• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepentingan Politis di balik Eksegesis T

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kepentingan Politis di balik Eksegesis T"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Kepentingan Politis di balik Eksegesis

(Tela’ah Pemikiran Stefan Wild tentang Penafsiran al-Qur’an)

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kajian al-Qur’an Orientalis

Dosen Pengampu: Dr. Phil. Sahiron, M.A.

Disusun oleh:

Wildan Hidayat 1620510035 SQH C

KONSENTRASI STUDI AL-QUR’AN DAN HADIS (S2) FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

(2)

Kepentingan Politis di balik Eksegesis

(Tela’ah Pemikiran Stefan Wild tentang Penafsiran

al-Qur’an)

Wildan Hidayat

UIN Sunan Kalijaga

Kajian al-Qur’an Orientalis

Pendahuluan

Al-Qur’an selalu menjadi rujukan seluruh kelompok dan atau aliran yang berpredikat

Islam, seperti yang dinyatakan oleh Quraish Shihab, baik ketika menarik ide-ide maupun

mempertahankan ide-ide tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa al-Quran menempati posisi

sentral dalam studi Islam.1

Tidak hanya para sarjana Muslim, bahkan kajian tentang al-Quran di Barat (Western

Scholarship / Euro-American Scholarship) terus berkembang dan marak. Setiap tahun bahkan

selalu ada buku dan artikel akademik mereka tentang studi Islam yang terbit. Di Barat, kajian

al-Qur’an menjadi salah satu alternatif kajian akademik yang menarik banyak perhatian,

mulai dari sarjana muslim hingga non muslim. Kajian al-Qur’an di Barat menyangkut

berbagai aspek, mulai dari teks al-Qur’an itu sendiri, penafsiran para sarjana muslim baik

pada masa klasik hingga masa modern saat ini.2

1 M. Quraish Shihab, “Posisi Sentral al-Qur’an dalam Studi Islam”, dalam Tauik Abdullah dan M. Rusli Karim (Ed), Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar,

(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), hlm. 136.

2 J.J.G. Jansen, The Interpretation of the Koran in Modern Egypt, (Leiden: E.J. Brill, 1980),

(3)

Untuk memahaminya, al-Qur’an tidak membeda-bedakan siapa yang paling berhak

dan siapa yang paling tidak berhak untuk memahami dan mengkajinya. Dan pada akhirnya,

seperti yang diungkapkan oleh Farid Esack, menurutnya, agama dan kitab suci (termasuk

di-dalamnya al-Qur’an) menjadi wilayah perebutan.3 Hal ini lantas menjadikan siapapun berhak

dan ditolerir untuk mengkaji al-Qur’an (termasuk didalamnya para orientalis).

Salah satu dari sarjana barat yang intens dalam mengkaji al-Qur’an dan Islamic

Studies adalah Stefan Wild. Dalam sebuah tulisannya ‘Political Interpretation of the

Qur’an”4, secara kasat mata dapat dimaknai bahwa istilah yang digunakan oleh Stefan Wild

diatas seolah menunjukkan, bahwa penafsiran atau exegetis sarat akan kepentingan, termasuk

di antaranya kepentingan politik.

Stefan Wild; Karya dan Islamic Studiesnya

Stefan Wild lahir pada 2 Maret 1937, di Leipzig, Jerman. Wild belajar di Universitas

Munich, Yale University, Erlangen dan Tuebengin lulus pada tahun 1961, kemudian

menyelesaikan habilitasi pada tahun 1968 di Univesity of Munich dalam perdagangan Semit.

1968-1973 dia menduduki jabatan Direktur Orient-Instituts der Deutschen Morgenlandischen

Gesellschaft di Beirut, Lebanon. Pada tahun 1974-1977, Wild menjabat sebagai Profesor

Bahasa Semit dan studi Islam di Universitas Amsterdam dan pada tahun 1977-2002 menjabat

sebagai Profesor Semit-Filologi dan studi Islam di Universitas Bonn.

Di antara karya-karyanya adalah Das Kitab al-’Ain und die arabische Lexikographie.

Libanesische Ortsnamen, Typologie und Deutung. Ghassan Kanafani, The Life of a

Palestinian. The Qur’an as Text. Akten des 27. Deutschen Orientalistentages. Mensch,

Prophet und Gott im Islam.Selain karya berbentuk buku, Wild juga seorang penulis artikel

dan beberapa di antaranya adalah “Lost in Philology? The Virgins of Paradise and The

Luxenberg Hypothesis” dalam Angelika Neuwirth, The Quran in Context: Historical and

3 Farid Esack, al-Quran, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan Yang Tertindas,

(Bandung: Mizan, 2000), hlm. 29.

(4)

Literary Investigations into the Qur’anic Mileu. “Political Interpretation of the Qur’an”

dalam Jane Dammen McAuliffe, The Cambridge Companion to The Qur’an. “Arabic

Recitation: The Meta Linguistics of Quranic Revelation” dalam Stefan Wild,

Self-Referentiality in the Quran.

Dalam ruang lingkup kajian al-Qur’an yang dilakukan oleh para sarjana barat, Stefan

Wild sebenarnya lebih terfokus pada kajian sumber-sumber bahan al-Qur’an sebagaimana

yang sudah dilakukan sebelumnya oleh Christhop Luxenberg. Jika Luxenberg mengkaji

sumber tersebut menggunakan literary criticsm, maka Wild mendekati permasalahan yang

sama dengan Luxenberg dengan historical criticsm. Menurutnya, al-Qur’an menggunakan

kata Houri bukan menggambarkan al-Qur’an mengadopsi bahasa lain, tetapi lebih

menggambarkan keadaan sosigeografis masyarakat Arab pada waktu diturunkannya

al-Qur’an.5 Seperti yang sudah diketahui, bahwa keadaan masyarakat Arab secara geografis di

tengah bentangan gurun padang pasir, secara sosial, masyarakat Arab pada waktu itu tidak

menghargai wanita dengan semestinya. Oleh karena itu, dengan menggunakan houri

al-Qur’an ingin menghargai wanita dan menstimulasi masyarakat Arab dengan sesuatu yang

tidak pernah dilihat sebelumnya, sehingga kata houri bersifat informatif terhadap orang yang

percaya terhadap Allah.

Dari kenyataan diatas dapat dikatakan bahwa sarjana barat melakukan bera-gam

penelitian dan kesimpulannya juga berbeda, sehingga generalitas penilaian terhadapnya sudah

tidak dapat dilakukan lagi. Fokus kajian yang bermacam-macam, seperti kajian sumber

al-Qur’an yang diwakili oleh Luxenberg yang kemudian disusul oleh Stefan Wild, kajian

kandungan Al-Qur’an yang wakili oleh Ian Richard Netton, otentisitas Al-Qur’an yang

diwakili oleh Angelika Neuwirth, menuntut para sarjana muslim untuk melihat kajian sarjana

barat lebih cermat dan bijak.

Kepentingan Politis di balik Eksegesis

(5)

Tidak berlebihan rasanya dengan apa yang dituliskan oleh Mahir al-Munajjad pada

halaman muka buku Membongkar Ideologi Tafsir al-Qur’an Kontemporer : “Tak ada tafsir

yang murni dan obyektif. Setiap tafsir selalu subyektif dan tak bisa mengelak dari

kepentingan penulisnya. Karena itu, setiap pembaca haruslah bersikap kritis ketika membaca

sebuah karya tafsir.”6 Benar adanya, bahwa tidak ada eksegesis atau penafsiran – baik yang

klasik maupun yang kontemporer – yang steril dari kepentingan dan pengaruh latar belakang

penafsir, apapun kepentingannya.

Secara logis, hal ini memang sudah menjadi konsekuensi dari keterbukaan al-Qur’an.

Sebagai kitab suci yang bebas akses, dalam arti, al-Qur’an bisa didekati oleh siapapun untuk

kepentingan apapun, termasuk kepentingan politik. Apalagi sebagaimana yang telah

dituliskan sebelumnya bahwa al-Qur’an menempati posisi sentral bagi umat Islam di seluruh

dunia.

Political Reading of The Qur’an ?

Dari uraian sebelumnya, muncul sebuah pertanyaan: apa yang dimaksud dengan

political reading of the Qur’an atau pembacaan al-Qur’an berbasis kepentingan politik itu?.

Sederhananya begini, political reading bisa dimaknai sebagai memahami, menafsiri atau

menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an atas dasar dan untuk kepentingan politik. Wujud dari

kepentingan politik bisa berupa hasil penafsiran yang seolah mendukung kelompok politik

tertentu, namun bisa juga berupa penegasian kelompok atau lawan politik lain. Jika di Mesir

ada Muhammad ‘Abduh dan Rashid Ridha dengan al-Manar-nya yang mempunyai karakter

penafsiran ala reform movement (gerakan reformasi) di Mesir, yang berusa menjelaskan

kepada publik bahwa tidak ada kontradiksi antara akal manusia dan sains barat. ‘Abduh dan

Rashid Ridha menganalogikan makna dari ayat 11 pada surat ar-Ra’d:



























(6)













 

 





 





 



 

“Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka

merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki

keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan

sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”. (Ar-Ra’d : 11)

Ayat diatas dianalogikan dengan penemuan-penemuan di abad 19 seperti telegraph,

telefon dan kapal api, sehingga benar adanya bahwa ‘God will never change [the condition

of] a people until they change what is in themselves.’ Yakni, Tuhan sendiri tidak akan

merubah keadaan suatu kaum kalau tidak ada usaha untuk berubah dari kaum itu sendiri.

Unsur politik murni dari ‘Abduh dan Rashid Ridha disini tidak termanifestasikan dalam

bentuk politik negatif, akan tetapi lebih kepada politik harmonis yang dapat menjadi pemicu

semangat reformasi dan perubahan untuk publik Mesir pada waktu itu, tentunya, perubahan

ke arah yang lebih maju dari segala aspek, terlebih aspek sains (ilmu pengetahuan).

Berbeda dengan Mesir, di Indonesia justru terdapat penafsiran politis (political

interpretation) dalam al-Huda: Tafsir al-Qur’an Bahasa Jawi yang ditulis oleh Kol. Inf.

Bakri Syahid pada era Orde Baru. Unsur sosio-politik yang sangat kental dapat dijumpai

dalam tafsir al-Huda ini, salah satu contohnya adalah ketika Bakri Syahid berusaha

menjelaskan tentang musyawarah yang harus diambil oleh pemerintah atau pemimpin ketika

mengambil sebuah kemufakatan dalam surat asy-Syu>ra ayat 38, yakni sebagai berikut:

















































 





 

 

“ dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara

mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada

(7)

Ayat di atas Bakri Syahid terjemahkan sebagai berikut:

“Lan tumrap wong-wong kang padha ngestokake dhawuhing Allah Pangerane! Lan

padha nyampurnakake Shalat, sarta padha gelem rerembugan sakancane tumrap

prakara kaperluane! Apa dene padha gelem nanjakake rezeqi kang wus Ingsun

paringake.”7

Penafsiran terhadap ayat di atas adalah sebagai berikut:

“…Rerembagan perkawis ingkang nglimputi kabetahaning ngakathah punika sampun

kalimrah naminipun: musyawarah, muktamar, seminar, simposium, lokakarya,

diskusi, sarasehan, rembug desa, parlemen, DPR, lan Majelis Permusyawaratan

Rakyat, lan sanes-sanesipun… Dhawuhing hadits: “Laa khoba manistasyar, walaa

nadima manis takhor”, Ora rugi wong kang rembugan, lan ora getun wong kang

duwe pamilih”. Inggih punika bukti manawi manungsa titah (makhluk) social, lan

bukti ugi manawi doktrin Al Quraan punika kasunyatan ing leres lan dados rahmat

sadaya Bangsa ing alam Jagad Raya.”

Artinya:

“…Kemufakatan yang melibatkan orang banyak sudah lumrah disebut: musyawarah,

muktamar, seminar, simposium, lokakarya, diskusi, sarasehan, rembug desa,

parlemen DPR, dan Majlis Permusyawaran Rakyat, dan lain sebagainya... Seperti

yang dikatakan hadis: “Laa khoba manistasyar, walaa nadima manis takhor”, tidak

rugi orang yang bermusyawarah, dan tidak akan kecewa orang yang memiliki

pilihan”. Ini adalah bukti bahwa manusia makhluk sosial, dan bukti bahwa doktrin

al-Qur an digunakan dalam kebaikan dan menjadi rahmat bagi semua Bangsa di ‟

alam jagad raya.”8

7 Bakri Syahid, Al-Huda Tafsir Qur‟an Basa Jawi, cetakan 3, (Yogyakarta: Bagus Arafah, 1983) hlm. 965

(8)

Pengambilan kemufakatan ini sesuai dengan sistem yang dianut oleh Indonesia pada

era Orde Baru, yaitu sistem demokrasi Pancasila. Hal ini Bakri Syahid jelaskan ketika ia

menafsirkan surat an-Nisa>‟ ayat 83, yakni sebagai berikut:

“Ing zaman Rasulullah saw, inggih punika para sahabat lan para winasis ing ilmu,

zaman sapunika Ulil Amri punika pemerintahan cara demokrasi, boten tebih kados

tata negari ing Indonesia cara demokrasi Pancasila naminipun.”9

Artinya:

“Pada jaman Rasulullah saw, yaitu para sahabat dan orang-orang ahli ilmu,

zaman itu ulil amri yaitu pemerintahan cara demokrasi, tidak jauh seperti tata

negara di Indonesia, cara demokrasi Pancasila namanya.”

Demokrasi merupakan suatu sistem politik di mana para anggotanya saling

memandang antara satu dengan yang lainnya sebagai orang yang sama dilihat dari segi

politik. Demokrasi sama sekali bukan mayoritarianisme, melainkan menjunjung tinggi

prinsip mayoritas yang di dalamnya tercakup kompromi yang adil, yang tidak mengganggu

kepentingan minoritas yang paling fundamental.10

Dari penjelasan Bakri Syahid diatas, terlihat jelas bahwa corak penafsiran politis yang

ia tuangkan sedikti banyak mengandung unsur dukungan terhadap kebijakan-kebijakan

politik pada masa Orde Baru.

Politisasi al-Qur’an; Tinjauan problematis relevansi teks dan konteks

Politisasi ayat al-Qur’an sendiri secara historis sudah terjadi semenjak zaman khalifah

‘Ali bin Abi Thalib, bahkan dapat disimpulkan bahwa permasalahan politik (antara kelompok

‘Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan) adalah kasus yang pertama kali timbul

dalam Islam kala itu.

9 Bakri Syahid, Al-Huda Tafsir Qur‟an Basa Jawi…, hlm. 153

(9)

Selain hal diatas, menurut Stefan Wild, kelompok anti Dinasti Umayyah juga

menggunakan ayat al-Qur'an untuk menegatifkan musuhnya. Misalnya, mereka menyebut

Dinasti Umayyah sebagai "the tree cursed in the Qur'an", berdasarkan Qur’an surat al-Isra'

ayat 60;

"Dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan kepadamu; Sungguh, Tuhanmu meliputi

seluruh manusia. Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan

kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon yang

terkutuk (zaqqum) dalam al-Qur'an. Dan Kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang

demikian itu hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka.”

Tidak diketahui pasti, apa maksud tafsiran Dinasti Umayyah laksana shajarah

al-mal'unah (pohon yang terkutuk): apakah karena faktor nepotisme kedinastiannya ibarat

pohon yang patah tumbuh hilang berganti? Yang jelas, dakwaan itu dilegitimasikan melalui

ayat al-Qur'an; dan inilah politisasi ayat. Ayat itu sejatinya tidak sedang berbicara perihal

Dinasti Umayyah, melainkan orang-orang durhaka yang diibaratkan pohon zaqqum. Namun

atas dasar kepentingan kelompok, ayat ini ditarik untuk hajat pragmatis yang sesaat itu .

Sebaliknya, ketika Khalifah Abbasiyah al-Ma'mun menekankan negara berdasar

doktrin al-Qur'an, maka ia juga mendasarkan klaim kebijakannya pada Qur’an surat

az-Zukhruf ayat 3;

"Kami menjadikan al-Qur’an dalam Bahasa Arab, agar kamu mengerti."

Oleh al-Ma'mun, ke-Arab-an al-Qur'an dijadikan alasan untuk menerapkan

hukum-hukum al-Qur'an dalam konteks negara dengan menjadikannya sebagai undang-undang

tertinggi secara legal-formal. Tentu saja, hal ini terjadi karena bahasa keseharian mereka

adalah Arab dan klan mereka juga Arab.

Selain kelompok di atas, kelompok pecinta Ali bin Abi Thalib juga melakukan hal

(10)

batiniyyah perihal Qur’an surat al-Nam ayat 16; "Dan Sulaiman telah mewarisi Dawud."

Seperti dijelaskan Ali As-Shabuni, kelompok ini menafsirkan: anna al-imam Aliyyan

waratha al-Nabi fi 'ilmih (sesungguhnya Imam Ali bin Abi Thalib mewarisi keilmuan Nabi

Muhamma d SAW).11 Penafsiran atau tepatnya penakwilan ini, nyata-nyata sangat jauh dari

makna lahir teks. Ini terjadi karena pembelaan yang mendalam pada orang yang dicintainya.

Dalam konteks modern, terang Stefan Wild, pembacaan ayat-ayat suci lantas

dikaitkan dengan hubungan antara Islam dan Negara. Kemudian, segeralah muncul tafsir

populer karya Sayid Quthb, Fi Zhilal al-Qur'an, yang juga mendeklarasikan la hukma illa li

Allah secara lebih modern. Menurutnya, karya ini cukup berpengaruh terhadap politisasi

al-Qur'a n bagi generasi harakis setelahnya. Di dalamnya, pengarangnya bahkan mengritik

Tafsir al-Manar yang dinilainya telah jatuh pada model tafsir orientalisme. Karya Quthb ini

tak lebih sebagai contoh tafsir aktivis (activist's exegesis) yang cenderung anti-Barat dan

antikolonialisme."12 Menurutnya, karya ini bahkan menjadi book-icon bagi gerakan Islam,

yang memantik munculnya revolusi Iran 1979, Hizbullah di Lebanon dan gerakan Hamas di

jalur Gaza Palestina. Karya ini juga "dihormati" karena dua hal; ditulis di penjara dan

penulisnya dieksekusi mati di tiang gantungan (antara lain) karenanya.13 Membaca

keterangan di atas, nyata sekali bahwa semua berkepentingan dengan al-Qur'an, apalagi

dalam kondisi situasi perpolitikan yang guncang dan perseteruan antar kelompok terjadi di

mana-mana. Setiap kelompok berupaya membenarkan dirinya melalui ayat-ayat suci itu.

Kaitannya dengan pembacaan al-Qur’an, proses politisasi al-Qur’an seolah tak bisa di

pisahkan dari eratnya kaitan antara teks al-Qur’an dan konteks pembacanya. Untuk

membedah hal itu, maka teori yang digagas oleh Amin al-Khuli penting untuk dipakai. Teori

yang dimunculkan oleh al-Khuli; yakni pemaduan analisis internal teks (dirasah ma fi

al-qur'an) dan analisis eksternal teks (dirasah ma haula al-Qur'an).14

11 Muhammad 'Ali al-Shabuni, at-Tibya>n fi 'Ulu>m al-Qur'a>n, (Jakarta: Dinamika Berkah Utama, 1985), hlm. 17

12 Stefan Wild, "Political Interpretation of the Qur'an"…, hlm. 282. 13 Stefan Wild, "Political Interpretation of the Qur'an"…, hlm. 282-283.

(11)

Pertama, dirasah ma fi al-qur'an. Diakui, al-Qur'an sebagai kitab mujmal (global)

tidak memberikan penjelasan tema secara detail per-item-nya. Dengan menggunakan

nalarnya, disinilah penafsir bisa menafsir ayat al-Qur'an secara berbeda-beda sesuai

keperluan dan latar belakang akademiknya. Masalahnya, tidak ada tolok ukur perihal

penafsiran siapa yang benar dan penafsiran siapa yang salah. Dari sinilah yang kemudian

lahir berbagai macam dan tipe tafsir bahkan bisa jadi ada modus terpendam dibalik

penafsiran itu. Kedua, dirasah ma haula al-qur'an. Melalui studi eksternal teks ini, akan

diketahui bahwa political reading of the qur'an itu tidak semata terjadi lantaran kemujmalan

ayat, melainkan juga karena (terutama) latar belakang penafsirnya, baik latar belakang sosial

maupun akademik. Quraish Shihab mengatakan, bahwa penafsiran adalah hasil pemikiran

seseorang yang dipengaruhi bukan saja oleh tingkat kecerdasannya, tetapi juga oleh disiplin

ilmu yang ditekuninya, pengalaman, penemuan-penemuan ilmiah, kondisi sosial, politik, dan

sebagainya.15 Ini yang menyebabkan hasil penafsiran seringkali berbeda satu sama lain,

sebagai sesuatu yang alamiah belaka, yang tidak seharusnya dipertentangkan satu sama lain.

Kesimpulan

Suatu konsekuensi logis, sebagai kitab suci bebas akses, al-Qur’an seringkali dibaca

dan di interpretasikan beriringan dengan kepentingan beragam, termasuk kepentigan politik.

Faktor relevansi teks (al-Qur’an) dan konteks (penafsir) lah yang menjembatani terjadinya

political interpretation of the Qur’an . Kembali diulas seperti apa yang diungkapkan Quraish

Shihab, bahwa penafsiran adalah hasil pemikiran seseorang yang dipengaruhi bukan saja oleh

tingkat kecerdasannya, tetapi juga oleh disiplin ilmu yang ditekuninya, pengalaman,

penemuan-penemuan ilmiah, kondisi sosial, politik, dan sebagainya. Ini yang menyebabkan

hasil penafsiran seringkali berbeda satu sama lain, sebagai sesuatu yang alamiah belaka, yang

tidak seharusnya dipertentangkan satu sama lain.

(12)

Daftar Pustaka

al-Khu>li, Ami>n. al-Tafsi>r: Nasy'atuh, Tadarrujuh, Tathawwuruh, Beirut:

Dar al-Kitab al-Lubnani, 1982

al-Shabuni, Muhammad 'Ali. at-Tibya>n fi 'Ulu>m al-Qur'a>n, Jakarta:

Dinamika Berkah Utama, 1985

al-Munajjad, Mahir. Membongkar Ideologi Tafsir al-Qur'an Kontemporer,

Yogyakarta: eLSAQ, 2008

Esack, Farid. al-Quran, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan Yang

Tertindas, Bandung: Mizan, 2000

Jansen, J.J.G. The Interpretation of the Koran in Modern Egypt, Leiden: E.J.

Brill, 1980

Kamil, Sukron. Pemikiran Politik Islam Tematik, (Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, 2013

Noryamin. Aini. “Dasar Legitimasi Sosiologis Gagasan Perubahan

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Dalam Konteks Perubahan Sosial” dalam

Jurnal Syariah Jurnal Ilmu Hukum, No.1, Vol.7, 2007.

Syahid, Bakri. Al-Huda Tafsir Qur‟an Basa Jawi, cetakan 3. Yogyakarta:

(13)

Shihab, M. Quraish. “Posisi Sentral al-Qur’an dalam Studi Islam”, dalam

Tauik Abdullah dan M. Rusli Karim (Ed), Metodologi Penelitian

Agama: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989

Shihab, M. Quraish. "Membumikan" al-Qur'an; Fungsi dan Peran Wahyu

dalam Kehidupan Masyarakat, Jakarta: Mizan, 1992

Wild, Stefan. “Lost In Philology? The Virgins of Paradise And The Luxenberg

Hypothesis” dalam Angelika Neuwirth, dkk, The Quran in

Context:Historical and Literary Investigation into The Qur’anic

Milleu, Leiden-Boston: Brill, 2010

Wild, Stefan. "Political Interpretation of the Qur'an", dalam Jane Dammen

McAuliffe (ed), the Cambridge Companion to the Qur'an,

(14)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka menjadi rumusan masalah pada penelitian ini adalah “bagaimana karakteristik 10 penyakit utama yang ada di

Hubungan negatif antara variabel Tingkat upah terhadap Kesempatan Kerja yang diperoleh dalam penelitian ini didukung oleh penelitian Lestari (2010), berdasarkan

pembelajaran menulis, salah satunya dalam penelitian sebelumnya metode STAD digunakan dalam jurnal berjudul “Penerapan Metode Student Teams Achievement Divisions (STAD) pada

Kurva suhu optimum enzim papain dari getah pepaya jenis daun kipas Pada Gambar 3, terlihat bahwa aktivitas papain mengalami kenaikan seiring dengan peningkatan suhu dari

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Induksi Kalus Akasia ( Acacia mangium ) Dengan

Penerapan teori humanistik dalam pembelajaran dapat dimodifikasi secara lentur oleh guru, hal ini lebih memberikan ruang kreatifitas yang tidak terbatas pada

Clipping titik adalah menghilangkan titik-titik yang berada di luar window, yaitu dengan menentukan apakah suatu titik berada dalam satu daerah atau tidak. Clipping garis

Dari ketiga jenis pandan ini, jenis yang terakhir telah umum dibudidayakan dan dikenal dengan beberapa nama lokal serta daunnya digunakan sebagai bahan anyaman. Kerajinan