• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLITIK HUKUM PEMILIHAN UMUM PADA MASA O

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "POLITIK HUKUM PEMILIHAN UMUM PADA MASA O"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

POLITIK HUKUM PEMILIHAN UMUM PADA MASA

ORDE LAMA, ORDE BARU DAN REFORMASI

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Politik Hukum Dosen Pembimbing : Rima Vien P.H, SH, MH

Disusun Oleh :

Achmad Marwan N.H (K6412001) An-nisa Nur S.I.S (K6412005)

Desy Nugraheni (K6412016)

Diah Nurul Aini (K6412019)

Gallih Sapoetra W.P (K6412029) Haniatul Hidayah (K6412031) Putri Puspitasari (K6412058)

Rifka Haryanti (K6412059)

Triwiyanti (K6412069)

Turyati (K6412070)

Umi Setyowati (K6412072)

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu syarat pokok demokrasi adalah adanya sistem pemilihan umum yang jujur dan adil (free and fair elections). Pemilu jujur dan adil dapat dicapai apabila tersedia perangkat hukum yang mengatur proses pelaksanaan pemilu; sekaligus melindungi para penyelenggara, kandidat, pemilih, pemantau, dan warga negara pada umumnya dari ketakutan, intimidasi, kekerasan, penyuapan, penipuan, dan berbagai praktik curang lainnya yang akan mempengaruhi hasil pemilu. Oleh karena itu, pemilu yang jujur dan adil membutuhkan peraturan perundang-undangan pemilu beserta aparat yang bertugas menegakkan peraturan perundang-undangan pemilu tersebut.

Meskipun demikian, setiap kali pemilu dilaksanakan selalu saja muncul isu tentang lemahnya penegakan hukum pemilu. Isu ini berangkat dari kenyataan betapa banyak pelanggaran administrasi dan tindak pidana pemilu yang tidak ditangani sampai tuntas. Selain itu, peraturan perundangan-undangan yang ada juga belum mengatur tentang keberatan atas keputusan penyelenggara pemilu. Memang Mahkamah Konstitusi punya kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu (yang ditetapkan penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU), tetapi bagaimana dengan keberatan atas masalah lain (di luar hasil pemilu) yang juga diputuskan oleh penyelenggara pemilu. Banyaknya kasus pelanggaran administrasi pemilu dan tindak pidana pemilu, serta banyaknya kasus keberatan atas keputusan penyelenggara pemilu; di satu sisi, mendorong munculnya protes-protes yang bisa berujung kekerasan, di sisi lain, juga mengurangi legitimasi hasil pemilu.

(3)

Dari gambaran tersebut memperlihatkan betapa rumitnya penegakan hukum dalam proses pemilu. Dilain sisi lembaga pengawas Pemilu yaitu Bawaslu dan jajarannya tidak lebih dari tukang pos yang tugasnya dalam penegakan hukum pemilu meneruskan kasus yang mengandung unsur pidana ke polisi dan pelanggaran administrasi ke KPU. Hal ini menambah rumit penegakan hukum dalam Pemilu.

Untuk mengatasi masalah-masalah penegakan hukum pemilu tersebut, materi peraturan perundang-undangan pemilu harus dilengkapi, diperjelas, dan dipertegas. Yang tak kalah penting adalahmemperkuat lembaga-lembaga penegak hukum pemilu agar mampu bekerja secara efektif. Kajian ini memetakan kembali masalah penegakan hukum pemilu dan selanjutnya merumuskan sistem penegakan hukum pemilu yang ideal, yakni sistem yang tidak menyalahi standar pemilu demokratis, namun tetap sesuai dengan kondisi Indonesia. Selain itu, kajian ini memberikan sejumlah rekomendasi kebijakan tentang bagaimana membangun sistem penegakan hukum pemilu yang ideal.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah gambaran umum dari politik hukum pemilihan umum ?

2. Bagaimanakah periodisasi politik hukum pemilihan umum yang terjadi di Indonesia dari masa orde lama, orde baru dan reformasi ?

C. Tujuan

1. Mengetahui gambaran umum dari politik hukum pemilihan umum.

(4)
(5)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Politik Hukum Pemilu

Proklamasi kemerdekaan pada tangal 17 Agustus 1945 membawa semangat demokrasi dan menjanjikan diselenggarakannya Pemilu dengan landasan hukum yang responsif. Sejak awal kemerdekaan pemerintah Indonesia sudah menjanjikan diselenggarakannya Pemilu untuk membentuk aparatur demokrasi yang representatif. Namun berbagai kendala politis, baik yang bersifat eksternal maupun internal menyebabkan Pemilu baru benar-benar dapat dilaksanakan pada tahun 1955.

Pemilihan umum (pemilu) merupakan instrumen penting dalam negara demokrasi yang menganut sistem perwakilan. Pemilu berfungsi sebagai alat penyaring bagi politikus-politikus yang akan mewakili dan membawa suara rakyat dalam lembaga pewakilan. Mereka yang terpilih dianggap sebagai orang atau kelompok yang mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar melalui partai politik (parpol). Oleh sebab itu, adanya partai politik merupakan keharusan dalam kehidupan politik modern yang demokratis. Hal itu dimaksudkan untuk mengaktifkan dan memobilisasi rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang berlawanan, serta menyediakan sarana suksesi kepemimpinan poitik secara sah dan damai. Dengan demikian seperti halnya pemilu, parpol pun merupakan komponen penting dari negara demokrasi. Perlu ditegaskan pembahasan hukum pemilu tidak dapat dilepaskan dari pembahasan sistem yang mengatur tentang susunan dan kedudukan lembaga perwakilan. Pemilu mutlak diperlukan oleh negara yang menganut paham demokrasi. (Moh. Mahfud MD: 2009)

(6)

Indonesia telah melahirkan sebelas Undang-Undang Pemilu, hal ini disebabkan pada pemilu legislatif tahun 2014 telah lahir satu Undang-Undang pemilu dan masih ditambah dengan dua UU tentang Pemilu Presiden dan Wakil Pesiden yang pada saat penyelenggaraan tahun 2004 dan 2009 diatur dengan Undang-Undang sendiri, maka tidak aneh jika Moh. Mahfud MD menyatakan bahwa sejarah pemilu di Indonesia adalah sejarah politik hukum tentang pemilu (Benni Setiawan, pemilu dalam optik politik hukum: 2012).

Pencarian politik hukum yang mengesankan bahwa Undang-Undang Pemilu di Indonesia selalu lahir sebagai ”proses instrumental” atau percobaan yang tak selesai-selesai. Hal ini setidaknya disebabkan oleh tiga hal. Pertama, karena ada kesadaran bahwa pemilu yang diseleggarakan sebelumnya mengandung kelemahan yang harus diperbaiki untuk menyongsong pemilu berikutnya. Kedua, karena terjadi perubahan maupun mekanisme pemilu yang dilatarbelakangi oleh motif politik tertentu oleh sebagian besar partai politik yang menguasai kursi DPR. Karena terjadi perubahan situasi, misalnya, demografi kependudukan dan perkembangan daerah, yang harus diakomodasi di dalam Undang-Undang Pemilu. (Benni Setiawan, pemilu dalam optik politik hukum: 2012).

B. Periodisasi Politik Hukum Pemilihan Umum Yang Terjadi Di Indonesia

1. Politik Hukum Pemilu Pada Masa Orde Lama (1945-1966)

(7)

yang kemudian diperbarui dengan UU No.12 Tahun 1949, tetapi tidak pernah dapat diimplementasikan karena pergolakan revolusi.

Kemudian pada tahun 1953 pemerintah bersama DPR menyetujui UU tentang Pemilihan umum (PEMILU) untuk anggota Konstituante dan Dewan Perwakilan Rakyat, yaitu UU No. 7 tahun 1953. UU No.7 Tahun 1953 ini lahir karena didorong oleh kehendak masyarakat pada waktu itu yang menekan segera dihentikannya proses lempar-melempar RUU Pemilu, sehingga kemudian UU ini dibahas oleh badan perwakilan rakyat secara fair. Maka dapat dikatakan bahwa terdapat partisipasi masyarakat yang cukup tinggi dalam melahirkan UU ini. Materi muatan yang terkandung dalam UU juga mencerminkan unsur aspiratif dan limitatif.

UU ini dapat dikatakan sebagai UU yang sangat responsif. UU ini mengatur dengan sangat rinci sistem Pemilu (electoral laws) dan pokok-pokok proses pemilunya (electoral process), sehingga sangat sulit kemungkinan eksekutif untuk menafsirkan sendiri UU Pemilu ini untuk kepentingan pribadi maupun golongan. UU ini memang memberikan kewenangan pemerintah untuk membuat aturan pelaksana dari UU ini, namun materi yang dapat diatur dalam aturan pelaksana tersebut benar-benar yang bersifat teknis. UU ini juga menempatkan seluruh warga negara yang berumur minimal 18 tahun atau sudah kawin sebagai subyek pemilihan tanpa membeda-bedakan latar belakang politik dan golongan, termasuk anggota ABRI juga memiliki hak pilih yang sama dengan warga negara biasa. Sedangkan untuk yang dapat mencalonkan diri atau dipilih dapat merupakan perseorangan maupun kelompok, sehingga setiap orang dapat benar-benar dapat memilih atau membuat saluran aspirasi sendiri. Sistem pemilu yang dipergunakan adalah sistem proporsional (perwakilan berimbang) dengan stelsel daftar dan sisa suara terbanyak, dengan menerapkan asas umum, periodik, berkesamaan, bebas, rahasia dan langsung.

(8)

semakin memperkuat ke-responsif-an dari UU ini sendiri, karena pengangkatan dilakuakan untuk memberikan jaminan adanya wakil sejumlah minimal kursi bagi golongan minoritas Cina, Eropa dan Arab, dan bukan untuk mewakili golongan pemegang kekuasaan. Sifat ke-responsif-an produk hukum Pemilu UU No.7 tahun 1953 ini tidak terlepas dari konfigurasi politik pada masa itu yang harus diakui bersifat demokratis, dimana menganut sistem demokrasi liberal.

Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, pemilu untuk pertama kali diselenggarakan pada tahun 1955, dengan dua kali pemungutan suara, yaitu untuk anggota DPR dilakukan pada bulan September 1955 dan untuk anggota konstutiante dilakukan pada bulan desember 1955. Herbert faith dalam Mahmud MD (2009:131) mengatakan bahwa kampanye yang mendahului pemilu 1955 membawa pengaruh besar bagi politisasi masa rakyat di desa-desa. Bahkan di banyak tempat telah mengakibatkan semakin terlibatnya rakyat dalam masalah-masalah politik, dalam skala yang lebih besar dari pada masa revolusi. Aspirasi politik masyarakat yang dibawa oleh media masa tanpa sensor, justru semakin mendorong keinstabilitas karena sistem politik pada waktu itu belum mapan dan tidak mengakar secara cultural.

Sejak tahun 1956 politik kerakyatan telah memberikan garis pengelompokan berdasarkan etnis dan geografis yang dimulai dengan munculnya berbagai dewan diluar jawa, yang mencapai puncaknya dengan meletusnya PRRI pada februari 1958, yaitu peristiwa serius yang mengancam keamanan territorial. Terlihat dengan jelas bahwa krisis politik merasuk keberbagai bagian. Di konstituante terjadi perdebatan tentang ideology negara yang berkepanjangan dan sia-sia. Kekuatan PKI semakin meningkat, pemerintah tidak efektif menangani masalah-masalah di daerah, dan perpecahan dwi tunggal soekarno hatta yang pada gilirannya telah menyebabkan munculnya gerakan separatis yang betul-betul mengancam keutuhan republik.

(9)

Jika pada masa demokrasi liberal produk hukum Pemilu bersifat responsif, tidak demikian pada masa demokrasi terpimpin. Selama periode demokrasi terpimpin, tidak pernah dikeluarkan peraturan-peraturan perundang-undangan pemilu. Seperti yang telah dikemukakan, lembaga perwakilan yang mula-mula dipakai pada awal periode ini adalah DPR, yang anggotanya dibentuk berdasarkan hasil pemilu 1955. Akan tetapi, dengan istilah penghentian pelakasanaan tugas, DPR telah dibubatkan secara sepihak oleh presiden Soekarno melalui penetapan presiden no 3 tahun 1960. Dictum penpres sebagai berikut :

a. Menghentikan pelakasanaan tugas dan pekerjaan anggota-anggota dewan perwakilan rakyat DPR,

b. Mengusahakan pembaharuan DPR berdasarkan UUD 1945 dalam waktu singkat.

Bunyi dictum ke dua yang lebih berupa janji untuk membentu DPR yang sesuai dengan tuntutan UUD 1945 adalah rencana pemilu. Ini dapat dipahami dari keterangan pejabat presiden Djuanda, bahwa pemilu akan diadakan pada tahun 1962, karena tidak mungkin diadakan dalam waktu dekat untuk mengisi kekosongan dalam keanggotaan DPR sambil menunggu pemilu, dengan Penpres No.4 tahun 1960, presiden membentuk semacam DPR sementara yang disebut dewan perwakilan rakyat gotong royong (DPR-GR). Demikian suatu lembaga konstitusional yang seharusnya berfungsi sebagai mitra pemerintah dalam memegang kekuasaan legislative, dilakukan oleh lembaga sementara. DPR-GR, sesuai dengan bunyi pasal 2 Penpres No.4 tahun 1960, terdiri atas wakil-wakil golongan politik dan golongan karya serta seorang wakil dari irian barat. DPR-GR bekerja terus dengan fungsi yang sering diintervensi oleh presiden dalam bentuk pembuatan penpres dan pemberian kewenangan kepada DPA untuk membicarakan setiap RUU. MPRS sebagai lembagai tinggi negara mengalami hal-hal yang sama.

(10)

soekarno tinggal menunggu waktu, tepatnya pada tanggal 17 agustus melalui pidatonya yang berjudul “jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah / jasmerah”. Pidato pertanggungjawaban presiden yang dikenal sebagai nawaksara itu, soekarno pada tanggal 4 mei 1966 menyampaikan dua buah RUU, yakni RUU penyusunan MPR, DPR, dan DPRD, serta RUU pemilihan umum. Tetapi, seruan presiden ini tenggelam ditengah hiruk pikuk demonstrasi dan sidang istimewa MPRS yang tampaknya tidak lagi berpihak pada pemimpin besar revolusi. Pemilu pun tak sempat dilaksanakan sampai kejatuhan presiden pada tahun 1967, bahkan sampai meninggalnya pada tahun 1970.

Tidak adanya produk hukum pemilu maupun ketidak-sediaan pemerintah menyelenggarakan pemilu yang diinginkan oleh rakyat ini tidak terlepas dengan konfigurasi politik pada saat itu yang cenderung bersifat otoriter dengan sistem demokrasi terpimpin, dimana kekuasaan terpusat pada Soekarno sebagai presiden. Hal ini juga terlihat dari karakteristik berbagai produk hukum yang keluar pada masa itu yang cenderung bersifat konservatif dan seringkali produk hukum yang dikeluarkan berasal dari lembaga diluar DPR, yakni presiden bersama Dewan Nasional yang produknya berbentuk Penpres.

2. Politik Hukum Pemilu Pada Masa Orde Baru (1966-1998)

Setelah runtuhnya rezim Orde Lama maka muncul kembali rezim baru yang disebut dengan Orde Baru. Masa Orde Baru ini bisa dimulai ketika Presiden Soekarno memberikan surat Supersemar kepada Soeharto. Joeniarto dalam Mahfud MD (1998:200) mendefinisikan Orde Baru sebagai tatanan kehidupan negara dan bangsa yang diletakkan kembali pada pelaksanaan kemurnian Pancasila dan UUD 1945. Yang menjadi obyek kajian yang menarik pada masa Orde Baru salah satunya tentang Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu).

(11)

pemilu harus diadakan sesuai dengan tuntutan konstitusi, tetapi kekuatan pemerintah (Orde Baru) harus mendapat jaminan untuk memenangkan pemilu tersebut. Dengan kemenangan dan dominasi tangan pemerintah di lembaga permusyawaratan/ perwakilan diharapkan pemerintah dapat bekerja membangun negara dalam suasana politik yang stabil (Mahfud, 2009:313)

Dasar hukum mengenai pemilu pada masa ini dituangkan dalam dua buah UU yaitu UU No.15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No.16 Tahun 1969 tentang Susduk MPR/DPR/DPRD. UU Pemilu pada masa Orde Baru ini dapat dikualifikasikan sebagai produk hukum yang bersifat ortodoks/konservatif. UU No.15 Tahun 1969 ini hanya memuat 37 Pasal, jauh lebih sedikit jika dibandingkan UU Pemilu sebelumnya yakni UU No.7 Tahun 1953 yang memuat 139 Pasal. Sehingga UU ini memberikan kemungkinan yang besa bagi pemerintah atau eksekutif untuk membuat pengaturan (regeling) berdasarkan kewenangan delegasi. Selain itu materi muatan dalam UU ini juga bersifat sangat umum, maka dalam pembuatan peraturan pelaksanaannya sangat dimungkinkan mengandung materi yang dianggap melanggar asas kejujuran dan keadilan.

Selain itu, menurut UU ini, warga negara yang telah berumur 17 tahun atau sudah kawin mempunyai hak untuk memilih, kecuali mereka yang terlibat anggota organisasi terlarang menurut peraturan perundangan. Dalam Pasal 11 UU ini juga menerapkan sistem pengangkatan dalam komposisi lembaga perwakilan, yang sebenarnya ditentang oleh berbagai pihak karena dinilai kurang demokratis. Porsi pengangkatan sendiri berjumlah 100 orang dari jumlah seluruh anggota DPR yakni 500 orang (Pemilu 1987 dan 1992). Dari 100 porsi pengangkatan tersebut, sebanyak 75 porsi diangkat dari ABRI (ABRI tidak memiliki hak pilih tetapi secara otomatis memiliki wakil di DPR/MPR). Jika dibandingkan dengan rasio secara umum, jumlah tersebut tidak proporsional (over-representation), sebab UU Pemilu menentukan harga 1 kursi di DPR adalah 400.000 suara. Jika rasio ini dipakai, maka ABRI seharusnya hanya dapat memiliki tidak lebih dari 2 wakil di DPR.

(12)

untuk sejumlah kursi yang ditetapkan (yakni 100 kursi), sedangkan menuruut UU No.7 Tahun 1953 yang diangkat mewakili golongan minoritas dan baru akan dilakukan bila hasil pemilu tidak memberikan jumlah kursi minimal bagi golongan minoritas.

Asas-asas yang dipakai dalam UU No.15 Tahun 1969 ini adalah asas langsung, umum, bebas dan rahasia. Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia sebenarnya pernah mengusulkan penambahan asas jujur dan adil yang kemudian usul ini ditolak oleh fraksi Karya Pembangunan dan ABRI. Golkar bersikap tidak ingin mengubah UU Pemilu yang dinilainya sudah cukup bagus dan relevan. Kalaupun usul tersebut tetap terus diperjuangkan oleh PPP maupun PDI, maka sangat besar kemungkinan akan kandas karena perimbangan jumlah anggota DPR tidak seimbang. Jika Golkar yang jumlah wakilnya di DPR sangat besar menantang voting, maka gabungan suara PPP dan PDI tidak akan dapat memenangkannya, apalagi jika fraksi ABRI mendukung Golkar.

Selain itu, dalam penyelenggaraan pemilu, parpol juga tidak diberikan peranan yang riil, karena ketua panitia di setiap tingkatan diduduki oleh pejabat atau pimpinan birokrasi, sementara peranan parpol hanya bersifat parsial. Selain itu mekanisme penyelenggaraan pemilu juga mengandung kelemahan dalam sistem kontrol dan dalam rantai penghitungan suara. Dalam hal kampanye, UU ini juga membatasi waktu kampanye yakni sekitar 3 minggu dan tema kampanye juga dibatasi dengan adanya larangan untuk menyinggung hal tertentu yang dapat memojokkan pemerintah yang diperkirakan akan berimplikasi pada turunnya dukungan terhadap partai hegemoni yakni Golkar.

Ketidak-demokratis-an UU ini juga ditunjukkan dengan adanya lembaga screening yang memungkinkan tangan-tangan eksekutif mencoret nama-nama calon yang diajukan oleh OPP untuk dipilih dalam pemilu. Selain itu juga ada mekanisme recall atau penarikan kembali seseorang dari keanggotaan lembaga perwakilan/permusyawaratan. Dimana dengan adanya recall ini pemerintah dapat saja meminta parpol baik secara terang-terangan maupun melalui isyarat-isyarat politik untuk menarik anggotanya di lembaga perwakilan.

(13)

politik yang pada saat itu berkuasa, yakni sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama bahwa rezim Orde Baru ini diwarnai dengan ke-otoriter-an yang kental, dimana kekuasaan Soeharto sangat kuat dengan dukungan Golkar dan Militer (ABRI) yang juga merupakan penguasa atau pemilik porsi tertinggi dalam lembaga permusyawaratan/perwakilan.

Ketika Orde Baru, berdasarkan Tap MPRS No.XI Tahun 1966, pemilu seharusnya dilaksanakan selambat-lambatnya pada tanggal 6 Juli 1968. Namun Presiden Soeharto kemudian menyatakan pemilu tidak dapat dilaksanakan pada waktu yang telah ditentukan. MPRS kemudian menjadwal ulang pemilu dengan menetapkan pemilu paling lambat 5 juli 1971. Menurut Sigit Pamungkas (2009: 76) penundaan yang dilakukan Presiden Soeharto ini disebut politik pemilu pertama pada masa Orde Baru untuk mempersiapkan jalan agar kekuasaannya langgeng (bertahan lama). Mahfud MD (1999: 232) menyatakan bahwa dibalik penundaan pemilu dari tahun 1968 menjadi 1971 ini telah dicapai kesepakatan kompromis antara partai-partai dan pemerintah meliputi dua hal: pertama, partai-partai-partai-partai setuju memberi hak kepada pemerintah untuk mengangkat sepertiga dari seluruh anggota MPR dan mengangkat 100 orang dari 460 orang anggota DPR; kedua, pemerintah menyetujui usul partai-partai untuk menyelenggarakan Pemilu dengan sistem Proposional. Dengan demikian, maka pemerintah sudah memiliki kemenangan dalam struktur politik dan ketatanegaraan.

(14)

maupun proses pemilu. Kedua, proses pemilu tidak berlangsung fair karena adanya pemihakan pemerintah kepada salah satu organisasi peserta pemilu yaitu Golkar.

Pada Orde baru Pemilu diselenggarakan sebanyak 6 kali yaitu pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997. Dasar hukum penyelenggaraan pemilu dapat digambarkan dalam tabel sebagai berikut :

No Pemilu Dasar Hukum Perubahan

1 1971 UU No 15 Tahun 1969

-2 1977 UU No 4 Tahun 1975 Adanya penyederhanaan partai peserta pemilu.

3 1982 UU No 2 Tahun 1980 Adanya penambahan anggota LPU dari unsur parpol, Golkar, dan ABRI. Serta pembentukan panitia pengawas pemilu.

4 1987 UU No 1 Tahun 1985 Adanya penambahan jumlah wakil ketua panitia pengawas pemilu.

5 1992 UU No 1 Tahun 1985 Adanya penambahan jumlah wakil ketua panitia pengawas pemilu.

6 1997 UU No 1 Tahun 1985 Adanya penambahan jumlah wakil ketua panitia pengawas pemilu

Sekurang-kurangnya ada empat tujuan diadakan Pemilu pada era Orde Baru yang terdapat didalam konsiderans UU No. 15 tahun 1969 tentang Pemilu. Keempat hal tersebut adalah :

1. Memilih wakil-wakil rakyat yang duduk dalam lembaga permusyawaratan/ perwakilan;

(15)

4. Sebagai sarana untuk mencapai kemenangan Orde Baru dalam mewujudkan tata kehidupan yang dijiwai semangat Pancasila dan UUD 1945.

Dari keempat tujuan tersebut terdapat suatu kejanggalan yang mungkin merupakan penyimpangan politik pemilu pada era Orde Baru. Pada tujuan Pemilu yang keempat menyebutkan bahwa tujuannya “…. mencapai kemenangan Orde Baru…”. Dari hal tersebut jelas sekali bahwa tujuan pemilu pada orde baru bisa diasumsikan untuk memperoleh kemenangan pada satu pihak yaitu pemerintah yang bertahan pada saat itu. Untuk menjamin maksud tersebut maka pemilu dilaksanakan dengan sistem proposional diselenggarakan oleh pemerintah yang dikuasai oleh elit penguasa itu sendiri.

Pemilu 1971 diikuti oleh 58.558.776 jiwa dari jumlah penduduk Republik Indonesia yang pada waktu itu berjumlah 77.654.492 jiwa, dengan hasil sebagai berikut :

No Nama Partai Jumlah Suara Jumlah Kursi

1. Partai Katolik (Indonesia) 607 3

2. Partai Syarikat Islam Indonesia 1308237 10

3. Nahdlatul Ulama 1971 10213650 58

4. Partai Muslimin Indonesia 2930746 24

5. Partai Golongan Karya 34348673 236

6. Partai Kristen Indonesia 733359 7

7. Partai Musyawarah Rakyat Banyak 49000 0

8. Partai Nasional Indonesia - Massa Marhaen 3793266 20

9. Persatuanttarbiyah Islamiyah 381309 2

10. Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia 338403 0 Sumber : http://kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id/

(16)

Pada pemilu tahun 1977, dari 10 partai yang ikut di pemilu 1971 di persempit jumlah pesertanya menjadi 3 partai. Ketiga partai tersebut adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang sebagai partai Islam, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sebagai partai nasionalis dan Kristen, kemudian pemenang Pemilu 1971 yaitu Golkar yang dianggap sebagai organisasi sosial politik milik pemerintah yang berfungsi melanggengkan pemerintahan pada era Orde Baru. Pada pemilu tahun 1977 ini mengacu pada UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Dari UU ini muncul politisasi dari UU yang di keluarkan oleh Pemerintah. Dalam pasal 1 ayat 1 UU No. 3 Tahun 1975 disebutkan ”Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan Partai Politik dan Golongan Karya adalah organisasi kekuatan sosial politik yang merupakan hasil pembaharuan dan penyederhanaan kehidupan politik di Indonesia“. Golkar sesuai dengan UU No. 3 Tahun 1975 dianggap bukan partai politik melainkan organisasi sosial politik. Tetapi pada prakteknya Golkar dianggap sebagai partai politik karena pada saat itu selalu ikut dalam Pemilu. Karena di UU No.3 tahun 1975 tersebut memberikan suatu keistimewaan dari Golkar daripada partai-partai yang lain. Maka masyarakat akan lebih percaya dengan kinerja Golkar untuk memberikan pemerintahan yang terbaik bagi bangsa Indonesia. Karena Golkar adalah milik Pemerintah maka dalam orasinya menyuarakan kinerja terbaik pemerintah Soeharto.

Penyimpangan hukum yang berbau politik orde baru adalah tentang kepengurusan partai, dipasal 10 ayat 1 UU No. 3 tahun 1975 di sebutkan bahwa kepengurusan partai-partai terbatas pada ibukota tingkat pusat, Dati I, Dati II. Ketentuan ini menurut Miriam Budiardjo (2008: 476) disebut massa mengambang (Floating mass) . Dalam hal ini justru menguntungkan Golkar karena Golkar bebas bergerak sampai ke desa. Hal ini karena Golkar adalah milik Pemerintah yang memiliki jaringan sampai ke perangkar Desa. Sedangkan kedua Partai yaitu PDI dan PPP tidak mempunyai kepengurusan sampai ke desa bahkan dengan adanya UU No. 3 tahun 1975 dilarang untuk membentuk kepengurusan sampai desa.

(17)

yang didominasi politisasi di pemerintahan era Orde Baru. Konsistensi Golkar memenangkan pemilu ini sebagai bentuk bahwa kedua partai lawan yaitu PDI dan PPP tidak lebih hanya sebagai penyerta. Pemilu ada era Orde Baru hanya tidak ada kompetisi karena 6 kali pemilu selalu dimenangkan oleh Golkar.

Hal yang menarik pada Orde Baru adalah Anggota Legislatif yang terpilih dari pemilu lebih merespon kepada Pemerintah daripada aspirasi rakyat. Karena pada saat itu yang membuat rancangan Perundang-undangan adalah Eksekutif. Maka Legislatif lebih dikenal sebagai lembaga yang hanya mengesahkan saja. Hal ini karena anggota Legislatif berasal dari Golkar. Dan Golkar sendiri adalah meilih Pemerintah. Pengendali utama para anggota Golkar dari Eksekutif Pemerintahan. Pada era orde Baru ini lebih sering dikenal sebagai Pemerintahan yang otoriter. Dengan kemenangan Golkar pada era Orde Baru ini, pemilu yang dilaksanakan tidak melahirkan sirkulasi elit penguasa. Elit Penguasa yang berkuasa hanya berputar disekitar kroni Suharto. Setiap kali pasca pemilu, PDI dan PPP tidak serta merta ikut dalam pemerintahan.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, untuk anggota DPR yang duduk di parlemen tidak semuanya hasil pemilu tetapi ada penunjukan dari pihak ABRI sebanyak 75 orang. Jumlah ini tidak sebanding dengan jumlah anggota dari Partai PDI dan PPP yang ada di DPR. Dari penjabaran diatas maka dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain :

1. Penundaan pemilu pada tahun 1968 menjadi 1971 sebagai strategi politik untuk mempertahankan pemerintahan Soeharto;

2. Golkar sebagai mesin politik pemerintah yang perannya sebagai pendukung pemerintah dalam pemilu di Era Orde Baru;

3. Adanya penyederhanaan peserta pemilu. Hal ini untuk mengurangi lawan kompetisi Golkar pada pemilu, sehingga di sini Golkar mempunyai dukungan kuat dan lawan yang sedikit;

(18)

5. Tujuan pemilu di Era Orde baru hanya untuk memenangkan Golkar guna mempertahankan kekuasaan Suharto yang akhirnya dapat bertahan sampai 30 tahun.

3. Politik Hukum Pemilu Pada Masa Reformasi

a. Sejarah Pemilu DPR pada Era Reformasi

Politik hukum pemilu DPR pada era reformasi dilaksanakan sejak Pemilu 1999, kemudian dilanjutkan pada Pemilu 2004, 2009 dan 2014. Pada awal era Reformasi, Penyelenggaan Pemilu Tahun 1999 dimulai ketika Presiden Soeharto mengundurkan diri dari masa jabatannya kemudian digantikan oleh BJ Habiebie. Kemudian atas desakan publik, pemilu yang baru dipercepat untuk segera dilaksanakan. Pada akhirnya, pemilu dilaksanakam pada tanggal 7 Juni 1999. Satu hal Yang sangat menonjol yang membedakan Pemilu 1999 dengan Pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah bahawa pada Pemilu 1999 diikuti oleh banyak peserta. Hal ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik.

Meskipun masa persiapannya hanya singkat, pelaksanaan pemungutan suara bisa tepat sesuai jadwal. Pemilu pada tahun 1999 ini terlaksana dengan damai, walau ada keterlambatan pada Daerah Tingkat II di Sumatera Utara. Sebelum menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU Pemilu, dan RUU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Namun, tidak seperti persiapan dan pelaksanaannnya, saat melakukan perhitungan pada pemilu 1999 ini mengalami beberapa kendala, yaitu adanya penolakan dari 27 partai untuk menandatangani berita acara pengitungan suara dengan dalih Pemilu belum jujur dan adil.

(19)

tidak semua parpol yang terdaftar dan lolos verifikasi oleh Departemen Kehakiman dan HAM langsung dapat mengikuti Pemilu 2004 yang telah diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2003.

Sedangkan, Pelaksanaan Pemilu 2009 tidak jauh berbeda dengan Pemilu 2004, bahwa sistem proposional dengan daftar calon terbuka untuk pemilu DPR dan DPRD, sistem distrik berwakil banyak untuk anggota DPD, dan sistem pemilihan presiden dan wapres secara langsung. Perbedaan utamanya adalah pada penetapan suara terbanyak yang duduk di kursi parlemen. Penetapan ini merupakan hasil dari putusan Mahkamah Konstitusi. Dengan penetapan ini faktor nomor urut tidak terpakai lagi. Penyelenggaraan Pemilu 2014, yaitu secara umum ketentuannya sama dengan Pemilu 2004 dan Pemilu 2009. Hanya saja, ada tahun 2014 ini ada usulan adanya pemilu secara serentak.

b. Pelaksanaan Pemilu DPR era Reformasi

Dalam pelaksanaan pemilu DPR pada era reformasi sejak tahun 1999 sampai sekarang banyak mengalami perkembangan dalam penyelenggaraan pemilunya. Pemilu pada tahun 1999 diselenggarakan oleh KPU yang unsur keanggotaanya dari partai politik peserta pemilu dan pemerintah. Pada pemilu 2004, diselenggarakan ole KPU bersifat nasional, tetap, dan mandiri terdiri dari unsur-unsur non partai. Sama halnya dengan Pemilu 2004, Pemilu 2009 dan Pemilu 2014 juga diselenggarakan oleh KPU bersifat nasional, tetap, dan mandiri terdiri dari unsur-unsur non partai.

(20)

Adapun kelemahan yang menonjol dari Pemilu 2009 adalah aspek profesionalitas dan inkonsistensi KPU dalam penyelenggaraan pemilu. Profesionalitas yang lemah dan inkonsistensi KPU berakibat pada tuduhan tidak independennya KPU dalam menyelenggarakan Pemilu. Sedangkan, Kelemahan dari Pemilu 2014 adalah dalam pelaksanaan belum dapat terlaksana baik secara keseluruhan, masih terdapat banyak golput, dan kelemahan dari pihak pelaksana yaitu KPU.

Sedangkan, ketentuan mengenai peserta pemilu mengalami perubahan, karena Persyaratan Peserta pemilu dalam Era Reformasi ini semakin ketat dari masa ke masanya. Pada Pemilu 1999, ketentuan mengenai pendirian partai politik dan persyaratan menjado peserta Pemilu sangat longgar. Sedangka pada Pemilu 2004 mulai diperketat, dan diperketat lagi pada Pemilu 2009 dan Pemilu 2014. Persyaratan yang diperketat ini merupakan suatu upaya untuk penyederhanaan partai. Namun, upaya ini belum sepenuhnya berhasil. Karena masih banyak partai baru yang bermunculan.

Perubahan juga terjadi pada ambang batas yang dipakai beserta implikasi dari ambang batas tersebut. Pada Pemilu 1999 menyebutkan bahwa dipakai ambang batas elektoral yang diatur dalam Pasal 39 UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu. Sedang, dalam Pemilu 2004 juga dipakai ambang batas elektoral, yang diatur dalam Pasal 9 UU Nomor 12 Tahun 2003. Dalam Pemilu 2009 terdapat ketentuan mengenai ambang batas parlemen, yang dikenal dengan parliamentary threshold yang diatur dalam Pasal 20 Ayat 1 UU Nomor 10 Tahun 2008 hanya berlaku untuk DPR RI. Dalam Pemilu 2014 sistem parliamentary threshold berlaku secara nasional, baik DPR RI, DPD, DPRD.

c. Politik Hukum Pemilu DPR era Reformasi

Dasar pelaksanaan Pemilu DPR dari tahun 1999 sampai 2014 era Reformasi terus mengalami perubahan. Perubahan peraturan perundang-undangan tersebut, yaitu :

 Pemilu 1999 dasar UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu

 Pemilu 2004 dasarnya UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota

(21)

 Pemilu 2009 dasarnya UU nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota

DPR, DPD, dan DPRD

 Pemilu 2014 UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD.

Pemilu DPR pada era Reformasi ini mengalami berbagai perubahan dan perkembangan, yang disebabkan oleh perubahan dasar aturan/perubahan peraturan perundangan yang menjadi dasarnya. Beberapa perubahan yang terjadi yaitu dari segi Sistem Pemilu, ketentuan memilih dan jumlah partai, yakni dapat dijabarkan sebagai berikut.

1) Sistem Pemilu

Pada masa reformasi pemilhan umum legislatif tetap menggunakan sistem proposional namun terjadi beberapa modifikasi. Pada pemilu tahun 1999 DP tidak hanya terpaku pada propinsi, tetapi juga sudah memperhatikan kabupaten/kota. Pada pemilu 2004, DP tidak lagi propinsi tetapi meliputi daerah yang lebih kecil lagi, dimana masing-masing DP mendapat jatah 3 sampai 12 kursi. Sementara pemilu 2009 besaran DP untuk DPR diperkecil antara 3 sampai 10 kursi. Pemilu 2004 dan 2009 juga telah menganut sistem proposional daftar terbuka. Namun menurut Nico Harjanto ( dalam Kacung Marijan:2010:94-95) perubahan tersebut tidak sepenuhnya terbuka, melainkan lebih kepada sistem proposional semi daftar terbuka. Hal ini dikarenakan penentuan tentang siapa yang akan mewakili partai di dalam perolehan kursi di DPR/D tidak didasarkan pada perolehan suara terbanyak melainkan tetap berdasarkan nomor urut.

2) Jumlah Partai

(22)

Dari penjelasan perbandingan jumlah partai pada masa orde baru dan masa reformasi terlihat bahwa pada masa orde baru partai peserta pemilu lebih sedikit dan dibatasi. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan Presiden Soeharto melalui UU No 3 Tahun 1975, adan adanya pandangan bahwa sistem multipartai dapat mengganngu kestabilan negara. Sementara itu pada masa reformasi jumlah partai politik pengikut pemilu lebih banyak, hal ini dikarenakan dianutnya kembali keran demkrasi di Indonesia.

3) Ketentuan Memilih

Pada pemilu masa reformasi terjadi perubahan dalam memberikan suara kepada peserta pemilu. Pada pemilu 1999, pemilih dapat memberikan suara dengan mencoblos lambang partai dan memilih salah satu calon dari partai yang dipilih. Sementara pada pemilu tahun 2004 dan 2009 selain memilih partai dan calon partai, masyarakat juga memilih anggota DPD yang dilakukan dengan mencoblos salah satu angggota DPD dalam surat suara.

Sehingga, dapat dikatakan bahwa berbeda dengan pemilu pada masa orde baru, pada pemilu reformasi ini terdapat empat UU yang mengatur tentang pemilu, yang memiliki beberapa perubahan dan perbedaan sebagai berikut :

1) Lembaga Penyelenggara pada pemilu Orba menitikberatkan anggota pada pejabat pemerintah, sedangkan pemilu reformasi anggota lebih independen bebas dari unsur partai dan pemerintah.

2) Sistem pemilu pada pemilu orde baru menganut sistem proposional tertutup, sementara pemilu reformasi dengan sistem proposional terbuka. 3) Jumlah partai peserta pemilu orde baru ditentukan pemerintah, sementara

pada masa reformasi lebih demokratis.

(23)

Politik Hukum Pemilihan Umum Anggota DPR Tahun 1999

Dasar hukum Pemilihan umum anggota DPR yang diselenggarakan pada 7 Juni 1999 yakni Undang-undang No.3 Tahun 1999 tentang Pemilu dan Undang-undang No.4 tahun 1999 tentang Susduk MPR/DPR.

UU No.3 Tahun 1999 yang merupakan sumber hukum utama pemilu 1999 dikatakan oleh sebagian besar sebagai Undang-undang Pemilu yang lebih responsif dibandingkan Undang-undang Pemilu sebelumnya pada masa Orde Baru. Bahkan bisa dikatakan Undang-undang ini merupakan langkah awal bangsa Indonesia menuju demokratisasi, karena pemilu merupakan salah satu agenda awal yang diusulkan pada reformasi setelah digulingkannya rezim Orde Baru yang telah menyebabkan hancurnya demokrasi di Indonesia.

Tahun 1999 merupakan gerbang menuju civil society guna berjalannya demokratisasi yang diperjuangkan oleh mahasiswa di awal 1997. Pemilu 1999 ini dapat dikatakan sebagai pemilu yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat, pemilu yang sebenarnya. Karena seperti yang telah disebutkan pada sub bab sebelumnya bahwa pemilu-pemilu sebelumnya yakni pada rezim Orde Baru merupakan legitimasi semu yang diperoleh oleh penguasa. Maka tidak mengherankan jika partisipasi pada pemilu anggota DPR mencapai 92 %. Sedangkan untuk presiden dan wakil presiden masih dipilih oleh MPR.

Dalam UU No.3 Tahun 1999 ini banyak diatur hal-hal baru yang tidak diatur pada UU sebelumnya, yang menunjukkan mulai berjalannya demokrasi di Indonesia secara bertahap serta menunjukkan ke-responsif-an UU ini. Diantaranya yaitu diatur mengenai hadirnya Pemantau Pemilu Independen dalam pelaksanaan Pemilu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 Undang-undang ini. Dimana lembaga pemantau pemilu ini bertugas untuk memantau jalannya pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, sebagaimana asas yang dianut oleh UU Pemilu ini.

(24)

(serta merangkap anggota) oleh pemimpin pada setiap wilayah, yakni Mendagri, Gubernur, Bupati/Walikota, Camat dan Lurah/Kepala Desa, pada pemilu 1999 ini penyelenggara pemilu adalah KPU yang keanggotaanya terdiri dari satu orang wakil dari masing-masing Partai Politik peserta Pemilu dan 5 orang wakil pemerintah (Pasal 9 ayat (1)). KPU ini membawahi PPI yang juga beranggotakan wakil-wakil dari partai politik dan pemerintah. (Pasal 12 ayat (2)). Sehingga dapat dikatakan UU ini membuka akses keterlibatan partai politik dalam pemilu yang pada rezim sebelumnya sangat dibatasi.

Sayangnya Undang-undang ini belum mengatur secara lengkap hal-hal yang terkait dalam pemilu, yakni hanya terdiri dari 86 Pasal yang mengatur hal-hal mendasar dari pelaksanaan pemilu. Sehingga terdapat kemungkinan penafsiran pribadi oleh pemerintah khususnya eksekutif terkait dengan UU ini.

Selain itu, dalam UU ini juga masih menganut sistem pengangkatan anggota perwakilan. Yakni dalam UU No.4 Tahun 1999 tentang Susduk MPR/DPR dijelaskan mengenai jumlah kursi anggota DPR pada pemilu 1999 ini, yakni pada Pasal 11 yang menyebutkan bahwa jumlah anggota DPR adalah 500 orang dengan rincian : anggota partai politik hasil pemilihan umum sebanyak 462 dan anggota ABRI yang diangkat sebanyak 38 orang. Model pengangkatan dari ABRI yang merupakan warisan dari rezim Orde Baru masih ada, walaupun jumlahnya berkurang, yakni hanya 38 orang dari UU sebelumnya 75 orang.

Pada saat UU No.3 Tahun 1999 tentang pemilu ini dirumuskan, konfigurasi politik mulai berjalan ke arah demokrasi. Dimana presiden Habibie yang pada saat itu menjabat menggantikan Soeharto mulai membuka keran-keran kebebasan yang bertanggung jawab pada segala bidang, termasuk kebebasan pers yang pada rezim sebelumnya dikekang, kritikan terhadap penguasa dianggap sebagai hal yang halal, serta masyarakat bebas berekspresi di bidang politik. Kebebasan berekspresi dalam bidang politik ini terlihat dari munculnya ratusan partai politik hanya dalam waktu satu tahun setelah rezim Soeharto digulingkan. Walaupun kemudian hanya 48 partai saja yang bisa mengikuti Pemilu.

(25)

dasawarsa dipimpin oleh rezim otoriter Soeharto. Maka dapat dikatakan bahwa iklim demokrasi belum sepenuhnya meliputi politik Indonesia pada masa itu. kondisi politik ini turuut mempengaruhi warna atau karakter produk hukum yang pada saat itu dibuat, khususnya UU No.3 Tahun 1999 tentang Pemilu ini yang dapat dikatakan sudah cukup responsif/otonom, namun belum sepenuhnya, misalnya masih adanya mekanisme pengangkatan anggota DPR serta masih kurang lengkapnya pengaturan dalam UU ini. Namun bagaimanapun UU ini sudah jauh lebih responsif dan sesuai denngan apa yang diharapkan. Pengaturan mengenai penyelenggaraan pemilu dalam UU ini sudah jauh lebih baik dari UU sebelumnya pada masa Orde Baru serta dapat dikatakan UU ini telah menumbuhkan harapan baru bagi masyarakat untuk pemilu yang benar-benar jujur dan adil.

Politik Hukum Pemilihan Umum Anggota DPR Tahun 2004

Dasar hukum Pemilihan umum anggota DPR yang diselenggarakan pada 5 April 2004, 5 Juli/20 September 2004 yakni Undang-undang No. UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu dan UU No 22 tahun Susduk MPR/DPR/DPRD.

Kebijakan dasar UU No.12 tahun 2003 tentang Pemilu Legislatif untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis kuat dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana di amanatkan UUD 1945.Selain itu untuk mengakomodasi daerah di pilih anggota DPD yang pesertanya perorangan, dan kebijakan dasar UU No.23 tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan wakil Presiden untuk memilih Presiden dan wakil Presiden agar memperoleh dukungan yang kuat dari rakyat, sehingga mampu menjalankan fungsi-fungsi kekuasaanpemerintahan negara dalam rangka tercapainya tujuan nasional sebagaimana di amanatkan UUD 1945.

(26)

tersebut dapat ditafsirkan bahwa UU No.12 tahun 2003 termasuk berciri konfigurasi politik demokratis yang melahirkan karakter hukum yang responsif. Meskipun dalam praktek proses pembuatan dan pelaksanaannya masih di jumpai penyimpangan-penyimpangan yang mengurangi nilai-nilai keadilan dan demokratisasi.

Terdapat berbagai faktir yang mempengaruhi proses pembuatan UU ini, baik faktor internal mapuan faktor eksternal. Faktor internal terpenting yang mempengaruhi proses pembuatan UU No.23 tahun 2003 adalah sebagai berikut :

a. Adanya tuntutan pelaksanaan pemilihan langsung oleh rakyat sejalan dengan era reformasi yang mengedepankan kebebasan dan keterbukaan serta demokratisasi menuju kedaulatan rakyat yang sesungguhnya. Adanya pemilihan anggota legislatif, Presiden dan Wakil Presiden secara langsung di harapkan akan terpilih wakil-wakil rakyat sehingga memiliki legitimasi yang kuat untuk menjalankan pemerintahan. b. Mengganti ketentuan yang lama, sebelum UUD 1945 di amandemen, dalam sistem

ketatanegaraan, Presiden dan wakil Presiden di pilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) selaku pemegang kedaulatan rakyat. Setelah di amandemen UUD 1945 dan di tetapkan UU No.23 tahun 2003 Presiden dan wakil Presiden dapat di pilih secara langsung oleh rakyat yang telah di laksanakan pada tahun 2004.

Adanya kepentingan Politik, dalam proses pembuatan UU No.12 tahun 2003 di indikasi penuh dengan nuansa politis, sehingga banyak pihak menilai UU No.12 tahun 2003 kurang demokratis dan cenderung memihak kelompok tertentu.Bahkan ada juga kelompok yang mengatakan bahwa UU tersebut cacat hukum,namun meskipun demikian UU No.12 tahun 2003, dan UU No.23 tahun 2003 tetap menjadi payung hukum pelaksanaan Pemilu 2004.

Sedang, Faktor eksternal terpenting yang mempengaruhi proses pembuatan UU No.23 tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden secara langsung adalah sebagai berikut :

a. Menarik simpati dunia internasional

(27)

adalah pemilihan langsung anggota legislatif, Presiden dan wakil Presiden di Indonesia. Indonesia di nilai banyak pengamat internasional telah mengalami kemajuan dibidang demokratisasi yang pesat, terutama sejak pemilu,legislatif dan pemilu Presiden dan wakil Presiden yang terbilang lancar dan aman.Jadi tak dapat di sangkal bahwa proses pembuatan UU No.23 tahun 2003 oleh pemerintah dan DPR juga di arahkan untuk menarik simpati dunia internasional.

b. Melakukan Harmonisasi Hukum di Indonesia.

Harmonisasi hukum di negara berkembang merupakan suatu hal yang penting untuk dicapai. Harmonisasi yang menjerumus pada keseragaman di bidang infrastruktur hukum akan berdampak pada kenyaman untuk berinvestasi dari pelaku usaha negara maju di Indonesia yang berkembang. Harmonisasi hukum di Indonesia, seperti harmonisasi UU di Bidang politik di tuntut oleh negara maju dalam rangka kampanye demokratisasi yang beraroma western yang melegalkan pemilihan anggota legislatif, presiden dan wakil presiden secara langsung, tampaknya perundang-undangan kita tentang Pemilu mengadopsi dari hukum barat dalam hal ini khususnya Amerika Serikat, negara yang selama ini mempunyai ”kepentingan besar” di Indonesia.Harmonisasi UU politik ini memang cukup mengakomodir kepentingan asing di Indonesia. Hal ini karena pertimbangan opini internasional tentang perkembangan demokratisasi dan penegakan HAM di Indonesia.

c. Merespon Kebutuhan Masyarakat

Dalam banyak kesempatan, negara-negara donor mempunyai kepentingan untuk mempengaruhi pemerintah Indonesia untuk membentuk suatu Undang-undang. Kepentingan asing tersebut ”membungkus” kepentingannya dengan mengatakan bahwa apa yang di lakukan adalah kebutuhan masyarakat Indonesia.Bahkan pesan-pesan sponsor asing telah menyusup menjadi agenda kerja para pejabat dan politisi. Dalam UU No.23 tahun 2003 secara tersirat tidak tertutup kemungkinan mengandung pesan sponsor yang mempunyai kepentingan di Indonesia.

(28)

a. Melakukan Politik Uang Untuk Mempengaruhi Pemilih.

Praktek-praktek politik uang selama masa kampanye putaran pertama melanggar beberapa peraturan seperti, Pasal 77 ayat (1) UU No. 12 tahun 2003,selama masa kampanye sampai di laksanakan pemungutan suara, calon DPR, DPD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota di larang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. Dalam Pasal 39 SK KPU 701 tahun 2003 menyebutkan bahwa selama masa dilaksanakan pemungutan suara, calon anggota DPR, DPD dan DPRD Propinsi, serta DPRD Kabupaten/Kota di larang menjanjikan dan atau/ memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih.

b. Melakukan Kampanye di luar Jadwal Kampanye

Pemilu legislatif yang telah dilaksanakan pada tahun 2004 lalu banyak terjadi pelanggaran dimana para Parpol melaksanakan kampanye di luar jadwal,padahal Pasal 138 ayat (3) UU No.12 tahun 2003 mengatakan antara lain sebagai berikut : Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kampanye di luar jadwal waktu yang telah ditetapkan oleh KPU untuk masing-masing peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3), di ancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari atau paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.100.000,00 (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah). Hal tersebut di atas menimbulkan polemik di masyarakat apakah yang dilakukan parpol termasuk kampanye atau bukan.

Politik Hukum Pemilihan Umum Anggota DPR Tahun 2009

Dasar hukum Pemilihan umum anggota DPR tahun 2009 ini yakni UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu dan UU No. 22 tahun 2003 tentang Susduk MPR,DPR, DPRD, dan DPD Sama dengan UU sebelumnya, UU ini menganut asas pemilu langsung, bebas, rahasia, jujur dan adil (LUBER JURDIL).

(29)

Sehingga lebih sedikit kemungkinan adanya penafsiran secara pribadi oleh pemerintah khususnya eksekutif.

Konfigurasi politik hukum pemilu pada Pemilu 2008 yaitu responsif, jika dilihat dari adanya partisipasi masyarakat. Dalam proses pembuatan UU ini, agenda partisipasi berlangsung secara timbal balik antara DPR dan publik. DPR telah memiliki sejumlah agenda partisipasi melalui rangkaian pembahasan dengan menghadirkan akademisi sebagai ahli, lembaga negara terkait, maupun kelompok masyarakat sipil yang dinilai terkait langsung dengan isu bahasan RUU Pemilu 2012. Di luar agenda resmi tersebut, dengan menyesuaikan kebutuhan pencarian informasi, fraksi dan anggota komisi yang terlibat dalam pembahasan RUU Pemilu 2012 cukup aktif mengumpulkan informasi dan masukan publik. Melalui agenda resmi fraksi atau optimalisasi peran tenaga ahli, DPR mengumpulkan dan menjaring masukan publik. Namun, cukup disayangkan, agenda partisipasi itu tidak ditemukan di Pemerintah. Pemerintah menganggap partisipasi itu sudah melekat dengan mekanisme yang berlangsung di DPR. Maka, mengingat RUU Pemilu 2012 merupakan usulan DPR, pemerintah tidak secara khusus melakukan agenda partisipasi masyarakat. Agenda partisipasi masyarakat tidak hanya secara aktif dilakukan DPR. Di pihak lain, masyarakat sipil juga cukup intensif mengusung agenda partisipasi. Melalui serangkaian kegiatan advokasi, beberapa elemen masyarakat sipil terkait memberikan masukan kepada DPR, baik secara langsung ke anggota, fraksi, maupun secara tidak langsung lewat kolaborasi dengan tenaga ahli. Agenda kampanye publik pun tidak luput dari rencana strategis masyarakat sipil dalam mengusung agenda publik. Meski demikian, agenda partisipasi dalam bahasan bab tiga ini merupakan potret partisipasi formil yang telah dilakukan DPR, Pemerintah, dan masyarakat sipil. Bahasan terkait partisipasi ini belum menyentuh pokok bahasan 95 substansi partisipasi itu sendiri: apakah agenda partisipasi yang disediakan tersebut cukup berkontribusi dan menjadi pertimbangan dalam setiap pengambilan kebijakan dalam RUU Pemilu 2012.

Politik Hukum Pemilihan Umum Anggota DPR Tahun 2014

(30)

Sama dengan UU sebelumnya, UU ini menganut asas pemilu langsung, bebas, rahasia, jujur dan adil (LUBER JURDIL).

Secara umum, pengaturan pemilu dalam UU ini sama dengan UU sebelumnya yakni UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD. Pengaturan mengenai pelaksanaan pemilu ini juga sudah cukup lengkap yakni memuat 328 Pasal. Sehingga lebih sedikit kemungkinan adanya penafsiran secara pribadi oleh pemerintah khususnya eksekutif.

Jika pada UU Pemilu sebelumnya, yakni UU No.10 Tahun 2008 hasil penghitungan suara dari TPS langsung diteruskan ke PPK (Panitia Pemilu Kecamatan) untuk dilakukan rekapitulasi, pada UU No.8 Tahun 2012 ini mengalami perubahan. Pengaturan rekapitulasi perhitungan suara pemilu dilakukan secara lebih tertata dan mudah, yakni terdapat pada BAB XI mengenai Perhitungan Suara dalam Pasal 173 s/d Pasal204. Ketentuan tersebut pada pokoknya menyatakan hasil perhitungan suara di TPS sebelum direkap ditingkat kecamatan terlebih dahulu dikirim ke tingkat desa/kelurahan untuk di rekapitulasi oleh PPS. Jadi setelah dari TPS suara akan direkapitulasi secara berjenjang oleh PPS, PDK, KPU Kab/kota, KPU Prov, dan KPU Pusat untuk direkap secara nasional. Sehingga lebih mengurangi kemungkinan adanya permasalahan mengenai transparansi, kepercayaan publik, maupun manipulasi dan ajang jual beli suara antar kandidat dan petugas penyelenggara.

Selain itu dalam Pasal 8 ayat (2) huruf i UU ini juga diatur mengenai adanya kewajiban untuk menyerahkan nomor rekening dana kampanye pemilu atas nama partai politik kepada KPU sebagai salah satu persyaratan dalam pendaftaran partai politik peserta ini. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong akuntabilitas pengelolaan dana kampanye peserta pemilu.

(31)

pada Pasal 251 s/d Pasal 272 melahirkan harapan bahwa penegak hukum akan lebih mudah dalam melakukan pengawalan implementasi UU Pemilu dan bisa menegakkan aturan dengan tepat dan efektif, tanpa adanya lagi multitafsir atau lempar tanggung jawab antar aparat dari berbagai instansi penegak hukum pemilu.

Selain itu, pada Pasal 150 UU No.8 Tahun 2012 ini juga mengatur bahwa data tentang pemilih yang tidak terdaftar pada daftar pemilih tetap maupun daftar pemilih tambahan dapat menggunakan KTP dan Paspor. Sehingga UU ini lebih menjamin bahwa semua warga negara berhak untuk mempergunakan hak pilihnya atau berhak untuk menyumbangkan suaranya dalam pemilu.

Sayangnya dari sekian pebaikan pengaturan UU No.8 Tahun 2012 tersebut, tidak dapat membuat semua orang lantas begitu saja menganggap UU ini sudah sangat responsif. Yang paling menonjol yakni dengan adanya kenaikan Parliamentary Threshold atau ambang batas, yakni dalam Pasal 208 UU No 8 Tahun 2012 ini menyebutkan, “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekyrang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota”. Ambang batas ini mengalami kenaikan dari pemilu sebelumnya yang hanya 2,5% menjadi 3,5% pada UU ini. Kenaikan ambang batas ini oleh berbagai kalangan dinilai kurang demokratis, karena akan menguntungkan partai-partai besar yang sudah pasti akan memperoleh suara banyak, dan bisa membunuh partai-partai kecil yang jumlah suara yang diperolehnya tidak dapat mencapai ambang batas 3,5%.

(32)

memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dmaksud dalam Pasal 208, tidak disertakan pada penghitungan perolehan kursi DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota di setiap daerah pemilihan.”

Sehingga dengan adanya ambang batas ini juga berarti aspirasi rakyat yang memilih partai yang tidak bisa mencapai ambang batas tersebut seperti dianggap tidak ada. Dan itu juga berarti mereka tidak terwakili di legislatif khususnya DPR karena partai pilihan mereka tidak memperoleh kursi di DPR. Karena secara otomatis untuk penghitungan perolehan kursi di DPR pada setiap daerah pemilihan ialah dengan suara sah seluruh partai politik peserta pemilu dikurangi jumlah suara sah partai politik peserta pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sebesar 3,5%.

(33)

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pemilu berfungsi sebagai alat penyaring bagi politikus-politikus yang akan mewakili dan membawa suara rakyat dalam lembaga pewakilan. Mereka yang terpilih dianggap sebagai orang atau kelompok yang mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar melalui partai politik (parpol). Oleh sebab itu, adanya partai politik merupakan keharusan dalam kehidupan politik modern yang demokratis. Pemilihan umum di Indonesia dipenuhi dengan catatan perubahan Undang-Undang (UU). Sejak pemilu pertama yaitu tahun 1955 hingga saat ini setidaknya sudah terseleggara sebelas kali yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009 dan 2014.

2. Politik hukum di Indonesia dibagi menjadi tiga rezim. Yang pertama, politik hukum pemilu pada rezim Orde Lama, pada rezim ini masih dibagi lagi kedalam dua periode yaitu demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin. Dalam demokrasi liberal undang-undang yang dihasilkan tentang pemilu bersifat responsif, namun hal ini berbeda dengan periode demokrasi terpimpin dimana dalam periode ini tidak pernah dikeluarkan peraturan-peraturan perundang-undangan pemilu. Dalam periode Orde Baru karakteristik Undang-Undang Pemilu pada masa Orde Baru yang cenderung bersifat konservatif atau ortodoks, hal ini tidak terlepas dari rezim politik yang pada saat itu berkuasa, yakni pada rezim Orde Baru ini diwarnai dengan ke-otoriter-an yang kental, dimana kekuasaan Soeharto sangat kuat dengan dukungan Golkar dan Militer (ABRI) yang juga merupakan penguasa atau pemilik porsi tertinggi dalam lembaga permusyawaratan/perwakilan. Sedangkan pada masa reformasi politik hukum yang dihasilkan cukup responsif, namun peran KPU masih lemah, karena profesionalitas yang lemah dan inkonsistensi KPU berakibat pada tuduhan tidak independennya KPU dalam menyelenggarakan Pemilu.

(34)
(35)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Budiardjo, Miriam. 1998. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3S Indonesia __________. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Haris, Syamsuddin., dkk. 1998. Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru Sebuah Bunga

Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan PPW-LIPI

MD, Mahfud. 1999. Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi. Yogyakarta: Gama Media Pamungkas, Sigit. 2009. Perihal Pemilu. Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu

Pemerintahan UGM

Mahfud MD, Moh. 2009. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafido Persada.

Setiawan, Benni. http://bertualangkata.blogspot.com/2012/11/pemilu-dalam-optik-politik-hukum.html. Diakses pada tanggal 23 Mei 2015 pukul 10.00 WIB.

Undang-Undang

Undang-Undang Nomor 15 tahun 1969 tentang Pemilu

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai politik dan Golongan Karya

Internet

Churohman, Mifta. 2012. Politik Pemilu pada Masa Orde Baru (Konfigurasi Pemilu Perspektif Politik Hukum di Orde Baru) Diakses pada 20 Mei 2015 dari

http://cjsmansumsel.blogdetik.com/2012/08/13/politik-pemilu-pada-masa-orde-baru-konfigurasi-pemilu-perspektif-politik-hukum-di-orde-baru/

http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_di_Indonesia Diakses pada tanggal 23 Mei 2015 pukul 10.00 WIB.

http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20283450-T29436-Politik%20hukum.pdf diakses pada tanggal 23 Mei 2015 pukul 09.00 WIB

(36)

Referensi

Dokumen terkait

Definisi operasional digunakan untuk menyamakan persepsi mengenai beberapa istilah yang digunakan dalam judul penelitian ini. Pengaruh masalah yang signifikasi penggunaan

Hasil: Didapati, sebanyak 48,4% mahasiswa yang mengalami stres Data yang ada diuji menggunakan uji korelasi Kendall’s Tau, nilai p yang didapatkan adalah 0,136, menunjukkan

|jejakseribupena.com, Soal dan Solusi Simak UI Matematikan Dasar, 2015

Akifer Tertekan (Confined Aquifer) Akifer Tertekan (Confined Aquifer) yaitu aquifer yang seluruh jumlahnya air yang dibatasi yaitu aquifer yang seluruh jumlahnya air yang dibatasi

1) Sebelum kegiatan belajar mengajar guru terlebih dahulu melakukan apersepsi untuk menggali pengetahuan awal siswa. 2) Guru memberikan materi pelajaran menggunakan

Untuk mengetahui kualitas video animasi dan dubing suara yang dihasilkan aplikasi banten Pejati berbasis android, maka pengujian dilakukan dengan memberikan

keragaman di Indonesia merupakan suatu konstruksi sosial yang tidak terpisahkan dari upaya merekayasa kondisi sosial bangsa Indonesia dalam upaya untuk terus melegitimasikan

Peneliti melakukan recana pembelajaran sebelum berkunjung ke Museum Provinsi Kalimantan Barat. Adapun rencana yang akan dilakukan yaitu siswa diminta untuk membawa alat