• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Wereng Cokelat, Nilaparvata lugens (Stal) (Hemiptera: Delphacidae)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Wereng Cokelat, Nilaparvata lugens (Stal) (Hemiptera: Delphacidae)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Wereng Cokelat, Nilaparvata lugens (Stal) (Hemiptera: Delphacidae)

Taksonomi

Wereng cokelat diklasifikasikan kedalam ordo Hemiptera, subordo Auchenorrhyncha, infraordo Fulgoromorpha, famili Delphacidae, genus

Nilaparvata dan spesies Nilaparvata lugens. Dalam anggota genus Nilaparvata

mempunyai ciri berupa tarsi terbagi tiga ruas, antena pendek dengan terminal arista, pada ujung tibia tungkai belakang terdapat taji yang besar dan pada pertemuan sayap depan terdapat titik hitam atau ptero-stigma dan pada ruas pertama tarsus tungkai belakang terdapat dua atau lebih duri kecil (Anonim 1992).

Sebaran Geografi

Wereng cokelat merupakan salah satu serangga yang mampu berkembang biak dengan cepat. Serangga ini hanya membutuhkan waktu 28 - 32 hari untuk satu generasi. Dan seluruh negara penghasil padi terdapat serangga ini. Wereng cokelat tersebar di wilayah Asia (Cina, Jepang, Korea, Bangladesh, Kamboja, India, Malaysia, Serawak, Taiwan, Muangthai, Vietnam, Indonesia dan Filipina) dan wilayah Australian (Australia, Kepulauan Fiji, Kepulauan Salomon dan Papua Nugini (Baehaki 1993).

Mofologi

Nilaparvata lugens berkembang dengan metamorfosis tidak sempurna yang dalam siklus hidupnya terdapat stadium telur, nimfa dan dewasa. Telur dari

N. lugens berbentuk lonjong berwarna putih dengan panjang 1,3 mm. Telur-telur ini diletakkan berkelompok seperti sisiran pisang di dalam jaringan pelepah daun yang menempel pada batang. Nimfa wereng cokelat terdiri dari 5 instar yang dapat dibedakan dari ukuran tubuh dan sayapnya. Nimfa instar pertama berwarna putih keabu-abuan dengan panjang 0,6 mm, sedangkan instar kelima berwarna cokelat dengan panjang 2,0 mm. Perubahan warna tubuh dari putih keabu-abuan lalu menjadi cokelat terjadi secara bertahap sesuai dengan perkembangan instar. (Harahap & Tjahjono 1997).

(2)

Imago N. lugens mempunyai 2 bentuk ukuran sayap yaitu makroptera (bentuk yang bersayap panjang) dan brakhiptera (bentuk yang bersayap pendek). Dimorfisme sayap ini berhubungan dengan kepadatan populasi yang terkait dengan persediaan makanannya (Kalshoven 1981). Warna tubuh fase imagonya adalah cokelat kekuning kuningan sampai cokelat tua. Panjang tubuh imago betina 3-4 mm dan imago jantan 2-3 mm. Imago betina mempunyai abdomen yang lebih gemuk daripada imago jantan (Harahap & Tjahjono 1997).

Biologi

N. lugens berkembang dengan metamorfosis tidak sempurna yang dalam siklus hidupnya terdapat stadium telur, nimfa dan dewasa dan pada suhu 20 OC - 30 OC WBC membutuhkan 50 hari untuk menyelesaikan siklus hidupnya yang diawali dengan peletakan telur oleh imago betina (Risamunandar 1993). Telur akan menetas 7-10 hari setelah diletakkan dan berkembang menjadi nimfa. Nimfa terdiri dari 5 fase perkembangan (instar) yang berlangsung selama 12-15 hari. Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan periode nimfa yaitu 12,82 hari (Harahap & Tjahjono 1997).

Sedangkan untuk seekor imago betina dapat berkopulasi lebih dari sekali selama hidupnya dan jantan dapat kawin paling banyak dengan 9 ekor betina selama 24 jam (Mochida et al. 1977). Pada fase imago N. lugens siap berkopulasi dan meletakkan telur. Seekor imago betina dalam masa hidupnya 10-24 hari mampu meletakkan telur sebanyak 300-350 butir (Harahap & Tjahjono 1997).

Kerusakan yang Ditimbulkan

Salah satu hama utama yang menyerang tanaman padi adalah wereng batang cokelat Nilaparvata lugens (Stal) (Hemiptera: Delphacidae). Wereng cokelat merupakan salah satu serangga hama yang mempunyai kemampuan berkembang biak dan menyebar dengan cepat sehingga keberadaannya sangat ditakuti oleh petani (BPHPTPH 1999). Kerusakan yang diakibatkan wereng cokelat dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung karena kemampuan wereng menghisap cairan sel tanaman hingga menjadi kering

(3)

dan akhirnya mati. Sedangkan tidak langsung karena serangga ini dapat menjadi vektor penyakit virus kerdil rumput dan kerdil hampa (Anonim 1992).

Sering dilaporkan bahwa wereng cokelat dapat menimbulkan kerusakan berat di berbagai Provinsi di Indonesia, jika seranggan terjadi pada fase vegetatif, tanaman padi tidak dapat dipanen sama sekali (Harahap & Tjahjono 1997). Wereng cokelat menjadi masalah sejak tahun 1968-1969, dan pada puncak serangan lebih dari 200.000 ha tanaman padi terserang oleh hama serta penyakit yang dibawa oleh serangga tersebut (Dyck & Thomas 1979).

Pengendalian

Pengendalian non-kimia. Pengendalian non-kimia wereng cokelat dapat dilakukan dengan cara kultur teknis ataupun menggunakan musuh alaminya. Beberapa musuh alami wereng cokelat diantaranya patogen Enthomopthora sp., predator Lycosa pseudonanulata, Tetragnatha nitens, T. javana, T. verescens, Paederus tanulus, Cyrtorhinus lividipennis dan Cocinella arcuata. Lalu ada juga dari parasitoid Anagrus sp. Gonatocerus sp. (Chiu 1979; Yuswadi et al. 1985; Chau & Giang 1987; Kartoharjono et al. 1988).

Pengendalian secara kimia. Pengendalian secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan insektisida. Di Indonesia ada beberapa jenis bahan aktif dianjurkan digunakan untuk mengendalikan wereng cokelat seperti buprofezin, BPMC (Komisi Pestisida 2001). Insektisida kimia merupakan salah satu alternatif dalam menekan populasi hama wereng. Namun penggunaan insektisida kimia secara intensif dan berspektrum luas dapat berdampak negatif terhadap kematian musuh alaminya (Kartoharjono & Soejitno 1987; Untung et al. 1988).

(4)

Mekanisme Resistensi Tanaman

Deskripsi

Painter (1951) mendefinisikan resistensi tanaman merupakan sifat-sifat tanaman yang dapat diturunkan dan dapat mempengaruhi tingkat kerusakan oleh serangga. Menurut Beck (1965) resistensi tanaman adalah semua ciri dan sifat tanaman yang memungkinkan tanaman terhindar, mempunyai daya tahan atau daya sembuh dari serangan serangga dalam kondisi yang akan menyebabkan kerusakan lebih besar pada tanaman lain dari spesies yang sama.

Painter (1951) membagi mekanisme resistensi tanaman terhadap serangga hama ke dalam 3 bentuk, yaitu: Ketidaksukaan (non preferences)/antixenosis, antibiosis dan toleransi. Ketahanan tanaman inang terhadap hama, dapat bersifat : (1) genetik, yaitu sifat tahan yang diatur oleh sifat-sifat genetik yang dapat diwariskan, (2) morfologi, yaitu sifat tahan yang disebabkan oleh sifat morfologi tanaman yang tidak menguntungkan hama, dan (3) ekologi, yaitu ketahanan tanaman yang disebabkan oleh pengaruh faktor lingkungan.

Cendawan Endofit dalam Pembentukan Resistensi Tanaman

Salah satu mikroorganisme yang dianggap potensial dalam pembentukan tanaman padi yang resisten adalah dengan memanfaatkan cendawan endofit. Cendawan endofit mampu meningkatkan resistensi tanaman inang dari serangan hama (Clay 1992). Interaksi antara cendawan endofit dan inang tanaman umumnya bersifat simbiosis mutualisme. Cendawan endofit dapat menginfeksi tumbuhan sehat pada jaringan tertentu dan mampu menghasilkan mikotoksin, enzim serta antibiotika (Carrol 1988; Clay 1988). Asosiasi beberapa fungi endofit dengan tumbuhan inangnya mampu melindungi beberapa tumbuhan inangnya dari beberapa patogen virulen, kondisi ekstrim maupun herbivora (Saikkoen & Helander 2003).

(5)

Cendawan Endofit

Deskripsi

Cendawan endofit disebut juga sebagai mikosimbion endofitik adalah merupakan cendawan yang melakukan kolonisasi di dalam jaringan tanaman tanpa menimbulkan gejala sakit (Petrini 1992). Sedangkan menurut Sinclair dan Cercauskas (1996) mendefinisikan endofit sebagai mikroorganisme yang hidup dalam tumbuhan lain. Clay (1988) mengatakan bahwa cendawan endofit adalah cendawan yang terdapat di dalam sistem jaringan tumbuhan, seperti daun, bunga, ranting ataupun akar tumbuhan.

Cendawan endofit ditemukan pada berbagai kelompok tanaman yaitu rumput-rumputan, teki, dan berbagi pohon-pohonan dan sayuran. (Petrini 1992, Siegel dan Schardl 1992). Asosiasi fungi endofit dengan tumbuhan inangnya digolongkan dalam dua kelompok yaitu mutualisme konstutif dan induktif. Mutualisme konstitutif merupakan asosiasi yang erat antara fungi dengan tumbuhan terutama rumput-rumputan. Sedangkan mutualisme induktif adalah asosiasi antara fungi dengan tumbuhan inang, yang penyebarannya terjadi secara bebas melalui air dan udara (Carrol 1988).

Cendawan endofit hidup dalam jaringan internal tanaman. Cendawan endofit pada banyak rumput-rumputan hidup secara simbiosis mutualisme karena cendawan tersebut membantu meningkatkan ketahanan tanaman terhadap herbivora, patogen dan kondisi ekstrim, juga meningkatkan kemampuan bersaing tanaman inang dengan tanaman lainnya yaitu dengan menerima nutrisi sehingga mampu melindungi inangnya tersebut (Saikkonen & Helander 2003).

Taksonomi dan Ekologi

Cendawan endofit dimasukkan ke dalam famili Balansiae yang terdiri dari 5 genus yaitu Atkinsonella, Balansiae, Balansiopsis, Epichloe, dan

Myriogenospora (Clay 1988). Sedangkan Petrini (1992) menggolongkan cendawan endofit dalam kelompok Ascomycotina dan Deuteromycotina. Keragaman pada jasad ini cukup besar seperti pada Loculoascomycetes, Discomycetes dan Pyrenomycetes. Dan oleh Strobel et al. (1996 dalam Worang

(6)

2003) dikemukakan bahwa cendawan endofit meliputi genus Pestalotia, Pestalotiopsis, Monochaetia dan lain-lain.

Cendawan endofit utama pada rumput-rumputan adalah kelas Ascomycotina, famili Clavicipitaceae, tribus Balansiae dengan genera Balansia, Myriogenospora, Atkinsospora dan Epichloe (Siegel dan Schardl 1992, Parberry 1996). Genus Balansia umumnya dapat menginfeksi tumbuhan tahunan dan hidup secara simbiosis mutualistik dengan tumbuhan inangnya. Dalam simbiosis ini, fungi dapat membantu proses penyerapan unsur hara yang dibutuhkan oleh tumbuhan untuk proses fotosintesis serta melindungi tumbuhan inangnya dari serangan hama dan penyakit, dan hasil dari fotosintesis dapat digunakan oleh cendawan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (Bacon 1991; Petrini 1992; Rao 1994 dalam Worang 2009).

Kelimpahan cendawan endofit dipengaruhi oleh faktor biotik dan biotik. Faktor biotik terdiri dari varietas dan spesies inang. Sedangkan faktor abiotik yang berpengaruh adalah faktor-faktor cuaca yaitu suhu, kelembaban relatif dan kadar air tanah serta teknik budidaya (Lewis et al. 1997).

Cendawan Endofit sebagai Agens Hayati

Cendawan endofit merupakan simbion mutualis tanaman. Peran yang menguntungkan tanaman yaitu meningkatkan ketahanan terhadap serangga dan mamalia herbivora (Clay 1992; Siegel dan Schardl 1992, Faeth 2002), meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit (Narisawa et.. al. 2002), memacu pertumbuhan dan meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan suhu tinggi (Lewis et al. 1997; Lehtonen et al. 2005) dan bioindindikator kesehatan tanaman (Genarro-Genarro 2003).

Cendawan endofit merupakan salah satu agens antagonis yang dapat digunakan untuk mengendalikan beberapa patogen tumbuhan, baik dari golongan cendawan maupun bakteri. Cendawan endofit dapat menginfeksi tumbuhan sehat pada jaringan tertentu dan mampu meghasilkan mikotoksin, enzim serta antibiotika (Carrol 1988; Clay 1988) sehingga asosiasi beberapa cendawan endofit dengan tumbuhan inang mampu melindungi tumbuhan inangnya dari beberapa

(7)

patogen virulen, kondisi ekstrim maupun herbivora (Saikkonen & Herlander 2003).

Salah satu manfaat penting cendawan endofit bagi tanaman inang adalah meningkatkan resistensi tanaman inang dari serangan hama. Clay (1992) mengemukakan bahwa secara keseluruhan terdapat 21 spesies rumput-rumputan dan tiga teki dari daerah iklim sedang, dimana cendawan endofit meningkatkan ketahanan tanaman inang terhadap seranggan serangga. Cendawan endofit berpengaruh terhadap serangga dari berbagai famili. Cendawan endofit

Acremonium coephialum pada rumput Festuca arundinacea sangat menurunkan laju ketahanan hidup Schizaphis graminum, Rhopalosiphum padi namun tidak berpengaruh terhadap Sitobion avenae idan Rhopalosiphum maidis. Perlakuan yang sama juga menghambat larva Spodoptera frugiperda dan ulat Crambus spp. Cendawn endofit lain yaitu Acremonium lolii pada rumput Lolium perenne dapat menolak maka dan peletakan telur, menurunkan ketahanan hidup, menghambat aktivitas makan dan laju peletakan telur kumbang Listronotus bonariensis dan menimbulkan kematian 100% jangkrik Acheta domesticus (Clay 1988; Carrol 1992).

Penelitian tentang cendawan endofit dan peranannya dalam pengendalian hayati terhadap wereng cokelat pada tanaman padi belum di lakukan di Indonesia, sehingga perlu dilakukan penelitian terhadap hal tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Tingkat konsumsi kepik diuji dengan cara memasukkan nimfa atau imago kepik ke dalam tabung gelas yang berisi tanaman padi dan 10 ekor wereng (nimfa atau imago) atau

Senyawa yang terkandung dalam suku Solanaceae (alkaloid thropana) dapat menghambat syaraf parasimpatik pada sistem syaraf serangga [4]. Banyak masyarakat yang

Variabel pengamatan meliputi populasi wereng batang coklat, musuh alami wereng batang coklat, intensitas serangan, pertumbuhan tanaman padi, anakan produktif,

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok kultivar tahan terhadap wereng coklat memiliki rambut pada pelepah dan lamina daun yang lebih rapat, lebih banyak, atau lebih

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok kultivar tahan terhadap wereng coklat memiliki rambut pada pelepah dan lamina daun yang lebih rapat, lebih banyak, atau lebih

Oleh karena itu suatu varietas tanaman dapat disebut tahan apabila: (1) memiliki sifat-sifat yang memungkinkan tanaman itu menghindar, atau pulih kembali dari serangan hama

Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi rekomendasi pengendalian wereng coklat dengan menggunakan varietas tanaman padi yang tahan terhadap serangan hama

abamektin dengan konsentrasi 13,5 ppm, perlakuan kedua adalah lahan sawah yang diaplikasi insektisida abamektin dengan konsentrasi 10 ppm, perlakuan ketiga adalah lahan