• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tugas pengajaran matematika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tugas pengajaran matematika"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Berpikir merupakan aktivitas mental yang dimiliki manusia. Menurut Khaerunisa, dkk [1] berpikir merupakan kemampuan untuk menganalisis, mengkritik dan mencapai kesimpulan berdasarkan fakta pada referensi atau pertimbangan seksama. Setiap individu pasti memiliki cara berpikir yang berbeda. Perbedaan dalam cara berpikir dan pemecahan masalah merupakan hal yang nyata dan penting. Perbedaan ini mungkin sebagian disebabkan oleh faktor pembawaan sejak lahir dan sebagian lagi berhubungan dengan taraf kecerdasan seseorang.

Manusia mampu mengembangkan ilmu pengetahuan karena mempunyai kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu. Cara berpikir seperti itu disebut berpikir logis. Ciri-ciri berpikir logis yaitu memiliki pola atau kaidah tertentu dan bersifat analitik. Memiliki pola diartikan sebagai berpikir logis jika ditinjau dari suatu logika tertentu dan mungkin tidak logis bila ditinjau dari sudut pandang logika yang lain. Bersifat analitik artinya kegiatan berpikir berdasarkan langkah- langkah tertentu.

Pengembangan kemampuan berpikir logis menjadi perhatian dalam dunia pendidikan. Menurut Cohen dalam Tuna [2], kemampuan berpikir logis berkorelasi positif dengan kemampuan melakukan peran dalam masyarakat . Oleh karena itu, dalam mempersiapkan individu untuk posisi masa depan mereka dalam kehidupan sosial, sekolah (atau lembaga pendidikan) bertujuan untuk meningkatkan penalaran formal dan kemampuan berpikir logis. Berpikir logis juga bermanfaat untuk meningkatkan kehidupan sosial dan dengan menggunakan strategi berpikir logis dapat memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.

Upaya untuk mendorong kemampuan berpikir logis sebagai bekal hidup menghadapi tuntutan, perubahan dan perkembangan zaman seharusnya melalui pendidikan yang berkualitas. Savant dalam Tuna [2] mengemukakan individu dengan kemampuan berpikir logis tinggi lebih berhasil dalam mencapai tujuan dan menilai kemungkinan dunia yang komplek. Semua bidang pendidikan tanpa terkecuali pendidikan matematika harus memulai dan mengarahkan pada tujuan itu. Daniel Muijs dan David Reynolds [3] menyatakan bahwa matematika merupakan “kendaraan” utama untuk mengembangkan kemampuan berpikir logis dan ketrampilan kognitif yang lebih

(2)

tinggi pada anak-anak. Pendidikan matematika mengantarkan dan mengarahkan anak didik menjadi pembelajar yang berkualitas dan kreatif.

Pada dasarnya, kemampuan berpikir logis, adalah kemampuan esensial yang perlu dimiliki oleh siswa dan dikembangkan pada siswa yang belajar matematika. Pernyataan rasional yang mendukung pernyataan di atas adalah kemampuan tersebut sesuai dengan visi matematika, tujuan pendidikan nasional, dan tujuan pembelajaran matematika sekolah yang diperlukan untuk menghadapi suasana bersaing yang semakin ketat. Hal ini berarti matematika merupakan mata pelajaran yang penting bagi pengembangan berpikir logis siswa baik sekolah dasar maupun menengah. Fah [4] mengemukakan bahwa berdasarkan teori piaget tentang pengembangan kognitif piaget, siswa sekolah menengah berada pada tahab operasional formal dimana mereka dapat berpikir logis tentang proposisi abstrak dan uji hipotesis sistematis. Seperti yang ditunjukkan oleh Wilson dan Wilson dalam Fah[4], penalaran operasional formal merupakan penentu keberhasilan siswa dalam sains dan matematika program lanjutan pada tingkat menengah.

Dalam pembelajaran matematika pemecahan masalah merupakan aktivitas yang penting. Bahkan Holmes dalam NCTM, 1980 [5] menyatakan bahwa pemecahan masalah adalah jantung dari matematika (heart of mathematics). Karena dalam pemecahan masalah matematika memerlukan pengetahuan materi matematika, pengetahuan tentang strategi pemecahan masalah,pemantauan diri yang efektif dan suatu sikap produktif untuk menyikapi dan menyelesaikan masalah (Dewi, 2009:25 [6]). Davis & McKillip (1980) dalam Warli [7] menyatakan “The ability to solve the problems is one of the most important objectives in the study of mathematics”. Kemampuan memecahkan masalah merupakan salah satu tujuan yang paling penting dalam matematika. Davis & McKillip (dalam Warli, 2010 [7]) menambahkan bahwa pemecahan masalah dalam matematika, sains, bisnis, dan kehidupan sehari-hari merupakan tujuan pokok dalam belajar matematika. Demikian juga Suryadi dalam Suherman, dkk, 2001 [8] menyebutkan bahwa pemecahan masalah matematika merupakan salah satu kegiatan matematika yang dianggap penting baik oleh guru maupun siswa disemua tingkat, mulai dari SD sampai SMA bahkan perguruan tinggi.

(3)

peneliti (DeLuca, 1981; Hernandez, Marek, & Renner, 1984; Howe & Shayer, 1981; Meehan, 1984; Shemesh, 1990) dalam Fah [4]) juga menemukan perbedaan yang signifikan dalam kemampuan berpikir logis antara siswa laki-laki dan perempuan. Siswa laki-laki lebih baik dibandingkan siswa perempuan di tahap berpikir Piaget pada tugas penalaran formal. Namun dalam penelitian Tuna [2] menyatakan bahwa tingkat berpikir logis guru matematika tidak dipengaruhi jenis kelamin tetapi dipengaruhi oleh tingkat kelas.

Tidak banyak penelitian yang dilakukan untuk mendokumentasikan dalam mengukur kemampuan berpikir logis siswa dalam memecahkan masalah matematika. Oleh karena itu, makalah ini disusun untuk mengukur kemampuan berpikir logis dan mengidentifikasi apakah ada perbedaan yang signifikan dalam kemampuan berpikir logis siswa dalam memecahkan masalah matematika ditinjau dari gender.

B. PERTANYAAN DALAM MAKALAH

Berdasarkan latar belakang, pertanyaan dalam makalah ini adalah:

1. Bagaimana kemampuan berpikir logis siswa laki-laki dalam memecahkan masalah matematika?

2. Bagaimana kemampuan berpikir logis siswa perempuan dalam memecahkan masalah matematika?

C. DEFINISI OPERASIONAL 1. Kemampuan

Kemampuan adalah kecakapan atau potensi seseorang individu untuk menguasai atau memahami keahlian dalam melakukan atau mengerjakan beragam tugas dalam suatu pekerjaan atau suatu penilaian atas tindakan seseorang.

2. Berpikir

Berpikir adalah suatu kegiatan mental yang dialami seseorang bila mereka dihadapkan pada suatu masalah atau situasi yang harus dipecahkan.

3. Logis

(4)

4. Berpikir Logis

Berpikir logis adalah kemampuan berpikir siswa untuk menarik kesimpulan yang sah menurut aturan logika dan dapat membuktikan bahwa kesimpulan itu benar (valid) sesuai dengan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya yang sudah diketahui

5. Kemampuan Berpikir logis

Kemampuan berpikir logis adalah kemampuan berpikir siswa dalam menarik kesimpulan yang valid sesusi dengan pengetahuan sebelumnya yang sudah diketahui.

6. Masalah

Masalah adalah sesuatu yang harus dipecahkan/diselesaikan. 7. Pemecahan masalah (problem solving)

Pemecahan masalah adalah suatu situasi yang dapat mendorong seseorang untuk menyelesaikanya akan tetapi tidak secara langsung tahu caranya.

8. Pemecahan Masalah Matematika

Pemecahan masalah matematika adalah proses menyelesaikan masalah matematika melalui empat tahap yang dikemukakan Polya yaitu memahami masalah, merencanakan suatu pemecahan,melaksanakan rencana pemecahan, dan memeriksa kembali pemecahan yang telah dilaksanakan. 9. Gender

Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki–laki maupun perempuan yang dikontruksi secara sosial maupun kultural.

BAB II

(5)

KAJIAN PUSTAKA

A. BERPIKIR

Berpikir adalah suatau kegiatan mental yang melibatkan kerja otak. Walaupun tidak bisa dipastikan dari aktivitas kerja otak, pikiran manusia lebih dari sekedar kerja organ tubuh yang disebut otak. Ruggiero (1998) dalam Rasiman [10] mengartikan berpikir sebagi aktivitas mental untuk membantu memformulasikan atau memecahkan suatu masalah, membuat suatu keputusan, atau memenuhi hasrat keingintahuan (fulfill a desire to understand). Pendapat ini menunjukkan bahwa ketika seseorang menemukan suatu masalah dan ingin memecahkan masalah tersebut, ataupun ingin memahami sesuatu, maka ia melakukan suatu aktivitas berpikir.

Siswono [11] berpendapat bahwa berpikir merupakan proses dinamis dan dapat dilihat menurut proses yang alami. Proses bepikir pada dasarnya terdiri dari 3 langkah, yaitu pembentukan pengertian, pembentukan pendapat, dan penarikan kesimpulan. Pendapat ini menunjukkan bahwa jika seseorang menerima informasi maka informasi tersebut direkam sebagai pengertian-pengertian. Kemudian orang tersebut menyusun pendapat sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki.

Menurut Glass & Holyoak, (1986) dan Solso, (1995) dalam Sudarman [12] berpikir merupakan proses menghasilkan representasi mental yang baru melalui transformasi informasi yang melibatkan interaksi secara kompleks antara atribut-atribut seperti penilaian, abstraksi, penalaran, imajinasi, dan pemecahan masalah. Misal pada saat melihat berita di televisi, informasi yang diterima itu melalui tahapan mulai dari proses sensori sampai dengan ingatan. Informasi ini diproses sehingga menghasilkan apa yang disebut intisari sebagai informasi baru, dan hal ini berarti pula sebagai pengetahuan yang baru bagi orang tersebut.

Rasiman [10] membedakan berpikir menjadi beberapa jenis, antara lain berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif. Berpikir logis dapat diartikan sebagai kemampuan berpikir siswa dalam menarik kesimpulan yang sah menurut aturan logika dan dapat membuktikan bahwa kesimpulan itu benar (valid) sesuai dengan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya yang sudah diketahui. Berpikir analitis adalah kemampuan berpikir siswa untuk menguraikan, memerinci, dan menganalisis informasi-informasi yang digunakan untuk memahami suatu

(6)

pengetahuan dengan menggunakan akal dan pikiran yang logis, bukan berdasar perasaan atau tebakan. Berpikir sistematis adalah kemampuan berpikir siswa untuk mengerjakan atau menyelesaikan suatu tugas sesuai dengan urutan, tahapan, langkah-langkah, atau perencanaan yang tepat, efektif, dan efesien. Ketiga jenis berpikir tersebut saling berkaitan. Seseorang untuk dapat dikatakan berpikir sistematis, maka ia perlu berpikir secara analitis untuk memahami informasi yang digunakan. Menurut Siswono (2007) [11] agar dapat berpikir analitis maka diperlukan kemampuan berpikir logis dalam mengambil kesimpulan terhadap suatu situasi. Kusumaningrum [25] menyatakan bahwa berpikir logis lebih mengacu pada pemahaman pengertian (dapat mengerti), kemampuan aplikasi, kemampuan analisis, kemampuan sintesis, bahkan kemampuan evaluasi untuk membentuk kecakapan (suatu proses).

Dari beberapa pengertian berpikir di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa berpikir merupakan aktivitas mental yang berkaitan dengan transformasi informasi yang melibatkan interaksi secara kompleks antara atribut-atribut seperti penilaian, abstraksi, penalaran, imajinasi, dan pemecahan masalah.

B. BERPIKIR LOGIS

Dalam matematika, kata logis erat kaitannya dengan penggunaan aturan logika. Poedjawijatna [13] mengatakan bahwa orang yang berpikir logis akan taat pada aturan logika. Logika dalam Wikipedia berasal dari kata Yunani kuno “logos” yang berarti hasil pertimbangan diutarakan lewat kata dan dinyatakan lewat bahasa. Sebagai ilmu, logika disebut logike episteme atau ilmu logika yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat dan teratur. Logika adalah salah satu cabang filsafat. Ilmu di sini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan. Logika sering juga disebut penalaran. Dalam logika dibutuhkan aturan-aturan atau patokan-patokan yang harus diperhatikan untuk dapat berpikir dengan tepat, teliti, dan teratur sehingga diperoleh suatu kebenaran.

(7)

tepat berdasarkan aturan-aturan berpikir dan kaidah-kaidah atau patokan-patokan yang umum berpikir yang digunakan untuk dapat berpikir tepat. Kant (Tafsir, 2004) dalam ibenk [15] membedakan rasional dengan logis, dimana rasional adalah suatu pemikiran yang masuk akal yang diukur dengan hukum alam, sedangkan logis suatu pemikiran yang masuk akal yang kebenarannya mengandalkan argumen dan tidak diukur dengan hukum alam.

Menurut Suriasumantri [16] berpikir logis dapat diartikan sebagai suatu kegiatan berpikir untuk memperoleh suatu pengetahuan menurut suatu pola tertentu atau logika tertentu. Berpikir logis tidak terlepas dari dasar realitas, sebab yang dipikirkan adalah realitas, yaitu hukum realitas yang selaras dengan aturan berpikir. Dari dasar realitas yang jelas dan dengan menggunakan hukum-hukum berpikir akhirnya akan dihasilkan putusan yang dilakukan. Menurut Albrecht dalam Taufik [14] agar seseorang sampai pada berpikir logis harus memahami dalil logika yang merupakan peta verbal yang terdiri dari tiga bagian yaitu:

1. Dasar pemikiran atau realitas tempat berpijak

2. Argumentasi atau cara menempatkan dasar pemikiran bersama

3. Simpulan atau hasil yang dicapai dengan menerapkan argumentasi pada dasar pemikiran

(8)

Piaget (dalam Tuna [2]) mendefinisikan berpikir logis sebagai operasi mental yang digunakan oleh individu ketika mereka menghadapi masalah – masalah tertentu. Menurut piaget dalam Eflina [19] tingkat perkembangan berpikir logis ada 4 tingkat yaitu:

1. Tingkat sensori motorik (sensorimotor).Pada tingkat ini terdapat 6 tingkatan yaitu:

1) 0 – 1 bulan, dalam tingkat ini perilaku atau aktivitas anak masih bersifat reflex.

2) 1 – 4 bulan, dalam tingkat ini anak telah mampu berdipresensiasi dengan mengisap adan menggenggam.

3) 4 – 8 bulan, anak sudah mampu membuat peristiwa lucu atau peristiwa yang menarik.

4) 8 – 12 bulan, muncul kemampuan anak yang ingin mencoba segala sesuatu yang ada disekitarnya.

5) 12 – 18 bulan, anak melakukan penemuan-penemuan baru untuk mencapai tujuan.

6) 18 – 24 bulan, anak mulai beralih dari tingkat sensori motorik ke tingkat berpikir pra-operasi; tahab ini merupakan awal bagi anak berkreativitas. 2. Tingkat pra operasi. Pada tingkat ini anak berumur 2-7 tahun. Kemampuan anak

pada tingkat ini telah berubah menjadi representatif dan simbolik. Anak mulai menguasai bahasa pertama, namun masih dikuasai oleh hal-hal yang bersifat perceptual, sehingga ia belum mampu memecahkan masalah yang berhubungan dengan konversi.

3. Tingkat operasi kongkrit. Pada tingkat ini anak berumur 7-11 tahun. Tingkat ini merupakan suatu transisi antara kemampuan berpikir pra-operasional dan tingkat kemampuan berpikir operasi formal. Siswa yang mencapai tingkat operasi konkrit, akan mampu memecahkan masalah-masalah yang berhubungan dengan benda-benda atau kejadian-kejadian konkrit, namun belum mampu memecahkan masalah-masalah yang bersifat hipotetik, verbal dan lebih kompleks.

(9)

Selanjutnya Piaget (dalam Eflina [19]) juga menyatakan ada 3 kemungkinan berpikir formal yang harus dimiliki siswa antara lain:

1. Kemampuan berpikir hipotetik, yang merupakan suatu bentuk kemampuan berpikir yang bermula dari kemungkinan-kemungkinan yang terjadi serta mampu melakukan eksperimen berdasarkan kemampuan dimiliki.

2. Kemampuan yang menggunakan logika kombinatorial adalah kemampuan berpikir untuk memikirkan suatu kombinasi kejadian, ide atau proporsi yang terjadi secara lengkap.

3. Kemampuan berpikir proporsional merupakan bentuk berpikir secara logis sampai pada tingkat operasi formal, yang berarti telah mampu menyelesaikan soal-soal yang kompleks secara logika.

Saragih [20] mengungkapkan bahwa berpikir logis mempunyai perbedaan dengan menghafal. Menghafal hanya mengacu pada pencapaian kemampuan ingatan belaka, sedangkan berpikir logis lebih mengacu pada pemahaman pengertian (dapat mengerti), kemampuan aplikasi, kemampuan analisis, kemampuan sintesis, bahkan kemampuan evaluasi untuk membentuk kecakapan (suatu proses). Sehingga berpikir logis memiliki lingkup yang lebih luas dibanding dengan kemampuan berpikir sintesi, analisis maupun evaluasi. Edward de Bono dalam Rosnawati [21] membagi pola berpikir menjadi pola berpikir vertikal dan lateral. Pola berpikir logis konvensional yang selama ini kita kenal dan umum dipakai termasuk kedalam pola berpikir vertikal. Pola berpikir ini dilakukan secara tahap demi tahap berdasarkan fakta yang ada, untuk mencari berbagai alternatif pemecahan masalah, dan akhirnya memilih alternatif yang paling mungkin menurut logika normal.

Menurut Sumarmo [18] dalam matematika proses untuk memperoleh kebenaran secara rasional atau proses menarik kesimpulan dapat dilakukan dengan cara berpikir induktif dan deduktif.

1. Berpikir Induktif

(10)

persepsi tentang pola atau keteraturan, serta kesamaan sehingga diperoleh suatu kesimpulan. Dengan demikian kesimpulan yang diperoleh melalui proses berpikir induktif sangat dimungkinkan bernilai salah ataupun benar. Seperti terlihat pada proses penarikan kesimpulan yang dilakukan oleh seseorang yang ingin membeli buah jeruk pada contoh berikut ini.

Jeruk pertama yang ditawarkan dicicipi terasa asam, setelah diperhatikan jeruk tersebut keras dan berwarna hijau, diambil jeruk yang kedua juga keras dan berwarna hijau ternyata rasanya juga asam. Si pedagang menawarkan kembali jeruk yang lain, setelah diperhatikan terlihat jeruk tersebut keras dan berwarna hijau. Tanpa mencicipi pembeli tersebut kemudian menyimpulkan bahwa jeruk tersebut pasti rasanya asam, seperti lainnya yang sudah dicicipi. Secara formal proses pengambilan kesimpulan diatas dapat dituliskan seperti pada contoh 1. berikut:

Contoh 1.

Premis: Jeruk pertama keras dan hijau terasa asam Jeruk kedua keras dan hijau terasa asam

Kesimpulan: Semua jeruk keras dan hijau terasa asam

Proses pengambilan kesimpulan calon pembeli di atas dapat juga dirumuskan dalam bentuk lain seperti pada contoh 1. berikut:

Contoh 2.

Premis: Jeruk pertama keras dan hijau rasanya asam Jeruk kedua keras dan hijau rasanya asam

Jeruk ketiga keras dan hijau Kesimpulan: Jeruk ketiga rasanya asam

Jelas bahwa kesimpulan yang diperoleh oleh calon pembeli tersebut belum tentu benar untuk seluruh jeruk yang berwarna hijau dan keras memiliki rasa yang asam.

(11)

Contoh 3.

Premis: 1 + 3 = bilangan genap 3 + 5 = bilangan genap

Kesimpulan: Jumlah dua bilangan ganjil adalah bilangan genap

Proses pengambilan kesimpulan dari contoh 1 dan 3 menghasilkan konklusi yang sifatnya universal atau berlaku secara umum. Induksi dalam bentuk seperti ini disebut induktif generalisasi, sedangkan pada contoh 2 menghasilkan konklusi yang sifatnya bukan universal melainkan suatu pernyataan singular

Kesimpulan yang ditarik dari contoh-contoh khusus tersebut boleh jadi valid, tetapi belum tentu dapat diterapkan pada keseluruhan contoh. Oleh karena itu perlu dibuktikan secara deduktif, namun kesimpulan yang ditarik secara induktif tidak selalu dapat dibuktikan secara deduktif, dalam matematika kesimpulan yang demikian dinamakan suatu konjektur.

2. Berpikir Deduktif

Berpikir deduktif atau deduksi didefinisikan sebagai proses pengambilan kesimpulan yang berjalan dari prinsip umum ke hal yang khusus. Berbeda dengan berpikir induktif, pada berpikir deduktif konklusinya tidak lebih luas daripada premisnya, dan terdapat premis yang berupa proposisi universal. Proposisi universal itu misalnya: “Semua siswa SMA adalah lulusan SLTP”. Kemudian Siska adalah siswa SMA, maka konklusi yang dapat disimpulkan adalah Siska lulusan SLTP. Dalam bentuk formal proses pengambilan kesimpulan diatas dapat dituliskan seperti pada contoh 4. berikut:

Contoh 4.

Premis: Semua siswa SMA adalah lulusan SLTP. Siska adalah siswa SMA.

Kesimpulan: Siska lulusan SLTP.

Dari kedua definisi di atas terlihat bahwa deduksi dan induksi hanya dibedakan dari keumuman dan kekhususan dari premis dan konklusinya. Namun menurut Sumarmo [18], deduksi dapat berjalan dari umum ke umum atau dari khusus ke khusus, demikian halnya induksi dapat juga berjalan dari khusus ke khusus atau dari umum ke umum, contoh sebagai berikut:

(12)

Semua fungsi invers adalah fungsi Semua fungsi adalah relasi

Jadi semua fungsi invers adalah relasi

Contoh 6. Argumen induktif yang berpikir dari umum ke umum Semua bunga mawar berbau harum

Semua bunga melati berbau harum Semua bunga kenanga berbau harum Jadi mungkin semua bunga berbau harum

Dengan demikian induksi dan deduksi tidak hanya dibedakan dari keumuman dan kekhususan dari premis dan konklusinya melainkan lebih dibedakan berkaitan dengan derajat kesahihannya, seperti diungkapkan oleh Sumarmo [18], induksi berhubungan derajat kemungkinan kebenaran dari konklusi, sedangkan deduksi berkaitan dengan kesahihan argumen.

Menurut Matlin dalam Ibenk [15] berdasarkan kesahihan argumen, berpikir deduktif atau penalaran deduktif dibedakan atas penalaran kondisional dan penalaran silogisma. Penalaran kondisional menjelaskan pernyataan jika …, maka …, dengan kata lain penalaran kondisional merupakan hubungan antara kondisi. Ada empat jenis penalaran kondisional yaitu (a) memperkuat anteseden atau modus ponens, (b) memperkuat konsekuen atau konvers, (c) menyangkal anteseden atau invers, (d) menyangkal konsekuen atau modul tolen. Secara formal proses pengambilan kesimpulan diatas dapat dituliskan sebagai berikut: 1) Memperkuat anteseden atau modus ponens:

p

q p

maka q

2) Memperkuat konsekuen atau konvers p

q

q maka p

3) Menyangkal anteseden atau invers p

q

(13)

4) Menyangkal konsekuen atau modus tolen p

q

~q maka ~p

Jenis 2 dan 3 merupakan bentuk penarikan kesimpulan yang salah atau tidak valid, sedangkan jenis 1 dan 4 merupakan bentuk penarikan kesimpulan yang benar atau valid.

Penalaran silogisma terdiri dari silogisma hipotetik dan silogisma dengan kuantifikasi. Silogisma hipotetik menggunakan dua premis yang berbentuk implikasi, misalnya premis pertama jika p maka q dan premis kedua jika q maka r dan kesimpulan jika p maka r. Berikut beberapa contoh penggunaan penalaran silogisma:

Contoh 1.

Premis pertama : Andi lebih tua dari Rita Premis kedua : Rita lebih tua dari Deni. Kesimpulan : Andi lebih tua dari Deni Contoh 2.

Semua ban terbuat dari karet. Semua karet bersifat elastis.

Oleh karena itu, semua ban bersifat elastis.

Siswa dapat berpikir logis menurut Taufik [14], siswa dibiasakan untuk selalu tanggap terhadap permasalahan yang dihadapi dengan mencoba menjawab pertanyaan “mengapa”, “apa” dan “bagaimana”. Taufik juga menyatakan bahwa berpikir logis mengacu pada:

1. Pemahaman pengertian 2. Kemampuan aplikasi 3. Kemampuan analisis 4. Kemampuan sintesis

5. Kemampuan evaluasi untuk membentuk kecakapan (suatu proses)

Sedangkan Demirel dalam Tuna [2] merinci berpikir logis sebagai berikut: 1. Kemampuan menggunakan angka secara efektif

(14)

4. Mengklasifikasi konsep – konsep 5. Menggeneralisasi konsep – konsep 6. Mewakili dengan rumus matematika 7. Menghitung

8. Memberikan hipotesis, pengujian dan simulasi

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa berpikir logis adalah proses berpikir dalam menyelesaikan masalah atau menarik kesimpulan dengan pola atau aturan tertentu

C. MASALAH MATEMATIKA

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia [22] masalah diartikan sebagai sesuatu yang harus diselesaikan (dipecahkan) sedangkan Shadiq [23] menyatakan sebagian besar ahli Pendidikan Matematika menyatakan bahwa masalah merupakan pertanyaan yang harus dijawab atau direspon. Namun, mereka menyatakan juga bahwa tidak semua pertanyaan otomatis akan menjadi masalah.

Cooney, et al. dalam Shadiq [23] menyatakan: “… for a question to be a problem, it must present a challenge that cannot be resolved by some routine procedures known to the student.” Ini berarti suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan (challenge) yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur rutin (routine procedure) yang sudah diketahui si pelaku,

Arif [24] mendefinisikan masalah matematika sebagai masalah yang dapat disajikan dalam bentuk soal tidak rutin yang memuat konsep matematika berupa soal cerita, penggambaran fenomena atau kejadian, ilustrasi gambar atau teka-teki. Menurut Hudoyo dalam Arif [24], jenis-jenis masalah matematika adalah sebagai berikut:

1. Masalah transalasi, merupakan masalah kehidupan sehari-hari yang untuk menyelesaikannya perlu translasi dari bentuk verbal ke bentuk matematika. 2. Masalah aplikasi, memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyelesaikan

masalah dengan menggunakan berbagai macam-maacam keterampilan dan prosedur matematika.

(15)

keterampilan siswa dalam menyelesaikan masalah sehingga menjadi terbiasa menggunakan strategi tertentu.

4. Masalah teka-teki, seringkali digunakan untuk rekreasi dan kesenangan sebagai alat yang bermanfaat untuk tujuan afektif dalam pembelajaran matematika.

Sedangkan menurut Holmes dalam Arif [24] terdapat dua kelompok

masalah dalam pembelajaran matematika yaitu:

1. Masalah Rutin

Masalah rutin dapat dipecahkan dengan metode yang sudah ada. Masalah rutin

seringdisebut sebagai masalah penerjemahan karena deskripsi situasi dapat

diterjemahkan dari kata-kata menjadi simbol-simbol. Masalah rutin dapat

membutuhkan satu, dua atau lebih langkah pemecahan.

2. Masalah Nonrutin

Masalah nonrutin membutuhkan lebih dari sekadar penerjemahan masalah

menjadi kalimat matematika dan penggunaan prosedur yang sudah diketahui.

Masalah nonrutin mengharuskan pemecah masalah untuk membuat sendiri

metode pemecahannya. Dia harus merencanakan dengan seksama bagaimana

memecahkan masalah tersebut. Strategi-strategi seperti menggambar,

menebak dan melakukan cek, membuat tabel atau urutan kadang perlu

dilakukan.

Masalah rutin dan masalah nonrutin dapat diuraikan ke dalam beberapa tipe

masalah. Tipe masalah, menurut Charles R dalam Arif [24] sebagai berikut. 1. Masalah penerjemahan sederhana (simple translation problem)

Penggunaan masalah dalam pembelajaran dimaksudkan untuk memberi pengalaman kepada siswa menerjemahkan situasi dunia nyata ke dalam pengalaman matematis.

2. Masalah penerjemahan kompleks (complex translation problem)

Sebenarnya masalah ini mirip dengan masalah penerjemahan yang sederhana, namun di dalamnya menuntut lebih dari satu kali penerjemahan dan ada lebih dari satu operasi hitung yang terlibat.

(16)

Penggunaan masalah tersebut dalam pembelajaran dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada siswa mengungkapkan proses yang terjadi dalam pikirannya. Siswa dilatih untuk mengembangkan strategi umum dalam memahami, merencanakan, dan memecahkan masalah, sekaligus mengevaluasi hasilnya.

4. Masalah penerapan (applied problem)

Penggunaan masalah tersebut dalam pembelajaran dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada siswa mengeluarkan berbagai keterampilan, proses, konsep dan fakta untuk memecahkan masalah nyata (kontekstual). Masalah ini akan menyadarkan siswa pada nilai dan kegunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari.

5. Masalah puzzle (puzzle problem)

Penggunaan masalah tersebut dalam pembelajaran dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada siswa mendapatkan pengayaan matematika yang bersifat rekreasi (recreational mathematics). Mereka menemukan suatu penyelesaian yang terkadang fleksibel namun di luar perkiraan (memandang suatu masalah dari berbagai sudut pandang). Perlu diperhatikan di sini bahwa masalah puzzle tidak mesti berujud tekateki, namun dapat pula dalam bentuk aljabar yang penyelesaiannya diluar perkiraan.

Dari beberapa pengertian masalah matematika diatas maka masalah matematika merupakan pertanyaan memuat konsep matematika yang menunjukkan tantangan dengan penyelesaiannya tidak menggunakan prosedur rutin.

D. PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA

Nasution dalam Kusumaningrum [25] memecahkan masalah dapat dipandang sebagai proses di mana pelajar menemukan kombinasi-kombinasi aturan-aturan yang telah dipelajarinya lebih dahulu yang digunakannya untuk memecahkan masalah yang baru. Siswa harus berpikir, mengujicobakan hipotesis dan jika sudah berhasil menemukan solusi, maka siswa dapat mempelajari sesuatu yang baru.

(17)

pemecahan masalah menyatakan bahwa semua siswa semestinya membangun pengetahuan matematisnya melalui pemecahan masalah.

Menurut Krulik dan Rudnick (1995) dalam Roosilawati [26], bahwa pemecahan masalah berarti seseorang menggunakan pengetahuan, keterampilan dan pemahaman yang telah diperoleh sebelumnya untuk memenuhi permintaan dari situasi yang tidak biasa. Pemecahan masalah merupakan kunci dari seluruh aspek matematika. Dalam proses pembelajaran matematika, pemecahan masalah matematika merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang digunakan untuk menemukan dan memahami materi/konsep matematika (Sumarno, 2003 dalam Roosilawati [26]) .

Indikatornya dalam pemecahan masalah menurut Sudjadi [27] menunjukkan pemahaman masalah; mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan dalam pemecahan masalah; menyajikan masalah secara matematis dalam berbagai bentuk; memilih pendekatan dan metode pemecahan masalah secara tepat; mengembangkan strategi pemecahan masalah; membuat dan menafsirkan model matematika dari suatu masalah; menyelesaikan masalah yang tidak rutin.

Pemecahan masalah menurut Sudjadi [27] dapat juga membantu siswa mempelajari fakta-fakta, konsep, prinsip matematika dengan mengilustrasikan obyek matematika dan realisasinya. Pemecahan masalah merupakan aktifitas yang memberikan tantangan bagi kebanyakan siswa serta dapat memotivasi siswa untuk belajar matematika.

Menurut Polya [28] langkah dalam pemecahan masalah, yaitu : 1. Under standing the problem ( memahami masalah ), langkah ini meliputi:

1) Apakah yang tidak diketahui, keterangan apa yang diberikan, atau bagaimana keterangan soal.

2) Apakah keterangan yang diberikan cukup untuk mencari apa yang ditanyakan.

3) Apakah keterangan tersebut tidak cukup, atau keterangan itu berlebihan. 4) Buatlah gambar atau tulisan notasi yang sesuai.

2. Devising a plan (merencanakan penyelesaian ), langkah-langkah ini meliputi: 1) Pernahkah anda menemukan soal seperti ini sebelumnya, pernahkah ada

soal yang serupa dalam bentuk lain.

(18)

3) Perhatikan apa yang ditanyakan.

4) Dapatkah hasil dan metode yang lalu digunakan disini.

3. Carying out the plan (melaksanakan perhitungan), langkah ini menekankan ada pelaksanaan rencana penyelesaian yaitu meliputi:

1) Memeriksa setiap langkah apakah sudah benar atau belum. 2) Bagaimana membuktikan bahwa langkah yang dipilih sudah benar. 3) Melaksanakan perhitungan sesuai dengan rencana yang dibuat.

4. Looking back (memeriksa kembali proses dan hasil) bagian terakhir dari langkah Polya yang menekankan pada bagaimana cara memeriksa kebenaran jawaban yang diperoleh, langkah ini terdiri dari:

1) Dapat diperiksa sanggahannya.

2) Dapatkah jawaban itu dicari dengan cara lain.

3) Perlukah menyusun strategi baru yang lebih baik atau, 4) Menuliskan jawaban dengan lebih baik.

Sumarmo [18], kemampuan pemecahan masalah dapat dirinci dengan indikator sebagai berikut: (1) mengidentifikasi kecukupan data untuk pemecahan masalah; (2) membuat model matematis dari situasi atau masalah sehari-hari dan menyelesaikannya; (3) memilih dan menerapkan strategi untuk menyelesaikan masalah matematika dan atau di luar matematika; (4) menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal, serta memerikasa kebenaran hasil atau jawaban; (5) menerapkan matematika secara bermakna.

Selanjutnya Hudoyo (1979 ) dalam Sudjadi [27] mengemukakan bahwa pemecahan masalah berguna untuk :

1. Siswa-siswa dapat berlatih dan mengintegrasikan konsep-konsep, teorema-teorema, dan keterampilan yang telah dipelajari.

2. Memungkinkan siswa menjadi lebih analitis didalam mengambil keputusan dalam kehidupan.

3. Matematika yang disajikan kepada siswa yang berupa masalah akan memberikan motivasi kepada mereka untuk mempelajari pelajaran tersebut.

(19)

E. GENDER

Pengertian gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Menurut Jagtenberg dan D'Alton (1995) dalam Trisniawati [29], “gender and sex are not the same thing. Gender specifically refers to the social meanings attached to biological differences. ... The way we see ourselves and the way we interact are affected by our internalisation of values and assumptions about gender”.

Gender merupakan salah satu karakteristik yang melekat pada setiap individu. Gender merupakan konsep sosial yang membedakan antara laki-laki dan perempuan (Handayani,2006) dalam prayitno dkk [30]. Santrock (2003) dalam prayitno [30] menyatakan bahwa gender adalah jenis kelamin yang mengacu pada dimensi sosial budaya seseorang sebagai laki-laki atau perempuan.

Konsep gender menurut Putri [31] ialah suatu sifat laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi oleh masyarakat baik secara kultural maupun sistemik. Misalnya perempuan secara kultural dikenal lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan, sedangkan laki-laki dikenal kuat, rasional jantan dan perkasa.

Dalam Tempo [32], perbedaan laki-laki dan perempuan paling besar adalah terdapat pada emosi perempuan lebih mudah terpengaruh perasaan dan lebih baik dalam mengungkapkan perasaan. Wanita juga banyak menggunakan bahasa tubuh dibanding laki-laki. Oleh karena itu, tidak heran jika perempuan dapat berhubungan lebih baik dan secara mendalam dengan temannya jika dibandingkan laki-laki. Namun kaum perempuan lebih mudah mengalami depresi terlebih jika terjadi peningkatan hormon.

(20)

Itulah yang membuat laki-laki lebih banyak menggunakan logika sedangkan perempuan lebih banyak menggunakan emosi.

Krutetski (1976) dalam Nafian [33] menjelaskan perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam belajar matematika sebagai berikut:

1. Laki-laki lebih unggul dalam penalaran, perempuan lebih unggul dalam ketepatan, ketelitian, kecermatan, dan keseksamaan berpikir.

2. Laki-laki memiliki kemampuan matematika dan mekanika yang lebih baik daripada perempuan, perbedaan ini tidak nyata pada tingkat sekolah dasar akan tetapi menjadi tampak lebih jelas pada tingkat yang lebih tinggi.

Sementara Maccoby dan Jacklyn (1974) dalam Nafian [33] mengatakan laki-laki dan perempuan mempunyai perbedaan kemampuan antara lain sebagai berikut:

1. Perempuan mempunyai kemampuan verbal lebih tinggi daripada laki-laki. 2. Laki-laki lebih unggul dalam kemampuan visual spatial (penglihatan keruangan)

daripada perempuan.

3. Laki-laki lebih unggul dalam kemampuan matematika.

Menurut Trisniawati [29] perbedaan gender lain mempengaruhi pria dan wanita bereaksi dikelas, yaitu:

1. Wanita memiliki pendengaran lebih teliti daripada laki-laki dan lebih sensitive terhadap suara keras.

2. Pria memiliki visi lebih teliti daripada perempuan walaupun mereka lebih cenderung buta warna.

3. Wanita lebih mampu membaca wajah dan bahasa tubuh.

4. Pria lebih baik dalam kegiatan belajar kinestetik, dan perempuan mungkin merasa puas untuk hanya mengamati.

5. Wanita dan laki-laki cenderung tidak mampu belajar matematika.

6. Pria memiliki kebutuhan yang lebih besar untuk kegiatan, lebih impulsif, dan mengembangkan keterampilan motorik daripada perempuan.

7. Wanita lebih baik dalam kecepatan persepsi.

(21)

9. Pria mengatasi stres melalui "tindakan", sedangkan perempuan melalui “sharing”.

Dari beberapa definisi tentang gender yang telah diungkapkan diatas dapat dikatakan bahwa gender merupakan jenis kelamin biologis yaitu laki-laki dan perempuan dengan sifat laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi oleh masyarakat baik secara kultural maupun sistemik.

(22)

PENUTUP

Ketrampilan berpikir logis merupakan sangat diperlukan dalam matematika khususnya dalam penyelesaian masalah matematika. Siswa yang berpikir logis akan lebih mudah memahami konsep matematika sehingga dalam menyelesaikan masalah matematika juga tidak kesulitan. Sebaliknya, siswa yang biasa menyelesaikan masalah matematika akan meningkat berpikir logisnya. Kemampuan menyelesaikan masalah matematika dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah gender. Perbedaan gender menjadikan orang berpikir apakah cara belajar, cara berpikir, dan proses konseptualisasi juga berbeda menurut jenis kelamin.

Berdasarkan berbagai informasi yang dikemukakan dalam makalah di atas, maka dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:

1. Siswa laki-laki lebih unggul dalam kemampuan matematika lebih tertarik pada hal-hal abstrak, memiliki kemampuan logika dan penalaran yang lebih baik. Siswa laki-laki memiliki motivasi dan rasa percaya diri dalam belajar matematika. Dapat dikatakan bahwa kemampuan berpikir logis siswa laki-laki dalam memecahkan masalah matematika lebih baik daripada siswa perempuan.

2. Siswa perempuan memiliki kemampuan verbal yang lebih baik, lebih telaten, teliti, cermat, lebih baik dalam kecepatan persepsi dan menyelesaikan masalah dengan langkah yang benar. Namun, mereka kurang percaya diri, memiliki motivasi yang lebih rendah daripada siswa laki-laki, cenderung menggunakan emosi dalam menghadapi permasalahan terjadi dan mudah depresi. Mereka tertarik pada hal-hal yang praktis dan konkret. Dapat dikatakan kemampuan berpikir logis siswa perempuan dalam memecahkan masalah matematika masih kurang dibandingkan siswa laki-laki.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Khaerunisa, F dkk. 2012. Penerapan Better Teaching And Learning Berbasis Pembelajaran Kooperatif Untuk Meningkatkan Berpikir Logis Dan Keaktifan Siswa. Unnes Physics Education Journal.

(23)

[2] Tuna, Abdulkadir. 2013. An Analysis of Mathematics Teacher Candidates’ Logical Thinking Levels: case of turkey journal of educational and instructional studies in the world.

[3] Muijs, Daniel dan David Reynolds. 2008. Effective Teaching Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

[4] Fah, L. Y. 2009. “Logical thinking abilities among form 4 students in the ınterior division of Sabah, Malaysia”. Journal of Science and Mathematics Education in Southeast Asia, 32(2), 161-187.

[5] NCTM. 1980. Problem Solving in School Mathematics. Yearbook: NCTM Inc.

[6] Dewi, I. 2009. Profil Komunikasi Mahasiswa Matematika Calon Guru Ditinjau dari Perbedaan Jenis Kelamin. Disertasi. Surabaya : PPS UNESA.

[7] Warli. 2010. Kreativitas Siswa yang Bergaya kognitif Impulsif dalam Memecahkan Masalah Geometri. Disertasi. Surabaya: PPS UNESA.

[8] Suherman, E, dkk. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: UPI

[9] Asmaningtyas, Yeni Tri. 2011. Kemampuan Matematika Laki-laki dan Perempuan. Makalah diunduh pada tanggal 14 Desember 2013 di

http://ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/tarbiyah/article/download/1840/pdf

[10] Rasiman. 2013.Proses berpikir kritis siswa SMA dalam menyelesaikan masalah matematika ditinjau dari perbedaan kemampuan matematika. Disertasi. Surabaya: PPS UNESA.

[11] Siswono, Tatag Y.E. 2007.”Penjenjangan Kemampuan Berpikir Kreatif dan Identifikasi Tahap Berpikir Kreatif Siswa dalam Memecahkan dan Mengajukan Masalah Matematika”. Desertasi Doktor. Unesa Surabaya.

[12] Sudarman. 2010.Proses berpikir siswa SMP berdasarkan Adversity Quotient (AQ) dalam menyelesaikan masalah matematika. Disertasi. Surabaya:PPS UNESA

[13] Poedjawijatna. 1992. Logika Filsafat Berpikir. Jakarta: PT. Rineka Cipta

[14] Taufik, Akhmad. 2013. Menumbuhkembangkan kemampuan berpikir logis dan sikap positif terhadap Matematika Melalui pendekatan Matematika Realistik.

Diakses pada 14 Desember 2013 di

http://atalon70.blogspot.com/2011/08/menumbuhkembangkan-berpikir-logis-dan.html

[16] Suriasumantri, J. S. (1990). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

(24)

[17] Wahyu.2012. Kemampuan Berpikir Logis. Diakses pada 22 november 2013 di http://wahyurock.com/2012/06/kemampuan-berpikir-logis-matematika.

[18] Sumarmo, U. (1987). Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa SMA dikaitkan dengan Kemampuan Penalaran Logik Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar Mengajar. Disertasi. Bandung: FPS IKIP Bandung: Tidak Diterbitkan.

[19] Eflina. 2013. Strategi Rave CCC untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Berpikir Logis Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis. Universitas Pendidikan Indonesia.

[20] Saragih, Sahat. 2006. Menumbuhkembangkan Berpikir Logis dan Sikap Positif terhadap Matematika Melalui Pendekatan Matematika Realistik. Jurnal pendidikan dan kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional. Badan Penelitian danPengembangan, Edisi Juli 2006.

[21] Rosnawati, R. 2011. Berpikir Lateral Dalam Pembelajaran Matematika. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, Edisi Mei 2011.

[22] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

[23] Shadiq,Fajar. 2008. Logika Matematika dan Pemecahan masalah dalam Pembelajaran Matematika SMA. Yogyakarta. Pusat Penembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika.

[24] Arif, Luthfi. 2013. Masalah Matematika. Diakses pada 16 Desember 2013. Di http://luthfigkb.blogspot.com/2013/01/masalah-matematika.html

[25] Kusmaningrum, Maya dkk. 2012. Mengoptimalkan Kemampuan berpikir Matematika Melalui Pemecahan Masalah Matematika . Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, Fakultas MIPA,Universitas Negeri Yogyakarta, Edisi November 2012.

[26]Roosilawati, Erwin. 2013. Karakteristik Kemampuan Bernalar dan Memecahkan Masalah Peserta Diklat Peningkatan Kompetensi Guru Kelas Sekolah Dasar. Laporan Hasil Penelitian, LPMP Jawa Tengah.

[27] Sudjadi, Dede. 2011. Makalah Kemampuan penalaran dan pemecahan masalah matematis siswa. Diakses pada 16 Desember 2013. Di http://dedesudjadimath.blogspot.com/2011/11/kemampuan-penalaran-dan-pemecahan.html

[28] Polya, G. 1973. How to solve it. New Jersey: Priceton University Press.

(25)

[30] Prayitno, Sudi dkk. Komunikasi Matematis Siswa SMP Dalam menyelesaikan Soal Matematika Berjenjang Ditinjau dari Perbedaan Gender. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, Edisi 9 november 2013.

[31] Putri, R. 2013. Makalah Gender Dalam Pendidikan Matematika. Diakses 19 Desember 2013. Di http://rizkyoktora.blogspot.com/2013/06/gender-dalam-pendidikan-matematika.html

[32] Tempo. 2013. Koran online Perbedaan Laki-laki dan Perempuan. Diakses 14

Desember 2013. Di

http://www.tempo.co/read/beritafoto/10350/Penemuan-penemuan-Terunik-Umat-Manusia

Referensi

Dokumen terkait

Dalam masyarakat adat, tokoh merupakan sosok yang dianggap sebagai panutan. Sehingga orientasi politik yang dimiliki oleh tokoh adat memberikan pengaruh yang cukup

ANALYSIS MODEL ALTMAN Z-SCORE, SPRINGATE, ZMIJEWSKI AND OHLSON IN PREDICTING BANKRUPTCY ON THE PROPERTY AND REAL ESTATE LISTED ON INDONESIA STOCK EXCHANGE PERIOD 2014-2018..

Berkenaan dengan hal tersebut , kami meminta bantuan Saudara untuk menugaskan pegawai di lingkungan unit kerjal kantor Saudara untuk mengikuti diklat pada waktu dan

Hal tersebut dapat terjadi karena, anemon sebagai inang mengalami stress akibat kondisi lingkungan yang tidak mendukung (pada penelitian ini berupa kenaikan suhu) sehingga

Menurut warga, belum ada kajian dan sosialisasi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) terkait pembangunan ITF/TPST ini. Warga meminta agar pembangunan ITF/TPST ini

[r]

Tak kalah pentingnya dari data -data di atas data ini juga berfungsi untuk mengetahui kelas berapa siswa tersebut melanggar dan menentukan wali kelas yang bertanggung

Sebuah modul panel depan pada umumnya terdiri dari sakelar daya, sakelar reset, lampu LED daya, lampu LED aktifitas penggerak depan (hard drive), pengeras suara dan lain-lain. Ketika