BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kayu Kelapa Sawit
Kayu kelapa sawit (Elaeis guineensis jacq) merupakan limbah padat yang dihasilkan oleh industri perkebunan kelapa sawit. Tumbuhan dari orde Palmales, famili Palmaceae, subfamily Cocoideae. Adapun komponen – komponen yang terkandung di dalam kayu kelapa sawit dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1. Persentase komponen-komponen yang terkandung dalam kayu kelapa sawit
Komponen Kandungan % Air Abu SiO2 Lignin Hemiselulosa α-selulosa Pentosa 12,05 2,25 0,48 17,22 16,81 30,77 20,05 (Sumber : Nasution, D. Y, 2001)
Kayu kelapa sawit mempunyai kandungan selulosa dan lignin yang rendah, kandungan air dan NaOH yang dapat larut lebih tinggi dibandingkan kayu karpet dan ampas tebu. Semakin ke atas dan ke dalam, kandungan air dan parenkim semakin tinggi sedangkan kerapatannya menurun. Kadar air KKS segar sekitar 65% dan kerapatannya dari 0,2 – 0,6 g/cm3 dengan kerapatan rata-rata 0,37 g/cm3 (Lubis, 2005).
2.2 Polimer
Kita hidup dalam era polimer, dimana plastik, serat, bahan pelapis, bahan perekat, karet, protein, dan selulosa merupakan istilah umum dalam perbendaharaan kata modern, dan semuanya adalah bagian dari dunia kimia polimer yang menakjubkan. Polimer merupakan molekul besar yang terbentuk dari unit-unit berulang yang sederhana. Nama ini diturunkan dari bahasa Yunani dimana poly yang berarti “banyak”, dan mer yang berarti “bagian”. Makromolekul merupakan istilah yang sinonim dengan polimer. Polimer sintesis dari molekul-molekul sederhana yang disebut monomer (Stevens, 2001).
Bahan yang dewasa ini disebut dengan polimer sebenarnya telah dikenal sejak permulaan kebudayaan manusia baik sebagai bahan makanan, maupun bahan keperluan perlindungan, perumahan, pakaian, transportasi dan sebagainya (Wirjosentono, 1994).
Polimer tinggi adalah molekul yang mempunyai massa molekul besar. Polimer tinggi terdapat di alam (benda hidup, baik binatang maupun tumbuhan, mengandung sejumlah besar bahan polimer) dan dapat juga disintesis di laboratorium.
Polimer alam, seperti halnya selulosa, pati, dan protein, telah dikenal dan digunakan manusia berabad-abad lamanya untuk keperluan pakaian dan makanan, sedangkan industri polimer merupakan hal yang baru.
Polimer tinggi (kadang-kadang disebut makromolekul) adalah molekul besar yang dibangun oleh pengulangan kesatuan kimia yang kecil dan sederhana. Kesatuan kesatuan berulang itu setara aau hampir setara dengan monomer, yaitu dasar pembuat polimer (Cowd, 1991).
2.3 Polimerisasi
Carothers seorang ahli kimia di Amerika Serikat, mengelompokkan polimerisasi (proses pembentukan polimer tinggi) menjadi dua golongan, yakni polimerisasi adisi dan polimerisasi kondensasi.
Polimerisasi adisi melibatkan reaksi rantai. Penyebab reaksi rantai dapat berupa radikal bebas (partikel reaktif yang mengandung elektron yang tak berpasangan) atau ion. Radikal bebas biasanya terbentuk dari penguraian zat yang nisbi tidak mantap, yang disebut pemicu. Pemicu ini memicu reaksi rantai pada pembentukan polimer dan polimerisasi ini berlangsung sangat cepat, sering hanya beberapa detik. Polimerisasi adisi terjadi khusus pada senyawa yang mempunyai ikatan rangkap, seperti misalnya etena dan turunan-turunannya.
Polimerisasi kondensasi dipandang mempunyai kesamaan dengan reaksi kondensasi (atau adisi-penyingkiran) yang terjadi pada zat bermassa molekul rendah. Pada polimerisasi kondensasi terjadi reaksi antara dua molekul bergugus fungsi banyak (molekul yang mengandung dua gugus fungsi atau lebih yang dapat bereaksi) dan memberikan satu molekul besar bergugus fungsi banyak pula dan diikuti oleh penyingkiran molekul kecil, seperti misalnya air.
Polimerisasi adisi dapat dibagi menjadi tiga tahap, yakni pemicuan, perambatan, dan pengakhiran. Oleh karena pembawa rantai dapat berupa radikal bebas atau ion, maka polimerisasi adisi selanjutnya dapat digolongkan ke dalam dua golongan, yakni polimerisasi radikal bebas, dan polimerisasi ion (kation dan anion) (Cowd, 1991).
2.4 Polipropilena
Polipropilena (PP) adalah sebuah komoditas yang menarik dari polimer termoplastik. Ketertarikan dalam polipropilena ini ditimbulkan karena potensial polipropilena ini dalam aplikasinya seperti pembuatan komposit, bioteknologi, teknologi serbuk, optoelektronik, ko-katalis dalam bioreaktor dan proses pengolahan limbah air,
teknologi permukaan dan pelapisan (Paik et.al., 2007). Struktur polipropilena dapat dilihat pada gambar 2.1.
Polipropilena atau polipropena (PP) adalah polimer termoplastik, dibuat melalui proses industri kimia dan digunakan dalam aplikasi yang sangat luas misalnya dalam industri tekstil, pengepakan, karpet, alat-alat tulis dan kantor, peralatan laboratorium, komponen otomotif dll. Polimer etilena dapat diperoleh dengan cara menghilangkan air atau dehidrasi dari etanol atau dengan cara menghidrogenasi gas asetilena.
Polimer etilena diproduksi secara komersil pada tekanan antara 1000 sampai 3000 atom atau sekitar 15.000 – 45.000 psi. Kebanyakan struktur dari propilena komersil adalah isotaktik dan mempunyai tingkat intermediet dari kristalinitas antara LDPE (Low Density Polyethylene) dan HDPE (High Density Polyethylene).
Proses peleburan polipropilena dapat ditempuh melalui dua cara yaitu ekstruksi dan pengecoran. Metode ekstruksi pada umumnya meliputi produksi serat pintal ikat dan tiup (hembus) leleh untuk membentuk yang panjang buat nantinya diubah menjadi beragam produk yang berguna seperti masker muka,penyaring,popok dan lap (Billmeyer, 1970).
Gambar 2.1 Struktur polipropilena (C3H6)n
2.4.1 Sifat-sifat polipropilena
Polipropilena merupakan jenis bahan baku plastik yang ringan,dengan densitas 0,90-0,92g/ml dan memiliki tingkat kekerasan dan kerapuhan yang paling tinggi dan bersifat kurang stabil terhadap panas dikarenakan adanya hidrogen tersier. Penggunaan bahan pengisi dan penguat memungkinkan polipropilena memiliki mutu kimia yang baik sebagai bahan polimer dan tahan terhadap pemecahan karena tekanan
(stress-cracking) walaupun pada temperatur tinggi. Kerapuhan Polipropilena dibawah 0oC dapat dihilangkan dengan penggunaan bahan pengisi. Dengan bantuan pengisi dan penguat, akan terdapat adhesi yang baik (Gacther et.al., 1990).
2.4.2 Kegunaan Polipropilena
Polipropilena adalah polimer ideal yang digunakan sebagai lembar kemasan. Daya tahannya yang baik terhadap kelembaban tetapi tidak efektif dalam penghambat lewatnya oksigen. Gas oksigen yang masuk ke dalam kemasan yang dibungkus dengan polipropilena dapat mempengaruhi makanan dan materi lainnya. Pelapisan hendaknya dilakukan dalam suasana vakum atau kedap udara untuk melindungi isinya. Modifikasi terhadap polipropilena dilakukan agar adanya pengembangan aplikasi dari polipropilena.
Studi grafting MA dengan polipropilena dengan menggunakan benzoil peroksida dalam konsentrasi rendah telah dilakukan (Pegoraro et.al., 1999).
2.5 Pembentukan Radikal Bebas Pada Bahan Polimer 2.5.1 Radikal Bebas pada polimerisasi
Pada radikal polimerisasi pusat aktif yang dipelajari adalah mengenai pembentukan radikal bebas. Berdasarkan keberadaan dan kehadiran dari elektron yang tidak berpasangan yang akan menghasilkan suatu radikal bebas yang akan mengakibatkan radikal tersebut dengan mudah bereaksi dengan monomer yang lain, yaitu mengikuti reaksi pada gambar 2.2
R • + CH2 = CHX R – CH2 – CHX •
Gambar 2.2 Reaksi Pembentukan Radikal
Salah satu cara pembentukan radikal pada bahan polimer adalah dengan metode inisiasi polimerisasi yaitu dalam hal ini radikal dihadirkan kedalam sistem
dengan tanpa peningkatan nilai dari reaksi tesebut. Radikal tersebut akan masuk kedalam kedudukan bebas atau pada komponen yang terdekomposisi yaitu pada proses polimerisasi dari radikal bebas (suatu zat yang ditambahkan kedalam reaksi tersebut disebut dengan inisiator).
Dekomposisi dari suatu inisiator menjadi suatu radikal bebas menggunakan energi yang lebih sedikit dibandingkan dengan formasi penyusunan aktivasi dari molekul monomer. Namun demikian, penambahan inisiator secara tajam akan meningkat pada tahap awal (formasi pusat aktif) dan karenanya akan mempengaruhi keseluruhan dari reaksi polimerisasi tersebut.
Interaksi antara monomer dengan radikal bebas yang ada kepada sistem atau dekomposisi dari inisiator tersebut adalah dengan suatu tahap awal yaitu membentuk rantai propagasi. Setelah itu, radikal bebas atau komposisinya secara keseluruhan masuk kedalam bahan polimer dan berinteraksi dengan cara polimerisasi.
Apabila radikal bebas dimasukkan misalnya kedalam suatu sistem, polimerisasi dimulai dengan propagasi dan melewati tahapan inisiasi. Polimerisasi pada komponen buatan akan terdekomposisi menjadi radikal bebas dibawah kondisi dari reaksi yang mengikuti tiga tahap reaksi,namun pada tahapan yang pertama (formasi pusat aktif) hanya akan membutuhkan sedikit energi aktivasi.Proses ketiga tahap reaksi tersebut dijabarkan pada gambar 2.3 (Strepikheyev et.al., 1971).
(R)2 2R• Terminasi : R• + A1 R – A1• R – A1• + A1 R – A2• ………... R – Am-1 +A1 R - Am• Propagasi : ` R – Am R – An ( m ≤ n )
2.6 Degradasi Polipopilena
Tsucia dan Summil telah meneliti hasil dari dekomposisi termal polipropilena isotaktik pada suhu 360oC, 380oC, dan 400oC dalam ruang hampa. Kirain dan Gillham juga telah mempelajari degradasi termal polipropilenna isotaktik. Hasil yang diperoleh oleh Kiran Clan Gillham ternyata sama seperti yang diperoleh Tsucia Clan Summi. Kirain dan Gillham menyarankan mekanisme degradasi termal polipropilena sebagai berikut : radikal primer dan sekunder selanjutnya akan terpolimerisasi sehingga akan menjadi monomer-monomer. Reaksi perpindahan radikal intra molekular akan menghasilkan radikal pada atom karbon tersier (Hidayani, 2010).
2.7 Benzoil Peroksida
Benzoil Peroksida (gambar 2.6) merupakan peroksida organik pertama yang dapat dibuat melalui teknis sintesis. Benzoil peroksida ini dibuat dengan mereaksikan benzoil klorida dengan barium peroksida yang mengikuti suatu reaksi yang dipaparkan pada gambar 2.4
2 C6H5C (O ) Cl + BaO2 [C6H5C(O)] O 2 + BaCl2
Gambar 2.4 Sintesis Benzoil Peroksida
Benzoil peroksida umumnya dipersiapkan dengan cara mereaksikan hidrogen peroksida dengan benzoil klorida. Ikatan Oksigen dengan Oksigen dalam peroksida terikat secara lemah. Dengan demikian, benzoil peroksida akan melangsungkan suatu reaksi homolisis, membentuk radikal bebas yang dijelaskan pada gambar 2.5
[C6H5C(O)] O2 2C6H5CO2•
Gambar 2.5 Reaksi Homolisis Pembentukan Radikal
Simbol (•) menandai bahwa hasil reaksi adalah radikal, yang berarti mereka mengandung sebuah elektron. Hasil reaksi seperti ini menandakan spesies ini
memiliki kereaktifan yang tinggi. Homolisis biasanya dapat dipaksa dengan cara pemanasan (Hidayani. 2010).
Gambar 2.6 Struktur Benzoil Peroksida (C4H10O4)
2.8 Degradasi dengan Inisiator Peroksida
Kemampuan degradasi dari peroksida dapat dilihat dari kesatbilan lelehnya. Keefektifan stabilitas pelelehan dari penggunaan peroksida belum dapat dipastikan secara teknik konvensional dikarenakan kurang efektifnya konsentrasi dari peroksida yang dapat bereaksi. Karena adanya kekurangan dari tekhnik digunakan, dilakukan penelitian yang bertujuan untuk memaksimalkan kemampuan degradasi dari peroksida.
Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan ketika memilih peroksida untuk proses ini:
a. Waktu paruh dari peroksida
Pemakaian peroksida tersebut harus dioptimalkan sesuai dengan waktu paruhnya pada saat pencampuran. Bagaimanapun, pada saat pencampuran tersebut perlu diperhatikan suhu dari pencampuran, yaitu dengan maksud bahwa peroksida yang dimasukan dapat tercampur secara sempurna sehingga bereaksi secara sempurna pula dengan bahan polimer. Degradasi diharapkan dapat tercapai secara optimal tanpa ada peroksida yang terbuang karena telah terlewati waktu paruhnya.
b. Konsentrasi
Apabila konsentrasi dari peroksida terlalu rendah, hasil dari degradasi yang diperoleh tidak akan maksimal sehingga hanya melepas oksigen. Namun apabila
konsentrasi terlalu tinggi, radikal yang terbentuk akan secara spontan mengakhiri penataan ulang reaksi sebelum terjadinya reaksi degradasi.
c. Jenis radikal yang dihasilkan
Jenis dari radikal yang dihasilkan akan berbeda yaitu radikal yang diharapkan adalah radikal yang terjadi pada peroksida yang akan bereaksi dengan bahan polimer, namun bila radikal yang terbentuk pada gugus alkoksi atau karboksilatnya, maka hal tersebut akan mempengaruhi jalannya reaksi.
d. Lingkungan
Adanya sedikit saja pengganggu misalnya adanya oksigen pada reaksi yang dilakukan akan sangat mempengaruhi reaksi dengan cepat, dan energi yang dihasilkan. Hasil yang berbeda dari yang diharapkan dengan adanya pengaruh tekanan dan gas lain.
e. Daya / kemampuan
Kegunaan atau kemampuan peroksida secara umum yang diketahui secara teori dapat mengakibatkan terjadinya reaksi lain yang pada dasarnya dapat menurunkan kemampuan degradasi tersebut sendiri (Allen, 1983).
2.9 Proses Grafting
Proses grafting pada permukaan bahan polimer adalah variasi teknologi yang digunakan untuk meningkatkan sifat dari permukaan bahan polimer tersebut. Teknologi seperti ini menawarkan fungsi serbaguna dalam berbagai bidang misalnya pada serat dan kaca dengan fungsi-fungsi baru seperti kestabilan termal, ketahanan air dan minyak dan daya deterjensi (Saihi et.al., 2002).
Grafting maleat anhidrida ke dalam polipropilena bertujuan untuk meningkatkan kompatibilitas dan kereaktifan dari polipropilena. Grafting polipropilena akan menyebabkan interaksi antara polipropilena dengan serat karbon lebih baik. Reaksi grafting polipropilena telah banyak dilakukan tetapi dengan metode
lelehan lebih baik bila dibandingkan dengan metode pencampuran dalam larutan (Gracia-Martinez, 1997).
Mekanisme penempelan gugus fungsi pada polipropilena diawali dengan hilangnya satu atom H dari atom C tersier dengan adanya inisiator benzoil peroksida menghasilkan radikal polipropilena, selanjutnya akan berinteraksi dengan gugus maleat anhidrida. Tahapan reaksinya adalah seperti gambar 2.7 berikut:
2.10 Maleat Anhidrida
Maleat anhidrida adalah sebuah senyawa organik dengan rumus kimia C4H2O3
(gambar 2.9). Dalam keadaan murninya, Maleat Anhidrida berwarna putih padat dengan bau yang tajam.
Maleat anhidrida secara tradisional diproduksi dari oksidasi benzena atau senyawa aromatik lainnya. Sampai dengan tahun 2006, hanya beberapa pabrik yang masih menggunakan benzena. Oleh karena kenaikan harga benzena, kebanyakan pabrik menggunakan n-butana sebagai bahan utama pembuatan maleat anhidrida yang dapat dilihat pada gambar 2.8 (http://in.wikipedia.org.wiki.Maleat_anhidrida).
2CH2CH2CH2CH3 + 7O2→ 2 C2H2(CO)2O+8H2O
Gambar 2.8 Reaksi Pembuatan Maleat Anhidrida
Gambar 2.9 Struktur Maleat Anhidrida (C4H2O3)
Coupling agent maleat anhidrida banyak digunakan untuk meningkatkan kekuatan komposit yang mengandung pengisi dimana seratnya diperkuat. Penguatan kimia maleat anhidrida tidak hanya dipakai untuk modifikasi serat tetapi juga membuat permukaan komposit matriks PP dengan serat dapat lebih baik sehingga meningkatkan kekuatan tarik komposit. Rantai PP dan maleat anhidrida menjadi terikat dan menghasilkan grafting maleat anhidrida polipropilena. Kemudian penguatan serat selulosa dengan grafting maleat anhidrida polipropilena menghasilkan permukaan dengan ikatan kovalen. Mekanisme reaksi maleat anhidrida dengan PP dan serat ditunjukkan pada gambar 2.10
Gambar 2.10 Mekanisme Reaksi Maleat Anhidrida dengan PP
2.11 Komposit
Komposit merupakan material yang terbentuk dari kombinasi antara dua atau lebih senyawa yang berbeda. Komposit dapat dibentuk dari polimer serat dalam resin sebagai bahan pengikat. Komposit ini meliputi papan serat, papan partikel, papan insulasi, papan dengan bahan dasar semen dan lain lain. Dalam komposit, serat dibutuhkan untuk menguatkan sifat fisis dan mekanis suatu papan. Kekuatan dari suatu komposit sangat terhantung terhadap komposisi dari matriksnya yang tersebar pada seluruh permukaan (Bhatnagar, 2004).
Serbuk kayu yang digunakan sebagai bahan pengisi berasal dari serbuk hasil penggergajian, limbah pertukangan dan limbah perkebunan sehingga tidak memerlukan sumber kayu dan plastik dapat diperoleh dari hasil plastik daur ulang. Pada umumnya pembuatan papan komposit mencakup pembuatan partikel, pengelompokan ukuran partikel, pengeringan partikel, pencampuran partikel dan mutu
FI B ER OH OH + O C C CH2 C H O O C FI B ER O O C C O O CH2 C H C FI B ER O O C C O H H O O C CH2 C H
perekat, pencetakan, pengempaan, pendinginan, penghalusan dan penimpaan. Mutu papan partikel ditentukan oleh jenis kayu, rapat massa kayu, ukuran partikel, perekat dan cara pengolahan (Nasution, 2011).
2.12 Papan Komposit
Menurut Dumanauw (1990) papan komposit adalah papan buatan yang terbuat dari partikel-partikel (chips) kayu atau bahan selulosa lainnya yang diikat dengan perekat organik dengan bahan penolong lainnya dan dengan bantuan tekanan dan panas (hot press) dalam waktu tertentu.
Berdasarkan dari kerapatannya papan komposit ini ada 3 jenis:
1. Papan komposit berkerapatan rendah dengan kerapatan 0,24 – 0,40 g/cm3 2. Papan komposit berkerapatan sedang dengan kerapatan 0,40 – 0,80 g/cm3 3. Papan komposit berkerapatan tinggi dengan kerapatan 0,80 – 1,20 g/cm3
2.12.1 Sifat-sifat papan komposit
− Penyusutan dianggap tidak ada
− Keawetan terhadap jamur tinggi, karena adanya bahan pengawet − Merupakan isolasi bahan panas yang baik
− Merupakan bahan akustik yang baik
2.12.2 Penggunaan papan komposit
− Untuk perabot
− Dinding dalam rumah, dinding antara − Flafon dan lantai
2.12.3. Keuntungan papan komposit
− Papan partikel merupakan bahan konstruksi yang sangat baik − Bahan isolasi dan akustik yang baik
− Dapat menghasilkan bidang yang luas − Pengerjaan mudah dan cepat
− Tahan api
− Mudah di-finishing, dilapisi kertas dekor, dilapisi finir dan lain sebagainya
− Memiliki kestabilan dimensi
2.12.4 Mutu Papan Komposit
Menurut Sutigno (2006), mutu papan komposit meliputi cacat, ukuran, sifat fisis, sifat mekanis, dan sifat kimia. Dalam standar papan komposit yang dikeluarkan oleh beberapa negara masih mungkin terjadi perbedaan dalam hal kriteria, cara pengujian, dan persyaratannya. Walaupun demikian, secara garis besarnya sama.
a. Cacat
Pada Standar Indonesia Tahun 1983 tidak ada pembagian mutu papan komposit berdasarkan cacat, tetapi pada standar tahun 1996 ada 4 mutu penampilan papan komposit menurut cacat, yaitu :A, B, C, dan D. Cacat yang dinilai adalah partikel kasar di permukaan, noda serbuk, noda minyak, goresan, noda perekat, rusak tepi dan keropos.
b. Ukuran
Penilaian panjang, lebar, tebal dan siku terdapat pada semua standar papan komposit. Dalam hal ini, dikenal adanya toleransi yang tidak selalu sama pada setiap standar. Dalam hal toleransi telah, dibedakan untuk papan komposit yang dihaluskan kedua permukaannya, dihaluskan satu permukaannya dan tidak dihaluskan permukaannya.
c. Sifat Fisis
− Kerapatan papan komposit ditetapkan dengan cara yang sama pada semua standar, tetapi persyaratannya tidak selalu sama. Menurut Standar Indonesia Tahun 1983 persyaratannya 0,50-0,70 g/cm3, sedangkan menurut Standar Indonesia Tahun 1996 persyaratannya 0,50-0,90 g/cm3. Ada standar papan partikel yang mengelompokkan menurut kerapatannya, yaitu rendah, sedang, dan tinggi.
− Kadar air papan komposit ditetapkan dengan cara yang sama pada semua standar, yaitu metode oven (metode pengurangan berat). Walaupun persyaratan kadar air tidak selalu sama pada setiap standar, perbedaannya tidak besar (kurang dari 5%).
− Pengembangan tebal papan komposit ditetapkan setelah contoh uji direndam dalam air dingin (suhu kamar) atau setelah direndam dalam air mendidih, cara pertama dilakukan terhadap papan partikel interior dan eksterior, sedangkan cara kedua untuk papan partikel eksterior saja. Menurut Standar Indonesia Tahun 1983, untuk papan partikel eksterior, pengembangan tebal ditetapkan setelah direbus 3 jam, dan setelah direbus 3 jam kemudian dikeringkan dalam oven 100 °C sampai berat contoh uji tetap. Ada papan komposit interior yang tidak diuji pengembangan tebalnya, misalnya tipe 100 menurut Standar Indonesia Tahun 1996, sedangkan untuk tipe 150 dan tipe 200 diuji pengembangan tebalnya. Menurut standar FAO, pada saat mengukur pengembangan tebal ditetapkan pula penyerapan airnya (absorbsi).
d. Sifat Mekanis
− Keteguhan (kuat) lentur umumnya diuji pada keadaan kering meliputi modulus patah dan modulus elastisitas. Pada Standar Indonesia Tahun 1983 hanya modulus patah saja, sedangkan pada Standar Indonesia Tahun 1996 meliputi modulus patah dan modulus elastisitas. Selain itu, pada standar ini ada pengujian modulus patah pada keadaan basah, yaitu untuk papan komposit tipe 150 dan 200. Bila papan kompositnya termasuk tipe I (eksterior), pengujian modulus patah dalam keadaan basah dilakukan setelah contoh uji direndam dalam air mendidih (2 jam) kemudian dalam air dingin (suhu kamar) selama 1 jam. Untuk papan komposit tipe II (interior) pengujian modulus patah dalam
keadaan basah dilakukan setelah contoh uji direndam dalam air panas (70 °C) selama 2 jam kemudian dalam air dingin (suhu kamar) selama 1 jam.
− Keteguhan rekat internal (kuat tarik tegak lurus permukaan) umumnya diuji pada keadaan kering, seperti pada Standar Indonesia tahun 1996. Pada Standar Indonesia tahun 1983 pengujian tersebut dilakukan pada keadaan kering untuk papan komposit mutu I (eksterior) dan mutu II (interior). Pengujian pada keadaan basah, yaitu setelah direndam dalam air mendidik (2 jam) dilakukan hanya pada papan komposit mutu I saja.
− Keteguhan (kuat) pegang skrup diuji pada arah tegak lurus permukaan dan sejajar permukaan serta dilakukan pada keadaan kering saja. Menurut Standar Indonesia tahun 1996 pengujian tersebut dilakukan pada papan komposit yang tebalnya di atas 10 mm.
e. Sifat Kimia
Emisi formaldehida dapat dianggap sebagai sifat kimia dari papan komposit. Pada Standar Indonesia tahun 1983, belum disebutkan mengenai emisi formaldehida dari papan komposit. Pada Standar Indonesia tahun 1996, disebutkan bahwa bila diperlukan dapat dilakukan penggolongan berdasarkan emisi formaldehida. Pada Standar Indonesia tahun 1999 mengenai emisi formaldehida pada panel kayu terdapat pengujian dan persyaratan emisi formaldehida pada papan komposit yang dipaparkan pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 Standar mutu papan komposit
No. Macam pengujian Standar mutu
1 Kerapatan (%) Maks 14
2 Kadar air (g/cm3) 0,4 - 0,9
3 Pengembangan tebal setelah direndam air
(%) Maks 25
4 Keteguhan lentur kering (kgf/cm2) 82
5 Modulus elastisitas lentur ( 104 kgf/cm2) 2,04
6 Keteguhan tarik tegak lurus permukaan
(kgf/cm2) 1,5
7 Keteguhan cabut sekrup (kgf) 31
2.13 Divinilbenzena
Divinilbenzena (DVB) terdiri dari satu cincin benzena yang diikat dua gugus vinil. Biasanya divinilbenzena ditemukan dalam bentuk campuran dengan perbandingan 2:1 antara bentuk meta-divinilbenzena dan para-divinilbenzena, juga mengandung isomer etilvinilbenzena yang sesuai. Bila direaksikan bersama-sama dengan stirena, divinilbenzena dapat dipergunakan sebagai monomer reaktif dalam resin polyester. Stirena dan divinilbenzena bereaksi bersama-sama membentuk kopolymer stirena-divinilbenzena (S-DVB). Polimer crosslink yang dihasilkan umumnya dipergunakan sebagai penghasil resin penukar ion. Divinilbenzena terdapat dalam bentuk meta dan para yang dapat dilihat pada gambar 2.11
Gambar 2.11 Struktur molekul meta-divinilbenzena (kiri) dan para-divinilbenzena (kanan)
Adapun sifat-sifat dari divinilbenzena dijelaskan pada tabel 2.3
Tabel 2.3 Sifat – sifat divinilbenzena (DVB) Deskripsi Larutan bening Bentuk molekul C6H4 (CHCH2)2
Berat molekul 130,19 g/mol
Titik didih 195°C
Titik cair -66,9 sampai -52°C
Titik api 76°C
Kelarutan Larut dalam etanol dan eter, tidak larut dalam air