BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.Penelitian yang Relevan
1. Penelitian dengan judul “Kritik Sosial Atas Penyalahgunaan Kekuasaan dalam
Kumpulan Puisi Humor Ki Ageng Miskin Karya Mustofa W. Hasyim oleh Shoni Asmoro
Penelitian yang dilakukan oleh Shoni Asmoro (2004) dengan judul “Kritik
Sosial dalam Kumpulan Puisi Humor Ki Ageng Miskin Karya Mustofa W. Hasyim”
menggunakan teori sosiologi sastra yang menfokuskan pada kumpulan puisi humor
Ki Ageng Miskin karya Mustofa W. Hasyim. Shoni Asmoro membahas tentang penyalahgunaan kekuasaan dan bertujuan untuk mengetahui apakah sastra dalam fungsi sosialnya dapat menjadi cermin kehidupan masyarakat dengan cara
mendeskripsikan kandungan kritik sosial yang terdapat dalam kumpulan puisi tersebut. Hasil dari penelitian tersebut adalah kandungan isi puisi yang berupa kritik
sosial dan fakta tentang fenomena sosial mengenai bentuk-bentuk penyalahgunaan kekuasaan.
Dalam penelitian ini, tentunya memiliki perbedaan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Shoni Asmoro. Perbedaan tersebut terletak pada objek dan sumber
data yang diambil atau dipilih sebagai bahan untuk diteliti lebih lanjut dengan
menggunakan teori sosiologi sastra. Objek penelitian yang diambil oleh Shoni
Asmoro adalah kritik sosial atas penyalahgunaan kekuasaan dalam Kumpulan Puisi
Humor Ki Ageng Miskin karya Mustofa W. Hasyim dan sumber data penelitian
Shoni Asmoro adalah Kumpulan Puisi Humor Ki Ageng Miskin karya Mustofa W.
lirik-lirik lagu Rhoma Irama dan sumber data penelitian adalah lirik-lirik lagu Rhoma
Irama. Kelebihan dari penelitian ini dapat dijadikan bahan referensi bahwa lirik lagu
yang diciptakan pengarang tidak hanya untuk dinikmati pada umumnya, akan tetapi
juga dapat memberikan gambaran tentang kenyataan sosial yang terdapat pada lirik
lagu dan penelitian ini dapat membangun semangat peneliti lain untuk menganalisis
lirik-lirik lagu yang diciptakan pengarang-pengarang lainnya.
2. Penelitian dengan judul “Kritik Sosial pada Lirik-lirik Lagu Punk dalam AlumPredator Karya Band Marjinal Kajian Sosiologi Sastra oleh Mufatikhun Nizam
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Mufatikhun Nizam (2009) yang berjudul “Kritik Sosial pada Lirik Lagu Punk Dalam Album Predator Karya Band Marjinal Kajian Sosiologi Sastra” menggunakan teori sosiologi sastra, yang
Perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh Mufatikhun Nizam dengan penelitian ini terdapat pada objek dan sumber data penelitian yang dikaji menggunakan teori sosiologi sastra. Penelitian yang dilakukan Mufatikhul Nizam
mengambil objek berupa kritik sosial pada lirik lagu punk dalam album predator karya band Marjinal dan sumber data yaitu lirik lagu punk dalam album predator
karya band Marjinal. Penelitian ini mengambil objek yaitu kritik sosial pada lirik-lirik lagu Rhoma Irama dan sumber data berupa lirik-lirik-lirik-lirik lagu Rhoma Irama. Kelebihan dari pada penelitian ini dibandingkan dengan penelitian Mufatikhun
Nizam yaitu membuktikan bahwa lirik lagu bernuansa dangdut, seperti yang diciptakan Rhoma Irama, mengandung nilai kritik sosial yang dapat diteliti sesuai
dengan teori yang mengemukakan tentang teori-teori sosial, tidak hanya untuk dinikmati dan didengarkan saja.
3. Penelitian dengan judul “Realitas Objektif dan Kritik Sosial dalam Novel
Kawin Kontrak Karya Saifur Rohman oleh Erwin Yulianti
Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Erwin Yulianti (2004) yang
berjudul “Realitas Objektif dan Kritik Sosial dalam Novel Kawin Kontrak Karya
Saifur Rohman” juga menggunakan teori sosiologi sastra. Penelitian tersebut
mendeskripsikan dan menganalisis realitas objektif dan kritik sosial yang ada dalam
novel “Kawin Kontrak”, kemudian mengkaitkannya dengan teks untuk mengetahui
strukturnya. Penelitian yang dilakukan Erwin Yulianti menggunakan metode
kualitatif dengan pendekatan sosiologi sastra. Masalah-masalah yang terkandung
novel “Kawin Kontrak”, dan (3) pengaruh latar belakang kehidupan pengarang
dalam proses penciptaan novel “Kawin Kontrak”. Hasil dari penelitian yang
dilakukan oleh Erwin Yulianti yaitu, 1) Realitas objektif dalam novel Kawin Kontrak
karya Saifur Rohman ditunjukan melalui tema-tema dan peristiwa di dalam novel
yang merupakan perwujudan dari gambaran atau fenomena sosial yang terjadi dalam
masyarakat, 2) Kritik sosial dalam novel Kawin Kontrak karya Saifur Rohman
ditujukan kepada pemerintah, hukum, masyarakat, dan pejabat yang asusila.
Perwujudannya adalah melalui pelanggaran dan perampasan HAM, ketidakadilan
hukum, hubungan masyarakat yang tidak stabil, dan rakusnya sistem kekuasaan.
Penelitian yang dilakukan oleh Erwin Yulianti memiliki perbedaan dengan
penelitian ini. Perbedaan tersebut terletak pada objek dan sumber data penelitian.
Objek penelitian Erwin Yulianti yaitu realitas objektif dan kritik sosial dalam novel
Kawin Kontrak karya Saifur Rohman, sedangkan sumber data penelitian tersebut
berupa novel Kawin Kontrak karya Saifur Rohman. Kelebihan dari penelitian ini
terfokus pada dua pokok rumusan masalah yang keduanya saling berkaitan.
Penelitian ini juga memberikan pengetahuan tentang kritik sosial yang dilakukan
pada sebuah lirik lagu, serta penelitian ini lebih membutuhkan ketelitian yang baik
untuk memilih dan menemukan adanya kritik sosial yang terdapat pada lirik lagu.
Jika tidak, maka yang akan terjadi adalah penelitian akan rancu atau tidak sesuai
dengan yang diharapkan oleh peneliti. Jadi, antara latar belakang masalah, teori yang
digunakan, dan hasil penelitian harus seimbang, sehingga penelitian yang dilakukan
B.Landasan Teoretis
1. Pengertian Lirik Lagu
Menurut Teeuw (dalam Noor, 2010: 25) lirik adalah ungkapan ide atau perasaan pengarang. Dalam hal ini yang berbicara adalah “aku” lirik, yang biasa
disebut penyair. Lirik inilah yang sekarang dikenal sebagai puisi atau sajak, yakni karya sastra yang berisi ekspresi (curahan) pribadi yang lebih mengutamakan cara mengekspresikannya. Lirik sifatnya subjektif, karena hanya mengemukakan dunia penyair. Demikian juga yang didefinisikan oleh Moeliono Ed., (2007: 678) lirik adalah karya sastra (puisi) yang berisi curahan perasaan pribadi; susunan kata sebuah nyanyian. Jadi dapat ditarik simpulan bahwa lirik merupakan suatu ungkapan atau ide dari pengarang atau penyair yang sekarang lebih dikenal dengan puisi atau sajak. Akan tetapi, lirik disini adalah lirik yang berhubungan dengan lagu. Sebelum menuju pada definisi lirik lagu, lebih baik jika kita ketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan lagu.
dinikmati oleh pendengar. Lagu dapat berupa curahan perasaan senang, sedih, emosi, dan sebagainya.
Sehubungan dengan itu, diketahui bahwa lirik lagu merupakan elemen
penting dalam komposisi musik, sebagai sarana untuk menyampaikan makna dan
pesan kepada pendengar (khalayak). Lirik lagu dalam musik yang sebagaimana bahasa,
dapat menjadi sarana atau media komunikasi untuk mencerminkan realitas sosial yang
beredar dalam masyarakat. Lirik lagu dapat pula sebagai sarana untuk sosialisasi dan
pelestarian terhadap suatu sikap atau nilai. Oleh karena itu, ketika sebuah lirik lagu
diaransir dan diperdengarkan kepada khalayak juga mempunyai tanggung jawab yang
besar atas tersebar luasnya sebuah keyakinan, nilai-nilai, bahkan prasangka tertentu
(Lestiana, 2012: 2-3). Sebuah lagu yang menggabungkan lirik dan musik yang harmonis berpotensi menyentuh nalar dan emosi manusia dalam memahami makna
lagu.
Lirik itu sendiri terbangun dari bahasa yang serupa puisi sebab tersusun dari
beberapa bait yang berisi gagasan dan perasaan yang ingin disampaikan penciptanya. Bahasa yang digunakan dalam aktualisasi sebuah karya sastra sarat akan ide dan
pengalaman manusia, sehingga dapat dikatakan kemunculan dan perkembangan bahasa di dalam sebuah karya sastra merupakan suatu pertanda kemunculan budaya baru. Demikian pula „bahasa‟ di dalam sebuah lirik lagu, yang berpretensi menarik
perhatian pendengarnya melalui pesan dan ide. Lirik berbaris prosa merupakan sarana ekspresi seseorang dari alam batinnya. Sebuah perwujudan ekspresi pengarang
2. Pengertian Puisi
Pada dasarnya hakikat puisi adalah konsentrasi dan intensifikasi. Puisi
dibangun dari unsur-unsur tertentu yang selalu dipergunakan oleh penyair dengan
sadar atau tidak. Dapat atau tidak struktur yang dibangun itu mengantarkan tema atau
amanat mempunyai syarat-syarat tertentu pula untuk dapat kesan kepada pembaca
atau pendengar. Dan, kesan keindahan ini ditentukan oleh dapat atau tidaknya
struktur dan tema atau amanat itu bahu-mambahu membangun kesan tersebut
(Suyitno, 2009: 29-30). Maksudnya, puisi mempunyai unsur, syarat, dan kesan, dan
bagaimanakah seorang penyair dapat menyampaikan kesemuanya itu kepada
pembaca atau pendengar, sehingga dapat tersampaikan dengan baik. Menurut
Nurhadi dkk., (2004: 20) puisi merupakan ungkapan pikiran dan perasaan hasil
perenungan atau refleksi penulis. Pengungkapan perasaan tersebut menggunakan
bahasa yang indah dan padat. Keindahan bahasa mencakup kemerduan bunyinya,
ketetapan pemilihan katanya, dan keserasian susunan larik serta baitnya.
Menurut Kurniawan (2012a: 25) puisi adalah ungkapan perasaan atau
ekspresi perasaan yang dituliskan dengan bahasa yang indah. Perrine dalam
Siswantoro (2010: 23) menyatakan bahwa puisi dapat didefinisikan sebagai sejenis
yang mengatakan lebih banyak dan lebih intensif dari pada apa yang dikatakan oleh
bahasa harian. Sedangkan Noor (2010: 25) menyatakan bahwa secara konvensional
puisi biasa diartikan sebagai tuturan yang terikat (terikat oleh baris, bait, rima, dan
sebagainya). Beberapa ahli sastra berbeda pendapat mengenai pengertian puisi, tetapi
imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan panca indra, sususan kata-kata kiasan,
kepadatan, dan sebagainya.
Selain itu, puisi juga mempunyai karekteristik, sebagaimana yang
diungkapkan oleh Kurniawan (2012a: 26-39) pengertian puisi memang harus berpijak
dari pemahaman sendiri tentng puisi, tetapi memahami ciri dan karakter puisi penting
untuk dilakukan sebagai dasar untuk menulis puisi. Karakter ini berkaitan dengan ciri
puisi secara universal, yang pastinya dimiliki baik secara keseluruhan maupun
bagian, untuk karya yang disebut puisi. Karena bersifat universal maka pemahaman
karakter puisi ini selalu diolah dan dimodifikasi oleh penulisnya sendiri untuk
menghasilkan aspek estetis yang indah. Oleh karena itu, pemahaman awal tentang
karakter puisi menjadi syarat utama sebelum menulis puisi. Syarat tersebut antara
lain sebagai berikut:
a. Diksi
Diksi adalah pilihan kata. Media pengungkapan puisi sebagai pengalaman
estetis kita adalah dengan kata-kata. Memilih, memilah, dan menentukan kata yang
akan digunakan untuk mengungkapkan perasaan adalah diksi. Dalam memilih,
memilah, dan menentukan diksi harus secara selaktif dan cermat. Pemilihan diksi
yang baik sangat menentukan keindahan dan baik buruknya suatu karya sastra
(puisi). Diksi atau pilihan yang digunakan dalam sebuah karya sastra tentu berbeda
dengan kata-kata yang biasa digunakan dalam bahasa sehari-hari. Kata atau diksi
yang digunakan dalam karya sastra memiliki kelebihan, baik arti maupun makna
b. Kalimat
Untuk aspek diksi, yang bisa diidentifikasi adalah ketidakbiasaan diksi yang
digunakan dalam bahasa puisi. Namun, ketidakfamiliaran diksi ini terlihat dari aspek sintaksisnya, baik dalm frasa maupun klausa. Ciri khas dari aspek kalimat puisi adalah ritmik-semantik, yaitu kalimat dalam puisi selalu menekankan pada aspek
-ritmik (bunyi) dan semantik (makna). Karena penekanan dua aspek ini maka kalimat dalam puisi biasanya tidak logis dan tidak sistematis sebagaimana dalam kalimat
pada bahasa sehari-hari dan formal. Dalam tradisi formalisme inilah yang disebut bahwa kalimat dalam puisi bersifat defamiliar (tidak akrab) sebagaimana bahasa sehari-hari (Kurniawan, 2012a: 31).
c. Tipografi
Tipografi ini berkaitan dengan bentuk penulisan puisi yang menyangkut
pembaitan-enjambemen, penggunaan huruf dan tanda baca, serta bentuk bait. Harus
diakui, secara konvensional, yang membedakan puisi dan prosa sebagai genre sastra
adalah pada aspek tipografi, yaitu puisi dalam bentuk bait, sedangkan prosa dalam
bentuk narasi. Dengan demikian, penyiasatan penulisan tipografi menjadi penting
sebagai media atau cara untuk mengungkapkan makna. Dasar pemikiran penggalan
kalimat atau ungkapan yang perlu dilakukan adalah atas dasar makna yang ingin
disampaikannya, yang bisa jadi menurut pembacanya tidak diindahkan, karena tidak
berpikir sampai sejauh itu. Namun, bagi penyair, hal itu juga penting sebagai media
untuk mengekspresikan diri. Sebagai cara untuk mengreasikan puisi agar lebih estetis
Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa puisi
merupakan curahan atau ungkapan perasaan seseorang yang dituangkan dalam
bentuk tulisan. Curahan tersebut dapat berupa emosi, imanjinasi, pemikiran, dan
lain-lain, terikat oleh unsur-unsur yang membentukanya (baris, bait, irama, rima, dan
sebagainya). Bahasa yang dipakai berbeda dengan pemakaian bahasa sehari-sehari.
Beberapa unsur tersebut sangat menentukan keindahan suatu puisi yang diciptakan
dan dibaca oleh pembaca. Suatu puisi juga akan bermakna dan mempunyai kesan
apik ketika puisi yang dibuat atau diciptakan sudah memenuhi unsur-unsur yang
tertera di atas.
3. Hubungan Lirik Lagu dengan Puisi
Keterkaitan antara lirik lagu dengan puisi tidaklah lepas dari definisi lirik lagu
dan puisi. Seperti yang telah dipaparkan di atas, telah kita ketahui bahwa lirik
merupakan suatu ungkapan atau ide dari pengarang atau penyair yang sekarang lebih
dikenal dengan puisi atau sajak. Sedangkan puisi itu sendiri merupakan curahan atau
ungkapan perasaan seseorang yang dituangkan dalam bentuk tulisan, curahan
tersebut dapat berupa emosi, imanjinasi, pemikiran, dan lain-lain, terikat oleh
unsur-unsur yang membentukanya (baris, bait, irama, rima, dan sebagainya), dan bahasa
yang dipakai berbeda dengan pemakaian bahasa sehari-sehari. Lirik bersifat subjektif,
karena hanya mengemukakan dunia penyair dan berisi ekspresi (curahan) perasaan
pribadi yang lebih mengutamakan cara mengekspresikannya. Begitu juga dengan
puisi, ia (puisi) juga merupakan ekspresi yang kreatif (menciptakan curahan jiwa)
struktur norma-norma. Mengolah bahasa dalam berpuisi adalah semacam mengolah
bahasa sehingga bahasa itu bersih dari pengertian-pengertian yang terdapat dalam
fungsi linguistik sehari-hari. Hal tersebut mengandung pengertian bahwa bahasa yang
diangkat kedalam puisi adalah bahasa lain dibanding bahasa yang terdapat dalam
pola komunikasi sehari-hari. Dalam sebuah lirik lagu, bahasa yang digunakan tidak
jauh berbeda dengan bahasa puisi. Bahasa pada lirik lagu memiliki kaidah-kaidah
puisi yaitu terdapat unsur emotif melalui bunyi dan kata. Selain itu sebagaimana
penulisan puisi, penulisan lirik lagu juga bersifat ringkas dan padat.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa lirik lagu pada intinya sama dengan puisi. Pada dasarnya keduanya mempunyai ciri yang sama yaitu keduanya terdapat struktur bentuk dan makna. Lirik lagu terbentuk dari bahasa yang dihasilkan dari komunikasi antara pencipta lagu (pengarang/penyair) dengan masyarakat penikmat lagu. Sebagai wacana tulis, karena disampaikan dengan media tulis dalam sampul albumnya, dapat juga sebagai wacana lisan melalui kaset. Selain struktur bentuk dan makna, lirik lagu dan puisi juga memiliki persamaan yang lain, yaitu unsur bunyi yang merupakan hasil penataan kata dalam struktur kalimat, rima atau bunyi yang sama dan diulang, baik dalam satuan kalimat maupun pada kalimat-kalimat berikutnya yang disebut asonansi. Asonansi atau keruntutan vokal yang ditandai oleh persamaan bunyi pada satu kalimat akan menghasilkan sebuah irama.
4. Sosiologi Sastra
mempunyai dua akar kata: socius (dari bahasa Latin) yang berarti “teman” dan logos (dari bahasa Yunani) yang berarti “ilmu tantang”. Secara harfiyah sosiologi berarti
“ilmu tentang pertemanan”. Dari sudut pandang ini, sosiologi bisa didefinisikan
sebagai “studi tentang dasar-dasar keanggotaan sosial (masyarakat)”. Secara lebih
jelasnya, sosiologi adalah analisis mengenai mengenai struktur hubungan sosial yang terbentuk melalui interaksi sosial (Abercrombie dalam Kurniawan, 2010b: 4). Sosiologi merupakan telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat; telaah tentang lembaga dan proses sosial. Sosiologi mencoba mencari tahu bagaimana mayarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada (Damono, 2002: 8). Menurut Kurniawan (2012b: 4) menjelaskan definisi sosiologi sastra sebagai berikut:
Sosiologi adalah analisis sistematis tentang struktur tingkah laku sosial. Dalam definisi ini, terdapat empat elemen penting yang menjadi fokus sosiologi: (1) tingkah laku yang dikaji adalah karakter sosial, bukan individual, tingkah laku yang ditujukan untuk orang lain (bukan untuk dirinya sendiri) sehingga mempunyai konsekuensi bagi orang lain, atau merupakan konsekuensi dari tingkah laku orang lain ada hubungan timbal balik; (2) tingkah laku sosial yang dipelajari sosiologi adalah struktur, yaitu pola atau regulasi tertentu yang berusaha untuk memahami elemen-elemen tingkah laku sosial; (3) penjelasan sosiologi bersifat analitis, yaitu menjelaskan tingkah laku manusia berdasarkan prinsip-prinsip metodologi penelitian tertentu, bukan berdasarkan pada konsensus-konsensus khusus; dan (4) sosiologi bersifat sistematis, yaitu memahami tingkah laku sosial yang menempatkan dirinya sebagai disiplin ilmu.
Sebagai sebuah usaha pemahaman yang objektif-empiris, sosiologi
sebenarnya mempelajari manusia sebagaimana yang ditemukan dan dialami secara
langsung dalam kenyataan keseharian kehidupan (Faruk, 2010: 17). Kesemuanya itu
dapat disimpulkan bahwa sosiologi merupakan kajian tentang kemasyarakatan atau
masyarakat itu sendiri, baik dari segi politik, ekonomi, budaya, agama maupun yang
lainnya, dan sosiologi juga dapat dijadikan sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Kemudian sastra, sebenarnya antara sosiologi dengan sastra sama-sama berurusan
dengan manusia atau masyarakat, dan sastra itu lahir dari masyarakat itu sendiri,
untuk dipahami, dinikmati, dan dimanfaatkan pula oleh masyarakat. Sastrawan itu
sendiri adalah anggota masyarakat yang terikat oleh status sosial tertentu. Menurut
Kurniawan (2012b: 1) sastra merupakan cabang seni, yaitu hasil cipta dan ekspresi
manusia yang estetis (indah). Sedangkan menurut Damono (2002: 9) seperti halnya
sosiologi, sastra berurusan dengan manusia dalam masyarakat: usaha manusia untuk
menyesuaikan diri dan usaha untuk merubah masyarakat itu.
Pada prinsipnya, sosiosastra (sosiologi sastra) merupakan sebuah pendekatan
terhadap dunia sastra yang memanfaatkan sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu
yang berkembang sejak abad ke-19 (Yudiono, 2009: 58). Dengan demikian, objek
kajian utama sosiologi sastra adalah sastra yang berupa karya sastra, sedangkan
sosiologi berguna untuk memahami gejala sosial yang ada dalam sastra, baik penulis,
fakta sastra, maupun pembaca dalam relasi dialektiknya dengan kondisi masyarakat
yang menghidupi penulis, masyarakat yang digambarkan, dan pembaca sebagai
individu kolektif yang menghidupi masyarakat. Jadi, pendekatan sosiologi sastra
merupakan pendekatan yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan yang
masing-masing didasarkan pada sikap dan pandangan teoretis tertentu.
5. Kritik Sosial dalam Karya Sastra
Proses yang dilakukan oleh pengarang dalam menciptakan karyanya,
pengarang pasti mempunyai tujuan yang dilakukan dengan cara menyelipkan
pesan-pesan yang terkandung dalam karya tersebut. Pesan-pesan-pesan tersebut dapat berupa
pesan moral, pesan sosial, dan lain-lain, yang hendak disampaikan pada pembaca.
Untuk menyelipkan pesan tersebut, pengarang dapat menggunakan cara, yaitu dengan
menghadirkan kritik sosial dalam karyanya. Kritik sosial yang ada pada sebuah karya
sastra menjadi peran yang penting ketika didalam melahirkan karya sastra pengarang
mencoba untuk mancapai sebuah tujuan atau misi. Pengarang mampu menyampaikan
amanat atau pesan tersebut dengan baik, jikalau bahasa dan daya pikir yang kuat
Upaya yang dilakukan oleh seorang pengarang untuk memberikan suatu tanggapan terhadap permasalahan-permasalahan yang ia lihat dalam masyarakat itulah yang akan membentuk suatu kritik sosial dalam masyarakat. Proses pemberian
tanggapan tersebut disertai dengan adanya pertimbangan dan pemikiran oleh pengarang. Dari yang kita pahami bahwa kegiatan mengkritik berarti memberikan
pertimbangan dan penilaian baik buruknya suatu karya sastra, baik dari segi struktur karya sastra, pemakaian bahasa, maupun pesan-pesan yang terkandung dalam karya sastra tersebut. Sedangkan sosial itu sendiri adalah hubungan antar masyarakat (baik
proses sosial, pertumbuhan masyarakat, maupun pribadi masyarakat itu sendiri), dan kaitannya dengan itu, sosial masyarakat dapat menyangkut berbagai bidang, yaitu
ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya. Kritik sosial berarti memberikan tanggapan atau penilaian terhadap masyarakat tersebut. Akan tetapi, kritik sosial
disini dilakukan terhadap karya sastra. Jadi, bagaimanakah kehidupan sosial yang terkandung di dalam sebuah karya sastra, yang nantinya akan dilakukan kritikan atau pertimbangan atau penilaian.
Karya sastra sebagai karya seni memerlukan pertimbangan, memerlukan penilaian akan “seninya”. Sampai sejauh mana nilai seni suatu karya sastra; ataupun
mengapa suatu karya sastra dikatakan mempunyai nilai seni; atau dengan kata lain mengapa suatu karya sastra ini “indah”, sedang karya sastra yang lain tidak (Pradopo,
2007: 30). Dari pendapat tersebut, kita tahu bahwa betapa pentingnya suatu
pertimbangan atau penilaian yang harus dilakukan terhadap karya sastra. Kritik sosial dalam karya sastra merupakan kritik yang dilakukan terhadap karya sastra (hasil
berlaku. Seperti halnya yang diungkapkan Pradopo (2007: 62) untuk dapat menilai karya sastra haruslah diketahui norma-norma karya sastra. Sebab itu, tidak dapat kita meninggalkan pekerjaan mengurai atau menganalisis karya sastra.
Setelah itu, kita hubungkan dengan penilaian kepada tiap-tiap lapis norma karya sastra dan kita kumpulkan kembali, yaitu memberi nilai secara keseluruhan
kepada karya sastra itu berdasarkan nilai-nilai yang terdapat pada lapis-lapis norma itu yang berkaitan secara erat. Berbicara masalah sosial dan sastra, berarti sama saja berbicara tentang kebuyaaan. Pasalnya, sastra merupakan bagian dari kebudayaan.
Sastra itu sendiri adalah pencerminan masyarakat yang memiliki hubungan dengan kebudayaan yang amatlah erat. Seperti yang dinyatakan Noor (2010: 61) bahwa
hubungan karya sastra dengan sistem sosial budaya sangat erat. Sebagian dari budaya, karya sastra mempunyai kaitan dengan segi budaya lain, seperti bahasa,
agama, kesenian, sistem sosial yang meliputi sistem nilai dalam masyarakat, tradisi, pola pikir, dan sebagainya.
Hal itu terlihat jelas jika memperhatikan fungsi sosial sastra dalam
hubungannya dengan sistem sosial budaya. Raymond Williams dalam Susanto (2012: 185) mengembangkan bentuk-bentuk kritik sosial yang bersifat radikal terhadap
berbagai bidang, seperti kekuasaan, politik, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Bentuk kritik sosial tersebut merupakan suatu tanggapan atau penilaian baik atau buruknya fenomena-fenomena yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Dalam kehidupan
sosial terdapat ilmu masyarakat atau ilmu kemasyarakat yang mempelajari manusia sebagai golongan atau anggota masyarakat (tidak sebagai individu yang terlepas dari
Jadi, berdasarkan beberapa pendapat di atas, kritik sosial dalam karya sastra tidak lain menilai karya sastra dari segi sosial. Di dalamnya menyangkut sastra, masyarakat, dan kebudayaan. Karena, antara sastra, masyarakat, dan kebudayaan
merupakan suatu jalinan yang kuat, antara yang satu dengan yang lainnya saling berpengaruh, membutuhkan, dan saling menentukan dalam pertumbuhan dan
perkembangannya. Dalam hal ini, bentuk kritik sosial dalam karya sastra itu sendiri juga dapat berupa kritik terhadap politik dan pemerintahan, perilaku masyarakat, pelanggaran HAM, modernisasi atau budaya, dan sebagainya, yang terdapat dalam
sebuah karya sastra. Berikut penjelasan mengenai ragam kritik sosial dalam karya sastra.
a. Kritik Sosial terhadap Persoalan Pemerintah
Dalam arti luas, pemerintah adalah segala bentuk kegiatan atau aktifitas penyelenggaraan negara yang dilakukan oleh organ-organ atau alat-alat perlengkapan negara yang memiliki tugas dan fungsi sebagaimana digariskan oleh konstitusi.
Sedangkan pemerintah dalam arti sempit tidak lain adalah aktifitas atau kegiatan yang diselenggarakan oleh organ pemegang kekuasaan eksekutif sesuai dengan tugas dan fungsinya. Dalam hal ini dilakukan oleh presiden atau pun perdana menteri
sampai dengan level atau tingkat birokrasi yang paling rendah (Handoyo, 2009: 119). Dalam suatu pemerintahan pastinya memiliki kekurangan-kekurangan yang memaksa
masyarakat atau kritikus-kritikus untuk menuangkan kritikannya dalam berbagai bentuk, baik lisan maupun tulisan. Kritik dari masyarakat berfungsi sebagai kontrol sosial terhadap pemerintah untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Ketika
dalam negara ini akan berjalan kondusif. Oleh karena itu pemerintah harus memperbaiki sistem-sistem yang belum sepenuhnya berpihak kepada rakyat. Salah satunya adalah masalah korupsi. Sampai saat ini pemerintah masih belum juga serius
dalam menangani masalah korupsi yang dilakukan oleh para pejabat atau wakil rakyat. Hal tersebut juga salah satu kesalahan yang sangat fatal bagi perkembangan
sebuah negara. Dari dahulu kala sampai sekarang masih ada perbuatan yang sangat merugikan harga diri pemerintah di mata masyarakat, bahkan di mata dunia, karena hanya mementingkan kepentingan diri sendiri dari pada kepentingan bersama.
Upaya pemberantasan korupsi pada umumnya mengalami berbagai kendala, antara lain: a) belum memadainya ketentuan hukum yang diperlukan untuk menjerat
para pelaku korupsi, b) tidak adanya keberanian, ketegasan, dan kamauan politik yang kuat dari pemerintah untuk berpegang teguh pada prinsip supremasi hukum
dalam pemberantasan korupsi, c) tidak adanya kesungguhan dan minimnya profesionalisme aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, dan penasehat hukum) dalam memberantas korupsi. Banyak diantara mereka yang terlibat dalam praktik
suap-menyuap untuk meloloskan para pelaku korupsi kelas kakap (Suteng, dkk., 2007: 58-60). Maka dari itu, dapat kita pahami bahwa perlu adanya kritikan dari
seluruh masyarakat, guna untuk membantu pemerintah dalam mengoreksi diri terhadap kekurangan-kekurangan yang masih dimiliki oleh pemerintah Indonesia dalam menjalankan amanah dari masyarakat. Dari pendapat tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa pemeritah merupakan susunan tata negara yang memegang peranan penting bagi pertumbuhan atau perkembangan suatu negara dalam berbagai
b. Kritik Sosial terhadap Persoalan Masyarakat
Perilaku masyarakat merupakan tanggapan atau reaksi masyarakat terhadap rangsangan lingkungan tertentu yang dapat mempengaruhi kebudayaan yang mereka anggap sama, baik secara individu maupun secara kelompok. Bentuk perilaku tersebut dapat berupa tindakan baik maupun buruk. Perilaku masyarakat yang buruk dapat disebabkan oleh berbagai sumber, sebagai contoh media massa. Media massa sejak lama tidak diragukan lagi kekuatannya dalam mempengaruhi audiencenya.
Jahatnya kekuatan itu cenderung membabi buta, tidak mengenal laki-laki dan wanita, tua
dan muda, besar dan kecil, bila mereka tidak mampu menyaring informasi yang
diperoleh, maka dengan mudah terhipnotis oleh isi media. Manusia juga merupakan
makhluk peniru yang dapat dengan mudah menelan bulat-bulat isi media, tidak peduli
baik atau tidaknya pesan yang disampaikan melalui media tersebut bagi dirinya
(Lestiana, 2012: 5).
Sebagai contoh perilaku masyarakat Indonesia yang sampai saat ini masih saja terjadi ditengah masyarakat, yaitu aksi pornografi yang dilakukan oleh berbagai kalangan, terutama remaja. Pengaruh media dan televisi pun sering kali diimitasi oleh
remaja dalam perilakunya sehari-hari. Misalnya saja remaja yang menonton film dewasa
yang berkebudayaan barat, melalui observational learning, mereka melihat perilaku yang
mengandung unsur pornografi itu menyenangkan dan dapat diterima lingkungan. Hal ini
pun diimitasi oleh mereka, terkadang tanpa memikirkan adanya perbedaan kebudayaan,
nilai serta norma-norma dalam lingkungan masyarakat yang berbeda. Pada kenyataan di
jaman yang modern ini kehidupan masyarakat sudah semakin kurang terkendali karena
pengaruh dari budaya asing (westernisasi) yang kerap mengeksploitasi pornografi, hal ini
tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa kita dan norma ketimuran. Pornografi
paling banyak ditemukan dalam mengekspos masalah seksualitas (Lestiana, 2012: 6).
Dari hal inilah Rhoma Irama mencoba untuk memberikan arahan ataupun kritikan
yang diharapkan mampu merubah sikap atau perilaku masyarakat yang tidak baik tersebut.
c. Kritik Sosial terhadap persoalan HAM (Hak Azasi Manusia)
Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang melekat dan dimiliki setiap manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Rumusan “sejak lahir” sekarang
ini banyak dipertanyakan, sebab bayi yang ada dalam kandungan pun sudah memiliki hak untuk hidup. Oleh karena itu, rumusan yang lebih sesuai adalah hak dasar yang melekat pada manusia sejak ia hidup. Kesadaran akan hak asasi manusia didasarkan
atas pengakuan bahwa semua manusia sebagai mahluk Tuhan memiliki derajat dan martabat yang sama. Dengan pengakuan atas prinsip dasar tersebut, setiap manusia
memiliki hak dasar yang disebut hak asasi manusia. Jadi, kesadaran akan adanya HAM tumbuh dari pengakuan manusia itu sendiri bahwa mereka adalah sama dan sederajat (Winarno, 2010: 129).
Di negara kita ini (Indonesia) masyarakat masih sering sekali melakukan dan mengalami atau menjadi korban pelanggaran HAM. Kasus-kasus pelanggaran HAM
tidak hanya terjadi pada dewasa sekarang ini saja, akan tetapi sudah terjadi berpuluh-puluh tahun silam. Sebagai contoh yang sampai sekarang masih sering terjadi adalah kasus penganiayaan tenaga kerja Indonesia (TKI). Lemahnya perlindungan hukum
dari pemerintah dan kurang siapnya tenaga kerja yang akan bekerja di luar negeri menjadi penyebab terjadinya pelanggaran HAM. Selain itu, pada masa pemerintahan
untuk menentang peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Hal tersebut juga dapat dikatakan sebagai pelanggaran HAM untuk bebas berpendapat. Terdapat pasal yang menjelaskan tentang kebebasan berpendapat, yaitu pasal 19
dalam piagam PBB tentang hak asasi manusia yang berbunyi “setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini, termasuk
kebebasan mempunyai pendapat-pendapat dengan tidak mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat-pendapat dengan cara apapun juga dan dengan tidak memandang batas-batas”
(Suradji, dkk., 2000: 40).
Selain itu, tindakan-tindakan yang dikategorikan tidak berprikemanusiaan pun
masih terjadi, sebagai contoh pembunuhan yang dilakukan dengan cara otopsi, perbudakan yang mengakibatkan kematian, penyiksaan sebelum dibunuh, dan masih
banyak lagi yang lainnya. Perbuatan seperti ini sangat melanggar pasal-pasal yang berhubungan dengan HAM, antara lain pasal 4 dalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 39 tahun 1999 tentang HAM yang berbunyi “hak untuk hidup, hak
untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan
dihadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak-hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”, pasal 28G ayat (2) dalam UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak
untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik di negara lain” (Taniredja, 2012: 87).
undang-undang tentang hak asasi manusia akan mendapatkan hukuman yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
d. Kritik Sosial di bidang Modernisasi (Budaya)
Modernisasi merupakan persoalan yang menarik pada dewasa ini dan juga
merupakan gejala umum di dunia ini. Kebanyakan masyarakat di dunia dewasa ini terkait pada jaringan modernisasi, baik yang baru memasukinya, maupun yang sedang meneruskan tradisi modernisasi. Secara historis, modernisasi merupakan
suatu proses perubahan menuju pada tipe sistem-sistem sosial, ekonomi, dan politik yang telah berkembang di Eropa Barat dan Amerika Utara pada abad ke-17 sampai
abad 19. Sistem sosial yang baru ini kemudian menyebar ke negara-negara Eropa lainnya serta ke negara-negara Amerika Selatan, Asia, Afrika pada abad 19 dan 20
ini. Modernisasi merupakan suatu bentuk perubahan sosial. Biasanya merupakan perubahan sosial yang terarah dan didasarkan pada perencanaan yang biasa dinamakan dengan social planning. Modernisasi merupakan suatu persoalan yang
harus dihadapi masyarakat yang bersangkutan, karena prosesnya meliputi bidang-bidang yang sangat luas, menyangkut proses disorganisasi, problema-problema
sosial, konflik antar-kelompok, hambatan terhadap perubahan, dan sebagainya. Pada proses modernisasi tersebut juga membutuhkan waktu yang lama, karena melingkupi berbagai bidang yang sudah disebutkan (Soekanto, 2009: 302-304).
Pada proses tersebut, manusia berusaha untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan yang baru. Sebagian besar, modernisasi ini datang dari dunia barat yang
maka akan terjadi goncangan sosial-budaya, ketimpangan sosial-budaya, kehilangan unsur sosial-budaya, ketidakpastian norma budaya, dan sebagainya. Goncangan dalam sistem sosial dan budaya suatu masyarakat dapat terjadi karena masyarakat
menerima perbedaan itu sebagai bentuk terobosan atau penyerangan terhadap nilai-nilai yang telah lama dipegang teguh dan mengakar dalam budaya masyarakat itu.
Sebaliknya, apabila masyarakat siap untuk menerima perbedaan nilai baru yang masuk dari luar, maka masyarakat dapat meredam goncangan yang ada dan merespon secara positif terhadap nilai baru sebagai bentuk penambahan wawasan
baru dalam kehidupan masyarakat itu (Tim Abdi Guru, 2007: 227).
Sebagai akibat adanya modernisasi yang berpengaruh terhadap perubahan sosial-budaya, timbulah berbagai masalah-masalah pada perilaku masyarakat. Sebagai contoh tindak kriminalitas, kenakalan remaja, pelacuran (prostitusi), dan sebagainya. Seseorang atau kelompok masyarakat dapat berperilaku jahat karena pengaruh interaksinya dengan orang-orang yang cenderung melawan norma-norma yang ada. Umumnya, perilaku demikian dipelajari melalui alat-alat komunikasi atau media massa yang dapat memberikan pengaruh-pengaruh tertentu, seperti buku, surat kabar, majalah, film, siaran TV, radio, dan sebagainya. Media-media tersebut sangat berpengaruh besar terhadap perkembangan perilaku seseorang (Tim Abdi Guru, 2007: 189).
Perilaku lain akibat adanya perubahan sosial-budaya akibat modernisasi yaitu
kenalan remaja. Kenalakan remaja saat ini sudah semakin menjalar keseluruh
pelosok di berbagai daerah di Indonesia. Hal tersebut disebabkan karena kurangnya
kasih sayang dan bimbingan dari orang tua mereka, baik pada keluarga yang mampu
dikarenakan oleh berbagai hal, antara lain kurangnya pemberian nilai dan kebenaran
oleh orang tua, timbulnya organisasi-organisasi nonformal yang berperilaku
menyimpang sehingga tidak disukai masyarakat, dan timbulnya usaha-usaha untuk
mengubah keadaan yang disesuaikan dengan trend. Selanjutnya pelacuran (prostitusi)
dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri pada umum
untuk melakukan tindakan seksual dengan mendapat upah. Prostitusi merupakan
kegiatan yang melanggar susila yang sampai sekarang semakin berkembang hampir
di semua daerah terutama di kota-kota besar (Tim Abdi Guru, 2007: 190).
6. Kenyataan Historis
Seperti yang kita pahami bahwa karya sastra merupakan hasil perenungan
pikiran seseorang. Perenungan tersebut dipengaruhi adanya fenomena-fenomena
yang terjadi secara nyata atau dapat juga disebut sebagai kenyataan historis. Dalam
sebuah penelitian kritik sosial pada lirik lagu ini, kenyataan historis digunakan
sebagai pembuktian yang relevan dengan lirik lagu yang diciptakan. Oleh karena itu,
tidak terjadi kesalahpahaman atau ketidakcocokan antara lirik lagu dengan kenyataan
yang terjadi. Kenyataan historis tersebut antara lain adalah sebagai berikut.
a. Berakhirnya Orde Baru dan Lahirnya Orde Reformasi
Pemerintah orde baru berusaha menjalankan pemerintahan dengan
berpedoman pada pancasila dan UUD 1945. Namun demikian, dalam praktiknya atau
kedua sumber pedoman tersebut. Dapat dilihat dari penyelenggaraan pemilihan
umum yang dianggap tidak jujur dan tidak adil. Pemanfaatan P4 (Pemasyarakatan
Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila) untuk mempertahankan kekuasaan
dan penyelenggaraan demokrasi yang ditujukan untuk kepentingan golongan tertentu.
Dalam pelaksanaan politik luar negeri, Indonesia terganjal dalam masalah integrasi
Timor Timur (Bachri, dkk., 2009: 46). Pemerintah orde baru pada waktu itu memang
dinilai sangat otoriter. Masyarakat dilarang untuk menentang kebijakan-kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintah, khususnya dalam hal berpendapat. Hal itu tidak
lain adalah aturan main politik yang dilancarkan oleh presiden Soeharto, yaitu sistem
pemberian hadiah bagi yang pro terhadap Soeharto dan hukuman bagi yang kontra
atau menentang kekuasaannya.
Pada tanggal 10 Maret 1998, Soeharto kembali terpilih sebagai presiden untuk
yang ketujuh kalinya dan mengumumkan susunan kabinetnya. Hal itu telah memicu
kemarahan rakyat karena susunan cabinet tersebut dianggap sebagai bentuk
nepotisme yang keterlaluan. Muncul protes diberbagai tempat dengan dipelopori oleh
para mahasiswa dan kaum cendikiawan. Beberapa tuntutan yang digulirkan oleh
gerakan reformasi adalah: pembubaran orde baru beserta Golkar, penghapusan Dwi
Fungsi ABRI, pemberantasan KKN, penegakan HAM, demokrasi, dan supremasi
hukum. Namun, pemerintah masih bersikeras terhadap keputusan yang sudah
ditetapkan. Awalnya, aksi mahasiswa menuntut perbaikan kondisi, akan tetapi karena
pemerintah menolak, pada akhirnya mahasiswa beserta gerakan reformasi lainnya
menuntut agar presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatan sebagai presiden.
Bentrokan antara mahasiswa tidak dapat dihindari lagi (Bachri, dkk., 2009: 57-58).
Terjadi tragedi Trisakti dan tragedi Semanggi pada 12 Mei 1998 yang
menewaskan mahasiswa-mahasiwa Trisakti, seperti: Elang Mulyana Lesmana, Hery
Hartono, Hendriawan Sie, dan Hafidhin Royan. Akibat tragedi tersebut, terjadi amuk
masa diberbagai daerah di Jakarta berupa pembakara dan penjarahan toko serta
gudang-gudang yang diindikasikan milik Cina, perusakan sarana-sarana umum, dan
kekacauan diberbagai wilayah di Indonesia. Konsentrasi mahasiswa dan masyarakat
pendukung gerakan reformasi akhirnya terpusat pada wakil-wakil rakyat di
DPR/MPR dengan agenda utama agar segera diadakan Sidang Istimewa MPR (SI
MPR) untuk mencabut mandate presiden Soeharto. Mahasiswa bukan lagi hanya
berasal dari Jakarta, tetapi mereka juga berdatangan dari Bandung, Yogyakarta, dan
tuntutan mahasiswa tersebut, akhirnya pada tanggal 20 Mei 1998 diselenggarakan SI
MPR, kemudian pada tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.05 presiden Soeharto
menyatakan pengunduran dirinya dan menyerahkan kekuasaan kepada wakil presiden
BJ Habibie (Bachri, dkk., 2009: 58-59). Dari sinilah reformasi negara Indonesia baru
dimulai dan banyak menimbulkan dampak yang baik bagi perkembangan Indonesia
di berbagai bidang.
Reformasi telah menyebabkan terjadinya perubahan cara pandang masyarakat terhadap berbagai bidang kehidupan. Masyarakat menjadi lebih kritis dan tanggap terhadap perkembangan atau cara kerja pemerintah. Faktor utama terjadinya reformasi di Indonesia adalah adanya krisis ekonomi. Namun, sebenarnya faktor-faktor lain juga berpengaruh, seperti: kondisi politik yang banyak terjadi penyalahgunaan kekuasaan, jurang sosial antara si kaya dan si miskin demikian lebar, tindakan hukum yang lebih banyak mengorbankan masyarakat sementara penguasa terhindar dari hukum yang merugikan. Hal tersebut merupakan ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah (Bachri, dkk., 2009: 59).
pemerintah daerah kabupaten Tegal. Keduanya diperiksa sebagai saksi kasus korupsi Rp 30 miliar yang diduga melibatkan oknum Bupati Kendal. Kasus dugaan korupsi ini bermula dari surat permintaan oknum Bupati tersebut ke PT BPD Jateng cabang Kendal pada 17 November 2003 untuk meminjam Rp 80 miliar. Pinjaman tersebut direncanakan untuk membiayai pembangunan sarana perkantoran dan pendidikan di Kendal. Namun, Direksi BPD Jateng cabang Kendal hanya setuju memberikan kredit berjangka tunai Rp 30 miliar yang diduga kemudian diselewengkan (Dwiyono, dkk., 2007: 85-86)
Dari penjelasan di atas, kita dapat mengetahui bahwa pemerintahan orde baru banyak sekali menimbulkan masalah di berbagai bidang. Tentu saja hal tersebut tidak hanya memaksa para mahasiswa dan pendukung gerakan reformasi untuk melakukan
kritikan, akan tetapi juga para kritikus, seperti: pencipta karya sastra besar, pencipta lagu, dan lain sebagainya. Dengan segala kecerdasan dan dukungan dari berbagai
kalangan, mereka yang ikut serta dalam pergerakan reformasi berhasil menciptakan karya-karya yang menjadi senjata untuk melawan ketidakadilan pemerintah. Tujuannya pun sama dengan apa yang dikehendaki oleh seluruh masyarakat
Indonesia. Pada kenyataannya, hal yang disebut yang dikatakan sebagai perubahan besar terjadi di Indonesia, yaitu reformasi.
b. Sekilas HAM di Indonesia
Laporan media massa cetak dan elektronik di Indonesia dan peran media massa
dalam mengangkat pelanggaran-pelanggaran oleh aparat militer negera memang
cukup leluasa pada masa sekarang. Utamanya sejak rezim orde baru tumbang.
menyebutkan bahwa militer terlibat dalam 207 kasus pelanggaran dengan 131 kasus
di antaranya terkategori sebagai pelanggaran serius yang diberitakan oleh media
cetak Kompas Cyber Media, 6 Oktober 2000. Hal itu direspon secara positif dan
dengan beragam kebijakan operasionalnya di lapangan. Militer Indonesia kemudian
mencoba membenahi hal ini. Terliput di media massa misalnya, bekal panduan HAM
diberikan kepada prajurit-prajurit yang diterjunkan ke suatu daerah konflik,
paradigma TNI diubah ke paradigma yang lebih santun dan sikap militer ke kalangan
sipil nampaknya juga melunak (Yuliarso, dkk., 2005: 301).
Namun demikian, kecenderungan menurunnya pelanggaran HAM yang
dilakukan militer dan aparatur negara tidak serta merta menurunkan jumlah
pelanggaran HAM di Indonesia. Berbagai tindak kekerasan terus berlangsung dan
ironisnya ada yang membuat pernyataan kalau terjadinya tindak kekerasan itu dapat
dimaklumi. Perbedaan pendapat dan perbedaan keyakinan dengan mudah dapat
disulut menjadi ajang adu massa, adu kekuatan, adu fisik dan tuntutan peniadaan.
Artinya, jika aparatur negara dan militer berusaha bersikap dewasa dalam masalah
HAM, sejumlah individu dan kelompok justru berubah diri dengan "memanjakan"
kekerasan, ketidaksantunannya dan ketidakdewasaan berpikir dan sikapnya, dengan
mengatasnamakan "keyakinan" (Yuliarso, dkk., 2005: 301).
Sebagai contoh pelanggaran HAM yang dilakukan oleh presiden Soeharto pada
masa orde baru telah dilakukan penyelidikan secara lebih lanjut. Kaitannya dengan
hal tersebut, Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) Indonesia membentuk sebuah
Tim Penyelidikan Pelanggaran Berat Soeharto pada Januari tahun 2003 lalu. Disadari
mungkin memasukan semua kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada masa itu.
Tim membagi periode tersebut menjadi empat fase (1965-1975, 1975-1985,
1985-1995, dan 1995-1998). Setiap fase dipilih satu atau dua kasus yang menonjol.
Pada fase pertama diambil kasus pembantaian pada tahun 1965 dan kasus
penahanan politik di pulau Buru. Fase kedua diambil kasus Petrus (Pembunuhan
Misterius). Pada fase ketiga diambil kasus Tanjung Priok dan DOM (Daerah Operasi
Militer) di Aceh dan Papua, sedangkan pada fase keempat atau terakhir, diambil
kasus meletusnya peristiwa 27 Juli 1996 dan Kerusuhan Mei 1998 (Adam, 2006:
179-181). Itulah pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah
(dalam arti luas) dan mantan presiden Soeharto yang dikenal dengan masa orde baru
atau masa pembangunan yang mengakibatkan banyaknya masalah, terutama krisis
diberbagai sektor. Sehingga perlu dilakukan kritikan-kitikan yang dapat dijadikan
sebagai nasehat untuk pemerintah dan masyarakat agar saling menghormati hak asasi
manusia sebagaimana mestinya. Karena pada dasarnya, hak asasi manusia adalah
fitrah atau anugerah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk hidup, untuk
berbicara, untuk berperilaku sesuai norma, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, hak