Naskah Akademik
Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten Cilacap
Tentang
Bantuan Hukum Bagi Rakyat Miskin
SEKRETARIAT DPRD KABUPATEN CILACAP
LEMBAGA PENELITIAN DAN
PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT (LPPM) IAIN PURWOKERTO
Kerjasama
Kabupaten Cilacap
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN
PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP
NOMOR …… TAHUN 2015
TENTANG
BANTUAN HUKUM BAGI RAKYAT MISKIN
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN CILACAP PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Identifikasi Masalah 2
C. Tujuan Dan Manfaat Naskah Akademik 3
D. Metode Analisis Naskah Akademik 4
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS
A. Kajian Teoritis 6
B. Praktek Empiris 9
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG UNDANGAN TERKAIT 17
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN
YURIDIS
A. Landasan Filosofis 29
B. Landasan Sosiologis 30
C. Landasan Yuridis 32
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG
LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH
A. Rumusan Akademik Berbagai Istilah dan Frase 43
B. Muatan Materi Peraturan Daerah 44
BAB VI PENUTUP 60
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah Negara hukum. Konsep ini termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 perubahan ketiga. Dengan dimasukkannya pasal ini ke dalam bagian pasal UUD 1945 menunjukkan semakin kuatnya dasar hukum serta menjadi amanat negara bahwa negara Indonesia harus merupakan negara hukum. Aristoteles merumuskan negara hukum adalah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya.
Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup setiap warga Negara. Dengan demikian cita-cita Negara hukum (rule of law) yang terkandung dalam UUD 1945 bukanlah sekedar Negara yang berlandaskan sembarang hukum. Hukum yang didambakan bukanlah hukum yang ditetapkan semata-mata atas dasar kekekuasaan yang dapat menuju atau mencerminkan kekuasaan mutlak atau otoriter. Hukum yang berbasis kekuasaan semata bukanlah hukum yang adil
(just law) yang didasarkan pada keadilan bagi seluruh rakyat. Hukum
bagi bangsa Indoensia hadir untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH ada dua belas ciri penting dari negara hukum diantaranya adalah supremasi hukum (supremacy of law) dan persamaan dalam hukum (equality before the law). Supremasi hukum menjadi ciri penting dari suatu Negara hukum yang menekankan bahwa kedudukan hukum merupakan posisi tertinggi, kekuasaan harus tunduk pada hukum bukan sebaliknya hukum tunduk pada kekuasaan, bila hukum tunduk pada kekuasaan, maka kekuasaan dapat membatalkan hukum, dengan kata lain hukum dijadikan alat untuk membenarkan kekuasaan. Hukum harus menjadi
“tujuan” untuk melindungi kepentingan rakyat. Sedangkan persamaan
dalam hukum menekankan bahwa di dalam suatu negara hukum kedudukan penguasa dengan rakyat dimata hukum adalah sama (sederajat), yang membedakan hanyalah fungsinya, yakni pemerintah berfungsi mengatur dan rakyat yang diatur. Baik yang mengatur maupun yang diatur pedomannya satu, yaitu undang-undang. Bila tidak ada persamaan hukum, maka orang yang mempunyai kekuasaan akan merasa kebal hukum.
2 Indonesia. Tujuan yang tertuang dalam konstitusi ini menjadi dasar bagi negara untuk menjamin hak konstitusional setiap warga negara untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagai sarana perlindungan hak asasi manusia;
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “semua orang diperlakukan sama di depan hukum”. Kewajiban Negara untuk
memfasilitasi warga Negara yang tidak mampu secara ekonomi di dalam mengakses keadilan. Negara bertanggung jawab terhadap pemberian bantuan hukum bagi orang miskin sebagai perwujudan akses terhadap keadilan. Penyelenggaraan bantuan hukum bertujuan untuk : 1. menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima Bantuan Hukum
untuk mendapatkan akses keadilan;
2. mewujudkan hak konstitusional segala warga Negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum;
3. menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum dilaksanakan secara merata di seluruh daerah;
4. mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam rangka menjamin hak konstitusional bagi setiap warga negara yang mencakup perlindungan hukum, kepastian hukum, persamaan di depan hukum, dan perlindungan hak asasi manusia, Pada tanggal 04 Oktober 2011 Pemerintah dan DPR telah menyetujui bersama undang-undang yang mengatur bantuan hukum yakni UU No 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang selanjutnya disebut UU Bantuan Hukum.
Kehadiran UU Bantuan Hukum ini paling tidak menjawab ekspektasi yang tinggi dari masyarakat akan penyelesaian persoalan bantuan hukum di Indonesia, dimana sampai saat ini masih banyak rakyat Indonesia yang tak mendapatkan akses terhadap bantuan hukum. Penyelenggaraan pemberian bantuan hukum kepada masyarakat merupakan upaya pemerintah untuk memenuhi dan sekaligus sebagai implementasi negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (access to justice) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law).
3 pembentuk UU bantuan hukum menyadari bahwa dana yang dialokasikan dalam APBN tidak akan mampu untuk memenuhi semua permohonan bantuan hukum yang ada di seluruh daerah. Untuk itu UU bantuan hukum mendelegasikan kepada Pemerintah Daerah termasuk tentu saja pemerintah kabupaten Cilacap untuk mengalokasikan dana penyelenggaraan bantuan hukum bagi masyarakat miskin dalam APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-UndangNomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum.
Sampai saat ini kabupaten Cilacap belum memiliki Peraturan Daerah yang secara khusus menjamin terlaksananya hak konstitusional warga negara, khususnya bagi orang atau kelompok masyarakat miskin. Selama ini, pemberian Bantuan Hukum yang dilakukan belum banyak menyentuh orang atau kelompok orang miskin, sehingga mereka kesulitan untuk mengakses keadilan karena terhambat oleh ketidakmampuan mereka untuk mewujudkan hak-hak konstitusional mereka. Pengaturan mengenai pemberian Bantuan Hukum Untuk Masyarakat Miskin dalam peraturan daerah nampaknya sangat mendesak untuk diwujudkan di kabupaten Cilacap. Peraturan Daerah merupakan jaminan terhadap hak-hak konstitusional orang atau kelompok orang miskin di kabupaten Cilacap.
Berdasarkan hal tersebut diatas untuk mencari jawaban atas permasalahan tersebut perlu dilakukan kajian hukum yang khusus ditekankan pada permasalahan mengapa diperlukan Peraturan Dareah Tentang Bantuan Hukum kepada masyarakat miskin di kabupaten Cilacap ?
B. Tujuan dan manfaat
Tujuan disusunnya naskah akademik ini adalah memberikan kerangka pemikiran, paradigma, landasan hukum sampai pada taraf operasionalisasinya peraturan daerah yang dibuat. Sedangkan tujuan dibuatnya peraturan daerah tentang Bantuan Hukum bagi Rakyat Miskin Kabupaten Cilacap adalah :
1. Memformulasi model bantuan hukum yang komprehensif/integral bagi warga Cilacap yang tidak mampu (masyarakat miskin), baik dalam bentuk non litigasi maupun litigasi, dilakukan oleh pekerja bantuan hukum yang tidak atau belum berprofesi sebagai advokat, baik yang tergabung dalam sebuah korporasi maupun secara perorangan.
4 3. Memberi legitimasi kepada sarjana hukum yang tidak
atau belum menjadi advokat untuk beracara di pengadilan di wilayah hukum RI.
4. Naskah akademik ini diharapkan memiliki kemanfaatan sebagai alasan, pedoman, dan arahan dalam membentuk peraturan perundang-undangan, dalam hal ini Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap tentang Bantuan Hukum kepada Masyarakat Miskin.
C. Metode Analisis Naskah Akademik
Metode analisis yang digunakan dalam naskah akademik ini adalah metode sosiolegal. Artinya, kaidah-kaidah hukum, baik yang berupa perundang-undangan, maupun berbagai tradisi lokal, dijadikan sebagai bahan rumusan pasal-pasal yang dituangkan dalam rancangan peraturan perundang-undangan, dalam hal ini Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap tentang Bantuan Hukum kepada Masyarakat Miskin.
Metode ini didasari oleh sebuah teori bahwa hukum yang baik adalah hukum yang tidak hanya berlandaskan pada kaidah-kaidah teoritis, akan tetapi juga berlandaskan pada kenyataan yang ada dalam kehidupan masyarakat, meliputi :
1. Identifikasi permasalahan terkait permasalahan hukum masyarakat miskin dan aktivitas bantuan hukum.
2. Inventarisasi bahan hukum yang terkait. 3. Sistematisasi bahan hukum
4. Analisis bahan hukum, 5. Perancangan dan penulisan
5 BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIK
A. Kajian Teoritis
Indonesia sebagai Negara hukum menjamin kesetaraan bagi warga negaranya di hadapan hukum dalam dasar Negara dan konstitusinya. Sila kedua Pancasila “kemanusiaan yang adil dan beradab” dan sila kelima Pancasila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” mengakui dan menghormati hak warga Negara Indonesia untuk keadilan ini. UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama didepan hukum dan setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. UUD 1945 juga mengakui hak setiap orang untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
6
Kedudukan yang lemah dan ketidakmampuan seseorang tidak boleh menghalangi orang tersebut mendapatkan keadilan. Pendampingan hukum (legal representation) kepada setiap orang tanpa diskriminasi itu merupakan perwujudan dari perlindungan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Tanpa adanya pendampingan hukum maka kesetaraan di hadapan hukum sebagaimana diamanatkan konstitusi dan nilai-nilai universal hak asasi manusia tersebut tidak akan pernah terpenuhi
Bantuan hukum adalah media bagi warga Negara yang tidak mampu untuk dapat mengakses terhadap keadilan sebagai manifestasi jaminan hak-haknya secara konstitusional. Masalah bantuan hukum meliputi masalah hak warga Negara secara konstitusional yang tidak mampu, masalah pemberdayaan warga Negara yang tidak mampu dalam akses terhadap keadilan, dan masalah hukum faktual yang dialami warga Negara yang tidak mampu.
Bantuan hukum tidak hanya ditujukan kepada individu, akan tetapi juga ditujukan kepada anggota masyarkat secara kolektif. Bantuan hikum yang dilakukan, tidak hanya menggunakan jalur litigasi saja, juga menggunakan pendekatan mediasi dan jalur politik. Konsep bantuan hukum lahir sebagai konsekwensi dari pemahaman kita terhadap hukum. Realitas yang kita hadapi adalah adalah produk dari proses-proses sosial yang terjadi di atas pola hubungan tertentu di antara infrastruktur masyarakat yang ada. Hukum sebenarnya merupakan superstruktur yang selalu berubah dan merupakan hasil interaksi antar infrastruktur masyarakat. Oleh karena itu, selama pola hubungan antar infrastruktur menunjukan gejala yang timpang maka hal tersebut akan mempersulit terwujudnya hukum yang adil.
Pemberian bantuan hukum, mempunyai manfaat besar bagi perkembangan pendidikan penyadaran hak-hak warga Negara yang tidak mampu khususnya secara ekonomi, dalam akses terhadap keadilan, serta perubahan sosial masyarakat ke arah peningkatan kesejahteraan hidup dalam semua bidang kehidupan berdasarkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu dibutuhkan suatu peraturan perundang-undangan yang menjamin hak warga negara Indonesia untuk mendapatkan akses kepada keadilan dan pendampingan hukum, termasuk bantuan hukum (legal aid) bagi warga Negara yang tidak mampu.
7
jika kepentingan keadilan menghendaki demikian. Untuk pemenuhan hak tersebut, menurut pertimbangan Kovenan PBB tadi mewajibkan negara untuk memajukan penghormatan universal dan ketaatan terhadap HAM dan kebebasan. Kewajiban tersebut antara lain berupa kewajiban untuk menghormati (to respect), kewajiban untuk memenuhi (to fulfill),dan kewajiban untuk melindungi (to protect). Kewajiban tersebut termasuk kewajiban untuk melindungi, memenuhi/memfasilitasi dan menghormati hak atas bantuan hukum. Negara bertanggung jawab terhadap pemberian bantuan hukum bagi orang miskin sebagai perwujudan akses terhadap keadilan dan mengimplentasikan dalam bentuk pengaturan mengenai bantuan hukum yang diselenggarakan oleh negara harus berorientasi pada terwujudnya perubahan sosial yang
berkeadilan. Kelahiran Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang
Bantuan Hukum merupakan wujud nyata kehadiran negara dalam
mengimplementasikan hak – hak konstitusional warga negara.
Atas dasar argument tersebut, sudah jelas negara mempunyai kewajiban dan yang paling penting adalah --implementasi dari kewajiban tersebut. Tidak ada jaminan hukum untuk mewajibakan negara untuk menghormati,melindungi, memfasilitasi dan memenuhi hak atas bantuan
hukum terhadap masyarakat.Undang – Undang Bantuan Hukum
mengamanatkan bahwa bantuan hukum tidak hanya merupakan kewajiban pemerintah pusat saja, akan tetapi juga merupakan kewajiban pemerintah daerah. Pasal 19 ayat (1) dan (2) mengamanatkan bahwa Daerah dapat mengalokasikan anggaran penyelenggaraan Bantuan Hukum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)diatur dengan Peraturan Daerah. Pemerintah Daerah, khususnya Kabupaten Cilacap untuk mewujudkan hak konstitusional setiap warga Negara khususnya masyarakat di Kabupaten Cilacap, sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan dihadapan hukum, maka Pemerintah Daerah perlu menjamin perlindungan hak asasi manusia dan berupaya untuk memberikan bantuan hukum kepada masyarakat yang tidak mampu.
Disamping itu, pemberian bantuan hukum juga harus
dimaksudkan sebagai bagian integral dari kewajiban warga negara lain yang mempunyai kemampuan dan kompetensi dalam memberikan bantuan hukum. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik (diratifikasi dengan UU Nomor 11 Tahun 2005). 2 Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 3 Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 4 Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 5 Pasal 2 ayat (2) Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik (diratifikasi dengan UU Nomor 11 Tahun 2005).
Undang-undang Bantuan Hukum karena mengaturpelayanan dan
penyediaan jasa hukum bagi masyarakat untuk
8
justice). Pemberian layananbantuan hukum yang dilakukan selama ini masih belum banyak menyentuhkelompok warga Negara yang tidak mampu, sehingga mereka kesulitan untukmengakses keadilan melalui pemberian bantuan hukum karena terbentur olehketidakmampuan mereka untuk menyadari akan hak-haknya secarakonstitusional maupun ketidakmampun mereka dalam bidang ekonomi. Dalamkondisi seperti itu diperlukan layanan bantuan hukum yang mempunyai visi danmisi untuk memberdayakan warga negara yang tidak mampu sehingga merekayang tidak mampu mendapatkan kepastian jaminan implementasi hak-haknyasecara konstitusional. Cita-cita dan amanat konstitusi demikian hanya dapatdiwujudkan dengan melalui system pemberian layanan bantuan hukum yangbaik dan secara menyeluruh yang dituangkan dalam peraturan perundangundangandalam bentuk Undang-undang Bantuan Hukum, sehingga setiapwarga Negara yang tidak mampu, secara konstitusional berhak atas jaminanperlindungan
hukum dan jaminan persamaan di depan hukum, sebagai
saranapengakuan HAM dapat diwujudkan.
B. Kajian Empiris
Pemberian bantuan hukum yang dilakukan selama ini belum banyak menyentuh orang atau kelompok orang miskin, sehingga mereka
kesulitan untuk mengakses keadilan karena terhambat oleh
ketidakmampuan untuk memuwujudkan hak-hak konstitusional
mereka. Berbagai permasalahan hukum yang menimpa masyarakat miskin di Kabupaten Cilacap banyak tidak terakomodasi karena ketidakpahamana masyarakat akan akses hukum yang mudah, murah dan setara, bahkan ketiadaan biaya untuk melakukan penegakan
hukum dan keadilan menjadi penghambat bagi masyarakat yang hak –
hak hukumnya dilanggar.
Tingkat kemiskinan di Cilacap memang bukan yang tertinggi di Jawa Tengah, tetapi penduduk miskin di Kabupaten Cilacap merupakan ketiga tertinggi di Jawa Tengah sebagaimana tabel di bawah ini.
Tingkat kemiskinan Di 35 Kabupaten/Kota Jawa Tengah
Tahun 2008 - 2012 (Persen)
No. Kabupaten/Kota 2008 2009 2010 2011 2012 Rata-rata
1. Kab. Cilacap 21,40 19,88 18,11 17,15 15,92 18,49
9 3. Kab. Purbalingga 27,12 24,97 24,58 23,06 21,19 24,18
4. Kab. Banjarnegara 23,34 21,36 19,17 20,38 18,87 20,62
5. Kab. Kebumen 27,87 25,73 22,70 24,06 22,40 24,55
6. Kab. Purworejo 18,22 17,02 16,61 17,51 16,32 17,14
7. Kab. Wonosobo 27,72 25,91 23,15 24,21 22,50 24,70
8. Kab. Magelang 16,49 15,19 14,14 15,18 13,97 14,99
9. Kab. Boyolali 17,08 15,96 13,72 14,97 13,88 15,12
10. Kab. Klaten 21,72 19,68 17,47 17,95 16,71 18,71
11. Kab. Sukoharjo 12,13 11,51 10,94 11,13 10,16 11,17
12. Kab. Wonogiri 20,71 19,08 15,67 15,74 14,67 17,17
13. Kab. Karanganyar 15,68 14,73 13,98 15,29 14,07 14,75
14. Kab. Sragen 20,83 19,70 17,49 17,95 16,72 18,54
15. Kab. Grobogan 19,84 18,68 17,86 17,38 16,14 17,98
16. Kab. Blora 18,79 17,70 16,27 16,24 15,11 16,82
17. Kab. Rembang 27,21 25,86 23,40 23,71 21,88 24,41
18. Kab. Pati 17,90 15,92 14,48 14,69 13,61 15,32
19. Kab. Kudus 12,58 10,80 9,01 9,45 8,63 10,09
20. Kab. Jepara 11,05 9,60 10,18 10,32 9.38 10,11
21. Kab. Demak 21,24 19,70 18,76 18,21 16,73 18,93
22. Kab. Semarang 11,37 10,66 10,50 10,30 9,40 10,45
10 24. Kab. Kendal 17,87 16,02 14,47 14,26 13,17 15,16
25. Kab. Batang 18,08 16,61 14,67 13,47 12,40 15,05
26. Kab. Pekalongan 19,52 17,93 16,29 15,00 13,86 16,52
27. Kab. Pemalang 23,92 22,17 19,96 20,68 19,28 21,20
28. Kab. Tegal 15,78 13,98 13,11 11,54 10,75 13,03
29. Kab. Brebes 25,98 24,39 23,01 22,72 21,12 23,44
30. Kota Magelang 11,16 10,11 10,51 11,06 10,31 10,63
31. Kota Surakarta 16,13 14,99 13,96 12,90 12,01 14,00
32. Kota Salatiga 8,7 7,82 8,28 7,80 7,11 7,90
33. Kota Semarang 6,00 4,84 5,12 5,68 5,13 5,35
34. Kota Pekalongan 10,29 8,56 9,36 10,04 9,47 9,54
35. Kota Tegal 11,28 9,88 10,62 10,81 10,04 10,53
Sumber : RPJMD Jawa Tengah 2013.
Berdasarkan Tabel diatas, sebaran penduduk miskin menurut kabupaten/kota di Jawa Tengah Tahun 2012 menunjukkan bahwa masih terdapat 15 kabupaten dengan angka kemiskinan di atas rata-rata provinsi dan nasional, sehingga masih perlu upaya percepatan penurunan Jumlah penduduk miskin di Jawa Tengah. Persentase penduduk miskin terbesar pada Tahun 2012 terdapat di Kabupaten Wonosobo sebesar 22,50%, Kebumen sebesar 22,40%, dan Rembang sebesar 21,88%. Dilihat dari jumlah penduduk miskin, kabupaten dengan jumlah penduduk miskin terbanyak adalah Brebes sejumlah 364.900 orang, Banyumas sejumlah 304.000 orang, dan Cilacap sejumlah 260.900 orang. Data jumlah orang miskin di Cilacap cenderung turun sebagaimana tabel di bawah ini :
Kabupaten/Kota
Batas Kemiskinan (Rp/Kap/bl)
Jumlah Pddk Miskin (000 org)
Persentase Pddk Miskin
11
Population Population
Regency/City
(Rp/Cap/Month) Below of Poverty
Line (Thousand) Below of Poverty Line
13
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah
Source : BPS-Statistics Indonesia of Jawa Tengah Province
14
beragam mulai dari permasalahan tanah, tenaga kerja (TKI maupun lokal), perkawinan, maupun permasalahan lainnya. Diantara yang menonjol adalah : Seperti sengketa tanah timbul di Laguna Segara Anakan antara warga dengan Perhutani, sengketa tanah antara warga Desa Cimrutu Kecamatan Patimuan dengan Perhutani, serta antara
warga Desa Sidaurip, Cisumur, dan Gintungreja Kecamatan
Gandrungmangu dengan Perhutani.
Di Laguna Segara Anakan, sengketa tanah timbul terjadi karena warga menganggap tanah tersebut merupakan lahan pertanian, padahal tanah tersebut berada dalam penguasaan perhutani karena timbul di kawasan hutan mangrove. Sedangkan untuk kasus sengketa tanah di Desa Cimrutu, disebabkan karena dahulu pada zaman revolusi fisik ada beberapa warga yang bermukim dalam kawasan hutan. Lambat laun kawasan tersebut semakin berkembang hingga akhirnya kawasan tersebut ditetapkan sebagai desa dan diberi nama Desa Cimrutu. Saat ini, desa tersebut dihuni tak kurang dari 900 keluarga. Permasalahan muncul karena desa tersebut berada di dalam kawasan hutan. Padahal apabila mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, disebutkan bahwa kawasan hutan tidak boleh beralih fungsi. "Sedangkan di Desa Cimrutu, kawasan hutan telah beralih fungsi menjadi permukiman. Sedangkan kasus di Desa Cisumur dan Sidaurip di Kecamatan Gandrungmangu, disebabkan karena ada kawasan hutan yang berubah menjadi lahan pertanian. Beberapa kali Perhutani berusaha menguasai kembali lahan tersebut selalu dihalangi oleh warga karena mereka merasa lebih berhak menguasai lahan itu. Alasannya karena warga telah menguasi lahan itu selama bertahun-tahun.
Nelayan di Kabupaten Cilacap seringkali mengalami permasalahan
mengenai pencemaran lingkungan serta hak – hak nelayan yang
termarjinalkan. Sedangkan permasalahan Tenaga kerja Indonesia asal Cilacap mengalami permasalahan hukum mulai dari perekrutan, penempatan sampai kembali ke tanah air, baik sebagai pelaku maupun korban.
Fakta empiris menunjukkan betapa sangat dibutuhkan peran LSM, BKBHPendidikan Tinggi Hukum maupun LBH milik Ormas Keagamaan maupun Sosial,maupun Praktisi, yang mempunyai komitmen dalam pemberian bantuan hukumkepada warga Negara yang tidak mampu. Fakta-fakta empiris tersebut misalnya,pengalaman yang dikemukakan oleh Dorma Sinaga dan Lambok Gultom,masing-masing sebagai Ketua dan Sekretaris Asosiasi Penasehat Hukum danHAM (APHI), pada saat memberikan keterangan dalam sidang gugatan judicialreview di Mahkamah Konstitusi RI atas pasal 31 UU no 18 tahun 2003, pada
15
banyak dilakukanoleh LBH atau LSM atau Kampus. Peran mereka memberikan suatu pelayananhukum kepada masyarakat, mereka melakukan penanganan perkara ataumelakukan advokasi terhadap hak-hak rakyat dengan litigasi maupun nonlitigasi.
Permasalahan hukum tersebut rata – rata menimpa masyarakat
miskin di Kabupaten Cilacap, sehingga perlu adanya bantuan dan pendampingan hukum oleh advokat maupun lembaga bantuan hukum
secara Cuma – Cuma. Lembaga bantuan hukum yang melayani
masyarakat miskin di cilacap yang terakreditasi, saat ini hanya berjumlah 3 LBH, yaitu LBH Wahana (berkantor pusat di Cilacap), LBH Perisai Kebenaran (kantor Cabang/Perwakilan) dan LKBH STAIN Purwokerto (kantor Cabang/Perwakilan), sedangkan lembaga-lembaga bantuan hukum lainnya belum terakreditasi di Kementerian Hukum dan HAM, sehingga belum dapat mengakses program bantuan hukum bagi masyarakat miskin. Untuk itu perlunya dorongan bagi Lembaga Bantuan Hukum yang belum terakreditasi, khususnya milik ormas dan perguruan tinggi untuk melakukan proses akreditasi.
--16 BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN TERKAIT
Sebagai bagian dari produk peraturan perundang-undangan, peraturan daerah haruslah mendasarkan pada landasan yuridis yang kuat. Landasan yuridis yang dimaksud disini adalah landasan hukum yang menjadi dasar kewenangan pembuatan peraturan perundang-undangan. Kajian ini akan memperlihatkan harmonisasi dan singkronisasierah suatu peraturan daerah dengan peraturan perundang-undangan lain yang mengatur hukum yang secara hirarkhis bahwa hukum yang lebih rendah bersumber dan tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih atas.
Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Peraturan Perundang-undangan diatur pada pasal 10 yat (1) yang secara hirarkhis diatur sebagai berikut:
Jenis dan peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Daerah
Kajian ini akan memberikan gambaran secara utuh/komprehensif mengenai pengaturan Bantuan Hukum yang telah diatur dalam peraturan perundang- undangan yang telah ada. Dari hasil kajian ini dapat diketahui apakah sudah cukup memadai atau belum cukup memadai pengaturan tentang Bantuan Hukum dalam peraturan perundaang-undangan yang telah ada, dan oleh karenanya menjadi perlu atau tidak kelahiran Undang-Undang tentang Bantuan Hukum. Secara metodis, kajian ini akan dilakukan dengan cara harmonisasi atau sinkronisasi ketentuan tentang Bantuan Hukum yang telah ada dan diatur dalam peraturan perundang-undangan.
17
penyelenggaraanri hak konstitusional warga Negara. Oleh karena itu, Raperda Bantuan hukum ini memiliki keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan sebagai berikut :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Memperoleh bantuan hukum merupakan hak konstitusional setiap warga Negara .Dalam Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 disebutkan bahwa setiap orang termasuk orang yang tidak mampu, mempunyai hak untuk mendapatkan akses terhadap keadilan agar hak-hak mereka atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum dapat diwujudkan. Karena sangat sulit bisa dipahami secara konstitusional, bahwa orang miskin dapat memperoleh jaminan terhadap hak pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, tetapi mereka orang yang tidak mampu dan tidak pula diberi akses terhadap keadilan, melalui lembaga- lembaga pengadilan negara (litigasi) maupun proses non litigasi. Penjaminan Negara atas hak dasar berupa jaminan adanya perlakuan Negara secara setara dan berkeadilan sangat jelas dinyatakan oleh UUD 1945 sebagaimana disebutkan dalam pasal 28D yang berbunyi.
Ayat (1)
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Ayat (2)
Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
18
Organisasi Bantuan Hukum (OBH) sejak awal mempunyai komitmen memberikan bantuan hukum kepada orang tidak mampu secara cuma-cuma, tetapi Advokat sejak awal didesain untuk menjadi orang yang berprofesi member jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan, berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum , menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien, secara professional dengan mendapatkan honorarium dari Klien, disamping memang Advokat juga mempunyai kewajiban memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu, akan tetapi pengaturan lebih lanjut mengenai bantuan hukum secara cuma-cuma yang juga harus dilakukan oleh Advokat belum ada.
Kehadiran Advokat dengan OBH nya sebagaimana ketentuan UU No18 tahun 2003, di desain sejak awal bahwa tugas bantuan hukum cuma-cuma tidak dipahami sebagai sebuah profesi dan mata pencaharian/ pekerjaan, yang di dalamnya selalu ada motif mendapatkan imbalan berupa gaji atau pendapatan, tetapi Advokat adalah pekerjaan, profesi atau mata pencaharian sehingga selalu terdapat motif imbalan atau honorarium.
Terhadap ketentuan pasal 28 D ayat (2) tersebut, memberikan hak kepada PBH dalam melakukan tugas bantuan hukum, mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja yang terbentuk antara OBH dengan Orang tidak mampu yang mendapatkan bantuan hukum. Oleh Karenanya, adalah menjadi kewajiban Negara untuk menyediakan anggaran bagi kepentingan pemberian bantuan hukum yang dilakukan oleh OBH. Sebab sangat tidak mungkin pula, akan berjalan dengan baik dan optimal aktifitas OBH dalam melakukan tugas bantuan hukum, apabila tidak mendapatkan dukungan khususnya anggaran dari Negara.. Imbalan tidak berartidi sama artikan dengan honorarium yang diterima Advokat dari Kliennya.
Pasal 28F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan
sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Pasal 28 G
Ayat (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah
19
Ayat (2)
Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan
yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak
memperoleh suaka politik dari Negara lain.
Pasal 28H
Ayat (2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Mencermati ketentuan pasal 28 H ayat (2) tersebut semakin memperkuat atas terjaminnya setiap warga negara khususnya warga negara tidak mampu untuk mendapat akses terhadap keadilan dengan cara mendapat bantuan hukum dari OBH agar haknya untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, benar-benar dapat dijamin dan terwujud. Meskipun kehadiran PBH bukanlah menjadi satu-satunya sebagai pihak yang paling mempunyai tanggung jawab dalam melakukan tugas bantuan hukum khusus bagi orang yang tidak mampu secara cuma-cuma. Ketentuan pasal 28 I ayat (1), (2), (4), dan (5) tersebut semakin meneguhkan jaminan hak-hak setiap orang khusunya yang tidak mampu dalam mendapatkan akses terhadap keadilan. Dengan demikian tidak cukup alasan bagi pihak manapun untuk menolak dan tidak setuju kehadiran UU tentang Bantuan Hukum.
2. Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Sejak disahkannya Undang-undang Hukum Acara Pidana pada tanggal 31 Desember 1981, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76. Sebelum Undang-undang ini berlaku, peraturan yang menjadi dasar bagi pelaksanaan hukum acara pidana dalam Lingkungan peradilan umum adalah HIR Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44 (Het Herziene Inlandsch Reglement” atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai Reglemen Indonesia yang diperbarui). Dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 terdapat Ketentuan antara lain:
Pasal 54:
20
Pasal 54 ini secara tegas memberikan gambaran adanya hak-hak hukum yang dimiliki oleh setiap warga Negara untuk memperoleh bantuan hukum. Pasal ini juga memberikan penegasan perlunya dibentuk UU tentang Bantuan Hukum, karena mendapatkan bantuan hukum
adalah hak (asasi) dari tersangka atau terdakwa. Penyebutan penasehat hukum (tidak dapat secara serta merta dimaksudkan sebagai advokat atau bukan advokat sebagaimana ketentuan UU No 18 tahun 2003) sebagai pihak yang memberikan bantuan hukum dalam pasal tersebut bukan berarti menegasikan kehadiran OBH dalam UU Bantuan Hukum.
Dalam ketentuan pasal tersebut menekankan pada substansi pemberian bantuan hukum sebagai manifestasi hak (asasi) tersangka atau terdakwa dan bukan pada siapa yang seharusnya menjadi satu-satunya pihak yang mempunyai kewajiban memberikan bantuan hukum. Dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana ini diatur berbagai ketentuan pidana bagi para pihak yang melakukan pelanggaran pidana terkait dengan pemberian bantuan hukum. Dengan adanya pengaturan sanksi pidana pada substansi Peraturan Daerah ini akan melahirkan kepastian hukum.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat
Undang-undang advokat hadir untuk mengatur peran advokat terkait dengan tugas pokok advokat dalam melakukan tugas menjalankan profesi penegak hukum. Salah satu kewajiban advokat adalah memberikan bantuan hukum kepada masyarakat yang tidak mampu.Memperoleh keadilan merupakan hak konstitusional warga Negara.
Pasal 22 Ayat (1)
Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.
Ayat (2)
Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
21
pengaturan lebih lanjut dari ketentuan bantuan hukum secara cuma-cuma Peraturan Pemerintahnya sampai sekarang juga tidak dibuat. Terlepas dari itu semua, visi dan misi Advokat memang sangat jauh berbeda dengan visi dan misi OBH yang pengaturannya akan diatur dalam UU khusus tentang Bantuan Hukum. Karena akses terhadap keadilan sebagaimana ketentuan pasal 28 D ayat (1) dan (2), pasal 28 H ayat (2), dan pasal 28 I ayat (1), (2), (4) dan (5), memang dijamin oleh kontitusi dan hanya sangat mungkin diwujudkan apabila dilakukan oleh orang dan pihak khusus dan pengaturan yang khusus pula. Sehingga dengan demikian tidak ada alasan apapun untuk menolak kehadiran UU tentang Bantuan Hukum hanya karena dengan argumentasi dan alasan sudah ada ketentuan pasal 22 tersebut.
Pasal 23 Ayat (1)
Advokat asing wajib memberikan jasa hukum secara cuma-cuma untuk suatu waktu tertentu kepada dunia pendidikan dan penelitian hukum.
Ayat (2)
Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara memperkerjakan advokat asing serta kewajiban memberikan jasa hukum secara cuma-cuma kepada dunia pendidikan dan penelitian hukum diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Pasal 37
Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.
Pasal 38
Dalam perkara pidana seorang tersangka sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan advokat.
Penjelasan Pasal 38
Sejalan dengan asas bahwa seseorang selama belum terbukti kesalahannya harus dianggap tidak bersalah, maka ia harus dibolehkan untuk berhubungan dengan keluarga atau advokat sejak ditangkap dan/atau ditahan. Tetapi hubungan ini tidak boleh merugikan kepentingan pemeriksaan, yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana.
22
Dalam memberi bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, advokat wajib membantu penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi hukum dan keadilan.
Dari ketentuan pasal 37 dan 39 tersebut jelas bahwa perlu dibentuk UU yang mengatur tentang bantuan hukum. Sehingga jelas landasan filosofis, yuridis, sosiologis, dan politis perlunya bantuan hukum diatur secara lebih
khusus. Sebab bantuan hukum bukan komoditas yang bisa
diperjualbelikan oleh pihak manapun. Kehadiran UU Bantuan Hukum adalah dalam konteks menegaskan secara paradigmatic bahwa Bantuan
Hukum bukan sebagai komoditas yang oleh karenanya dapat
diperjualbelikan secara professional dengan tariff-tarif jasa tertentu walaupun atas dasar kesepakatan antara pemberi bantuan hukum dengan penerima bantuan hukum. Bantuan Hukum adalah satu hak yang menjadi kewajiban pihak lainnya untuk memberikannya. Posisi Negara seharusnya menjadi sangat penting dan urgen untuk mengambil peran dan posisi dalam jaminan hak warga Negara untuk mendapatkan bantuan hukum secara memadai yang dijamin konstitusi.
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia
Pasal 34
Ayat (1)
Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat
berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror,
dan kekerasan dari pihak manapun.
Ayat (2)
Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma.
Ayat (3)
Ketentuan mengenai tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang
23
Pasal 18 Ayat (4)
Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Memperhatikan muatan isi pasal 18 ayat (4) tersebut juga mengisyaratkan tentang pentingnya setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum, sehingga semakin memperkuat alasan yuridis perlunya UU tentang Bantuan Hukum, yang mengatur mengenai batasan bantuan hukum, substansi bantuan hukum, prosedur bantuan, wewenang pemberian bantuan hukum, dan lain-lain. Karena disamping itu, mendapatkan bantuan bagi setiap orang yang mengalami masalah hukum adalah menjadi Hak Asasi yang paling dasar dalam rangka menegakkan supremasi hukum dan keadilan.
Dengan demikian Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat tersebut bukan mengatur tentang bantuan hukum tetapi mengatur tentang profesi Advokat yang walaupun tugas pokoknya adalah melakukan tugas bantuan hukum secara professional (sebagai mata pencaharian). Dengan demikian kehadiran Undang-undang Bantuan Hukum juga harus dipahami sebagai een wet artikel gedeelte , yang secara khusus diperuntukkan untuk mengatur bantuan hukum bukan untuk mengatur profesi Pekerja Bantuan Hukum. Oleh karenanya dengan putusan tersebut maka membuka peluang seseorang yang bukan Advokat melakukan tugas bantuan hukum.
Dalam pertimbangan lainnya dinyatakan, bahwa sebagai undang-undang yang mengatur profesi, seharusnya UU no 18 tahun 2003 tidak boleh dimaksudkan sebagai sarana legalisasi dan legitimasi bahwa yang boleh tampil di depan pengadilan hanya advokat karena hal demikian harus diatur
dalam hukum acara, padahal hukum acara yang berlaku saat ini tidak atau belum mewajibkan pihak-pihak yang berperkara untuk tampil dengan menggunakan pengacara/advokat. Oleh karena tidak atau belum adanya kewajiban demikian menurut hukum acara maka pihak lain diluar advokat tidak boleh dilarang untuk tampil mewakili pihak yang berperkara di depan pengadilan. Hal ini juga sesuai dengan kondisi riil masyarakat saat ini dimana jumlah advokat sangat tidak sebanding, dan tidak merata, dibandingkan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang memerlukan jasa hukum.
Dalam pertimbangan seterusnya dinyatakan, rumusan pasal 31 undang- undang a quo dapat melahirkan penafsiran yang lebih luas daripada maksud pembentuk undang-undang ( original intent ) yang dalam
pelaksanaannya dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan
24
dimaksud dapat menjadi hambatan bagi banyak anggota masyarakat yang tak mampu menggunakan jasa advokat, baik karena alasan financial maupun karena berada di wilayah tertentu yang belum ada advokat yang berpraktik di wilayah itu, sehingga akses masyarakat terhadap keadilan menjadi makin sempit bahkan tertutup. Padahal, akses pada keadilan adalah bagian tak terpisahkan dari ciri lain Negara hukum yaitu bahwa hukum harus transparan dan dapat diakses oleh semua orang (accessible to all ), sebagaimana dikaui dalam perkembangan pemikiran kontemporer tentang Negara hukum. Jika seorang warga Negara karena alasan financial tidak memiliki akses demikian maka adalah kewajiban Negara, dan sesungguhnya juga kewajiban para advokat untuk memfasilitasinya, bukan justru menutupnya.
6. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
Undang-undang tentang Bantuan Hukum merupakan landasan yuridis bagi pelaksanaan bantuan hukum bagi masyarakat miskin. Dalam Undang-undang ini secara jelas mengatur asas, runaglingkup dan tatacara penyelenggaraan bantuan hukum.
Dalam pasal 2 dijelaskan bahwa bantuan hukum dilaksanakan berasas:
a. Keadilan
b. Persamaan kedudukan di dalam hokum
c. Keterbukaan
d. Efisiensi
e. Efektifitas; dan
f. Akuntabilitas
Selanjutnya, dalam pasal 4 dijelaskan ruang lingkup pemberian bantuan hukum, yaitu :
1. Bantuan hukum diberikan kepada penerima bantuan hukum yang
menghadapi masalah hukum;
2. Bantuan hukum meliputi masalah hukum keperdataan, pidana, dan
tata usaha Negara baik litigasi maupun non litigasi;
3. Bantuan hukum meliputi menjalankan kuasa, mendampingi,
mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum penerima bantuan hokum
25
pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan.
Sementara itu, terkait dengan siapa pemberi bantuan hukum, dalam pasal 8 dijelaskan bahwa pemberi bantuan hukuam adalah pemberi bantuan hukum yang telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Berbadan hukum;
b. Terakriditasi berdasarkan Undang-undang;
c. Memiliki kantor atau secretariat yang tetap
d. Memiliki pengurus; dan
e. Memiliki program bantuan hukum.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum
Dalam pasal 3 Peraturan Pemerintah ini dijelaskan tetacara memperoleh bantuan hukum. Pemohon bantuan hukum harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Mengajukan permohonan secara tertulis yang berisi paling sedikit identitas pemohon bantuan hukum dan uraian singkat mengenai pokok persoalan yang dimohonkan bantuan hukum.
b. Menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan perkara;
c. Melampirkan surat keterangan miskin dari lurah, kepala desa, atau pejabat yang setingkat ditempat tingal pemohon bantuan hukum.
Sedangkan dalam pasal 4 dijelaskan tentang syarat pemberi bantuan hukum yaitu :
f. Berbadan hukum;
g. Terakriditasi;
h. Memiliki kantor atau secretariat yang tetap
i. Memiliki pengurus; dan
j. Memiliki program bantuan hukum.
Setelah dikeluarkannya Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menggantikan
26
rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Oleh karena peraturan daerah kedudukan hukumnya lebih rendah ketimbang Undang-undang ataupun Perda Provinsi, maka Peraturan Daerah Kabupaten / Kota tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang derajatnya lebih tinggi.
Dalam Undang-undang Dasar 1945 pada Bab IV pasal 18 ayat (7) dinyatakan bahwa tata cara penyelenggaraan Pemerintahan Daerah diatur dalam Undang-undang. Kemudian dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa Penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam system dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun yang dimaksud dengan otonomi daerah menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah pasal 1 ayat (6) adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintah Daerah dalam merealisasikan otonomi daerah menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tersebut diberi kewenangan untuk menetapkan berbagai peraturan daerah. Dalam pasal 22 ayat 1 dan 2 UU No. 23/ 2014 dinyatakan bahwa Daerah berhak menetapkan kebijakan daerah dalam melaksanakan tugas pembantuan di daerahnya. Kemudian pada BAB IX Pasal 236 ayat (2) dinyatakan bahwa Peraturan Daerah dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. Sedangkan pada pasal 237 ayat (1) disebutkan asas pembentukan dan materi Perda berpedoman pada peraturan perundang-undangan dan asas hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan mendasarkan pada ketentuan perundang-undangan,
Pemerintah Daerah memiliki kewenangan yang nyata untuk membuat berbagai peraturan daerah. Peraturan Daerah dibuat dalam rangka menjabarkan berbagai peraturan perundang-undnagan yang lebih tinggi kedudukanya yang memerlukan jabaran teknis untuk mendekatkan pada upaya mensejahterakan masyarakat baik kesejahteraan material maupun spiritual dengan mendasarkan pada kebutuhan dan kearifan lokal masyarakat.
--27 BAB IV KAJIAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A. KAJIAN FILOSOFIS
Setiap orang berhak mendapatkan peradilan yang adil dan tidak
memihak (fair and impartial court).1 Hak ini merupakan hak dasar setiap
manusia, bersifat universal, berlaku di manapun, kapan pun dan pada siapapun tanpa ada diskriminasi. Negara memiliki tugas tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar ini.
Setiap warga Negara (tanpa terkecuali) memiliki hak yang sama
untuk mendapatkan akses terhadap keadilan. Dalam konteks
perundang-undangan di Indonesia hak ini dijamin oleh konstitusi,
bahkan oleh dasar Negara. Sila kedua Pancasila “kemanusiaan yang adil
dan beradab” dan sila kelima Pancasila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” mengakui dan menghormati hak warga Negara Indonesia untuk keadilan tersebut. UUD 1945 juga menegaskan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum.2
UUD 1945 juga mengakui hak setiap orang untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.3
Tanggung jawab negara ini harus dapat diimplementasikan melalui upaya-upaya ketatanegaraan pada ranah legislasi, yudikasi dan eksekutorial.4
Kondisi yang lemah dan ketidakmampuan seseorang tidak boleh dijadikan penghalang untuk mendapatkan keadilan di hadapan hukum. Pendampingan hukum (legal representation) kepada setiap orang tanpa diskriminasi itu merupakan perwujudan dari perlindungan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum tersebut. Tanpa adanya
pendampingan hukum maka kesetaraan di hadapan hukum
sebagaimana diamanatkan konstitusi dan nilai-nilai universal hak asasi manusia tersebut tidak akan pernah terpenuhi.
Bantuan hukum adalah media bagi warga Negara yang tidak mampu untuk dapat mengakses keadilan sebagai manifestasi jaminan hak-haknya secara konstitusional. Bantuan hukum tersebut berkaitan
1
Pasal … Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia …, Pasal … Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik (diratifikasi dengan UU Nomor 11 Tahun 2005).
2
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 3
Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 4
28
dengan masalah hak warga negara secara konstitusional yang tidak mampu, masalah pemberdayaan warga negara yang tidak mampu dalam akses terhadap keadilan, dan masalah hukum faktual yang dialami warga negara yang tidak mampu menghadapi kekuatan negara secara struktural.
Disamping itu, pemberian bantuan hukum juga harus
dimaksudkan sebagai bagian integral dari kewajiban warga negara lain yang mempunyai kemampuan dan kompetensi dalam memberikan bantuan hukum bagi warga negara yang tidak mampu. Oleh karena itu dibutuhkan suatu peraturan perundang-undangan yang menjamin hak warga negara Indonesia untuk mendapatkan akses kepada keadilan dan pendampingan hukum, termasuk bantuan hukum (legal aid) bagi warga Negara yang tidak mampu.
B. KAJIAN SOSIOLOGIS
Secara sosiologis bantuan hukum adalah jenis pelayanan yang sangat dibutuhkan oleh para pencari keadilan di Indonesia. Namun demikian, kondisi “timpang” antara para pencari keadilan dan mereka yang memiliki kompetensi membantu atau melayani masyarakat untuk mendapatkan keadilan di Indonesia, membuat harapan terciptanya
keadilan hukum bagi seluruh masyarakat Indonesia masih “jauh
panggang daripada api”, jauh dari harapan, dan membutuhkan upaya berbagai pihak untuk segera mengatasinya.
Populasi penduduk miskin Indonesia yang tinggi turut
mempengaruhi akses masyarakat miskin untuk mendapat bantuan hukum dari para pengacara atau pekerja bantuan hukum. Untuk mengurangi ketimpangan pemberian pendampingan hukum itu maka lembaga-lembaga bantuan hukum yang ada seperti LBH dan BKBH/ LKBH kampus bekerja sama dengan paralegal memainkan peranan yang penting dan tak tergantikan.
Indonesia tidak mempunyai pengalaman spesifik di bidang pendidikan layanan hukum maupun perhatian terhadap pemberian bantuan hukum. Pengalaman dalam upaya penegakan hukum dan keadilan sepanjang sejarah Republik Indonesia, juga belum bisa dijadikan patokan dasar untuk membuat formula dan model bantuan hukum yang baik, yang dapat menjamin hak-hak konstitusional warga negara khususnya yang tidak mampu dalam akses terhadap keadilan.
Secara historis-sosiologis, keberadaan dan peran LBH, BKBH/
LKBH, LSM, atau bahkan LSM yang concern memberikan pendampingan
29
merta menggeser peran penting lembaga-lembaga bantuan hukum, meskipun eksistensi advokat telah dijamin oleh konstitusi negara.
Peran strategis dan pentingnya LSM, BKBH, atau LSM bantuan
Hukum Nampak sekali ketika Dorma Sinaga dan Lambok Gultom5
memberikan keterangan pada saat melakukan judicial review di
Mahkamah Konstitusi RI atas pasal 31 UU no 18 tahun 2003. Dalam keterangannya disebutkan:
“pelanggaraan terhadap hak-hak rakyat masih berjalan
dimana-mana, pembelaan terhadap hak-hak rakyat banyak dilakukan oleh LBH atau LSM atau Kampus. Peran mereka memberikan suatu
pelayanan hukum kepada masyarakat, mereka melakukan
penanganan perkara atau melakukan advokasi terhadap hak-hak rakyat dengan litigasi maupun non litigasi.”
Dalam kesempatan yang lain Eva Laela dan Dedi Gozali, dari BBH FH-UNPAD juga memberikan statement:
“pengalaman BBH FH UNPAD melakukan bantuan hukum kepada
masyarakat tidak mampu tetapi selalu mendapat ancaman dilaporkan karena dianggap illegal.”
Retno Muryati dari LKBH FH-UI juga menjelaskan bahwa aktifitas
memberi bantuan hukum kepada masyarakat adalah wujud
implementasi tri darma perguruan tinggi, disamping untuk mendidik calon lulusan dibidang ketrampilan dan kemahiran hukum. Dengan maksud yang sama, Sugeng Sudartono dari LKBH FH-Trisakti juga pernah menyebutkan bahwa peran LKBH adalah dalam rangka mendekatkan kampus dengan masyarakat disamping juga memberikan pembekalan dan pendidikan ketrampilan dan kemahiran pada calon lulusan fakultas Hukum.
Bahkan, Mahkamah Konstitusi dalam salah satu pertimbangannya pernah mengutip pendapat McClymont dan Golub yang menyatakan:
“… university legal aid clinics are now part of the educational and legal landscape in most regions of the world. They have already made contributions to sosial justice and public service in the developing world, and there are compelling benefits that recommend their consideration in strategies for legal education and public interest law”.
Penerima layanan bantuan hukum umumnya adalah masyarakat miskin dan buta hukum atau mengalami kesulitan ketika akan berperkara di Pengadilan. Oleh karenanya tugas Lembaga Bantuan Hukum adalah menjaga agar kemiskinan dan ketidak mampuan mereka ini tidak di eksploitasi oleh pihak-pihak tertentu yang lebih mementingkan keuntungan pribadi dari pada mencari rasa keadilan.
5
30
Untuk itu, pemberi bantuan hukum haruslah memiliki integritas dan profesionalisme, yang paling tidak diwujud-formalkan dalam bentuk akreditasi dan sertifikasi.
Beberapa potret sosiologis di atas, terjadi hampir diseluruh wilayah Indonesia, termasuk di Kabupaten Cilacap. Simpul-simpul kemiskinan yang relatif banyak ditemukan dan keberadaan Lembaga Bantuan Hukum yang minim di daerah ini, meniscayakan Kabupaten Cilacap memperkuat legalitas fungsi dan peran Lembaga Bantuan Hukum
melalui peraturan perundang-undangan yang memungkinkan.
Keniscayaan ini bahkan bisa menjadi sebuah kewajiban mengingat amanat konstitusi menegaskan bahwa keadilan adalah hak bagi seluruh bangsa Indonesia, bukan dimonopoli atau bahkan bisa di beli oleh mereka yang kuat dan memiliki ketangguhan financial.
C. KAJIAN YURIDIS
Kajian ini akan memberikan gambaran secara utuh/komprehensif mengenai pengaturan pemberian bantuan hukum, khususnya bagi
rakyat miskin, sebagaimana diatur dalam beberapa peraturan
perundang-undangan. Dengan ini dapat diketahui “posisi tawar” dan
sekaligus “Posisi strategis” Perda Bantuan Hukum bagi Rakyat Miskin di Kabupaten Cilacap dalam upaya menciptakan keadilan hukum bagi seluruh warga Cilacap.
Kajian Yuridis ini akan mencoba melakukan harmonisasi atau sinkronisasi beberapa peraturan perundang-undangan yang memiliki relevansi dengan pemberian Bantuan Hukum bagi Rakyat Miskin. Sehingga, keberadaan Lembaga Bantuan Hukum atau yang sejenisnya bisa terangkat dan dipertegas legal konstitusionalnya serta semakin
mantap dalam memberikan layanan bantuan hukum kepada
masyarakat.
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Pasal 28D
Ayat (1)
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Ayat (2)
Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.)
31
Dalam ketentuan pasal 28 D ayat (1) tersebut menjamin bahwa setiap orang termasuk orang yang tidak mampu, mempunyai hak untuk mendapatkan akses terhadap keadilan agar hak-hak mereka atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum dapat diwujudkan. Karena sangat sulit bisa dipahami secara konstitusional, bahwa orang miskin dapat memperoleh jaminan terhadap hak pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, tetapi mereka orang yang tidak mampu dan tidak pula diberi akses terhadap keadilan, melalui lembagalembaga pengadilan Negara (litigasi) maupun proses non litigasi.
Dalam konteks demikian sangat diperlukan kehadiran Pekerja Bantuan Hukum, yang memang sejak awal di desain untuk melakukan pekerjaan hukum untuk orang yang tidak mampu. Agar dengan demikian orang yang tidak mampu dapat dijamin hak-haknya melalui akses terhadap keadilan dengan mendapatkan bantuan hukum dari Pekerja Bantuan Hukum (PBH) secara cuma-cuma. Kehadiran PBH adalah implementasi kewajaiban Negara untuk membantu Negara dalam tugas pemberian bantuan hukum bagi orang yang tidak mampu. Oleh karena fungsi dan tugas yang dilakukan oleh PBH adalah membantu Negara, bagi terciptanya kesejahteraan kehidupan masyarakatnya khususnya dalam jaminan hak-hak pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, maka sudah seyognyanya apabila visi dan misi yang diusung oleh PBH dalam melakukan tugas bantuan hukum cuma-cuma kepada orang tidak mampu, harusnya berbeda dengan pemberian bantuan hukum sebagaimana yang dilakukan oleh pihak lain, yakni Advokat sebagaimana ketentuan dalam Undang-undang nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat. PBH sejak awal mempunyai komitmen memberikan bantuan hukum kepada orang tidak mampu secara cuma-cuma, tetapi Advokat sejak awal didesain untuk menjadi orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan, berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum,
menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan
32
selalu ada motif mendapatkan imbalan berupa gaji atau pendapatan, tetapi Advokat adalah pekerjaan, profesi atau mata pencaharian sehingga selalu terdapat motif imbalan atau honorarium.
Terhadap ketentuan pasal 28 D ayat (2) tersebut, memberikan hak kepada PBH dalam melakukan tugas bantuan hukum, mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja yang terbentuk antara PBH dengan Orang tidak mampu yang mendapatkan bantuan hukum. Oleh karenanya adalah menjadi kewajiban Negara untuk menyediakan anggaran bagi kepentingan pemberian bantuan hukum yang dilakukan oleh PBH. Sebab sangat tidak mungkin pula, akan berjalan dengan baik dan optimal aktifitas PBH dalam melakukan tugas bantuan hukum, apabila tidak mendapatkan dukungan khususnya anggaran dari Negara. Walaupun dengan demikian pula maksud dari penyediaan anggaran oleh Negara tersebut tetap dalam konteks dan koridor semangat pemberian bantuan hukum oleh PBH kepada orang miskin secara cuma-cuma (prodeo). Sehingga dengan demikian, maksud dari berhak untuk mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, bagi PBH harus diartikan sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam konteks perlakuan adil dan layak karena telah melakukan pekerjaan bantuan hukum sebagai PBH. Imbalan tidak berarti disama artikan dengan honorarium yang diterima Advokat dari Kliennya. Tetapi imbalan dimaksud adalah anggaran dana yang dipergunakan oleh PBH dalam melakukan tugas bantuan hukum.
Pasal 28F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Analisis :
33
Pasal 28 G
Ayat (1)
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Ayat (2)
Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari Negara lain.
Analisis :
Ketentuan pasal tersebut semakin menegaskan kepada kita bahwa setiap warga Negara khususnya yang tidak mampu, dan mengalami masalah hukum, berhak untuk mendapat bantuan hukum secara cuma-cuma, sekaligus sebagai implementasi dari hak bebas untuk mendapat perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Dan tidak dapat dibenarkan dari sisi manapun dan pihak manapun melakukan intimidasi dan sebagainya terhadap hak-hak tersebut, sehingga dengan demikian sangat diperlukan pengaturan secara khusus tentang akses terhadap keadilan melalui pemberian bantuan hukum.
Pasal 28H
Ayat (2)
Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Analisis :
34
dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, benar-benar dapat dijamin dan terwujud.
Meskipun kehadiran PBH bukanlah menjadi satu-satunya sebagai pihak yang paling mempunyai tanggung jawab dalam melakukan tugas bantuan hukum khusus bagi orang yang tidak mampu secara cuma-cuma. Tetapi mengingat visi dan misi yang diusung oleh PBH sejak awal adalah dalam track “pengabdian” dan kerja volunteer, maka sangat bisa dipertanggungjawabkan apabila kemudian kehadiran PBH perlu untuk diatur dalam peraturan yang khusus pula yakni UU tentang Bantuan Hukum, tanpa harus ditafsir bahwa kehadirannya sudah cukup terwakili dengan hadirnya Advokat dalam UU no 18 tahun 2003.
Pasal 28I
Ayat (1)
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Ayat (2)
Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Ayat (4)
Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Ayat (5)
Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan
Analisis :
35
pemberian Bantuan Hukum dari PBH, yang sekaligus dasar utama konstitusional bagi perlunya kehadiran PBH untuk mendapatkan pengaturan secara khusus dalam bentuk Undang-undang tentang Bantuan Hukum, mengingat kedudukan, tugas dan fungsinya yang sangat strategis, yakni melaksanakan amanat konstitusi. Dengan demikian tidak cukup alasan bagi pihak manapun untuk menolak dan tidak setuju kehadiran UU tentang Bantuan Hukum.
2. Undang-undang Nomor 8 tahun 1981
Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana disahkan sejak tanggal 31 Desember 1981, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76. Sebelum Undang-undang ini berlaku, peraturan yang menjadi dasar bagi pelaksanaan hukum acara pidana dalam Lingkungan peradilan umum adalah HIR
Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44 (Het Herziene Inlandsch Reglement”
atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai Reglemen Indonesia yang diperbarui). Dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 terdapat Ketentuan antara lain:
Pasal 54
Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam UU ini.
Analisis :
Ketentuan pasal 54 tersebut, juga memberikan dasar yuridis perlunya dibentuk UU tentang Bantuan Hukum, karena mendapatkan bantuan hukum adalah hak (asasi) dari tersangka atau terdakwa. Penyebutan penasehat hukum (tidak dapat secara serta merta dimaksudkan sebagai advokat atau bukan advokat sebagaimana ketentuan UU no 18 tahun 2003) sebagai pihak yang memberikan bantuan hukum dalam pasal tersebut bukan berarti menegasikan kehadiran PBH dalam UU Bantuan Hukum yang akan dibuat. Dalam ketentuan pasal tersebut menekankan pada substansi pemberian bantuan hukum sebagai manifestasi hak (asasi) tersangka atau terdakwa dan bukan pada siapa yang seharusnya menjadi satu-satunya pihak yang mempunyai kewajiban memberikan bantuan hukum.
3. Kitab Undang-undang Hukum Perdata
36
Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang diberikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama yang memberi kuasa
Pasal 1793
Kuasa dapat diberikan dan diterima dengan suatu akta umum dengan suatu surat dibawah tangan, bahkan dengan sepucuk surat ataupun dengan lisan. Penerimaan surat kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dari disampaikan dari pelaksanaan kuasa itu oleh yang diberi kuasa itu.
Pasal 1794
Pemberian kuasa terjadi dengan cuma-cuma, kecuali jika diperjanjikan sebakliknya. Jika dalam hal yang terakhir upahnya tidak ditentukan dengan tegas, maka penerima kuasa tidak boleh meminta upah yang lebih daripada yang ditentukan dalam pasal 411 untuk wali.
Analisis:
Ketentuan pasal-pasal tersebut menegaskan bahwa yang menerima kuasa tidak harus seorang advokat atau bukan. Bahkan kuasa diberikan secara cuma-cuma, hal ini yang menjadi dasar yuridis bahwa bantuan hukum secara cuma-cuma bagi warga Negara yang tidak mampu menjadi sangat penting untuk diatur dalam sebuah Undang-undang khusus tentang bantuan hukum.
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003
Tentang Advokat
Pasal 22
Ayat (1)
Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.
Ayat (2)
Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Analisis :
37
kewajiban tersebut tidak jelas dan tidak fokus khusus karena tugas pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma hanya menjadi salah satu tugas “tambahan dan sampingan” dari Advokat. Sebab disamping tidak ada pengaturan sanksinya secara tegas (melalaikan kewajiban memberikan bantuan hukum cuma-cuma, hanya dipandang sebagai masalah etis), juga pengaturan lebih lanjut dari ketentuan bantuan
hukum secara cuma-cuma Peraturan Pemerintahnya sampai
sekarang juga tidak dibuat. Terlepas dari itu semua, visi dan misi Advokat memang sangat jauh berbeda dengan visi dan misi PBH yang pengaturannya akan diatur dalam UU khusus tentang Bantuan Hukum. Karena akses terhadap keadilan sebagaimana ketentuan pasal 28 D ayat (1) dan (2), pasal 28 H ayat (2), dan pasal 28 I ayat (1), (2), (4) dan (5), memang dijamin oleh kontitusi dan hanya sangat mungkin diwujudkan apabila dilakukan oleh orang dan pihak khusus dan pengaturan yang khusus pula. Sehingga dengan demikian tidak ada alasan apapun untuk menolak kehadiran UU tentang Bantuan Hukum hanya karena dengan argumentasi dan alasan sudah ada ketentuan pasal 22 tersebut.
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman
Pasal 37
Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.
Pasal 38
Dalam perkara pidana seorang tersangka sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan advokat.
Penjelasan Pasal 38
Sejalan dengan asas bahwa seseorang selama belum terbukti kesalahannya harus dianggap tidak bersalah, maka ia harus dibolehkan untuk berhubungan dengan keluarga atau advokat sejak ditangkap dan/atau ditahan. Tetapi hubungan ini tidak boleh merugikan kepentingan pemeriksaan, yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana.
Pasal 39
Dalam memberi bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, advokat wajib membantu penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi hukum dan keadilan.
Pasal 40