• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match untuk Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas IV SD N 3 Tanjungrejo Kecamatan Wirosari Kabupaten Grob

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match untuk Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas IV SD N 3 Tanjungrejo Kecamatan Wirosari Kabupaten Grob"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Kajian Teori

2.1.1. Pengertian Pembelajaran Matematika

Nurhadi (2004: 8) mengartikan belajar matematika sebagai belajar ilmu pasti. Belajar ilmu pasti berarti belajar bernalar. Keterpaduan antara konsep belajar dan konsep mengajar melahirkan konsep baru yaitu proses belajar mengajar yang dikenal dengan proses pembelajaran. Usman (2004: 4) mengartikan proses belajar mengajar adalah suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu.

Sunarti (2011:10) mendefinisikan belajar matematika adalah proses psikologis berupa kegiatan aktif dalam upaya seseorang untuk memahami atau menguasai materi matematika. Aisyah dkk (2007: 1) menjelaskan bahwa Matematika mengkaji benda abstrak yang disusun dalam suatu sistem aksiomatis dengan menggunakan simbol (lambang) dan penalaran deduktif.

Pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika adalah proses penyajian materi kepada siswa yang dapat mengembangkan pengetahuan dan ketrampian siswa berhubungan dengan penalaran yang logik, bilangan, bersifat eksak, dan terorganisasi secara sistematik yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir, berargumentasi, memberi kontribusi dalam penyelesaian masalah sehari-hari serta memberikan dukungan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

2.1.2. Teori Belajar Matematika

(2)

1. Tahap enaktif; pada tahap ini, dalam belajar, anak-anak menggunakan atau memanipulasi objek-objek konkret secara langsung.

2. Tahap ikonik; pada tahap ini kegiatan anak mulai menyangkut mental yang merupakan gambaran dari objek-objek konkret. Dalam hal ini, anak-anak tidak memanipulasi langsung objek-objek konkret seperti pada tahap enaktif, melainkan sudah dapat memanipulasi dengan memakai gambaran dari objekobjek yang dimaksud.

3. Tahap simbolik; tahap ini merupakan tahap memanipulasi simbol-simbol secara langsung dan tidak ada lagi kaitannya dengan objek-objek.

Tahapan yang disebutkan oleh Brunner, usia anak kelas IV masih dalam tahap ikonik. Tahap ini menjelaskan bahwa kemampuan anak akan tercapai dengan maksimal jika anak akan mempelajari mata pelajaran harus dikaitkan dengan objek yang bersifat nyata meskipun tidak secara langsung tapi siswa diberikan gambaran tentang objek yang mudah ditemui dalam keseharian. Hal ini akan berakibat positif dalam rangka membelajarkan matematika secara efektif. Untuk mendukung usaha pembelajaran yang mampu menumbuhkan kekuatan matematika, diperlukan guru yang profesional dan kompeten.

Teori perkembangan intelektual dari Jean Piaget dalam Muhsetyo (2008: 19) menjelaskan bahwa kemampuan intelektual anak berkembang secara bertingkat atau bertahap yaitu:

1. Tahap sensorimotor (0-2 tahun); pada tahap ini anak mengembangkan konsep pada dasarnya melalui interaksi dengan dunia fisik.

(3)

3. Tahap operasional konkret (7-11tahun) selama tahap ini anak mengembangkan konsep dengan menggunakan benda-benda konkret untuk menyelidiki hubungan dan model-model ide abstrak.

4. Tahap operasi formal (11-15 tahun), pada tahap ini anak sudah mulai berpikir secara abstrak, dia data menyusun hipotesis dari hal-hal yang abstrak menjadi dunia real dan tidak tergantung pada benda-benda konkret. Tahapan usia anak berdasarkan piaget, usia anak kelas IV ada pada tahap operasional konkret. Dalam tahap ini anak dalam rangka mempelajari mata pelajaran khususnya matematika, anak harus dikaitkan dengan media yang masih konkret atau nyata sehingga akan tercapai pembelajaran sesuai tahapan usia anak yang maksimal.

Pendapat teori pembelajaran diatas dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran matematika akan berhasil dan lebih bermakna jika proses pengajaran diarahkan pada konsep-konsep dari struktur-sruktur yang termuat dalam pokok bahasan dengan cara melibatkan siswa secara langsung menggunakan media pembelajaran yang relevan seperti gambar, lambang atau simbol dan benda-benda konkret lainnya sehingga siswa lebih memahami terhadap konsep matematika.

2.1.3. Tujuan Pembelajaran Matematika

(4)

minat untuk mempelajari, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Aisyah dkk (2007: 14) menjelaskan tujuan matematika di sekolah dasar (SD) yaitu agar siswa memiliki kemampuan antara lain:

1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep, dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.

2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, serta menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.

5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Pembelajaran matematika di sekolah tidak hanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan pendidikan matematika yang bersifat material, yaitu untuk membekali siswa agar menguasai matematika dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari tetapi pembelajaran matematika dimaksudkan untuk mencapai tujuan pendidikan matematika yang bersifat formal, yaitu untuk menata nalar siswa dan membentuk kepribadiannya.

2.1.4. Hasil Belajar

a. Pengertian Hasil Belajar

(5)

menghitung, mengoprasikan bilangan-bilangan, menggunakan rumus-rumus, tetapi juga kemampuan dalam bentuk kecakapan, kebiasaan, sikap, penguasaan dan penghargaan dalam diri individu siswa .

Hakikatnya proses belajar yang dilakukan oleh seorang individu memberikan sebuah hasil. Hasil belajar matematika siswa di SD ditunjukkan dengan adanya kemampuan dan pemahaman dalam diri siswa yang hasilnya berupa perubahan pengertahuan, sikap, keterampilan, penerapan konsep-konsep, struktur dan pola dalam matematika sehingga menjadikan siswa berpikir logis, kreatif, sistematis dan kritis dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan konsep dan struktur matematika serta menghubungkannya dalam membuat keputusan, yang pada akhirnya dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Secara umum hasil belajar diharapkan mewujudkan perubahan ke arah yang lebih baik.

Tipe hasil belajar, menurut Sudjana (2011:22), dibagi menjadi tiga bagian yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Ketiganya tidak dapat berdiri sendiri, tetapi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Tingkat hasil belajar kognitif di mulai dari yang paling rendah dan sederhana yaitu hafalan sampai yang paling tinggi dan kompleks yaitu evaluasi.

Pendapat tentang hasil belajar dari para ahli dapat disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan perubahan tingkah laku seseorang yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotor setelah individu yang bersangkutan terlibat dalam proses belajar mengajar.

b. Faktor faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Sastrawijaya (1991:41) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar antara lain :

1) Faktor Eksogin yaitu faktor yang datangnya dari luar diri siswa atau anak. Faktor ini ada yang berasal dari lingkungan dan ada yang bersifat instrumental.

(6)

belajar dan lingkungan sosial, baik yang berwujud manusia dan representatifnya maupun yang berwujud lain, langsung berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar. Sedangkan Faktor instrumental adalah faktor yang adanya dan penggunaannya dirancang sesuai dengan hasil belajar yang diharapkan. Faktor ini terbagi menjadi faktor-faktor perangkat keras. Misalnya: Gedung, alat-alat bermain, meja, kursi dan lainnya dan faktor-faktor perangkat lunak misalnya: Kurikulum, program kerja dan lainnya.

2) Faktor Indogen. Faktor ini dibedakan menjadi dua, yaitu: Kondisi Fisiologis dan Psikologis.

Sriyanti (2003: 10) menjelaskan bahwa kondisi fisik anak yang meliputi kesehatan, kelelahan dan cacat tubuh serta gangguan panca indera, sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan belajar. Belajar tidak hanya melibatkan aspek pikir dan psikologis lainnya, namun yang tak kalah penting adalah adanya keterlibatan aspek fisik. Pengaruh aspek fisik bisa langsung berkaitan dengan aktivitas belajar sendiri, namun juga bisa memberikan pengaruh tidak langsung, bila kondisi jasmani anak mempengaruhi kepribadiannya. Kondisi Psikologis, baik yang bersifat bawaan maupun yang diperoleh, terdiri atas: Faktor intelektif yang meliputi faktor potensial, yaitu kecerdasan dan bakat serta faktor kecakapan nyata, yaitu prestasi yang dimiliki. Faktor non intelektif yaitu unsur-unsur kepribadian tertentu seperti sikap, kebiasaan, minat kebutuhan.

a. Minat merupakan kecenderungan untuk memperhatikan dan berbuat sesuatu.

b. Intelegensi. Tinggi rendahnya intelegensi siswa akan mempengaruhi hasil belajar. Anak dengan intelegensi tinggi akan lebih cepat menangkap pelajaran dari pada anak yang memiliki intelegensi rendah

(7)

d. Motivasi belajar penting bagi siswa dan guru.

e. Kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor. Ketiga kemampuan ini mempunyai pengaruh positif terhadap proses dalam mencapai prestasi belajar.

Pendapat para ahli dan hasil observasi dapat disimpulkan bahwa hasil belajar siswa sangat dipengaruhi oleh model belajar siswa, keadaan kelas yang tidak tertata dan cara mengajar siswa juga dapat mempengaruhinya. Suasana pembelajaran dan fasilitas-fasilitas di kelas juga dapat mempengaruhi hasil belajar siswa tersebut. Permasalahan-permasalahan di atas harus dicarikan solusi. Solusi tersebut dapat berupa penerapan model pembelajaran yang dapat merangsang siswa untuk lebih aktif dalam pembelajaran di kelas.

2.1.5. Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) a. Pengertian

Pembelajaran kooperatif didefinisikan sebagai sistem kerja atau belajar kelompok yang terstruktur. Struktur ini terdiri dari lima unsur pokok, yaitu saling ketergantungan positif, tanggung jawab individual, interaksi personal, keahlian bekerja sama, dan proses kelompok. Siswa dalam pembelajaran kooperatif diarahkan untuk bisa juga bekerja, mengembangkan diri, dan bertanggung jawab secara individual (Dewi, 2009: 202).

(8)

Cooperative learning adalah suatu model pembelajaran dimana dalam sistem belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil yang berjumlah 4 sampai 6 orang secara kolaboratif sehingga dapat merangsang siswa lebih bergairah dalam belajar (Tukiran, dkk., 2011:55).

Pembelajaran kooperatif dikenal dengan pembelajaran secara berkelompok. Belajar kooperatif terdapat struktur dorongan atau tugas yang bersifat kooperatif sehingga memungkinkan terjadinya interaksi secara terbuka dan hubungan yang bersifat interdepedensi efektif di antara anggota kelompok. Hubungan kerja memungkinkan timbulnya persepsi yang positif tentang apa yang dapat dilakukan oleh peserta didik untuk mencapai keberhasilan belajar berdasarkan kemampuan secara individu dan sumbangan dari anggota kelompok lain selama belajar bersama dalam kelompok.

Lie dan Tejada (dalam Chotimah dan Dwitasari, 2009:2) mengemukakan ada lima elemen dasar dalam strategi kooperatif yaitu 1) Saling ketergantungan positif di antara anggota kelompok di mana keberhasilan kelompok sangat tergantung pada usaha setiap anggotanya, tanggung jawab individu dan kelompok. 2) Kelompok bertanggung jawab untuk mencapai tujuan bersama dan setiap individu bertanggung jawab atas pekerjaan masing-masing. 3) Interaksi yang baik. Anggota kelompok bekerja sama untuk memahami materi dengan saling memberikan dukungan dan bantuan. 4) Keterampilan interpersonal dan kelompok. Terjadinya pembelajaran keterampilan sosial yang menyangkut pembelajaran tentang kepemimpinan, pengambilan keputusan, membangun kepercayaan, komunikasi dan penanganan konflik. 5) Kelompok berdiskusi antara satu dengan yang lainnya dalam mencapai tujuan.

b. Karakteristik Pembelajaran Kooperatif

(9)

kelompok kooperatif untuk menguasai materi akademis. 2) Anggota-anggota dalam kelompok diatur terdiri dari siswa yang berkemampuan rendah, sedang, dan tinggi. 3) Masing-masing anggota kelompok kooperatif berbeda suku, budaya, dan jenis kelamin. 4) Sistem penghargaan yang berorientasi kepada kelompok daripada individu.

Langkah-langkah dalam pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1.

Langkah-Langkah Pembelajaran Kooperatif

Tahap Tingkah Laku guru

Tahap 1 Guru menyampaikan tujuan pelajaran yang akan dicapai pada kegiatan pelajaran dan menekankan pentingnya topik yang akan dipelajari dan memotivasi siswa belajar. Menyampaikan tujuan

dan memotivasi siswa

Tahap 2 Guru menyajikan informasi atau materi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau melalui bahan bacaan.

Menyajikan informasi

Tahap 3 Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan memebimbing setiap kelompok agar melakukan transisi secara efektif dan efisien.

Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar

Tahap 4 Guru membimbing kelompokkelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka.

Membimbing

kelompok bekerja dari belajar

Tahap 5 Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.

Evaluasi

Tahap 6 Guru mencari cara-cara untuk menghargai balik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.

Memberikan penghargaan

(10)

kelompok dan membentuk sikap yang sesuai dengan norma, 2) Functioning (pengaturan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk mengatur aktivitas kelompok dalam menyelesaikan tugas dan membina hubungan kerja sama di antara anggota kelompok, 3) Formatting (perumusan) yaitu keterampilan yang diperlukan untuk pembentukan pemahaman yang lebih dalam terhadap bahan yang dipelajari, merangsang penggunaan tingkat berpikir yang lebih tinggi, dan menekankan penguasaan serta pemahaman dari materi yang diberikan, 4) Fermenting (penyerapan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk merangsang pemahaman konsep sebelum pembelajaran, konflik kognitif, mencari lebih banyak informasi, dan mengkomunikasikan pemikiran untuk memperoleh kesimpulan.

c. Prinsip-prinsip Pembelajaran Kooperatif

Sanjaya (2006:246-247) membagi empat prinsip dalam pembelajaran kooperatif yang meliputi:

1. Prinsip Ketergantungan Positif (Positive Interdependence)

Kelompok kerja yang efektif dapat tercipta dari masing-masing anggota kelompok dengan melakukan pembagian tugas. Tugas tersebut disesuaikan dengan kemampuan setiap anggota kelompok. Hakikat inilah yang dimaksud ketergantungan positif, artinya setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas keberhasilan dalam menyelesaikan tugas kelompok dan semua ini memerlukan kerjasama yang baik dari masing-masing anggota kelompok.

2. Tanggung Jawab Perseorangan (Individual Accountability)

(11)

3. Interaksi Tatap Muka (Face to Face Promotion Interaction)

Pembelajaran kooperatif memberi ruang dan kesempatan yang luas kepada setiap anggota kelompok untuk bertatap muka yaitu saling memberikan informasi dan saling membelajarkan. Interaksi tatap muka akan memberikan pengalaman yang berharga kepada setiap anggota kelompok untuk bekerjasama, menghargai setiap perbedaan, memanfaatkan kelebihan dan mengisi kekurangan masing-masing anggota.

4. Partisipasi dan Komunikasi (Participation and Communication)

Pembelajaran kooperatif melatih siswa untuk mampu berpartisipasi aktif dan berkomunikasi. Kemampuan ini sangat penting sebagai bekal mereka dalam kehidupan di masyarakat kelak. Partisipasi dan komunikasi dapat dilakukan siswa dengan dibekali kemampuan berkomunikasi.

d. Unsur-unsur Pembelajaran Kooperatif

(12)

e. Tujuan Pembelajaran Kooperatif

Ide utama dari belajar kooperatif adalah siswa bekerja sama untuk belajar dan bertanggung jawab pada kemajuan belajar temannya. Belajar kooperatif menekankan pada tujuan dan kesuksesan kelompok, yang hanya dapat dicapai jika semua anggota kelompok mencapai tujuan atau penguasaan materi. Manfaat penerapan belajar kooperatif adalah dapat mengurangi kesenjangan pendidikan khususnya dalam wujud input pada level individual (Trianto, 2009: 57).

Ibrahim, et. all. dalam Umi Kulsum (2011: 83-84) merangkum model pembelajaran kooperatif yang dikembangkan untuk mencapai tiga tujuan pembelajaran, yaitu:

1. Hasil belajar akademik

Model ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit. Para pengembang model ini telah menunjukkan bahwa model struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar. 2. Penerimaan terhadap perbedaan individu

Tujuan lain model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas dari orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, dan ketidakmampuannya.

3. Pengembangan keterampilan sosial

Tujuan penting ketiga pembelajaran kooperatif adalah mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi.

(13)

Tabel 2.2

Perbedaan Kelompok Belajar Kooperatif Dengan Kelompok Belajar Konvensional

Kelompok Belajar Kooperatif Kelompok Belajar Konvensional Adanya saling ketergantungan positif,

saling membantu, dan saling memberikan motivasi sehingga ada interaksi promotif.

Guru sering membiarkan adanya siswa yang mendominasi kelompok atau menggantungkan diri pada kelompok.

Adanya akuntabilitas individual yang mengukur penguasaan materi pembelajaran tiap anggota kelompok, dan kelompok diberi umpan balik tentang hasil belajar para anggotanya sehingga dapat saling mengetahui siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang dapat memberikan bantuan.

Akuntabilitas individual sering diabaikan sehingga tugas-tugas sering diborong oleh salah seorang anggota kelompok sedangkan anggota kelompok lainnya hanya mendompleng keberhasilan pemborong .

Kelompok belajar heterogen, baik dalam kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, etnik, dan sebagainya sehingga dapat saling mengetahui siapa yang memerlukan bantuan dan

Kelompok belajar biasanya homogen

siapa yang memberikan bantuan.

Pimpinan kelompok dipilih secara demokratis atau bergilir untuk memberikan pengalaman memimpin bagi para anggota kelompok.

Pemimpin kelompok yang ditentukan oleh guru atau kelompok dibiarkan untuk memilih pemimpinnya dengan cara masing-masing

Keterampilan sosial yang diperlukan dalam kerja gotong royong seperti kepemimpinan, kemampuan, berkomunikasi, memercayai orang lain dan mengelola konflik secara langsung diajarkan.

Keterampilan sosial sering tidak secara langsung di ajarkan

Pada saat belajar kooperatif sedang berlangsung guru terus melakukan pemantauan melalui observasi dan melakukan intervensi jika terjadi masalah dalam kerja sama antara anggota kelompok

Pemantauan melalui observasi dan intervensi sering tidak dilakukan oleh guru pada saat belajar kelompok sedang berlangsung

Guru memerhatikan secara proses kelompok yang terjadi dalam kelompok-kelompok belajar

(14)

Pendekatan kooperatif dalam pembelajaran merupakan model pembelajaran dengan menggunakan sistem pengelompokan atau tim kecil antara empat sampai enam orang yang mempunyai latar belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, atau suku yang berbeda. Model pembelajaran cooperative learning tidak sama dengan sekedar belajar dalam kelompok. Ada unsur-unsur dasar pembelajaran cooperative learning yang membedakannya. Pelaksanaan prosedur model cooperative learning dengan benar akan memungkinkan pendidik mengelola kelas dengan lebih efektif.

2.1.6. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match a. Pengertian

Suprijono (2009:45) menjelaskan bahwa “model merupakan bentuk representasi akurat sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang atau kelompok orang mencoba bertindak berdasarkan model itu . Model pembelajaran menurut Trianto (2007:5) adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar.

(15)

b. Langkah-langkah Tipe Make A Match

Suyatno (2009: 51) menjelaskan tentang langkah-langkah Tipe Make A Match antara lain:

1) Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang cocok untuk sesi review, sebaliknya satu bagian kartu soal dan bagian lainnya kartu jawaban.

2) Siswa mendapat satu buah kartu.

3) Siswa memikirkan jawaban atau soal dari kartu yang dipegang

4) Siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya atau soal jawaban.

5) Siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi poin.

6) Satu babak kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya.

7) Kesimpulan. 8) Penutup.

Aturan main tipe Make a Match tersebut dilakukan secara bervariasi, yaitu dapat dilakukan di dalam atau diluar ruangan sehingga siswa tidak bosan dan tetap menarik.

c.Kelebihan dan Kekurangan Model Make A Macth

Huda (2012: 253-254) menjelaskan tentang kelebihan dan kekurangan model Make A Match sebagai berikut:

Kelebihan Model Make A Macth yaitu dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa, baik secara kognitif maupun fisik, karena ada unsur permainan, pembelajaran ini menyenangkan, meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari, meningkatkan motivasi belajar siswa, efektif sebagai sarana melatih keberanian siswa untuk tampil presentasi,efektif melatih kedisiplinan siswa menghargai waktu untuk belajar.

(16)

kekurangan yaitu: Model ini apabila tidak di rancang dengan baik, maka banyak waktu terbuang. Penerapan awal model ini, banyak siswa yang malu bisa berpasangan dengan lawan jenisnya, Guru harus hati-hati dan bijaksana saat memberi hukuman pada siswa yang tidak mendapat pasangan, karena mereka bisa malu dan apabila guru tidak mengarahkan siswa dengan baik, saat presentasi banyak siswa yang kurang memperhatikan. Pembelajaran ini secara terus menerus digunakan akan menimbulkan kebosanan. Penerapan Model pembelajaran kooperatif tipe make a match dalam meningkatkan hasil belajar siswa dibuktikan dengan partisipasi dan aktivitas siswa di kelas. Penerapan model ini dimulai dari teknik yaitu siswa mencari pasangan soal atau jawaban sebelum batas waktunya, dan bagi siswa yang dapat mencocokkan kartu diberi poin.

d. Teori Belajar yang Mendukung Model Make A Macth

Banyak sekali teori belajar menurut literatur psikologi dan para ahli, namun yang paling penting dalam model Make A Match teori belajar yang mendukung yaitu teori konstruktivisme. Sardiman (2007: 37) mengartikan Konstruktivisme sebagai salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita itu adalah kontruksi kita sendiri.

Trianto (2007: 13) menjelaskan menurut teori kontruktivisme, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberi kesempatan siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan cara mereka sendiri untuk belajar.

(17)

siswa, dan Guru sebagai fasilitator. Secara umum, prinsip-prinsip tersebut berperan sebagai referensi dan alat refleksi kritis terhadap praktik, pembaruan dan perencanaan pendidikan.

Sani (2013: 22) menyebutkan ada beberapa kelebihan dan kekurangan Teori konstruktivisme yaitu: Kelebihan teori konstruktivismeantara lain: 1) Peserta didik terlibat secara langsung dalam membangun pengetahuan baru, mereka akan lebih paham dan dapat mengaplikasikannya. 2) Peserta didik aktif berpikir untuk menyelesaikan masalah, mencari ide dan membuat keputusan. 3) Selain itu, murid terlibat secara langsung dan aktif belajar sehingga dapat mengingat konsep secara lebih lama.

Kekurangan teori konstruktivisme antara lain: 1) Kadang guru itu tidak memperhatikan muridnya keseluruhan. 2) Guru sebagai pendidik itu sepertinya kurang begitu mendukung dalam proses pembelajaran. 3) Peserta didik apabila tidak dilibatkan dalam pembelajaran praktik maka daya ingat dan pengetahuan peserta didik tidak akan berkembang dengan baik, dan apabila diberi materi baru pasti materi sebelumnya akan dilupakan.

2.2.Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

(18)

kognitif Kimia kelas kontrol.

Pratama (2013) dalam penelitiannya yang berjudul Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Sejarah Kebudayaan Islam Dengan Menggunakan Model Make A Match Pada Siswa Kelas V MIN Rejotangan Tulungagung . Hasil penelitian dalam skripsi tersebut adalah dalam penggunaan model pembelajaran Make A Match dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dalam pembelajaran SKI, prestasi belajar yang pada awalnya rata-rata sebesar 60 dan pada siklus I terjadi peningkatan 13, 66 % dan pada siklus II terjadi peningkatan 12,67 %. Dari penggunaan model pembelajaran Make A Match dapat dilihat yaitu : Suasana kegembiraan akan tumbuh dalam proses pembelajaran yaitu kerjasama antar sesama siswa terwujud dengan dinamis. Munculnya dinamika gotong-royong diseluruh siswa, Siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan.

(19)

pada kriteria yang sangat baik.

Mardliyah (2010) dalam skripsinya yang berjudul Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Metode Make A Match untuk Meningkatkan Perhatian Siswa Pada Pembelajaran Matematika di SMP YMJ Ciputat (Penelitian Tindakan Kelas di Sekolahan YMJ Ciputat)”. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui apakah penerapan model pembelajaran kooperatif metode Make A Match dapat meningkatkan perhatian siswa pada pembelajaran Matematika,m engetahui respon siswa terhadap penerapan model pembelajaran kooperatif metode Make A Match, mengetahui peningkatan perhatian siswa dan peningkatan hasil belajar matematika melalui penerapan model pembelajaran kooperatif metode Make A Match. Hasil penelitiannya disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif metode Make A Match dapat meningkatkan perhatian siswa dan dapat meningkatkan hasil belajar matematika di SMP YMJ Ciputat.

Rofiqoh (2010) dalam skripsinya yang berjudul Efektifitas Pembelajaran Kooperatif Model Make A Match dalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran IPS . Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari hasil belajar siswa terdapat peningkatan hasil belajar pada setiap siklus yaitu ditunjukkan dengan nilai rata-rata pada siklus 1 sebesar 47%, sedangkan pada siklus 2 menjadi 65%. Pada siklus 3 terjadi peningkatan sebesar 77%. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terjadi keberhasilan dengan adanya peningkatan aktivitas dan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPS materi hakikat manusia sebagai makhluk sosial dan ekonomi melalui pembelajaran kooperatif model Make A Match.

(20)

siswa kelas IV SDN 03 Tanjungrejo Kecamatan Wirosari Kabupaten Grobogan.

2.3. Kerangka Pikir Penelitian

Pengajaran mata pelajaran matematika kelas IV SDN 3 Tanjungrejo Kecamatan Wirosari Kabupaten Grobogan masih belum dilaksanakan secara optimal karena belum memanfaatkan metode pendekatan dan model pembelajaran yang ada, masih menggunakan metode ceramah klasikal. sehingga aktivitas belajar matematika terlihat kurang menarik, membosankan dan sering ramai pada saat pembelajaran berlangsung artinya siswa kurang tertarik untuk mempelajari matematika sehingga keaktifan siswa di dalam kelas dan interaksi antar siswa maupun guru masih kurang dan siswa cenderung pasif dengan mengikuti perintah guru saja. Hal ini berdampak juga pada hasil belajar siswa yang kurang maksimal. Peneliti berisiatif menggunakan model pembelajaran baru dengan menerapkan model pembelajaran Make A Match. Peneliti mengharapkan agar peserta didik lebih aktif didalam kelas dan interaksi atau komunikasi antar siswa maupun guru dapat lebih terjalin dengan baik, sehingga pembelajaran akan lebih efektif dan hasil belajar siswa akan meningkat.

Peneliti tertarik untuk mengenalkan tentang kegiatan belajar mengajar matematika menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Make A Match karena mengingat pentingnya mata pelajaran matematika yang bisa membuat siswa untuk tertarik belajar matematika sehingga dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas IV di SDN 3 Tanjungrejo pada pokok bahasan menentukan kelipatan persekutuan terkecil (KPK) dan faktor persekutuan terbesar (FPB). Model ini membuat siswa bisa bermain sekaligus belajar dengan suasana yang menyenangkan.

(21)

Gambar 2.1.

Gambar 2.1

Bagan Kerangka Pikir Penelitian

Kondisi Awal - Siswa tidak mendengarkan penjelasan guru - Siswa berbicara dengan temannya saat

pelajaran berlangsung - Siswa kurang konsentrasi

- Siswa mengalami kesulitan dalam memahami materi

- Hasil belajar siswa kurang dan rendah dibawah KKM

Tindakan

Make A Match 1. Siklus 1

- Observasi

- Mempersiapkan skenario pembelajaran - Menyiapkan Materi Pembelajaran - Menyiapkan tes formatif

- Instrumen Penilaian 2. Siklus II

- Peneliti memotivasi dan memancing pertanyaan kepada siswa

- Memberi penjelasan dan mengarahkan siswa - Memberi kesempatan siswa untuk mengenal

temannya agar tidak malu

- Memberi instruksi untuk menyimak pelajaran - Memotivasi siswa agar percaya diri

- Latihan dan pengulangan materi

- Memberikan batas waktu dan point dalam mencari pasangan kartu

Hasil Akhir - Siswa lebih mudah memahami materi

- Siswa lebih aktif dalam kegiatan pembelajaran - Siswa dapat bertukar pikiran, saling bekerja

sama dalam mencari pasangan

- Siswa lebih senang membahas soal secara bersama dan mencari cara penyelesaiannya - Kegiatan belajar model Make A Match

mendapat respon sangat positif

(22)

2.4. Hipotesis Penelitian

Gambar

Tabel 2.1.
Tabel 2.2 Perbedaan Kelompok Belajar Kooperatif Dengan Kelompok Belajar
Gambar 2.1. Latihan dan pengulangan materi

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang telah dilaksanakan dalam dua siklus, dapat disimpulkan bahwa penggunaan media Kartu Aksara dapat meningkatkan ke- terampilan

m Tugas mandi ri mampu menjelaskan dan menguraikan secara rinci proses gangguan system pencernaan dan Penyakit pada sistem pencernaan mampu menjelaskan gangguan

Dinas Pendidikan Kabupaten memilih dan menetapkan satu orang guru laki-laki dan satu orang guru perempuan sebagai calon penerima penghargan guru sekolah dasar berdedikasi

No Nama Penyedia Hasil Evaluasi Administrasi 1 KAP.. Kumalahadi,Kuncara,Sugen g Pamudji

elastisitas permintaan, persaingan, biaya Begitu juga dengan saluran distribusi yang dilakukan dengan asal-asalan juga berpengaruh terhadap volume penjualan yang

ern issues by way of trying to establish a new Qur'ànic exegesis, void of the heary classical reliance on tadition in the classical commen- taries of the Qur'àn. In

Citra merek berpengaruh signifikan terhadap loyalitas merek pada MY Salon di Kota Gresik, sehingga MY Salon Gresik harus merubah desain brosurnya karena brosur MY

Membuktikan bahwa adanya amilum pada daun sebagai hasil fotosintesis. - Menutup sebagian daun ubi kayu yang belum terkena sinar