Desa da Pe ba gu a Masyarakat Adat I klusif
1Oleh
Nurul Firmansyah
Masyarakat adat telah lama mengalami diskriminasi, setidaknya sejak pemberlakukan politik rasial di masa kolonial Belanda. Pada masa itu, pemerintah kolonial memilah populasi penduduk pada golongan-golongan berdasarkan afiliasi rasial, yang terdiri dari golongan Eropa, Timur Asing
(foreign orientals) dan Pribumi. Penggolongan penduduk ini adalah bentuk segregasi sosial yang
membentuk stratifikasi sosial berdasarkan Ras.
Pasca kemerdekaan, Indonesia tidak serta merta mengubah formasi kekuasaan kolonial secara menyeluruh. Airlangga Pribadi (2003) menyebutkan bahwa kebangkitan sentimen-sentimen tribalistik pasca kemerdekaan juga bersifat destruktif dan tak bisa dilepaskan dari perjalanan sejarah Indonesia yang bersifat Ambivalen.
Satu sisi, perjalanan kebangsaan mencoba menghilangkan dan ingin memutus sejarah dari pengalaman traumatis era kolonial sambil membangun ikrar kolektif bagi terwujudnya
kesetaraan, keadilan sosial dan demokrasi. Namun di sisi lain, cita-cita normatif tersebut tidak terwujud. Alih-alih merealisasikan imajinasi bersama sebagai suatu bangsa yang berkeberadaban, realitas perjalanan kenegaraan justru replika dari kekuasaan era kolonial.
Dalam konteks tersebut, persoalan masyarakat adat adalah deskripsi keberlanjutan politik kolonial pada negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Setidaknya terlihat
pada pertama, masyarakat adat terutama yang minoritas adalah kelompok sub-kultur yang mengalami pengisolasian budaya dan sosial dari kelompok budaya dominan; kedua, persyaratan ketat pengakuan hak-hak masyarakat adat mengakibatkan masyarakat adat terutama yang minoritas mengalami pengabaian perlindungan hukum.
Diskriminasi Masyarakat Adat
Pengabaian dan diskriminasi adalah jantung eksklusi sosial terhadap masyarakat adat. Eksklusi sosial mengakibatkan minimnya keterlibatan masyarakat adat dalam proses pembangunan sehingga berpotensi mengurangi kualitas hidup kelompok-kelompok ini.
Setidaknya terdapat dua situasi yang mengakibatkan eksklusi sosial masyarakat adat tersebut, yaitu, pertama, lemahnya pengakuan terhadap hak dan identitas sosial budaya masyarakat adat. Situasi ini mengakibatkan pengabaian perlindungan hukum masyarakat adat. Kedua, lemahnya pengakuan dan pengabaian perlindungan hukum mengakibatkan keterbatasan akses masyarakat adat atas sumber daya, baik sumber daya alam, maupun sumber daya ekonomi dan politik.
Keterbatasan akses atas hak sumber daya alam dan ekonomi mengakibatkan perampasan sumber daya oleh kelompok-kelompok yang lebih kuat, bisa kelompok dominan maupun kelompok bisnis. Sedangkan keterbatasan sumber daya politik terkait dengan minimnya partisipasi politik masyarakat adat pada institusi negara yang mengakibatkan isolasi kelompok-kelompok ini dari keputusan-keputusan politik terkait pembangunan.
Secara umum, dampak eksklusi sosial masyarakat adat adalah pemiskinan yang bersifat struktural. Penyebab utamanya adalah akibat kerangka hukum Indonesia belum sepenuhnya memutus siklus pemiskinan masyarakat adat tersebut.
Dalam konteks masyarakat adat memperlihatkan bahwa skema hukum pengakuan hak
masyarakat adat masih bersyarat. Pengakuan bersyarat hak masyarakat adat tersebut kemudian dipersulit lagi dengan prosedur pengakuannya, yaitu diserahkan pada proses politik di daerah dan bersifat sektoral. Dengan kapasitas ekonomi, sosial dan politik masyarakat adat yang masih lemah, maka pengakuan dan perlindungan hak terasa masih sulit diakses.
Peluang UU Desa
Desa merupakan institusi sosial sekaligus institusi Negara yang paling dekat dengan masyarakat adat. UU Desa secara gamblang menyebutkan perpaduan (hybridasi) institusi sosial dan negara yang bersifat otonom (local self-governance).
Sebagai institusi formal terdepan, desa mempunyai peran strategis dalam pelaksanaan
kelompok-kelompok sosial dan inklusi sosial, terutama dalam hal penerimaan sosial dan
pengakuan identitas adat di tingkat tapak. Artinya, UU Desa adalah salah satu peluang kebijakan untuk memecahkan masalah eksklusi sosial masyarakat adat dengan mengintegrasikan institusi sosial dengan institusi Negara.
Menggunakan institusi desa dalam strategi mendorong inklusi sosial sebagai upaya mereduksi eksklusi sosial masyarakat adat sebaiknya terlebih dahulu memahami tipe relasi antara
masyarakat adat dengan institusi desa. Relasi institusi desa dengan masyarakat adat setidaknya memiliki dua tipe, yaitu pertama, Tipe Desa homogen dengan kecenderungan masyarakat yang relatif seragam (homogen).
Tipe ini memungkinkan masyarakat adat mempunyai kualitas partisipasi secara maksimal untuk mengintegrasikan hak-hak adat dalam desa sebagai institusi negara. Misalnya nagari di Sumatera Barat. Kedua, Tipe desa heterogen dengan kecenderungan posisi masyarakat adat yang minoritas dan inferior dari kelompok masyarakat lainnya. Misalnya komunitas Suku Anak Dalam di Jambi.
Tipe-tipe desa di atas terkait dengan strategi membangun inklusi sosial masyarakat adat pada kerangka desa. Pada tipe pertama, masyarakat adat memungkinkan secara efektif menguatkan kelembagaan desa dan melahirkan kebijakan-kebijakan desa yang menjamin hak-hak adat di desa.
Sedangkan, pada tipe kedua, perlu mendorong dialog yang demokratis antar komunitas untuk membangun pemahaman bersama tentang hambatan-hambatan sosial yang akan dipecahkan dengan memastikan kualitas partisipasi kelompok masyarakat adat minoritas dalam proses pengambilan kebijakan.
Artinya, secara normatif, UU Desa memberikan peluang membentuk kelembagaan desa yang sesuai dengan aspirasi lokal (adat) untuk memperkuat hak dan juga menjamin proses
demokratis, partisipatif termasuk aspirasi pelaksanaan prinsip-prinsip adat dan inklusi sosial dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa.
Jika dihubungkan dalam konteks tipe desa diatas, maka pada tipe desa homogen, UU Desa memberikan peluang kepada pengakuan masyarakat adat dalam bentuk desa adat. Desa adat yang dibayangkan oleh UU Desa adalah yang selaras dengan prinsip partisipasi dan demokrasi berdasarkan adat. Dalam konteks ini, adat diharapkan mampu sebagai penyeimbang proses-proses pelaksanaan pemerintahan, pembangun dan perumusan kebijakan-kebijakan di tingkat desa.
Sedangkan pada kondisi di mana masyarakat adat minoritas berada pada tipe desa heterogen, maka pelaksanaan prinsip-prinsip demokratis dan partisipasi perlu digalakkan. Dialog melalui mekanisme formal musyawarah desa, yang secara normatif diwajibkan untuk melibatkan kelompok-kelompok marjinal atau minoritas ini mesti diterapkan.
Proses-proses formal di tingkat desa ini kemudian beriringan dengan proses informal, seperti melibatkan masyarakat adat minoritas dalam perhelatan kebudayaan dan kegiatan-kegiatan informal lainnya di desa sehingga mendukung proses penerimaan sosial. Pelibatan tersebut kemudian didukung oleh keputusan-keputusan formal desa dalam bentuk kebijakan maupun Peraturan Desa.
Akhir kata, masalah eksklusi sosial masyarakat adat adalah masalah struktural sehingga pemecahaan masalahnya mesti juga dipecahkan dengan cara-cara struktural. UU Desa
memberikan jalan terhadap perubahan struktural tersebut dengan membuka pintu partisipasi dan hak masyarakat adat dalam struktur Negara melalui proses-proses yang demokratis.