DETERMINAN PERILAKU OPORTUNISTIK PENYUSUNAN ANGGARAN (Studi Pada Kabupaten/Kota di Jawa Tengah)
Call for papers SNA XVII Mataram
DETERMINAN PERILAKU OPORTUNISTIK PENYUSUNAN ANGGARAN (Studi Pada Kabupaten/Kota di Jawa Tengah)
Havid Sularso
Purpose –This study analyzes factors that determine the behavior of opportunistic budgeting at the district/city in Central Java. There are several facts related irregularities (fraud) in the use of APBD, where the deviation of the budgeting process begins allegedly because the practice of opportunistic behavior of stakeholders.
Design/methodology/approach – Objects in this study is the opportunistic behavior of budgeting (OPA), income (PAD), Excess of Budget Financing (SiLPA), General Allocation Fund (DAU) at the district/city in Central Java. Using multiple regression analysis techniques, research based on panel data (time series and cross-sectional), the form of PAD, SiLPA, DAU and the spread of expenditures in the budget at the district/city in Central Java fiscal year 2010-2012.
Findings –This study found the evidence to support several previous studies associated with the factors that determine the behavior of opportunistic budgeting at the district/city in Central Java. The findings of this study it can be concluded that 1) the greater the amount of revenue (PAD) that is owned by Regency/City in Central Java, the greater the opportunistic behavior of budget preparation, 2) the greater amount of Excess of Budget Financing (SiLPA) in APBD, the greater the budgeting opportunistic behavior, 3) the greater the amount of DAU, the greater the opportunistic behavior of budgeting.
Practical Implication – Budgeting opportunistic behavior can be reduced by improving the planning system, i.e. by carrying out participatory planning involving the community so that a more transparent budget planning and aspirational. Budgeting opportunistic behavior occurs because of chance or as a reaction to weak regulation, therefore regulations should be made more firm and clear.
1. PENDAHULUAN
Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang menentukan perilaku oportunistik
penyusunan APBD pada Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Motivasi yang mendasari
penelitian ini karena secara faktual banyak penyimpangan(fraud) dalam penggunaan dana
APBD, dimana penyimpangan tersebut diawali dari proses penyusunan anggaran yang
ditengarai karena praktek perilaku oportunistik para pemangku kepentingan. Berdasarkan
data pada Polda Jawa Tengah tahun 2012 terdapat 26 pejabat pemerintahan yang
tersangkut kasus penyimpangan APBD, tahun 2011 tercatat 78 kasus penyimpangan
APBD dengan 86 tersangka, dimana jumlah tersebut naik sekitar 143% dari tahun 2010.
Data lain yang dilansir oleh Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra)
menyatakan adanya penyalahgunaan dana APBD 2012 di seluruh Indonesia sebesar Rp 21
triliun.
Dugaan adanya miss allocation dalam anggaran terjadi karena politisi memiliki
kepentingan pribadi dalam penganggaran (Keefer & Khemani, 2003; Mauro, 1998; Tanzi
& Davoodi, 1997). Alokasi sumberdaya dalam anggaran mengalami distorsi ketika politisi
berperilaku korup, terutama terkait dengan peluang untuk mendapatkan keuntungan
pribadi pada proyek-proyek yang akan dibiayai dengan anggaran pemerintah, yakni
pengalokasian akan lebih banyak untuk proyek-proyek yang mudah dikorupsi (Mauro,
1998) dan memberikan keuntungan politis bagi politisi (Keefer dan Khemani, 2003).
Proses penyusunan APBD merupakan sebuah proses yang cukup rumit dan
mengandung muatan politis yang cukup signifikan. Proses pengalokasian dalam anggaran
merupakan ruang bagi legislatif atau DPRD untuk memasukkan kepentingan konstituen
yang diwakilinya. Disisi lain sesuai Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah, pejabat eksekutif lebih dominan dan memiliki wewenang
serta tanggung jawab yang lebih besar dalam menyusun APBD. Eksekutif juga memiliki
power yang lebih besar karena memiliki pemahaman terhadap birokrasi dan administrasi,
seluruh aturan dan perundang-undangan yang melandasinya serta hubungan langsung
dengan masyarakat yang telah berlangsung dalam waktu lama mengakibatkan penguasaan
informasi eksekutif lebih baik dari pada legislatif (Florensia, 2009). Selain lebih dominan
dalam proses penyusunan anggaran, pejabat eksekutif juga bertindak sebagai pelaksana
anggaran, sehingga memiliki informasi keuangan yang lebih baik dibanding pejabat
legislatif. Hal inilah yang memberi peluang kepada penyusun anggaran baik legislatif
maupun eksekutif untuk berperilaku oportunistik. Perilaku oportunistik ini merupakan
sekalipun (Maryono, 2013). Perilaku ini akan mengeksploitasi peluang keuntungan jangka
pendek dengan mengorbankan keuntungan jangka panjang.
Pelaksanaan otonomi daerah memberi kewenangan kepada daerah untuk menggali
potensi pendapatannya seluas mungkin. Terdapat dua komponen utama pendapatan daerah
yakni Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Perimbangan. Dalam penentuan PAD
legislatif akan mendorong eksekutif untuk selalu meningkatkan target sehingga dapat
meningkatkan alokasi untuk program yang mendukung kepentingannya. Hal ini ditengarai
sebagai perilaku oportunistik.
Masalah lain dalam pengalokasian anggaran adalah tidak diperhatikannya jangka
waktu penetapan perubahan APBD, yang biasanya dilakukan beberapa bulan sebelum
berakhirnya tahun anggaran. Hal ini menjadikan anggaran tidak efektif atau bahkan tidak
terserap sepenuhnya saat tahun anggaran berakhir, dan berdampak pada tingginya SiLPA
(Sisa Lebih Perhitungan Anggaran), dimana dana yang seharusnya dapat digunakan untuk
peningkatan kesejahteraan rakyat ternyata tidak terserap sepenuhnya. SiLPA ini memiliki
pengaruh pada pengalokasian APBD periode selanjutnya, karena SiLPA akan digunakan
untuk menyeimbangkan anggaran yaitu dengan menutupi pengeluaran pembiayaan.
Peluang perilaku oportunistik lain ditengarai juga terjadi pada sumber pendapatan
daerah yang berbentuk dana transfer pemerintah pusat, contohnya adalah Dana Alokasi
Umum (DAU). DAU berperan sebagai pemerata fiskal antardaerah (fiscal equalization)
dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk
dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah. DAU merupakanblock grant yakni hibah
yang penggunaannya cukup fleksibel atau tidak terikat dengan program pengeluaran
tertentu (Maryono, 2013). Dengan demikian kenaikan jumlah DAU dapat dimanfaatkan
sebagai ruang untuk mengusulkan alokasi belanja yang baru, yang bisa berbeda dengan
prioritas pengalokasian pada tahun sebelumnya.
Berdasarkan fenomena tersebut diatas, penelitian ini akan menguji beberapa
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Apakah jumlah PAD berpengaruh terhadap perilaku oportunistik penyusunan
anggaran Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah?
2. Apakah jumlah SiLPA berpengaruh terhadap perilaku oportunistik penyusunan
anggaran Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah?
3. Apakah jumlah Dana Perimbangan yaitu DAU berpengaruh terhadap perilaku
2. KERANGKA TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Perubahan PAD berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku oportunistik
legislatif (Abdullah dan Asmara, 2006; Florensia, 2009). Secara konseptual perubahan
APBD akan berpengaruh terhadap belanja, namun tidak selalu seluruh tambahan
pendapatan tersebut akan dialokasikan dalam belanja. Perubahan APBD menjadi sarana
bagi legislatif dan eksekutif untuk merubah alokasi anggaran secara legal. Perilaku
oportunistik legislatif dan eksekutif saat perubahan APBD dapat mengakibatkan terjadinya
misalokasi anggaran belanja pemerintah. Proporsi PAD yang rata-rata hanya 10% dari total
penerimaan daerah memiliki kecenderungan bertambah saat perubahan anggaran. Hal ini
membuka peluang bagi legislatif untuk merekomendasikan penambahan anggaran bagi
program dan kegiatan yang menjadi preferensinya (Fathony, 2011).
SiLPA sebenarnya merupakan indikator efisiensi, karena SiLPA akan terbentuk
bila terjadi surplus pembiayaan neto. SiLPA yang merupakan penerimaan daerah yang
bersumber dari sisa kas tahun anggaran sebelumnya untuk menutupi defisit anggaran
apabila realisasi pendapatan lebih kecil daripada realisasi belanja. Hasil penelitian
Florensia(2009) menyatakan bahwa SiLPA berpengaruh negatif terhadap perilaku
oportunistik legislatif (OL). Namun demikian, penelitian yang dilakukan Ardhini (2011)
bertolak belakang dengan hal tersebut dimana SiLPA berpengaruh positif terhadap belanja
modal pada periode anggaran selanjutnya, yang berarti dapat berpengaruh pada alokasi
belanja tahun berikutnya sehingga hal ini memberi ruang bagi penyusun anggaran untuk
mengalokasikan free cash flow tersebut untuk melakukan perilaku oportunistik.
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang berasal dari APBN yang
dialokasikan dengan tujuan pemerataan keuangan antar daerah untuk membiayai
kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU memiliki
proporsi yang paling besar pada penerimaan daerah, dimana seharusnya pemerintah daerah
secara leluasa dapat menggunakan dana ini untuk memberi pelayanan yang lebih baik
kepada masyarakat. Keleluasaan tersebut berpontensi membuka ruang bagi perilaku
oportunistik baik pada legislatif maupun eksekutif. Fathony (2011) menunjukkan bahwa
terdapat hubungan positif dana alokasi umum dengan perilaku oportunistik. Demikian juga
dengan penelitian yang dilakukan oleh Abdullah (2012) dan Maryono (2013) yang
menyatakan bahwa dana perimbangan (Dana Alokasi Umum) merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi perilaku oportunistik legislatif.
Perilaku oportunistik merupakan perilaku yang berusaha mencapai keinginan
oportunistik adalah kekuatan (power) dan kemampuan (ability) (Maryono, 2013). Perilaku
oportunistik mengarah pada terjadinya adverse selection (menyembunyikan informasi) dan
moral hazard (penyalahgunaan wewenang).
Berdasarkan bukti empiris tersebut di atas, penelitian ini mengembangkan sebuah
model penelitian dan hipotesis sebagaimana gambar 1.
Gambar 1. Model Penelitian
Hipotesis:
H1 : Semakin besar jumlah PAD semakin besar perilaku oportunistik penyusunan anggaran Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah.
H2 : Semakin besar jumlah SiLPA semakin besar perilaku oportunistik penyusunan anggaran Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah.
H3 : Semakin besar jumlah DAU semakin besar perilaku oportunistik penyusunan anggaran Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah.
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian danTeknik Sampling
Obyek dalam penelitian ini adalah perilaku Oportunistik Penyusunan Anggaran
(OPA), Pendapatan Asli Daerah (PAD), Selisih Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA),
Dana Alokasi Umum (DAU) pada Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Populasi dalam
penelitian ini adalah 135 APBD Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun
2010-2012, dimana semua populasi akan digunakan sebagai sampel. Jenis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data panel (time series dan cross sectional), berupa data PAD,
SiLPA, DAU dan spread (penyebaran) anggaran belanja dalam APBD Kabupaten/Kota di
Provinsi Jawa Tengah tahun anggaran 2010-2012.
PAD
SiLPA
DAU
Perilaku Oportunistik
3.2. Operasionalisasi dan Pengukuran Variabel
1) Variabel Perilaku Oportunistik Penyusunan Anggaran (OPA)
Perilaku oportunistik merupakan perilaku yang berusaha mencapai keinginan dengan
segala cara bahkan cara ilegal sekalipun. Faktor yang mempengaruhi perilaku
oportunistik adalah kekuatan (power) dan kemampuan (ability) (Maryono, 2013).
Perilaku oportunistik mengarah pada terjadinya adverse selection (menyembunyikan
informasi) dan moral hazard (penyalahgunaan wewenang). Tahap pengukuran OPA
dikembangkan dari penelitian Abdullah dan Asmara (2006) yaitu:
Spread(Δ) = APBD tahun berjalan (t) – APBD tahun sebelumnya (t-1)
ΔPdk: speadanggaran pendidikan, Δkes : spread anggaran kesehatan,
ΔPU: spread anggaran pekerjaan umum, Δperum : spread anggaran perumahan,
Δpen_ruang : spread anggaran penataan ruang, Δpbgnan: spread anggran
pembangunan,
Δperhub :spread anggaran perhubungan, Δlinghidup :spread anggaran lingkungan
hidup,
Δprtnhan :spread anggaran pertanahan, Δpendcapi:spreadanggaran kependudukan
dan capil,Δprmpnanak :spread anggaran perempuan dan anak, ΔKBklg:spread
anggaran Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera,Δsos :spread anggaran
sosial,
Δktngkrjn:spread anggaran ketenagakerjaan,ΔkopUKM :spread anggaran koperasi
dan UKM,Δpenmodal :spread anggaran penanaman modal,Δkbdyn:spread
anggaran kebudayaan,ΔpmdOR :spread anggaran pemuda dan olah raga,Δksbgpol
:spread anggaran kesatuan bangsa dan politik, Δotda:spread anggaran otonomi
daerah,Δpembermasy :spread anggaran pemberdayaan masyarakat,Δstat :spread
anggaran statistik,
Δarsip :spread anggaran kearsipan, Δkomin :spread anggaran komunikasi dan
informasi,
Δprpus :spread anggaran perpustakaan, Δprtnian :spread anggaran pertanian,
Δkhtanan :spread anggaran kehutanan, Δesdm :spread anggaran energi dan
sumberdaya mineral, Δprwst :spread anggaran pariwisata, Δklautan :spread
anggaran kelautan,
Δperdag :spread anggaran perdagangan, Δindus :spread anggaran industri,
2) Pendapatan Asli Daerah (PAD)
PAD adalah Pendapatan Asli Daerah yang terdiri dari Hasil Pajak Daerah, retribusi
Daerah, Pendapatan dari Laba Perusahaan Daerah dan lain-lain. (Florensia, 2009)
PAD = spread PAD APBD tahun berjalan (t) - APBD tahun sebelumnya (t-1)
3) Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA)
Sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya (SiLPA) mencakup
pelampauan penerimaan PAD, pelampauan penerimaan dana perimbangan, pelampauan
penerimaan lain-lain pendapatan daerah yang sah, pelampauan penerimaan pembiayaan,
penghematan belanja, kewajiban kepada pihak ketiga sampai dengan akhir tahun
terselesaikan dan sisa dana kegiatan lanjutan. (Florensia, 2009)
SiLPA = spread SiLPA APBD tahun berjalan (t) - APBD tahun sebelumnya (t-1)
4) Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang berasal dari APBN, yang
dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk
membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana
Alokasi Umum (DAU) adalah transfer yang bersifat umum dari Pemerintah Pusat ke
Pemerintah Daerah untuk mengatasi ketimpangan horisontal dengan tujuan utama
pemerataan kemampuan keuangan antar daerah (Halim, 2007).
DAU = spread DAU APBD tahun berjalan (t) ke APBD tahun sebelumnya (t-1)
3.3. Teknik Analisis Data
1) Statistik deskriptif
2) Uji asumsi klasik berupa uji normalitas, uji multikolonearitas, uji heterokedastisitas,
uji autokorelasi
3) Analisis Regresi Berganda
OPA= α + β1PAD+ β2SiLPA+ β3DAU + e
Dimana,
PAD : Pendapatan Asli Daerah
SiLPA : Sisa Lebih Perhitungan Anggaran
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Rerata 167.604.706.460 17.645.004.676 4.825.871.429 93.692.784.323
Standar Deviasi 55.715.465.015 33.054.539.400 44.542.245.752 2.683.201.794
Minimum 72.595.423.500 - 2.570.011.840 -201.330.000.000 40.298.843.500
Maksimum 333.490.735.002 183.272.815.851 70.745.000.000 148.339.827.000
Tabel 2. Hasil Uji Asumsi Klasik
Jenis Uji Hasil Simpulan
Panel A. Uji Normalitas
Kolmogorov-Smirnov asymp.sig (2-tailed)
0,653
0,787 > α 0,05 data berdistribusi normal Panel B. Uji Multikolinearitas
Nilai residual > α (sig. > 0,05) model regresi tidak terjadi gejala
heteroskedastisitas
Hasil analisis regresi linier berganda menunjukkan bahwa seluruh variabel independen
memiliki pengaruh positif terhadap perilaku oportunistik penyusunan anggaran, dengan
persamaan sbb:
OPA = 1,394 + 0,831PAD + 0,644SiLPA+ 1,457DAU
4.2. Pengujian Hipotesis
Berdasarkan pengujian secara parsial terhadap H1, H2, H3, dengan menggunakan
uji t dengan tingkat kesalahan α = 0,05 dan degree of freedom (n – k), diketahui nilai t tabel
sebesar 2,048, dimana n = 31 dan k = 3. Hasil uji t dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Nilai t hitung variabel PAD sebesar 3,232 (t hitung> t tabel) dan sig. t > α (0,003 > 0,05).
PAD semakin besar perilaku oportunistik penyusunan anggaran Kabupaten/Kota di
Provinsi Jawa Tengah, didukung oleh penelitian ini.
b) Nilai t hitung variabel SiLPA sebesar 3,690 (t hitung > t tabel) dan sig.t < α (0,001 < 0,05).
Hal tersebut berarti bahwa hipotesis pertama yang menyatakan semakin besar jumlah
SiLPA semakin besar perilaku oportunistik penyusunan anggaran Kabupaten/Kota di
Provinsi Jawa Tengah, didukung oleh penelitian ini.
c) Nilai t hitung variabel DAU sebesar 6,654 (t hitung > t tabel) dan sig. t < α (0,000 < 0,05).
Hal tersebut berarti bahwa hipotesis pertama yang menyatakan semakin besar jumlah
DAU semakin besar perilaku oportunistik penyusunan anggaran Kabupaten/Kota di
Provinsi Jawa Tengah, didukung oleh penelitian ini.
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai Fhitung sebesar 30,115 dengan tingkat
kesalahan α = 0,05 dan degree of freedom (df) = (k – 1) dan (n – k), sehingganilai Fhitung>
Ftabel (30,115 > 2,992) atau sig. (0,000) < 0,05. Meskipun pengujian secara silmultan tidak
dihipotesiskan dalam penelitian ini akan tetapi dapat dinyatakan bahwa semakin tinggi
PAD, SiLPA dan DAU maka akan meningkatkan perilaku oportunistik penyusunan
anggaran Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah,ditemukan oleh penelitian ini.
Berdasarkan hasil pengujian Adjusted R Square diketahui bahwa nilai koefisien
determinasi (adjusted R2) sebesar 0,745, yang berarti bahwa 74,5% perubahan naik atau
turunnya perilaku oportunistik penyusun anggaran di Kabupaten Kota Jawa Tengah dapat
dijelaskan oleh faktor-faktor pendorong Perilaku Oportunistik Penyusun anggaran yaitu
Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Sisa Lebih Perhitungan
Anggaran (SiLPA). Sedangkan 25,5% dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak
diteliti.
4.3. Pembahasan
Hasil penelitian ini menujukkan bahwa variabel PAD mempunyai pengaruh
signifikan terhadap perilaku oportunistik penyusunan anggaran pada Kabupaten/Kota di
Provinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian Abdullah dan
Asmara (2006), Florensia(2009) yang menyatakan bahwa perubahan PAD berpengaruh
secara signifikan terhadap perilaku oportunistik legislatif. Secara konseptual, perubahan
APBD akan berpengaruh terhadap belanja atau pengeluaran, namun tidak selalu seluruh
tambahan pendapatan tersebut akan dialokasikan dalam belanja yang tepat. Perubahan
legal. Perilaku oportunistik legislatif dan eksekutif saat perubahan APBD dapat
mengakibatkan terjadinya misalocattion anggaran belanja pemerintah daerah. Penelitian
ini menjelaskan bahwa meskipun proporsi PAD hanya 10% dari total penerimaan daerah,
namun ada kecenderungan PAD menjadi meningkat pada saat perubahan anggaran. Hal ini
membuka peluang bagi legislatif untuk merekomendasikan kepada legislatif untuk
penambahan anggaran untuk program dan kegiatan yang menjadi preferensinya (Fathony,
2011). Lebih lanjut Abdullah dan Asmara (2006) menyatakan bahwa PAD merupakan
jalan bagi penyusun anggaran untuk melakukan political corruption dalam kerangka
regulasi yang sah (legal corruption), hal ini terlihat ketika perubahan atau kenaikan
anggaran atau target PAD digunakan sebagai dasar untuk melakukan alokasi tambahan
belanja.
Hasil penelitian ini juga menunjukan bahwa SiLPA memiliki pengaruh signifikan
terhadap perilaku oportunistik penyusunan anggaran pada Kabupaten/Kota di Provinsi
Jawa Tengah. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Florensia(2009) yang menyatakan
bahwa SiLPA berpengaruh negatif terhadap perilaku oportunistik legislatif. SiLPA
sebenarnya merupakan indikator efisiensi, karena SiLPA akan terbentuk bila terjadi
surplus pembiayaan neto, dimana komponen penerimaan lebih besar dari komponen
pengeluaran pembiayaan. Namun hasil penelitian ini mendukung penelitian yang
dilakukan Ardhini (2011) yang menyatakan bahwa SiLPA berpengaruh positif terhadap
belanja modal pada periode tahun anggaran selanjutnya, yang berarti dapat memberikan
ruang bagi penyusun anggaran untuk mengalokasikan free cash flow tersebut untuk
melakukan perilaku oportunistiknya.
SiLPA yang merupakan penerimaan daerah yang bersumber dari sisa kas tahun
anggaran sebelumnya untuk menutupi defisit anggaran apabila realisasi pendapatan lebih
kecil daripada realisasi belanja, mendanai pelaksanaan kegiatan lanjutan atas beban belanja
langsung (belanja barang dan jasa, belanja modal, dan belanja pegawai) dan mendanai
kewajiban lainnya yang sampai dengan akhir tahun anggaran belum diselesaikan.
Hasil penelitian ini menemukan bahwa SiLPA memiliki proporsi tertinggi pada
pembiayaan daerah. Hal tersebut terjadi karena proses penyusunan anggaran
memungkinkan SKPD untuk melakukan penggelembungan (mark-up) belanja atau
penurunan(mark-down) target pendapatan. Mark-up belanja maupun mark-down
pendapatan yang menjadi salah satu penyebab terjadinya sisa anggaran, baik output
kegiatan sudah tercapai atau belum. Ketika output anggaran tercapai, maka sisa anggaran
digunakan bagi kegiatan lain pada tahun anggaran berikutnya atau free cash flow
(Abdullah, 2012).
Penelitian ini menunjukan bahwa DAU memiliki pengaruh signifikan terhadap
perilaku oportunistik penyusunan anggaran pada Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa
Tengah.Hasil ini konsisten dengan penelitian Fathony (2011), Abdullah (2012), dan
Maryono (2013) yang menyatakan bahwa dana perimbangan (Dana Alokasi Umum)
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku oportunistik legislatif. Dana
Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan
pemerataan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi. Penelitian ini menemukan bahwa DAU memiliki
proporsi yang paling besar dalam penerimaan daerah. Pemerintah daerah secara leluasa
dapat menggunakan dana transfer untuk membiayai kegiatan pelayanan kepada masyarakat
atau untuk kegiatan lain sesuai kepentingan politik legislatif maupun eksekutif.
Keleluasaan menggunakan DAU memberikan peluang kepada para penyusun anggaran
5. SIMPULAN DAN IMPLIKASI
5.1. Kesimpulan
Penelitian ini menemukan bukti yang mendukung beberapa penelitian sebelumnya
terkait dengan faktor-faktor yang menentukan perilaku oportunistik penyusunan anggaran
pada Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Temuan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa 1)
semakin besar jumlah PAD yang dimiliki oleh Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah,
maka akan semakin besar perilaku oportunistik penyusunan anggaran, 2) semakin besar
jumlah SiLPA dalam APBD Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah, maka akan
semakin besar perilaku oportunistik penyusunan anggaran, 3) Semakin besar jumlah DAU
yang diterima Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah, maka akan semakin besar
perilaku oportunistik penyusunan anggaran.
5.2. Implikasi
1) Perilaku opotunistik penyusunan anggaran dapat dikurangi dengan memperbaiki
sistem perencanaan, yakni dengan melaksanakan perencanaanpartisipatif yang
melibatkan masyarakat sehingga perencanaan anggaran lebih transparan dan
aspiratif.
2) Perilaku oportunistik penyusun anggaran terjadi karena adanya peluang atau sebagai
reaksi terhadap regulasi yang lemah, oleh karena itu perlu disusunregulasi yang lebih
tegas dan jelas, misalnya denganmempublikasikan RAPBD dan APBD secara
lengkap (bukan hanya ringkasan RAPBD/APBD) melalui berbagai media seperti
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, S. 2012. Perilaku Oportunistik Legislatif dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya: Bukti Empiris dari Penganggaran Pemerintah Daerah di Indonesia. Ringkasan Disertasi. Universitas Gajah Mada.
Abdullah, S. dan Asmara, J.A. 2006. Perilaku Oportunistik Legislatif Dalam Penganggaran Daerah: Bukti Empiris atas Aplikasi Agency Theory di Sektor Publik. Makalah Simposium Nasional Akuntansi 9. Padang: 23-26 Agustus 2006.
Ardhini. 2011. Pengaruh Rasio Keuangan Daerah Terhadap Belanja Modal Untuk Pelayanan Publik Dalam Perspektif Teori Keagenan (Studi Pada Kabupaten Dan Kota Di Jawa Tengah). JurnalSkripsi. Universitas Diponegoro.
Fathony, A.D. dan Abdul Rohman. 2011. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, SisaLebih Perhitungan Anggaran dan Dana Alokasi Umum terhadap Perilaku Oportunistik Penyusun Anggaran (Studi kasus kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah). JurnalSkripsi. Universitas Diponegoro.
Florensia, T. M. 2009. Perilaku Oportunistik Legislatif Dalam Penganggaran Daerah: Bukti Empiris atas Aplikasi Agency Theory di Sektor Publik, Tesis Program Pasca Sarjana Magister Sains Ilmu Ekonomi Universitas Gajah Mada.
Ghozali, Imam, 2009, Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS : Cetakan IV, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang
Halim, Abdul. 2007. Akuntansi Keuangan Daerah. Jakarta: Salemba Empat.
Hariadi, P., Yanuar E.R., Icuk R.B. 2010.Pengelolaam Keuangan Daerah. Jakarta: Salemba Empat.
Keefer, P. dan Stutu Khemani. 2003. The Political Economy of Public Expenditures. Background paper for WDR 2004.
Maryono, Riky. 2013. Pengaruh Perubahan Dana Alokasi Umum TerhadapPerilaku Oportunistik Legislatif Dalam Penganggaran Daerah. JurnalSkripsi. Universitas Negeri Padang
Mauro, Paolo. 1998. Corruption and The Composition of Government Expenditure. Jurnal of Public Economics 69:263-279.
Petrie, Murray. 2002. A framework for Public Sector Performance Contracting.OECD Jurnal On Budgetting: NO. Vol.3,p 117-153
Republik Indonesia. 2006. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
No.13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.