• Tidak ada hasil yang ditemukan

OPTIMASI POLYMERASE CHAIN REACTION GEN TUBULIN ISOTIPE-1 CACING Haemonchus contortus ISOLAT LOKAL INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "OPTIMASI POLYMERASE CHAIN REACTION GEN TUBULIN ISOTIPE-1 CACING Haemonchus contortus ISOLAT LOKAL INDONESIA"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

OPTIMASI

POLYMERASE CHAIN REACTION

GEN TUBULIN

ISOTIPE-1 CACING

Haemonchus contortus

ISOLAT LOKAL

INDONESIA

(Polymerase Chain Reaction Optmatization on Tubulin

β

Isotipe-1 Gene

Haemonchus contortus

Worm Indonesian Isolate)

DYAH HARYUNINGTYAS S.1,WAYAN T.ARTAMA2danWIDYA ASMARA2

1Balai Penelitian Veteriner, PO Box 151, Bogor 16114 2PAU Bioteknologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

ABSTRACT

Resistance to antelminthic especially benzimidazoles groups on Haemonchus contortus is a serious problem need to handle immediately. Studi on H. contortus showed that genetics mechanism to benzimidazoles resistance related to changed on tubulin isotipe-1 gene. The aim of this research is to get optimatization tubulin isotipe-1 gene fagment. Seven H. contortus worms were isolated from four sheep from two government farms that resistance to benzimidazole have been occurred (SPTD Trijaya, Kuningan, West Java and UPTD Pelayanan Kesehatan Hewan, Bantul, Yogyakarta) and one sheep that susceptible from Cicurug, Sukabumi, West Java. DNA was extracted from each worm and afragment of central part isotype1 -tubulin gene was amplified using 2 pairs of primer Pn1, Pn2 and Phc1,Phc2, forward and reverse respectively. The results showed that the Pn1,Pn2 primer cannot amplified tubulin isotipe-1 gene. PCR using Phc1 and Phc2 amplified 520 bp fragment from that gene. PCR was performed for 36 cycles and the program are same to all isolate. The first denaturation step at 95oC for 5 minutes (1 cycle) follow with 95oC denaturation for 2

minutes, hibridisation at 58oC for 40 second and extension 72oC for 1 minutes (36 cycle). The final extension

for 7 minutes at 72oC.

Key Words:Haemonchus Contortus, Polymerase Chain Reaction, Β Tubulin Isotipe-1 Gene ABSTRAK

Kasus resistensi terhadap antelmentika golongan benzimidazole pada H. contortus merupakan problem serius yang perlu segera ditanggulangi. Studi pada nematoda gastrointestinal ini menunjukkan bahwa mekanisme genetik terjadinya resistensi terhadap benzimidazole berhubungan dengan perubahan pada gen tubulin β isotipe-1. Penelitian ini bertujuan mencari optimasi untuk mengamplifikasi fragmen gen tubulin β isotipe-1.Tujuh sampel cacing H. contortus berasal dari 4 ekor domba dari peternakan milik pemerintah yang telah diketahui terjadi resistensi terhadap benzimidazole yaitu SPTD Trijaya, Kuningan, Jawa Barat dan UPTD Pelayanan Kesehatan Hewan, Bantul, Yogyakarta serta 1 ekor domba dari peternak di Cicurug, Bogor, Jawa Barat sebagai kontrol. Masing-masing sampel cacing tersebut selanjutnya diisolasi DNAnya dan diamplifikasi menggunakan dua pasang primer (forward dan reverse) yaitu Pn1, Pn2 dan Phc1, Phc2.Hasil penelitian menunjukkan bahwa primer Pn1 dan Pn2 tidak dapat mengamplifikasi fragmen gen tubulin β isotipe-1. Polymerase Chain Reaction dengan primer Phc1-Phc2 diperoleh hasil amplifikasi fragmen gen tersebut sebesar 520 bp dengan optimasi yang sama untuk semua isolat yaitu terdiri dari denaturasi 95oC

selama 5 menit sebanyak 1 siklus, diikuti denaturasi 95oC selama 2 menit, hibridisasi pada 58oC selama 40

detik dan annealing pada 72oC selama 1 menit sebanyak 36 siklus. Annealing terakhir pada 72oC selama 7

menit.

Kata Kunci:Haemonchus Contortus, Polymerase Chain Reaction, Tubulin Β Isotipe-1 Gen

PENDAHULUAN

Cacing Haemonchus contortus merupakan salah satu dari nematoda saluran pencernaan

yang paling sering ditemukan pada domba dan kambing di daerah tropis dan subtropis. Kerugian ekonomi yang disebabkan oleh infestasi parasit ini diatasi dengan pemberian

(2)

antelmentika secara intensif. Derivat benzimidazole merupakan antelmentika yang paling banyak digunakan tetapi resistensi terhadap antelmentika golongan tersebut saat ini merupakan masalah serius hampir di seluruh dunia (CONDOR dan CAMPBELL, 1995). Mekanisme genetik terjadinya resistensi terhadap benzimidazole berhubungan dengan perubahan pada gen tubulin β isotipe-1 yang merupakan target dari benzimidazole. Penggantian asam amino fenilalanin menjadi tirosin pada posisi 200 diduga sebagai penyebab utama terjadinya resistensi (KWA et al., 1994; KWA et al., 1995; ELARD et al., 1996). Studi mengindikasikan bahwa genom H. contortus berisi single lokus untuk gen tubulin β isotipe-1 dengan beberapa varian alel pada populasi yang peka terhadap benzimidazole. Peningkatan alel yang resisten terhadap benzimidazole selalu berhubungan dengan peningkatan frekuensi satu dari beberapa alel yang sudah ada pada populsi peka. Gen tubulin β isotipe-2, yang mewakili kelas ke-2 dari gen tubulin β pada H. contortus tidak menunjukkan adanya perubahan frekuensi alel selama seleksi tahap pertama pada kasus resistensi yang sering terjadi di lapangan (KWA et al., 1993).

Teknologi DNA memberikan pengaruh besar pada beberapa bidang parasitologi termasuk identifikasi dan sistematika parasit, diagnosis infeksi, studi epidemiologi, dan studi resistensi terhadap antelmintik (GASSER dan ZHU, 1999). Polymerase Chain Reaction pada khususnya, menyebabkan terjadinya revolusi penelitian bidang parasitologi dan diketahui mempunyai kegunaan yang luas karena sensitifitasnya dalam mengamplifikasi gen atau fragmen gen dari sejumlah kecil material parasit (MULLIS et al.,1986). Penemuan ini memberikan implikasi yang penting karena sering tidak mungkin untuk memperoleh material dalam jumlah cukup dari beberapa isolat parasit untuk analisis molekuler secara konvensional (GASSER dan ZHU, 1999). Metode deteksi antelmentika berbasis PCR ini diketahui mempunyai keuntungan dibandingkan metode klasik antara lain sangat sensitif untuk mendeteksi resistensi terhadap BZ sebelum resistensi terjadi secara mantap (<1% populasi) (SILVISTRE dan HUMBERT, 2000).

Prinsip dasar PCR terdiri dari 4 komponen utama (ERLICH, 1989) yaitu: (1) DNA templat yaitu fragmen DNA yang akan dilipatgandakan, (2) primer yaitu suatu sekuen oligonukleotida pendek (15-25 basa nukleotida) yang digunakan sebagai pemula sintesis rantai DNA, (3) deoksiribonukleotida Trifosfat (dNTP) terdiri atas dATP, dCTP, dGTP, dTPP dan (4) enzim DNA polimerase yaitu enzim yang melakukan katalis reaksi sintesis rantai DNA. Secara garis besar PCR terdiri dari tiga langkah yang dilakukan secara bersamaan (BOEHRINGER MANHEIM, 1995) yaitu: (1) denaturasi awal, yaitu pemanasan awal pada suhu 95oC untuk mendenaturasi kompleks DNA secara komplit.(2) Penempelan primer (primer annealing) pada temperatur 55-72oC, (3) Polimerisasi untai baru DNA oleh DNA polimerase, yaitu secara normal dilakukan pada temperatur 72oC (merupakan temperatur optimal Taq DNA polimerase). Jumlah siklus yang diperlukan oleh sebagian besar PCR adalah 25-40 siklus.

Tujuan penelitian ini adalah optimasi PCR untuk mengamplifikasi bagian sentral gen tubulin β isotipe-1 cacing H. contortus isolat lokal Indonesia.

MATERI DAN METODE

Koleksi cacing Haemonchus contortus

Tujuh ekor cacing H. contortus dikoleksi dari abomasum 4 ekor domba yaitu 3 ekor cacing dari 2 ekor domba berasal dari SPTD Trijaya, Kuningan, Jawa Barat masing-masing diberi kode K1, dan Kn1, Kn2 serta 4 ekor cacing dari 2 ekor domba berasal dari UPTD Pelayanan Kesehatan Hewan, Bantul, Yogyakarta masing-masing diberi kode H1,H2 dan C2. Satu ekor cacing H. contortus peka sebagai kontrol diberi kode Ccr-1, berasal domba milik peternak di Cicurug, Bogor, Jawa Barat. Domba-domba dari lokasi tersebut sebelumnya telah diuji dengan Larval Develoment Assay (LDA) dan Fecal Egg Count Reduction Test (FECRT) dan diketahui efikasi terhadap antelmentika adalah kurang dari 50%.

(3)

Isolasi DNA genom

Tujuh ekor cacing H. contortus betina yaitu K1, Kn1, Kn2 dan H1, H2 dan C2 serta CCr-1 diisolasi DNA-nya sesuai metode yang digunakan oleh ROOS et al.,(1990) serta SILVESTRE dan HUMBERT (2000) yang dimodifikasi. Masing-masing cacing betina telurnya dikeluarkan terlebih dahulu dari ovariumnya kemudian diletakkan pada tabung dan ditambah larutan ekstraksi sebanyak 50 µl yang terdiri 1 mM Tris-HCl; 0,1 mM EDTA; 10% SDA; 5 mg/ml Proteinase K, kemudian diinkubasi pada 41oC selama semalam. Jaringan cacing yang telah larut selanjutnya ditambahkan 200 µl larutan TE yang terdiri dari 10mM Tris HCl, pH8 dan 1mM EDTA. Phenol dengan volume yang sama (200 µl) ditambahkan dan diinkubasi pada shaker pada temperatur kamar selama 2 jam. Tabung disentrifugasi 13.000 rpm selama 10 menit. Supernatan dikoleksi dan segera diekstraksi dengan chloroform/isoamylalkohol (CIAA, 24 : 1). Presipitasi DNA dilakukan dengan penambahan 2,5 volume etanol absolut dan natrium asetat 3M sebanyak 10% volume kemudian diletakkan pada suhu -80oC selama 1 jam. Tabung kemudian disentrifugasi 13.000 rpm selama 10 menit, etanol abolut pada supernatan dibuang. Pelet DNA kemudian dilarutkan kembali pada 10µ larutan TE dan disimpan pada -20oC (ROOS et al., 1990, SILVESTRE dan HUMBERT, 2000). Hasil isolasi kemudian dicek dengan spektrofotometer dan dielektroforesis untuk mengetahui kemurnian dan memperkirakan jumlah DNA yang digunakan sebagai template PCR.

Polymerase chain reaction

Polymerase Chain Reaction untuk mengamplifikasi bagian sentral fragmen gen tubulin β sepanjang 773 dilaksanakan menggunakan sepasang primer spesifik

berdasar pada sekuen gen tubulin β isotipe-1 ekson 3,4,5 yaitu Pn-1 (forward) dengan sekuen 5’ ggA ACA ATg gAC TCT gTT Cg 3’ dan Pn2 (reverse) dengan sekuen 5’ ggg AAT CgA Agg CAg gTC gT 3’ cacing H. contortus yang berasal dari data pada genebank (Kode akses: X80046). Pada berbagai optimasi, tidak didapatkan hasil amplifikasi dengan primer ini. Selanjutnya digunakan primer baru yaitu Phc-1 (forward) dengan sekuen 5”AGG GAG CCG AGC TAG TTG AT 3” dan Phc-2 (reverse) dengan sekuen 5”GAG TTT CAA AGT GCG GAA GC 3” yang akan mengamplifikasi sepanjang 520 bp. Polymerase chain reaction dilakukan menggunakan kit Ready To Go PCR (Amersham Bioscience) dalam 25 µl total campuran reaksi menggunakan mesin thermal cycler (Perkin Elmer 2400). Komposisi PCR hasil optimasi tertera pada Tabel 1.

Program PCR yang digunakan adalah terdiri dari denaturasi 95oC selama 5 menit sebanyak 1 siklus, diikuti denaturasi 94oC selama 2 menit, annealing pada 56oC selama 35 detik dan ekstensi pada 72oC selama 1 menit sebanyak 33 siklus. Ekstensi terakhir pada 72oC selama 7 menit.

Visualisasi DNA hasil PCR

Hasil PCR dielektroforesis dengan menggunakan gel agarosa (Promega, analytical grade) 2% selama 20 menit, kemudian divisualisasi dengan ultraviolet transluminator.

HASIL DAN PEMBAHASAN PCR fragmen gen Beta Tubulin isotipe-1

Sepasang primer masing-masing dengan total panjang 20 basa yang mula-mula digunakan dalam mengamplifikasi fragmen gen Tubulin β isotipe-1 sepanjang 770 bp adalah berdasar pada sekuens H. contortus

Tabel 1 Komposisi PCR hasil optimasi menggunakan kit ready to go PCR (Amersham Bioscience) Komponen PCR Volume (µl) Konsentrasi akhir ddH20 19

Primer (Phc1) 25 pmol 2 50 pmol

Primer (Phc2) 25 pmol 2 50 pmol

(4)

pada gene bank yaitu Pn1 (forward) dengan sekuen 5’ ggA ACA ATg gAC TCT gTT Cg 3’ dan Pn2 (reverse) dengan sekuen 5’ ggg AAT CgA Agg CAg gTC gT 3’) (SILVESTRE dan HUMBERT, 2000). Dengan berbagai kondisi optimasi, ketujuh sampel dari 3 lokasi tersebut tidak dapat teramplifikasi oleh primer tesebut. Oleh karena itu dicoba untuk menyusun primer baru pada posisi yang lebih dalam dari primer yang terdahulu dengan menggunakan software Primer.3 online dari internet

(Http://www_genome.wi.mit.edu/genome-software/other/primer3.html). Primer ini akan

mengamplifikasi fragment gen tubulin β isotipe-1 sepanjang 520 bp yaitu Phc-1 (forward) dengan sekuen 5”Agg gAg CCg AgC Tag TTg AT 3”) dan Phc-2 (reverse) dengan sekuen 5” gAg TTT CAA AgT gCg gAA gC 3”).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan susunan primer baru tersebut, fragmen gen tubulin isotipe-1 dari ketujuh sampel (Kn1,Kn2, K1, H1,H2, C2 dan CCR-1) dari ketiga lokasi tersebut dapat teramplifikasi sepanjang 520 bp. Adapun lokasi penempelan primernya tertera pada Gambar 1.

Gambar 1. Skema gen tubulin β isotipe-1 ekson 3,4,5 dan lokasi penempelan primer Pn1 dan Pn2 serta Phc1 dan Phc2.

Gambar 2. Hasil elektroforesis produk PCR dengan primer Phc1 dan Phc2

DNA diisolasi dari cacing H. contortus domba yang berasal dari: SPTD Trijaya, Kuningan, Jawa Barat yaitu: Kn1 pita no 1, Kn2 pita no 2, K1 pita no 3

UPTD Pelayanan Kesehatan Hewan, Bantul, Yogyakarta yaitu: H1 pita no 4, H2 pita no 5, C2 pita no 6 Cicurug, Sukabumi yaitu: Ccr-1 pita no 7 sebagai kontrol M merupakan DNA marker ladder 100 bp

3000 bp 500 bp M 1 2 3 4 5 6 7 1 91 203 Pn1 Phc1 Phc2 Pn2 720 864 1141

(5)

Hasil optimasi PCR yang digunakan adalah sama untuk semua isolat yaitu terdiri dari denaturasi 95oC selama 5 menit sebanyak 1 siklus, diikuti denaturasi 95oC selama 2 menit, hibridisasi pada 58oC selama 40 detik dan annealing pada 72oC selama 1 menit sebanyak 36 siklus. Annealing terakhir pada 72oC selama 7 menit.

Kegagalan amplifikasi menggunakan sepasang primer pertama yaitu Pn1 dan Pn2 kemungkinan besar dikarenakan adanya mutasi baik delesi, insersi atau penggantian basa pada daerah tempat penempelan primer tersebut yaitu pada asam amino ke-91 dan 864. Mutasi yang terjadi sebagai penyebab kegagalan amplifikasi terutama terjadi pada ujung 3’. Mutasi yang terjadi pada ujung 5’ ada kemungkinan terjadi amplifikasi tetapi tidak sempurna (smear). Ketidaksesuaian sekuen ini menyebabkan tidak terjadinya annealing sehingga pada berbagai optimasi PCR yang digunakan tidak menghasilkan suatu fragmen hasil amplifikasi. Hal ini didukung oleh kondisi dimana pada saat primer diganti dengan susunan yang baru optimasi segera diperoleh.

KESIMPULAN

Primer Phc1 5”Agg gAg CCg AgC Tag TTg AT 3”) dan Phc2 5” gAg TTT CAA AgT gCg gAA gC 3”) dapat mengamplifikasi dengan baik bagian sentral fragmen gen-β tubulin isotipe-1 sepanjang 520bp yang selanjutnya dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian lebih lanjut pada gen ini.

DAFTAR PUSTAKA

BOEHRIENGER MANHEIM 1995. Application Manual.

Boehringer Manheim GmbH Biochemical Germany.

CONDOR, G.A. and W.C. CAMPBELL 1995. Chemotherapy of nematode infections of veterinary importance, with special reference to drug resistance. Advance in Parasitol. 35: 1–84.

ELARD,L.,A.M.COMES andJ.F.HUMBERT. 1996.

Sequences of β tubulin cDNA from benzimidazole-susceptible and resistant strains of Teladorsagia circumcincta, a nematode parasite of small ruminants. Mol. Biochem. Parasitol. 79: 249–253.

ERLICH,H.A. 1989. PCR Technology: Principles and

Applications for DNA Amplification. Macmillan Publishers Ltd, England.

GASSER,R.B. and X.Q.ZHU. 1999. Sequence-based analysis of DNA fragments by mutation detection techniques. Parasitol. Today 15: 427–468.

KWA,M.S.,F.N.J.KOOYMAN,J.H.BOORSEMA, dan M.H. ROOS 1993. Effect of selection for

benzimidazole resistance in Haemonchus contortus in β tubulin isotype-1 and 2 genes. Biochem. Biophys. Res. Commun. 191: 413– 419.

KWA,M.S.G.,J.G.VEENSTRA and M.H.ROOS. 1994. Benzimidazole resistance in Haemonchus contortus is correlated with a conserved mutation at amino acid 200 in β tubulin isotype-1. Mol. Biochem. Parasitol. 63: 299– 303.

KWA,M.S.G.,J.G.VEENSTRA,M.D.DIJK and M.H. ROOS. 1995. β-Tubulin genes from the

parasitic nematode Haemonchus contortus modulate drug resistance in Chaenorhaditis elegance. J. Mol. Biol. 246: 500–510. MULLIS,K.B.,F.FALOONA,S.SCHARF,R.SAIKI,G.

HORN and H.ERLICH 1986. Spesific enzymatic amplification of DNA invitro: the polymerase chain reaction, 51, Cold Spring Harbor Symp. Quantit Biol. pp. 263–273.

ROOS,M.H.,J.H.,BOERSEMA,F.H.M.BORGSTEEDE, J. CORNELLISEN, M. TAYLOR and E.J.

RUITENBERG. 1990. Molecular analysis of selection for benzimidazole resistance in the sheep parasite Haemonchus contortus, Mol. Biochem. Parasitol. 43: 77–88.

SILVISTRE,A. and J.F.HUMBERT.2000. A molecular tool for species identification and benzimidazole resistance diagnosis in larval communities of small ruminant parasites. Exp. Parasitol. 95: 271–276.

Gambar

Tabel 1 Komposisi PCR hasil optimasi menggunakan kit ready to go PCR (Amersham Bioscience)
Gambar 2. Hasil elektroforesis produk PCR dengan primer Phc1 dan Phc2

Referensi

Dokumen terkait

Pola saluran pemasaran pada prinsipnya adalah aliran barang dari produsen ke konsumen. Aliran barang ini dapat terjadi karena adanya peranan lembaga pemasaran. Peranan

Yang jelas, dari hasil penilaian independen, dampak dari transaksi ini adalah menyusutnya aset perseroan dari Rp 5,5 triliun menjadi Rp 4,6 triliun pada periode hingga April

Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flow chart dan sejenisnya. Dengan

Pembangunan jalan alternatif kota Idi bertujuan untuk menghindari masalah kemacetan di sekitar kota idi, pembangunan jalan tersebut telah dimulai sejak tahun 2010 dengan

Penyesuaian kebijakan akan keikusertraanya indonesia dalam WTO, salah satu yang penting dan terkait erat dengan sektor pertanian adalah langkah pemerintah dalam

Berdasarkan hasil pada tabel 4.32 diketahui bahwa seluruh item-item pertanyaan yang digunakan sebagai instrument untuk mengukur kinerja karyawan memiliki nilai

menyesuaikan dengan adaptasi kurikulum 2013 terlebih lagi penguasaan di bidang IT nya, sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran yang efektif dan efisien. Bagi Peneliti

Hasil penelitian melihat bahwa opini masyarakat terkait pemanfaatan spot foto MERCI BARN adalah spot foto MERCI BARN merupakan tempat yang memiliki ketertarikan bagi para