• Tidak ada hasil yang ditemukan

MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA PERSPEKTIF

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA PERSPEKTIF"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA

PERSPEKTIF GENDER DALAM ORGANISASI

Oleh: Kelompok IV (Angkatan E63) 1. Ayu Septi Indriani 2. Dwi Widodo P 3. Glynae Widyawati 4. Ilham Arie Hermanda 5. Kasaya Annisa Rahmaniah

6. Muhammad Fachril Husain Jeddawi 7. Novie Nostalgia Adiwinata

8. Sujianto

Dosen :

Prof. Dr. Ir. Aida Vitayala Hubeis

PROGRAM PASCASARJANA MANAJEMEN DAN BISNIS INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya kami telah mampu menyelesaikan tugas makalah mengenai studi kasus “Perspektif Gender Dalam Organisasi”. Tugas makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Sumber Daya Manusia.

Kami menyadari bahwa selama penulisan banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Aida Vitayala Hubeis selaku dosen mata kuliah Manajemen Sumber Daya Manusia.

2. Pihak lain yang turut membantu dalam proses penyusunan makalah ini, baik secara langsung maupun tidak.

Makalah ini bukanlah karya yang sempurna karena masih banyak kekurangan, baik dalam hal isi maupun sistematika dan teknik penulisannya. Oleh sebab itu, kami sangat mengharapkan kritik dan sarannya yang bersifat membangun dalam penyempurnaan karya tulis ini. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat, khususnya bagi penulis umumnya bagi pembaca.

Bogor, November 2016

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

PENDAHULUAN...2

1.1 Latar Belakang...2

1.2 Rumusan Masalah...4

1.3 Tujuan...4

PEMBAHASAN...5

2.1 Kebijakan Ekspor Jagung...5

2.2 Kebijakan Impor Jagung...7

2.1.1 Kuota Impor...8

2.1.2 Tarif Impor...9

2.3 Kebijakan Benih Jagung...11

2.4 Kebijakan Subsidi Pupuk...13

2.5 Kebijakan Perluasan Lahan Jagung...19

2.6 Kebijakan Fiskal...24

KESIMPULAN DAN SARAN...29

3.1 Kesimpulan...29

3.2 Saran...29

DAFTAR PUSTAKA...31

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah .

1.3 Tujuan

(5)

PEMBAHASAN

2.1Kebijakan Ekspor Jagung

Kebutuhan jagung dari tahun ke tahun semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk. Di lain pihak negara pengekspor jagung terbesar di dunia seperti Amerika Serikat sudah mengurangi ekspor jagungnya karena digunakan untuk bahan baku ethanol. Demikian pula halnya dengan China yang dulu merupakan negara pengekspor jagung, sekarang sudah menghentikan ekspornya guna memenuhi kebutuhan bahan baku industrinya sehingga mendorong harga jagung semakin tinggi (Departemen Pertanian, 2008). Selain itu negara China menghadapi permasalahan penurunan luas areal penanaman jagung dengan maraknya pembangunan di berbagai tempat.

Kondisi ini akan menjadikan hal yang mengkhawatirkan jika Indonesia masih tergantung pada impor jagung. Namun di sisi lain justru menjadikan kesempatan untuk memenuhi pasar jagung dunia yang semakin kompetitif, paling tidak mampu memenuhi kebutuhan jagung dalam negeri. Sebagai salah satu Negara pengekspor jagung, Indonesia tidak hanya memanfaatkan jagung sebagai bahan pangan, tetapi juga digunakan sebagai pakan ternak. Proporsi penggunaan jagung oleh industri pakan ternak telah mencapai lebih dari 50 persen dari total kebutuhan nasional. Dalam 20 tahun ke depan, penggunaan jagung untuk pakan diperkirakan terus meningkat dan bahkan setelah tahun 2020 lebih dari 60 persen dari kebutuhan nasional (Ditjen Tanaman Pangan, 2006)

Tabel 1. Produksi Jagung Tahun 2010 – 2013 (Ton)

Tahun

Produksi Jagung (Ton)

2010 18.327.636

2011 17.643.250

2012 19.387.022

2013 18.511.853

Sumber : Kementrian Pertanian, 2016

Tabel 2. Ekspor Jagung Tahun 2010 – 2013 (Ton)

(6)

2010 41.954

2011 12.472

2012 39.817

2013 11.438

Sumber : Basis Data Ekspor Impor Kementrian Pertanian, 2016

Dari data diatas, diketahui bahwa terjadi fluktuasi produksi jagung nasional dari tahun 2010 sampai 2013. selama periode tersebut volume ekspor jagung tidak lebih dari 100 ribu ton. Fluktuasi ekspor terjadi karena rendahnya nilai tukar rupiah, sehingga harga komoditas pertanian di pasar internasional menjadi tinggi karena perubahan nilai tukar rupiah terhadap dollar, sehingga lebih menguntungkan untuk mengekspor dalam jumlah banyak. Selama periode 2010-2013 rata – rata volume ekspor adalah 23,96 ribu ton.

Oleh sebab itu pemerintah selalu berusaha mendorong ekspor melalui kebijakan ekspor dengan cara berikut :

a) Diversifikasi Ekspor/Menambah Keragaman Barang Ekspor

Diversifikasi ekspor merupakan penganekaragaman barang ekspor dengan memperbanyak macam dan jenis barang yang diekspor. Misalnya Indonesia awalnya hanya mengekspor tektil dan karet, kemudian menambah komoditas ekspor seperti kayu lapis, gas LNG, rumput laut dan sebagainya. Diversifikasi ekspor dengan menambah macam barang yang diekspor ini dinamakan diversifikasi horizontal. Sedangkan divesisifikasi ekspor dengan menambah variasi barang yang diekspor seperti karet diolah dahulu menjadi berbagai macam ban mobil dan motor atau kapas diolah dulu menjadi kain lalu diproses menjadi pakaian. Diversifikasi yang demikian ini disebut diversifikasi vertikal.

b) Subsidi Ekspor

Subsidi ekspor diberikan dengan cara memberikan subsidi/bantuan kepada eksportir dalam bentuk keringanan pajak, tarif angkutan yang murah, kemudahan dalam mengurus ekspor, dan kemudahan dalam memperoleh kredit dengan bunga yang rendah.

c) Meningkatkan Promosi Dagang ke Luar Negeri

(7)

dapat berusaha dengan melakukan promosi dagang ke luar negeri, misalnya dengan dengan mengadakan pameran dagang di luar negeri agar produk dalam negeri lebih dapat dikenal.

d) Menjaga Kestabilan Nilai Kurs Rupiah terhadap Mata Uang Asing Kestabilan nilai kurs rupiah terhadap mata uang asing sangat dibutuhkan oleh para importir dan pengusaha yang menggunakan peroduk luar negeri untuk kelangsungan usaha dan kepastian usahanya. Bila nilai kurs mata uang asing terlalu tinggi membuat para pengusaha yang bahan baku produksinya dari luar negeri akan mengalami kesulitan karena harus menyediakan dana yang lebih besar untuk membiayai pembelian barang dari luar negeri. Akibatnya harga barang yang diproduksi oleh pengusaha tersebut menjadi mahal. Hal ini dapat menurunkan omzet penjualan dan menurunkan laba usaha, yang akhirnya akan mengganggu kelangsungan hidup usahanya.

e) Mengadakan Perjanjian Kerja Sama Ekonomi Internasional

Melakukan perjanjian kerja sama ekonomi baik bilateral, regional maupun multilateral akan dapat membuka dan memperluas pasar bagi produk dalam negeri di luar negeri. serta dapat menghasilkan kontrak pembelian produk dalam negeri oleh negara lain. Misalnya perjanjian kontrak pembelin LNG (Liquid Natural Gas) Indonesia yang dilakukan oleh Jepang dan Korea Selatan.

2.2 Kebijakan Impor Jagung

(8)

2.1.1 Kuota Impor

Kebijakan kuota impor diartikan sebagai suatu hambatan non tarif yang digunakan untuk membatasi jumlah komoditas pangan tertentu yang boleh diimpor selama jangka waktu tertentu. Dengan demikian, secara umum kebijakan impor kuota ditujukan untuk membatasi jumlah komoditas pangan tertentu yang diimpor dari luar negeri dan sekaligus sebagai salah satu alat untuk mengendalikan harga komoditas tertentu di pasar dalam negeri. Pembatasan ini biasanya diberlakukan dengan memberikan lisensi impor yang sah kepada perusahaan tertentu dan terbatas serta melarang impor tanpa lisensi.

Kebijakan kuota impor ini bisa membuat rent seeker muncul. Karena kebijakan kuota impor ini juga disertai dengan pembatasan pada perusahaan mana yang bisa mengimpor, maka jumlah kuota yang diimpor biasanya dapat mendatangkan keuntungan yang cukup besar. Dalam situasi ini maka peluang untuk menjadi rent seeker terjadi. Ada kemungkinan perhitungan kuota impor lebih rendah dari yang seharusnya sehingga harga komoditas pangan menjadi lebih tinggi. Selisih harga beli di luar negeri dengan harga jual dalam negeri menjadi semakin melebar, dan selisih ini yang bisa digunakan oknum untuk meminta bagian dari keuntungan perusahaan pengimpor.

(9)

2.1.2 Tarif Impor

Kebijakan lain untuk komoditas jagung adalah pengenaan tarif impor dengan tujuan untuk melindungi petani jagung dalam negeri. Selama tahun 1974 – 1979, besarnya tarif impor adalah 5 % kemudian meningkat menjadi 10 % selama tahun 1980 – 1993. Tarif impor kembali diturunkan menjadi 5 % pada tahun 1994 dan sejak tahun 1995 tarif impor ditiadakan (Rachman Benny. Perdagangan internasional komoditas jagung, 2003).

Tarif impor sekarang merupakan suatu kebijakan perdagangan yang paling umum digunakan dalam perdagangan internasional. Kebijakan tarif impor ini merupakan konsekuensi dari kesepakatan WTO. Pada prinsipnya tarif impor adalah sejenis pajak yang dikenakan atas barang-barang yang diimpor. Kebijakan tarif impor ini lebih mudah dilaksanakan sebagai alternatif kebijakan impor pangan karena berbagi alasan.

Pertama, harga komoditas pangan di luar negeri dan dalam negeri dapat diketahui dengan pasti pada setiap waktu. Dengan kemudahan tersebut, pemerintah tinggal menentukan berapa besar tarif yang ingin diterapkan. Kedua, kebijakan tarif akan menguntungkan pemerintah karena ada penerimaan yang pasti dari tarif. Penerimaan dari tarif dapat menjadi sumber tambahan pendanaan pemerintah untuk berbagai keperluan, seperti untuk insentif peningkatan produksi pangan dalam negeri.

(10)

Tabel 3. Data Impor Jagung Indonesia Tahun 2012 – 2014 (Kg) Sumber : Basis Data Ekspor Impor Kementrian Pertanian, 2016

Berdasarkan pada Tabel 3 maka dapat dilihat bahwa hasil impor pada tahun 2012 adalah pada quartal 3, namun pada tahun 2013 dan 2014 impor paling tinggi pada qurtal 4. Peningkatan ekspor jagung dari tahun 2012 ke tahun 2013 sangat signifikan, kenaikna impor tersebut mencapai peningkatan sebesar 58% dari tahun sebelumnya.

Tabel 4. Konsumsi per Kapita dalam Rumah Tangga Tahun 2012 – 2014 (Kg)

Jenis Jagung 2012 2013 2014

Jagung basah dengan

kulit 0.574 0.574 0.678

Jagung pipilan/beras

jagung 1,512 1,304 1,199

Total 1,513 1,305 1,200

Sumber : Basis Data Ekspor Impor Kementrian Pertanian, 2016

Dari data diatas menunjukkan bahwa peningkatan impor jagung ini tidak di pengaruhi oleh konsumsi masyarakat akan tetapi hal lain seperti pakan ternak harga jagung impor di Indonesia.

Kebijakan kuota impor dan tarif impor belum terlalu memberikan efek untuk menekan impor khususunya untuk produk jagung. Hal itu dapat kita lihat dari tabel diatas yang memperlihatkan bahwa impor jagung Indonesia meningkat 42 % dari tahun 2012 ke tahun 2013 sedangkan konsumsi jagung nasional sendiri mengalami penurunan sebesar -16 %. Kemudian di tahun

Quartal 2012 2013 2014

Q1 456,870,689 761,995,826 567,204,819

Q2 451,911,322 571,943,165 937,936,985

Q3 531,877,683 660,923,336 812,454,613

Q4 480,241,284 1,300,049,240 1,056,905,365

(11)

2014 sendiri mengalami kenaikan jumlah impor sebesar 2 % dan konsumsi mengalami penurunan sebesar – 9 %.

2.3 Kebijakan Benih Jagung

Produktivitas tanaman jagung sangat dipengaruhi oleh mutu benih yang ditanam. Salah satu penyebab rendahnya produktivitas jagung di sebagian wilayah Indonesia adalah penggunaan benih bermutu rendah. Upaya peningkatan produktivitas jagung memerlukan dukungan varietas unggul dan benih bermutu, yang mencakup aspek genetik, fisiologis, dan fisik. Penggunaan benih varietas hibrida menjadi persyaratan dalam upaya peningkatan produksi per satuan luas (Arief, 2010). Luas panen jagung nasional rata-rata 4 juta hektar tiap tahun dengan rata-rata hasil 4,4 t/ha. Produksi jagung tersebut berasal dari varietas hibrida dan bersari bebas (komposit). Kebutuhan benih jagung memerlukan benih sebanyak 82 ribu ton benih (Sutoro, 2012). Produksi benih varietas unggul jagung hibrida dan komposit lebih dari 49 ribu ton. Sehingga masih terdapat kekurangan akan kebutuhan benih sebesar 33 ribu ton benih. Jika rata-rata produksi benih per hektar sebesar 8 ton, maka masih diperlukan sekitar 4.130 ha kebun penangkaran benih untuk memenuhi kebutuhan benih bermutu. Produksi benih jagung hibrida terkonsentrasi di Jawa sehingga kalau benih di luar Jawa diperlukan biaya pengangkutan yang akan mempengaruhi harga benih. Oleh karena itu, agar distribusi benih merata di seluruh wilayah maka produksi benih di luar Jawa perlu dilakukan lebih intensif.

Tabel 5. Ketersediaan Varietas Jagung Hibrida dan Komposit Jenis dan

Bima-2 100 10,0-11,0 Beradaptasi baik pada lahan subur dan suboptimal Bima-3

Bima-5 103 11,4 Daun tetap hijau

Bima-6 104 10,6 Daun tetap hijau

(12)

Sukmaraga 105 8,5 Toleran masam

Anoman-1 103 7,0 Toleran kekeringan

Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan

Kelebihan dan keuntungan varietas unggul komposit bagi petani lemah modal dibandingkan dengan varietas hibrida antara lain adalah:

1. Harga benih lebih murah, (benih jagung bersari bebas sekitar Rp 6.000, sedangkan benih hibrida Rp 45.000-60.000/kg)

2. Lebih toleran terhadap perubahan kondisi lingkungan seperti cekaman kekeringan

3. Kebutuhan pupuk sedikit 4. Produksi lebih stabil

5. Relatif lebih tahan terhadap hama dan penyakit.

Kekurangannya adalah daya hasil lebih rendah dan penampilan tanaman kurang seragam. Mutu olah sebagai bahan pangan pokok yang baik sering hanya dapat dipenuhi oleh varietas lokal, demikian juga daya simpan biji dan daya simpan benihnya. Harga yang relatif tinggi memerlukan dukungan pemerintah dalam hal pemberian subsidi harga benih. Penyaluran subsidi benih yang ideal adalah bagaimana benih dapat sampai ke tangan petani secara tepat waktu, jumlah dan sesuai dengan jenis kebutuhannya (Mayrowani, 2008).

Beberapa persyaratan teknis benih jagung yang secara ideal dikembangkan: 1. Daya tumbuh perkecambahan jagung tinggi

2. Produktifitas tinggi

3. Adaptif terhadap perubahan iklim dan mampu hidup di lahan suboptimal (kekeringan, masam dan tingkat kesuburan rendah)

4. Waktu umur panen pendek

5. Tahan terhadap serangan penyakit tanaman

(13)

penelitian penghasil varietas unggul. Dalam penyediaan benih jagung, peranan Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS) sebagai penghasil benih pokok sangat menentukan penyebaran benih sebar di tingkat penangkar (Suparman, 2013). Benih Dasar (BD) dari UPBS disalurkan ke petani atau kelompok tani penangkar di daerah atau sentra pengembangan jagung. Pola penangkaran dapat mengakomodir sister penangkaran benih berbasis komunal. Penangkaran benih berbasis komunal adalah penangkaran benih di tingkat pedesaan yang dilaksanakan dengan tujuan utama untuk memenuhi kebutuhan benih di lingkungan komunitasnya (Saenong dan Pabage, 2007).

Beberapa kelemahan penerapan kebijakan perbenihan jagung di masyarakat: 1) Terbatasnya jumlah jumlah petani penangkar

2) Minimnya keahlian petani untuk menangkarkan benih bermutu

3) Ketersediaan benih jagung dari varietas unggul masih sulit didapatkan. Beberapa daerah yang tidak memiliki akses infrastruktur yang baik mengalami kesulitan dalam memperoleh ketersediaan bibit.

4) Harga benih jagung hibrida relatif mahal dibandingkan dengan benih jagung komposit

5) Perijinan, kemudahan, pengawasan penangkaran benih untuk menjamin mutu belum spenuhnya menjadi kesadaran pemerintah dan masyarakat.

2.4 Kebijakan Subsidi Pupuk

Keberadaan industri pupuk di dalam negeri memiliki peranan strategis dalam menunjang program pembangunan perekonomian Indonesia. Secara nasional keberadaan industri pupuk mampu memberikan andil yang cukup besar tidak saja bagi perkembangan sektor pertanian khususnya tanaman pangan, namun juga memberikan dampak bagi perkembangan di sektor perkebunan, industri kimia dan bidang jasa lain. Kebutuhan pupuk dalam negeri mengalami peningkatan sekitar 4,6% per tahun, seiring dengan masifnya program intensifikasi dan peningkatan produktivitas komoditas pangan yang dicanangkan pemerintah (Rachman, 2004).

(14)

0,44% dari total produksi pupuk sebesar 106.293.961 ton. Dari segi konsumsi pupuk, sektor pertanian merupakan pengguna pupuk urea dengan porsi terbesar yaitu 91,34% dibandingkan sektor industri yaitu sebesar 8,66%. Kebutuhan pupuk urea yang tergolong besar, selain menjadi faktor yang sangat dibutuhkan oleh petani, pupuk urea juga menjadi bahan baku dalam beberapa industri. Pupuk urea dalam industri dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam industri perekat kayu lapis, industri farmasi, kosmetika, dan industri plastik (PT PUSRI, 2005).

Permintaan pupuk yang terus meningkat menuntut peningkatan volume produksi pupuk dan penyesuaian kebijakan perdagangan pupuk dalam upaya menjaga kontinuitas pasokan pupuk dalam negeri. Kasus kelangkaan pupuk terutama jenis urea merupakan fenomena yang terjadi secara berulang-ulang hampir setiap tahun. Fenomena ini ditandai oleh melonjaknya harga pupuk di tingkat petani jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Padahal produksi pupuk urea dari 5 pabrik pupuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) selalu di atas kebutuhan domestik. Sehingga tanpa mengurangi pasokan untuk pasar bersubsidi domestik, masih ada kelebihan pasokan pupuk sekitar 1,3 juta ton baik untuk memenuhi pasar pupuk non subsidi domestik yang diperkirakan relatif kecil maupun untuk pasar ekspor. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih sering terjadi fenomena pasokanlangka dan lonjakan harga di atas HET.

Kedudukan pupuk yang amat penting dalam produksi pertanian mendorong campur tangan pemerintah untuk mengatur tataniaga pupuk. Kebijakan pemerintah terkait masalah ini adalah melalui subsidi. Subsidi pupuk yang diberlakukan sejak tahun 1971 bertujuan menekan biaya yang akan ditanggung petani dalam pengadaan pupuk. Sehingga petani tidak kesulitan untuk memperoleh pupuk karena masalah biaya. Dikaitkan dengan fenomena yang terjadi saat ini dimana terjadinya kelangkaan pasokan dan lonjakan harga, maka dapat dikatakan bahwa program kebijakan pupuk yang amat komprehensif dibangun pemerintah tidak berjalan sebagaimana mestinya.

(15)

sebelumnya. Subsidi tersebut dalam bentuk bahan baku utama pabrik urea yaitu gas bumi. Ongkos gas bumi merupakan komponen utama biaya pokok produksi urea yang menurut sejumlah penelitian, porsinya mencapai 30-50% dari total biaya produksi (Khudori: 2008).

Beban subsidi pupuk timbul sebagai konsekuensi dari adanya kebijakan pemerintah dalam rangka penyediaan pupuk bagi petani dengan harga jual pupuk yang lebih rendah dari harga pasar. Tujuan utama subsidi pupuk adalah agar harga pupuk di tingkat petani dapat tetap terjangkau oleh petani, sehingga dapat mendukung peningkatan produktivitas petani, dan mendukung program ketahanan pangan. Sementara itu, dalam kurun waktu 2008–2013, realisasi subsidi pupuk bagi petani yangdisalurkan melalui BUMN produsen pupuk, menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat. Kenaikan realisasi anggaran subsidi pupuk tahun 2008-2013 berkaitan dengan: (1) meningkatnya volume pupuk bersubsidi; (2) anggaran bertambahkarena kurang bayar subsidi pupuk tahun sebelumnya; dan (3) semakin besarnya subsidi harga pupuk (selisih antara harga pokok produksi atau HPP dengan harga eceran tertinggi atau HET. Untuk itulah pada pasca krisis moneter pemerintah kembali memberlakukan subsidi pupuk (walaupun masih terbatas untuk tanaman pangan), karena didasari pada kenyataan bahwa peranan pupuk sangat penting dalam upaya peningkatan produktivitas dan hasil komoditas pertanian, sehingga menjadikan pupuk sebagai sarana produksi yang sangat strategis (Direktorat Pupuk dan Pestisida, 2011).

Kebijakan komprehensif mengenai pupuk bersubsidi tersebut antara lain : (1) pembangunan industri pupuk untuk pemenuhan kebutuhan domestik dan sisanya untuk ekspor; (2) rayonisasi pasar; (3) pemberlakuan HET sesuai rayon sehingga tidak memberatkan/ menyulitkan petani untuk memperolehnya; (4) pabrik pupuk memperoleh subsidi gas sebagai imbalan pelaksanaan produksi dan distribusi pupuk bersubsidi sampai kios pengecer sesuai HET; (5) besaran subsidi pupuk sama dengan besaran subsidi gas dan volume pupuk bersubsidi yang disalurkan; (6) pelaksanaan subsidi pupuk dan distribusinya diawasi oleh pemerintah dan DPR. (Simatupang, 2004 dalam Kariyasa dan Yusdja, 2005).

(16)

yang murah. Namun di sisi lain hal tersebut telah menyebabkan banyak masalah dalam penerapannya. Hal ini diakibatkan oleh banyaknya ketimpangan di lapangan yang justru merugikan petani yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah.

Adapun penyebab terjadinya ketimpangan pelaksanaan kebijakan pupuk yang komprehensif tersebut dikarenakan adanya dugaan peningkatan ekspor pupuk ilegal baik melalui produsen pupuk itu sendiri maupun melalui penyelundup seiring peningkatan margin antara harga pupuk urea di pasar dunia dengan harga pupuk di pasar domestik. Ini telah membuktikan bahwa produsen pupuk sudah tidak mengutamakan pemenuhan untuk pasar domestik, dan yang lebih memprihatinkan lagi bahwa pupuk urea yang diekspor secara ilegal tersebut adalah pupuk bersubsidi yang merupakan hak petani yang notabene merupakan kelompok masyarakat miskin. Ekspor pupuk bersubsidi banyak terjadi melalui pelabuhan-pelabuhan kecil milik individu terutama di Sumatera Utara, Sulawesi Utara dan Kalimantan.

(17)

Kelangkaan pupuk terutama jenis urea merupakan fenomena yang terjadi secara berulang-ulang hampir setiap tahun. Fenomena ini ditandai oleh melonjaknya harga pupuk di tingkat petani jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Padahal produksi pupuk urea dari 5 pabrik pupuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) selalu di atas kebutuhan domestik. Sehingga tanpa mengurangi pasokan untuk pasar bersubsidi domestik, masih ada kelebihan pasokan pupuk sekitar 1,3 juta ton baik untuk memenuhi pasar pupuk non subsidi domestik yang diperkirakan relatif kecil maupun untuk pasar ekspor. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih sering terjadi fenomena langka pasok dan lonjak harga di atas HET.

Adapun penyebab terjadinya ketimpangan pelaksanaan kebijakan pupuk yang komprehensif tersebut karena :

1. Adanya peningkatan ekspor pupuk ilegal baik melalui produsen pupuk itu sendiri maupun melalui penyelundup seiring peningkatan margin antara harga pupuk Urea di pasar dunia dengan harga pupuk di pasar domestik, telah membuktikan bahwa produsen pupuk sudah tidak mengutamakan pemenuhan untuk pasar domestik, dan yang lebih memprihatinkan lagi bahwa pupuk urea yang diekspor secara ilegal tersebut adalah pupuk bersubsidi yang merupakan hak petani yang notabene merupakan kelompok masyarakat miskin. Eskpor pupuk bersubsidi banyak terjadi melalui pelabuhan-pelabuhan kecil milik individu terutama di Sumatera Utara, Sulawesi Utara dan Kalimantan.

2. Perembesan pupuk dari pasar bersubsidi ke pasar non bersubsidi. Perembesan ini terjadi terutama di daerah-daerah yang berdekatan dengan perkebunan besar. Sejak ditetapkan kebijakan harga pupuk, telah menyebabkan pasar pupuk domestik bersifat dualistik, yaitu pasar bersubsidi dan pasar non-subsidi. Fenomena ini terjadi diduga akibat masih lemahnya penerapan sistem pengawasan pupuk yang telah dibentuk pemerintah. Langka pasok dan lonjak harga juga terjadi akibat perembesan pupuk dari satu wilayah ke wilayah lain dalam pasar yang sama (pasar bersubsidi).

(18)

pemerintah hanya sebanyak 250 kg/ha, akan tetapi dalam prakteknya banyak petani menggunakan pupuk jenis ini berkisar 350-500 kg/ha. Penggunaan pupuk berlebih terjadi karena petani masih beranggapan bahwa pupuk urea merupakan pupuk pokok dan mutlak diperlukan, sementara pupuk lainnya seperti SP36 dan KCl hanya merupakan pupuk pelengkap. (Adnyana dan Kariyasa, 2000).Sehingga seringkali dijumpai banyak petani yang tidak menggunakan pupuk KCl di samping karena harganya memang relatif mahal. Kedua, pemilikan lahan yang sempit (< 0.3 ha) juga menyebabkan penggunaan pupuk kalau dikonversi ke dalam satu hektar menjadi sangat tinggi. Ketiga, tidak adanya ketepatan dalam menghitung luas pertanaman komoditas pangan (padi). Jumlah rencana kebutuhan pupuk yang ditetapkan Departemen Pertanian yang merupakan usulan Dinas Pertanian Provinsi dan Kabupaten secara umum lebih rendah dari luas pertanaman sesungguhnya, sehingga jumlah permintaan pupuk selalu melebihi dari yang dialokasikan. Keempat, adanya ketidakdisiplinan petani dalam menentukan pola tanam. Sebagai contoh, pada daerah tertentu yang biasanya menanam padi dua kali, ketika begitu masih ada persediaan air yang mencukupi pada gadu dua (MK II) petani pada umumnya menanam padi lagi, sehingga terjadi lonjakan permintaan pupuk. Kebutuhan pupuk pada tanaman hortikultura juga sangat sulit untuk dihitung, mengingat jenis komoditas yang ditanam petani tidak pasti dan selalu berubah-ubah sesuai permintaan pasar. Kelima, terjadi penggunaan pupuk di tingkat petani untuk kebutuhan yang bukan bersubsidi.

Jadi, pada dasarnya tujuan kebijakan subsidi pupuk yang pada intinya untuk kesejahteraan petani serta kesinambungan usahataninya, masih terkendala pada ketidaktepatan azas enam tepat di lapangan dan sistem distribusi pupuk yang masih belum teratur dan konsisten. Maka perlu kebijakan subsidi pupuk ini diperbaiki lagi dari enam variable kendala dan peta masalah yang terjadi selama ini ditemukan dilapangan.

2.5 Kebijakan Perluasan Lahan Jagung

(19)

pada lahan kering, lahan sawah, lebak, dan pasang-surut, dengan berbagai jenis tanah, pada berbagai tipe iklim, dan pada ketinggian tempat 0–2.000 m dari permukaan laut. Selama periode 2001-2006, rata-rata luas areal pertanaman jagung di Indonesia sekitar 3,35 juta ha/tahun dengan laju peningkatan 0,95% per tahun. Luas areal pertanaman jagung menduduki urutan kedua setelah padi sawah. Jika dibandingkan dengan komoditas lain, luas pertanaman jagung hanya 0,32 kali dari luas pertanaman padi, dan 5,32 kali luas pertanaman kedelai.

Produktivitas jagung di Indonesia masih sangat rendah, baru mencapai 3,47 t/ha pada tahun 2006, namun cenderung meningkat dengan laju 3,38% per tahun. Masih rendahnya produktivitas menggambarkan bahwa penerapan teknologi produksi jagung belum optimal. Dalam periode 1990- 2006, produksi jagung rata-rata 9,1 juta ton dengan laju peningkatan 4,17% per tahun. Terindikasi bahwa peningkatkan produksi jagung di Indonesia lebih ditentukan oleh perbaikan produktivitas daripada peningkatan luas panen (laju peningkatan 0,96%). Jagung dibudidayakan pada lingkungan yang beragam. Hasil studi Mink et al. (1987) menunjukkan bahwa sekitar 79% areal pertanaman jagung terdapat di lahan kering, 11% terdapat di lahan sawah irigasi, dan 10% di sawah tadah hujan. Saat ini data tersebut telah mengalami pergeseran. Berdasarkan estimasi Kasryno (2002), pertanaman jagung di lahan sawah irigasi dan sawah tadah hujan meningkat berturut-turut menjadi 10-15% dan 20-30%, terutama di daerah produksi jagung komersial.

(20)

lebih luas, yakni 3,1 juta hektare, dibandingkan dengan Thailand 1 juta hektare, Vietnam 1,2 juta hektare, dan Filipina 2,6 juta hektare.

China dan India merupakan pemilik lahan terluas di Asia Pasific yang masing-masing mencapai 36 juta hektare dan 9,4 juta hektare. Head of Asia Pasific Corn Syngenta Hardeep Grewal mengungkapkan masalah penggunaan teknologi dan pemilihan benih masih menjadi kendala peningkatan produktivitas jagung di negara kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia. Faktor lainnya adalah karena produktivitas jagung di negara kawasan Asia Pasifik tidak sebanding dengan konsumsi. Hal ini terlihat dalam satu dekade terkahir produktivitas tumbuh 38% dari rata-rata 3,7 ton/ha menjadi 5,1 ton/ha. Sedangkan konsumsi melonjak 77% yang terdorong oleh kebutuhan biofuel, sehingga konsumsi saat ini terdiri dari makanan ternak 60%, makanan manusia 30%, dan biofuel 10%. Namun, konsumsi dengan produksi masih terpenuhi dengan rasio konsumsi 23 juta ton dan produksi 26 juta ton.

Pemerintah berusaha terus mengurangi ketergantungan impor sejumlah komoditas pertanian sebagai salah satu upaya mencapai kemandirian pangan. Jagung, sebagai salah satu komoditas pertanian penting, saat ini pemenuhan kebutuhannya masih dilakukan dengan mengimpor. Ketergantungan terhadap impor ini tidak bisa dibiarkan dan harus segera dicarikan solusinya. Salah satu solusinya adalah menambah luas areal tanam.

(21)

Sumber : Kementrian Pertanian, 2016

(22)

juta hektare. Artinya, di penghujung tahun akan ada sekitar 8,8 juta ton tambahan produksi jaung dari perluasan tanam.

Kementan mentargetkan Indonesia swasembada jagung paling lambat 2018. Bahkan, jika program perluasan areal tanam dan harga jagung stabil, tahun 2017 tak perlu mengimpor jagung. Proyeksi permintaan jagung pada 2017 sekitar 21 juta ton. Sedangkan sasaran produksi 2017 ditetapkan 25,2 juta ton, sehingga ada surplus sekitar 4 juta ton untuk kontingensi. Daerah sentra produksi antara lain Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Utara dan Gorontalo. Kementan juga terus meningkatkan indeks pertanaman di daerah yang biasa tanam jagung sekali menjadi dua kali. Lahan jagung secara nasional 4 juta hektar, dengan Indeks Pertanaman (IP) sebesar 200-300 (2-3 kali tanam) dalam setahun, maka total luas panen jagung secara nasional 12-14 juta hektar per tahun. Produksi jagung akan naik pada 2016 sekitar 10-15 % atau 2 jutaan ton, sehingga produksi tahun ini totalnya sekitar 24-25 juta ton.

Pengembangan jagung melalui perluasan areal diarahkan pada lahan-lahan potensial seperti sawah irigasi dan tadah hujan yang belum dimanfaatkan pada musim kemarau, dan lahan kering yang belum dimanfaatkan untuk usaha pertanian. Berdasarkan penyebaran luas sawah dan jenis irigasinya, potensi pengembangan areal jagung melalui peningkatan Indeks Pertanaman (IP) pada lahan sawah diperkirakan 457.163 ha, dengan rincian: (a) 295.795 ha di Sumatera dan Kalimantan, (b) 130.834 ha di Sulawesi, dan (c) 30.534 ha di Bali dan Nusa Tenggara (Tabel 2). Luas lahan kering yang sesuai dan belum dimanfaatkan untuk usahatani jagung adalah 20,5 juta ha, 2,9 juta ha di antaranya di Sumatera, 7,2 juta ha di Kalimantan, 0,4 juta ha di Sulawesi, 9,9 juta ha di Maluku dan Papua, dan 0,06 juta ha di Bali dan Nusa Tenggara. Potensi tersebut jauh lebih besar dari luas areal pertanaman jagung saat ini. Namun potensi aktual yang diperuntukkan bagi pengembangan jagung perlu ditetapkan, sebab lahan tersebut juga menjadi sasaran pengembangan komoditas lainnya (perkebunan, hortikultura, pangan lainnya).

(23)

Kementan menahan 353.000 ton jagung impor bahan baku pakan ayam di pelabuhan Januari lalu. Akibatnya, harga pakan melesat karena kekurangan pasokan bahan baku yang selanjutnya memicu kenaikan harga daging ayam di pasaran. Di sisi lain, pemerintah mematok harga jagung di tingkat petani sebesar Rp3.150 per kg. Sebelumnya, pemerintah menetapkan harga pembelian jagung sebesar Rp3.150/kg di tingkat petani untuk menggairahkan semangat menanam komoditas pangan tersebut sehingga mendorong peningkatan produksi nasional. Menteri Pertanian menetapan harga pembelian jagung dituangkan dalam

Kecil Kecil Kecil Kecil

91.599 x Sumber :Basis Data Ekspor Impor Kementrian Pertanian, 2016

(24)

Dalam kaitan ini pewilayahan komoditas diperlukan, sebab areal yang sama juga berpeluang dikembangkan untuk berbagai komoditas (perkebunan, pangan, dan hortikultura). Pemanfaatan lahan sawah setelah padi (musim kemarau) perlu diarahkan pada lahan yang ketersediaan air irigasinya memadai, baik dari air permukaan maupun air tanah. Untuk memanfaatkan air tanah, pembuatan sumur, dan penyediaan pompa perlu direncanakan. Pewilayahan komoditas pada lahan kering perlu dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih rencana penggunaan lahan dengan komoditas lain. Agar sistem produksi jagung pada lahan kering dapat berkelanjutan, aspek konservasi lahan perlu mendapat perhatian. Daerah-daerah yang baru dibuka memerlukan dukungan pembangunan infrastruktur (jalan, transportasi), kelembagaan sarana produksi, alsintan, dan permodalan.

2.6 Kebijakan Fiskal

Komoditas pertanian sangat penting dan strategis karena menyangkut kebutuhan dasar manusia. Teori Piramida Maslow menyatakan bahwa kebutuhan fisiologis manusia termasuk pangan merupakan kebutuhan paling mendasar yang harus dipenuhi (Goble,1987). Jagung (Zea mays) merupakan salah satu komoditi strategis dan bernilai ekonomis serta mempunyai peluang untuk dikembangkan karena kedudukannya sebagai sumber utama karbohidrat dan protein setelah beras. Jagung tidak saja digunakan untuk bahan pangan tetapi juga untuk pakan ternak. Proporsi penggunaan jagung oleh industri pakan ternak telah mencapai lebih dari 50 persen dari total kebutuhan nasional (Utomo,2012).

Untuk subsektor tanaman pangan, jagung adalah kontributor terbesar kedua setelah padi. Sumbangan jagung terhadap PDB terus meningkat setiap tahun sekalipun pada saat krisis ekonomi. Pada tahun 2000, kontribusi jagung terhadap perekonomian Indonesia sebesar Rp 9.4 triliun dan pada tahun 2003 meningkat tajam menjadi Rp 18.2 triliun (Tangendjaja, dkk, 2005). Dalam 20 tahun ke depan, penggunaan jagung untuk pakan diperkirakan terus meningkat dan bahkan setelah tahun 2020 lebih dari 60 persen dari kebutuhan nasional (Ditjen Tanaman Pangan, 2006).

(25)

global berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Kondisi ini menyebabkan harga komoditas pertanian di dunia terus meningkat. Harga komoditas yang sangat fluktuatif dan cenderung meningkat akhir-akhir ini sangat dipengaruhi oleh harga internasional, dimana lonjakan harga pangan dunia saat ini sudah berada di posisi tertinggi di tingkat indeks 214,8. Berdasarkan data FAO food prices index yang dihitung dari rata-rata tertimbang 55 jenis komoditas perdagangan internasional, FAO dan Bank Dunia telah memperingatkan bahwa risiko iklim yang tidak pasti dan kondisi geopolitik di dunia dapat mengakibatkan instabilitas produksi pangan dan berpotensi menimbulkan kenaikan harga komoditas pangan ke depan (Sujai, 2011).

Kebutuhan jagung dari tahun ke tahun semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk. Di lain pihak negara pengekspor jagung terbesar di dunia seperti Amerika Serikat sudah mengurangi ekspor jagungnya karena digunakan untuk bahan baku ethanol. Demikian pula halnya dengan China yang dulu merupakan negara pengekspor jagung, sekarang sudah menghentikan ekspornya guna memenuhi kebutuhan bahan baku industrinya sehingga mendorong harga jagung semakin tinggi (Utomo,2012).

(26)

kebijakan yang diambil pasti akan berpengaruh baik positif maupun negative terhadap sektor lain (Saptono,1998).

Dampak terbesar akibat kenaikan harga pangan ini adalah meningkatnya inflasi sehingga memberatkan masyarakat di Indonesia terutama masyarakat miskin. Namun harga komoditas pertanian yang rendah juga kurang baik karena akan sangat merugikan petani. Karena itu perlu dicari keseimbangan harga komoditas pertanian sehingga tidak terlalu tinggi yang memberatkan konsumen dan tidak terlalu rendah yang merugikan petani. Pemerintah selaku regulator mempunyai berbagai kewenangan dan tanggung jawab untuk mengatur sektor pertanian yang salah satunya adalah menentukan kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah (www.wikipedia.org).

Selain kebijakan fiskal, terdapat pula kebijakan moneter yang bertujuan untuk menstabilkan perekonomian dengan cara mengontrol tingkat bunga dan jumlah uang beredar. Kedua kebijakan tersebut harus berjalan beriringan dan simultan dalam menjaga stabilitas perekonomian nasional. Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pengeluaran pemerintah dan pajak. Perubahan tingkat dan komposisi pajak serta pengeluaran pemerintah dapatmempengaruhi variabel-variabel seperti permintaan agregat dan tingkat aktivitas ekonomi, pola persebaran sumber daya dan distribusi pendapatan yang akan sangat mempengaruhi perekonomian (www.wikipedia.org).

Dalam menjalankan perekonomian suatu negara, kebijakan fiskal mempunyai peranan yang sangat penting. Beberapa fungsi dan kegunaan kebijakan fiskal antara lain adalah untuk memobilisasi sumber daya seperti meningkatkan investasi, menyediakan infrastruktur dan pengelolaan energi. Kegunaan lain dari kebijakan fiskal adalah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya akan mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan (Restrepo,2011).

(27)

meminimalkan ketidak merataan pendapatan dan kekayaan masyarakat, sehingga ada fungsi distribusi dan alokasi dalam sebuah kebijakan fiskal yang diambil antara lain pengenaan pajak kepada orang kaya dan pemberian subsidi kepada orang miskin (Restrepo,2011). Berkaitan dengan gejolak harga komoditas pertanian saat ini, Pemerintah Indonesia dapat mengambil peran yang sangat penting dalam upaya stabilisasi harga melalui kebijakan fiskal.

Kebijakan fiskal lain yang diambil Pemerintah dalam upaya stabilisasi harga komoditas pangan adalah dengan memberikan insentif fiskal baik berupa keringanan pajak, pajak ditanggung Pemerintah maupun dalam bentuk kebijakan tarif dan bea masuk. Sementara itu, untuk mengantisipasi dampak kenaikan harga pangan, Pemerintah tetap berkomitmen untuk terus melanjutkan kebijakan pemberian insentif perpajakan diantaranya berupa kebijakan penyesuaian 57 pos tarif bea masuk atas biji gandum, bahan baku ternak, pupuk, produk pangan dan bahan baku pangan menjadi nol persen sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.011/2011. PMK tersebut mengatur harmonisasi tarif bea masuk sehingga harga komoditas pangan di dalam negeri menjadi lebih murah dan lebih terjangkau masyarakat. Kebijakan ini juga dimaksudkan untuk menekan inflasi yang cenderung terus meningkat.

(28)

Fluktuasi harga jagung di pasar domestik terkait erat dengan dinamika harga produk sejenis di pasar internasional, nilai kurs rupiah, dan kebijakan perdagangan. Penerapan bea masuk impor yang realistis serta sesuai dengan siklus harga jagung dan nilai kurs rupiah dipandang penting sebagai langkah antisipatif terhadap penurunan harga jagung di pasar internasional dan untuk merangsang petani dalam meningkatkan produktivitas. Kebijakan proteksi harga hanya efektif jika ada potensi peningkatan produktivitas, respons harga terhadap penawaran, dan system pemasaran yang efisien. Dengan demikian, peningkatan efisiensi pemasaran melalui perbaikan infrastruktur, struktur pemasaran, dan kelembagaan petani memegang peranan penting (Rachman, 2015).

Dalam mengantisipasi fluktuasi harga komoditas pangan kedepan mencakup tiga aspek kebijakan fiskal antara lain: (a) Perlu sinergi kebijakan antara kebijakan pajak dan tarif serta kebijakan sektor pertanian; (b) Stabilisasi harga komoditas yang dilakukan secara simultan antara pengurangan pajak dan bea, operasi pasar, saluran distribusi dan peningkatan produksi pertanian dalam negeri; (c) Keseimbangan antara penawaran dan permintaan komoditas pertanian perlu dipertahankan dengan ketersediaan pasokan yang cukup dan harga yang terjangkau. Sinergi antara kebijakan jangka pendek berupa insentif perpajakan dan bea, kebijakan jangka menengah berupa peningkatan produktifitas pertanian dan kebijakan jangka panjang berupa adaptasi dan mitigasi perubahan iklim diharapkan dapat menciptakan kestabilan harga dan pasokan pangan untuk menjamin ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat (Sujai, 2011).

BAB III

(29)

3.1 Kesimpulan

1. Untuk dapat meningkatkan produktivitas jagung nasional, peningkatan produktivitas dapat dilakukan, salah satunya dengan penyediaan benih yang bermutu. Pemerintah mengeluarkan kebijakan subsidi benih yang diturunkan dalam program Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) dan Cadangan Benih Unggul (CBU). Dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan berdampak pada peningkatan keuntungan di pihak produsen atau petani sehingga petani akan meningkatkan jumlah produksi jagung, yang berakibat produktivitas jagung nasional menjadi tinggi sehingga swasembada jagung bisa tercapai bahkan bisa kita bisa ekspor ke luar negeri.

2. Peluang peningkatan produksi jagung dalam negeri masih terbuka lebar melalui pemanfaatan sumber pertumbuhan produksi secara optimal. Dengan perluasan areal tanam melalui peningkatan indeks pertanaman (IP) dan ekstensifikasi dengan memanfaatkan lahan tidur, tumpangsari jagung pada areal perkebunan atau hutan yang masih muda, pembukaan lahan baru, dan optimasi lahan bera, alang-alang, dan lain-lain. Kebijakan ini akan berdampak pada pertimbangan investasi yang lebih murah karena tidak membuka lahan, produk yang diperoleh lebih bermutu, dan harga akan lebih baik karena pasokan jagung kurang pada musim kemarau.

3.2Saran

1. Pemerintah harus meningkatkan ketersediaan dan kualitas input produksi antara lain benih, pupuk, lahan, alat mesin dengan kebijakan subsidi yang lebih efisien. Dengan cara menata kembali kelembagaan perbenihan/perbibitan nasional mulai dari tingkat pusat sampai daerah. Mendorong sektor swasta untuk ikitu berpartisipasi dalam usaha pengembangan bibit/benih. Harga bibit unggul ditingkat petani harus terjangkau agar dapat mengahasilkan jagung yang berkualitas

(30)

pertanian. Lahan dan air sebagai media dasar tanaman harus dijaga kelestariannya agar sistem produksi dapat berjalan secara berkesinambungan. Mengoptimalkan pemanfaatan lahan pertanian terlantar. Membangun database yang akurat berisi ketersediaan dan keberadaan lahan secara geografis dan peruntukkan lahan untuk berbagai sub sektor pertanian.

3. Meningkatkan kegiatan penelitian khususnya dalam rangka penciptaan inovasi teknologi benih, bibit, pupuk

(31)

DAFTAR PUSTAKA

[Bulog] Badan Usaha Logistik. 2014. Ketahanan Pangan. Jakarta.

www.bulog.co.id/ ketahananpangan .php di unduh pada tanggal 26 September 2016.

[Kementan] Kementerian Pertanian. 2009. Rancangan Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014. Jakarta: Kementerian Pertanian Republik Indonesia

Anonim. Program Pengembangan Pupuk Organik PT Pusri. 2005

Anonim. Luas Laha Ditambah, Impor Jagung Diharapkan Berkurang. 2016. Jakarta.http://www.businessnews.co.id/ekonomi-bisnis/luas-lahan

ditambah-impor-jagung-diharapkan-berkurang.php.

Asworo, Hemdri Tri Widi. Lahan Luas, Produksi Jagung Indonesia Terendah di ASEAN. 2016.

Direktorat Pupuk Dan Pestisida Kementerian Pertanian. 2011. Pedoman Pembinaan Penggunaan Pestisida.

Ditjen Tanaman Pangan. 2006. Program Peningkatan Produksi Jagung Nasional. Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional dan Ekspose Inovasi Teknologi, Makasar – Pangkep.

Goble, F. 1987. The Third Force: The Psychology of Abraham Maslow. Kanisius, Jakarta.

Http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_fiskal, diunduh tanggal 3 Juni 2011

Kurnia, U., A. Rachman. 2004. Konservasi Tanah Pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat BPPP Departemen Pertanian, Jakarta

Khudori. 2008. Ironi Negeri beras. Yogyakarta : Insist Press.

Rachman, Benny. 2015. Perdagangan Internasional Komoditas Jagung. Badan

Litbang; Departemen Pertanian. Tersedia dari:

http://i.litbang.pertanian.go.id/buku/ekonomi-jagung-indonesia/Perdagangan-Internasional.pdf.

Restrepo, J., IMF-STI. 2011. Material Presentation, Course on Macro Economic Management and Fiskal Issues. Singapore. Tersedia dari: https://uat-ins.imf.org/file.php/29/Course/Presentation_Slides/L02__Fiskal_Account s_Analysis_Measurement.pdf

Saptono, I.T. 1998. Krisis Ekonomi dan Distorsi Pasar Agribisnis. Agrimedia, Volume 4 No 2.

(32)

Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor.

Sujai, Mahpud. 2011. Dampak Kebijakan Fiskal dalam Upaya Stabilisasi Harga Komoditas Pertanian. Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; Badan Kebijakan Fiskal; Kementerian Keuangan. Tersedia dari: http://pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/ART9-4a.pdf. Subandi, Pabbage, Zubachtirodin. Wilayah Produksi dan Potensi Pengembangan

Jagung. (ILHAM)

Tangendjaja, B., dkk. 2005. Analisis Ekonomi Permintaan Jagung untuk Pakan. Dalam Ekonomi Jagung Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

Utomo, Susilo. 2012. Dampak Impor dan Ekspor Jagung Terhadap Produktivitas Jagung di Indonesia. Jurnal EtikonomiVol. 11. Fakultas Ekonomi Universitas Sahid Jakarta.

Margaretha. SL, Sudjak S dan Sania, S.2006. Fungsi Kelembagaan dalam Penerapan Teknologi Perbenihan Jagung BerbasisKomunitas Petani. Iptek Tanaman Pangan 2 (2) : 181-191

Mayrowani, Henny. 2008. Evaluasi Kebijakan Subsidi Benih Jagung Kasus Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 6 No. 3: 256 – 271

Ramlah Arief, Mursalim, Zakaria Badron dan Sania Saenong. 2010. Analisis Hubungan Mutu Benih Jagung Dengan Produktivitas. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Vol. (29) 2 : 105-116

Suparman. 2013. Peran Unit Pengelola Benih Sumber Dalam Penguatan Sistem Perbenihan Di Kalimantan Tengah. Buletin Inovasi Teknologi Pertanian Edisi 1, Vol 1: 22-26

Sutoro.2012. Kajian Penyediaan Varietas Jagung Untuk Lahan Suboptimal. Iptek Tanaman Pangan Vol. 7 (2) : 108-115.

Sania Saenong dan Mappaganggang S. Pabbage.2007. Penangkaran Benih Jagung Berhasis komunitas di NTT SINAR TANI Edisi 4 -10 Juli 2007.

(33)

Lampiran 1. Persamaan Kebijakan Tarif Impor dan Harga Dasar Beras

No Indikator Tarif Impor Harga Minimum

1 Tujuan Melindungi produsen Melindungi produsen

2 Stabilitas Harga Harga beras di pasar meningkat dan stabil

4 Surplus konsumen Menurun, karena harga konsumen meningkat

Menurun, karena harga konsumen meningkat

5 Kerugian sosial (society loss)

Meningkat, karena

6 Permintaan konsumen Menurun, akibat kenaikan harga

Lampiran 2. Perbedaan Kebijakan Tarif Impor dan Harga Dasar Beras

No Indikator Tarif Impor Harga Minimum

1 Asal Beras Beras berasal dari luar negeri (beras impor) Beras berasal dari dalam negeri

2 Pendapatan/Pengeluaran Pemerintah Pemerintah mendapat dana dari bea masuk beras impor

Pemerintah

mengeluarkan dana untuk membeli kelebihan penawaran dari petani

3 Waktu Tidak mengenal musim Diterapkan saat sedang panen raya

4 Exchange rate Dipengaruhi oleh nilai tuka rupiah

Tidak dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah

5 Inflasi Dipengaruhi oleh nilai inflasi Tidak dipengaruhi oleh nilai inflasi

6 Faktor yang beras lokal menjadi terjaga dan memiliki mutu yang baik

Tidak

mempengaruhi mutu beras lokal

(34)

No Persamaan Tarif Impor dan Kebijakan Harga Minimum

1.1 Perlindungan terhadap produsen dalam negeri, dimana surplus produsenmeningkatdan surplus konsumen menurun

1.2 Mengakibatkan society loss / society inefficient

1.3 Mendorong penggunaan sumber daya domestik, baik tenaga kerja, modal, danmobilisasi sumber daya domestic

1.4 Menaikkan harga pasar produk

1.5 Berkurangnya permintaan dari konsumen akibat dari kenaikan harga

1.6 Peningkatan produksi dalam negeri, karena harga yg tinggi akan merangsangproduksi dalam negeri.

1.7 Meningkatkan kualitas produksi produk dalam negeri, untuk bersaing denganproduk lain.

Lampiran 4.Perbedaan Kebijakan Tarif Impor dan Penetapan Harga Dasar

No Perihal Tarif Impor Kebijakan HargaMinimum

1.1 Penerimaan Pemerintah Ada pemerintah wajib membeliTidak ada, karena kelebihan produk di pasar

1.2 Objek Kebijakan Tarif dikenakan padaproduk impor

Pembelian produk oleh

1.4 Terkait Musim Tidak tergantung musim

Tergantung Musim, terjadi pada saat kelebihan penawaran di pasar

1.5 Persedian Produk DalamNegeri Penurunan jumlah imporproduk di dalam negeri Peningkatan produksi berasdalam negeri

Gambar

Tabel 3. Data Impor Jagung Indonesia Tahun 2012 – 2014 (Kg)
Tabel 5. Ketersediaan Varietas Jagung Hibrida dan Komposit
Tabel 6. Luas Panen Jagung Tahun 2006 -2015
Tabel  7.  Potensi  Perluasan  Areal  Tanam  Jagung  dengan  Peningkatan  IndeksPertanaman (IP) Di Lahan Sawah

Referensi

Dokumen terkait

Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah review jurnal yang berjudul “ Multi

kendi” diambil dari banyaknya wadah tembikar yang pecah ketika nenek monyang masyarakat Pongka masa lalu lewat pada daerah ini. Wadah-wadah tersebut pecah akibat

Ibnu Sina mengikuti teori doktor Yunani iaitu Galen tentang peredaran darah. Ibnu al-Nafis pula dalam syarahannya dalam kitab anatomi Ibnu Sina mangesahkan pendapat

Output dari usulan Fasilitas Alat Produksi Film dan Pendokumentasian Seni Budaya untuk peningkatan kapasitas alat sarana dan prasarana Sinematografi Sejarah &amp;

Karawang SMKS INDONESIA Cilamaya Wetan 144 : no... Karawang SDN NAGASARI VI Karawang Barat 147

Dalam pelaksanaan administrasi Risbinkes tahun 2014 untuk kegiatan yang bersumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diwajibkan mengikuti mekanisme yang telah diatur

tidak dapat dikatakan palsu sebelum dinyatakan oleh Pengadilan Negeri dengan ketetapan atau keputusannya dan tidak dapat di ralat atau dibatalkan ataupun diperbaharui atas

Setelah menjadi kerajaan Islam, di Minangkabau kemudian juga dikenal adanya Rajo Nan Tigo Selo yang terdiri dari Raja Adat di Buo, Raja Ibadat di Sumpurkudus, dan