STUDI KASUS KECENDERUNGAN PERILAKU AGRESIF ANAK
Penelitian ini bertujuan: (1) mendeskripsikan kecenderungan agresif anak pada ibu yang bekerja, (2) mendeskripsikan kecenderungan agresif anak pada ibu yang tidak bekerja, (3) mendeskripsikan perbandingan kecenderungan agresif anak pada ibu yang bekerja dan tidak bekerja di TK Darul Atsar Samarinda, Kalimantan Timur. Jenis penelitian ini adalah deskriptif-komparatif, yakni mendeskripsikan kecenderungan agresif anak dengan membandingkan antara pada ibu yang bekerja dengan yang tidak bekerja. Dalam pengumpulan datanya, peneliti bertindak selaku instrumen penelitian. Data yang dikumpulkan meliputi: (1) kecenderungan agresif anak yang ibunya bekerja, (2) kecenderungan agresif anak yang ibunya tidak bekerja, (3) tanggapan guru yang menangani di sekolah, (4) tanggapan ibu yang bekerja, dan (5) tanggapan ibu yang tidak bekerja. Data tersebut diperoleh melalui dua sumber data, yakni dokumentasi dan informan. Teknik pengumpulan datanya dilakukan melalui dokumentasi, wawancara, dan observasi. Data tersebut selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif-komperatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kecenderungan agresif anak pada ibu yang bekerja disebabkan karena perlakuan manja dan keinginan yang tidak terpenuhi. Kecenderungan agresif anak pada ibu yang tidak bekerja disebabkan karena perlakuan kasar dan kekerasan fisik, serta keinginan memiliki kepunyaan orang. Kecenderungan agresif anak tidak banyak disebabkan oleh ibu yang bekerja atau tidak bekerja, tetapi pada pola asuh dan pemberian model positif yang dapat dicontoh oleh anak, di TK Darul Atsar Samarinda, Kalimantan Timur.
Kata Kunci : kecenderungan agresif, ibu bekerja, ibu tidak bekerja
Abstract
behavior is significantly decreased. The tendency of aggressive behavior children is mostly not caused by working or non-working mother but on the education system and positive model provision to children at TK Darul Atsar Samarinda, East Kalimantan.
Key-words: aggressive behavior, working mother, non-working mother
Pendahuluan
Pendidikan anak usia dini yang dikenal dengan sebutan kindergarden school (TK) memiliki urgensi penting dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan fisik serta mental anak didik di luar lingkup keluarga sebelum memasuki jenjang pendidikan secara formal. Dengan demikian, sistem pendidikan di Taman Kanak-Kanak haruslah menyenangkan serta mengikuti program yang sesuai tingkat perkembangan individual masing-masing. Dalam hal ini penekanan sistem pendidikan Taman Kanak-Kanak adalah kemampuan untuk melakukan penyesuaian sosial bukan hanya pada kemampuan akademis semata.
Anak usia dini di TK merupakan permasalahan yang kompleks karena anak pada usia ini memiliki bermacam perilaku yang mudah bergerak dan berkembang sangat cepat. Keadaan ini masih labil dan sangat mudah dipengaruhi oleh faktor lingkungan, baik lingkungan internal maupun lingkungan eksternal. Anak pada usia ini (2–7 tahun) oleh Piaget (Eggen dan Kauchak, 1997:38) dinamakan tahap pra-operasional. Dalam banyak hal tahap preoperasional tidaklah menguntungkan perkembangan karena terdapat beberapa tahap pengembangan yang komplit. Berpikir preoperasional bercirikan lima aspek perkembangan: egosentrisme, cenration, nontrans-formasi, irreversibility, dan kekurangan alasan sistematik.
Pengaruh yang dialami anak kadang bisa menjadi gangguan jika dapat menyebabkan hal yang berlebihan dan bersifat negatif. Sebagian besar gangguan di masa kanak-kanak, seperti gangguan anxietas perpisahan, merupakan gangguan khas pada anak-anak. Namun banyak gangguan yang lain, seperti gangguan konsentrasi/hiperaktif (ADHD-attantion devisit/ hiperactivity disorder), dikonseptualisasi utamanya sebagai gangguan di masa kanak-kanak (Davidson dkk., 2006:677). Gangguan lain yang bisa muncul adalah perilaku agresif yang terjadi pada anak-anak usia 4 – 5 tahun atau usia TK A.
mewujudkan keinginan yang tidak dapat disalurkan karena mengalami tekanan-tekanan lingkungan sosial.
Perilaku agresif anak usia disebabkan oleh berbagai faktor, salah satu di antaranya adalah pengabaian di masa kecil. Hal ini dikemukakan Bibilung (2008:2) sebagai berikut:
The problem is, who care about child neglect. The lack of attention given to the problems this indifference-called 'ignore pengabaian'-is' concern on hold' in the field of child welfare, Why is that? The problem, according to hussey, visitors often considered a problem more common rather than violence. Moreover, we know relatively little about the impact of neglect on children.
Maksudnya adalah masalah siapa peduli pengabaian anak, kurangnya perhatian yang diberikan pada masalah pengabaian. Hal ini disebut ‘mengabaikan pengabaian’ adalah ‘kepedulian dalam penantian’ di bidang kesejahteraan anak. Mengapa disebut demikian? Masalahnya, pengabaian sering dianggap masalah lebih umum terjadi ketimbang kekerasan. Tambahan lagi, orang relatif sedikit mengetahui tentang dampak pengabaian pada anak.
Taman Kanak-Kanak Darul Atsar sebagai lembaga penyelenggara dan penanggung jawab pendidikan anak usia dini melakukan proses pembelajaran berorientasi pada tujuan untuk membantu meletakkan dasar ke arah perkembangan sikap, pengetahuan, keterampilan, dan daya cipta yang diperlukan oleh anak didik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan untuk pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya. Dengan demikian, membantu peletakan dasar-dasar potensi pikiran dan hati anak didik dalam mengenal diri dan lingkungan disekitarnya, sebagai upaya untuk membangun kemandirian sesuai dengan tahap perkembangan masing-masing individu.
Penyelenggaraan pendidikan, TK Darul Atsar Samarinda, Kalimantan Timur tidak memilah-milah anak berdasarkan gangguan yang dialami anak. Proses pembelajaran menggunakan metode secara umum, artinya tidak memberikan perhatian khusus pada kelompok anak tertentu, misalnya khusus pada anak dengan kecenderungan perilaku agresif, tetapi tidak pula mengabaikan, akan tetapi selalu mencari solusi menangani anak yang berperilaku khusus ini. Inilah yang menjadi komitmen menjalankan pendidikan secara efektif dan efisien di TK ini.
namun bagaimana bentuk keagresivan dan intensitas keagresivan anak pada ibu yang bekerja dan tidak bekerja ini yang akan dipelajari dengan sebuah penelitian.
Kemampuan mengenal emosi diri, anak belum dapat mengidentifikasikan perasaan yang sedang mereka rasakan, menjelaskan peristiwa yang menyebabkannya, anak sering menganggu teman, dan menimbulkan kekacauan di dalam kelas. Selain kurangnya rasa empati, anakpun belum mampu mengelola emosinya. Ketika marah, anak sering melampiaskan kemarahan dengan melempar benda-benda di dalam kelas. Jika anak menginginkan sesuatu yang sedang dipegang oleh temannya, anak selalu mengambil dengan cara merebutnya. Anak sulit dibujuk untuk menghentikan perilaku ini, dan sering berulang meski anak sudah diberi hukuman atau peringatan berulang kali oleh guru.
Rendahnya kemampuan anak dalam mengenal dan mengelola emosi berdampak pada kemampuan membina hubungan dengan teman-temannya. Karena perilaku anak sering menganggu, maka anak cenderung ditolak oleh lingkungannya sehingga anak sering bermain sendiri. Kondisi ini semakin diperparah oleh kebiasaan anak menggunakan aktivitas fisik dan nonfisik yang menyakiti temannya seperti memukul, menendang atau mencerca.
Erickson dalam teori psikoanalisisnya menggambarkan bahwa perilaku anak dipengaruhi oleh bagaimana orang-orang penting dalam kehidupan anak memperlakukannya terutama oleh ibunya karena ketergantungan anak yang tinggi pada sosok seorang ibu pada masa-masa awal kehidupannya. Kualitas hubungan yang terjadi pada awal perkembangan anak akan menjadi dasar bagi perkembangan anak pada masa sesudahnya. Perilaku anak adalah hasil dari pengalaman anak dengan lingkungan terdekatnya. Bandura (dalam Anantasari, 2007;93) lewat teori belajar sosialnya mengungkapkan bahwa anak belajar agresif dengan melihat kehidupan sehari-hari misalnya saudara, orang tua, teman, pembantu dan sebagainya. Oleh karenanya selain orang tua perlu juga ”menjaga perilaku diri”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang diabaikan pada saat bayi menunjukkan tingkat perilaku agresif yang lebih tinggi pada usia 4 hingga 8 tahun.
pada diri anak itu sendiri maupun pada orang lain. Peranan ibu ini sangat penting terhadap penanganan anak terutama dalam pertumbuhan dan perkembangannya.
Hal-hal yang dikemukakan diataslah yang menjadi dasar untuk melakukan penelitian di TK Darul Atsar Samarinda, Kalimantan Timur dengan pokok persoalan pada anak usia dini dengan kecenderungan perilaku agresif pada ibu yang bekerja dan tidak bekerja. Selain alasan tersebut di atas, belum ada atau masih kurangnya penelitian yang dilakukan mengenai hal ini.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada orangtua siswa TK. Darul Atsar yang telah bersedia menjadi informan dalam penelitian ini. Ucapan ini pula kami sampaikan kepada Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda yang telah bersedia memberikan bantuan untuk hasil kajian ini dipresentasikan dalam seminar nasional.
Metode Penelitian
Berdasarkan eksplanasinya penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk mengambarkan dan mengklarifikasi mengenai kecenderungan perilaku agresif anak pada ibu yang bekerja dan tidak bekerja. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif pada 2 (dua) orang responden. Penelitian ini dilaksanakan di Taman Kanak-Kanak Darul Atsar Samarinda, Kalimantan Timur. Adapun pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi dan studi dokumentasi. Analisis data dilakukan melalui reduksi data, pengorganisasian dan pengelompokan data, pemeriksaan, penafsiran dan verifikasi.
Hasil & Pembahasan
1. Gambaran Keagresifan Anak pada Ibu yang Bekerja
bersama ibu, nenek dan tantenya, ayahnya bernama MS yang bekerja di salah satu perusahaan swasta di Jakarta hanya sekali sebulan datang ke Samarinda. Ibu D bernama H pun bekerja sebagai staf administrasi di perusahaan GP, sehingga kesehariaannya D diasuh oleh nenek, tante, dan pembantu. Rumah D terletak di Perumahan Rapak Benuaq, daerah yang cukup asri, jauh dari polusi dan rumah-rumah pun agak berdekatan, hanya saja lingkungannya cukup sepi. Sehari-hari ia hanya bermain bersama tante, nenek dan pembantunya, karena di dekat rumahnya tidak ada anak yang seusia D, kalau pun ada yang seusia rumahnya agak jauh dari rumah D.
Berikut ini disajikan kesimpulan wawancara.
Adapun informasi dari anak (D) berupa pengamatan bahwa kecenderungan keagresifan anak yang terdiri atas verbal dengan indikator cercaan, bantahan, ejekan, dan makian, serta nonverbal dengan indikator pukulan, tendangan, cubitan, dan merampas.
a. Keagresifan Verbal
Keagresifan verbal ini ada empat indikator yang dijelaskan, yaitu: (1) cercaan, (2) bantahan, (3) ejekan, dan (4) makian. Perilaku cercaan dilakukan sebanyak lebih dari 3 kali sehari, yang menjadi sasaran adalah teman-teman dan guru, kadang-kadang mengeluarkan kata-kata ”kamu jelek, jelek, jelek”, ”bu guru gendut kaya badut”, sambil menarik-narik baju temannya, atau sambil memukul, alasan melakukan cercaan karena diolok-olok temannya, dan upaya mengatasi perilaku ini adalah dengan berbicara secara baik-baik.
Perilaku membantah terlihat pada bantahan dilakukan lebih dari 1 kali dalam seminggu, bentuk bantahannya adalah dengan membantah pernyataan diikuti tangisan, alasan melakukan bantahan karena ia dibantah juga oleh teman-temannya, dan respon orang yang dibantah hanya diam saja.
D jarang terlihat mengejek teman-temannya hanya 1 kali dalam seminggu, biasanya yang menjadi sasaran ejekan adalah teman-temannya, alasan melakukan ejekan karena diolok-olok oleh temannya, bentuk ejekannya adalah dengan menjulurkan lidah sambil mengatakan ucapan kasar ”goblok”, dan upaya mengatasi perilaku ini yaitu bicara dengan baik-baik, melarang teman-temannya untuk mengejeknya, dan memintanya untuk bersabar.
memberitahu dengan baik-baik bahwa hal tersebut tidak baik, menasihati teman-temannya agar tidak mengganggunya.
Kecenderungan perilaku agresif pada D ada penurunan dilihat dari berapa kalinya melakukan dalam seminggu. Yang menjadi sasaran kebanyakan adalah teman sepermainan dan kepada guru frekuensinya sangat sedikit. Alasan melakukan keagresifan ini adalah karena tidak diikuti kemauannya, hanya sedikit frekuensinya dengan tanpa alasan. Cara mengatasinya hanya menggunakan tiga pola, yaitu melarang, menasihati, dan mengajari bergaul.
b. Keagresifan nonverbal
Pada Keagresifan nonverbal ini ada empat indikator yang dijelaskan, yaitu: (1) pukulan, (2) tendangan, (3) cubitan, dan (4) merampas.
Pukulan yang dilakukan D sebanyak lebih dari 5 kali dalam seminggu dan yang menjadi sasaran pukulan adalah teman-teman dan guru. Alasan melakukan pukulan karena tidak dipinjamkan mainan dan temannya tidak mau bermain bersamanya, respons orang yang dipukul membalas memukul dan menangis. Upaya mengatasi perilaku ini adalah dengan melarangnya dan melerai.
D juga terlihat melakukan tendangan yang dilakukan sebanyak lebih dari 3 kali dalam minggu itu, bagaimana ia melakukannya adalah menendang dengan keras, menendang apa saja yang ada di dekatnya seperti meja, kursi bahkan temannya jika ada didekatnya. Alasan melakukan pukulan karena keinginannya tidak terpenuhi seperti menginginkan makan temannya. Upaya mengatasi perilaku ini adalah dengan menasihati dengan baik.
D melakukan cubitan sebanyak lebih dari 2 kali dalam minggu itu, yang menjadi sasaran cubitan adalah teman dan gurunya, dan waktu melakukan perilaku ini ketika bermain atau belajar bersama. Alasan melakukan cubitan karena keinginannya tidak terpenuhi seperti menginginkan makanan temannya. Upaya mengatasi perilaku ini adalah dengan menasihati dengan bijak.
Sebagai konklusi dari aspek keagresifan nonverbal ini adalah frekuensinya tidak banyak, berkisar antara 1 kali sampai 3 kali dalam sepekan. Yang menjadi sasaran perlakuan agresif kebanyakan adalah teman-temannya, sedangkan kepada guru jumlahnya sedikit. Alasan melakukan perilaku ini adalah karena tidak diperhatikan oleh temannya dan jika ada yang ingin dipinjam tapi tidak diberikan. Cara mengatasinya adalah dengan melindungi temannya yang menjadi sasaran, melarang, dan menasihatinya.
Tanggapan terhadap kecenderungan keagresifan D diperoleh dari ibu guru yang menangani atau mengajarnya. Ketika ditanyakan tentang keseharian D di sekolah, jawaban yang diperoleh adalah sebagai berikut.
D itu cenderung pendiam di kelasnya, bicara seperlunya tapi kalau D bicara biasa langsung nyaring … temannya juga tidak terlalu banyak yang dekat dengan dia, kalau main suka sendiri, mengerjakan sesuatu juga sendiri, kalau kerja kelompok dia lebih banyak diam atau dia buat sendiri itu kerjaannya … dia tidak suka diganggu oleh siapa pun juga apalagi kalo ada dia bikin, main-main saja kalau ada temannya mau pinjam barangnya dia tidak bolehkan, bisa-bisa itu temannya dia pukul.
Ketika ditanyakan tentang keseringan menggangu temannya di kelas, maka Ibu S memberikan informasi sebagai berikut.
Tidak juga, kalau dia diganggu temannya atau tidak sengaja temannya menyenggol atau apa saja hal kecil dia bisa langsung main pukul, baru tidak ada itu bicaranya (nada suaranya agak tinggi), kadang-kadang saya sendiri tidak tahu apa maunya, tapi bagusnya D gampang dikasih tahu kalau dia salah tapi begitu mi juga dia ulangi lagi, jadi harus ki juga sabar-sabar, yang tidak bisa sabar itu kasian teman-temannya yang dia pukul.
Tahapan wawancara berikutnya dilakukan dan diketahui bahwa ibu D memperhatikan anaknya. Dia mengajak D bicara kalau mau tidur, karena nanti di malam hari baru ada waktunya. Oleh sebab itu, ia suka meminta bantuan pihak sekolah untuk tidak bosan menasihati D. Menurut ibu D selanjutnya, anaknya ini tidak suka marah-marah di rumah, kecuali kalau sang ibu sudah ada di rumah. Ketika ditanyakan apakah D suka mencubit, maka diperoleh jawaban sebagai berikut:
Iya, apa-apa mencubit ... tidak teman tidak ibu gurunya yang dicubit, biar tidak diganggu atau cuma lewat saja. Saya pernah dicubit, salahku juga karena dia panggil-panggil saya untuk diambilkan mainan, tetapi saya keasyikan perhatikan temannya jadi dia cubit saya. Kalau merampas sebenarnya jarang, kecuali itu tadi, ada barang yang dia inginkan dan tidak diberikan.
Apa hasilnya setelah D dinasihati dan dipisahkan ruangannya, selanjutnya keterangan diperoleh bahwa ada perubahan, tetapi sifatnya hanya sementara, dinasihati lagi dan terus dinasihati, makanya harus sabar menyikapi hal ini. Ibu dan tantenya juga diberitahu mengenai hal ini.
Selanjutnya informasi yang diperoleh bahwa D suka menonton film kartun. Selain menonton, dia juga suka main PS (play station) dan main pedang-pedangan sama tantenya dan tinju-tinjuan. D tidur sendiri di kamarnya sendiri. Kalau ibunya pulang kerja terlebih dahulu berbincang-bincang dulu sambil nontor sebelum ia tidur. Dia menonton acara yang disukai sendiri, oleh karena itu, nenek dan tantenya menonton sendiri di kamar.
Ketika ditanyai apakah D suka mengamuk, maka diperoleh jawaban dari ibu D sebagaimana dikutip berikut ini.
Ya kadang-kadang kalau ada yang dia tidak suka atau ada yang dia maui tapi tidak dituruti ya marah … nangis … bahkan. Pernah dia mau minum es krim padahal dia lagi batuk jadi saya tidak kasih, dia nangis trus marah, badan saya dipukuli dibilangin mama jahat lah, tapi saya biarkan saja karena nanti batuknya tambah parah. Tiba-tiba badannya kejang-kejang, saya kaget minta ampun cepat-cepat saya larikan ke RS, alhamdulillah masih bisa tertolong.
kembali. Sebagai akhir wawancara ini peneliti menayakan apakah dia pernah berdikusi dengan guru D di sekolah. Jawabannya adalah seperti yang dikutip berikut:
Kadang-kadang saja saat saya antar D ke sekolah, saya berbincang sebentar dengan gurunya. Gurunya biasanya melaporkan perkembangan D. Saya hanya berdoa saja mudah-mudahan ketika dia besar dia bisa paham kalau sikapnya itu kurang baik karena nanti dia tidak punya teman, kan kasihan D.
2. Gambaran Keagresifan Anak pada Ibu yang Tidak Bekerja
Penggambaran keagresifan anak pada ibu yang tidak bekerja diperoleh melalui wawancara dengan anak itu sendiri, guru yang mengajarnya, dan dengan ibunya. Informasi yang diinginkan pada wawancara ini adalah bagaimana kecenderungan keagresifan anak, baik dalam perilaku verbal maupun nonverbal, serta upaya apa yang dilakukan untuk mengatasi kecenderungan tersebut. Adapun anak yang diteliti bernama R berusia 4 tahun 5 bulan, dilahirkan dalam keadaan normal, anak kedua dari empat bersaudara, berperawakan tidak gemuk tapi juga tidak kurus, rambut pendek kemerahan, periang, tinggi sekitar 80 cm dan prestasinya di bidang menggambar pun tidak mengecewakan. Ayah R bekerja sebagai buruh kasar di pabrik batako sedangkan ibunya hanya ibu rumah tangga biasa sehingga waktunya lebih banyak dihabiskan di dalam rumah. R tinggal bersama kedua orang tuanya dan 3 orang saudaranya di rumah kontrakan petak-petak yang berdindingkan triplek, hidup mereka pun serba pas-pasan. Dalam keseharian R tidak pernah diajarkan untuk sholat ataupun mengaji karena kedua orang tuanya pun tidak ada yang melaksanakan kewajiban mereka sebagai hamba Allah. Tiga bersaudara dalam keluarganya dan dia anak yang ada di tengah-tengah. Berikut ini disajikan kesimpulan wawancara.
Pada bagian ini digambarkan kecenderungan keagresifan anak yang terdiri atas verbal dengan indikator cercaan, bantahan, ejekan, dan makian, serta nonverbal dengan indikator pukulan, tendangan, cubitan, dan merampas. Berikut adalah rangkuman hasil wawancaranya. a. Kegresifan verbal
Pada Keagresifan verbal ini ada empat indikator yang dijelaskan, yaitu: (1) cercaan, (2) bantahan, (3) ejekan, dan (4) makian.
mengolok-olok. Upaya mengatasi perilaku ini adalah dengan melarang dan memberi nasihat bahwa perbuatan tersebut tidak baik, oleh orangtuanya kadang-kadang dimarahi.
Perilaku membantah dilakukan lebih dari 2 kali dalam sehari, bentuk bantahannya adalah dengan membantah pernyataan, menakut-nakuti, menolak terhadap apa yang tidak disukainya dengan ungkapan ”Bodoh!”, kalau temannya sudah menangis dan telah memenuhi keinginannya langsung ia berhenti membantah. Alasan melakukan bantahan karena ia ingin menakuti temannya dan ingin terpenuhi keinginannya. Respon orang yang dibantah menangis, marah, bahkan ada yang balik membantahnya, sehingga perkelahian terjadi. Guru yang dibantah kadang memenuhi keinginannya, dengan terlebih dahulu mengajarkan cara mengungkapkan sesuatu dengan baik.
R juga sering melakukan ejekan lebih dari 5 kali dalam sehari, yang menjadi sasaran ejekan adalah teman-teman sepermainannya, bentuk ejekannya adalah mengolok-olok sambil menjulurkan lidah, kadang-kadang mengeluarkan kata-kata hinaan seperti ”Kamu gendut!”, ”Kamu hitam kaya oli!”, ”Anak setan!”. Alasan melakukan ejekan karena diejek temannya maka ia membalas mengejek dan jika ada temannya tidak mengerjakan. Upaya mengatasi perilaku ini adalah guru langsung memberi nasihat dan kadang-kadang memarahinya.
R melakukan makian yang sebanyak 3 kali sehari bahkan pernah tidak ada, yang menjadi sasaran makian adalah teman-teman sebayanya, ia melakukan ini sejak awal sekolah, kata ibunya sudah lama. Alasan memaki adalah jika hal yang ia tidak suka. Dan upaya untuk mengatasi perilaku ini adalah dengan melarangnya untuk mengulangi perbuatan tersebut.
Konklusi dari aspek agresif verbal yang dilakukan R kecenderungan frekuensi adalah antara 3 sampai 5 kali dalam sepekan. Sasaran tindakan keagresifannya adalah seimbang antara teman-temannya sendiri dan guru. Alasan melakukan tindakan ini bervariasi, yaitu dilakukan tanpa alasan, keinginannya tidak terpenuhi, menginginkan kepunyaan orang lain, dan kalau diperhatikan pada saat melakukan tugas. Cara mengatasinya yaitu dengan melarang dan mengajari, tidak mempan dengan bujukan.
b. Keagresifan nonverbal
Pada Keagresifan nonverbal ini ada empat indikator yang dijelaskan, yaitu: (1) pukulan, (2) tendangan, (3) cubitan, dan (4) merampas.
dipinjamkan mainan dan tidak diajak bermain oleh temannya, respons orang yang dipukul menangis atau membalas memukul. Upaya mengatasi perilaku ini adalah dengan melarangnya dan melerai.
Tendangan yang dilakukan R sebanyak lebih dari 2 kali dalam minggu itu, bagaimana ia melakukannya adalah menendang dengan tidak terlalu keras, menendang apa saja yang ada di dekatnya. Alasan melakukan pukulan karena keinginannya tidak dipinjamkan alat tulis dan tidak diberi makanan. Upaya mengatasi perilaku ini adalah dengan diberi pengertian dan mengajari cara meminta dengan baik.
Cubitan yang dilakukan R sebanyak lebih dari 2 kali dalam seminggu, yang menjadi sasaran cubitan adalah teman dan gurunya, dan waktu melakukan perilaku ini ketika melihat temannya bermain. Alasan melakukan cubitan karena ingin saja. Upaya mengatasi perilaku ini adalah dengan melarang dan menasihatinya.
Sedangkan dalam hal merampas R melakukannya sebanyak lebih dari 5 kali dalam sepekan, yang dirampasnya adalah barang-barang milik temannya baik alat tulis maupun makanan, waktu melakukan perilaku ini baik saat pembelajaran sedang berlangsung dan saat bermain. Alasan melakukan merampas karena melihat milikinya tidak sama dengan milik temannya atau tidak dipinjamkan sesuatu. Upaya mengatasi perilaku ini adalah dengan menasihati dan mengajarinya cara meminjam yang baik kepada temannya.
Konklusi dari perilaku agresif nonverbal R cenderung tetap, tidak mengalami penurunan, frekuensi melakukannya antara 3 sampai 5 kali sepekan. Sasaran perlakuan agresif nonverbalnya adalah guru dan teman-temannya. Alasan melakukan perilaku ini kebanyakan karena keinginannya tidak terpenuhi yaitu menginginkan kepunyaant emannya. Cara mengatasi perilakunya adalah adalah mencegah tindakannya karena dapat membahayakan temannya, menuruti permintaannya, atau menginsolasi ke tempat lain.
Tanggapan terhadap kecenderung keagresifan R diperoleh dari ibu guru yang menangani atau mengajarnya. Ketika ditanyakan tentang keseharian R di sekolah, jawaban yang diperoleh menggambarkan bahwa R ini anak yang lincah dan rajin ke sekolah, namun perilaku agresif bisa datang secara tiba-tiba dan spontan.
Ketika ditanyakan, dia dapat membereskan segala peralatan yang telah digunakan pada proses pembelajaran. Informasi lebih lanjut tentang R diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan menunjukkan jika pulang sekolah R kadang-kadang dijemput, tapi lebih sering pulang sendiri.
Ketika diinginkan informasi tentang cara melerainya jika terjadi konflik dengan temannya, maka diperoleh jawaban bahwa dilakukan dengan memisahkan mereka lalu R dipeluk agar tidak bisa memukuli temannya. Kemudian saya memberitahu temannya agar tidak terlambat dan tidak mengejek-ejeknya lagi. Kalau temannya yang memukul, R tidak pernah menangis. Nanti dia menangis kalau Ibu T dan guru lain yang memarahi atau menegurnya. Kalau terjadi hal ini, biasanya diajak belajar ke tempat yang terpisah, di sini dia merasa lebih tenang. Selanjutnya ditanyakan bagaimana keadaan ketika bermain. Jawaban Ibu T adalah sebagai berikut ini:
Dia selalu marah kalau dia mau pinjam mainan temannya tapi ga dipinjamkan, atau kalau dia lagi main trus temannya datang dia juga tidak suka, dan kalau dia tidak suka biasanya dia suka memukul, mengejek, membantah, menendang, dia senang lihat temannya menangis. Kalau bermain, dia senangnya main sendiri, kadang-kadang dia mau main bersama tapi hanya sebentar. De far .. saya minta maaf anak-anak sebentar lagi masuk kelas.
Bagaimana awalnya R mengetahui isyarat Ibu T, dapat diperhatikan kutipan seperti berikut ini:
Waktu awal-awal dia sekolah saya suka mencubitnya, tapi dia tetap melawan bahkan pernah melempari saya dengan penghapus white board, alhamdulillah saya mengelak dan penghapus itu mengenai lemari… Pernah suatu hari saya cape, mumet, dan dia berbuat ulah berteriak-teriak, memukul dan menendang meja karena dia ingin bekal temannya. Saya nekat juga mendekatinya dan memeluknya dari belakang, dia meronta tapi kemudian dia tenang, saya membawanya ke ruangan bermain. Kami bicara berdua sambil saya menatap wajahnya, itu pertama kalinya saya melihatnya menunduk sambil berkaca-kaca. Dari situlah saya berkesimpulan kalau R ini butuh perhatian.
mengulang lagi perilaku nakalnya. Jika dibandingkan saat sekarang ini perilakunya mulai baik daripada pertama kali masuk sekolah.
Informasi dari ibu R mengenai R diketahui bahwa R adalah anak kedua dari empat bersaudara. Pengakuan ibunya R ini anaknya nakal suka bertengkar dengan kakaknya dan adiknya. Mereka tendang-menendang, cakar-mencakar, mengumpat dengan kata-kata kotor. Kalau pulang sekolah, setelah makan siang ia tidak mau tidur siang, nanti dimarahi baru ia mau tidur siang. Kalau sudah sore dia pergi bermain, dan nanti terdengar suara mengaji di mesjid baru dia masuk rumah karena bapaknya juga sudah pulang dan suka memarahinya. Pada malam harinya dia nonton televisi sebelum tidur. Bagaimana dengan keluarga lainnya kalau R menonton acara televisi. Bagaimana kalau R kalau dimarahi atau dipukul, dia tidak menangis. Orang tuanya terutama ibunya sudah kewalahan menghadapi perilaku R yang cenderung agresif ini.
Informasi yang diperoleh selanjutnya bahwa Ibu W mengetahui kalau anaknya cenderung agresif, malah dikatakannya nakal, namun solusi yang dilakukan unutk mengatasinya adalah dengan memarahi atau memukulnya. Respon lain yang diperoleh tentang penyebab perilaku agresifnya muncul adalah ketika diganggu oleh kakak atau adiknya dan jika ada keinginannya yang tidak terpenuhi. Apakah keinginannya selalu dipenuhi, maka jawabannya dikutip seperti berikut ini:
Kalau lagi ada uang ya saya penuhi .. tapi kalo lagi tidak ada uang ya saya biarkan saja, nanti juga berhenti sendiri .. biasanya dia minta uang jajan tapi saya heran dikasih uang jajan kada dibelanja jua, nanti kalo pasar malam dia suka pergi sama kakaknya dia suka beli krayon, tu banyak dilemari.
Dari wawancara ini, diketahui pula kalau R suka menggambar setiap bangun tidur. Tetapi kalau bukunya sudah penuh, maka dia menggambarnya di dinding rumah. Akibatnya dia suka malas-malasan beranjak, akhirnya dimarahi dan dipukul lagi. R kesekolah sendiri tanpa diantar karena sekolahnya dekat dari rumahnya. Ia juga membawa bekal kesekolah kalau ibunya sempat membuatkannya, kalau tidak ia diberi uang untuk membeli jajanan, tapi makan siang di rumahnya. Kakaknya mengalami perlakuan yang berbeda, bapaknya juga lebih sayang pada L daripada R, mungkin karena L lebih mau mendengarkan daripada R..
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
1. Gambaran kecenderungan perilaku agresif anak pada ibu yang bekerja
dari hasil wawancara dengan D sendiri, Ibu guru S, dan ibunya tergambar adanya penurunan tingkat agresifnya, bahkan pernah ada perilaku agresif yang tidak muncul. Solusi mengatasi kecendrungan agresif D ini tidak harus dengan kekerasan, seperti memarahi atau pelarangan, namun juga lebih banyak dengan nasihat dan bujukan, bahkan dengan belaian. Di rumahpun dia diperlakukan dengan kelembutan.
Kecenderungan keagresifan D pun diperolehnya dari media baik tontonan televisi maupun permainan Play Station (PS) yang menayangkan adegan-adegan kekerasan seperti Power Rangers, Ben 7, Ben 10, dan sebagainya. Hal ini terlihat bahwa dia mempunyai fasilitas menonton tersendiri agar tidak mengganggu kesenangannya terhadap acara apa yang ingin ditontonnya. Hal ini perkuat oleh permainan D dan tantenya yang suka bermain tinju-tinjuan.
Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh teoretikus sosial-kognitif seperti Albert Bandura (dalam Nevid et.al. 2005:207) mengajukan pandangan bahwa agresi merupakan perilaku yang dipelajari, dimunculkan dalam cara yang sama seperti perilaku-perilaku lain. Peran dari modeling (melihat dan meniru) dan reinforcement digarisbawahi pada pembelajaran perilaku agresif. Anak-anak dapat belajar meniru tindakan kekerasan yang diamati di rumah, di halaman sekolah, di televisi, atau di media lain. Bila kemudian di-inforced untuk bertindak agresif, misalnya dengan memperoleh keinginannya atau memperoleh persetujuan dan rasa hormat dari sebaya, kecenderungan untuk melakukan agresi menjadi lebih kuat sejalan dengan waktu.
Efek peniruan atau modeling adalah pengaruh dari penerapan terhadap kekerasan dalam liputan media, pada khususnya kekerasan di televisi. Diperkirakan bahwa anak yang rata-rata menonton TV 2 sampai 4 jam setiap harinya, dapat melihat sekitar 8.000 pembunuhan dan 100.000 tindak kekerasan lain melalui TV, begitu ia menyelesaikan pendidikan dasarnya (Eron, dalam Nevid et.al. 2005:209).
orangtua dapat membiarkan perilaku ini begitu saja. Tanpa penanganan yang tepat tantrum dapat berkembang menjadi perilaku agresif.
Saat tantrum anak berhenti, berikanlah cinta dengan mengajak berjalan-berjalan, membaca buku, bermain sepeda bersama-sama, dan lain-lain. Tunjukkan kepada anak, sekalipun ia telah berbuat salah, sebagai orangtua tetap mengasihaninya. Orangtua perlu mengevaluasi apakah kurang peka terhadap kebutuhan anak dengan mempelajari kebiasaan sehingga komunikasi dua arah semakin baik. Apa yang dikemukakan pada teori di atas berusaha diterapkan oleh orangtua D. Walaupun ibunya bekerja dan intensitas pertemuaannya kurang, namun ibunya selalu menyempatkan berkomunikasi dengan D sebelum tidur. Hal ini membawa dampak yang positif terhadap perilaku D, meskipun hasilnya tidak maksimal dan senantiasa terulang kembali tetapi terjadi perubahan perilaku D yang cenderung agresif.
2. Gambaran kecenderungan perilaku agresif anak pada ibu yang tidak bekerja
Kecenderungan keagresifan R ini disebabkan karena sikap keras orang tua, terutama ibunya. Selain itu, terjadi tidak adanya pemerataan kasih sayang dengan saudara-saudaranya karena keterbatasan ekonomi. Kekerasan yang dilakukan kepadanya tidak membuat dia jera. Ibu W tidak mau peduli terhadap panggilan sekolah guna mendiskusikan terhadap perilaku anaknya, padahal para guru di sekolah menyayangi R. Anak ini berbakat dan cerdas di sekolah. Ibu W beranggapan bahwa dengan kekerasan dapat menanamkan disiplin dan mengubah perilaku agresif anaknya. Ini bertentangan dengan sikap yang diterima R di sekolah dibandingkan di rumahnya. Memang pada awal dilakukan bentakan atau cubitan bahkan tangan diplintir, terjadi perubahan sikap, tetapi sifatnya tidak permanen.
Apa yang ditemukan di atas menunjukkan bahwa kecenderungan perilaku agresif dapat terjadi karena hukuman fisik masih dipraktikkan di sebagian besar keluarga –paling tidak sesekali- sebagai cara menanamkan disiplin yang dapat diterima. Menurut angka kejadian yang dikemukakan oleh Krahe (2005:247) bahwa hampir 100 persen orang tua yang memiliki anak-anak yang masih kecil melaporkan bahwa mereka pernah memukul anak-anaknya paling tidak satu kali selama setahun dan menyetujui pendapat bahwa ”kadang-kadang perlu tamparan keras untuk mendisiplinkan anak”.
kesempatan, kurangnya kehangatan keluarga, ketaatan religius yang rendah, dan pemaparan terhadap model-model peran yang menyimpang. Untuk membantu menjelaskan hubungan antara kemiskinan dan agresi, harus dicatat bahwa anak-anak yang lebih miskin biasanya akan terpapar lebih besar pada tekanan-tekanan hidup, termasuk tekanan yang berkaitan dengan kekerasan yang terjadi di lingkungannya.
Anak sekecil itu juga tidak diantar ke sekolahan dan dijemput setelah pulang sekolah. Hal ini tidak diacuhkan orangtua R, dianggap sepele karena rumahnya dekat. Konsep ini didefinisikan Krahe (2005:269) sebagai tindakan psikologis yang bersifat menganiaya yang dilakukan orangtua, yang meliputi semua bentuk pengabaian yang mengakibatkan penelantaran secara emosional, kognitif, maupun edukatif.
Apa yang ditemukan di atas juga menunjukkan bahwa keagresifan anak dapat terjadi terhadap pola pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua. Hal ini sejalan dengan hasil riset Diana Baumrid (dalam Papalia et.al., 2008:395) yang mempelajari 103 anak prasekolah dari 95 keluarga. Melalui wawancara, pengujian, dan studi ke rumah, bagaimana anak berfungsi, mengidentifikasi tiga gaya pengasuhan, dan mendeskripsikan pola umum perilaku anak yang muncul dari gaya tersebut. Temuan Baumrid korelasional dan tidak mempertimbangkan faktor pembawaan seperti temperamen. Karya Baumrid dan sejumlah riset yang menginspirasikan karya tersebut telah memperlihatkan hubungan hubungan yang kuat antara tiap gaya pengasuhan dan rangkaian tertentu perilaku anak, yaitu orangtua otoritarian, orangtua yang permisif, dan orangtua autoritatif.
Jika dicermati kecenderungan keagresifan kedua anak ini, D dan R, maka tergambar jelas bahwa R lebih sering kecenderungan agresifnya daripada D. R tidak mempan dengan berbagai terapi yang diterimanya, terutama larangan, kemarahan, bahkan penyakitan badan. Sedangkan D mudah diatasi dengan bujukan dan nasihat. Kecenderungan keagresifan anak tidak ditentukan pada ibu bekerja dan tidak bekerja. Hal ini dapat terlihat bahwa D yang ibunya bekerja dan intensitasnya sangat sedikit, tetapi kecenderungan agresifnya tidaklah sering dibandingkan dengan R yang ibunya tidak bekerja dan intensitas pertemuannya lebih banyak, namun kecenderungan agresifnya lebih tinggi daripada D. Malah R ini telah diberi label ”nakal” oleh ibunya sendiri.
menanggapi perasaan orang lain dan perasaan dirinya sendiri serta perilaku yang tepat untuk bertingkah laku dalam suatu lingkungan sosial. Bentuk pengajaran dapat berupa latihan atau role play. Dengan demikian, anak mendapatkan model perilaku yang positif dan mengetahui bagaimana harus bersikap dalam suatu situasi sosial tertentu. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Hildayani et.al. (2007:12.15) bahwa teknik yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah agresivitas adalah menampilkan tingkah laku positif sebagai model merespon perilaku agresif dan membantu anak untuk berlatih menampilkan perilaku nonagresif. Orangtua atau guru dapat berperan sebagai model bagi anak dengan tidak menampilkan perilaku agresif juga. Anak dengan perilaku agresif sering kali sulit untuk menyampaikan keinginan dan perasaannya secara tepat, tanpa menampilkan perilaku agresif. Bantuan orangtua atau guru sangat penting untuk dapat melatih anak menggunakan perasaan dan keinginannya secara tepat.
Apa yang menyebabkan anak menjadi agresif? Mengapa sebagian anak lebih agresif dibandingkan yang lain? Biologi mungkin memainkan peran dalam hal ini. Jadi, mungkin saja seorang anak tempramental yang sangat emosional dan rendah kontrol dirinya cenderung mengekspresikan kemarahan secara agresif (Eisenberg dkk. dalam Papalia et.al., 2008:400). Perilaku agresif cenderung berkembang dari masa kanak-kanak awal oleh kombinasi atmosfer rumah yang penuh tekanan dan tidak menggairahkan; displin yang keras, kurang kehangatan ibu dan dukungan sosial; terbuka terhadap orang dewasa yang agresif dan kekerasan lingkungan; dan kelompok sebaya yang rapuh, yang menghalangi hubungan yang stabil. Mulai pengalaman sosialisasi negatif seperti itu, anak yang tumbuh dalam lingkungan miskin beresiko tinggi menyerap sikap antisosial di samping upaya terbaik yang diberikan oleh orangtua mereka (Dodge dkk. dalam Papalia et.al., 2008:400).
agresif dibandingkan dengan anak yang ada dalam kelompok lain, mengimitasi banyak hal yang dilakukan atau yang dikatakan oleh sang model. Anak-anak yang bersama model yang tenang tidak demikian agresif dibandingkan dengan yang ada dalam kelompok kntrol. Temuan ini mengungkapkan bahwa orangtua mungkin dapat menekan efek frustrasi dengan mencontohkan perilaku nonagresif.
KESIMPULAN & SARAN
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan hasil penelitian, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Kecenderungan keagresivan anak yang ibunya bekerja disebabkan karena dimanja oleh orang-orang yang ada di sekitarnya dan media televisi dan permainan PS yang menampilkan tindakan-tindakan kekerasan. Walaupun intensitas pertemuan dengan ibunya kurang, namun ibunya membiasakan untuk mengajaknya bercakap-cakap sebelum tidur. Kecenderungan keagresifannya muncul ketika keinginannya tidak terpenuhi, sehingga upaya untuk mengatasinya dengan cara mengabulkan apa yang menjadi keinginannya sambil dinasihati dan mengajari cara-cara yang baik untuk mendapatkan keinginannya. Bentuk kecenderungan agresifnya pun lebih sering ditampakkan dalam bentuk nonverbal daripada bentuk verbal. Kecenderungan keagresifannya terlihat berkurang dari pekan ke pekan.
2. Kecenderungan keagresivan anak yang ibunya tidak bekerja disebabkan kurangnya kasih sayang dari orangtuanya dan sering mengalami perlakuan kasar di rumahnya baik secara fisik maupun verbal. Akibat dari perlakuan ini, kemarahan dan hukuman fisik tidak lagi mempan untuk mengubah kecenderungan perilaku agresifnya. Bentuk kecenderungan perilaku agresif yang sering ditampakkan seimbang antara aspek verbal dan nonverbal. Selain itu, ibunya tidak mengacuhkan panggilan pihak sekolah untuk mendiskusikan tentang perilaku anaknya, padahal dia anak yang berbakat dan cerdas. Di sekolah, R mendapatkan perhatian dan perilaku yang khusus, namun setelah tiba di rumah mengalami perlakuan yang berbeda, bahkan ibunya memberinya label “nakal”. Upaya para guru di TK Darul Atsar untuk mengatasi kecenderungan agresif anak dengan cara yang bervariasi.
dimanja oleh orang-orang yang ada di sekitarnya dan media televisi dan permainan PS yang menampilkan tindakan-tindakan kekerasan. Kecenderungan perilaku agresif terlihat berkurang hal ini dikarenakan adanya pemberian model positif di sekolah yang dapat dicontoh oleh anak. Dan kecenderungan perilaku anak akan bisa diatasi dengan baik apabila pendidikan di keluarga bersinergi dengan pendidikan di sekolah, seperti memberikan contoh yang baik, memberikan pengertian yang baik serta memberikan alasan yang logis apabila keinginannya tidak dapat dipenuhi, mengurangi tontonan televisi yang menampilkan tindakan kekerasan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad & Mohammad Asrori. 2004. Psikologi Remaja (Perkembangan Pesert Didik). Jakarta: Bumi Aksara.
Arikunto, Suharsimin. 2003. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
_______________. 2006. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Bibilung. 2008. Diabaikan Saat Bayi, Anak Lebih Agresif. Online (
http://www.tumbuh-kembang-anak.blogspot.com/2008/02) Diakses tanggal 20 November 2008.
Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada. ________________. 2008. Penelitian Kualitatif. Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan
Ilmu Sosial Lainnya. Kajarta: Kencana.
Davison, Geral C., et all. 2006. Psikologi Abnormal. Terjemahan Imelda Ika Dian Oriza dan Indah Sari Hutauruk. Jakarta: Raja Grafindo Persada..
Depdikbud..1994b. Landasan Program dan Pengembangan Kegiatan Belajar. Jakarta: Proyek Peningkatan Mutu Taman Kanak-Kanak.
Depdiknas. 2002. Acuan Menu Pembelajaran pada Pendidikan Anak Dini Usia (Menu Pembelajaran Generik). Jakarta: Dirjen PLS.
Depend PLS. 2006. Pedoman Teknis Penyelenggaraan Pos Paud. Jakarta: PLS Pemuda & Olahraga.
Desmita. 2005. Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja. Rosdakarya.
Eggen, Paul dan Don Kauchak. 1997. Educational Psychology. New Jersey: Prentice Hall Inc. Gamayanti, Indria. 2006. Menyikapi Perilaku Agresif Anak. Yogyakarta: Kanisius.
Gardener, Howard. 2003. Multiple Intelligencess. Terjemahan Alexander Sindoro. Batam: Interaksara.
Goleman. Daniel. 2002. Emotional Intelligence. Terjehaman T. Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Hildayani, Rini et.al. 2004. Psikologi Perkembangan Anak. Jakarta: Universitas Terbuka. _______________. 2007. Penanganan Anak Berkelainan. Jakarta: Universitas Terbuka Hurlock, Elizabeth. 1993. Perkembangan Anak, Jakarta: Erlangga.
Karahé, Barbara. 2005. Perilaku Agresif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mubin dan Ani Cahyadi. 2006. Psikologi Perkembangan. Ciputat: Quantum Teaching. Mustofa, Agus. 2004. Untuk Apa Berpuasa. Bandung: Patma Press.
Mutadin, Zaenun. 2002. Faktor Penyebab Perilaku Agresif. Jakarta: Bumi Aksara Nasution, S. 2007. Metode Research. Jakarta: Bumi Aksara.
Nugraha, Ali dan Yeni Rahmawati. 2005. Metode Pengembangan Sosial Emosional. Jakarta: Universitas Terbuka.
Papalia, Diane E. et.al. 2008. Human Development. Jakarta: Kencana.
Patmonodewo, Soemiarti. 2003. Pendidikan Anak Prasekolah. Jakarta: Rineka Cipta. Undang-Undang Pendidikan 2003. UU RI No 20. Sisdiknas. Bandung: Fokus Media.
Yusuf, Syamsu. 2000. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja Posdakarya.