• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah tentang Kaadilan kiri kota

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Makalah tentang Kaadilan kiri kota"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

DIMENSI KEADILAN DALAM PEMBAGIAN HASIL CUKAI ROKOK (REFLEKSI TERHADAP UNDANG-UNDANG CUKAI BARU)1

Oleh: Fathoni, S.H.2

Abstrak

PEMERINTAH baru saja mengesahkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 sebagai perubahan terhadap Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Terbitnya undang-undang ini menuai pro dan kontra dari berbagai pihak, terutama yang berkenaan langsung dengan industri rokok. Perubahan paling krusial berkenaan dengan cukai rokok adalah pengaturan tentang konsep bagi hasil penerimaan negara dari hasil cukai tembakau yang dituangkan dalam Pasal 66A, dimana provinsi penghasil cukai hasil tembakau mendapat pembagian sebesar 2% (dua persen) yang digunakan untuk mendanai peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan/atau pemberantasan barang kena cukai ilegal. Konsep ini dirasakan tidak adil oleh para petani tembakau karena efek domino yang dihasilkan oleh pengaturan undang-undang cukai yang baru ini diprediksi akan berdampak negatif terhadap mereka. Pada efek yang lebih luas, para konsumen rokok juga akan dirugikan dengan penetapan cukai yang sangat besar yaitu sebesar 57 % dari harga dasar sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) undang-undang ini. Penetapan cukai yang besar ini akan berakibat pengusaha rokok akan menekan harga pembelian tembakau sebagai bahan baku utama rokok, sehingga petani tembakau yang akan dirugikan, selain harga rokok juga akan sangat mahal. Pembagian penerimaan cukai rokok yang didasarkan pada daerah yang mempunyai industri rokok juga mengakibatkan daerah penghasil tembakau justru tidak mendapat “jatah” yang adil.

Kata Kunci: Cukai, keadilan, bagi hasil, tembakau, rokok.

Sekilas tentang undang-undang cukai baru

Dibentuknya undang-undang cukai Nomor 11 Tahun 1995, dilatarbelakangi oleh perundang-undangan cukai yang lama warisan pemerintah Hindia Belanda, yang terdiri dari 5 Ordonansi Cukai yang penerapannya pada saat itu, dirasakan tidak adil. Di samping itu juga dikarenakan ke lima Ordonansi Cukai tersebut bersifat :3

a. Diskriminatif;

b. Tidak memenuhi tuntutan pembangunan; dan

c. Tidak dapat memenuhi perannya sebagai alat pembaharuan sosial.

1 Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas Mata Kuliah Filsafat Hukum

2 Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Angkatan 2008

3 Modul Bahan Diklat Teknis “Materi Undang-Undang Cukai”, Pusdiklat Bea dan Cukai Departemen

(2)

Kebijakan hukum nasional kemudian mendorong untuk menciptakan peraturan perundang-undangan cukai yang bersifat nasional, sehingga disusunlah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995. Dalam perkembangannya undang-undang ini pun diubah menjadi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007.

Cukai merupakan pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam undang-undang cukai. Berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 11/1995 Jo. UU Nomor 39/2007 tentang Cukai, maka yang dimaksud dengan barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik, mengandung arti:4

a. konsumsinya perlu dikendalikan ; b. peredarannya perlu diawasi;

c. pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup ; atau

d. pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan, dikenai cukai berdasarkan undang-undang ini.

Atas karakteristik diatas, Prof. Yusriyadi, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro mengategorikan cukai merupakan pungutan yang bersifat pajak.5 Pengaturan tentang cukai sebenarnya dimaksudkan sebagai upaya untuk lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan serta menggali potensi penerimaan cukai6, namun cita rasa keadilan belum dirasakan, terlebih yang berkenaan dengan bagi hasil penerimaan negara atas cukai.

Pro-kontra undang-undang cukai

Pembagian dana hasil cukai rokok yang diatur dalam undang-undang cukai dinilai tidak adil oleh daerah. Pemerintah pusat memberikan dana besar hanya kepada kabupaten/kota yang berbasis industri rokok. Sedangkan kabupaten/kota yang menjadi tempat para petani menanam tembakau hanya mendapat bagian sedikit. Eros Rosidi, Sekretaris Institute for Social and Economic Studies (ISES) Indonesia memberi contoh, Kabupaten Kudus yang menjadi pusat industri rokok mendapat cukai rokok sebesar Rp 70,8 miliar. Sedangkan Temanggung, yang merupakan daerah penghasil tembakau, hanya mendapat jatah Rp 8,5 miliar. "Kesenjangannya terlalu jauh,"7 Pengaturan yang paling mendapatkan perhatian

4 Karakteristik barang ini disebut barang kena cukai.

5 Lebih ekstrim, Prof. Yusriyadi mengistilahkannya dengan “tax of sin”, pajak atas dosa.

6 Lihat konsideran menimbang huruf c Undang-Undang No. 37 Tahun 2007.

(3)

adalah Pasal 66 A Undang Nomor 39 Tahun 2007, tentang dana bagi hasil cukai yang diperuntukkan bagi daerah berbasis industri rokok. Seharusnya daerah penghasil tembakau juga mendapat dana bagi hasil cukai rokok yang memadai, sehingga daerah penghasil tembakau dapat menggunakan dana tersebut untuk program kesejahteraan petani tembakau. Hal ini menjadi sangat vital, karena dalam rantai industri rokok, petani tembakau sering kali berada pada posisi marginal.

Petani tembakau tidak mendapatkan keuntungan yang signifikan karena biaya pengolahan lahan pertanian yang amat mahal dan ketergantungan petani pada alam. Hal ini diperparah dengan adanya sistem “ijon” oleh tengkulak yang mengakibatkan petani tembakau semakin marjinal. Nurtantio Wisnu Brata, Ketua Dewan Pimpinan Daerah APTI Jawa Tengah berpendapat bahwa dalam undang-undang cukai yang baru tersebut ada beberapa pasal yang sangat meresahkan, yaitu menyangkut kenaikan tarif cukai rokok serta larangan menyeluruh untuk promosi rokok. Selain itu, dalam Pasal 5 ayat (1) penetapan cukai yang sangat besar yaitu sebesar 57 % dari harga dasar, naik dibandingkan rata-rata tarif cukai rokok di Indonesia yang saat ini mencapai 37 persen dari harga penjualan. Dengan begitu besarnya cukai yang diambil dan harus diserahkan kepada negara, secara otomatis akan membuat pabrik berusaha membeli tembakau dengan harga murah untuk menghemat biaya produksi.

Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Departemen Keuangan yang menilai bahwa pembatalan Pasal 66 A ayat (1) Undang-Undang Cukai justru akan merugikan daerah penghasil tembakau. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, mengatakan jika pasal itu dibatalkan maka dana bagi hasil 2 persen cukai hasil tembakau justru akan masuk ke kas negara.8 Akibatnya, negara akan kembali membagikan dana itu ke seluruh daerah dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) tanpa memperhitungkan apakah daerah itu menghasilkan tembakau atau tidak. Konsep pembagian penerimaan negara dari cukai tembakau ini diyakini oleh Sri Mulyani justru untuk menerapkan pengelolaan pembagian keuangan negara dengan prinsip keadilan, sesuai potensi daerah masing-masing. Pemerintah memang tidak bisa memberikan bagi hasil cukai hasil tembakau kepada daerah penghasil tembakau. Pasal 66 A ayat (1) membatasi pemerintah membagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil

(4)

tembakau.

Perspektif tentang Keadilan: kontradiksi dengan kepastian ?

Pro kontra tentang prinsip keadilan dalam bidang apapun—termasuk dalam pembagian penerimaan negara kepada daerah—berangkat dari asumsi tentang keadilan itu sendiri. Asumsi yang melatarbelakangi pembicaraan pada bagian ini ialah bahwa hukum bisa—bahkan sering kali bertentangan dengan nilai keadilan. Hal ini menimbulkan pertanyaan; bagaimana kaitan antara keduannya, serta dalam kondisi mana hukum sebagai perangkat paling khas dalam masyarakat modern untuk menciptakan tata kehidupan masyarakat dan melaksanakan kebijakan dapat dipakai untuk tujuan keadilan sosial. Kesenjangan antara kepastian hukum dan keadilan selalu menggejala dalam kehidupan masyarakat yang modern

Dalam kajian hukum, kita sering kali menemukan adagium yang berbunyi:

fiat justisia et pereat mundus (ruat coelum); yang artinya; hukum yang berkeadilan harus dilaksanakan sekalipun dunia harus kiamat (sekalipun juga langit runtuh karenanya). Adagium tersebut menyiratkan suatu komitmen yang sangat tinggi untuk mewujudkan keadilan di dalam kehidupan. Konsepsi keadilan yang direduksi dalam teks undang-undang dipaksakan untuk beradaptasi dengan struktur sosial dan karakteristik problem sosialnya. Untuk alasan inilah, hukum sangat dinamis dalam mewujudkan keadilan sebagai hasil akhir dari nilai yang diperjuangkan. Kita sering kali dihadapkan agar bersikap kritis terhadap kepastian hukum dan keadilan karena memang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tetap memerlukan keduanya. Ketiga unsur fundamental dalam suatu regulasi yang sering kali bertentangan adalah nilai keadilan, kebenaran dan hukum.

(5)

Perdebatan mengenai keadilan terbagi atas dua arus pemikiran, yaitu (1) keadilan metafisik, diungkapkan oleh Plato, kemudian dimensi (2) keadilan rasional yang diwakili oleh Aristoteles. Keadilan yang rasional pada dasarnya mencoba menjawab prihal keadilan dengan cara menjelaskannya secara ilmiah. Sementara keadilan yang metafisik, mempercayai eksistensi keadilan sebagai sebuah kualitas atau suatu fungsi di atas dan di luar makhluk hidup, dan oleh sebab itu tidak dapat dipahami menurut kesadaran manusia berakal.

Jhon Rawls9, seorang filsuf memberikan pemahaman terhadap keadilan yang dirumuskan sebagai berikut:

(1) Setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan yang seluas mungkin sejauh hal itu dapat dipersatukan, diakomodasikan dengan kebebasan yang berderajat keluasan yang sama bagi orang-orang lain.

(2) Ketidaksamaan sosial dan ekonomis harus ditata sedemikian rupa sehingga:

(a) Secara masuk akal dapat diharapkan bahwa ia membawa keuntungan bagi yang paling kurang kedudukannya;

(b) Mereka terkait pada kedudukan-kedudukan dan jabatan-jabatan yang terbuka untuk semua orang

Rawls mengemukakan bahwa keadilan merupakan “fairness” bagi masyarakat. Teori keadilan ini mempertemukan paham liberalisme dan sosialisme yang mengandung asas-asas, “bahwa orang-orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk mengembangkan kepentingan-kepentingannya hendaknya memperoleh suatu kedudukan yang sama pada saat akan memulainya dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi mereka untuk memasuki perhimpunan yang mereka kehendaki. Keadilan menurut Rawls harus memenuhi nilai unsur hak dan unsur manfaat. Dengan nilai keadilan yang demikian, yang dikaitkan dengan unsur hak dan manfaat. Dalam studi hukum positif, tidak dipertanyakan lagi itikad moralnya.

Filsafat Hukum: sebagai pembulat

Benang kusut dalam diskursus antara kepastian – manfaat – keadilan dalam kajian hukum menjadi “pekerjaan rumah” bagi filsafat hukum. Pemahaman kita akan filsafat hukum akan menjadi “pembulat” terhadap pemahaman yang masih berupa kepingan-kepingan tentang hukum, keadilan dan manfaat. Pemahaman yang komprehensif akan menghindarkan kita dari pandangan yang picik tentang hukum dan keadilan. Hukum bukanlah teks-teks mati dalam

(6)

undang-undang, keadilan tidak dapat begitu saja direduksi dalam hukum positif. Dalam kaitannya dengan hal ini, Prof. Satjipto Rahardjo, Guru Besar Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro ini menawarkan perspektif, spirit, dan cara baru dalam “memandang hukum”. Prof. Tjip, menawarkan konsep yang disebutnya dengan “Hukum Progresif”, hukum yang mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani kepentingan masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri. Hukum progresif merupakan pencarian “jati diri hukum” dengan melihat bekerjanya hukum di masyarakat.

Penutup

Gesekan antara nilai kepastian, keadilan dan manfaat dalam hukum tidak dimaksudkan untuk “menandingkan” satu sama lain. Ketiga unsur tersebut harus diakomodir sedemikian rupa, sehingga hukum Indonesia menjadi luwes, tidak kaku. Pemerintah sebagai lembaga pembuat regulasi harus memperhatikan nilai keadilan dalam masyarakat, namun masyarakat juga harus melihat lebih jernih dan jauh dari apriori. Dalam kaitannya dengan pembagian penerimaan negara dari cukai rokok, meskipun pemerintah bermaksud untuk menerapkan nilai keadilan—sebagaimana tertuang dalam konsiderans menimbang undang-undang cukai, namun kepentingan rakyat juga harus diperhatikan.

Kebijakan dalam bentuk regulasi yang akan berdampak luas di masyarakat harus dikaji dengan matang, dengan melihat prediksi-prediksinya secara akurat dan komprehensif. Itulah yang menjadi tugas Filsafat hukum sebagai mata kuliah pembulat, untuk mencari kebenaran terdalam. Wallohu A’lam.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian adalah menganalisa kualitas layanan dan kualitas produk terhadap loyalitas pelanggan pada online shop menggunakan structural equation modeling dengan studi kasus

Berdasarkan pembahasan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan kepala madrasah, motivasi kerja, kepuasan kerja secara parsial memberi pengaruh signifikan atau

Dalam menyusun social marketing, tahap awal yang dilakukan oleh EH Jogja yaitu menentukan tujuan. Tujuan dilakukannya social marketing kampanye “Switch Off” yaitu untuk

Pada akhir bulan Februari 2018, terjadi banjir yang cukup besar di daerah Irigasi Rawa Seputih Surabaya, banjir ini diakibatkan curah hujan yang tinggi yang

Bagaimanapun, jenis kapal layar yang dapat melawan angin dengan jauh lebih baik daripada jenis- jenis perahu tradisional Nusantara maupun full-rigged-ship Eropa itu sempat

Dari 2 (dua) indikator kinerja SKPD yang tercantum dalam RPJMD Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2013-2018 yang menjadi tanggung jawab Badan Diklat Provinsi Sumatera

Minat beli terlihat masih cukup kuat baik dari investor local maupun asing, namun sentiment negative bursa regional dapat menghambat pergerakan indeks sehingga

Pemberlakuan Gardu Toll Otomatis (GTO) di jalan toll mengharuskan para pengguna kendaraan untuk menggunakan kartu electronic toll dan dijelaskan dengan teori