BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hasil Penelitian Terdahulu
Sebelumnya sudah ada yang melakukan penelitian tentang penghambatan
bakteri pada tempe bongkrek yang dilakukan oleh Buckel dan Kartadarma (1990)
menggunakan dua bahan diantaranya NaCl dan asam asetat masing-masing
sebanyak 2%. Untuk NaCl dapat menurunkan namun tidak dapat menghambat
bakteri P. cocovenenans pada tempe bongkrek dalam memproduksi asam
bongkrek namun untuk penambahan asam asetat dapat menghambat pembentukan
asam bongkrek.
Percobaan tersebut dilakukan dengan jalan tempe bongkrek diinokulasi
dengan Bakteri P. cocovenenans dan ditambahkan 4 mL suspense spora R.
Oligosporus. Pada salah satu diberikan tambahan 10% Asam Asetat atau 20%
NaCl dan yang lainnya tidak diberi bahan tambahan apapun. Setelah itu,
diinkubasi selama 48 jam pada suhu 300C. kemudian tempe tersebut diujikan kandungan racunnya dengan metode kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC)
(Buckel dkk., 1989). Setelah penelitian ini tidak ditemukan lagi
penelitian-penelitian lebih lanjut tentang penghambatan pertumbuhan bakteri P.
cocovenenans. Penelitian selanjutnya lebih ditekankan pada bagaimana
mekanisme bakteri tersebut dapat menyebabkan keracunan. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Ross dkk (2014) dilakukan penelitian untuk mendapatkan
gambaran umum tentang kemampuan toksogenik metabolisme sekunder strain P.
cocovenenans dan untuk menyelidiki kontribusi metaboliknya terhadap interaksi
jamur-bakteri, ia melakukan survei sistematis mengenai potensi biosintesisnya
pada tingkat genomik dan kimia analitik.
Dari penelitian terdahulu, ada beberapa persamaan dan perbedaan dengan
rencana penelitian yang akan dilakukan. Persamaannya yaitu pemberian bahan
yang bersifat asam yang bertujuan untuk menekan pertumbuhan bakteri P.
cocovenenans. Sedangkan perbedaannya, pada penelitian terdahulu, bahan dasar
tempe (bungkil) yang digunakan yaitu bungkil yang sengaja di tambah dengan
Sedangkan metode yang saya gunakan yaitu dengan cara memeras ampas kelapa
setengah tiris sehingga pertumbuhan bakteri P. cocovenenans terjadi secara alami
dan barulah ditambah dengan perasan calincing.
B. Landasan Teori
1. Tempe Bongkrek
Tempe Bongkrek adalah salah satu jenis tempe dari Jawa Tengah, atau lebih
populer lagi dari daerah Banyumas, yang dibuat dari kacang kedelai dan ampas
kelapa. Tempe ini seringkali menyebabkan keracunan karena terkontaminasi oleh
bakteri P. cocovenenans yang menghasilkan racun berupa asam bongkrek dan
toxoflavin yang dapat memusnahkan jamur Rhizopus karena efek antibiotik dari
asam bongkrek. Asam bongkrek itu sendiri lebih beracun dari toxoflavin.
Walaupun pembuatan tempe ini sudah dilarang sejak lama, namun masih
saja ada warga yang membuat tempe ini. Terutama warga yang memanfaatkan
sisa bungkil dalam pembuatan minyak untuk kemudian dibuat tempe dan
dikonsumsi secara pribadi. Tempe bongkrek masih banyak dikonsumsi
dikarenakan selain rasanya yang khas juga karena faktor harga yang terjangkau
bagi warga kelas bawah. Selain hal tersebut, menurut Ekosapto (1975) ternyata
setiap 100gram tempe bongkrek mengandung nilai gizi sebagai berikut:
Tabel 2.1. Kandungan gizi setiap 100gram tempe bongkrek Kandungan Gizi Nilai Gizi
Dengan seringnya terjadi keracunan yang bisa menyebabkan korban jiwa,
pemerintah melarang penjualan tempe ini. Namun pembuatan secara diam-diam
terus dilakukan karena rasanya yang digemari. Biasanya penanda amannya tempe
bongkrek dengan warna yang normal masih menyimpan kemungkinan adanya
bahaya (Kemenkes, 2013).
Gejala keracunan tempe bongkrek timbul 12-48 jam setelah konsumsi.
Penderitanya akan merasakan badan lemah, pusing, mual, sesak napas, sulit
menelan, sulit bicara hingga akhirnya meninggal. Hal ini disebabkan karena asam
bongkrek dapat mengganggu metabolisme glikogen dan memobilisasi glikogen
hati sehingga dapat terjadi hiperglikemia atau hipoglikemia yang sangat fatal
(Veen, 1966). Bakteri P. cocovenenans merupakan bakteri gram negatif, oleh
karena itu obat yang dapat di berikan untuk menanganinya berupa antibiotik
seperti piperacillin, imipenem, tobramycin dan ciprofloxacin (Haryo, 2015).
Telah banyak upaya-upaya secara tradisional yang telah dilakukan selama
bertahun-tahun untuk menghambat pertumbuhan bakteri P. cocovenenans yang
terdapat pada tempe bongkrek. Bahan-bahan tersebut merupakan bahan sederhana
seperti tumbuhan yang mengandung asam dan tumbuh secara liar. Selain itu, ada
pula bahan kimia yang dapat digunakan. Bahan dan zat tersebut ditambahkan
sebelum tempe dicetak hingga pH dibawah 5,5 (Buckel dkk., 1989).
2. Bakteri Pseudomonas cocovenenans
Pseudomonas cocovenenans atau biasa disebut dengan Burkholderia
gladioli adalah bakteri tanah yang bertanggung jawab atas keracunan pada bahan
pangan, khususnya di Asia Timur dan Asia Tenggara. Bakteri ini menyukai
medium yang banyak mengandung asam lemak dan dikenal berbahaya karena
dapat mengontaminasi tempe bongkrek dan menghasilkan asam bongkrek dan
toksoflavin.
Berdasarkan penelitian filogenik bahwa P. cocovenenans lebih pantas
Bakteri P.cocovenenans timbul dikarenakan proses fermentasi yang tidak
sempurna dimana akan menghasilkan enzim tertentu yang bisa memecah sisa
minyak kelapa dalam tempe bongkrek. Proses tersebut menghasilkan asam lemak
dan gliserol. Selanjutnya, asam lemak akan mengalami pemecahan yang
membentuk asam bongkrek dan sebagian toksoflavin.. Dari penelitian yang akan
kami lakukan kami berharap dapat menghambat pertumbuhan bakteri P.
cocovenenans yang dapat memghasilkan asam bongkrek dan toksoflavin yang
beracun menggunakan daun calincing. Bakteri P. cocovenenans tidak dapat hidup
di dalam tempe gembus, karena bakteri jenis itu hidup di dalam ampas kepala (zat
yang mengandung minyak/lemak) yang sering digunakan untuk membuat tempe
bongkrek, kata seorang pakar teknologi pangan dari Universitas Gadjah Mada
(UGM) Yogyakarta, Prof Dr Mary Astuti. Dalam proses pembuatan tempe,
kedelai direndam hingga tingkat keasamannya rendah agar jamur yang bermanfaat
dapat tumbuh, dan bakteri berbahaya tidak bisa berkembang.
Bakteri ini termasuk famili Pseudomonadaceae, genus Pseudomonas
berbentuk batang dapat bergerak dan memiliki 5 silia (rambut) pada salah satu
ujungnya. Bentuk bakteri tersebut dapat berubah-ubah tergantung pada jenis
medium yang dipergunakan. Karena itu kadang-kadang bentuknya mikrokokus,
dan kadang-kadang berbentuk batang. Bakteri ini bersifat anaerob fakultatif, dan
biasanya mengeluarkan zat yang berwarna kuning. Bersifat gram negatif, bersel
tunggal dan dapat tumbuh pada suhu kamar atau suhu 37 ˚C.
Mikroba P. cocovenenans aktif memecahkan atau menghidrolisa gliserida
(lipida) dari minyak kelapa menjadi gliserol dan asam lemak. Fraksi gliserol
setelah mengalami reaksi-reaksi biokimia menjadi senyawa yang berwarna kuning
yang disebut toksoflavin sedang asam lemaknya, khususnya asam oleat dapat
menjadi asam bongkrek yang tidak berwarna. Baik asam bongkrak maupun
toksoflavin, masih tetap bertahan pada pemanasan tinggi sampai suhu 120oC. Selain itu, tempe bongkrek beeracun akan mengeluarkan bau menyengat dan rasa
yang pahit.
Bakteri Pseudomonas tumbuh pada kisaran pH 6 – 8 dengan pertumbuhan
optimum pada pH 8.0, Arbianto (1971) melaporkan bahwa pada pH 6.0 atau lebih
Sedangkan pada pH 5.0 atau lebih rendah diperlukan untuk menghambat
pertumbuhan Pseudomonas. Ia juga melaporkan bahwa asam bongkrek diproduksi
selama fase pertumbuhan stationer, yaitu suatu fase dimana jumlah baktei kurang
lebih sama jumlahnya. Pada pH 5.0 ini jamur tempe yang diinginkan pun masih
tetap dapat tumbuh dengan baik sedangkan bakterinya akan terhambat.
Pemanfaatkan daun calincing dapat digunakan sebagai bahan tambahan untuk
penurun pH tempe bongkrek sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri P.
cocovenenans penghasil asam bongkrek dan toksoflavin yang dapat menyebabkan
keracunan. Penelitian seperti ini juga telah dibuktikan oleh Winiati P Rahayu dari
IPB dengan menggunakan NACl sebanyak 2% pada ampas kelapa yang akan
dibuat tempe bongkrek (Winiati, 2012).
Bakteri gram negatif P. cocovenenans ini bekerja antagonistis tehadap
kapang tempe, karena itu bila kapangnnya tidak tumbuh dengan baik (wurung),
kemungkinan besar ampas kelapa mengandung racun. Pada udara yang sangat
lembab akan lebih menguntungkan pertumbuhan bakteri ampas kelapa, sedang
sebaliknya udara kering menguntungkan bagi pertumbuhan kapang.
Keracunan oleh bakteri P. cocovenenans ini dapat menyebabkan
kegagalan fungsi organ. Bakteri ini menjadi racun yang mematikan bila
bersentuhan dengan asam lemak di dalam tubuh. Bakteri ini menyerang
mitokondria yaitu sumber energi ditingkat sel. Racun ini berdampak pada
mekanisme perubahan ATP menjadi ADP dan sebaliknya selama proses
pernafasan di sel.
Bahan dasar yang dipergunakan untuk membuat tempe bongkrek dapat
berupa bungkil kelapa dan ampas kelapa sisa pembuatan minyak kelapa. Bungkil
kelapa dan ampas kelapa ini masih banyak mengandung minyak dengan kadar
yang cukup tinggi sehingga sering menjadi media pertumbuhan bagi bakteri P.
cocovenenans. Pada penelitian ini saya memanfaatkan daun calincing sebagai
bahan tambahan untuk menurunkan pH tempe bongkrek untuk menghambat
pertumbuhan bakteri P. cocovenenans penghasil asam bongkrek dan toksoflavin
3. Asam Bongkrek
Asam bongkrek merupakan racun yang dihasilkan oleh bakteri P.
cocovenans yang mempunyai rumus kimia C28H38O7 , racun ini merupakan asam
trikarboksilat tidak jenuh. Dosis fatal untuk monyet 1,5 mg per kg berat badan,
sedangkan untuk tikus 1,41 kg per berat badan. Asam bongkrek bersifat sangat
fatal dan biasanya merupakan penyebab kematian. Hal ini disebabkan toksin
tersebut dapat mengganggu metabolisme glikogen dengan memobilisasi glikogen
dari hati sehingga terjadi hiperglikimia yang kemudian dapat berubah menjadi
hipoglikimia.Penderita hipoglikemia biasanya meninggal 4 hari setelah
mengonsumsi tempe bongkrek yang beracun. Berikut rumus kimianya:
3-Carboxymethyl-1,7 methoxy-6,18,21-trimethyldocosa-2,4,8,12,14,18,20 heptaenedioic Acid. Gambar 2.1. Asam bongkrek (Nadine, 2012)
Produksi asam bongkrek maksimal adalah 4 mg dari tiap gram ampas kelapa.
Produksi ini terjadi maksimum dalan 3 – 6 hari pada suhu optimum 30oC. Asam bongkrek bekerja secara akumulatif dan akan menyebabkan kematian mendadak
setelah racunnya terkumpul didalam tubuh, racun itu tidak mudah diinaktifkan
atau didetoksifikasi maupun diekskresi oleh tubuh (Grahatika, 2009).
Asam bongkrek merupakan inhibitor kuat bagi mitokondria. Asam
bongkrek akan menutupi gugus -SH dari ATP-ase, akibatnya produsi ATP pada
mitikondria terhenti, sehingga ATP diproduksi di luar mitokondria secara
glikolisis dari glikogen cadangan yang ada di dalam hati. Proses terjadinya
penguraian glikogen hati, jantung dan otot-otot akan menyebabkan kadar glukosa
darah naik. Setelah persediaan glikogen habis, maka glukosa darah akan segera
4. Toksoflavin
Toksoflavin merupakan salah satu racun yang dihasilkan oleh bakteri P.
cocovenans yang memiliki rumus kimia C7H7N5O2 , merupakan pigmen berwarna
kuning yang bersifat dapat berflouresens dan stabil terhadap oksidator. Umumnya,
racun ini tidak sefatal asam bongkrek. LD50 toksoflavin pada hewan percobaan
tikus dengan cara injeksi (penyuntikan) yaitu 1,7 mg per kg berat badan dan
secara oral/mulut yaitu 8,4 mg per kg berat badan. Berikut rumus kimianya:
1,6 Dimethylpyrimido(5,4-e)-as-triazine-5,7(1H,6H)-dione
Gambar 2.2. Toxoflavin (Setiyawan, 2011)
Kematian dapat terjadi karena terbentuknya hidrogen peroksida (H2O2)
dalam jumlah yang terbentuk terlalu banyak tanpa diimbangi dengan adanya
enzim katalase yang cukup dari tubuh. Mekanisme yang terjadi yaitu
toxoflavin tersebut dapat membawa beberapa buah electron yaitu antara
NADH dan oksigen yang memungkinkan kerja dari sitokrom dibuat jalan pintas
sehingga dapat mengasilkan hydrogen peroksida. Reaksi yang terjadi adalah
sebagai berikut :
NADH + Toks. ↔ Toks.-H2 + 2 NAD+
Toks.-H2 + O2↔ Toks. + H2O2
Toksoflavin juga dapat menyebabkan terhambatnya transport gula ke
dalam eritrosit dan menyebabkan hemolisis karena terhambatnya aktivitas enzim
5. Daun Calincing
Sinonim : Oxalis sepium A. St. Mil. var picta Prog.
Divisi : Spermatophyta
Sub-divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Geraniales
Suku : Oxalidaceae
Marga : Oxalis
Jenis : Oxalis barrelieri L.
Gambar 2.3. Oxalis Barreileri(Nunik, 2013)
Tumbuhan ini berasal dari bagian tropis Amerika Selatan, banyak
ditemukan juga di Indonesia seperti di Jawa, Sumatra, Bangka, dan Papua.
Terdapat juga di semenanjung Malaya dan Papua New Guinea. Tumbuhan ini
tumbuh liar sebagai gulma di tepi jalan atau di tanah yang tidak terawat, biasanya
di daerah yang lembab dan teduh (Hashim dkk., 2010).
a. Deskripsi tumbuhan
Calincing berupa semak tegak berkayu, tinggi dapat mencapai 1,5 m,
batangnya berbentuk silindris, permukaannya halus, berwarna hijau agak
kecokelatan. Memiliki bunga majemuk dengan tangkai malai panjang yang
tumbuh di ketiak daun. Bunga berwarna putih dengan kelopak kehijauan dan
bintik kekuningan, berbentuk terompet. Berdaun majemuk, terdiri dari 3 anak
1-2 cm, tulang daun menyirip, tangkai daun panjang dan tepi daunnya rata.
Memiliki akar tunggang (de, Padua 1999).
b. Kandungan kimia
Oxalis barrelieri L. mengandung senyawa polifenol dan saponin dengan
kadar rendah. Daun Oxalis barrelieri mengandung asam oksalat sehingga rasanya
asam, sebaiknya konsumsi dalam jumlah besar dihindari , karena kandungan asam
oksalat yang besar akan mengikat pasokan kalsium dalam tubuh , hal ini dapat
mengakibatkan tubuh akan kekurangan gizi. Bagi orang dengan kecenderungan
untuk rematik, arthritis, asam urat, batu ginjal atau hyperacidity harus berhati-hati
dalam mengkonsumsi daun Oxalis barrelieri karena dapat memperburuk kondisi
mereka. (http://www.ristek.co.id., 2008).
c. Kegunaan tumbuhan
Tumbuhan ini digunakan di Indonesia sebagai lalapan atau sayuran (de
Padua, 1999). Di Kamerun, tumbuhan ini digunakan sebagai obat tradisional
untuk menyembuhkan diare dengan cara direbus atau decocta (Tagne dkk., 2015).
Beberapa penelitian melaporkan potensi tumbuhan ini sebagai antihiperglikemik
dan mempercepat penyembuhan luka (Enock dkk., 2006).
d. Khasiat
Daun dan batang Oxalis barrelieri berkhasiat untuk penawar racun akibat
makanan. Untuk penawar racun akibat makanan dipakai ± 25 gram daun dan
batang segar Oxalis barrelieri, dicuci dan direbus dengan 2 gelas air selama + 15
menit, dinginkan dan disaring. Hasil saringan diminum dua kali sama banyak pagi
dan sore.
Menurut penelitian Enock dkk. (2006), ekstrak etanolik dari calincing
memiliki potensi antihiperglikemik dan juga dapat mempercepat proses
penyembuhan luka pada tikus yang sudah diinduksi streptozotocin. Sharma dan
Kumari (2014) menyatakan bahwa tumbuhan semarga Oxalis barrelieri L., yaitu
Oxalis corniculata memiliki aktivitas antibakteri pada 15 jenis bakteri yang
6. Kerangka Konsep
Gambar 2.4. Kerangka konsep
7. Hipotesis
1. Penambahan zat yang bersifat asam dapat menurunkan pH tempe
bongkrek sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri yang terdapat
pada tempe bongkrek.
2. Penambahan perasan daun calincing yang bersifat asam pada tempe
bongkrek dapat menurunkan pH sehingga dapat menghambat pertumbuhan
bakteri yang terdapat pada tempe bongkrek.
Daun Calincing (Oxalis barreileri)
Dapat menurunkan pH karena mengandung senyawa asam berupa asam oksalat, asam sitrat, sedikit asam malat dan tartarat (Ekosapto, 1975)
Senyawa asam dalam daun calincing dapat digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri yang tumbuh subur pada
pH normal atau sedikit basa
Perlakuan terhadap daun calincing pada tempe bongkrek
(tanpa tambahan daun calincing, dengan tambahan daun calincing utuh, dengan tambahan daun calincing yang ditiriskan)
Evaluasi efektifitas daun calincing dalam menghambat pertumbuhan bakteri berdasarkan pengamatan fisik tempe, warna tempe dan jumlah koloni bakteri
Diduga daun calincing memiliki potensi dalam menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara menurunkan pH tempe bongkrek