumental bidang fisika Galileo, Newton, Einsten dan Andre Geim & Novoselov yang paling umum terungkap. Secara umum, perkembangan paradigma ini secara sederhana dapat dilihat dengan urutan sebagai berikut.

Narsis--Positivis—Postpositivis---Fenomenologis—Critical Theory--Pragmatis--Virtual.

Persoalannya kalau dideret seperti ini, dalam realitas tidak selalu linear, tetapi bisa jadi berbolak-balik. Seseorang berawal dari narsis berakhir pada virtual. Namun, ketika sudah pada titik pragmatis, kembali pada narsis lagi. Bagaimanapun yang pasti tindakan atas keyakinan demi subjek melalui subjek menentukan other (yang lain) sebagai langkah awal memahami subjek.20Rujukan utama mencari subjek dalam ruang ketidaksadaran dalam studi psikoanalisis karya Sigmun Freud. Karya Freud dikembangan dalam persoalan budaya oleh Lacan, Jung, Altusser, Michael Foucault, Slavoj Zizek dan lain-lain dengan cara yang berbeda.

Hubungan subjek dan objek/others menjadi pokok perhatian. Diferensiasi menimbulkan keretakan, tetapi dalam

20

Lihat Althusser, Lois, Tentang Ideologil Struturalisme Marxis, Psikoanalisism Cultur Studies (terj. Olsy, Jalastra, Yogyakarta, 2008 p. 47-49

waktu dan ruang terbangun suatu konstelasi yang dilihat dengan dinamis. Positivisme yang dikembangkan Comte berhasil memisahkan subjek dan objek. Pemikiran Comte berpijak pada pemikiran David Home (Inggris) yang menganggap bahwa ilmu yang benar merujuk pada ilmu pasti. Bagi penganut fenomenologi, Husserlian (Jerman) berusaha menjembatani keretakan subjek dengan other melalui intensionalitas. Bagi Husserl, subjektivitas dapat membangun konstelasi. Bagi Husserl melihat seseorang sebagai anak generasi sebuah negara bersifat given (terberikan). Dengan demikian, kesadaran bahwa kita adalah given merupakan indikator dalam skala Gedabu. Kesadaran akan given sekalipun bukan dimaksud sebagai nilai, tetapi menunjukkan konstelasi yang sudah terbangun.

Radikalisme dekonstruksi Derrida (Perancis) berkeyakinan tidak ada kebenaran yang abadi, distansi, keretakan subjek dengan others perlu dicermati. Perbedaan/diferensiasi menimbulkan oposisi biner (misal tradisional vs. modern, terasing atau tersisih vs. maju, siang vs. malam). Pemikiran Derrida terbangun dalam tradisi demokrasi Perancis yang didominasi masalah politik. Namun, pada sisi lain, keberanian cara berpikir psiko-cultur dikembangkan oleh Lacan dengan baik. Menurut Zizek, hubungan subjek dengan objek dapat digambarkan sebagai berikut.21

21

Zizek, Slavoj, The Sublime Object of Ideology, Verso, London, New York, 1989, p. 114. 124

Critical Theory sepintas bersifat pragmatis karena teori sebagai proxy untuk mencapai tujuan. Ilmu pengetahuan menyiapkan layanan kadangkala tidak sama dengan maksud diciptakannya. Perbedaan konteks dan tujuan kadangkala terabaikan, sehingga critical theory bisa jatuh kepada radikal dan kadangkala lebih konservatif. Kalau radikal terlihat pada perbedaan pendekatan dan atau perbedaan tujuan, sedangkan konservatif lebih menarik objek persoalan ke retensi. Untuk itu, kelompok critical theory lebih banyak terjun ke dunia praktis untuk membuktikan karya-karya nyatanya.

William James tokoh pragmatis Amerika yang tersohor, kemudian dicermati dengan baik oleh Ernes Sosa (Amerika). Pragmatis konsisten bahwa segala sesuatu yang penting itu bermanfaat. Kadangkala tidak jelas mana yang benar dan salah, baik dan buruk, tetapi kemanfaatan sesuatu adalah keutamaan. Perdebatan penyerangan Amerika terhadap Irak sebagai contoh. Ernes Sosa menjelaskan hubungan kebenaran dan kepercayaan; S percaya pada P, P adalah benar. P dijustifikasi oleh S ketika S percaya pada P. 22 Peperangan akan benar kalau dilandasi degan keyakinan benar. Amerika

22

Lihat; Sosa, Ernest, A Virtue Epistemology, Apt Belief and Reflective Knowledge, Volume I, Clarendon Press, Oxford, 2007

percaya kepada Arab Saudi. Saudi benar memiliki otoritas tentang Islam. Saudi dibenarkan Amerika ketika Amerika percaya kepada Saudi. Rumusan yang benar atas dasar kebenaran universal adalah milik bersama, bukan milik Amerika dan bukan pula milik Saudi. Untung dan rugi baik sisi Amerika, Saudi dan Irak tidak bisa lagi dihitung.

Paradigma berpikir merumuskan indikator nilai. Atas dasar nilai, tindakan dan kekuatan digelar. Nilai mempunyai arti menyangkut dengan guna, yaitu apakah berguna atau tidak. Dengan melihat guna tersebut, seseorang atau masyarakat dapat menentukan apa yang paling berguna dan untuk apa mereka lakukan yang demikian. Guna adalah realisasi dari tujuan yang menggambarkan tanggapan manusia secara intrinsik dan aktivitas atau tingkah laku sebagai eksplisitnya.

Sesuatu bernilai adalah objek keinginan yang menyebabkan orang mengambil sikap dan membentuk identitas. Dengan identitas, mereka mewujudkan nilai yang mereka miliki secara kausal. Walaupun demikian, dengan yang dimiliki belum pasti dapat diketahui nilai yang sebenarnya. Sesuatu diberi nilai untuk menanggapi sesuatu dalam hal yang diinginkan, sehingga lahirlah sebagai macam sebagai bentuk- bentuk akibat yang dilihat, dianalisis dan disintesis. Hasil-hasil yang disintesis tersebut dapat dieksistensinya secara universal. Untuk memproyeksikan nilai itu ke dunia luar dan menganggapnya sebagai benda yang memuaskan keinginan.23 Nilai dikatakan juga bersifat subjektif. Dalam artian bahwa nilai itu tergantung pada hubungan antara seorang penganut dalam hal yang dinilai. Sementara itu, nilai itu objektif dengan anggapan nilai-nilai kita itu terdapat di dunia kita ini dan harus

23

Human Value (Neu York: Harper dan Brother, I93I) pp. 20-2I. Baca juga buku penulis yang sama (diterbitkan setelah ia meninggal): The Philosofy of Value (Ann Arbor:U. of Michigan Press, I957), pp. I4-20. (Pengantar oleh William K. Frankena).

kita gali. Nilai fakta kualitas atau kumpulan kualitas mengundang pertimbangan kita. 24 Apa hakikat nilai? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada beberapa hal yang dapat dilakukan, yaitu sebagai berikut.

1. Nilai sepenuhnya bersifat subjektif, yaitu nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung kepada pengalaman mereka. 2. Nilai merupakan kenyataan sendi logis yang dapat

diketahui dengan akal, ―objektivitas logis‖. Nilai merupakan unsur objektif yang bisa menyusun kenyataan, yang demikian itu disebut objektif metafisis.25 Pengalaman tentang nilai tersebut menurut Ewing merupakan hasil pengenalan nilai itu sendiri. Pengenalan itu membuktikan bahwa objek yang dinilai merupakan sarana untuk mencapai tujuan atau akibat-akibat tertentu. Urban mengatakan bahwa nilai adalah satuan yang merupakan kenyataan yang sejak semula sudah terkandung dalam kenyataan itu sendiri. Diri manusia merupakan suatu yang baik, yaitu jika diri tersebut dapat dipunyai oleh objek si pembuat sesuatu itu menjadi baik.

Nietzsche melihat nilai dari dimensi kesadaran tidak normal dari subjektif manusia. Menurut Nietzche, manusia itu tak ubahnya diri yang sebenarnya lebih dekat dengan diri seekor binatang yang berambut pirang. Etika susila merupakan aturan yang dipunyai oleh budak-budak yang lemah dan tidak bisa mencapai manusia atas. Sementara itu, Schopenhour berkeinginan dan menganjurkan untuk menghilangkan diri itu.

24

Titus Smit Nolan, Persoalan-persoalan filsafat, terj. Rasyidi, Jakarta; Bulan Bintang, I984, . p. I24.

25

Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, I989, p. 33I.

Selain itu, David Home juga menyatakan bagaimana tanggapan kesusilaan mengenai perwujudan diri. 26

Scopenhour juga menganjurkan bahwa manusia mewujudkan dirinya sepanjang perwujudan tadi berguna bagi kebaikan. Sementara itu, jawaban untuk Home adalah tugas yang baik adalah mengembangkan kepribadian dan kesusahan dunia adalah akibat tidak berkembangnya kepribadian ―adanya sesuatu tidak dapat dipernahkan diasalkan bahwa hal itu

seharusnya ada‖. 27

Realitas terakhir pada diri sendiri. Hal ini dapat diperdebatkan karena menurut subjektivitas hanya dengan demikian kita bisa bersikap tepat pada realitas, jika tampak proses kebudayaan yang tak terhingga. Kesusilaan pertama adalah bahwa tradisi kita mengenal dualisme yang terdiri dari satu pihak suatu realitas objektif yang pada dirinya sendiri (yang ada pada dirinya sendiri dalam istilah Kant disebut dunia naumenal).

Lebih-melebihi dan bertentangan dengan realitas yang tampak pada kita dan di pihak lain muncul subjektivitas di dunia ini (dalam istilah Kant disebut noumena). Inilah yang menyisihkan antara objektif dan subjektif dengan apa yang kita sebut sebagai realitas. Ini memberikan pemecahan yang baik atas masalah universal. Akan tetapi, kesulitannya adalah tak seorang pun sampai ke dunia noumena itu.

Dunia ini berisi material dan immaterial. Hal ini merupakan dualisme dan dapat diatasi jika metafisika dan antropologi filsafat yang berawal dari keheranan dan situasi yang problematika dari pandangan intelektual dapat membangkitkan kesadaran kita. Dualitas ini merupakan perspektif yang mengejutkan, karena dapat membangkitkan

26

Ibit, p. 37I.

27

C. A. Van Peursen, Fakta, Nilai, Peristiwa, terj. A. Sonny Keref, Jakarta: Gramedia, I990, p. 5I.

emosional dan memori kita. Namun, pada akhirnya memberikan kita orientasi yang mewujudkan dalam situasi yang telah terbentuk sebelumnya. 28

Keheranan dapat membuka mata pada realitas, sehingga keheranan disebut juga sebagai jendela ilmu. Persoalannya, kalau keheranan mempertemukan das sein dan das sollen menuju realitas, realitas menurut Antonin Artaud hanya panggung vitual reality. Apa yang tampilkan tak ubahnya seperti simbol kimia, panggung sandiwara. Semua ahli kimia tahu bahwa simbol kimia adalah kiasan untuk suatu material, ekspresi identitas, karakter, objek, gambar yang secara umum merupakan teater virtual reality. Padahal, di sinilah dunia murni fiktif dan ilusi berkembang.29

Praxis virtual reality pada awalnya dimaksudkan untuk membangun sebuah dunia lain dari apa yang dipersepsikan, dirasakan, dan dipikirkan. Dua dari lima pancaindra dipisahkan, yaitu mata dan telinga digunakan untuk menonton sesuatu yang terpasang di kepala atau Head-mouted Display (HMD). Persoalannya tidak hanya HMD yang telah menarik jauh manusia dalam alam nyatanya, tetapi justru membuat realitas itu sendiri dipertanyakan. Lebih lanjut penggunaan teknologi komputer melalui internet, satelit dan perangkat pendukung lainnya telah menarik manusia dalam suatu teater desentralisasi informasi. Virtual reality menjadi arena baru dalam dunia bisnis, politik, dan militer, bahkan tinjauan lebih lanjut menjadi persoalan etik dan teologis. Ontologis virtual ini merambah ke aksiologis yang pragmatis, sehingga dunia terlihat tanpa kendali dan tidak ada wasit yang adil. Semuanya bermain dalam dunia asimetris.

28

Ibit. p. I07

29

Artaud, Antonin, The Theater and Its Doble(Translated from the French by Mary Caroline Richards), Grove Press, New York,1958. p 49

Bagaimana perubahan nilai? Menurut Karl Marx, hakikat manusia adalah tingkah laku, sedangkan Cassirer mengatakan hakikat manusia adalah apa yang dibuatnya secara khas. Manusia adalah simbolis, yaitu menyangkut penggunaan simbol-simbol. Jadi, instrumen nilai dapat digunakan, tetapi nilai potensial dapat diwujudkan untuk lebih dahulu memiliki nilai intrinsik.

Dari pembicaraan di atas untuk dapat memberikan pengertian tentang nilai sebagai titik simpul, ada baiknya merujuk kepada pengertian nilai menurut Louis O. Kattsoff.

1. Nilai merupakan kualitas empiris yang tidak dapat didefinisikan. Kualitas adalah sesuatu yang terdapat pada objek atau kualitas merupakan suatu segi dari barang atau merupakan bagian dari barang tersebut dan dapat membantu melukiskannya. Kualitas empiris adalah nilai yang dapat diketahui melalui pengalama/ Hal ini tidak dapat hanya didefinisikan, karena tidak dapat dipulangkan kepada unsur-unsur lain ataupun analogi yang mewakili. Nilai tidak dapat diberikan pengertian yang setara. Jika nilai merupakan suatu kualitas objektif atau perbuatan tertentu, objektif dan perbuatan tersebut dapat didefinisikan berdasarkan nilai-nilai, tetapi tidak mungkin sebaliknya. Misalnya, kesehatan itu baik, ini tidak dapat dikatakan baik itu adalah kesehatan.

2. Nilai sebagai objek suatu kepentingan. Setiap nilai menyangkut sikap dan orang tidak sepakat mengenai nilai karena masalah prioritas. Akan tetapi, sama juga benarnya orang dapat memperoleh nilai dari kesepakatan.

3. Teori pragmatisme mengenai nilai. Landasan pertama mengenai pragmatisme bahwa sesuatu didasarkan

kepada akibat-akibatnya. Menurut John Dewey, pemberian nilai menyangkut perasaan, keinginan dan sebagainya, dan tindakan yang mengukur serta menyangkut sarana dengan tujuan.

4. Nilai sebagai esensi

Keberadaan nilai dari sudut ontologi. Menurut pragmatism, menghubungkan antara nilai dan yang tahu sedemikian hingga dalam hal ini pandangan mereka dekat dengan idealisme. Lain halnya dengan pendapat Urban dalam bukunya yang berjudul ―The Inteligable Word”. Urban memandang nilai sebagai suatu kesatuan yang merupakan kenyataan sejak semula. Kenyataan itu sudah terkandung dalam sesuatu itu sendiri. Nilai sebagai esensi adalah suatu kenyataan, tetapi tidak bereksistensi. Sehubungan dengan hal itu, nilai yang bereksistensi dan esensi tidak dapat dipisahkan dalam pembicaraan. 30

Kesimpulan dari C. A van Peursen dalam bukunya

yang berjudul ―Facts Value Evens‖ tentang nilai adalah nilai fakta dan peristiwa berkaitan erat dengan realitas. Dalam realitas, manusia berefleksi untuk mengambil keputusan. Realitas tidak dapat dipungut begitu saja melainkan kejadian sehari-hari dan kejadian dalam sejarah manusia. Peursen tidak membedakan dunia fenomena yang subjektif dan dunia noumena yang objektif.

Dapat dipahami bahwa pembicaraan mengenai nilai tidak ada hentinya. Namun, dari ilustrasi di atas, filsuf Barat tetap konsisten dengan alur pikiran masing-masing, yaitu apakah realitas itu berada dalam subjektif yang bersifat a priori ataupun objektif yang bersifat apestriori. Pemikiran yang empiris tidak dapat memberikan pengertian sempurna

30

dan demikian juga halnya dengan kelompok rasional. Akan tetapi, penghubungan antara keduanya adalah suatu pekerjaan yang sia-sia belaka.

Pada tataran ilmu sosial, masalah nilai sesungguhnya tidak ada penelitian yang dapat memuaskan. Namun, sebuah keniscayaan karena penelitian ini bersifat empirisme sesuai dengan prosedur yang digunakan bahwa penelitian terdahulu perlu dipahami dan digunakan untuk disempurnakan setelah diadakan uji coba. Pilihan peneliti untuk menggunakan teori Kluchohn karena dianggap lebih tepat untuk merangkai persoalan dan mencapai tujuan peneliti. Karena penelitian ini tidak saja murni keilmuan psiko-kultur, tetapi juga pandangan Islam. Karena memang konsep Islam tentang nilai tidak kalah jumlah banyaknya, tetapi dibatasi pada paradigma-paradigma penting dalam Islam saja.

Pengertian Nilai dan Paradigma Berpikir dalam

Islam

Umat Islam dalam melakukan kreativitasnya dari waktu ke waktu menjadikan al-Qur‘an sebagai pedomannya. Al Qur‘an memang tidak berisi tuntutan di akhirat saja, tetapi juga di dunia memberikan gambaran tersendiri. Wajib, sunat, mubah, halal, haram, makruh sebagai patokan oleh umat Islam. Manusia sebagai objek dalam al-Qur‘an adalah sebagai beban oleh manusia dan menentukan sejauh mana manusia tersebut tidak mendekat kepada al-Qur‘an. Akan tetapi, manusia juga mempunyai potensi dari dalam dirinya dan berhak menentukan nasibnya sendiri, sehingga berbanding terbalik dengan al-

Qur‘an. Al-Qur‘an bisa dijadikan postulat dengan memandang manusia sebagai objeknya dan dapat pula Al Qur‘an dijadikan objek pembahasan dari sudut pandang manusia.

Kalangan tokoh Islam membicarakan nilai ini bersangkut-paut dengan pembicaraan nilai utama dari segi tokoh tersebut. Untuk itu, pengetahuan tentang pemikiran tokoh Islam tidak akan terlepas dari pembicaraan tentang kekuatan alasan akal dan naqli dalam hal yang dibicarakan. Pandangan masing-masing tokoh yang berbeda persepsi tentang kemampuan akal dan wahyu akan merembet pada hal apa saja yang dibahas. Sebab pembicaraan seorang tokoh merupakan konsekuensi dari alasan pikiran yang dimiliki. Sementara itu, alas pikir dalam kelompok tokoh Islam tidak akan tepat disebut tokoh Islam apabila berawal dari pengabaian eksistensi wahyu dan akal.

Perselisihan besar umat Islam antara Suni vs Syiah menyangkut kedudukan Nabi Muhammad dan Ali. Namun, hal ini berdampak pada persoalan teologi lainnya. Perbedaan kalangan Suni berawal dari persepsi terhadap kemampuan akal dan wahyu untuk membahas Tuhan dan manusia sebagai objek pembahasan. Perbedaan ini pada awalnya tidak hanya memandang yang lain lebih rendah, tetapi sampai pada kafir- mengkafirkan. Pertentangan mutlak tentang kedudukan akal

dan wahyu tersebut ialah Mu‘tazila dan Salafiah. Mu‘tazilah artinya orang yang sudah keluar Islam dari perspektif Salaf. Akan tetapi, pembicaran yang sering dilakukan adalah

perbedaan pendapat antara kaum Asy‘ariah dan Mu‘tazilah. Sementara itu, kaum Matturidi Samarkan berhubungan dekat

dengan Mu‘tazilah dan Maturidi Bakharah berhubungan dekat dengan kaum Asy‘ariah.

Dari pembicaraan kedudukan lima aliran tersebut, untuk pembicaraan kemampuan tentang manusia dalam penentuan nasib di hadapan Tuhan, telah berawal dari kelompok yang beraliran Jabariah dan paham Qadariah. Pendekatan pengertian antara kedua kelompok ini sering

dikatakan oleh Mu‘tazilah adalah bahasa lunak dari Qadariah dan Asy‘ariah bahasa lunak dari kaum Jabariah.

Perbedaan alas pikir antara kaum Mutazilah dengan kaum Asy‘ariah sangat tepat dijelaskan sebagai kemungkian umum untuk pemikiran yang akan dibicarakan. Hal ini dapat dibenarkan dalam persoalan tentang nilai yang dihasilkan sebatas hasil karya manusia. Pembicaraan tentang manusia dalam berbuat baik dan buruk serta kewajiban mengetahui perbuatan baik buruk, sudah dibicarakan dengan teliti oleh kedua kaum ini.

Untuk itu, pembicaraan tentang nilai ini relevan dengan pembicaraan tentang manusia dan perbuatannya. Hal ini sekali lagi dapat dimaklumi bahwa nilai adalah persepsi manusia terhadap hasil perbuatannya. Pembicaraan tentang perbuatan

oleh kaum Mu‘tazilah dengan Asy‘ariyah dapat bertentangan secara mutlak. Mu‘tazila mengatakan akal lebih utama daripada wahyu, sedangkan Asy‘ariah berpendapat sebaliknya, yaitu wahyu lebih utama daripada akal. Mu‘tazila untuk mempertahankan pendapatnya ini menurun pada teori Qunun dan Asy‘ariah menurun pada teori Qashb.

Dalam teori Qunun, manusia digambarkan seperti atom lepas. Manusia berjalan menurut arahnya masing-masing dan menyembunyikan sebab pertama dalam segala hal untuk perbuatan manusia. Nilai di sini yang lebih utama akan dapat ditentukan oleh manusia. Dalam pendirian ini, lahirlah tokoh- tokoh aksiologi dari berbagai kalangan Islam yang pendapat- pendapatnya merujuk kepada dalil-dalil akal sebagai prioritas.

Teori Qashb yang datang dari kalangan Asy‘ariah menyatakan bahwa hubungan antara manusia dan Tuhan terus- menerus, sehingga segala kreativitas merupakan pemberian atau limpahan dari Tuhan. Manusia tidak berkuasa menentukan eksistensinya dan esensi dari perbuatannya. Manusia tidak bisa lepas dari Tuhan. Maka dari itu, kebutuhan

akan keterangan dari wahyu sangat dibutuhkan dan dipandang lebih utama dari kemampuan akal. Di sini lahirlah tokoh- tokoh reflektor Qur‘anik, khalifah di muka bumi. Pandangan mereka terhadap nilai beranggapan bahwa nilai adalah ketentuan dari Tuhan dan Tuhan menjelaskannya melalui wahyu.

Perbedaan pendapat antara kaum mu‘tazila dan

Asy‘ariah tersebut pada akhirnya dapat dimaklumi, seperti yang dijelaskan oleh Syarastani dalam kitabnya al-Nilal wal al- Nihal. Asy‘ariah berpendapat demikian guna mempertahankan pendapatnya tentang Tuhan berkuasa penuh. Sementara itu, Mu‘tazilah menjelaskan Tuhan bersih dari perbuatan makhluknya. Jadi, perbedaan pendapat tersebut disebabkan oleh tujuan yang berlainan, bukan tentang penciptaan.

Dalam lintasan sejarah selanjutnya dapat dilihat dari beberapa dinamika pemikiran dalam Islam. Pada masa kejayaan kedaulatan Islam, semua segi kehidupan maju dengan pesatnya. Al-Kindi merupakan tokoh pertama yang mengkaji filsafat Yunani dan menerjemahkan kitab-kitab karangan filsuf Yunani tersebut. Kemudian Al-Farabi merupakan filsuf Islam yang terkenal sangat produktif dan mengarang hampir seluruh disiplin ilmu dan filsafat. Kitabnya yang terkenal, antara lain al-Madinah al-fadilah. Dalam kitab tersebut, dilukiskan tentang kota sempurna. Kota sempurna ialah kota yang diatur dengan sistem-sistem seperti sistem-sistem yang terdapat

Dalam dokumen Paradigma Berpikir penulisan ilmiah (1) (Halaman 42-60)

Dokumen terkait