• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of As-Syahadatain (Ritual Dan Pandangannya Tentang Islam, Indonesia Dan Radikalisme)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "View of As-Syahadatain (Ritual Dan Pandangannya Tentang Islam, Indonesia Dan Radikalisme)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

As-Syahadatain

(Ritual dan Pandangannya Tentang Islam, Indonesia

dan Radikalisme)

Masduki Duryat IAIN Syekh Nurjati Cirebon Email: masdukiduryat@gmail.com

ABSTRAK

Munculnya berbagai aliran, paham atau bahkan organisasi kemasya-rakatan (Islam) adalah sebuah konsekuensi logis dari interpretasi terhadap Islam dan ajarannya yang universal dan accepted. Yang terpenting kita lakukan adalah sikap tasamuh terhadap paham/ aliran atau ormas tersebut selagi dalam wilayah interpretasi. Salah satu dari sekian banyak organisasi kemasyarakatan—walaupun lebih senang disebut tharikat—itu adalah As-Syahadatain yang mengkalim dirinya bagian dari NU dan ritual keagamaannya juga tidak jauh berbeda dengan warga Nahdhiyin kebanyakan. Hal yang membedakan hanyalah pada asesoris pakaian ritualnya yang mengharuskan menggunakan baju warna putih. Bagi As-Syahadatain, Syahadat memiliki rukun dan memiliki konsekuensi logis bagi pengucapnya—bahkan bisa jadi batal—sehingga mengharuskan untuk mengucapulang syahadatnya.

(2)

ABSTRACT

The emergence of various streams, understandings or even social organizations (Islam) is a logical consequence of the interpretation of Islam and its universal and accepted teaching. The most important

thing we do is the attitude tasamuh against understanding/flow

or mass organizations are in the area of interpretation. One of the many social organizations—although more preferable to be called tarikat—it is the As-Syahadatain who claimed to be part of NU and

its religious rituals are also not much different from most Nahdhiyin

residents. The only difference is in the accessories of ritual clothes that require using a white shirt. For As-Syahadatain, the Shahadat has a harmonious and logical consequence for its pronouncing—it may even be void—requiring it to repeat the shahadah.

Keywords: As-Syahadatain, Its Understanding and its Ritual

A. PENDAHULUAN

Belakangan ini di Indonesia banyak bermunculan paham-paham, aliran dan organisasi keagamaan (Islam) dan tentu di antara mereka memiliki ajaran-ajaran dan pengamalan keagamaan (ritual) yang berbeda.

Dari sekian banyak organisasi keagamaan (Islam) itu di antaranya adalah As-syahadatain. As-syahadatain berasal dari kata syahadat, dan bagi ummat Islam syahadat bukanlah hal yang asing. Syahadat menjadi semacam

blood transfution yang senantiasa menjadi penyemangat dan ‘pembeda’ bagi ummat Islam. Syahadat sebuah perkara essensial dalam kehidupan ummat Islam, syahadat menjadi ruh dan Islam adalah jasadnya. Persoalan ini yang menjadikan orang semakin kritis dalam memaknai syahadat dalam persentuhannya dengan sendi-sendi kehidupan.

Persoalan ini yang menjadi titik lahirnya sebuah majelis As-syahadatain yang memiliki latar belakang menarik untuk dikaji. Banyak ritual-ritualnya yang khas dan kadang menjadi pembeda antara As-syahadatain dengan organisasi keagamaan (Islam) lainnya—bahkan memiliki banyak kegiatan ritual yang sifatnya rutin—harus dilakukan oleh pengikutnya.

(3)

Indonesia—selagi dalam koridor interpretasi—tidak bertentangan dengan nilai-nilai fondamen dalam agama dan negara. Sebagai warga negara yang baik, kita menghargai keragaman, pluralitas aliran/ormas dalam Islam sebagai wujud pengamalan Pancasila, sila pertama dan kebhinekaan yang kita sepakati.

Pada tulisan ini akan diuraikan dan dianalisis tentang As-Syahadatain dari hasil penelitian di Pondok Pesantren Nurul Huda, Munjul Astana Japura Kab. Cirebon untuk menambah wawasan dan informasi tentang pemahaman Majelis As-Syahadatain.

B. KAJIAN TEORI

1. As-Syahadatain; History Panjang

Habib Umar lahir di Arjawinangun pada bulan Rabiul Awwal 1298 H., atau 22 Juni 1888M. Ayahnya, Syarif Ismail adalah da’i berdarah Hadramaut yang menyebarkan Islam di Nusantara. Ibunya asli Arjawinangun, Siti Suniah binti H. Shiddiq, pasangan ini diakruniai empat orang anak; Umar, Qasim, Ibrahim, dan Abdullah. Garis keturunan Habib Umar sampai kepada Nabi Muhammad melalui sayyidina Husein.

Pendidikan tentang agama didapatnya langsung dari ayahnya sendiri, baru setelah itu ia melakukan pengembaraan ke berbagai pesantren di Jawa Barat, dari tahun 1913 hingga 1921. Menyaksikan masyarakatnya kampung Arjawinangun, Cirebon tempat kelahirannya tenggelam dalam kebiasaan berjudi dan perbuatan dosa lainnya, Habib Umar terpanggil untuk memperbaikinya. Dalam sebuah mimpi, ia bertemu Syekh Syarif Hidayatullah—yang lebih terkenal Sunan Gunung Djati—memberinya restu untuk niat baiknya tersebut. Selain itu Syekh syarif Hidayatullah juga mengajarkan hakikat kalimat syahadat kepadanya. Maka, setiap malam Jum’at Habib Umar pun menggelar pengajian di rumahnya.

(4)

Namun, tiga bulan kemudian ia dibebaskan, berkat perjuangan dan perlawanan yang dilakukan oleh jama’ahnya hingga jatuh korban di kalangan antek-antek Belanda.

Sebagai sebuah langkah perjuangan, ia menganggap kepalang basah. Tahun 1940 Habib Umar menjadikan rumahnya sebagai markas jihad melawn pemerintah kolonial Belanda. Bahkan tidak hanya itu, ia juga turun tangan dengan mengajarkan ilmu kanuragan kepada kaum muda.

Bulan Agustus 1940 ia kembali ditangkap Belanda dan pengajiannya ditutup. Enam bulan kemudian, 20 Pebruari 1941 ia dibebaskan. Semangat perjuangan melawan kolonialisme semakin menggelora dalam dada Habib Umar. Maka ia pun banyak melakukan kontak dengan tokoh-tokoh agama di seputar Cirebon, seperti Kyai Ahmad Sujak (Bobos), Kyai Abdul Halim (Majalengka), Kyai Syamsuri (Wanantara), Kyai Mustafa (Kanggraksan), Kyai Kriyan (Munjul).

Tidak hanya pada masa penjajahan Belanda, pada zaman Jepang pun nama Habib Umar melejit lagi sebagai pejuang agama. Ia memperkarakan Undang-Undang yang dikeluarkan Jepang—melarang pengajaran huruf Arab di masyarakat—Undang-Undang ini dianggapnya sebagai alat agar ummat Islam meninggalkan al-Quran.

Pada masa kemerdekaan, tahun 1947 Habib Umar mulai mengibarkan panji-panji syahadatain. Itu bermula dari pengajian yang dipimpinnya yang semula dikenal dengan “Pengajian Abah Umar” menjadi “Pengajian Jamaah Syahadatain”. Ternyata pengajian ini mendapa simpati luas sehingga menyebar ke seluruh Jawa Barat dan Jawa Tengah. Pada tahun 1951 lembaga itu mendapat restu dari Presiden Soekarno.

Tahun 1951, Habib Umar sempat mendirikan Pondok Pesantren As-Syahadatain di Panguragan. Di pondok ini, di samping diajarkan ilmu-ilmu agama juga keterampilan seperti bertani, menjahit, bengkel, koperasi, dan ilmu kanuragan. Habib Umar juga mengajarkan jamaahnya untuk bertawasul kepada Rasulullah, malaikat, ahlul bayt, wali, setiap selesai shalat fardhu. Menurutnya, tawasul menjadi penyebab terkabulkannya suatu doa. Lebih jauh lagi, Habib Umar juga mendirikan Tarekat As-Syahadatain.

(5)

pedoman bagi jamaahnya. Syahadat—menurut Habib Umar—tidak cukup dilafadzkan dimulut, tapi makna juga harus ‘numusi’ ke dalam jiwa. Dengan persaksian dua kalimat syahadat itu, seseorang akan diampuni dosanya, dan terkikis pula anasir-anasir keterikatan pada kebendaan, kecuali hanya kepada Allah. Karyanya yang lain adalah

“Awrad” (1972) menggunakan bahasa daerah yang bermuatan ilmu ahlaq dan tasawuf, aqidah dan pedoman hidup kaum muslimin. Pada 13 Rajab 1393 H., atau 20 Agustus 1973 M., Habib Umar kembali ke hadirat Allah SWT.

2. Struktur Organisasi; Kelengkapan Administratif

Pada awal masa berdirinya jamaah As-Syahadatain belum mempunyai pengajian yng sesifik dan formal. Murid-muridnya hanya menamakannya dengan pengajian ‘Abah Umar’, baru setelah berkembang lebih besar pengajan Abah Umar diperkenalkan oleh muridnya dengan nama tarekat syahadat shalawat. Pada masa pemerintahan orde baru, semua organisasi keagamaan diwajibkan untuk melegalkan organisasi dengan mendaftarkan ke pemerintah. Pelabelan nama jama’ah As-Syahadatain merupakan hasil musyawarah para masyayikh untuk melengkapi secara administratif sebuah organisasi Islam.

(6)

3. As-Syahadatain; Pilihan dalam Bermadzhab

As-Syahadatain bermadzhab sama dengan NU yaitu Imam syafi’i sebab mereka mengakui merupakan bagian dari warga Nahdhiyin. As-Syahadatain menganggap bahwa mereka bukanlah ormas maupun aliran, melainkan majelis yang lebih cenderung kepada thariqat—dan mereka sangat tidak ingin disebut sebagai ormas—lagi-lagi mereka menyebutnya lebih dekat dengan NU. Perbedaannya hanya pada ritual ibadah, misalnya pakaian dalam shalat mewajibkan jama’ahnya untuk memakai pakaian putih tanpa terkecuali.

4. Islam dan Indonesia pada Pandangan As-Syahadatain

As-Syahadatain tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam, mereka melakukan semua kegiatannya sesuai dengan syariat Islam yang berlandaskan pada al-Quran dan As-Sunnah. Mereka tetap menjalankan 5 (lima) rukun Islam yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Seperti kita ketahui hanya ke empat rukun Islam-lah yang sudah pasti memiliki rukun-rukun dan hal-hal yang dapat membatalkan ke empat rukun Islam tersebut. Sedangkan syarat rukunnya syahadat banyak dilupakan—dan cenderung dilupakan—padahal syahadat merupakan pintu gerbang pertama sebelum memasuki rukun Islam yang lain. Akan tetapi As-Syahadatain beranggapan mengenai syahadat pun juga memiliki rukun-rukun dan hal-hal yang dapat membatalkannya. Rukun syahadat yaitu niat, syahid (orang yang menyaksikan), masyhud lahu (meyakini Allah dan RasulNya), masyhud bih (menyaksikan sifat ketuhanan Allah dan RasulNya), masyhud ‘alaih (orang yang membaca syahadat), dan syighat (lafadz kalimat syahadat). Sedangkan salah satu contoh yang dapat membatalkan rukun syahadat ialah menduakan Allah SWT., dengan cincin, obat, dan lain-lain. Jika mereka melakukan hal tersebut, maka rukun syahadatnya batal dan harus mengulang kembali syahadatnya.

(7)

As-Syahadatain tidak menentang Pancasila dan UUD 1945, sebagai bagian dari warga negara Indonesia dan organisasi yang telah resmi terdaftar di Kementerian Agama, As-Syahadatain tetap mengakui dan menghormati Pancasila sebagai Dasar Negara dan UUD 1945. As-syahadatain tidak memiliki tujuan untuk mengubah Dasar Negara Indonesia dan sistem pemerintahan menjadi khilafah.

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. As-Syahadatain Menyikapi Isu Radikalime

As-Syahadatain sangat menentang keras terhadap sikap radikalisme. Mereka menolak paham-paham radikalisme, sebab tujuan mereka bukan ingin merubah sistem pemerintahan dan kenegaraan tetapi ingin memperbaharui suatu aliran atau paham tidak dengan cara kekerasan dan frontal dalam pembinaan ummat.

2. As-Syahadatain dalam Rutinitas Kegiatan

As-Syahadatain memiliki berbagai kegiatan rutin; harian, mingguan, bulanan dan tahunan. Kegiatan itu antara lain:

a. Kegiatan Harian

1) Pagi Hari (shalat tahajud 6 (enam) rakaat, wiridan atisalim, tawasul fajar—satu jam atau setengah jam— shalat subuh diselingi dengan pujian subuh, aurat ba’da subuh sampai waktu isyraq—sampai jam 6 (enam)— yang di dalamnya ada kultum pagi, shalat isyraq—dua rakaat—disambung shalat dhuha—empat rakaat). 2) Siang Hari (azan dhuhur, pujian dzuhur, shalat dzuhur,

wiridan dhuhur).

3) Sore Hari (azan ashar, pujian ashar, shalat ashar, wiridan ashar)

(8)

bala, shalat witir). b. Kegiatan Mingguan

Zaman dulu, setiap hari Kamis jama’ah seluruh Indonesia diwajibkan untuk datang mengaji syahadat untuk menemui Syekh Umar di Panguragan. Kemudian pada setiap malam jumat kliwon mengadakan kliwonan, marhabanan dan juga mengaji syahadat di Panguragan. Namun, seiring perkembangan zaman jamaah sekarang tidak bisa hadir dalam kegiatan rutin tersebut. Dengan pertimbangan kesibukan mereka masing-masing Syekh Umar memberikan ‘rukshah’ dengan hadir pada salah satu kegiatan bulanan saja.

c. Kegiatan Bulanan

Setiap bulan Rajab tanggal 19-20 dan setiap bulan Maulud tanggal 7-8 mereka mengadakan rutinitas tawasul akbar. d. Kegiatan di setiap Daerah

As-Syahadatain memiliki kegiatan di setiap daerahnya masing-masing—sesuai dengan hari yang ditunjuk Syekh Umar— misalnya daerah Munjul (Buntet) mendapat waktu malam minggu dengan mengadakan tawasulan. Ini dimaksudkan untuk orang yang tidak dapat hadir pada kegiatan di Panguragan, mereka dapat melaksanakan marhabanan di mushalla msing-masing.

e. Kegiatan Hari-Hari Tertentu

Pada bulan Muharam, mereka melaksanakan puasa sunnah dan membuat bubur syura’. Sedangkan pada bulan Safar, mereka melaksanakan puasa sunnah dan membuat apem (cimplo).

3. Syarat menjadi Murid Syekh Umar

Untuk menjadi murid Syekh Umar, harus memenuhi beberapa persayaratan, di antaranya:

a. Stempel (ikrar)

(9)

“ya kahfi ya mubiin, ya kahfi ya mughni” sebanyak 44 (empat puluh empat) kali terakhir ditutup bacaan wiridannya dengan satu nafas. Untuk di waktu dhuha mereka membaca wiridan

“ya fattah, ya razzaq, ya rahman, ya rahim” sebanyak 44 (empat puluh empat) kali dan 4 (empat) kali terakhir dalam bacaan wiridannya dengan satu nafas.

c. Mendapatkan shalawat tujina sesuai hari lahir selama 40 (empat puluh) hari dan diberikan jumlah tujinanya sesuai yang ditentukan oleh hari. Contoh: jika orang tersebut lahir di hari Kamis, maka ia membaca shalawat tujina sebanyak 55 (lima puluh lima) kali ba’da isya sampai waktu shalat tahajud.

d. Modal berupa wiridan, sesuai yang diinginkan orang tersebut. Contoh: orang tersebut akrab melakukan wiridan sebanyak satu juta dalam hidupnya, maka orang tersebut harus melaksanakannya

e. Karcis berupa sedekah kepada fakir miskin

D. SIMPULAN

As-Syahadatain merupakan suatu majelis yang mengarah pada tarekat. Tarekat sendiri merupakan petunjuk jalan dan bagi mereka sendiri tarekat ini bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. As-Syahadatain mengklaim dirinya bukan aliran atau ormas, sebab mereka beranggapan bahwa As-Syahadatain dan pengikutnya bagian dari NU. Mazhab yang dianut juga sama dengan NU, serta kegiatan runitas ritual juga tidaklah jauh berbeda dengan warga Nahdhiyin hanya yang membedakan pada segi pakaian yang dikenakannya—dianjurkan menggunakan pakaian berwarna putih.

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Aplikasi Aurad Syahadatain

Al-Jauziyah, Ibnul Qayyim, Abd. Rohim Mu’thi (Terj) 2004. Mencapai Kesempurnaan. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.

Muhammad Jamal, Jamaluddin Kafie (Terj) 1984. Koreksi al Quran Terhadap Ummat. Jakarta : Media Dakwah.

Rajab, Hadarah. 2003. Akhlak Sufi Cermin Masa Depan Ummat. Jakarta : Al Mawardi Prima.

Madjid, Nurcholish. 1992. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.

Referensi

Dokumen terkait

Data yang diperoleh berupa data pengujian dari kode kartu RFID yang telah di program, jika kode kartu sesuai dengan jam yang telah ditentukan maka kartu rfid akan dip

Berdasarkan hasil analisis penelitian, pembahasan dan juga simpulan yang telah di uraikan, terdapat beberapa saran yang dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan

Karena baginya proses mengetahui dalam diri seseorang harus berorientasi pada tindakan yang berinteraksi langsung dengan lingkungan (menekankan keaktifan seseorang dalam

Pelatihan adalah salah satu metode dalam pendidikan orang dewasa atau dalam suatu pertemuan yang biasa digunakan dalam meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan merubah sikap

Tujuan aspek kognitif berorientasi pada kemampuan berfikir yang mencakup kemampuan intelektual yang lebih sederhana, yaitu mengingat, sampai pada kemampuan

Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei langsung di lapangan (sebaran erosi parit, morfometri erosi parit, dan laju infiltrasi) dan beberapa data diperoleh

Dinas daerah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah yang terdapat di setiap daerah contohnya ialah dinas Pendapatan daerah, sedangkan lembaga teknis daerah merupakan unsur

Demikian informasi perkembangan pengawasan, penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa di Bawaslu RI dan seluruh jajaran Pengawas Pemilu sampai dengan hari Rabu