• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

11 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian

2.1.1 Akuntansi Sektor Publik

Akuntansi sektor publik merupakan akuntansi yang digunakan untuk

organisasi nirlaba yang memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan

perusahaan atau sektor privat. Akuntansi sektor publik terdiri atas akuntansi

pemerintahan, akuntansi rumah sakit, akuntansi lembaga pendidikan, dan akuntansi

organisasi nirlaba lain yang didirikan bukan untuk mencari keuntungan semata-mata.

Di Indonesia perkembangan akuntansi pemerintahan secara pesat dipengaruhi

oleh era reformasi yang pada akhirnya menghasilkan tiga paket undang-undang di

bidang keuangan negara:

1. UU No.17 th 2003 tentang Keuangan Negara

2. UU No.1 th 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan

3. UU No.15 th 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung jawab

Keuangan Negara

Ketiga UU tersebut akan mendorong pemerintah untuk mengelola keuangan

negara dengan lebih baik dan membuat pertanggung jawabannya berupa laporan

(2)

2.1.1.1 Sektor Publik dan Pemerintah

Pengertian sektor publik bervariasi dan cukup luas. Lane (1993) memberikan

pengertian sektor publik dan sektor privat terkait dengan kepentingan (interest) yang

timbul. Sektor publik terkait dengan kepentingan publik atau masyarakat (public

interest), sedangkan sektor privat terkait dengan kepentingan individu atau kelompok individu sendiri (self interest). Kepentingan publik tersebut terkait dengan politik

dan pemerintahan. Hal inilah yang membawa pengertian sektor publik lebih banyak

difokuskan pada pemerintah (Jones and Pendlebury, 2000), meskipun lingkup sektor

publik termasuk organisasi non pemerintah yang tidak mencari keuntungan

(Freeman and Shoulders, 2000).

Tujuan sektor publik dan pemerintah didirikan berbeda dengan tujuan entitas

bisnis. Entitas bisnis didirikan dengan tujuan meningkatkan nilai perusahaan secara

maksimal (value maximization) dengan meningkatkan laba operasi secara

berkelanjutan (sustainable operating incomes). Sementara, sektor publik atau

pemerintah dibentuk dengan tujuan umum memberikan pelayanan publik atau

mensejahterakan rakyat.

Perolehan pendapatan pemerintah dilakukan secara umum dengan memungut

pajak atau pungutan lainnya. Dalam disiplin keuangan publik (publik finance) pajak

dipungut karena adanya eksternalitas dan barang publik. Sebagai contoh eksternalitas

adalah adanya jasa polisi atau pemadam kebakaran (positive externalities) dan polusi

yang ditimbulkan industri (negative externalities). Selain itu, dalam bermasyarakat

barang-barang publik seperti jalan raya, jembatan, dan taman kota yang tidak ada

(3)

penggunanya. Untuk itu, pendapatan dari pajak tersebut digunakan untuk belanja

dalam rangka menghilangkan eksternalitas dan penyediaan barang publik demi

tercapainya kesejahteraan rakyat. Pertanggung jawaban perolehan pendapatan dari

pajak tersebut dan pengalokasiannya dalam belanja-belanja dimaksud harus dibuat

dengan menggunakan suatu sistem akuntansi pemerintahan dan diperiksa oleh

lembaga pemeriksa eksternal.

2.1.2 Otonomi Daerah

Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri dan

namos yang berarti undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri

(Suryaningrat, 1985).

Syafrudin (1991) mengatakan bahwa otonomi mempunyai makna kebebasan

dan kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan terbatas atau kemandirian itu

adalah wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggung jawabkan. Secara

implisit definisi otonomi tersebut mengandung dua unsur, yaitu : Adanya pemberian

tugas dalam arti sejumlah pekerjaan yang harus diselesaikan serta kewenangan untuk

melaksanakannya; dan Adanya pemberian kepercayaan berupa kewenangan untuk

memikirkan dan menetapkan sendiri berbagai penyelesaian tugas itu.

Manan (2001) menjelaskan bahwa otonomi mengandung tujuan-tujuan,

yaitu:

1. Pembagian dan pembatasan kekuasaan. Salah satu persoalan pokok dalam

negara hukum yang demokratik, adalah bagaimana disatu pihak menjamin

(4)

yang sewenang-wenang. Dengan memberi wewenang kepada daerah untuk

mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, berarti pemerintah pusat

membagi kekuasaan yang dimiliki dan sekaligus membatasi kekuasaanya

terhadap urusan-urusan yang dilimpahkan kepada kepala daerah.

2. Efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Terlalu sulit

bahkan tidak mungkin untuk meletakkan dan mengharapkan Pemerintah

Pusat dapat menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya terhadap segala

persoalan apabila hal tersebut bersifat kedaerahan yang beraneka ragam

coraknya. Oleh sebab itu untuk menjamin efisiensi dan efektivitas dalam

melaksanakan tugas dan kewajibannya, kepada daerah perlu diberi wewenang

untuk turut serta mengatur dan mengurus pelaksanaan tugas-tugas

pemerintahan dalam lingkungan rumah tangganya, diharapkan

masalah-masalah yang bersifat lokal akan mendapat perhatian dan pelayanan yang

wajar dan baik.

3. Pembangunan-pembangunan adalah suatu proses mobilisasi

faktor-faktor sosial, ekonomi, politik maupun budaya untuk mencapai dan

menciptakan kehidupan yang sejahtera.

4. Dengan adanya pemerintahan daerah yang berhak mengatur dan mengurus

urusan dan kepentingan rumah tangga daerahnya, partisipasi rakyat dapat

dibangkitkan dan pembangunan benar-benar diarahkan kepada kepentingan

nyata daerah yang bersangkutan, karena mereka lah yang paling mengetahui

(5)

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah menyatakan bahwa :

“Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah menurut Mardiasmo (2002)

adalah untuk meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah.

Pada dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanaan otonomi daerah yaitu: (1)

meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat,

(2) menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah, dan (3)

memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam

proses pembangunan.

2.1.3 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

APBD merupakan rencana keuangan tahunan Pemda yang dibahas dan

disetujui bersama oleh Pemda dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah.

APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah yang merupakan pedoman

bagi Pemda dalam memberikan pelayanan kepada publik dalam masa satu tahun

(6)

2.1.3.1 Fungsi APBD

Fungsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah :

1. Fungsi otorisasi bermakna bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk

merealisasi pendapatan dan belanja pada tahun bersangkutan. Tanpa

dianggarkan dalam APBD sebuah kegiatan tidak memiliki kekuatan untuk

dilaksanakan.

2. Fungsi perencanaan bermakna bahwa anggaran daerah menjadi pedoman

bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang

bersangkutan.

3. Fungsi pengawasan mengandung makna bahwa anggaran daerah menjadi

pedoman untuk menilai keberhasilan atau kegagalan penyelenggaraan

pemerintah daerah.

4. Fungsi alokasi mengandung makna bahwa anggaran daerah harus diarahkan

untuk menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran, dan

pemborosan sumberdaya, serta meningkatkan efisiensi dan efektifitas

perekonomian daerah.

5. Fungsi distribusi memiliki makna bahwa kebijakan-kebijakan dalam

penganggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

6. Fungsi stabilitasi memiliki makna bahwa anggaran daerah menjadi alat untuk

memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian

(7)

2.1.4 Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA)

SiLPA atau Sisa Lebih Perhitungan Anggaran adalah suatu indikator yang

menggambarkan efisiensi pengeluaran pemerintah. Laporan Realisasi Anggaran

didalamnya terdapat penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan.

Penerimaan pembiayaan dapat berupa hasil penjualan kekayaan daerah yang

dipisahkan, pinjaman dalam negeri, dan dari penerimaan kembali pinjaman yang

pernah diberikan pemerintah daerah kepada pihak lain, sedangkan pengeluaran

pembiayaan dapat berupa pembentukan dana cadangan, penyertaan modal

pemerintah daerah, pembayaran pokok pinjaman dalam negeri, dan pemberian

pinjaman kepada pihak lain. Selisih antara penerimaan pembiayaan dan pengeluaran

pembiayaan merupakan pembiayaan neto. Selisih antara Surplus/defisit dengan

pembiayaan neto inilah yang disebut sebagai SiLPA, dimana SiLPA ini menurut

Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 merupakan Selisih lebih realisasi

penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran.

Struktur APBD, di dalamnya terdapat penerimaan, pengeluaran dan

pembiayaan. Selisih antara penerimaan anggaran dengan pengeluaran anggaran

disebut surplus atau defisit. Surplus terjadi ketika penerimaan lebih besar daripada

pengeluaran. Jika sebaliknya maka disebut defisit. Struktur pembiayaan terdiri dari

penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan. Penerimaan pembiayaan

dapat berasal dari hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, pinjaman dalam

negeri, dan penerimaan kembali pinjaman yang pernah diberikan pemerintah daerah

(8)

dana cadangan, penyertaan modal pemerintah daerah, pembayaran pokok pinjaman

dalam negeri, dan pemberian pinjaman kepada pihak lain.

Selisih antara penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan ini

disebut pembiayaan netto. SiLPA merupakan selisih dari surplus/defisit dengan

pembiayaan netto. SiLPA dapat digunakan sebagai indikator efisiensi pengeluaran

pemerintah karena SiLPA hanya akan terbentuk bila terjadi surplus pada APBD

sekaligus terjadi pembiayaan neto positif, atau pembiayaan neto lebih besar dari

defisit APBD.

Pasal 137 menyatakan bahwa Sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) tahun

sebelumnya merupakan penerimaan pembiayaan yang digunakan untuk:

1. Menutupi defisit anggaran apabila realisasi pendapatan lebih kecil daripada

realisasi belanja;

2. Mendanai pelaksanaan kegiatan lanjutan atas beban belanja langsung;

3. Mendanai kewajiban lainnya yang sampai dengan akhir tahun anggaran

belum diselesaikan.

2.1.5 Luas Wilayah

2.1.5.1 Pengertian Wilayah

Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap

unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek

administratif dan atau aspek fungsional. Wilayah dapat diartikan sebagai suatu ruang

pada permukaan bumi. Pengertian permukaan bumi dapat menunjuk pada tempat

(9)

permukaan bumi. Wilayah sering dibedakan artinya dengan kata daerah atau

kawasan. Wilayah diartikan sebagai satu kesatuan ruang yang mempunyai tempat

tertentu tanpa terlalu memerhatikan soal batas dan kondisinya. Daerah dapat

didefinisikan sebagai bagian ruang di permukaan bumi dengan batas secara jelas

berdasarkan jurisdiksi administrasi. Pengertian kawasan dapat disamakan dengan

istilah area yang mempunyai batas-batas yang jelas berdasarkan unsur-unsur yang

sama.

2.1.5.2 Wilayah Formal dan Wilayah Fungsional

1. Wilayah Formal (Formal Regions/Homogenous Region) merupakan wilayah

yang dipandang dari suatu aspek tertentu yang mempunyai sifat-sifat dan

ciri-ciri yang relatif sama.

2. Wilayah Fungsional (Functional Regions/Nodul Regions) adalah suatu

wilayah yang mempunyai ketergantungan antara daerah pusat dengan daerah

belakangnya, atau suatu wilayah yang dalam banyak hal diatur oleh beberapa

pusat kegiatan yang saling dihubungkan dengan garis melingkar (daerah

belakangnya). Contohnya, wilayah kota dengan wilayah belakangnya, lokasi

produksi dengan wilayah pemasarannya, susunan orde perkotaan, dan

(10)

2.1.5.3 Perencanaan Pembangunan Wilayah

Untuk kepentingan perencanaan, wilayah harus dapat dibagi ke dalam suatu

kesatuan agar dapat dibedakan dengan kesatuan lain. Pembagian wilayah tergantung

pada titik awal ruang wilayah yang kita maksudkan. Apabila titik awal adalah ruang

yang luas dan ingin dianalisis dalam bentuk sub bagiannya, yang kita lakukan adalah

membagi wilayah yang luas ke dalam beberapa sub wilayah yang lebih sempit sesuai

dengan kriteria yang ditetapkan. Sebaliknya, apabila titik awalnya adalah wilayah

yang kecil-kecil dan ingin dikelompokkan dalam beberapa kesatuan yang lebih

besar, maka harus mengikuti kriteria yang digunakan. Satuan yang baru itu tetap juga

dinamakan wilayah, tetapi dengan tambahan ciri atau karakter tertentu sehingga

dapat kita bayangkan luasnya, lebih kecil atau lebih besar daripada luas titik

awalnya. Misalnya, wilayah negara republik indonesia dapat dibagi atas provinsi,

provinsi dapat dibagi atas kabupaten. Kabupaten dibagi atas kecamatan. Di sisi lain,

kita bisa beranjak dari wilayah yang kecil, misalnya beberapa desa atau keluruhan

digabung menjadi kecamatan, kecamatan digabung menjadi kabupaten, dst.

Dasar dari perwilayahan dapat dibedakan berdasarkan wilayah administrasi

pemerintah, kesamaan kondisi, ruang lingkup pengaruh ekonomi, dan wilayah

perencanaan atau program.

2.1.6 Belanja Modal

Belanja modal merupakan pengeluaran anggaran yang digunakan dalam

rangka memperoleh atau menambah aset tetap dan aset lainnya yang memberi

manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi

(11)

dipergunakan untuk operasional kegiatan sehari-hari suatu satuan kerja dan bukan

untuk dijual (PMK No. 91/PMK.06/2007).

Menurut Halim (2007), Belanja Modal adalah:

“Belanja Modal merupakan pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset tetap lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi.”

Dari pengertian diatas dapat dijelaskan bahwa belanja modal adalah

pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya

menambah aset tetap atau inventaris yang memberikan manfaat lebih dari satu tahun

periode akuntansi, termasuk pengeluaran yang sifatnya mempertahankan atau

menambah masa manfaat, meningkatkan kapasitas dan kualitas aset.

Aset tetap yang dimiliki merupakan prasyarat utama dalam memberikan

pelayanan publik oleh pemerintah daerah. Untuk menambah aset tetap, pemerintah

daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal dalam APBD.

Alokasi belanja modal ini didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan

prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk

fasilitas publik.

Belanja modal dimaksudkan untuk mendapatkan aset tetap pemerintah

daerah, yaitu peralatan, bangunan, infrastruktur dan harta tetap lainnya. Secara

teoritis ada 3 cara untuk memperoleh aset tetap, yaitu dengan membangun sendiri,

menukarkan dengan aset tetap lain dan membeli. Biasanya, pemerintah melakukan

(12)

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah, belanja modal dapat dikategorikan menjadi 5 (lima) kategori utama yaitu:

1. Belanja Modal Tanah

Belanja modal tanah adalah pengeluaran yang digunakan untuk pengadaan

atau pembelian baik nama, sewa tanah, dan pengeluaran lainnya sehubungan

dengan perolehan hak atas tanah dan sampai tanah dimaksud dalam kondisi

siap pakai.

2. Belanja Modal Peralatan dan Mesin

Belanja modal peralatan dan mesin adalah pengeluaran yang digunakan untuk

pengadaan atau penggantian dan peningkatan kapasitas peralatan dan mesin

yang memberi manfaat lebih dari 12 bulan.

3. Belanja Modal Gedung dan Bangunan

Belanja modal gedung dan bangunan adalah pengeluaran untuk pengadaan

atau penggantian dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan,

dan pengelolaan pembangunan yang menambah kapasitas sampai gedung

dalam kondisi siap pakai.

4. Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan

Belanja modal jalan, irigasi dan jaringan adalah pengeluaran yang digunakan

untuk pengadaan atau peningkatan pembangunan dan termasuk pengeluaran

untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan jalan, irigasi, dan jaringan

(13)

5. Belanja Modal Fisik Lainnya.

Belanja modal fisik lainnya adalah pengeluaran yang digunakan untuk

pengadaan atau penambahan terhadap aset tetap lainnya yang tidak dapat

dikategorikan dalam kriteria belanja modal di atas.

2.2 Penelitian Sebelumnya

Penelitian sebelumnya sangatlah penting untuk diungkapkan karena dapat

digunakan sebagai sumber informasi dan bahan acuan yang sangat berguna bagi

penulis. Nurcahyani (2013) melakukan penelitian yang berjudul Pengaruh

Kemandirian Daerah, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Sisa Lebih Perhitungan

Anggaran (SiLPA) terhadap Belanja Modal Pada Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa

Tengah. Hasil pengujian secara simultan menunjukkan bahwa Kemandirian Daerah,

Dana Alokasi Umum (DAU), Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA)

berpengaruh signifikan terhadap belanja modal. Hasil pengujian secara parsial

Kemandirian Daerah tidak berpengaruh signifikan, sedangkan Dana Alokasi Umum

(DAU), dan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) berpengaruh signifikan

terhadap Belanja Modal.

Penelitian lainnya dilakukan oleh Kusnandar (2010) mengenai Pengaruh

Dana Alokasi Umum, Pendapatan Asli Daerah, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran

dan Luas Wilayah Terhadap Belanja Modal. Hasil penelitian menunjukkan secara

parsial DAU tidak berpengaruh terhadap alokasi belanja modal sedangkan PAD,

SiLPA dan Luas Wilayah berpengaruh positif terhadap belanja modal pada α = 1%.

Hal ini mengindikasikan bahwa DAU yang dalam proporsi penerimaan daerah

(14)

pengeluaran rutin, seperti untuk gaji pegawai. Sedangkan PAD walaupun kecil

dalam proporsi penerimaan namun sangat perpengaruh pada alokasi belanja modal,

hal ini mengindikasikan bahwa PAD merupakan sumber penting pendapatan yang

akan dialokasikan dalam pembangunan infrastruktur daerah.

Ardhini (2010) melakukan penelitian melakukan penelitian mengenai

Pengaruh Rasio Keuangan Daerah terhadap Belanja Modal untuk Pelayanan Publik

dalam Persperktif Teori Keagenan (Studi Kasus pada Kabupaten/Kota di Jawa

tengah). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kenaikan SiLPA keuangan daerah

berpengaruh terhadap kenaikan rasio belanja modal dikarenakan jumlah efisiensi

SiLPA yang semakin besar tidak mencerminkan pelaksanaan keuangan daerah sesuai

dengan porsinya masing masing. Variabel Luas Wilayah memiliki t hitung sebesar

-2,515 dan nilai sig sebesar 0,014. Nilai sign 0,014 < α (0,05), hal ini berarti variabel

Luas wilayah signifikan pada level 5% sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel

Luas wilayah tidak berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah realisasi Belanja

Modal untuk pelayanan publik. Berikut adalah tabel ringkasan penelitian

sebelumnya:

Tabel 2.1

Ringkasan Penelitian Sebelumnya

No. Peneliti

(Tahun) Judul

Subjek

Penelitian Metlit Variabel

Sama/beda dengan penelitian sebelumnya 1 Dodik Siswantoro Kusnandar (2010) Pengaruh Dana Alokasi Umum, Pemerintah Daerah Kabupaten /kota Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dengan DAU (x1), PAD (x2), SiLPA (x3), Luas Penelitian sekarang hanya memiliki 2 variabel x,

(15)

Pendapatan Asli Daerah, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, dan Luas Wilayah terhadap Belanja Modal seluruh Indonesia alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi linear berganda dengan teknik estimasi yang digunakan untuk mencari persamaan regresi menggunakan metode kuadrat terkecil (Ordinary Least Square – OLS) untuk menganalisis pengaruh DAU, PAD, SiLPA dan Luas Wilayah dalam hubungannya dengan alokasi Belanja Modal. Wilayah (x4), Belanja Modal (y) yaitu SiLPA dan Luas Wilayah. Selain itu, subjek penelitian yang dilakukan sekarang adalah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. 2 Ardhini (2011) Pengaruh Rasio Keuangan Daerah terhadap Belanja Modal untuk Pelayanan Publik dalam Perspektif Teori Keagenan Kabupaten /kota di Provinsi Jawa Tengah Teknik yang digunakan untuk mencari nilai persamaan regresi yaitu dengan analisis Least Squares (kuadrat terkecil) dengan meminimalkan jumlah dari kuadrat kesalahan. Metode analisis data yang Rasio Kemandiri an Daerah (x1), Rasio Efektifitas Keuangan Daerah (x2), Rasio Efisiensi Keuangan Daerah (x3), SiLPA (x4), Luas Penelitian sekarang menggunakan subjek yang berbeda, yakni kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Variabel yang diteliti hanya SiLPA dan Luas Wilayah terhadap Belanja Modal.

(16)

digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis Kuantitatif yang merupakan analisis perhitungan terhadap angka-angka dan perbandingan untuk menarik kesimpulan. Wilayah (x5), DAK (x6), Belanja Modal (y) 3 Mochamad Fajar Hidayat (2013) Analisis Pengaruh Kinerja Keuangan Daerah terhadap Alokasi Belanja Modal Kabupaten /kota di Provinsi Jawa Timur. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Regresi data panel dengan menggunakan pendekatan Random Effect Model (REM). Tingkat Ketergantu ngan (x1), Efektivitas PAD (x2), SiLPA (x3), Ruang Fiskal (x4), Belanja Modal (y) Metode penelitian yang digunakan sekarang menggunakan metode regresi linear berganda, dengan subjek kabupaten/kota yang ada di provinsi Jawa Barat dengan menggunakan SiLPA dan menambahkan Luas Wilayah sebagai variabel x2. 4 Haryanto (2013) Pengaruh Informasi SiLPA APBD dan Arus Kas terhadap Pemerintah kabupaten yang terdaftar di Departeme n Dalam Model analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model regresi linear SiLPA (x1), Arus Kas Operasi (x2), Arus Kas Penelitian sekarang menggunakan pemerintah daerah kabupaten/kota

(17)

Penganggara n Belanja Modal Berdasarkan Klasifikasi Pemerintah Daerah menurut Permendagri Nomor 21 tahun 2007 Negeri per 31 Desember 2007 berganda, yaitu menggunakan regresi. Investasi (x3), Arus Kas Pembiayaa n (x4), Belanja Modal (y) di provinsi Jawa Barat sebagai subjek. Variabel yang diteliti adalah SiLPA dan Luas Wilayah terhadap Belanja Modal. 2.3 Kerangka Pemikiran

2.3.1 Pengaruh SiLPA terhadap Belanja Modal

SiLPA tahun sebelumnya yang merupakan penerimaan pembiayaan

digunakan untuk menutupi defisit anggaran apabila realisasi pendapatan lebih kecil

daripada realisasi belanja, mendanai pelaksanaan kegiatan lanjutan atas beban

belanja langsung (belanja barang dan jasa, belanja modal, dan belanja pegawai) dan

mendanai kewajiban lainnya sampai dengan akhir tahun anggaran yang belum

diselesaikan.

Penelitian yang dilakukan oleh Kusnandar (2010) menyatakan bahwa Selisih

Lebih Perhitungan Anggaran berpengaruh positif dan signifikan pada α=1%, hal ini

mengindikasikan bahwa SiLPA tahun sebelumnya sangat berpengaruh pada alokasi

belanja tahun berikutnya.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hidayat (2013) menunjukkan bahwa

tingkat pembiayaan SiLPA tahun lalu berpengaruh signifikan terhadap alokasi

(18)

positif berarti bahwa semakin besar tingkat pembiayaan SiLPA tahun lalu maka

semakin besar pula alokasi belanja modal di tahun berikutnya.

Nurcahyani (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa secara parsial

Sisa Lebih Perhitungan Anggaran berpengaruh secara signifikan terhadap Belanja

Modal. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ardhini (2012) yang

menyimpulkan bahwa variabel SiLPA berpengaruh secara signifikan terhadap

jumlah realisasi Belanja Modal.

Pasal 137 menyatakan bahwa Sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) tahun

sebelumnya merupakan penerimaan pembiayaan yang digunakan untuk:

1. Menutupi defisit anggaran apabila realisasi pendapatan lebih kecil daripada

realisasi belanja;

2. Mendanai pelaksanaan kegiatan lanjutan atas beban belanja langsung;

3. Mendanai kewajiban lainnya yang sampai dengan akhir tahun anggaran

belum diselesaikan.

Poin ke-2 dalam pasal 37 menyatakan bahwa salah satu kegunaan dari SiLPA

adalah untuk mendanai pelaksanaan kegiatan lanjutan atas beban belanja langsung,

yang mana belanja modal termasuk kategori belanja langsung. Hal ini menguatkan

hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, yakni Sisa Lebih Perhitungan

Anggaran memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap Belanja Modal.

2.3.2 Pengaruh Luas Wilayah terhadap Belanja Modal

Luas wilayah berpengaruh positif terhadap pengalokasian belanja modal, hal

(19)

dipengaruhi oleh luas daerah itu sendiri. Luas wilayah suatu daerah dapat dijadikan

ukuran suatu daerah untuk mengalokasikan anggarannya untuk pembangunan

terutama berupa pembangunan infrastruktur berupa jalan dan jaringan. Pembangunan

infrastruktur berupa jalan akan mempermudah akses ke suatu daerah dan dapat

memperlancar transportasi sehingga dapat memperlancar arus barang dari daerah

satu ke daerah yang lain. Lancarnya arus barang dapat menarik investor untuk

menanamkan modalnya, dan hal tersebut dapat meningkatkan perekonomian daerah

itu sendiri (Kusnandar, 2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Ardhini (2012) menyatakan bahwa Variabel

Luas Wilayah memiliki t hitung sebesar -2,515 dan nilai sig sebesar 0,014. Nilai sign

0,014 < α (0,05), hal ini berarti variabel Luas wilayah signifikan pada level 5%

sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel Luas wilayah tidak berpengaruh secara

signifikan terhadap jumlah realisasi Belanja Modal.

Menurut Abdullah dan Halim (2006), alokasi belanja modal harus

disesuaikan dengan kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana baik untuk

kelancaran tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Undang-Undang No.

33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa ada beberapa variabel yang

mencerminkan kebutuhan akan penyediaan layanan publik di setiap daerah, dua

diantaranya adalah luas wilayah dan jumlah penduduk.

Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa besar atau tidaknya

kebutuhan suatu daerah akan fasilitas publik juga dipengaruhi oleh jumlah penduduk

(20)

kepadatan penduduk dalam suatu wilayah tergolong sedikit, maka secara otomatis

fasilitas publik yang dibutuhkan oleh masyarakat daerah tersebut akan lebih sedikit

apabila dibandingkan dengan daerah yang memiliki jumlah dan kepadatan penduduk

yang lebih banyak.

Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut maka dibuat skema guna

mempermudah pemahaman mengenai hubungan antar variabel dari Sisa Lebih

Perhitungan Anggaran dan Luas Wilayah terhadap Belanja Modal pada

Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2008 – 2012 sebagaimana terdapat

pada gambar berikut:

Gambar 2.1

Paradigma Penelitian

2.4 Hipotesis

Hipotesis adalah dugaan sementara yang perlu diuji kebenarannya.

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, hipotesis yang akan diuji dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut:

1) H1: Sisa Lebih Perhitungan Anggaran berpengaruh positif

terhadap Belanja Modal.

Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA)

Luas Wilayah

(21)

2) H2: Luas Wilayah berpengaruh positif terhadap Belanja Modal.

3) H3: Sisa Lebih Perhitungan Anggaran dan Luas Wilayah berpengaruh

Referensi

Dokumen terkait

Dengan dimulainya pelaksanaan KTSP secara serentak di seluruh sekolah dasar se Kecamatan Sragen maka setiap unit kerja (SD) harus menyediakan semua perangkat yang meliputi

Pada bab ini akan diuraikan tentang hasil perhitungan setting relai diferensial, relai OCR, dan relai GFR, analisis tentang koordinasi relai diferensial dan relai OCR-GFR

Penanganan yang tepat dari permasalahan perbedaan musim dan fluktuasi harga terhadap bawang merah dan bawang putih antara lain: pada pertanian bawang merah dan

setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau

Machin (2014) mengemukakan tujuan pendekatan saintifik dalam pembelajaran antara lain: 1) untuk meningkatkan kemampuan berpikirkhususnya kemampuan berpikir tingkat tinggi; 2)

36. Seorang siswa rnelakukan percobaan tentang gerak pada turnbuhan dengan perlakuan seperti pada gambar berikut.. Setelah beberapa minggu, maka

Pengertian meningkatkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti “menaikkan derajat, taraf, dan sebagainya.” 17 Adapun meningkatkan yang dimaksudkan dalam

Homepage telah dianggap sebagai media baru dalam publikasi elektronik, informasi yang tersaji didalam homepage dapat dilihat oleh jutaan penggunaan internet di seluruh dunia.