• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevan 1. Penelitian dengan judul “Kritik Sosial Atas Penyalahgunaan Kekuasaan dalam - BAB II GURUH SUGITO PUTRA PBSI'15

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian yang Relevan 1. Penelitian dengan judul “Kritik Sosial Atas Penyalahgunaan Kekuasaan dalam - BAB II GURUH SUGITO PUTRA PBSI'15"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Penelitian yang Relevan

1. Penelitian dengan judul “Kritik Sosial Atas Penyalahgunaan Kekuasaan dalam

Kumpulan Puisi Humor Ki Ageng Miskin Karya Mustofa W. Hasyim oleh Shoni Asmoro

Penelitian yang dilakukan oleh Shoni Asmoro (2004) dengan judul “Kritik

Sosial dalam Kumpulan Puisi Humor Ki Ageng Miskin Karya Mustofa W. Hasyim”

menggunakan teori sosiologi sastra yang menfokuskan pada kumpulan puisi humor

Ki Ageng Miskin karya Mustofa W. Hasyim. Shoni Asmoro membahas tentang penyalahgunaan kekuasaan dan bertujuan untuk mengetahui apakah sastra dalam fungsi sosialnya dapat menjadi cermin kehidupan masyarakat dengan cara

mendeskripsikan kandungan kritik sosial yang terdapat dalam kumpulan puisi tersebut. Hasil dari penelitian tersebut adalah kandungan isi puisi yang berupa kritik

sosial dan fakta tentang fenomena sosial mengenai bentuk-bentuk penyalahgunaan kekuasaan.

Dalam penelitian ini, tentunya memiliki perbedaan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Shoni Asmoro. Perbedaan tersebut terletak pada objek dan sumber

data yang diambil atau dipilih sebagai bahan untuk diteliti lebih lanjut dengan

menggunakan teori sosiologi sastra. Objek penelitian yang diambil oleh Shoni

Asmoro adalah kritik sosial atas penyalahgunaan kekuasaan dalam Kumpulan Puisi

Humor Ki Ageng Miskin karya Mustofa W. Hasyim dan sumber data penelitian

Shoni Asmoro adalah Kumpulan Puisi Humor Ki Ageng Miskin karya Mustofa W.

(2)

lirik-lirik lagu Rhoma Irama dan sumber data penelitian adalah lirik-lirik lagu Rhoma

Irama. Kelebihan dari penelitian ini dapat dijadikan bahan referensi bahwa lirik lagu

yang diciptakan pengarang tidak hanya untuk dinikmati pada umumnya, akan tetapi

juga dapat memberikan gambaran tentang kenyataan sosial yang terdapat pada lirik

lagu dan penelitian ini dapat membangun semangat peneliti lain untuk menganalisis

lirik-lirik lagu yang diciptakan pengarang-pengarang lainnya.

2. Penelitian dengan judul “Kritik Sosial pada Lirik-lirik Lagu Punk dalam AlumPredator Karya Band Marjinal Kajian Sosiologi Sastra oleh Mufatikhun Nizam

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Mufatikhun Nizam (2009) yang berjudul “Kritik Sosial pada Lirik Lagu Punk Dalam Album Predator Karya Band Marjinal Kajian Sosiologi Sastra” menggunakan teori sosiologi sastra, yang

(3)

Perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh Mufatikhun Nizam dengan penelitian ini terdapat pada objek dan sumber data penelitian yang dikaji menggunakan teori sosiologi sastra. Penelitian yang dilakukan Mufatikhul Nizam

mengambil objek berupa kritik sosial pada lirik lagu punk dalam album predator karya band Marjinal dan sumber data yaitu lirik lagu punk dalam album predator

karya band Marjinal. Penelitian ini mengambil objek yaitu kritik sosial pada lirik-lirik lagu Rhoma Irama dan sumber data berupa lirik-lirik-lirik-lirik lagu Rhoma Irama. Kelebihan dari pada penelitian ini dibandingkan dengan penelitian Mufatikhun

Nizam yaitu membuktikan bahwa lirik lagu bernuansa dangdut, seperti yang diciptakan Rhoma Irama, mengandung nilai kritik sosial yang dapat diteliti sesuai

dengan teori yang mengemukakan tentang teori-teori sosial, tidak hanya untuk dinikmati dan didengarkan saja.

3. Penelitian dengan judul “Realitas Objektif dan Kritik Sosial dalam Novel

Kawin Kontrak Karya Saifur Rohman oleh Erwin Yulianti

Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Erwin Yulianti (2004) yang

berjudul “Realitas Objektif dan Kritik Sosial dalam Novel Kawin Kontrak Karya

Saifur Rohman” juga menggunakan teori sosiologi sastra. Penelitian tersebut

mendeskripsikan dan menganalisis realitas objektif dan kritik sosial yang ada dalam

novel “Kawin Kontrak”, kemudian mengkaitkannya dengan teks untuk mengetahui

strukturnya. Penelitian yang dilakukan Erwin Yulianti menggunakan metode

kualitatif dengan pendekatan sosiologi sastra. Masalah-masalah yang terkandung

(4)

novel “Kawin Kontrak”, dan (3) pengaruh latar belakang kehidupan pengarang

dalam proses penciptaan novel “Kawin Kontrak”. Hasil dari penelitian yang

dilakukan oleh Erwin Yulianti yaitu, 1) Realitas objektif dalam novel Kawin Kontrak

karya Saifur Rohman ditunjukan melalui tema-tema dan peristiwa di dalam novel

yang merupakan perwujudan dari gambaran atau fenomena sosial yang terjadi dalam

masyarakat, 2) Kritik sosial dalam novel Kawin Kontrak karya Saifur Rohman

ditujukan kepada pemerintah, hukum, masyarakat, dan pejabat yang asusila.

Perwujudannya adalah melalui pelanggaran dan perampasan HAM, ketidakadilan

hukum, hubungan masyarakat yang tidak stabil, dan rakusnya sistem kekuasaan.

Penelitian yang dilakukan oleh Erwin Yulianti memiliki perbedaan dengan

penelitian ini. Perbedaan tersebut terletak pada objek dan sumber data penelitian.

Objek penelitian Erwin Yulianti yaitu realitas objektif dan kritik sosial dalam novel

Kawin Kontrak karya Saifur Rohman, sedangkan sumber data penelitian tersebut

berupa novel Kawin Kontrak karya Saifur Rohman. Kelebihan dari penelitian ini

terfokus pada dua pokok rumusan masalah yang keduanya saling berkaitan.

Penelitian ini juga memberikan pengetahuan tentang kritik sosial yang dilakukan

pada sebuah lirik lagu, serta penelitian ini lebih membutuhkan ketelitian yang baik

untuk memilih dan menemukan adanya kritik sosial yang terdapat pada lirik lagu.

Jika tidak, maka yang akan terjadi adalah penelitian akan rancu atau tidak sesuai

dengan yang diharapkan oleh peneliti. Jadi, antara latar belakang masalah, teori yang

digunakan, dan hasil penelitian harus seimbang, sehingga penelitian yang dilakukan

(5)

B.Landasan Teoretis

1. Pengertian Lirik Lagu

Menurut Teeuw (dalam Noor, 2010: 25) lirik adalah ungkapan ide atau perasaan pengarang. Dalam hal ini yang berbicara adalah “aku” lirik, yang biasa

disebut penyair. Lirik inilah yang sekarang dikenal sebagai puisi atau sajak, yakni karya sastra yang berisi ekspresi (curahan) pribadi yang lebih mengutamakan cara mengekspresikannya. Lirik sifatnya subjektif, karena hanya mengemukakan dunia penyair. Demikian juga yang didefinisikan oleh Moeliono Ed., (2007: 678) lirik adalah karya sastra (puisi) yang berisi curahan perasaan pribadi; susunan kata sebuah nyanyian. Jadi dapat ditarik simpulan bahwa lirik merupakan suatu ungkapan atau ide dari pengarang atau penyair yang sekarang lebih dikenal dengan puisi atau sajak. Akan tetapi, lirik disini adalah lirik yang berhubungan dengan lagu. Sebelum menuju pada definisi lirik lagu, lebih baik jika kita ketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan lagu.

(6)

dinikmati oleh pendengar. Lagu dapat berupa curahan perasaan senang, sedih, emosi, dan sebagainya.

Sehubungan dengan itu, diketahui bahwa lirik lagu merupakan elemen

penting dalam komposisi musik, sebagai sarana untuk menyampaikan makna dan

pesan kepada pendengar (khalayak). Lirik lagu dalam musik yang sebagaimana bahasa,

dapat menjadi sarana atau media komunikasi untuk mencerminkan realitas sosial yang

beredar dalam masyarakat. Lirik lagu dapat pula sebagai sarana untuk sosialisasi dan

pelestarian terhadap suatu sikap atau nilai. Oleh karena itu, ketika sebuah lirik lagu

diaransir dan diperdengarkan kepada khalayak juga mempunyai tanggung jawab yang

besar atas tersebar luasnya sebuah keyakinan, nilai-nilai, bahkan prasangka tertentu

(Lestiana, 2012: 2-3). Sebuah lagu yang menggabungkan lirik dan musik yang harmonis berpotensi menyentuh nalar dan emosi manusia dalam memahami makna

lagu.

Lirik itu sendiri terbangun dari bahasa yang serupa puisi sebab tersusun dari

beberapa bait yang berisi gagasan dan perasaan yang ingin disampaikan penciptanya. Bahasa yang digunakan dalam aktualisasi sebuah karya sastra sarat akan ide dan

pengalaman manusia, sehingga dapat dikatakan kemunculan dan perkembangan bahasa di dalam sebuah karya sastra merupakan suatu pertanda kemunculan budaya baru. Demikian pula „bahasa‟ di dalam sebuah lirik lagu, yang berpretensi menarik

perhatian pendengarnya melalui pesan dan ide. Lirik berbaris prosa merupakan sarana ekspresi seseorang dari alam batinnya. Sebuah perwujudan ekspresi pengarang

(7)

2. Pengertian Puisi

Pada dasarnya hakikat puisi adalah konsentrasi dan intensifikasi. Puisi

dibangun dari unsur-unsur tertentu yang selalu dipergunakan oleh penyair dengan

sadar atau tidak. Dapat atau tidak struktur yang dibangun itu mengantarkan tema atau

amanat mempunyai syarat-syarat tertentu pula untuk dapat kesan kepada pembaca

atau pendengar. Dan, kesan keindahan ini ditentukan oleh dapat atau tidaknya

struktur dan tema atau amanat itu bahu-mambahu membangun kesan tersebut

(Suyitno, 2009: 29-30). Maksudnya, puisi mempunyai unsur, syarat, dan kesan, dan

bagaimanakah seorang penyair dapat menyampaikan kesemuanya itu kepada

pembaca atau pendengar, sehingga dapat tersampaikan dengan baik. Menurut

Nurhadi dkk., (2004: 20) puisi merupakan ungkapan pikiran dan perasaan hasil

perenungan atau refleksi penulis. Pengungkapan perasaan tersebut menggunakan

bahasa yang indah dan padat. Keindahan bahasa mencakup kemerduan bunyinya,

ketetapan pemilihan katanya, dan keserasian susunan larik serta baitnya.

Menurut Kurniawan (2012a: 25) puisi adalah ungkapan perasaan atau

ekspresi perasaan yang dituliskan dengan bahasa yang indah. Perrine dalam

Siswantoro (2010: 23) menyatakan bahwa puisi dapat didefinisikan sebagai sejenis

yang mengatakan lebih banyak dan lebih intensif dari pada apa yang dikatakan oleh

bahasa harian. Sedangkan Noor (2010: 25) menyatakan bahwa secara konvensional

puisi biasa diartikan sebagai tuturan yang terikat (terikat oleh baris, bait, rima, dan

sebagainya). Beberapa ahli sastra berbeda pendapat mengenai pengertian puisi, tetapi

(8)

imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan panca indra, sususan kata-kata kiasan,

kepadatan, dan sebagainya.

Selain itu, puisi juga mempunyai karekteristik, sebagaimana yang

diungkapkan oleh Kurniawan (2012a: 26-39) pengertian puisi memang harus berpijak

dari pemahaman sendiri tentng puisi, tetapi memahami ciri dan karakter puisi penting

untuk dilakukan sebagai dasar untuk menulis puisi. Karakter ini berkaitan dengan ciri

puisi secara universal, yang pastinya dimiliki baik secara keseluruhan maupun

bagian, untuk karya yang disebut puisi. Karena bersifat universal maka pemahaman

karakter puisi ini selalu diolah dan dimodifikasi oleh penulisnya sendiri untuk

menghasilkan aspek estetis yang indah. Oleh karena itu, pemahaman awal tentang

karakter puisi menjadi syarat utama sebelum menulis puisi. Syarat tersebut antara

lain sebagai berikut:

a. Diksi

Diksi adalah pilihan kata. Media pengungkapan puisi sebagai pengalaman

estetis kita adalah dengan kata-kata. Memilih, memilah, dan menentukan kata yang

akan digunakan untuk mengungkapkan perasaan adalah diksi. Dalam memilih,

memilah, dan menentukan diksi harus secara selaktif dan cermat. Pemilihan diksi

yang baik sangat menentukan keindahan dan baik buruknya suatu karya sastra

(puisi). Diksi atau pilihan yang digunakan dalam sebuah karya sastra tentu berbeda

dengan kata-kata yang biasa digunakan dalam bahasa sehari-hari. Kata atau diksi

yang digunakan dalam karya sastra memiliki kelebihan, baik arti maupun makna

(9)

b. Kalimat

Untuk aspek diksi, yang bisa diidentifikasi adalah ketidakbiasaan diksi yang

digunakan dalam bahasa puisi. Namun, ketidakfamiliaran diksi ini terlihat dari aspek sintaksisnya, baik dalm frasa maupun klausa. Ciri khas dari aspek kalimat puisi adalah ritmik-semantik, yaitu kalimat dalam puisi selalu menekankan pada aspek

-ritmik (bunyi) dan semantik (makna). Karena penekanan dua aspek ini maka kalimat dalam puisi biasanya tidak logis dan tidak sistematis sebagaimana dalam kalimat

pada bahasa sehari-hari dan formal. Dalam tradisi formalisme inilah yang disebut bahwa kalimat dalam puisi bersifat defamiliar (tidak akrab) sebagaimana bahasa sehari-hari (Kurniawan, 2012a: 31).

c. Tipografi

Tipografi ini berkaitan dengan bentuk penulisan puisi yang menyangkut

pembaitan-enjambemen, penggunaan huruf dan tanda baca, serta bentuk bait. Harus

diakui, secara konvensional, yang membedakan puisi dan prosa sebagai genre sastra

adalah pada aspek tipografi, yaitu puisi dalam bentuk bait, sedangkan prosa dalam

bentuk narasi. Dengan demikian, penyiasatan penulisan tipografi menjadi penting

sebagai media atau cara untuk mengungkapkan makna. Dasar pemikiran penggalan

kalimat atau ungkapan yang perlu dilakukan adalah atas dasar makna yang ingin

disampaikannya, yang bisa jadi menurut pembacanya tidak diindahkan, karena tidak

berpikir sampai sejauh itu. Namun, bagi penyair, hal itu juga penting sebagai media

untuk mengekspresikan diri. Sebagai cara untuk mengreasikan puisi agar lebih estetis

(10)

Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa puisi

merupakan curahan atau ungkapan perasaan seseorang yang dituangkan dalam

bentuk tulisan. Curahan tersebut dapat berupa emosi, imanjinasi, pemikiran, dan

lain-lain, terikat oleh unsur-unsur yang membentukanya (baris, bait, irama, rima, dan

sebagainya). Bahasa yang dipakai berbeda dengan pemakaian bahasa sehari-sehari.

Beberapa unsur tersebut sangat menentukan keindahan suatu puisi yang diciptakan

dan dibaca oleh pembaca. Suatu puisi juga akan bermakna dan mempunyai kesan

apik ketika puisi yang dibuat atau diciptakan sudah memenuhi unsur-unsur yang

tertera di atas.

3. Hubungan Lirik Lagu dengan Puisi

Keterkaitan antara lirik lagu dengan puisi tidaklah lepas dari definisi lirik lagu

dan puisi. Seperti yang telah dipaparkan di atas, telah kita ketahui bahwa lirik

merupakan suatu ungkapan atau ide dari pengarang atau penyair yang sekarang lebih

dikenal dengan puisi atau sajak. Sedangkan puisi itu sendiri merupakan curahan atau

ungkapan perasaan seseorang yang dituangkan dalam bentuk tulisan, curahan

tersebut dapat berupa emosi, imanjinasi, pemikiran, dan lain-lain, terikat oleh

unsur-unsur yang membentukanya (baris, bait, irama, rima, dan sebagainya), dan bahasa

yang dipakai berbeda dengan pemakaian bahasa sehari-sehari. Lirik bersifat subjektif,

karena hanya mengemukakan dunia penyair dan berisi ekspresi (curahan) perasaan

pribadi yang lebih mengutamakan cara mengekspresikannya. Begitu juga dengan

puisi, ia (puisi) juga merupakan ekspresi yang kreatif (menciptakan curahan jiwa)

(11)

struktur norma-norma. Mengolah bahasa dalam berpuisi adalah semacam mengolah

bahasa sehingga bahasa itu bersih dari pengertian-pengertian yang terdapat dalam

fungsi linguistik sehari-hari. Hal tersebut mengandung pengertian bahwa bahasa yang

diangkat kedalam puisi adalah bahasa lain dibanding bahasa yang terdapat dalam

pola komunikasi sehari-hari. Dalam sebuah lirik lagu, bahasa yang digunakan tidak

jauh berbeda dengan bahasa puisi. Bahasa pada lirik lagu memiliki kaidah-kaidah

puisi yaitu terdapat unsur emotif melalui bunyi dan kata. Selain itu sebagaimana

penulisan puisi, penulisan lirik lagu juga bersifat ringkas dan padat.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa lirik lagu pada intinya sama dengan puisi. Pada dasarnya keduanya mempunyai ciri yang sama yaitu keduanya terdapat struktur bentuk dan makna. Lirik lagu terbentuk dari bahasa yang dihasilkan dari komunikasi antara pencipta lagu (pengarang/penyair) dengan masyarakat penikmat lagu. Sebagai wacana tulis, karena disampaikan dengan media tulis dalam sampul albumnya, dapat juga sebagai wacana lisan melalui kaset. Selain struktur bentuk dan makna, lirik lagu dan puisi juga memiliki persamaan yang lain, yaitu unsur bunyi yang merupakan hasil penataan kata dalam struktur kalimat, rima atau bunyi yang sama dan diulang, baik dalam satuan kalimat maupun pada kalimat-kalimat berikutnya yang disebut asonansi. Asonansi atau keruntutan vokal yang ditandai oleh persamaan bunyi pada satu kalimat akan menghasilkan sebuah irama.

4. Sosiologi Sastra

(12)

mempunyai dua akar kata: socius (dari bahasa Latin) yang berarti “teman” dan logos (dari bahasa Yunani) yang berarti “ilmu tantang”. Secara harfiyah sosiologi berarti

“ilmu tentang pertemanan”. Dari sudut pandang ini, sosiologi bisa didefinisikan

sebagai “studi tentang dasar-dasar keanggotaan sosial (masyarakat)”. Secara lebih

jelasnya, sosiologi adalah analisis mengenai mengenai struktur hubungan sosial yang terbentuk melalui interaksi sosial (Abercrombie dalam Kurniawan, 2010b: 4). Sosiologi merupakan telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat; telaah tentang lembaga dan proses sosial. Sosiologi mencoba mencari tahu bagaimana mayarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada (Damono, 2002: 8). Menurut Kurniawan (2012b: 4) menjelaskan definisi sosiologi sastra sebagai berikut:

Sosiologi adalah analisis sistematis tentang struktur tingkah laku sosial. Dalam definisi ini, terdapat empat elemen penting yang menjadi fokus sosiologi: (1) tingkah laku yang dikaji adalah karakter sosial, bukan individual, tingkah laku yang ditujukan untuk orang lain (bukan untuk dirinya sendiri) sehingga mempunyai konsekuensi bagi orang lain, atau merupakan konsekuensi dari tingkah laku orang lain ada hubungan timbal balik; (2) tingkah laku sosial yang dipelajari sosiologi adalah struktur, yaitu pola atau regulasi tertentu yang berusaha untuk memahami elemen-elemen tingkah laku sosial; (3) penjelasan sosiologi bersifat analitis, yaitu menjelaskan tingkah laku manusia berdasarkan prinsip-prinsip metodologi penelitian tertentu, bukan berdasarkan pada konsensus-konsensus khusus; dan (4) sosiologi bersifat sistematis, yaitu memahami tingkah laku sosial yang menempatkan dirinya sebagai disiplin ilmu.

Sebagai sebuah usaha pemahaman yang objektif-empiris, sosiologi

sebenarnya mempelajari manusia sebagaimana yang ditemukan dan dialami secara

langsung dalam kenyataan keseharian kehidupan (Faruk, 2010: 17). Kesemuanya itu

dapat disimpulkan bahwa sosiologi merupakan kajian tentang kemasyarakatan atau

(13)

masyarakat itu sendiri, baik dari segi politik, ekonomi, budaya, agama maupun yang

lainnya, dan sosiologi juga dapat dijadikan sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri.

Kemudian sastra, sebenarnya antara sosiologi dengan sastra sama-sama berurusan

dengan manusia atau masyarakat, dan sastra itu lahir dari masyarakat itu sendiri,

untuk dipahami, dinikmati, dan dimanfaatkan pula oleh masyarakat. Sastrawan itu

sendiri adalah anggota masyarakat yang terikat oleh status sosial tertentu. Menurut

Kurniawan (2012b: 1) sastra merupakan cabang seni, yaitu hasil cipta dan ekspresi

manusia yang estetis (indah). Sedangkan menurut Damono (2002: 9) seperti halnya

sosiologi, sastra berurusan dengan manusia dalam masyarakat: usaha manusia untuk

menyesuaikan diri dan usaha untuk merubah masyarakat itu.

(14)

Pada prinsipnya, sosiosastra (sosiologi sastra) merupakan sebuah pendekatan

terhadap dunia sastra yang memanfaatkan sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu

yang berkembang sejak abad ke-19 (Yudiono, 2009: 58). Dengan demikian, objek

kajian utama sosiologi sastra adalah sastra yang berupa karya sastra, sedangkan

sosiologi berguna untuk memahami gejala sosial yang ada dalam sastra, baik penulis,

fakta sastra, maupun pembaca dalam relasi dialektiknya dengan kondisi masyarakat

yang menghidupi penulis, masyarakat yang digambarkan, dan pembaca sebagai

individu kolektif yang menghidupi masyarakat. Jadi, pendekatan sosiologi sastra

merupakan pendekatan yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan yang

masing-masing didasarkan pada sikap dan pandangan teoretis tertentu.

5. Kritik Sosial dalam Karya Sastra

Proses yang dilakukan oleh pengarang dalam menciptakan karyanya,

pengarang pasti mempunyai tujuan yang dilakukan dengan cara menyelipkan

pesan-pesan yang terkandung dalam karya tersebut. Pesan-pesan-pesan tersebut dapat berupa

pesan moral, pesan sosial, dan lain-lain, yang hendak disampaikan pada pembaca.

Untuk menyelipkan pesan tersebut, pengarang dapat menggunakan cara, yaitu dengan

menghadirkan kritik sosial dalam karyanya. Kritik sosial yang ada pada sebuah karya

sastra menjadi peran yang penting ketika didalam melahirkan karya sastra pengarang

mencoba untuk mancapai sebuah tujuan atau misi. Pengarang mampu menyampaikan

amanat atau pesan tersebut dengan baik, jikalau bahasa dan daya pikir yang kuat

(15)

Upaya yang dilakukan oleh seorang pengarang untuk memberikan suatu tanggapan terhadap permasalahan-permasalahan yang ia lihat dalam masyarakat itulah yang akan membentuk suatu kritik sosial dalam masyarakat. Proses pemberian

tanggapan tersebut disertai dengan adanya pertimbangan dan pemikiran oleh pengarang. Dari yang kita pahami bahwa kegiatan mengkritik berarti memberikan

pertimbangan dan penilaian baik buruknya suatu karya sastra, baik dari segi struktur karya sastra, pemakaian bahasa, maupun pesan-pesan yang terkandung dalam karya sastra tersebut. Sedangkan sosial itu sendiri adalah hubungan antar masyarakat (baik

proses sosial, pertumbuhan masyarakat, maupun pribadi masyarakat itu sendiri), dan kaitannya dengan itu, sosial masyarakat dapat menyangkut berbagai bidang, yaitu

ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya. Kritik sosial berarti memberikan tanggapan atau penilaian terhadap masyarakat tersebut. Akan tetapi, kritik sosial

disini dilakukan terhadap karya sastra. Jadi, bagaimanakah kehidupan sosial yang terkandung di dalam sebuah karya sastra, yang nantinya akan dilakukan kritikan atau pertimbangan atau penilaian.

Karya sastra sebagai karya seni memerlukan pertimbangan, memerlukan penilaian akan “seninya”. Sampai sejauh mana nilai seni suatu karya sastra; ataupun

mengapa suatu karya sastra dikatakan mempunyai nilai seni; atau dengan kata lain mengapa suatu karya sastra ini “indah”, sedang karya sastra yang lain tidak (Pradopo,

2007: 30). Dari pendapat tersebut, kita tahu bahwa betapa pentingnya suatu

pertimbangan atau penilaian yang harus dilakukan terhadap karya sastra. Kritik sosial dalam karya sastra merupakan kritik yang dilakukan terhadap karya sastra (hasil

(16)

berlaku. Seperti halnya yang diungkapkan Pradopo (2007: 62) untuk dapat menilai karya sastra haruslah diketahui norma-norma karya sastra. Sebab itu, tidak dapat kita meninggalkan pekerjaan mengurai atau menganalisis karya sastra.

Setelah itu, kita hubungkan dengan penilaian kepada tiap-tiap lapis norma karya sastra dan kita kumpulkan kembali, yaitu memberi nilai secara keseluruhan

kepada karya sastra itu berdasarkan nilai-nilai yang terdapat pada lapis-lapis norma itu yang berkaitan secara erat. Berbicara masalah sosial dan sastra, berarti sama saja berbicara tentang kebuyaaan. Pasalnya, sastra merupakan bagian dari kebudayaan.

Sastra itu sendiri adalah pencerminan masyarakat yang memiliki hubungan dengan kebudayaan yang amatlah erat. Seperti yang dinyatakan Noor (2010: 61) bahwa

hubungan karya sastra dengan sistem sosial budaya sangat erat. Sebagian dari budaya, karya sastra mempunyai kaitan dengan segi budaya lain, seperti bahasa,

agama, kesenian, sistem sosial yang meliputi sistem nilai dalam masyarakat, tradisi, pola pikir, dan sebagainya.

Hal itu terlihat jelas jika memperhatikan fungsi sosial sastra dalam

hubungannya dengan sistem sosial budaya. Raymond Williams dalam Susanto (2012: 185) mengembangkan bentuk-bentuk kritik sosial yang bersifat radikal terhadap

berbagai bidang, seperti kekuasaan, politik, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Bentuk kritik sosial tersebut merupakan suatu tanggapan atau penilaian baik atau buruknya fenomena-fenomena yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Dalam kehidupan

sosial terdapat ilmu masyarakat atau ilmu kemasyarakat yang mempelajari manusia sebagai golongan atau anggota masyarakat (tidak sebagai individu yang terlepas dari

(17)

Jadi, berdasarkan beberapa pendapat di atas, kritik sosial dalam karya sastra tidak lain menilai karya sastra dari segi sosial. Di dalamnya menyangkut sastra, masyarakat, dan kebudayaan. Karena, antara sastra, masyarakat, dan kebudayaan

merupakan suatu jalinan yang kuat, antara yang satu dengan yang lainnya saling berpengaruh, membutuhkan, dan saling menentukan dalam pertumbuhan dan

perkembangannya. Dalam hal ini, bentuk kritik sosial dalam karya sastra itu sendiri juga dapat berupa kritik terhadap politik dan pemerintahan, perilaku masyarakat, pelanggaran HAM, modernisasi atau budaya, dan sebagainya, yang terdapat dalam

sebuah karya sastra. Berikut penjelasan mengenai ragam kritik sosial dalam karya sastra.

a. Kritik Sosial terhadap Persoalan Pemerintah

Dalam arti luas, pemerintah adalah segala bentuk kegiatan atau aktifitas penyelenggaraan negara yang dilakukan oleh organ-organ atau alat-alat perlengkapan negara yang memiliki tugas dan fungsi sebagaimana digariskan oleh konstitusi.

Sedangkan pemerintah dalam arti sempit tidak lain adalah aktifitas atau kegiatan yang diselenggarakan oleh organ pemegang kekuasaan eksekutif sesuai dengan tugas dan fungsinya. Dalam hal ini dilakukan oleh presiden atau pun perdana menteri

sampai dengan level atau tingkat birokrasi yang paling rendah (Handoyo, 2009: 119). Dalam suatu pemerintahan pastinya memiliki kekurangan-kekurangan yang memaksa

masyarakat atau kritikus-kritikus untuk menuangkan kritikannya dalam berbagai bentuk, baik lisan maupun tulisan. Kritik dari masyarakat berfungsi sebagai kontrol sosial terhadap pemerintah untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Ketika

(18)

dalam negara ini akan berjalan kondusif. Oleh karena itu pemerintah harus memperbaiki sistem-sistem yang belum sepenuhnya berpihak kepada rakyat. Salah satunya adalah masalah korupsi. Sampai saat ini pemerintah masih belum juga serius

dalam menangani masalah korupsi yang dilakukan oleh para pejabat atau wakil rakyat. Hal tersebut juga salah satu kesalahan yang sangat fatal bagi perkembangan

sebuah negara. Dari dahulu kala sampai sekarang masih ada perbuatan yang sangat merugikan harga diri pemerintah di mata masyarakat, bahkan di mata dunia, karena hanya mementingkan kepentingan diri sendiri dari pada kepentingan bersama.

Upaya pemberantasan korupsi pada umumnya mengalami berbagai kendala, antara lain: a) belum memadainya ketentuan hukum yang diperlukan untuk menjerat

para pelaku korupsi, b) tidak adanya keberanian, ketegasan, dan kamauan politik yang kuat dari pemerintah untuk berpegang teguh pada prinsip supremasi hukum

dalam pemberantasan korupsi, c) tidak adanya kesungguhan dan minimnya profesionalisme aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, dan penasehat hukum) dalam memberantas korupsi. Banyak diantara mereka yang terlibat dalam praktik

suap-menyuap untuk meloloskan para pelaku korupsi kelas kakap (Suteng, dkk., 2007: 58-60). Maka dari itu, dapat kita pahami bahwa perlu adanya kritikan dari

seluruh masyarakat, guna untuk membantu pemerintah dalam mengoreksi diri terhadap kekurangan-kekurangan yang masih dimiliki oleh pemerintah Indonesia dalam menjalankan amanah dari masyarakat. Dari pendapat tersebut maka dapat

disimpulkan bahwa pemeritah merupakan susunan tata negara yang memegang peranan penting bagi pertumbuhan atau perkembangan suatu negara dalam berbagai

(19)

b. Kritik Sosial terhadap Persoalan Masyarakat

Perilaku masyarakat merupakan tanggapan atau reaksi masyarakat terhadap rangsangan lingkungan tertentu yang dapat mempengaruhi kebudayaan yang mereka anggap sama, baik secara individu maupun secara kelompok. Bentuk perilaku tersebut dapat berupa tindakan baik maupun buruk. Perilaku masyarakat yang buruk dapat disebabkan oleh berbagai sumber, sebagai contoh media massa. Media massa sejak lama tidak diragukan lagi kekuatannya dalam mempengaruhi audiencenya.

Jahatnya kekuatan itu cenderung membabi buta, tidak mengenal laki-laki dan wanita, tua

dan muda, besar dan kecil, bila mereka tidak mampu menyaring informasi yang

diperoleh, maka dengan mudah terhipnotis oleh isi media. Manusia juga merupakan

makhluk peniru yang dapat dengan mudah menelan bulat-bulat isi media, tidak peduli

baik atau tidaknya pesan yang disampaikan melalui media tersebut bagi dirinya

(Lestiana, 2012: 5).

Sebagai contoh perilaku masyarakat Indonesia yang sampai saat ini masih saja terjadi ditengah masyarakat, yaitu aksi pornografi yang dilakukan oleh berbagai kalangan, terutama remaja. Pengaruh media dan televisi pun sering kali diimitasi oleh

remaja dalam perilakunya sehari-hari. Misalnya saja remaja yang menonton film dewasa

yang berkebudayaan barat, melalui observational learning, mereka melihat perilaku yang

mengandung unsur pornografi itu menyenangkan dan dapat diterima lingkungan. Hal ini

pun diimitasi oleh mereka, terkadang tanpa memikirkan adanya perbedaan kebudayaan,

nilai serta norma-norma dalam lingkungan masyarakat yang berbeda. Pada kenyataan di

jaman yang modern ini kehidupan masyarakat sudah semakin kurang terkendali karena

pengaruh dari budaya asing (westernisasi) yang kerap mengeksploitasi pornografi, hal ini

tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa kita dan norma ketimuran. Pornografi

(20)

paling banyak ditemukan dalam mengekspos masalah seksualitas (Lestiana, 2012: 6).

Dari hal inilah Rhoma Irama mencoba untuk memberikan arahan ataupun kritikan

yang diharapkan mampu merubah sikap atau perilaku masyarakat yang tidak baik tersebut.

c. Kritik Sosial terhadap persoalan HAM (Hak Azasi Manusia)

Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang melekat dan dimiliki setiap manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Rumusan “sejak lahir” sekarang

ini banyak dipertanyakan, sebab bayi yang ada dalam kandungan pun sudah memiliki hak untuk hidup. Oleh karena itu, rumusan yang lebih sesuai adalah hak dasar yang melekat pada manusia sejak ia hidup. Kesadaran akan hak asasi manusia didasarkan

atas pengakuan bahwa semua manusia sebagai mahluk Tuhan memiliki derajat dan martabat yang sama. Dengan pengakuan atas prinsip dasar tersebut, setiap manusia

memiliki hak dasar yang disebut hak asasi manusia. Jadi, kesadaran akan adanya HAM tumbuh dari pengakuan manusia itu sendiri bahwa mereka adalah sama dan sederajat (Winarno, 2010: 129).

Di negara kita ini (Indonesia) masyarakat masih sering sekali melakukan dan mengalami atau menjadi korban pelanggaran HAM. Kasus-kasus pelanggaran HAM

tidak hanya terjadi pada dewasa sekarang ini saja, akan tetapi sudah terjadi berpuluh-puluh tahun silam. Sebagai contoh yang sampai sekarang masih sering terjadi adalah kasus penganiayaan tenaga kerja Indonesia (TKI). Lemahnya perlindungan hukum

dari pemerintah dan kurang siapnya tenaga kerja yang akan bekerja di luar negeri menjadi penyebab terjadinya pelanggaran HAM. Selain itu, pada masa pemerintahan

(21)

untuk menentang peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Hal tersebut juga dapat dikatakan sebagai pelanggaran HAM untuk bebas berpendapat. Terdapat pasal yang menjelaskan tentang kebebasan berpendapat, yaitu pasal 19

dalam piagam PBB tentang hak asasi manusia yang berbunyi “setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini, termasuk

kebebasan mempunyai pendapat-pendapat dengan tidak mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat-pendapat dengan cara apapun juga dan dengan tidak memandang batas-batas”

(Suradji, dkk., 2000: 40).

Selain itu, tindakan-tindakan yang dikategorikan tidak berprikemanusiaan pun

masih terjadi, sebagai contoh pembunuhan yang dilakukan dengan cara otopsi, perbudakan yang mengakibatkan kematian, penyiksaan sebelum dibunuh, dan masih

banyak lagi yang lainnya. Perbuatan seperti ini sangat melanggar pasal-pasal yang berhubungan dengan HAM, antara lain pasal 4 dalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 39 tahun 1999 tentang HAM yang berbunyi “hak untuk hidup, hak

untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan

dihadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak-hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”, pasal 28G ayat (2) dalam UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak

untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik di negara lain” (Taniredja, 2012: 87).

(22)

undang-undang tentang hak asasi manusia akan mendapatkan hukuman yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

d. Kritik Sosial di bidang Modernisasi (Budaya)

Modernisasi merupakan persoalan yang menarik pada dewasa ini dan juga

merupakan gejala umum di dunia ini. Kebanyakan masyarakat di dunia dewasa ini terkait pada jaringan modernisasi, baik yang baru memasukinya, maupun yang sedang meneruskan tradisi modernisasi. Secara historis, modernisasi merupakan

suatu proses perubahan menuju pada tipe sistem-sistem sosial, ekonomi, dan politik yang telah berkembang di Eropa Barat dan Amerika Utara pada abad ke-17 sampai

abad 19. Sistem sosial yang baru ini kemudian menyebar ke negara-negara Eropa lainnya serta ke negara-negara Amerika Selatan, Asia, Afrika pada abad 19 dan 20

ini. Modernisasi merupakan suatu bentuk perubahan sosial. Biasanya merupakan perubahan sosial yang terarah dan didasarkan pada perencanaan yang biasa dinamakan dengan social planning. Modernisasi merupakan suatu persoalan yang

harus dihadapi masyarakat yang bersangkutan, karena prosesnya meliputi bidang-bidang yang sangat luas, menyangkut proses disorganisasi, problema-problema

sosial, konflik antar-kelompok, hambatan terhadap perubahan, dan sebagainya. Pada proses modernisasi tersebut juga membutuhkan waktu yang lama, karena melingkupi berbagai bidang yang sudah disebutkan (Soekanto, 2009: 302-304).

Pada proses tersebut, manusia berusaha untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan yang baru. Sebagian besar, modernisasi ini datang dari dunia barat yang

(23)

maka akan terjadi goncangan sosial-budaya, ketimpangan sosial-budaya, kehilangan unsur sosial-budaya, ketidakpastian norma budaya, dan sebagainya. Goncangan dalam sistem sosial dan budaya suatu masyarakat dapat terjadi karena masyarakat

menerima perbedaan itu sebagai bentuk terobosan atau penyerangan terhadap nilai-nilai yang telah lama dipegang teguh dan mengakar dalam budaya masyarakat itu.

Sebaliknya, apabila masyarakat siap untuk menerima perbedaan nilai baru yang masuk dari luar, maka masyarakat dapat meredam goncangan yang ada dan merespon secara positif terhadap nilai baru sebagai bentuk penambahan wawasan

baru dalam kehidupan masyarakat itu (Tim Abdi Guru, 2007: 227).

Sebagai akibat adanya modernisasi yang berpengaruh terhadap perubahan sosial-budaya, timbulah berbagai masalah-masalah pada perilaku masyarakat. Sebagai contoh tindak kriminalitas, kenakalan remaja, pelacuran (prostitusi), dan sebagainya. Seseorang atau kelompok masyarakat dapat berperilaku jahat karena pengaruh interaksinya dengan orang-orang yang cenderung melawan norma-norma yang ada. Umumnya, perilaku demikian dipelajari melalui alat-alat komunikasi atau media massa yang dapat memberikan pengaruh-pengaruh tertentu, seperti buku, surat kabar, majalah, film, siaran TV, radio, dan sebagainya. Media-media tersebut sangat berpengaruh besar terhadap perkembangan perilaku seseorang (Tim Abdi Guru, 2007: 189).

Perilaku lain akibat adanya perubahan sosial-budaya akibat modernisasi yaitu

kenalan remaja. Kenalakan remaja saat ini sudah semakin menjalar keseluruh

pelosok di berbagai daerah di Indonesia. Hal tersebut disebabkan karena kurangnya

kasih sayang dan bimbingan dari orang tua mereka, baik pada keluarga yang mampu

(24)

dikarenakan oleh berbagai hal, antara lain kurangnya pemberian nilai dan kebenaran

oleh orang tua, timbulnya organisasi-organisasi nonformal yang berperilaku

menyimpang sehingga tidak disukai masyarakat, dan timbulnya usaha-usaha untuk

mengubah keadaan yang disesuaikan dengan trend. Selanjutnya pelacuran (prostitusi)

dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri pada umum

untuk melakukan tindakan seksual dengan mendapat upah. Prostitusi merupakan

kegiatan yang melanggar susila yang sampai sekarang semakin berkembang hampir

di semua daerah terutama di kota-kota besar (Tim Abdi Guru, 2007: 190).

6. Kenyataan Historis

Seperti yang kita pahami bahwa karya sastra merupakan hasil perenungan

pikiran seseorang. Perenungan tersebut dipengaruhi adanya fenomena-fenomena

yang terjadi secara nyata atau dapat juga disebut sebagai kenyataan historis. Dalam

sebuah penelitian kritik sosial pada lirik lagu ini, kenyataan historis digunakan

sebagai pembuktian yang relevan dengan lirik lagu yang diciptakan. Oleh karena itu,

tidak terjadi kesalahpahaman atau ketidakcocokan antara lirik lagu dengan kenyataan

yang terjadi. Kenyataan historis tersebut antara lain adalah sebagai berikut.

a. Berakhirnya Orde Baru dan Lahirnya Orde Reformasi

Pemerintah orde baru berusaha menjalankan pemerintahan dengan

berpedoman pada pancasila dan UUD 1945. Namun demikian, dalam praktiknya atau

(25)

kedua sumber pedoman tersebut. Dapat dilihat dari penyelenggaraan pemilihan

umum yang dianggap tidak jujur dan tidak adil. Pemanfaatan P4 (Pemasyarakatan

Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila) untuk mempertahankan kekuasaan

dan penyelenggaraan demokrasi yang ditujukan untuk kepentingan golongan tertentu.

Dalam pelaksanaan politik luar negeri, Indonesia terganjal dalam masalah integrasi

Timor Timur (Bachri, dkk., 2009: 46). Pemerintah orde baru pada waktu itu memang

dinilai sangat otoriter. Masyarakat dilarang untuk menentang kebijakan-kebijakan

yang dikeluarkan oleh pemerintah, khususnya dalam hal berpendapat. Hal itu tidak

lain adalah aturan main politik yang dilancarkan oleh presiden Soeharto, yaitu sistem

pemberian hadiah bagi yang pro terhadap Soeharto dan hukuman bagi yang kontra

atau menentang kekuasaannya.

(26)

Pada tanggal 10 Maret 1998, Soeharto kembali terpilih sebagai presiden untuk

yang ketujuh kalinya dan mengumumkan susunan kabinetnya. Hal itu telah memicu

kemarahan rakyat karena susunan cabinet tersebut dianggap sebagai bentuk

nepotisme yang keterlaluan. Muncul protes diberbagai tempat dengan dipelopori oleh

para mahasiswa dan kaum cendikiawan. Beberapa tuntutan yang digulirkan oleh

gerakan reformasi adalah: pembubaran orde baru beserta Golkar, penghapusan Dwi

Fungsi ABRI, pemberantasan KKN, penegakan HAM, demokrasi, dan supremasi

hukum. Namun, pemerintah masih bersikeras terhadap keputusan yang sudah

ditetapkan. Awalnya, aksi mahasiswa menuntut perbaikan kondisi, akan tetapi karena

pemerintah menolak, pada akhirnya mahasiswa beserta gerakan reformasi lainnya

menuntut agar presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatan sebagai presiden.

Bentrokan antara mahasiswa tidak dapat dihindari lagi (Bachri, dkk., 2009: 57-58).

Terjadi tragedi Trisakti dan tragedi Semanggi pada 12 Mei 1998 yang

menewaskan mahasiswa-mahasiwa Trisakti, seperti: Elang Mulyana Lesmana, Hery

Hartono, Hendriawan Sie, dan Hafidhin Royan. Akibat tragedi tersebut, terjadi amuk

masa diberbagai daerah di Jakarta berupa pembakara dan penjarahan toko serta

gudang-gudang yang diindikasikan milik Cina, perusakan sarana-sarana umum, dan

kekacauan diberbagai wilayah di Indonesia. Konsentrasi mahasiswa dan masyarakat

pendukung gerakan reformasi akhirnya terpusat pada wakil-wakil rakyat di

DPR/MPR dengan agenda utama agar segera diadakan Sidang Istimewa MPR (SI

MPR) untuk mencabut mandate presiden Soeharto. Mahasiswa bukan lagi hanya

berasal dari Jakarta, tetapi mereka juga berdatangan dari Bandung, Yogyakarta, dan

(27)

tuntutan mahasiswa tersebut, akhirnya pada tanggal 20 Mei 1998 diselenggarakan SI

MPR, kemudian pada tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.05 presiden Soeharto

menyatakan pengunduran dirinya dan menyerahkan kekuasaan kepada wakil presiden

BJ Habibie (Bachri, dkk., 2009: 58-59). Dari sinilah reformasi negara Indonesia baru

dimulai dan banyak menimbulkan dampak yang baik bagi perkembangan Indonesia

di berbagai bidang.

Reformasi telah menyebabkan terjadinya perubahan cara pandang masyarakat terhadap berbagai bidang kehidupan. Masyarakat menjadi lebih kritis dan tanggap terhadap perkembangan atau cara kerja pemerintah. Faktor utama terjadinya reformasi di Indonesia adalah adanya krisis ekonomi. Namun, sebenarnya faktor-faktor lain juga berpengaruh, seperti: kondisi politik yang banyak terjadi penyalahgunaan kekuasaan, jurang sosial antara si kaya dan si miskin demikian lebar, tindakan hukum yang lebih banyak mengorbankan masyarakat sementara penguasa terhindar dari hukum yang merugikan. Hal tersebut merupakan ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah (Bachri, dkk., 2009: 59).

(28)

pemerintah daerah kabupaten Tegal. Keduanya diperiksa sebagai saksi kasus korupsi Rp 30 miliar yang diduga melibatkan oknum Bupati Kendal. Kasus dugaan korupsi ini bermula dari surat permintaan oknum Bupati tersebut ke PT BPD Jateng cabang Kendal pada 17 November 2003 untuk meminjam Rp 80 miliar. Pinjaman tersebut direncanakan untuk membiayai pembangunan sarana perkantoran dan pendidikan di Kendal. Namun, Direksi BPD Jateng cabang Kendal hanya setuju memberikan kredit berjangka tunai Rp 30 miliar yang diduga kemudian diselewengkan (Dwiyono, dkk., 2007: 85-86)

Dari penjelasan di atas, kita dapat mengetahui bahwa pemerintahan orde baru banyak sekali menimbulkan masalah di berbagai bidang. Tentu saja hal tersebut tidak hanya memaksa para mahasiswa dan pendukung gerakan reformasi untuk melakukan

kritikan, akan tetapi juga para kritikus, seperti: pencipta karya sastra besar, pencipta lagu, dan lain sebagainya. Dengan segala kecerdasan dan dukungan dari berbagai

kalangan, mereka yang ikut serta dalam pergerakan reformasi berhasil menciptakan karya-karya yang menjadi senjata untuk melawan ketidakadilan pemerintah. Tujuannya pun sama dengan apa yang dikehendaki oleh seluruh masyarakat

Indonesia. Pada kenyataannya, hal yang disebut yang dikatakan sebagai perubahan besar terjadi di Indonesia, yaitu reformasi.

b. Sekilas HAM di Indonesia

Laporan media massa cetak dan elektronik di Indonesia dan peran media massa

dalam mengangkat pelanggaran-pelanggaran oleh aparat militer negera memang

cukup leluasa pada masa sekarang. Utamanya sejak rezim orde baru tumbang.

(29)

menyebutkan bahwa militer terlibat dalam 207 kasus pelanggaran dengan 131 kasus

di antaranya terkategori sebagai pelanggaran serius yang diberitakan oleh media

cetak Kompas Cyber Media, 6 Oktober 2000. Hal itu direspon secara positif dan

dengan beragam kebijakan operasionalnya di lapangan. Militer Indonesia kemudian

mencoba membenahi hal ini. Terliput di media massa misalnya, bekal panduan HAM

diberikan kepada prajurit-prajurit yang diterjunkan ke suatu daerah konflik,

paradigma TNI diubah ke paradigma yang lebih santun dan sikap militer ke kalangan

sipil nampaknya juga melunak (Yuliarso, dkk., 2005: 301).

Namun demikian, kecenderungan menurunnya pelanggaran HAM yang

dilakukan militer dan aparatur negara tidak serta merta menurunkan jumlah

pelanggaran HAM di Indonesia. Berbagai tindak kekerasan terus berlangsung dan

ironisnya ada yang membuat pernyataan kalau terjadinya tindak kekerasan itu dapat

dimaklumi. Perbedaan pendapat dan perbedaan keyakinan dengan mudah dapat

disulut menjadi ajang adu massa, adu kekuatan, adu fisik dan tuntutan peniadaan.

Artinya, jika aparatur negara dan militer berusaha bersikap dewasa dalam masalah

HAM, sejumlah individu dan kelompok justru berubah diri dengan "memanjakan"

kekerasan, ketidaksantunannya dan ketidakdewasaan berpikir dan sikapnya, dengan

mengatasnamakan "keyakinan" (Yuliarso, dkk., 2005: 301).

Sebagai contoh pelanggaran HAM yang dilakukan oleh presiden Soeharto pada

masa orde baru telah dilakukan penyelidikan secara lebih lanjut. Kaitannya dengan

hal tersebut, Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) Indonesia membentuk sebuah

Tim Penyelidikan Pelanggaran Berat Soeharto pada Januari tahun 2003 lalu. Disadari

(30)

mungkin memasukan semua kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada masa itu.

Tim membagi periode tersebut menjadi empat fase (1965-1975, 1975-1985,

1985-1995, dan 1995-1998). Setiap fase dipilih satu atau dua kasus yang menonjol.

Pada fase pertama diambil kasus pembantaian pada tahun 1965 dan kasus

penahanan politik di pulau Buru. Fase kedua diambil kasus Petrus (Pembunuhan

Misterius). Pada fase ketiga diambil kasus Tanjung Priok dan DOM (Daerah Operasi

Militer) di Aceh dan Papua, sedangkan pada fase keempat atau terakhir, diambil

kasus meletusnya peristiwa 27 Juli 1996 dan Kerusuhan Mei 1998 (Adam, 2006:

179-181). Itulah pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah

(dalam arti luas) dan mantan presiden Soeharto yang dikenal dengan masa orde baru

atau masa pembangunan yang mengakibatkan banyaknya masalah, terutama krisis

diberbagai sektor. Sehingga perlu dilakukan kritikan-kitikan yang dapat dijadikan

sebagai nasehat untuk pemerintah dan masyarakat agar saling menghormati hak asasi

manusia sebagaimana mestinya. Karena pada dasarnya, hak asasi manusia adalah

fitrah atau anugerah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk hidup, untuk

berbicara, untuk berperilaku sesuai norma, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, hak

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Ketika idealisme menekankan realitas dunia ide dan akal pikiran dan jiwa, maka dapat diketahui bahwa teori mengetahui (epistemologi)nya pada.. dasarnya adalah

Yang mana hal itu tidak hanya merubah kebijakan pendidikan nasional, tetapi juga menuntut diadakannya penuisan kembali UU Pendidikan

Alhamdulilah hirobil’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan diatas, peneliti dapat menyatakan bahwa standarisasi sarana dan prasarana bagi anak berkebutuhan pada

Metode Pelaksanaan yang berkaitan dengan (1) Pendidikan Masyarakat, misalnya dengan memberikan penyuluhan untuk meningkatkan pemahaman serta kesadaran, (2)

Hulu Kabupaten Sanggau serta mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan, persepsi masyarakat terhadap hutan adat, pengetahuan mengenai manfaat hutan, dengan partisipasi

The internal parameters of the battery and the supercapacitor are obtained based on the characteristics of charging and discharging current using a predefined equivalent