• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Miskonsepsi a. Pengertian Miskonsepsi - MISKONSEPSI PEMBELAJARAN MATEMATIKA KELAS IV SEMESTER II DI SEKOLAH DASAR - repository perpustakaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Miskonsepsi a. Pengertian Miskonsepsi - MISKONSEPSI PEMBELAJARAN MATEMATIKA KELAS IV SEMESTER II DI SEKOLAH DASAR - repository perpustakaan"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Miskonsepsi

a. Pengertian Miskonsepsi

Miskonsepsi atau salah konsep menunjuk pada suatu konsep yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima para pakar dalam bidang matematika (Suparno, 2013: 4). Novak & Gowin (Eka, 2014: ix) menyatakan bahwa miskonsepsi merupakan suatu interpretasi mengenai konsep-konsep dalam suatu pernyataan yang tidak dapat diterima. Miskonsepsi merupakan penjelasan yang salah dan suatu gagasan yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah yang diterima para ahli. Miskonsepsi dapat merupakan pengertian yang tidak akurat tentang konsep, penguasaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah tentang penerapan konsep, pemaknaan konsep yang berbeda, kekacauan konsep yang berbeda dan hubungan hirarki konsep-konsep yang tidak benar.

(2)

1) Novak (1984)

Novak mendefinisikan miskonsepsi sebagai suatu interpretasi konsep-konsep dalam suatu pernyataan yang tidak dapat diterima. 2) Brown (1989: 1992)

Brown menjelaskan miskonsepsi sebagai suatu pandangan yang nait dan mendefinisikannya sebagai suatu gagasan yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah yang sekarang diterima.

3) Feldsine (1987)

Feldsine menemukan miskonsepsi sebagai suatu kesalahan dan hubungan yang tidak benar antara konsep-konsep.

4) Fowler (1987)

Fowler memandang miskonsepsi sebagai pengertian yang tidak akurat akan konsep, penggunaan konsep yang salah, kekacauan konsep-konsep yang berbeda dan hubungan hirarkis konsep-konsep yang tidak benar.

(3)

b. Penyebab Miskonsepsi

Suparno (2013: 29) mengemukakan bahwa penyebab miskonsepsi secara garis besar ada lima kelompok yaitu: siswa, guru, buku teks, konteks, dan metode mengajar.

1) Siswa

Miskonsepsi yang berasal dari siswa dapat dikelompokkan dalam beberapa hal, antara lain:

a) Prakonsepsi atau Konsep Awal Siswa

Siswa sudah mempunyai konsep awal atau prakonsepsi tentang suatu bahan sebelum siswa mengikuti pelajaran formal di bawah bimbingan guru (Suparno, 2013: 34). Konsep awal ini sering mengandung miskonsepsi.

b) Pemikiran Asosiatif Siswa

(4)

c) Pemikiran Humanistik

Gilbert, Watts, dan Osborne (1982) dalam Suparno (2013: 36) menyatakan bahwa siswa sering memandang semua benda dari pandangan manusiawi. Benda-benda dan situasi dipikirkan dalam term pengalaman orang dan secara manusiawi.

d) Reasoning yang Tidak Lengkap atau Salah

Comins (1993) dalam Suparno (2013: 36) menjelaskan bahwa reasoning atau penalaran siswa yang tidak lengkap atau salah

dapat menyebabkan miskonsepsi. Alasan yang tidak lengkap dapat disebabkan karena informasi yang diperoleh atau data yang didapatkan tidak lengkap sehingga siswa menarik kesimpulan secara salah dan ini menyebabkan timbulnya miskonsepsi siswa.

e) Intuisi yang Salah

Instuisi adalah suatu perasaan dalam diri seseorang yang secara spontan mengungkapkan sikap atau gagasannya tentang sesuatu sebelum secara obyektif dan rasional diteliti (Suparno, 2013: 38). Intuisi yang salah dan perasaan siswa dapat menyebabkan miskonsepsi.

f) Tahap Perkembangan Kognitif Siswa

(5)

Perkembangan kognitif siswa yang tidak sesuai dengan bahan yang digeluti dapat menjadi penyebab miskonsepsi siswa (Suparno, 2013: 39).

g) Kemampuan Siswa

Kemampuan siswa juga mempengaruhi miskonsepsi siswa. Siswa yang intelegensi matematis-logisnya kurang tinggi akan mengalami kesulitan dalam mengangkap konsep terutama konsep yang abstrak (Suparno, 2013: 40).

h) Minat Belajar Siswa

Siswa yang berminat cenderung mempunyai miskonsepsi lebih rendah daripada siswa yang tidak berminat. Siswa yang tidak berminat apabila salah dalam menangkap suatu bahan maka tidak berminat juga untuk mencari mana yang benar dan mengubah konsep yang salah sehingga kesalahan untuk bahan-bahan yang dibangun berdasarkan miskonsepsi akan semakin menumpuk.

2) Guru

(6)

untuk membantu siswa lebih mudah menangkap bahan yang disajikan terkadang menjelaskan tidak lengkap atau menghilangkan sebagian unsur yang penting sehingga siswa salah menangkap konsep (Suparno, 2013: 44). Hal tersebut sejalan dengan pendapat Maghsoudi (2015) yang menyatakan bahwa:

“Mathematics which is taught without using proper backgrounds and connection to the real time stops delivering common sense to real mathematics from learning. This can cause various misconceptions in understanding concepts in mathematics.

Artikel di atas menjelaskan bahwa penyajian materi matematika oleh guru yang tidak dikaitkan dengan latar belakang siswa yang tepat dan kehidupan nyata siswa merupakan penyebab terjadinya kesalahpahaman siswa mengenai konsep-konsep (miskonsepsi) dalam matematika. Selain itu, guru yang tidak memberikan materi matematika secara konkret dengan tidak menggunakan benda-benda nyata kepada siswa juga menjadi penyebab miskonsepsi. Zuya dan Kwalat (2015) menambahkan:

“As it is an indication that the teachers themselves do not possess the knowledge required to solve the problems in question. Their failure to identify the knowledge the student lacked in solving the problems in this study was not unconnected with their inability to suggest ways of helping the student. This is a case of “you cannot give what you do not have”.

(7)

memiliki pengetahuan yang diperlukan untuk memecahkan miskonsepsi sehingga mereka tidak dapat membantu siswa memecahkan masalahnya. Dengan demikian, seorang guru tidak dapat membantu menyelesaikan miskonsepsi siswa jika guru tersebut juga tidak memiliki pengetahuan tentang miskonsepsi. 3) Buku Teks

Buku teks dapat menyebarkan miskonsepsi yang disebabkan bahasa yang sulit atau penjelasan yang tidak benar sehingga miskonsepsi tetap diteruskan (Suparno, 2013: 44).

4) Konteks

Konteks juga dapat menjadi penyebab miskonsepsi. Menurut Suparno (2013: 47-49), konteks tersebut antara lain pengalaman siswa, bahasa sehari-hari, teman lain, keyakinan dan ajaran agama. 5) Metode mengajar

Metode yang digunakan guru dapat memunculkan miskonsepsi sehingga guru perlu kritis dengan metode yang akan digunakan dan tidak membatasi diri dengan satu metode saja. Beberapa contoh metode mengajar antara lain: metode ceramah, metode praktikum, metode demonstrasi dan metode diskusi.

(8)

kemampuan siswa dan minat belajar siswa. Penyebab miskonsepsi selanjutnya berasal dari guru yang tidak menguasai bahan atau mengerti bahan namun tidak benar sehingga penjelasan dalam buku teks yang salah atau bahasa yang sulit dipahami akan diteruskan oleh guru kepada siswa yang menyebabkan miskonsepsi pada siswa. Konteks siswa yang berupa pengalaman serta metode mengajar yang tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyampaikan gagasannya juga menjadi penyebab miskonsepsi.

c. Teknik-Teknik Mendeteksi Miskonsepsi

Miskonsepsi yang terjadi pada siswa dapat ditangani apabila diketahui miskonsepsi apa saja yang dimiliki dan darimana asal miskonsepsi tersebut. Cara mengidentifikasi dan mendeteksi miskonsepsi diperlukan agar dapat mengetahui miskonsepsi siswa. Beberapa alat deteksi yang sering digunakan para peneliti dan guru antara lain:

1) Peta Konsep (Concept Map)

(9)

biasanya miskonsepsi dapat dilihat dalam proporsi yang salah dan tidak adanya hubungan yang lengkap antar konsep.

2) Tes Multiple Choice dengan Reasoning Terbuka

Amir, dkk, (1987) dalam Suparno (2013: 123) berpendapat bahwa penggunaan tes pilihan ganda (multiple choice) dengan pertanyaan terbuka mengharuskan siswa untuk menjawab dan menulis mengapa siswa mempunyai jawaban seperti itu. Jawaban-jawaban yang salah dalam pilihan ganda ini dapat dijadikan bahan tes berikutnya.

3) Tes Esai Tertulis

Guru dapat mempersiapkan suatu tes esai yang memuat beberapa konsep yang akan diajarkan atau yang sudah diajarkan sehingga dapat diketahui miskonsepsi yang dibawa oleh siswa dan dalam bidang apa (Suparno, 2013: 126).

4) Wawancara Diagnosis

Guru memilih beberapa konsep yang diperkirakan sulit dimengerti siswa atau beberapa konsep pokok dari bahan yang akan diajarkan, kemudian siswa diajak untuk mengekspresikan gagasan mereka mengenai konsep-konsep tersebut (Suparno, 2013: 126).

5) Diskusi dalam Kelas

(10)

sehingga dapat dideteksi juga apakah gagasan mereka itu tepat atau tidak (Suparno, 2013: 127).

6) Praktikum dengan Tanyajawab

Praktikum disertai dengan tanyajawab antara guru dengan siswa yang melakukan praktikum dapat digunakan untuk mendeteksi apakah siswa mempunyai miskonsepsi tentang konsep pada praktikum itu atau tidak (Suparno, 2013: 128).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa seorang guru dapat mendeteksi miskonsepsi yang terjadi pada siswa. Alat yang digunakan untuk mndeteksi miskonsepsi antara lain: peta konsep, tes pilihan ganda dengan jawaban terbuka, tes essai tertulis, wawancara diagnosis, diskusi dalam kelas, dan praktikum dengan tanyajawab. Penggunaan alat pendeteksi tersebut bertujuan untuk mengetahui miskonsepsi yang dimiliki siswa beserta sumbernya.

2. Matematika

a. Pengertian Matematika

Nasution (1982: 12) menjelaskan bahwa istilah matematika berasal dari kata Yunani, mathein atau mathenein yang berarti mempelajari. Kata ini memiliki hubungan yang erat dengan bahasa sansekerta, medha atau widya yang memiliki arti kepandaian, ketahuan atau intelegensia. Matematika dalam bahasa Belanda,

(11)

Ruseffendi (Titikusumawati, 2014: 4) juga menjelaskan bahwa kata matematika berasal dari bahasa Latin mathematika, awalnya diambil dari bahasa Yunani mathematike yang artinya mempelajari. Mathematika berasal dari kata mathema yang berarti pengetahuan atau

ilmu (knowledge, science). Kata mathematike berhubungan pula dengan kata lainnya yang hampir sama, yaitu mathein atau mathenein yang artinya belajar (berpikir). Berdasarkan kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa matematika adalah ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui belajar dan berpikir (bernalar). Matematika terbentuk karena pikiran-pikiran manusia yang berhubungan dengan penalaran.

Definisi matematika dikemukakan oleh beberapa ahli yang terangkum dalam buku Titikusumawati (2014: 35) sebagai berikut: 1) Russefendi (1988: 23)

Matematika terorganisasikan dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan. Definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan dalil-dalil di mana dalil-dalil setelah dibuktikan kebenarannya berlaku secara umum, karena itulah matematika sering disebut ilmu deduktif. 2) James dan James (1976)

(12)

3) Johnson dan Rising dalam Russefendi (1972)

Matematika adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan, pembuktian yang logis, matematika itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas dan akurat representasinya dengan simbol dan padat, lebih berupa bahasa simbol mengenai ide daripada mengenai bunyi. Matematika adalah pengetahuan struktur yang terorganisasi, sifat-sifat dalam teori-teori dibuat secara deduktif berdasarkan kepada unsur yang tidak didefinisikan, aksioma, sifat atau teori yang telah dibuktikan kebenarannya adalah ilmu tentang keteraturan pola atau ide, dan matematika itu adalah suatu seni, keindahannya terdapat pada keterurutan dan keharmonisannya.

4) Reys-dkk (1984)

Matematika adalah telaahan tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berpikir, suatu seni, suatu bahasa, dan suatu alat. 5) Kline (1973)

Matematika itu bukan pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan alam.

(13)

sistematik, (2) matematika adalah pengetahuan tentang bilangan dan kalkulasi, (3) matematika adalah pengetahuan tentang penalaran yang logik dan berhubungan dengan bilangan-bilangan, (4) matematika adalah pengetahuan fakta-fakta kuantitatif dan masalah tentang ruang dan bentuk, (5) matematika adalah pengetahuan tentang struktur-struktur yang logik, dan (6) matematika adalah pengetahuan tentang aturan-aturan yang ketat. Sumardyono (2004: 28) juga mendefinisikan matematika sebagai struktur yang terorganisasi, matematika sebagai alat (tool), matematika sebagai pola pikir deduktif, matematika sebagai cara bernalar (the way of thinking), matematika sebagai bahasa artifisial dan matematika sebagai seni yang kreatif.

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh para ahli dapat disimpulkan bahwa matematika adalah cabang ilmu pengetahuan tentang bilangan, kalkulasi, fakta-fakta kuantitatif, masalah tentang ruang dan bentuk yang diperoleh melalui penalaran. Matematika merupakan struktur yang terorganisasi, digunakan sebagai alat, berpola pikir deduktif, diperoleh dengan cara bernalar, merupakan bahasa artifisial dan seni yang kreatif. Matematika merupakan ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui proses berpikir dan bernalar.

b. Karakteristik Matematika

(14)

1) Memiliki Objek Kajian yang Abstrak

Objek kajian matematika ada empat, yaitu: fakta, konsep, operasi atau relasi, dan prinsip.

a) Fakta

Fakta (abstrak) berupa konvensi-konvensi yang diungkap dengan simbol tertentu. Simbol “3” secara umum sudah

dipahami sebagai simbol untuk bilangan “tiga”, sebaliknya jika

seseorang mengucapkan kata “tiga” dapat disimbolkan dengan

“3”.

b) Konsep

Konsep adalah ide abstrak yang digunakan untuk menggolongkan atau mengklasifikasikan sekumpulan objek apakah objek tertentu merupakan contoh konsep atau bukan. “Segitiga” adalah nama suatu konsep abstrak. Benda dapat

digolongkan sebagai contoh segitiga atau bukan dengan menggunakan konsep tersebut.

c) Operasi atau Relasi

Operasi adalah pengerjaan hitung, pengerjaan aljabar, dan pengerjaan matematika yang lain. Contoh dari operasi yaitu “penjumlahan”, “perkalian”, “gabungan” dan “irisan”.

d) Prinsip

(15)

oleh suatu relasi ataupun operasi. Prinsip adalah hubungan diantara berbagai objek dasar matematika. Prinsip dapat berupa “aksioma”, “teorema”, dan “sifat”.

2) Bertumpu pada Kesepakatan

Kesepakatan merupakan hal penting dalam matematika dan keseharian. Kesepakatan yang mendasar adalah aksioma dan konsep primitif. Aksioma diperlukan untuk menghindari berputar-putar dalam pembuktian, sedangkan konsep primitif diperlukan untuk menghindari berputar-putar dalam pendefinisian. Fathani (2009: 66) juga mengatakan bahwa simbol-simbol dan istilah-istilah dalam matematika merupakan kesepakatan atau konvensi yang penting. Simbol dan istilah yang telah disepakati dalam matematika memudahkan pembahasan selanjutnya dilakukan dan dikomunikasikan.

3) Berpola Pikir Deduktif

Pola pikir secara deduktif dapat dikatakan pemikiran yang berpangkal dari hal yang bersifat umum diterapkan atau diarahkan kepada hal yang bersifat khusus. Pola pikir deduktif ini dapat terwujud dalam bentuk yang amat sederhana, tetapi juga dapat terwujud dalam bentuk yang tidak sederhana. Seorang siswa yang telah memahami konsep “persegi”, maka ketika dia melihat

(16)

4) Memiliki Simbol yang Kosong dari Arti

Matematika menggunakan banyak simbol. Simbol tersebut dapat berupa huruf maupun bukan huruf. Rangkaian simbol matematika dapat membentuk suatu model matematika misalnya persamaan dan pertidaksamaan.

5) Memperhatikan Semesta Pembicaraan

Matematika memerlukan kejelasan dari ruang lingkup apa suatu model digunakan. Simbol-simbol diartikan bilangan apabila lingkup pembicaraannya adalah bilangan. Lingkup pembicaraan itulah yang disebut dengan semesta pembicaraan.

6) Konsisten dalam Sistemnya

Matematika mempunyai berbagai macam sistem. Sistem-sistem dalam matematika ada yang berkaitan dan ada yang dapat dipandang lepas satu sama lain. Sistem geometri merupakan sistem yang berkaitan dan didalamnya terdapat sistem geometri netral, sistem geometri insidensi, sistem geometri Euclid, sistem geometri lobachewski dan lain-lain.

(17)

deduktif, memiliki simbol yang kosong dari arti, memperhatikan semesta pembicaraan dan konsisten dalam sistemnya.

Matematika sekolah sedikit berbeda dengan matematika sebagai ilmu. Sumardyono (2004: 43-47) menjelaskan perbedaan antara matematika sebagai ilmu dan matematika sekolah sebagai berikut:

1) Penyajian

Penyajian matematika tidak harus diawali dengan teorema maupun definisi, tetapi harus disesuaikan dengan perkembangan intelektual siswa.

2) Pola Pikir

Pembelajaran matematika sekolah dapat menggunakan pola pikir deduktif maupun pola pikir induktif. Hal ini harus disesuaikan dengan topik bahasan dan tingkat intelektual siswa sehingga di sekolah dasar biasanya menggunakan pendekatan induktif lebih dulu karena hal ini lebih memungkinkan siswa menangkap pengertian yang dimaksud.

3) Semesta Pembicaraan

(18)

4) Tingkat Keabstrakan

Tingkat keabstrakan matematika juga harus menyesuaikan perkembangan intelektual siswa. Semakin tinggi jenjang pendidikan, tingkat keabstrakan semakin diperjelas.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa matematika di sekolah berbeda dengan matematika sebagai ilmu. Perbedaan tersebut antara lain pada penyajian, pola pikir, semesta pembicaraan dan tingkat keabstrakan. Matematika di sekolah diberikan dengan menyesuaikan perkembangan intelektual siswa.

c. Mata Pelajaran Matematika di Sekolah Dasar

Mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar tentu memiliki tujuan antara lain untuk membekali peserta didik atau siswa dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama (Ibrahim dan Suparni, 2012: 35). BSNP (2006: 148) menyatakan bahwa matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:

1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.

(19)

3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

4) Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.

5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet, dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Mata pelajaran Matematika pada satuan pendidikan SD/MI menurut BSNP (2006: 148) meliputi beberapa aspek yaitu:

1) Bilangan

2) Geometri dan pengukuran 3) Pengolahan data.

Ibrahim dan Suparni (2012: 37) mengemukakan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) di Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) adalah sebagai berikut.

1) Memahami konsep bilangan bulat dan pechan, operasi hitung dan sifat-sifatnya, serta menggunakannya dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari.

(20)

3) Memahami konsep ukuran dan pengukuran berat, panjang, luas, volume, sudut, waktu, kecepatan, debit, serta mengaplikasikannya dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari.

4) Memahami konsep pengumpulan data, penyajian data dengan tabel, gambar dan grafik (diagram), mengurutkan data, rentangan data, rerata hitung, modus, serta menerapkannya dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari.

5) Memahami konsep koordinat untuk menentukan letak benda dan menggunakannya dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari.

6) Memiliki sikap menghargai matematika dan kegunaannya dalam kehidupan.

7) Memiliki kemampuan berpikir logis, kritis, dan kreatif

(21)

Tabel 2.1 Standar Kompetensi dan Komptensi Dasar

Mata Pelajaran Matematika Kelas IV Semester II

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar 5. Menjumlahkan dan

mengurangkan bilangan bulat.

5.1 Mengurutkan bilangan bulat 5.2 Menjumlahkan bilangan bulat 5.3 Mengurangkan bilangan bulat 5.3 Melakukan operasi hitung campuran 6. Menggunakan

pecahan.

6.1 Menjelaskan arti pecahan dan urutannya

6.2 Menyederhanakan berbagai bentuk pecahan

7.1 Mengenal lambang bilangan Romawi

7.2 Menyatakan bilangan cacah sebagai bilangan Romawi dan sebaliknya

8.1 Menentukan sifat-sifat bangun ruang sederhana

8.2 Menentukan jaring-jaring balok dan kubus

8.3 Mengidentifikasi benda-benda dan bangun datar simetris

8.4 Menentukan hasil pencerminan suatu bangun datar

(22)

Matematika berguna bagi ilmu-ilmu lain karena banyak ilmu- ilmu yang penemuan dan pengembangannya bergantung dari matematika. Titikusumawati (2014: 34-35) memberikan contoh kegunaan matematika bagi ilmu-ilmu lain yaitu: (1) Penemuan dan pengembangan Teori Mendel dalam Biologi melalui konsep Probabilitas, (2) Perhitungan dengan bilangan imajiner digunakan untuk memecahkan masalah tentang kelistrikan, (3) Dengan matematika, Einstein membuat rumus yang dapat digunakan untuk menaksir jumlah energi yang dapat diperoleh dari ledakan atom, (4) Dalam ilmu pendidikan dan psikologi, khususnya dalam teori belajar, selain digunakan statistik juga digunakan persamaan matematis untuk menyajikan teori atau model dari penelitian, (5) Dalam ilmu kependudukan, matematika digunakan untuk memprediksi jumlah penduduk, (6) Dalam seni grafis, konsep transformasi geometrik digunakan untuk melukis mosaik, (7) Dalam seni musik, barisan bilangan digunakan untuk merancang alat musik.

(23)

jarak yang ditempuh dari suatu tempat ke tempat yang lain, (6) Menghitung laju kecepatan kendaraan membentuk pola pikir menjadi pola pikir matematis, orang yang mempelajarinya,(7) Kritis, sistimatis dan logis, (8) Menggunakan perhitungan matematika baik dalam pertanian, perikanan, perdagangan, dan perindustrian.

d. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar

Ibrahim dan Suparni (2012: 24) menyatakan bahwa pergeseran cara pandang matematika akan berpengaruh terhadap cara penyampaian matematika kepada anak didik atau siswa. Pandangan pertama menyatakan bahwa matematika sebagai “strict body of

knowledge” meletakkan siswa sebagai objek yang pasif karena yang

diutamakan disini adalah “knowledge of mathematic”. Guru adalah center yang artinya guru merupakan penggerak utama proses pembelajaran sehingga orientasinya adalah bagaimana guru mengajar, bagaimana guru menyampaikan bahan matematika, bagaimana guru menuliskan uraian, bagaimana guru menilai, bagaimana guru mengontrol siswa, bagaimana guru mendisiplinkan siswa, dan bagaimana guru melakukan tindakan terhadap pelanggaran yang dilakukan. Inilah yang dikenal dengan teacher-centered approach.

(24)

aktivitas kehidupan manusia, Freudenthal mengistilahkannya sebagai “mathematic as human sense-making and problem solving activity.

Pembelajaran matematika adalah suatu proses belajar mengajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreatifitas berpikir siswa yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa, serta dapat meningkatkan kemampuan mengkonstruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasa yang baik terhadap materi matematika (Susanto, 2015: 187). Ibrahim dan Suparni (2012: 30) berpendapat bahwa paham constructivism menghendaki siswa sendirilah yang mengkonstruksi pemahaman matematika namun tidak dilepaskan sendiri melainkan dengan bantuan guru sebagai fasilitator dan sebagai pembimbing atau sebagai moderator, akhirnya siswa akan sampai kepada pemahaman matematika yang mandiri dan kuat. Pembelajaran matematika secara constructive menuntut siswa memiliki pengetahuan awal untuk selanjutnya dikembangkan yang mengarah kepada konsep matematika yang sedang dipelajari.

(25)

mengalami kesulitan dalam memahami materi yang bersifat abstrak (Susanto, 2015: 184). Adjie dan Maulana (2006: 37) berpendapat bahwa materi matematika termasuk materi yang abstrak sehingga hanya orang-orang yang dapat berfikir abstrak saja yang dapat mempelajari matematika. Siswa sekolah dasar akan mengalami kesulitan dalam belajar matematika apabila gurunya tidak menyesuaikan dengan kemampuan berpikir siswa-siswanya.

Aisyah (2008: 1.6-1.7) menjelaskan tiga tahapan model penyajian dalam teori belajar Bruner dapat sebagai berikut:

1) Model Tahap Enaktif

Pada tahap ini anak belajar sesuatu pengetahuan dimana pengetahuan itu dipelajari secara aktif, dengan menggunakan benda-benda konkret atau menggunakan situasi yang nyata.

2) Model Tahap Ikonik

(26)

3) Model Tahap Simbolis

Pada tahap simbolik ini, pembelajaran direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak (abstract symbols), yaitu simbol-simbol arbiter yang dipakai berdasarkan kesepakatan orang-orang dalam bidang yang bersangkutan, baik simbol-simbol verbal (misalnya huruf-huruf, kata-kata, kalimat-kalimat), lambang-lambang matematika, maupun lambang-lambang-lambang-lambang abstrak yang lain.

Depdiknas (2009: 1) menjelaskan 4 tahapan aktivitas dalam rangka penguasaan materi pelajaran matematika di dalam pembelajaran, antara lain:

1) Penanaman Konsep

Tahap penanaman konsep merupakan tahap pengenalan awal tentang konsep yang akan dipelajari siswa. Pada tahap ini pengajaran memerlukan penggunaan benda konkrit sebagai alat peraga.

2) Pemahaman Konsep

Tahap pemahaman konsep merupakan tahap lanjutan setelah konsep ditanamkan. Pada tahap ini penggunaan alat peraga mulai dikurangi dan bentuknya semi konkrit sampai pada akhirnya tidak diperlukan lagi.

3) Pembinaan Keterampilan

(27)

Tahap ini diwarnai dengan latihan-latihan seperti mencongak dan berlomba. Pada tahap pengajaran ini alat peraga sudah tidak boleh digunakan lagi.

4) Penerapan Konsep

Tahap penerapan konsep yaitu penerapan konsep yang sudah dipelajari ke dalam bentuk soal-soal terapan (cerita) yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Tahap ini disebut juga sebagai pembinaan kemampuan memecahkan masalah.

Pembelajaran matematika memiliki dampak positif yang berkaitan dengan sikap terpuji atau akhlakul mahmudah. Menurut Abdussyakir (Fathani, 2009: 99-103), sikap-sikap terpuji tersebut antara lain:

1) Sikap Teliti, Cermat, dan Hemat

Matematika disebut sebagai ilmu hitung karena matematika berkaitan dengan masalah hitung menghitung. Seseorang dituntut untuk bersikap teliti, cermat, hemat, cepat, dan tepat dalam pengerjaan operasi hitung.

2) Sikap Jujur, Tegas, dan Bertanggungjawab

(28)

perkalian bilangan bulat 3x4 pasti 12. Kita tegas mengatakan 3x4=12 adalah benar. Kalau bukan 12, kita tegas mengatakan salah.

3) Sikap Pantang Menyerah dan Percaya Diri

Matematika mengajarkan untuk bersikap pantang menyerah dan percaya diri. Seseorang tidak boleh menyerah saat mengerjakan atau menyelesaikan masalah matematika dan saat gagal atau tidak dapat menjawab, kita dituntut untuk mencari cara lain untuk menjawab. Siswa harus percaya diri bahwa bisa mengerjakan dan mencoba terus sampai pada akhirnya dapat menjawabnya.

(29)

B. Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan terkait dengan miskonsepsi matematika di Sekolah Dasar telah dilakukan, diantaranya penelitian oleh Maghsoudi (2015) tentang “Identifying Fourth Grade Iranian Students Misconceptions in

Measurement and Geometry Based On Timss 2003, 2007, 2011 Results and

Suggestions to Prevent and Resolve These Misconceptions”. Penelitian

tersebut merupakan penelitian yang mengidentifikasi kesalahpahaman siswa kelas empat (4) di Negara Iran dalam materi geometri dan pengukuran berdasarkan Timss 2003, 2007, 2011 dengan pokok bahasan hasil dan saran untuk mencegah dan menyelesaikan miskonsepsi. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa metode mengajar tradisional meskipun dengan perhatian yang cermat untuk menyampaikan materi dan menekankan pada pengulangan dan praktek tetap tidak mampu menghindari atau menghentikan kesalahpahaman matematika seperti pada siswa.

Gambar

Tabel 2.1 Standar Kompetensi dan Komptensi Dasar

Referensi

Dokumen terkait

Produk yang dikembangkan adalah modul perubahan materi genetik dengan memanfaatkan Autoplay Media Studio yang bersifat interaktif.. Selain itu petunjuk penggunaan

Siluet wanita yang terdapat dalam ilustrasi desain kemasan dapat dimaknai sebagai seorang wanita yang terlihat bebas dan bahagia tanpa khawatir akan kesehatan

R Goeteng Taroenadibrata Purbalingga terdapat 49 kasus mioma uteri pada tahun 2014, pada tahun 2015 (awal Januari-akhir Mei) terdapat 18 kasus mioma uteri. Mioma uteri jarang

Gambaran status kerentanan larva nyamuk Ae.aegypti yang berasal dari empat keluarahan/desa di wilayah kerja KKP Bandar Udara Sam Ratulangi Manado dengan uji biokimia

Daripada perbincangan dalam Subtopik 1.1 hingga 1.3, didapati bahawa, globalisasi telah menyumbang kepada perkembangan permintaan pengajian tinggi yang seterusnya

Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat dianalisa bahwa konflik penambang dengan pihak aparat merupakan bentuk Kekerasan langsung (direct violent) adalah suatu

Dalam konsideran menimbang , dapat dipahami bahwa hukum adat Dapek Salah seyogyanya merupakan hukum adat yang memang ada, lahir tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Kota

terdapat pada sebagian scene yang terdapat dalam film Maya Raya Daya. Selain itu, peneliti juga berusaha memahamai kemudian mendeskripsikan. Diskriminasi Gender yang ada pada