• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRODUKTIVITAS PADI GOGO SEBAGAI TANAMAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PRODUKTIVITAS PADI GOGO SEBAGAI TANAMAN"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUKTIVITAS PADI GOGO SEBAGAI TANAMAN TUMPANGSARI HUTAN JATI MUDA

Husin M Toha

Staf Peneliti Ekofisiologi Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi

ABSTRAK

Secara umum pertanaman padi gogo di Indonesia terdapat pada tiga sub ekosistem, yaitu: a) pada lahan datar termasuk bantaran sungai; b) pada lahan perbukitan daerah aliran sungai (DAS); dan c) sebagai tanaman tumpangsari pada pertanaman perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) muda. Batas naungan maksimum pada budidaya padi gogo sebagai tanaman tumpangsari dengan tanaman keras adalah sampai naungan tanaman pokok mencapai 50%, untuk selebihnya perlu diseleksi varietas yang tahan naungan. Naungan tanaman karet dan kelapa sawit mencapai 50% pada umur 3-4 tahun tergantung jarak tanamnya, demikian juga untuk hutan tanaman industri (jati, Acasia mangium, sengon dan mahoni). Bila siklus tanaman karet, kelapa sawit dan juga hutan jati klon unggul, sengon dan A. Mangium adalah 25 tahun sekali, maka luasan areal yang dapat ditumpangsarikan dapat mencapai 16% areal. Sedangkan untuk perkebunan kelapa dalam, pertanaman tumpangsari dapat dilalakukan pada peremajaan sampai tahun ke empat dan setelah umur 25 tahun, mahkota tanaman kelapa akan mengecil lagi dan sangat leluasa untuk pertanaman tumpangsari. Secara potensi luas areal yang dapat ditanami tanaman pangan khususnya padi gogo sebagai tanaman tumpangsari dapat mencapai lebih dari 2 juta ha. Rata-rata hasil 12 varietas padi gogo yang ditanam bersamaan dengan tanaman jati klon unggul mencapai 5,41 t/ha GKG dengan kisaran 3,75 t/ha (Sentani) sampai 6,12 t/ha (Cirata). Pada percobaan lain dari 12 galur harapan dan 2 varietas, rata-rata mencapai 5,93 t/ha GKG dengan kisaran 5,22 (BP606D-18-13-1) sampai 6,91 t/ha (BP760F-2-2-Pn-1). Hasil pertanaman pada lahan tidur (2 tahun tidak ditanami) dengan vegetasi semak belukar dan alang-alang, dari 12 varietas yang diuji rata-rata mencapai 3,98 t/ha GKG dengan kisaran 3,21 (Cirata) sampai 4,98 (Jatiluhur). Sedangkan dari 12 galur harapan yang diuji pada areal yang sama, rata-rata mencapai 4,11 t/ha dengan kisaran 3,27 t/ha (TB203C-CKY-1-1-13) sampai 4,91 t/ha (BP720C-5-Si-1-1). Penelitian berkelanjutan tumpangsari padi gogo dengan hutan jati muda di Desa Sanca (Gantar-Indramayu), pada tahun kedua (jati 1 tahun), rata-rata hasil 8 varietas mencapai 5,53 tha GKG dengan kisaran 4,69 t/ha (Cirata) sampai 6,01 (Situ Patenggang). Pada tahun ketiga (Jati 2 tahun) rata-rata mencapai 3,26 t/ha GKG dengan kisaran 2,44 (Danau Gaung) sampai 4,37 (Towuti). Sedangkan pada tahun keempat (jati 3 tahun) rata-rata 8 varietas mencapai 3,22 t/ha dengan kisaran 2,14 t/ha (C 22) sampai 4,41 t/ha (Batu Tegi). Dampak positif dari pertanaman tumpangsari padi gogo (pola tanam tumpangsari), selain ada tambahan hasil tanaman pangan, pertumbuhan pohon jati juga menjadi lebih baik yang tercermin dari pertumbuhan diameter batang pada pola tanam intensif mencapai 6,42 cm, sedangkan dengan pola tanam kurang intensif hanya mencapai 4,81 cm.

Kata kunci : padi gogo, tumpangsari, jati muda,

PENDAHULUAN

Tantangan pengadaan pangan nasional ke depan akan semakin berat mengingat banyaknya lahan irigasi subur yang terkonversi untuk kepentingan non pertanian dan penduduk terus bertambah. Menururt Irawan et al., (2001) dalam kurun waktu 1981-1999 telah terjadi alih fungsi lahan seluas 1,6 juta ha, sekitar 1 juta ha diantaranya terjadi di P Jawa. Bila diasumsikan produktivitas lahan sawah sebesar 6 t/ha GKP, maka kehilangan produkasi dapat mencapai 9,6 juta ton GKP (Agus et al., 2004). Pada pihak lain, laju pertambahan produktivitas lahan sawah juga semakin menurun akibat diterapkan teknologi yang semakin intensif, tetapi pupuk yang diberikan tidak seimbang dengan hara yang terangkut panen serta jerami padi banyak yang diangkut ke luar petakan atau dibakar. Dengan semakin menciutnya luas lahan sawah irigasi akibat pengalihan fungsi dan menurunnya tingkat produktivitas lahan, maka lahan kering untuk pengembangan pertanian harus segera dikembangkan dan dimanfaatkan. Peluang pengembangan pertanian di lahan kering cukup besar baik dari segi potensi sumber daya lahan, maupun peningkatan produktivitasnya melalui penerapan paket-paket teknologi yang telah dihasilkan Badan Litbang Pertanian (Suwarno et al., 2005).

(2)

Luas lahan kering yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan tanaman pangan, khususnya padi gogo ada sekitar 5,1 juta ha (Tim Badan Litbang, 1998). Budidaya padi gogo umumnya dilakukan pada; a) areal datar yang terletak dibantaran sungai atau sekitar halaman rumah, b) disekitar perbukitan daerah alirang sungai (DAS), dan c) sebagai tanaman tumpangsari perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) muda (Toha, 2005). Budidaya padi gogo sebagai tanaman tumpangsari terbatas sampai naungan mencapai 50% (Sopandie et al., 2003; 2005). Untuk tanaman perkebunan karet dan kelapa sawit masing-masing sampai umur 3 dan 4 tahun, kelapa dalam sampai 4 tahun dan setelah umur 25 tahun mahkotanya mengecil dan seterusnya dapat diusahakan tanaman tupangsari lagi (Toha dan Hasanuddin, 1997). Sedangkan untuk hutan jati muda mulai tahun pertama sampai 3 tahun tergantung populasi tanaman pokoknya (Toha, 2005).

Akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, akhir-akhir ini makin sering terdengar adanya penjarahan hutan. Tanaman kehutanan (jati, mahoni, dll) sebelum umur panen, sudah dijarah masyarakat sekitar hutan yang umumnya masyarakat miskin. Untuk mengembalikan fungsi hidrologi hutan, hutan yang rusak perlu segera direhabilitasi atau direboisasi. Pada pihak lain, program peremajaan hutan yang rutin ada sekitar 50.000-200.000 ha/tahun (BPS 2005). Untuk mengurangi terjadinya penjarahan hutan, maka program perhutanan sosial perlu lebih dikembangkan agar petani merasa lebih memiliki dan memelihara hutan (Bratamiharja (1996). Petani dapat menarik manfaat dengan diikut sertakan menanam tanaman tumpangsari diantara tanaman pokok hutan. Akhir-akhir ini juga telah dilontarkan program pengelolaan sumberdaya hutan bersama masyarakat (PHBM), dimana masyarakat sekitar hutan diikut sertakan dalam pengelolaan hutan dengan ketentuan masyarakat boleh menanam tanaman semusim diantara tanaman hutan sepanjang masih memungkinkan dan pada pihak lain masyarakat juga berkewajiban memelihara tanaman pokok hutan. Sedangkan pihak Perhutani mempunyai kewajiban membina petani tersebut dan mengawasi tanaman pokoknya (Perhutani, 2004).

Berdasarkan besarnya naungan yang ada, pada pola peremajaan tanaman hutan atau perkebunan, pengusahaan tanaman tumpangsari terbatas sampai tahun ke tiga atau ke empat. Batasannya sampai naungan mencapai 50% (Sopandie et al., 2003; 2005), tanaman karet sampai tahun ke tiga, kelapa sawit dan kelapa dalam sampai tahun ke empat. Khusus untuk tanaman kelapa dalam setelah umur di atas 25 tahun, mahkota/tajuknya mengecil lagi dan penetrasi cahaya dapat mencapai diatas 80% (Toha, 2005), sistem tanam tumpangsari dapat diusahakan lagi. Bila peremajaan tanaman karet dan kelapa sawit, tiap 25 tahun sekali dan tanaman tumpangsari dapat diusahakan sampai tahun ke empat, maka secara potensi pengusahaan tanaman tumpangsari dapat mencapai 16% dari luasan lahan perkebunan yang ada (Toha dan Hasanuddin, 1997). Selain peremajaan tanaman perkebunan, peremajaan hutan setiap tahunnya mencapai antara 50.000-200.000 ha. Potensi tanaman tumpangsari perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) muda dapat mencapai lebih dari 2,0 juta ha/tahun (Toha, 2005).

Sedangkan untuk peremajaan hutan yang dikaitkan dengan program pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) tanaman tumpangsari dapat diusahakan 2 sampai 5 tahun tergantung jarak tanamnya. Khusus untuk RPH Sanca (KPH Indramayu), dimana solum tanahnya dalam, dapat diusahakan pertanaman hutan jati jenis (klon) unggul yang umur panennya lebih genjah. Jenis jati lokal umur panennya dapat di atas 40 tahun, sedangkan jati unggul hanya sekitar 25 tahun dan dapat ditanam lebih jarang. Jarak tanam jati lokal biasanya (3,0 x 3,0) meter, sedangkan jati unggul jarak tanam antar baris 6 meter dan didalam barisan antara 1-2 meter. Berdasarkan jarak tanam seperti ini, tanaman tumpangsari bisa diusahakan lebih lama dapat mencapai 6-7 tahun. Bila di hitung dengan masa persiapan panen (1-2 tahun) dan persiapan tanam 1 tahun, maka usaha tanaman tumpangsari secara total dapat mencapai 7-9 tahun atau sekitar 25% dari potensi hutan jati yang diusahakan.

(3)

penerapan pola tanam intensif dengan olah tanah minimum, hasil yang mencapai sekitar 10 t/ha/tahun, tidak kalah dengan produktivitas lahan sawah (Toha et al., 2006).

Beberapa keuntungan dengan adanya usaha tanaman tumpangsari diantara tanaman pokok hutan yang masih muda adalah: 1) produksi tanaman pangan meningkat, pendapatan petani meningkat; 2) berfungsi dalam persiapan lahan dan pemeliharaan tanaman pokok, mengurangi biaya penyiangan; 3) kesuburan tanah meningkat (residu pupuk tanaman pangan, penambahan bahan organik tanah/jerami); 4) mengurangi pengembalaan ternak, pemeliharaan ternak lebih intensif; dan 5) dampak sosial/ekonomi yang baik bagi masyarakat sekitar hutan, mengurangi penjarahan hutan (Toha, 2002; 2005).

Pengelolaan sumberdaya hutan bersama masyarakat (PHBM) dimaksudkan untuk memberikan arah pengelolaan sumberdaya hutan dengan memadukan aspek ekonomi, ekologi dan sosial. Dalam pelaksanaannya masyarakat desa sekitar hutan sebagai mitra kerja Perum Perhutani dapat berperan aktif dalam memelihara kelestarian sumberdaya hutan. Dalam aspek perencanaan dan pembinaan, Perum Perhutani mempunyai tanggung jawab penuh dan bersama pemerintah daerah langsung mengarahkan dan mensosialisasikan kegiatan yang akan dilakukan bersama masyarakat sekitar hutan. Secara simultan akan diupayakan sumberdaya hutan tetap lestari, pendapatan Perum Perhutani meningkat dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan meningkat (Perhutani, 2004).

BAHAN DAN METODA.

Penelitian lapang terdiri dari 5 (lima) unit kegiatan yang semuanya dilakukan di Kecamatan Gantar pada kawasan KPH Indramayu dari MH 2003/2004 sampai MH 2005/2006. Penelitian unit 1 dan 2 dilakukan di Desa Bantarwaru, sebagai tanaman kedua setelah penebangan hutan, tetapi bersamaan dengan penanaman hutan jati klon unggul pada MH 2004/2005. Penelitian unit 3 dan 4 dilakukan di Desa Sanca, sebagai tanaman kedua yang sebelumnya merupakan lahan tidur (semak belukar dan penuh vegetasi alang-alang), pada lokasi ini belum ada perencanaan tanam ulang. Sedangkan unit 5 dilakukan selama 3 tahun berurutan dari MH 2004/2005 sampai MH 2005/2006 di Desa Sanca sebagai penanaman ketiga, keempat dan kelima.

Penelitian di Desa Bantarwaru (2 unit) mengacu kepada pola rancangan acak kelompok dengan 3 (tiga) ulangan secara tersarang. Perlakuan pada unit pertama adalah menguji 12 varietas unggul padi gogo termasuk kontrol varietas lokal Seratus Malam (Tabel 1). Perlakuan pada unit kedua adalah menguji 12 galur harapan padi gogo ditambah 2 varietas kontrol (Tabel 2). Varietas kontrol adalah varietas Towuti (asal padi gogo) dan varietas Ciherang (asal padi sawah) tetapi umum ditanam petani setempat.

Penelitian di Desa Sanca (3 unit) juga mengacu kepada pola rancangan acak kelompok dengan 3 (tiga) ulangan. Perlakuan pada unit ketiga adalah menguji 12 varietas unggul padi gogo termasuk kontrol varietas lokal Seratus Malam (Tabel 3). Perlakuan pada unit keempat adalah menguji 12 galur harapan padi gogo (Tabel 4). Sedangkan perlakuan pada unit kelima menguji 8 varietas (tahun pertama), 10 varietas (tahun kedua) dan 7 varietas (tahun ketiga) yang dilakukan secara berurutan (Tabel 5).

Pengaturan pertanaman di lapangan dengan melibatkan petani pesanggem, tetapi di bawah pengaturan peneliti. Tiap varietas atau galur harapan ditanam dalam satu lorong, lebar 6 meter dan panjang 50 meter. Sedangkan ulangan dibuat secara tersarang, didalam petak besar (6 m x 50 m) ditentukan secara acak 3 petak khusus dengan ukuran (6 m x 5 m) yang selanjutnya dijadikan ulangan. Padi gogo untuk semua unit kegiatan ditanam secara tugal 4-5 butir/lubang dengan jarak tanam sistem jajar legowo (30 x 20 x 10) cm. Pelaksanaan tanam dilakukan pada awal musim hujan, setelah curah hujan agak kerep atau telah mencapai 60 mm/10 harian (dekade).

(4)

Pelaksanaan panen dilakukan bila penampakan gabah pada malai sudah masak lebih dari 90% dan panen tidak serempak antar varietas yang dicoba tergantung keserempakan masak masing-masing varietas. Petak ubinan untuk menduga hasil dilakukan pada masing-masing ulangan dengan ukuran (2 x 5) meter. Pada petak ubinan tersebut terdiri dari 8 barisan (4 barisan ganda) dengan panjang 5 meter (50 rumpun), total ubinan secara potensi terdiri dari 400 rumpun. Cara panen dengan arit, kemudian dirontokan (digebot), lalu dibersihkan dan ditimbang. Untuk menyeragamkan data hasil ubinan, selesai ditimbang lalu diukur kadar airnya dengan 3 ulangan. Hasil gabah kering panen (GKP) dapat diketahui langsung, sedangkan untuk hasil gabah kering giling (GKG) dapat diketahui berdasarkan perhitungan (dikonversi) dengan kadar air 14%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil uji adaptasi 12 varietas unggul padi gogo sebagai tanaman tumpangsari dengan hutan jati klon unggul rata-rata mencapai 5,82 t/ha GKP atau 5,41 t/ha GKG. Kisaran hasil GKP antara 4,03 (Sentani) sampai 6,58 t/ha (Cirata). Hasil varietas lokal (Seratus Malam) mencapai 4,76 t/ha GKP tidak berbeda nyata dengan varietas Sentani dan Situ Patenggang serta Way Rarem, sedangkan dengan varietas lainnya berbeda nyata (Tabel 1).

Tabel 1. Hasil Pertanaman Adaptasi Varietas Padi Gogo Sebagai Tanaman Tumpangsari Hutan Jati Muda Klon Unggul di Desa Bantarwaru, Kecamatan Gantar, KPH Indramayu MH 2004/2005.*)

No. Varietas Hasil t/ha GKP Hasil t/ha GKG

1. Batu Tegi 6,04 a 5,594 a

2. Cirata 6,58 a 6,12 a

3. C 22 6,50 a 6,06 a

4. Danau Gaung 5,96 a 5,54 a

5. Limboto 6,10 a 5,67 a

6. Seratus Malam 4,76 bc 4,43 bc

7. Sentani 4,03 c 3,75 c

8. Situ Bagendit 6,44 a 5,99 a

9. Situ Patenggang 5,77 ab 5,36 ab

10. Towuti 6,25 a 5,81 a

11. Way Rarem 5,77 ab 5,37 ab

12. Jatiluhur 6,50 a 6,06 a

Rata-rata 5,82 5,41

k k (%) 12,2 12,2

*) Padi gogo tanam akhir Oktober, jati klon unggul tanam akhir Desember 2004.

Sejalan dengan hasil GKP, pola perbedaan hasil GKG antar varietas yang diuji juga sama. Rata-rata hasil GKG mencapai 5,41 t/ha dengan kisaran 3,75 t/ha (Sentani) sampai 6,12 t/ha (Cirata). Hasil varietas lokal (Seratus Malam) mencapai 4,43 t/ha tidak berbeda nyata dengan varietas Sentani, Situ Patenggang maupun Way Rarem. Dari 12 varietas yang diuji, varietas Jatiluhur, C 22 dan Cirata mencapai hasil GKG lebih dari 6 t/ha. Masing-masing mencapai: 6,06; 6,06 dan 6,12 t/ha GKG (Tabel 1).

Hasil pengujian 12 galur harapan dan 2 varietas unggul padi gogo/sawah sebagai kontrol pada pertanaman tumpangsari dengan hutan jati klon unggul rata-rata mencapai 6,43 t/ha GKP atau 5,93 t/ha GKG. Kisaran hasil GKP antara 5,61 t/ha (BP606D-18-13-1) sampai 7,49 t/ha (BP606C-18-9-6). Hasil varietas Towuti (kontrol varietas padi gogo) mencapai 6,24 t/ha GKP dan Ciherang (kontrol varietas padi sawah) mencapai 6,10 t/ha GKP keduanya tidak berbeda nyata dengan hasil galur harapan lainnya (Tabel 2).

(5)

Tabel 2. Hasil Pertanaman Adaptasi Galur Harapan Padi Gogo Sebagai Tanaman Tumpangsari Hutan Jati Muda Klon Unggul di Desa Bantarwaru, Kecamatan Gantar, KPH Indramayu MH 2004/2005.*)

No. Galur Harapan Hasil t/ha GKP Hasil t/ha GKG

1. TB203C-Cky-1-13 6,37 abc 5,93 ab

*) Padi gogo tanam akhir Oktober, jati klon unggul tanam akhir Desember 2004.

Pemanfaatan lahan tidur dalam kawasan hutan untuk tanaman pangan juga dapat berpengaruh positif bagi masyarakat sekitar hutan dan juga bagi pengelola hutan (Perhutani). Proses terjadinya lahan terlantar akibat penjarahan yang tidak terkendali dan belum bisa ditanami ulang (perencanaan tanam ulang masih terbatas). Kalau tidak ditanami, lahan tersebut dijadikan padang pengembalaan ternak yang bila dibiarkan terus akan menjadi lahan kritis. Sambil menunggu giliran tanam ulang, lahan tersebut dapat diusahakan oleh petani sekitar hutan untuk budidaya tanaman semusim. Keuntungan dari kebijaksanaan tersebut, dapat memudahkan untuk perencanaan tanam dan petani penggarap dapat dijadikan petani kooperator program PHBM seterusnya.

Hasil uji adaptasi 12 varietas unggul padi gogo termasuk varietas lokal (Seratus Malam) sebagai kontrol rata-rata mencapai 4,32 t/ha GKP atau 3,98 t/ha GKG. Kisaran hasil GKP antara 3,49 (Cirata) sampai 5,35 t/ha (Jatiluhur). Hasil varietas lokal (Seratus Malam) mencapai 3,66 t/ha GKP tidak berbeda nyata dengan varietas lainnya kecuali dengan varietas terbaik Jatiluhur (Tabel 3).

Tabel 3.

Hasil Pertanaman Adaptasi Varietas Padi Gogo Pada Lahan Terbuka Bekas Hutan

Jati (Sementara Belum Ditanam Ulang) di Desa Sanca blok Tegal Sapi, Kecamatan

Gantar, KPH Indramayu MH 2004/2005.

(6)

lahan tidur adalah: Situ Bagendit, Danau Gaung, Limboto, Batu Tegi dan Jatiluhur, masing-masing mencapai: 4,02; 4,19; 4,34; 4,36 4,98 t/ha GKG (Tabel 3).

Hasil uji adaptasi 12 galur harapan rata-rata mencapai 4,42 t/ha GKP atau 4,11 t/ha GKG. Kisaran hasil GKP antara 3,51 t/ha (TB203C-Cky-1-13) sampai 5,28 t/ha (BP720C-5-Si-1-1). Sejalan dengan hasil GKP, pola perbedaan hasil GKG antar galur harapan yang diuji juga sama. Rata-rata hasil GKG mencapai 4,11 t/ha dengan kisaran 3,27 t/ha (TB203C-Cky-1-13) sampai 4,91 t/ha (BP720C-5-Si-1-1). Galur harapan yang hasilnya mencapai di atas 4,0 t/ha adalah: BP785C-12-4-1; TB47H-MR-10; IR30176-1-B-Mr; B9071F-TB-7; Bio511-61-2-3-1 dan BP720C-5-Si-1-1 masing-masing mencapai: 4,20; 4,26; 4,59; 4,60; 4,82 dan 4,91 t/ha GKG (Tabel 4).

Tabel 4.

Hasil Pertanaman Adaptasi Galur Harapan Padi Gogo Pada Lahan Terbuka Bekas

Hutan Jati (Sementara Belum Ditanam Ulang) di Desa Sanca blok Tegal Sapi,

Kecamatan Gantar, KPH Indramayu MH 2004/2005.

No. Galur Harapan GKP Rata-rata hasil (t/ha) GKG

1. TB203C-Cky-1-13 3,51 d 3,27 d

2. BP606D-18-13-1 4,25 abcd 3,95 abcd

3. B9071F-TB-7 4,94 abc 4,60 abc

4. B8503E-TB-19-13 3,77 cd 3,50 cd

5. TB47H-MR-10 4,58 abcd 4,26 abcd

6. IR30176-1-B-Mr 4,94 abc 4,59 abc

7. Bio 511-61-2-3-1 5,18 ab 4,82 ab

8. BP606C-18-9-6 4,10 abcd 3,78 abcd

9. BP720C-5-Si-1-1 5,28 a 4,91 a

10. BP785C-12-4-1 4,51 abcd 4,20 abcd

11. BP760F-2-2-Pn-1 3,89 bcd 3,62 bcd

12. S4849-1-1G-1-1-3-3 4,13 abcd 3,84 abcd

Rata-rata 4,42 4,11

k k (%) 15,4 15,5

Untuk melihat bagaimana renspon hasil beberapa varietas unggul padi gogo sebagai tanaman tumpangsari jati klon unggul, telah dilakukan penelitian adaptasi padi gogo secara berurutan selama 3 tahun dari MH 2003/2004 sampai MH 2005/2006. Adapun pada pertanaman MH 2003/2004 tanaman jati sudah memasuki tahun kedua dan pertanaman padi gogo merupakan pertanaman ketiga (sebelumnya pertanaman padi gogo oleh petani sudah 2 kali tanam). Hasil pertanaman uji adaptasi 8 varietas unggul padi gogo sebagai pertanaman tumpangsari dengan hutan jati 1 tahun di Desa Sanca pada MH 2003/2004 rata-rata mencapai 5,90 t/ha GKP atau 5,53 t/ha GKG. Kisaran hasil GKP antara 5,36 t/ha (Batu Tegi) sampai 7,08 t/ha (Limboto). Berbeda dengan hasil GKP, hasil GKG tertinggi dicapai oleh varietas Situ Patenggang (6,01 t/ha) dan hasil terrendah oleh varietas Cirata (4,69 t/ha) sedangkan secara rata-rata mencapai 5,53 t/ha GKG. Varietas padi gogo yang hasilnya mencapai lebih dari 5,5 t/ha GKG pada pertanaman tumpangsari dengan jati klon unggul umur 1 tahun adalah: C 22; Limboto; Towuti; Situ Bagendit dan Situ Patenggang, masing-masing mencapai: 5,51; 5,52; 5,64;5,90 dan 6,01 t/ha (Tabel 5).

Hasil pertanaman MH 2004/2005 atau pertanaman penelitian tahun kedua dan tanaman jati sudah umur 2 tahun, hasil rata-rata 10 varietas yang diuji mencapai 3,26 t/ha GKP atau 3,26 t/ha GKG. Kisaran hasil GKP antara 2,61 t/ha (C22) sampai 4,68 t/ha (Towuti). Sedangkan kisaran hasil GKG antara 2,36 (Limboto) sampai 4,37 t/ha (Towuti). Varietas yang hasilnya mencapai lebih dari 3,5 t/ha pada pertanaman tumpangsari padi gogo dengan hutan jati umur 2 tahun adalah: Jatiluhur, Situ Patenggang, Situ Bagendit, Way Rarem, dan Towuti, masing-masing mencapai: 3,54; 3,64; 3,67; 3,72 dan 4,37 t/ha GKG (Tabel 5).

(7)

Tabel 5. Hasil Pertanaman Adaptasi Varietas Padi Gogo Sebagai Tanaman Tumpangsari Hutan Jati Muda Klon Unggul (Umur 1, 2 Dan 3 Tahun) di Desa Sanca, Kecamatan Gantar, KPH Indramayu *)

No. Varietas

1. Batu Tegi 5,36 4,97 3,59 3,35 4,60 4,41

2. C 22 5,54 5,51 2,62 2,39 2,23 2,14

3. Cirata 5,38 4,69 3,54 3,16 -

-4. Towuti 6,00 5,64 4,68 4,37 2,43 2,20

5. Way Rarem 5,22 5,28 4,55 3,72 3,48 3,19

6. Limboto 7,08 5,52 2,61 2,36 4,25 3,97

7. Situ Patenggang 6,67 6,01 4,14 3,64 -

-8. Situ Bagendit 5,96 5,90 3,99 3,67 -

-9. Danau Gaung - - 2,65 2,44 3,10 2,81

10. Jatiluhur - - 3,55 3,54 4,35 3,84

Rata-rata 5,90 5,53 3,59 3,26 3,49 3,22

*) Padi gogo penelitian mulai tanam akhir Oktober 2003, jati klon unggul tanam akhir Nopember 2002. Pertanaman padi

gogo petani tahun pertama MH 2001/2002 dan tahun kedua MH 2002/2003 umumnya menggunakan varietas lokal (Midun dan Umbul-umbul) serta sebagian varietas Ciherang. Jarak tanam Jati unggul (6 x 2) m dan padi gogo (30x20x10) cm. Pertanaman penelitian padi gogo mulai MH 2004/2005 (jati 1 tahun) seluruhnya dilakukan oleh petani tetapi diberikan benih dan pupuk sebanyak 200 kg Urea, 50 kg SP-36 dan 50 kg KCl. Khusus untuk pertanaman kedua petani hanya memupuk Urea dan SP-36 masing-masing 150 dan 50 kg/ha.

Untuk lebih menyakinkan bahwa pertanaman tumpangsari tanaman pangan khususnya padi gogo mempunyai dampak positif terhadap pertumbuhan tanaman pokok jati klon unggul telah dilakukan pengukuran diameter batang pokok jati pada tahun ke empat. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa bila tanaman pangan diusahakan lebih intensif, pertumbuhan jati juga lebih baik. Diameter batang pada pertanaman pangan yang intensif mencapai 6,42 cm, sedangkan pada pola yang kurang intensif hanya mencapai 4,81 cm (Tabel 6). Hal ini dapat dimengerti bahwa dengan penerapan pola tanam yang intensif residu pupuk dan limbah (jerami) tanaman pangan juga lebih banyak yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman jati. Selain itu pertumbuhan gulma pada pola tanam yang lebih intensif juga lebih sedikit, baik gulma rumput maupun yang merambat ke pokok jati.

Tabel 6. Pengaruh pertanaman tumpangsari (padi gogo dan kedelai) terhadap perumbuhan

(diameter batang) jati

umur 4 tahun di Desa Sanca (Dusun Salp) Kecamatan Gantar, KPH Indramayu.

Pola Tanam Intensip (peneliti) Pola tanam biasa (petani)

No. Petani Diameter (cm) No. Petani Diameter (cm)

I Padi gogo- kedelai 6,09 V Padi gogo- kedelai 4,82 II Padi gogo- kedelai 6,51 VI Padi gogo- kedelai 5,15 II Padi gogo- kedelai 6,59 VII Padi gogo- bera 4,92

IV Padi gogo- bera 6,48 VIII Bera 4,33

Rata-rata 6,42 Rata-rata 4,81

Keterangan : 2001/2002 dan 2002/2003 pertanaman padi gogo pertama dan kedua oleh petani umumnya menggunakan varietas lokal, 2003/2004 penelitian tahun pertama, 2004/2005 penelitian tahun kedua, dan 2005/2006 penelitian tahun ketiga.

Kelompok I s/d IV penerapan pola tanam oleh peneliti

Kelompok V s/d VIII penerapan pola tanam oleh petani (kontrol) Tanam Jati Nopember 2002, pengukuran diameter batang Maret 2006.

KESIMPULAN

1. Hasil pengujian 12 varietas padi gogo yang ditanam secara tumpangsari dengan klon jati unggul, rata-rata mencapai 5,41 t/ha GKG dengan kisaran 3,75 t/ha (Sentani) sampai 6,12 t/ha (Cirata-rata).

2. Hasil pengujian 12 galur harapan dan 2 varietas padi gogo/sawah yang ditanam secara tumpangsari dengan klon jati unnggul, rata-rata mencapai 5,93 t/ha GKG dengan kisaran 5,22 t/ha (BP606D-18-13-1) sampai 6,91 t/ha (BP760F-2-2-Pn-1).

(8)

4. Hasil pengujian 12 galur harapan yang ditanam pada lahan tidur (2 tahun tidak ditanami, dengan vegetasi sebelumnya berupa semak belukar dan alang-alang) rata-rata mencapai 4,11 t/ha GKG dengan kisaran 3,27 t/ha (TB203C-CKY-1-1-13) sampai 4,91 t/ha (BP720C-5-Si-1-1).

5. Penelitian berkelanjutan selama 3 tahun, pada tahun kedua (jati 1 tahun) dari 8 varietas, rata-rata mencapai 5,53 t/ha GKG dengan kisaran 4,69 t/ha (Cirata) sampai 6,01 t/ha (Situ Patenggang), pada tahun ketiga (jati 2 tahun) rata-rata mencapai 3,26 t/ha GKG dengan kisaran 2,44 t/ha (Danau Gaung) sampai 4,37 t/ha (Towuti). Sedangkan pada tahun keempat (jati 3 tahun) rata-rata mancapai 3,22 t/ha GKG dengan kisaran 2,14 t/ha (C22) sampai 4,41 t/ha (Batu Tegi).

6. Pertanaman tumpangsari padi gogo dan penerapan pola tanam yang intensif berpengaruh positif terhadap pertumbuhan diameter batang pohon jati. Pada pola tanam yang lebih intensif diameter batang pada tahun keempat mencapai 6,42 cm, sedang pola tanam yang kurang intensif hanya mancapai 4,81 cm.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F. dan Irawan, 2004. Alih guna dan aspek lingkungan lahan sawah. Tanah Sawah dan Teknologi Pengelolaannya. (Agus et.al Eds). Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembnagan Pertanian, Departemen Pertanian. Hal 305- 328.

BPS, 2005. Statistik Indonesia 2004. Badan Pusat Statistik, Jakarta. 604 p.

Bratamiharja, M., 1996. Perhutanan Sosial di Pulau Jawa. Buletin Bina Swadaya, Badan Pengembangan Swadaya Masyarakat. No. 9 (IV) : 14-19.

De Datta, S.K., 1975. Upland Rice Around the World: Major Research in Uplad Rice. The International Rice Research Institute, Los Banos, Philippines. p: 1-11.

Guswara, A. dan H. M. Toha, 1995. Perbaikan budidaya padi gogo tingkat petani peserta perhutanan sosial. Laporan Penelitian Kelti Ekofisiologi, Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi.

Irawan B., S Priyanto, A Supriyanto, I S Anugrah, N A Kirom, B Rahmanto dan B Wiryono. 2001. Perumusan model kelembagaan konversi lahan pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian.

Oldeman. L.R., 1975. Agroclimatic map of Java. Contr. Centr. Res. Inst. for Agriculture, Bogor Indonesia. 17:1-22.

Perhutani. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Perum Perhutani, KPH Indramayu. 17 hal.

Permadi, P dan H. M. Toha, 1996. Peningkatan produktivitas padi gogo dengan penanaman kultivar unggul dan pemupukan nitrogen. Jurnal Penelitian Pengambangan Wilayah Lahan Kering. No. 18: 27-39. Lembaga Penelitian UNILA.

Pirngadi, K., H.M. Toha, K. Permadi dan A. Guswara, 2001. Cara tanam dan pemupukan terhadap hasil padi gogo sebagai tanaman sela hutan jati muda. Makalah disampaikan pada Seminar Apresiasi dan Hasil Penelitian Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi 14-15 Nopember 2001. 14 hal.

Sopandie, D., M.A. Chosim, S. Sastrosumarjo, T. Juhaeti dan Sahardi, 2003. Toleransi terhadap naungan pada padi gogo. Hayati 10 : 71-75.

Sopandie, D., N. Khumaida dan S. Yahya, 2005. Pemberdayaan Aspek Fisiologi Fotosintesis Tanaman Padi dalam Upaya Peningkatan Produksi: Adaptasi terhadap Intensitas Cahaya Rendah. Inovasi Teknologi Padi Menuju Swasembada Beras Berkelanjutan (Buku satu). Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal. 211- 227. Suwarno, H.M. Toha dan Ismail B P., 2005. Ketersediaan Teknologi dan Peluang Pengembangan Pado Gogo.

Inovasi Teknologi Padi Menuju Swasembada Beras Berkelanjutan (Buku satu). Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal. 129-143. Tim Peneliti Badan Litbang Pertanian. 1998. Laporan Hasil Peenelitian Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya

(9)

Toha, H.M. dan Hawkins, 1990. Potensi peningkatan produktivitas tanaman pangan melalui perbaikan variertas dan pemupukan di DAS Jratunseluna bagian hulu. Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 103p.

Toha, H.M. dan A. Hasanuddin, 1997. Kemungkinan penerapan sistem usaha pertanian padi gogo pada tanaman perkebunan muda dan Hutan Tanaman Industri. Makalah disampaikan pada Temu Aplikasi Teknologi Budidaya Padi Gogo di Propinsi Sulawesi Utara, IP2TP Kalasey-Manado, 17-19 Nopember 1997. 17 p.

Toha, H..M., 2002. Padi Gogo Sebagai Tanaman Sela Perkebunan dan HTI Muda. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian Tanaman Padi.

Toha, H M. 2005. Padi Gogo dan Pola Pengembangannya. Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 48 hal.

Gambar

Tabel 1.Hasil Pertanaman Adaptasi Varietas Padi Gogo Sebagai Tanaman Tumpangsari Hutan Jati Muda Klon Ungguldi Desa Bantarwaru, Kecamatan Gantar, KPH Indramayu MH 2004/2005.*)
Tabel 2. Hasil Pertanaman Adaptasi Galur Harapan Padi Gogo Sebagai Tanaman Tumpangsari Hutan Jati Muda KlonUnggul di Desa Bantarwaru, Kecamatan Gantar, KPH Indramayu MH 2004/2005.*)
Tabel 5.Hasil Pertanaman Adaptasi Varietas Padi Gogo Sebagai Tanaman Tumpangsari  Hutan Jati Muda Klon

Referensi

Dokumen terkait

Jurusan Bimbingan Konseling Islam Fakultas Ushuluddin dan Dakwah. Institut Agama Islam Negeri Surakarta. Perilaku Prososial merupakan salah satu perilaku yang muncul

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa Earning Per Share (EPS), Return On Asset (ROA), Return On Equity (ROE), Net Profit Margin (NPM), Debt

Dengan kedua konsep yang ada didapati bahwasanya karakteristik dari civic community yang tidak bebas akan nilai kewargenegaraan namun dalam konteks komunitas yang

Dari sekian banyak kota di Indonesia, Kota Bandung merupakan salah satu kota yang sudah dapat men-cover kebutuhan stok darah hariannya Namun dari hasil wawancara

Selanjutnya kita akan melakukan konfigurasi Web Server, dengan cara klik 1 kali pada ikon komputer Server-PT Web Server, kemudian pilih tab “Config”, pada menu sebelah kiri

Dengan nasehat dan pengakuan dari perdana menteri, Kaisar boleh melakukan tindakan-tindakan seperti: (1)pengumuman amendamen UUD, UU, PP dan perjanjian internationa, (2) membuka

a) Obyek pengaturan agraria dalam wilayah Indonesia. Obyek yang dimaksud adalah seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya. b)

Hasil uji regresi logistik menunjukkan bahwa, tingkat kesejahteraan keluarga, umur ibu, pendidikan ibu, status bekerja ibu, kepemilikan jumlah anak usia 0-6 tahun,