• Tidak ada hasil yang ditemukan

CAHYO NUGROHO BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "CAHYO NUGROHO BAB II"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

A. Terapi Intravena

1. Standar prosedur operasional (SPO) pemasangan infus a. Pengertian SPO

Suatu standar atau pedoman tertulis yang di pergunakan untuk mendorong dan menggerakan suatu kelompok untuk mencapai tujuan organisasi. Standar prosedur operasional merupakan tatacara atau tahapan yang di bakukan dan yang harus di lalui untuk menyelesaikan suatu proses kerja tertentu (perry and potter, 2005)

SPO pemasangan infus langkah-langkah prosedur untuk memasukan cairan secara parenteral dengan menggunakan intravenous kateter melalui intravena.

b. Tujuan SPO

1) Petugas atau pegawai menjaga konsistensi dan tingkat kinerja petugas atau pegawai atau tim dalam organisasi atau unit kerja.

2) Mengetahui dengan jelas peran dan fungsi tiap-tiap posisi dalam organisasi

(2)

4) Melindungi organisasi atau unit kerja dan pegawai atau petugas dari malpraktik atau kesalahan administrasi lainya.

5) Untuk menghindari kegagalan atau kesalahan, keraguan, duplikasi, dan inefisiensi.

c. Fungsi SPO

1) Memperlancar tugas petugas/pegawai atau tim/unit kerja 2) Sebagai dasar hukum bila terjadi penyimpangan

3) Mengetahui dengan jelas hambatan-hambatanya dan mudah dilacak 4) Mengarahkan petugas atau pegawai untuk sama-sama disiplin dalam

bekerja

d. Kapan SPO diperlukan

1) SPO harus sudah ada sebelum suatu pekerjaan dilakukan

2) SPO digunakan untuk menilai apakah pekerjaan tersebut sudah dilakukan dengan baik atau tidak

3) Uji SPO sebelum dijalankan, lakukan revisi jika ada langkah kerja yang dapat mempengaruhi lingkungan kerja.

e. Keuntungan adanya SPO

1) SPO yang baik akan menjadi pedoman bagi pelaksana, menjadi alat komunikasi, pengawasan, dan menjadikan pekerjaan diselesaikan secara konsisten

(3)

3) SPO juga di pergunakan sebagai salah satu alat training dan bisa dipergunakan untuk mengukur kinerja pegawai.

2. Pengertian pemasangan terapi intravena

Menurut Edward (2011) pemasangan terapi intravena merupakan tindakan memasukan jarum (abocath) melalui transkutan yang kemudian disambungkan dengan selang infus. Terapi cairan intravena merupakan terapi pemberian cairan untuk penggantian cairan, pemberian obat, dan penyedianaan nutrien jika tidak ada pemberian dengan cara lain (Smeltzer & Bare, 2001).

Terapi intravena adalah terapi yang bertujuan untuk mensuplai cairan melalui vena ketika pasien tidak mampu mendapatkan makanan, cairan elektrolit lewat mulut, untuk menyediakan kebutuhan garam untuk menjaga kebutuhan cairan, untuk menyediakan kebutuhan gula(glukose/dekstrosa) sebagai bahan bakar untuk metabolisme, dan untuk menyediakan beberapa jenis vitamin yang mudah larut melalui intravena serta untuk memberikan medium untuk pemberian obat secara intravena.(Aryani, et. Al. 2009).

3. Tujuan

Umumnya cairan intravena di berikan untuk mencapai satu atau lebih tujuan berikut ini:

a. Mempertahankan dan memngganti cairan tubuh yang mengandung air,elektrolit, vitamin, protein, lemak, dan kalori yang tidak dapat di pertahankan melalui oral

(4)

c. Memperbaiki keseimbangan asam basa d. Memberikan transfusi darah

e. Menyediakan medium untuk pemberian obat melalui intravena 4. Jenis-jenis Larutan Intravena

Larutan elektrolit dianggap isotonik jika elektrolit totalnya (anonim ditambah katinon) kira-kira 310 mEq/L. Larutan di anggap hipotonik jika kandungan elektrolit totalnya kurang dari 250 mEq/L. Larutan di anggap hipertonik jika kandungan elektrolit totalnya kurang dari 375 mEq/L. Perawat juga harus mempertimbangkan osmolalitas suatu larutan, bahwa osmolalitas plasma adalah kira-kira 300 mOsm/L.

a. Cairan isotonis: Cairan yang di klasifikasikan isotonik mempunyai osmolalitas total yang mendekati cairan ekstraseluler dan tidak menyebabkan seldarah merah mengkerut atau membengkak. Contohnya: 1) Saline normal (0,9% natrium klorida)

2) Ringer laktat

3) Komponen-komponen darah (albumin 5%, plasma) 4) Dextrose 5% dalam air (D5W)

b. Cairan hipotonik: Tujuanya adalah untuk mengganti cairan seluler, karena

(5)

pernatremia dan kondisi hiper osmolar yang lain. Contohnya: 1) Salin berkekuatan menengah (Nacl 0,45%)

2) Dextrose 2,5% dalam Nacl 0,45% 3) Nacl 0,2%

c. Cairan hipertonik: Larutan-larutan ini menarik air dari kompartemen intra seluler dan menyebabkan sel-sel mengkerut jika diberikan dengan cepat dan dalam jumlah besar, dapat menyebabkan kelebihan volum ekstraseluler dan mencetuskan kelebihan cairan sirkulatori dan dehidrasi. Contohnya: 1) Dekstrosa 5% dalam Nacl 0,9%

2) Dextrose 5% dalam Nacl 0,45% 3) Dextrose 10% dalam air

4) Dextrose 20% dalam air 5) Nacl 3% dan 5%

6) Larutan hiperalimentasi

7) Dextrose 5% dalam ringer laktat 8) Albumin 25 (Maria & Karunia, 2012). 5. Pemilihan Ukuran kateter

(6)

mencegah kerusakan pada vena intima dan memastikan darah mengalir disekitar kateter dengan adekuat untuk menurunkan resiko kejadian flebitis (Dougherty, 2008).

Gambar 2.1 Rekomendasi dalam pemelihan kateter (Infusion Nurse Society : standard of practice, 2006)

6. Pemilihan Lokasi Insersi Kateter Intravena

(7)

elastisitas lapisan venanya lebih tipis, kurang kuat dan kurag elastis.

Kedua lokasi ini dapat memberikan dapat memberikan kemudahan bagi perawat dalam melakukan pemasangan terapi intravena tetapi sebaliknya apabila terjadi kesalahan dalam pemasangan kateter intravena akan menyebabkan kerusakan endomethelium vena sehingga jaringan vena akan terinflamasi. (Wiranata, 2012)

Menurut Gayatri, Handayani, dan Amelia (2009) menyebutkan bahwa dari hasil penelitiannya, di temukan angka ideal untuk lokasi pemasangan kateter intravena yakni 3-7cm dari persendian tangan.

7. Lama Pemasangan Terapi Intravena

Menurut brooker & Gould (2003) lamanya penggunaan jarum intravena (abocath) harus di ganti paling sedikit setiap 24 jam, ganti lokasi vena yang di tusuk jarum intravena setiap 48 jam. Penelitian yang di lakukan oleh masiayati

(2000) dengan judul “Waktu Yang Efektif Untuk Pemasangan Infus Agar Tidak

Flebitis”, didapatkan angka paling besar dalam waktu pemasangan terapi

intravena selama 96-120 jam sebesar 60%.

Menurut Tietjen, dkk (2004) mengatakan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam perawatan terapi intravena:

a. Rotasi rutin tempat kanula harus dilakukan setiap 72-96 jam dapt mengurangi flebitis dan infeksi lokal ( teflon atau polikateter lebih baik dari pada jarum logam karena tidak menembus vena saat rotasi).

(8)

mengakibatkan iritasi karena terbuat dari plastik dan juga infeksi lebih rendah.

c. Pada perawatan tempat pemasangan, penutupan dapat di pertahankan 72 jam asal kering (jika basah, lembab, atau lepas segera di lakukan penggantian)

d. Lokasi insersi kateter harus di periksa setiap 24 jam untuk mengetahui apakah ada rasa nyeri yang timbul

e. Ganti botol cairan infus sebelum habis

f. Set infus harus di ganti jika terjadi kerusakan atau secara rutin setiap 3X24 jam (apabila saluran baru disambungkan, udap pusat jarum atau kateter plastik cairan infus dengan alkohol 60-90% dan sambungkan kembali dengan infus set)

g. Saluran tubing yang di gunakan untuk memberikan darah, produk darah atau emulsi lemak harus di ganti setiap 24 jam.

8. Standar Prosedur Operasional (SPO) pemasangan terapi intravena 1. Cuci tangan.

2. Dekatkan alat

3. Jelaskan pada klien tentang prosedur dan sensasi yang akan dirasakan selama pemasangan infus

4. Atur posisi pasien

(9)

6. Menentukan area vena yang akan di tusuk 7. Pasang alas

8. Pasang torniquet pembendung ±15 cm di atas vena yang akan di tusuk 9. Pakai sarung tangan

10. Disinfeksi area yang ditusk dengan diameter 5-10 cm

11. Tusukan IV kateter ke vena dengan jarum menghadap kejantung 12. Pastikan jarum IV masuk kevena

13. Sambungan jarum IV dengan selang infus

14. Lakukan fiksasi ujung jarum IV di tempati insersi 15. Tutup area insersi dengan kasa kering kemudian plester 16. Atur tetesan infus sesuai progam medis

17. Lepas sarung tangan

18. Pasang label pemasangan tidakan yang berisi: nama pelaksana, tanggal dan jam pelaksana

19. Bereskan alat 20. Cuci tangan

(10)

9. Komplikasi

Berikut adalah komplikasi dari pemasangan terapi intravena yang dapat terjadi antara lain:

a. Komplikasi sistemik: kelebihan beban cairan, emboli udara, dan septikemia.

b. Komplikasi lokal: infiltrasi, flebitis, trombo flebitis dan hematoma. 10. Teori Caring

Teori caring menurut Watson menyebutkan bahwa asuhan keperawatan yang diberikan berdasarkan human science and human care yang artinya bahwa fokus utama dalam keperawatan adalah pada carative factors yang bermula dari perspektif humanistik yang dikombinasikan dengan dasar pengetahuan ilmiah. Konsep carative factors kemudian dikembangkan lagi oleh Watson menjadi

clinical caritas processes. Clinical caritas processes menawarkan pandangan yang lebih terbuka antara lain adalah menciptakan lingkungan healing pada seluruh tingkatan, baik fisik maupun non fisik, lingkungan yang kompleks dari energi dan kesadaran, yang memiliki keholistikan, keindahan, kenyamanan, martabat, dan kedamaian serta membantu terpenuhinya kebutuhan dasar, dengan kesadaran caring yang penuh, memberikan “human care essentials”,

yang memunculkan penyesuaian jiwa, raga dan pikiran, keholistikan, dan kesatuan diri dalam seluruh aspek care (Muhlisin & Ichsan, 2008).

(11)

perawat yaitu pertama adalah biophysical needs, kebutuhan untuk tetap hidup meliputi kebutuhan nutrisi, cairan, eliminasi, dan oksigenisasi. Kedua adalah

psychophysical needs yaitu kebutuhan untuk berfungsi, meliputi kebutuhan aktifitas, aman, nyaman, seksualitas. Ketiga adalah psychosocial needs yaitu kebutuhan integritas yang meliputi kebutuhan akan penghargaan dan beraffiliasi. Dan keempat adalah intrapersonal interpersonal needs, yaitu kebutuhan untuk aktualisasi diri.

Model Watson dibentuk melingkupi proses asuhan keperawatan, pemberian bantuan kepada klien dalam mencapai atau mempertahankan kesehatan. Tindakan keperawatan mengacu langsung pada pemahaman hubungan antara sehat, sakit dan perilaku manusia. Keperawatan memperhatikan peningkatan dan mengembalikan kesehatan serta mencegah terjadinya penyakit. Terapi intravena merupakan bentuk perawatan (caring) yang diberikan oleh perawat terhadap pasien untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kesehatan pasien serta mencegah terjadinya penyakit yang mungkin akan timbul, dalam hal ini adalah flebitis.

(12)

lingkungan yang nyaman secara fisik ataupun non fisik agar tidak terjadi komplikasi yang sering terjadi yakni flebitis, karena salah satu faktor penyebab flebitis berasal dari lingkungan. Selain dari itu semua, perawat harus memiliki ilmu dalam penerapan asuhan keperawatan kepada klien. Dengan begitu perawat bisa menerapkan konsep caring kepada pasien agar pasien mendapatkan kebutuhannya yang sesuai dan terhindar dari komplikasi-komplikasi yang mungkin akan muncul selama terapi intravena.

B. Flebitis

1. Pengertian

Flebitis merupakan infeksi nosokomial yaitu infeksi oleh mikroorganisme yang di alami oleh pasien yang diperoleh selama dirawat di rumah sakit di ikuti dengan manifestasi klinis yang muncul sekurang-kurangnya 3X24 jam. (Darmadi, 2008)

Flebitis merupakan peradangan pada dinding vena yang disebabkan karena iritasi kimia, bakteri maupun mekanik yang di tandai dengan nyeri, kemerahan, dan bahkan kadang sampai timbul bengkak lokal sekitar area penusukan.

Secara sederhana flebitis di definisikan sebagai peradangan vena, flebitis berat hampir selalu diikuti bekuan darah atau trombus pada vena yang sakit. (darmawan, 2008).

(13)

Pengklasifikasian flebitis didasarkan pada faktor penyebabnya. Ada empat kategori penyebab terjadinya flebitis yaitu kimia, mekanik, agen infeksi, dan post infus (Infusion Nursing Society, 2006)

a. Flebitis kimia

Kejadian flebitis ini sering di hubungkan dengan bentuk respon yang terjadi pada tunika intima vena dengan bahan kimia yang menyebabkan reaksi peradangan. Reaksi peradangan dapat terjadi akibat dari jenis cairan yang diberikan karena cairan intravena yang di berikan terlalu asam atau terlalu basa (pH kurang dari 5 atau lebih dari 9) dan disebabkan oleh cairan yang hypertonis.

PH darah normal terletak anatara 7,35 – 7,45 dan cenderung basa. PH cairan yang diperlukan dalam pemberian terapi adalah 7 yang berarti netral ada kalanya suatu larutan di perlukan konsentrasi yang lebih asam untuk mencegah terjadinya karamelisasi dekstrosa dalam proses sterilisasi autoclaf, jadi larutan yang mengandung glukosa, asam amino, dan lipid yang biasa di gunakan dalam nutrisi parenteral lebih bersifat flebitogenik. b. Flebitis mekanik

(14)

besar pada dinding vena yang kecil juga dapat mengakibatkan terjadinya iritasi pada dinding vena.

c. Flebitis bakterial

Flebitis bakterial disebabkan oleh adanya kontaminasi kateter selama pemasangan serta prosedur antiseptis kulit yang buruk. (rosenthal, 2006).

d. Post infus flebitis

Flebitis post infus juga sering diakibatkan kejadianya sebagai akibat dari pemasangan infus. Flebitis post infus adalah peradangan pada vena yang didapatkan 48 – 96 jam setelah pelepasan infus. Faktor yang berperan dengan kejadian flebitis post infus, antara lain:

1) Teknik pemasangan kateter yang tidak baik 2) Pada pasien dengan retardasi mental

3) Kondisi vena yang baik

4) Pemberian cairan hipertonik yang terlalu asam

5) Ukuran kateter yang terlalu besar di bandingikan dengan dinding vena yang kecil.

3. Diagnosa dan Pengenalan Tanda Flebitis

(15)

Gambar 2.2 Visual Infusion Phlebitis Score (Infusion Nursing Society, 2006) 4. Mencegah dan Mengatasi Flebitis

a. Mencegah flebitis bakterial

(16)

b. Selalu waspada dan jangan meremehkan teknik aseptik

Stopcock sekalipun ( yang digunakan untuk penyuntikan obat atau pemberian infus IV, dan pengambilan sampel darah) merupakan jalan masuk kuman yang potensial ke dalam tubuh. Pencemaran stopcock lazim dijumpai dan terjadi kira-kira 45 - 50% dalam serangkaian besar kajian. c. Rotasi kanul

Darmawan (2008) melaporkan hasil 4 teknik pemberian nutrisi parenteral perifer (PPN), dimana mengganti (merotasi) tempat kanula ke lengan kontralateral setiap hari pada 15 pasien menyebabkan bebas flebitis. Namun dalam uji kontrol acak yang di publikasikan oleh webster dkk (1996) disimpulkan bahwa kateter bisa di biarkan aman di tempatnya lebih dari 72 jam jika tidak ada kontraindikasi. The Centers for Disease Control and Preventation menganjurkan penggantian kateter setiap 72 jam untuk membatasi potensi infeksi.

d. Aseptic dressing

Di anjurkan aseptic dressing untuk mencegah flebitis, kasa steril di ganti setiap 24 jam.

e. Titratable acidity

(17)

sendiri. Bahkan pada pH 4.0, larutan glukosa 10% jarang menyebabkan perubahan karena titratable acidity-nya sangat rendah (0.16 mEq/L). Dengan demikian makin rendah titratable acidity larutan infus makin rendah resiko flebitisnya.

f. Heparin & hidrokortison

Heparin sodium, bila ditambahkan kecairan infus sampai kadar akhir 1 unit/mL, mengurangi masalah dan menambah waktu pasang kateter. Resiko flebitis yang berhubungan dengan pemberian cairan tertentu (misal, kalium klorida, lidocaine, dan antimikrobial) juga dapat di kurangi dengan pemberian aditif IV tertentu, seperti hidrokortison. Pada uji klinis dengan pasien penyakit koroner, hidrokortison secara bermakna mengurangi kekerapan flebitis pada vena yang di infus lidokain, kalium klorida atau anti mikrobial. Pada uji acak lain heparin sendiri atau di kombinasi dengan hidrokortison telah mengurangikekerapan flebitis. Tetapi penggunaan heparin pada larutan yang mengandung lipid dapat disertai sengan pembentukan endapan kalsium.

g. In-line filter

(18)

C. Kerangka Teori

Bagan kerangka teori caring

(19)

D. Kerangka Konsep

Gambar 2.4 Kerangka Konsep Penelitian E. Variabel Penelitian

Variabel independen : Jenis cairan, Ukuran Kateter, Lokasi Insersi, dan Lama pemasangan kateter infus, pelaksanaan SPO pemasangan infus.

Variabel dependen : Kejadian flebitis F. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitan ini adalah ada hubungan yang segnifikan antara Jenis cairan, ukuran kateter, lokasi insersi, lama pemasangan infus, dan pelaksanaan SPO pemasangan infus dengan kejadian flebitis.

Jenis cairan

Ukuran kateter. Lokasi insersi.

Lama pemasangan kateter infus

Flebitis Kimia

Mekanik

Bakteri

Pelaksanaan SPO

Gambar

Gambar 2.1 Rekomendasi dalam pemelihan kateter (Infusion Nurse Society :
Gambar 2.2 Visual Infusion Phlebitis Score
Gambar 2.3 (Watson, 2008; Roshenthal, 2006; Gayatri, Handiyani & Amelia, 2007). (INS, 2006; CDC, 2002)
Gambar 2.4 Kerangka  Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Senyawa asam dalam daun calincing dapat digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri yang tumbuh subur pada. pH normal atau

PH merupakan faktor yang sangat mempengaruhi suatu keberhasilan dalam pembuatan medium sehingga kondisi pH yang terlalu basa atau terlalu asam tidak cocok untuk dijadikan

Reaksi terjadi pada pH yang lebih asam terhadap titik isoelektriknya, yang mana protein bermuatan positif. Ion-ion negatif dari asam tungtat, asam fosfotungtat, asam fikrat,

Dehidrasi, alkalosis metabolik, gangguan elektrolit dan asam basa, deplesi kalium, natrium. Dehidrasi terjadi sebagai akibat dari hilangnya cairan lewat muntah atau

Peradangan terjadi bila tubuh sel-sel atau jaringan tubuh mengalami cedera atau mati, atau merupakan reaksi vaskular yang menimbulkan pengiriman cairan, zat-zat

Titrasi indic-alkalimetri menyangkut reaksi dengan asam kuat – basa kuat, asam kuat – basa lemah, asam lemah – basa kuat, asam kuat – garam dari asam lemah, basa kuat – garam

1 di atas dapat dilihat nilai pH cairan tubuh pada cairan empedu memiliki nilai pH dari range 7,8-8,6 yang berarti apabila nilai pH di bawah 7,8 bersifat asam dan di atas 8,6

Panas merupakan sifat dari reaksi peradangan yang terjadi pada permukaan tubuh, dalam keadaan normal permukaan tubuh lebih dingin dari 37 0 C, daerah peradangan pada kulit