• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH EDUKASI TERHADAP ASPEK PERILAKU SWAMEDIKASI COMMON COLD PADA IBU-IBU NON KADER KESEHATAN DI KECAMATAN JETIS KABUPATEN BANTUL SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENGARUH EDUKASI TERHADAP ASPEK PERILAKU SWAMEDIKASI COMMON COLD PADA IBU-IBU NON KADER KESEHATAN DI KECAMATAN JETIS KABUPATEN BANTUL SKRIPSI"

Copied!
153
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH EDUKASI TERHADAP ASPEK PERILAKU

SWAMEDIKASI COMMON COLD PADA IBU-IBU NON KADER KESEHATAN DI KECAMATAN JETIS KABUPATEN BANTUL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Vincentia Septiana Widiastuti NIM : 058114034

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

ii

PENGARUH EDUKASI TERHADAP ASPEK PERILAKU

SWAMEDIKASI COMMON COLD PADA IBU-IBU NON KADER KESEHATAN DI KECAMATAN JETIS KABUPATEN BANTUL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Vincentia Septiana Widiastuti NIM : 058114034

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

v

Mintalah, maka akan diberikan kepadamu;

carilah, maka pintu akan dibukakan bagimu.

Karena setiap orang yang mencari, menerima

dan setiap orang yang mengetok,

baginya pintu dibukakan

(Matius 7 : 7-8)

Karya ini kupersembahkan kepada :

Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria

Bapak-ibuku, dan Adikku Tama

Keluarga besarku Widi Martoyo

Teman seperjuangan

Dan...

(6)
(7)
(8)

viii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan yang Maha Kasih atas berkat, rahmat dan bimbingan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PENGARUH EDUKASI TERHADAP ASPEK PERILAKU

SWAMEDIKASI COMMON COLD PADA IBU-IBU NON KADER

KESEHATAN DI KECAMATAN JETIS KABUPATEN BANTUL” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini bukanlah suatu hal yang mudah, namun berkat dukungan dan bantuan berbagai pihak penulis mampu menyelesaikan karya ini. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima 1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma yang telah memperlancar jalannya penelitian, sekaligus sebagai dosen pendamping akademik atas dorongan, motivasi, dan bimbingannya, serta dosen penguji atas masukan yang diberikan demi kesempurnaan karya ini.

2. Bapak Ipang Djunarko. S.Si., Apt, selaku dosen pembimbing I dan sebagai pembicara dalam edukasi, atas masukan, saran, dan ide demi selesainya skripsi ini.

3. Romo Drs. Petrus Sunu H., SJ., M.Sc., selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan masukan, saran, dan pencerahan untuk skripsi ini.

(9)

ix

5. Bapak dan Ibu, atas dukungan moral, doa dan terutama material yang diberikan selama proses penyelesaian skripsi ini.

6. Adik penulis, Tama, atas bantuan moral terutama doa dan motivasinya.

7. Para aparat pemerintah mulai dari Kabupaten, Kecamatan, Kelurahan, dan Pedukuhan atas izin yang diberikan untuk penelitian ini.

8. Seluruh responden dalam penelitian ini, yang mau memahami pentingnya jawaban yang diberikan pada selesainya skripsi ini.

9. Teman penelitian dan sahabatku, Nisitantri Prabaningrum, atas kerjasama dalam suka duka menjalankan penelitian.

10. Sahabatku Bernadetta Eka Niasari, atas persahabatan dalam suka dan duka bersama serta dukungannya.

11. Teman-teman sekelas dan seperjuangan, Rini, Novi, Andin, Vivi, Christin, Vyra, Dewi, Ragil, Lini dan semuanya yang pernah ada di kelas A 2005 dan FKK 2005, dinamika bertahun-tahun di kelas adalah pelajaran terpenting kita. 12. Antonius Aan Patria, atas bantuan waktu dan tenaga dalam proses

pelaksanaaan penelitian, serta kasih, motivasi, dan dukungannya.

13. Ari, Betrix, Detta, Hetty, Herbin, Mas Yohan, Mas Ruma, Andre, Indro, dan Anin atas bantuan, dukungan, dan waktunya.

14. Teman-teman kos, Angel, Yuli, Susi, Puput, Venti, Tiwi, dan Paulina, atas kebersamaan dan keceriaannya setiap tahun.

(10)

x

Penulis menyadari bahwa karya ini masih belum sempurna. Untuk itu penulis membuka diri kepada kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini, akan lebih baik bila disertai solusi. Semoga skripsi ini berguna. Terima kasih.

Yogyakarta, 24 Agustus 2009

(11)

xi

INTISARI

Swamedikasi adalah tindakan penggunaan obat oleh masyarakat untuk mengurangi gejala penyakit ringan (minor illnesses) tanpa resep atau intervensi dokter. Common cold merupakan penyakit ringan pada saluran pernapasan atas disebabkan virus yang bersifat self-limiting, sehingga dalam pengobatannya dapat dilakukan dengan swamedikasi. Tahun 2005 Indonesia, common cold menduduki peringkat ke-7, sedangkan di Kabupaten Bantul tahun 2007 common cold merupakan kasus tertinggi. Karena prevalensi swamedikasi tinggi sebesar 87,73 % di Provinsi DIY pada tahun 2005 dan ada kecenderungan meningkat, diperlukan adanya edukasi masyarakat dalam berperilaku swamedikasi yang rasional. Penelitian ini bertujuan untuk engetahui pengaruh edukasi terhadap perilaku seamedikasi yang meliputi pengetahuan, sikap dan tindakan. Dampak edukasi dapat dipengaruhi usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan jenis pekerjaan.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian quasi eksperimental dengan rancangan “non-randomized pretest-posttest with control group”. Jumlah responden sebanyak 198 terdiri dari 99 perlakuan dan 99 kontrol, dipilih secara purposive sampling pada tiap dusun. Teknik pengambilan data dengan kuesioner. Data dianalisis dengan uji t, mannwhitney, wilcoxon, dan one way anova.

Hasil analisis menunjukkan bahwa edukasi mempengaruhi secara bermakna terhadap pengetahuan, sikap, dan tindakan perilaku swamedikasi common cold. Perbedaan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan mempengaruhi dampak edukasi terhadap nilai perilaku responden, sedangkan perbedaan usia dan jenis pekerjaan tidak mempengaruhi dampak edukasi terhadap perilaku swamedikasi.

(12)

xii ABSTRACT

Self-medication is an action of using any medicine done by people in order to decrease symptoms of minor illnesses without prescription or intervention from medical staffs. Commoncold is a minor illness at upper respiratory system caused by viruses. The viruses are self-limiting viruses, so the treatment can be done by self-medication. In 2005, commoncold is in the 7th rank of diseases in Indonesia. However, in 2007, common cold cases are the highest cases in Bantul. In 2005, the medication’s prevalence at DIY province is 87, 73 % and generally increase. Therefore, an education on the rational behavior of self-medication for the people is needed. This research is done for kenowing influence of education toward behaviour aspect with is include knowledge, attitude, and practice. The result of the education can be influenced based on the age, educational degree, income, and job’s type.

This study is quasi experimental using framework of non-randomized pretest-posttest with control group design. The respondents were 198 people; there were 99 people of treatment group and 99 people of control group. Purposive sampling was used to choose the respondents from every village. Data were taken using questionnaires. Data were analyzed using t-test, mann whitney, wilcoxon, and one way anova.

The analysis showed that the education influenced significantly on knowledge, attitude, and practice in doing the common cold self-medication. The differences in people’s educational degree and income influenced the result of education towards respondents’ scores. Nevertheless, the differences in age and job’s type did not influence the result of education towards self-medication behaviors.

(13)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii

HALAMAN PENGESAHAN... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi

PRAKATA... vii

INTISARI... x

ABSTRACT... xi

DAFTAR ISI... xii

DAFTAR TABEL... xvi

DAFTAR GAMBAR... xviii

DAFTAR LAMPIRAN... xx

BAB I. PENGANTAR... 1

A. Latar Belakang Penelitian... 1

1. Permasalahan... 4

2. Keaslian penelitian... 4

3. Manfaat penelitian... 5

B. Tujuan Penelitian... 6

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA... 7

A. Anatomi dan Fisiologi Saluran Pernapasan Atas... 7

(14)

xiv

1. Definisi... 8

2. Etiologi... 9

3. Patofisiologi... 10

4. Tanda dan gejala... 12

5. Penatalaksanaan... 13

a. Outcome... 13

b. Tujuan terapi... 13

c. Sasaran terapi... 13

d. Strategi terapi... 13

C. Persepsi Sehat dan Sakit... 17

D. Swamedikasi... ... 18

1. Definisi... 18

2. Perilaku swamedikasi... 19

3. Keuntungan dan kerugian... 20

4. Penyakit ringan... 21

5. Obat untuk swamedikasi... 21

6. Peranan apoteker dalam swamedikasi... 23

7. Swamedikasi Common Cold... 23

E. Penggunaan Obat yang Rasional... 25

F. Usia... 26

G. Tingkat Pendidikan... 26

H. Jenis Pekerjaan... 27

(15)

xv

J. Perilaku... 28

1. Pengetahuan... 29

2. Sikap... 31

3. Tindakan... 32

K. Teori Tentang Perilaku... 33

1. Teori determinasi perilaku... 33

a. Teori KepribadianSpranger... 33

b. Teori LawrenceGreen... 33

c. Teori Snehandu B.Kar... 34

2. Teori perubahan perilaku... 35

a. Teori AdopsiInnovasiRogers... 35

b. Teori StimulusOrganisme (SOR)... 35

c. T eori KurtLewin... 36

L. Edukasi : Penyuluhan... 37

M. Landasan Teori... 38

N. Hipotesis... 40

BAB III. METODE PENELITIAN... 41

A. Jenis dan Rancangan Penelitian... 41

B. Variabel Penelitian... 41

C. Definisi Operasional... 42

D. Subjek Penelitian... 43

E. Populasi dan Besar Sampel... 44

(16)

xvi

G. Tempat Penelitian... 46

H. Instrumen Penelitian... 47

I. Tata Cara Penelitian... 48

J. Analisis Data... 53

K. Keterbatasan Penelitian... 57

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 58

A. Karakteristik Responden... 58

B. Pengaruh Edukasi terhadap Tiga Aspek Perilaku Swamedikasi Common Cold... 66

C. Pengaruh Perbedaan Karakteristik Responden terhadap Dampak Edukasi pada perubahan perilaku swamedikasi Common Cold... 82

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 91

A. Kesimpulan... 91

B. Saran... 92

Daftar pustaka... 93

Lampiran... 98

(17)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel I. Perbedaan gejala CommonCold dan Flu... 9 Tabel II. Hasi uji normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov... 67 Tabel III. Hasil uji perbedaan nilai aspek perilaku responden perlakuan

dengan responden kontrol sebelum edukasi dengan sesudah edukasi... 69 Tabel IV. Perbandingan signifikasi peningkatan nilai pengetahuan

responden perlakuan dengan responden kontrol... 70 Tabel V. Hasil uji perbandingan nilai sikap perlakuan dan kontrol

sebelum edukasi dengan sesudah edukasi... 73 Tabel VI. Perbandingan signifikasi peningkatan nilai sikap responden

perlakuan dengan responden kontrol... 74 Tabel VII. Hasil uji perbandingan nilai tindakan perlakuan dan kontrol

sebelum edukasi dengan sesudah edukasi... 76 Tabel VIII. Perbandingan signifikasi peningkatan nilai tindakan

responden perlakuan dengan responden kontrol... 77 Tabel IX. Perbandingan rerata nilai pengetahuan, sikap, dan tindakan

antara perlakuan dan kontrol... 79 Tabel X. Signifikasi peningkatan nilai pengetahuan, sikap, dan

tindakan swamedikasi common cold... 80 Tabel XI. Perbandingan rerata selisih nilai perilaku pretest-posttest

(18)

xviii

Tabel XII. Perbandingan rerata selisih prerest dan posttest nilai perilaku pada responden perlakuan... 83 Tabel XIII. Perbandingan selisih nilai perilaku berdasarkan perbedaan

usia... 84 Tabel XIV. Perbandingan selisih nilai perilaku berdasarkan perbedaan

tingkat pendidikan... 86 Tabel XV. Perbandingan selisih nilai perilaku berdasarkan perbedaan

tingkat pendapatan... 89 Tabel XVI. Perbandingan selisih nilai perilaku berdasarkan perbedaan

(19)

xix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi pernapasan... 7

Gambar 2. Gambar aliran udara masuk ke hidung... 8

Gambar 3. Mekanisme penyerangan virus ke reseptor ICAM-1 pada permukaan sel epitel pernapasan dalam hidung dan nasofaring... 10

Gambar 4. Siklus replikasi virus dalam sel... 11

Gambar 5. Gejala dari common cold... 13

Gambar 6. Logaritma penatalaksanaan terapi... 24

Gambar 7. Skema sikap... 31

Gambar 8. Skema teori kepribadian... 33

Gambar 9. Bagan teori pengaruh pendidikan terhadap perilaku... 34

Gambar 10. Proses asopsi inovasi... 35

Gambar 11. Skema teori SOR... 36

Gambar 12. Skema pembagian reponden... 46

Gambar 13. Analisis hubungan edukasi dengan aspek perilaku... 58

Gambar 14. Profil responden berdasarkan usia... 59

Gambar 15. Perbandingan frekuensi responden perlakuan dengan responden kontrol berdasarkan usia... 60

Gambar 16. Profil responden berdasarkan tingkat pendidikan... 61

(20)

xx

Gambar 18. Hubungan persentase jumlah responden berdasarkan jenis pekerjaan... 63 Gambar 19. Profil responden berdasarkan tingkat pendapatan dalam satu

bulan... 64 Gambar 20. Perbandingan frekuensi responden berdasarkan tingkat

pendapatan... 64 Gambar 21. Frekuensi terjadinya common cold pada responden... 64 Gambar 22. Perbandingan nilai pengetahuan responden perlakuan dengan

kontrol pada setiap tahapan pengukuran kuesioner... 70 Gambar 23. Perbandingan nilai sikap responden perlakuan dengan kontrol

pada setiap tahapan pengukuran kuesioner... 73 Gambar 24. Perbandingan nilai tindakan pada setiap tahapan pengukuran

kuesioner... 76 Gambar 25. Perbandingan selisih nilai perilaku berdasarkan usia... 84 Gambar 26. Perbandingan selisih nilai perilaku berdasarkan tingkat

pendidikan responden... 85 Gambar 27. Perbandingan selisih nilai perilaku berdasarkan tingkat

pendapatan... 88

(21)

xxi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Perijinan Penelitiandari BAPPEDA Bantul... 99

Lampiran 2. Formulir persetujuan (informed consent)... 100

Lampiran 3. Kuesioner... 102

Lampiran 4. Validasi kuesioner... 105

Lampiran 5. Reliabilitas kuesioner... 107

Lampiran 6. Data hasil kuesioner responden perlakuan... 108

Lampiran 7. Data Hasil kuesioner responden kontrol... 114

Lampiran 8. Normalitas data untuk analisis pengaruh edukasi terhadap perilaku... 120

Lampiran 9. Uji deskriptif data untuk analisis pengaruh edukasi terhadap perilaku... 121 Lampiran 10. Analisis data pengaruh edukasi terhadap aspek perilaku... 122

(22)

1

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang Penelitian

Perilaku sakit diartikan sebagai bentuk tindakan yang dilakukan oleh individu yang sedang sakit agar memperoleh kesembuhan (Sarwono, 2007). Swamedikasi merupakan salah satu dari tindakan yang dilakukan masyarakat dalam menangani penyakitnya. Menurut World Health Organization (WHO), terjadi peningkatan masyarakat dalam menangani penyakit mereka dengan swamedikasi dengan tanpa berkonsultasi dengan dokter atau apoteker (Anonim, 2008b). Berdasarkan hasil survey Departemen Kesehatan RI, tindakan swamedikasi yang dilakukan masyarakat Indonesia meningkat dari tahun ke tahun, tahun 2004 sebesar 24,1 % (Kristina, Prabandari, dan Sudjaswadi, 2008), sedangkan tahun 2007 sebesar 65,01 % (Anonim, 2008d). Di Provinsi DIY tahun 2005, tindakan swamedikasi sebesar 73,92 % (Anonim, 2006a). Berdasarkan WHO, swamedikasi didefinisikan sebagai pemilihan dan penggunaan obat yang dilakukan oleh seseorang untuk menangani penyakit dan gejalanya yang mereka kenali sendiri (Anonim, 2008b). Menurut Shankar, Partha, dan Shenoy (2002), swamedikasi diartikan penggunaan obat oleh masyarakat untuk mengurangi gejala penyakit ringan (minor illnesses) tanpa resep atau intervensi dokter.

(23)

dengan swamedikasi. Menurut hasil survey yang dilakukan Word Self-Medication Industry (WSMI), common cold merupakan penyakit dengan prevalensi tertinggi di Inggris, Amerika, India, Australia, dan Spanyol. Hasil survey menunjukkan tingginya prevalensi swamedikasi pada penyakit common cold, sakit kepala, gangguan pencernaan, sakit dan nyeri tubuh, baik dengan obat tanpa resep (OTR) maupun remedy (cara pengobatan rumah) (WSMI, 2006). Profil kesehatan di Indonesia tahun 2005, common cold menduduki peringkat ke-7 sebesar 5,11 %. Prevalensi penyakit common cold di Kabupaten Bantul merupakan kasus tertinggi sebesar 9,33 % (Anonim, 2007a).

Tingginya prevalensi common cold di Kabupaten Bantul, prevalensi swamedikasi di DIY yang tinggi dan terjadinya peningkatan tindakan swamedikasi diperlukan adanya peningkatan tanggung jawab masyarakat untuk memastikan pengobatan yang mereka pilih sesuai dengan kebutuhan, keselamatan dan keefektifannya (Anonim, 2008b). Peningkatan tanggung jawab tersebut dapat dilakukan dengan pemberian informasi kepada masyarakat mengenai swamedikasi yang rasional. Pemberian informasi tentang swamedikasi ini merupakan salah satu dari peran farmasis (Anonim, 2008b) dalam promosi kesehatan, yang salah satunya dapat dilakukan dengan pemberian edukasi.

(24)

terbentuk perilaku swamedikasi yang rasional. Edukasi berupa penyuluhan dengan pemberian informasi mengenai penyakit common cold, pencegahan dan pengobatannya terutama swamedikasi. Subyek penelitian adalah ibu-ibu non kader kesehatan yang bukan merupakan tenaga kesehatan, yang anggota keluarga atau dirinya pernah mengalami common cold. Subyek ibu-ibu karena merupakan peletak dasar perilaku kesehatan keluarga terutama perilaku swamedikasi. Subyek menggunakan non kader kesehatan yang bukan tenaga kesehatan untuk melihat bagaimana perilaku swamedikasi yang dilakukan pada masyarakat yang tidak memiliki dasar pengetahuan mengenai penyakit common cold dan penanganannya.

(25)

1. Permasalahan

a. Bagaimana karakteristik responden ibu-ibu non kader kesehatan di Kecamatan Jetis Kabupaten Bantul?

b. Apakah penyuluhan mempengaruhi aspek perilaku swamedikasi common cold pada ibu-ibu non kader kesehatan di Kecamatan Jetis Kabupaten Bantul?

c. Apakah terdapat pengaruh perbedaan usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan jenis pekerjaan terhadap dampak edukasi pada perilaku swamedikasi common cold oleh ibu-ibu non kader kesehatan di Kecamatan Jetis Kabupaten Bantul?

2. Keaslian penelitian

Penelitian mengenai common cold yang telah dilakukan adalah :

a. Penelitian berjudul “Perilaku swamedikasi yang rasional pada masyarakat Kecamatan Depok dan Cangkringan Kabupaten Sleman” yang dilakukan oleh Kristina, Prabandari, dan Sudjaswadi (2008). Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara pengetahuan, dan sikap tentang swamedikasi, jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan tingkat pendapatan dengan perilaku swamedikasi yang rasional. Tingkat pendidikan merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap perilaku swamedikasi.

(26)

menunjukkan adanya pengaruh penyuluhan obat dengan menggunakan metode ceramah dan leaflet yang telah dikembangkan dapat meningkatkan pengetahuan tentang pengobatan sendiri yag sesuai aturan secara bermakna dibandingkan kontrol.

Sepengetahuan peneliti, penelitian dengan judul “Pengaruh Edukasi Terhadap Aspek Perilaku Swamedikasi Common cold pada Ibu-ibu Non Kader Kesehatan di Kecamatan Jetis Kabupaten Bantul” belum pernah dilakukan.

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran sejauhmana pengaruh pemberian edukasi terhadap aspek perilaku swamedikasi common cold pada ibu-ibu non kader kesehatan di Kecamatan Jetis Kabupaten Bantul. b. Manfaat praktis

(27)

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh edukasi terhadap aspek perilaku swamedikasi common cold pada ibu-ibu non kader kesehatan di Kecamatan Jetis Kabupaten Bantul.

2. Tujuan khusus

Penelitian ini dikerjakan dengan tujuan untuk mengetahui :

a. Karakteristik responden ibu-ibu non kader kesehatan di Kecamatan Jetis Kabupaten Bantul.

b. Pengaruh edukasi terhadap aspek perilaku swamedikasi common cold pada ibu-ibu non kader kesehatan di Kecamatan Jetis Kabupaten Bantul.

(28)

7

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Saluran Pernapasan Atas

Saluran penghantar udara yang membawa udara ke dalam paru adalah hidung, faring, laring, trakea, bronkus, dan bronkiolus. Saluran pernapasan dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa bersilia (Price, 2003). Tepat di bawah rongga hidung terdapat nasofaring. Dalam faring udara akan yang masuk dari saluran pernapasan atas dihangatkan, dihidrasi dan dibersihkan sehingga sampai paru-paru udara sudah lembab dan suhu sama dengan suhu tubuh (Schacher, 2008).

Gambar 1. Anatomi pernapasan (Anonim, 2008c)

(29)

Gam Hi dapat men terdeposit tenggorok tenggorok struktur k menyerang 1. Defini Co atas yang 75% dari dengan ob 2002). Se sinus, telin

mbar 2. Gam

dung meng njerat parti di hidun kan dalam 1 kan dimana kelenjar get g (Anonim,

isi

ommon cold

bersifat self semua pe bat tanpa res elain menye nga, dan sal

mbar aliran

gandung stru ikel yang m ng akan d

0-15 menit a mereka t

tah bening , 2007b).

B

d merupaka lf limited, te enyakit pad sep (OTC) erang rongg luran pernap

n udara ma

uktur sepert masuk ke

iangkut ol . Virus com terdeposit yang beri B. Commo an penyakit ercatat 50% da anak–an dan herbal ga hidung, pasan.

asuk ke hid

ti papan ya dalam luba leh aksi s mmon cold d pada area isi sel di m

on cold

infeksi viru % dari semua nak. Pasien

atau pengob common c

dung (Anon

ang disebut ang hidung silia menuj diyakini dib adenoid. A mana Viru

us pada sal a penyakit p n sering me batan altern cold juga d

nim, 2007b)

turbinates, g. Material ju ke bela awa ke pos Adenoid a us common

luran pernap pada dewas

(30)

Anak–anak mengalami common cold 6-10 kali dalam setahun, pada usia sekolah kejadian common cold meningkat sampai 12 kali dalam setahun. Orang dewasa rata-rata mengalami common cold 2-4 kali dalam setahun. Wanita terutama usia 20-39 tahun, mengalami common cold lebih sering daripada pria, karena mereka lebih sering kontak dengan anak-anak (Anonim,2007c). Common cold merupakan penyakit yang sangat menular. Common cold menyebar melalui droplet cairan yang mengandung Virus common cold yang disalurkan melalui sentuhan, juga dapat melalui inhalasi (Anonim, 2009b). Common cold adalah penyakit yang lebih ringan dibandingkan influensa (Anonim, 2007b). Gejala common cold berkembang secara lambat, sedangkan gejala flu muncul secara tiba-tiba (Anonim, 2009c).

Tabel I. Perbedaan gejala Common cold dan Flu (Anonim, 2009c)

Pembeda Common cold Flu

Demam sampai 102 oF lebih dari 102 oF

Keadaan hidung beringus atau tersumbat(kadang dengan ingus berwarna hijau atau kuning)

tersumbat

Sakit tenggorokan Ya Tidak

Nausea Tidak Ya

Bersin-bersin Ya Tidak

Kedinginan dan berkeringat Tidak Ya

Fatigue Ya Ya

Nyeri otot Nyeri otot Nyeri otot, terutama pada

punggung, lengan dan kaki

Batuk Ya Ya

Sakit kepala Ya Ya

Mata berair Ya Tidak

Kehilangan nafsu makan Tidak Ya

(31)

Te Rhinoviru banyak ter common c

gejala sep virus para Virus com hidup. Saa dapat per lingkunga 3. Patofi Ge (inflamasi virus (Br menyerang (ICAM-1) (Tietze, 20 virus (Ano Gam permuk erdapat lebi us merupaka rjadi (Anon cold pada erti commo ainfluenza, mmon cold

at berada da rbanyak di an bebas ke

isiologi

ejala commo i) yang terja ryant, 1990 g dan beri ) pada perm

002). Resep onim, 2007b

bar 3. Mek

kaan sel ep

ih dari 10 an virus ya nim, 2007b) anak–anak n cold adala

adenovirus

hanya dap alam permu iri. Mereka

dalam hidun

on cold me adi pada sel 0). Sembila

ikatan den mukaan sel ptor akan m

b

).

kanisme pe

itel pernap

00 macam ang paling p

). Rhinoviru atau dewa ah respirato s, echovirus pat memper ukaan lingku a masih b

ng (Anonim

erupakan m l epitel pern an puluh gan resept epitel pern menyesuaika nyerangan pasan dalam

2007b)

Virus com penting yan us menyeba asa. Patoge ory syncytia

s, dan cock rbanyak dir ungan beba bersifat infe m, 2007b).

manifestasi napasan, ya

satu dari or interselu napasan dal an diri deng

n virus ke re

m hidung d

)

mmon cold

ng merupak abkan lebih en lain yan

al virus (RS ksackievirus

ri ketika b as, Virus com feksius jika adanya per ang kemudia 100 pheno uler adhes lam hidung gan docking

eseptor ICA

dan nasofar

d yang ber kan kasus p dari 50% k ng menyeba SV), coronav

s (Tietze, 2 erada dalam mmon cold

a diangkut

rubahan pat an adanya i otipe rhino sion molecu

g dan nasof g port permu

AM-1 pada ring (Anoni rbeda. paling kasus abkan virus, 2002). m sel tidak dari tologi invasi ovirus

ule 1 faring ukaan

a

(32)

Se merupakan terinfeksi. cold baru bereplikas dalam hidu G Vi untuk sikl baru, inter timbul set sampai pu terdapat d dapat bera masuk mu

Vi sepanjang terhadap i merespon

telah peny n proses a Sel yang u untuk me si dan meny ung sudah c

Gambar 4. rus memerl lus reprodu rval waktu telah virus uncak geja di nasofarin akhir denga ukosa untuk rus commo g hidung. G

infeksi. Ke dengan me

yerangan k awal infeksi

terinfeksi a enginfeksi yebar. Konse cukup diper Siklus rep lukan waktu uktif secara ini disebut

pertama d ala secara ng selama

an cukupny k mengakhir on cold (r Gejala comm

etika sel hid engaktifkan

ke reseptor, i. Partikel akan pecah sel lain da entrasi kec rcaya mengh

plikasi virus

u selama 8-lengkap d masa inkub dihasilkan ( khas 36-72 16-18 hari ya antibodi

ri replikasi v rhinovirus) mon cold se dung terinf n sistem im

, virus ma virus baru dan mati, an memulai

il virus (1-3 hasilkan inf

s dalam sel

12 jam dari an mengelu basi. Gejala

10-12 jam) 2 jam (An setelah ter (secretory virus (Tietz hanya rela bagian besa feksi virus mun dan beb

asuk ke d dihasilkan melepaskan i proses ya 30 partikel) feksi (Anon

l (Anonim,

i waktu viru uarkan Viru a common c

). Waktu d nonim, 200 rkena infek

IgA atau s e, 2002). atif kecil m ar merupak

common c

berapa refl

dalam sel, n pada sel n Virus com ang sama,

ketika mas nim, 2007b).

2007b)

us masuk hi us common cold dapat s dari awal in

07b). Rhino ksi. Infeksi erum IgG)

menginfeks kan respon t cold, tubuh

(33)

(Anonim, 2007b). Sistem imun mengandung berbagai unsur alami yang disebut mediator inflamasi (Tietze, 2002). Beberapa mediator inflamasi dilepaskan ketika sel hidung terinfeksi virus common cold. Beberapa mediator inflamasi yang terlibat dalam common cold meliputi histamin, kinin, interleukins, prostaglandin (Anonim, 2007b) dan bradikinin (Tietze, 2002).

Mediator inflamasi menyebabkan dilatasi dan kebocoran pembuluh darah, serta pengeluaran kelenjar mukus. Mediator inflamasi akan mengaktifkan reflek bersin dan batuk, dan merangsang serabut saraf nyeri (Anonim, 2007b). Bradikinin menyebabkan hidung tersumbat, mukus (hidung meler), dan sakit tenggorokan. Interleukin menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler, pengerahan sel inflamasi, dan pelepasan mediator inflamasi tambahan (Tietze, 2002). Histamin akan menyebabkan dilatasi dan kebocoran pada pembuluh darah. Histamin adalah stimulan kuat pada reflek bersin. Efek lain dari histamin seperti batuk, hidung basah, dan hidung tersumbat (Anonim, 2007b).

4. Tanda dan gejala

(34)

meskipun minggu (T Ko effusion te exaserbasi (COPD) (T 5. Penat a. Ou timbul b. Tu pasien c. Sa perbai penyeb gejala yang Tietze, 2002 Gambar

omplikasi y elinga tenga i asma, dan Tietze, 2002

alaksanaan

utcome

Outcome t l akibat dari

ujuan terap

Tujuan ter n untuk mera

asaran terap

Sasaran te kan kondis baran penya

g jarang ter 2).

r 5. Gejala

yang terjad ah, bronchit n exaserbas 2).

n terapi

terapi comm i common c

pi

rapi commo asa enak da

pi

erapi commo si dan fung

akit (Tietze,

rjadi selama

dari comm

di seperti tis, infeksi b si dari Chr

mon cold ad old (Tietze,

on cold ada an berfungsi

on cold ada gsi pasien

, 2002).

a 4-5 hari.

mon cold (A

sinusitis, o bakteri pneu ronic Obstr

dalah pengur , 2002).

alah mengur i lebih baik

alah pengur menjadi le

Gejala bert

Anonim, 200

obstruksi E umonia, inf ructive Pulm rangan geja rangi gejala (Tietze, 200 rangan gejal bih baik se

tahan selam

08c)

Eustachian

feksi bakteri monary Di

ala-gejala ya

a dan memb 02).

(35)

d. Strategi terapi

Terapi utama adalah istirahat cukup dan minum air yang cukup. Selain itu juga ditujukan untuk mengobati gejala (Tietze, 2002). Common cold mempunyai dua proses langkah. Langkah pertama adalah infeksi virus pada sel hidung. Langkah kedua adalah aktivasi dari mediator inflamasi yang secara langsung menyebabkan gejala common cold. Idealnya, pengobatan yang dilakukan ditujukan pada kedua proses tersebut (Anonim, 2007b).

Terapi common cold yang dianjurkan Blenkinsopp, et al. (2005), meliputi: dekongestan (simpatomitetik), antihistamin, obat batuk, dan analgesik. Dalam pengobatan common cold tanpa komplikasi, antibiotik tidak diperlukan (Schachter, 2008). Antibiotika tidak dapat membunuh virus, dan hanya diberikan bila timbul komplikasi adanya infeksi sekunder (Anonim, 2008a).

Menurut Tietze (2002), terapi commoncold dapat dilakukan dengan: 1) Terapi non farmakologi

(36)

2) Terapi farmakologi

Obat-obat yang digunakan pada terapi farmakologi tidak dapat mencegah, mengobati atau mengurangi lamanya serangan common cold (Anonim, 2008a), tetapi hanya untuk mengurangi gejala-gejala common cold. Terapi farmakologi meliputi dekongestan, anastetik lokal, analgesik dan antipiretik sistemik, antitusif, dan antihistamin (Tietze, 2002).

a) Dekongestan

Dekongestan merupakan terapi utama common cold (Tietze, 2002), dengan mekanisme kerja membuka jalan saluran hidung dengan memperkecil pembuluh darah pada hidung (Anonim, 2007b), mengurangi pasokan darah ke hidung, menurunkan jumlah darah pada pembuluh sinusoid dan mengurangi edema mukosa (Tietze, 2002).

Dekongestan kerja langsung (phenilephrine, oximetazoline, tetrahydrozoline) berikatan secara langsung dengan reseptor adrenergik. Dekongestan lain bekerja tidak langsung atau memiliki aktivitas campuran (efedrin, pseudoefedrin). Dekongestan kerja tidak langsung bekerja dengan prejunction terminal saraf dimana penggantian norepinephrin dari vesikel penyimpanan. Secara umum simpatomimetik kerja tidak langsung, memiliki onset lambat dan durasi yang panjang (Tietze, 2002).

(37)

dan stimulasi sistem saraf pusat (seperti kegelisahan, insomnia, ansietas, tremor, halusinasi, ketakutan) (Tietze, 2002).

b) Antihistamin

Penggunaan antihistamin diindikasikan untuk menghilangkan sekitar 30 % bersin dan hidung berair (Tietze, 2002), dan yang digunakan pada terapi common cold adalah antihistamin (sedatif) generasi pertama (Anonim, 2007b). Kerja antihistamin untuk mencegah histamin menyerang reseptor selular, H1. Penyerangan reseptor ini menyebabkan pengaktifan histamin. Antihistamin generasi pertama juga menghalangi aktivitas pada sistem saraf, sistem parasimpatetik, yang merangsang pengeluaran kelenjar mucus (Anonim, 2007b). Efek samping utama antihistamin adalah mengantuk, sedangkan efek samping lain yang sering terjadi meliputi sakit kepala, gangguan psikomotor, dan efek antimuskarinik seperti retensi urin, mulut kering, pandangan rabun, dan gangguan saluran pernapasan (Anonim, 2000).

Contoh Antihistamin yang dapat diperoleh tanpa resep dokter adalah klorfeniramin maleat (CTM), prometazin, dan dimenhidrinat (Anonim, 2000).

c) Analgesik dan antipiretik sistemik

(38)

dan tidak merasa baik (Anonim, 2007b). Contoh NSAIDs adalah asetaminofen (Schachter, 2008), ibuprofen, dan asetosal (Tietze, 2002). d) Antitusif

Bila timbul gejala batuk pada common cold dapat diterapi dengan antitusif, karena biasanya merupakan batuk tidak produktif (batuk kering, tidak berdahak). Dextromethorphan efektif digunakan untuk common cold, sedangkan guaifenesin yang merupakan ekspektoran tidak efektif (Tietze, 2002). Antitusif dapat menghasilkan gangguan saluran pencernaan tetapi efek sampingnya kecil. Antitusif boleh dipergunakan pada pasien dengan penyakit paru-paru karena tidak efektif dan karena sekresinya melalui paru-paru (Anonim, 2007b). e) Anastetik lokal

Dalam terapi common cold anastetik lokal seperti dyclonin hydrochloride, dalam bentuk lozenges, troches, pencuci mulut (mouthwashes), dan spray dapat digunakan sementara untuk mengurangi sakit tenggorokan (Tietze, 2002).

C. Persepsi Sehat-Sakit

(39)

mencakup respon seseorang terhadap sakit dan penyakit, persepsinya terhadap sakit, pengetahuan tentang penyebab dan gejala penyakit, pengobatan penyakit, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2007).

Lima macam reaksi perilaku sakit dalam proses mencari pengobatan adalah:

1. Shopping : proses mencari alternatif sumber pengobatan guna menemukan seseorang yang dapat memberikan diagnosis dan pengobatan yang sesuai dengan harapan si sakit.

2. Fragmentattion : proses pengobatan oleh beberapa fasilitas kesehatan pada lokasi yang sama. Contoh : berobat ke dokter, sekaligus ke sinshe atau dukun. 3. Proscrastination : proses penundaan pencarian pengobatan meskipun gejala

penyakitnya sudah dirasakan.

4. Self medication : pengobatan sendiri dengan menggunakan berbagai obat yang dinilai tepat baginya.

5. Discontinuity : proses tidak melanjutkan atau penghentian proses pengobatan (Sarwono, 2007)

D. Swamedikasi

1. Definisi

(40)

masyarakat untuk mengurangi gejala penyakit ringan, tanpa intervensi atau resep dokter. Swamedikasi biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan-keluhan dan penyakit ringan seperti: demam, nyeri, pusing, batuk, influenza, maag, cacingan, diare, penyakit kulit dan lain-lain (Anonim, 2006c). Swamedikasi memberikan kebebasan memilih pada banyak produk yang dijual tanpa resep dalam membantu dalam memudahkan pengaturan kondisi yang jelas dan aman digunakan tanpa bantuan tenaga profesional (Holt and Hall, 1990).

Swamedikasi merupakan upaya yang paling sering dilakukan masyarakat untuk mengatasi keluhan atau gejala penyakit. Apabila dilakukan dengan benar, swamedikasi menjadi sumbangan sangat besar bagi pemerintah dalam hal pemeliharaan kesehatan secara nasional (Anonim, 2009a). Untuk melakukan swamedikasi secara benar, masyarakat harus mampu mengetahui:

a. Jenis obat yang diperlukan untuk mengatasi penyakitnya. b. Kegunaan tiap obat.

c. Cara, aturan, lama pemakaian, dan batas kapan mereka harus menghentikan swamedikasi dan segera minta pertolongan petugas kesehatan.

d. Efek samping obat yang digunakan sehingga dapat memperkirakan apakah suatu keluhan yang timbul kemudian itu suatu penyakit baru atau efek samping obat.

(41)

2. Perilaku swamedikasi

Dari penelitian yang konsisten mengindikasikan bahwa perilaku swamedikasi dan self care telah berkembang luas. Orang akan lebih suka untuk melakukan pengobatan sendiri untuk penyakitnya agar tidak semakin parah tanpa menerima intervensi dari tenaga kesehatan (Holt and Hall, 1990). Perilaku swamedikasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya tingkat pendidikan dan pengetahuan seseorang, pengalaman, sikap dalam mengatasi masalah kesehatan (doctor minded), demografi dan epidemologi, ketersediaan pelayanan kesehatan, ketersediaan produk obat tanpa resep dan faktor sosial ekonomi (Holt and Hall, 1990).

Pada pelaksanaannya, swamedikasi dapat menjadi sumber terjadinya kesalahan pengobatan karena keterbatasan pengetahuan akan obat dan penggunaannya. Dalam hal ini, Apoteker dituntut untuk dapat memberikan informasi yang tepat kepada masyarakat sehingga masyarakat dapat terhindar dari penyalahgunaan obat (drug abuse) dan penggunasalahan obat (drug misuse). Masyarakat cenderung hanya tahu merek dagang obat tanpa tahu zat berkhasiatnya (Anonim, 2006c).

3. Keuntungan dan kerugian swamedikasi

(42)

berperan aktif dalam pengambilan keputusan terapi, berperan dalam sistem pelayanan kesehatan, menghindari rasa malu atau stress apabila harus menampakkan bagian tubuh tertentu di hadapan tenaga kesehatan, dan membantu pemerintah untuk mengatasi keterbatasan jumlah tenaga kesehatan pada masyarakat (Supardi dan Notosiswoyo, 2005).

Kekurangan pengobatan sendiri menurut Holt (1986) adalah obat membahayakan kesehatan bila tidak digunakan sesuai dengan aturan, pemborosan biaya dan waktu apabila salah menggunakan obat, kemungkinan kecil dapat timbul reaksi obat yang tidak diinginkan, misalnya sensitivitas, efek samping atau resistensi, penggunaan obat salah akibat informasi yang kurang lengkap dari iklan obat, tidak efektif akibat salah diagnosis dan pemilihan obat, dan sulit bertindak objektif karena pemilihan obat dipengaruhi oleh pengalaman menggunakan obat di masa lalu dan lingkungan sosialnya (Supardi dan Notosiswoyo, 2005 ).

4. Penyakit ringan

(43)

5. Obat untuk swamedikasi

Obat adalah bahan atau panduan bahan-bahan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi (Undang-Undang Kesehatan No. 23 tahun 1992) (Anonim, 2006c).

Berkaitan dengan pengobatan sendiri, telah dikeluarkan berbagai peraturan perundangan. Pengobatan sendiri hanya boleh menggunakan obat yang termasuk golongan obat bebas dan obat bebas terbatas (SK Menkes No.2380/1983). Semua obat yang termasuk golongan obat bebas dan obat bebas terbatas wajib mencantumkan keterangan pada setiap kemasannya tentang kandungan zat berkhasiat, kegunaan, aturan pakai, dan pernyataan lain yang diperlukan (SK Menkes No.917/1993). Semua kemasan obat bebas terbatas wajib mencantumkan tanda peringatan “apabila sakit berlanjut segera hubungi dokter” (SK Menkes No.386/1994) (Supardi & Notosiswoyo, 2005).

a. Obat Bebas

Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh : Parasetamol (Anonim, 2006b).

b. Obat Bebas Terbatas

(44)

dengan tanda peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh : CTM (Anonim, 2006b).

Sebelum menggunakan obat, termasuk obat bebas dan bebas terbatas harus diketahui sifat dan cara pemakaiannya agar penggunaannya tepat dan aman. Informasi tersebut dapat diperbolehkan dari etiket atau brosur pada kemasan obat bebas dan bebas terbatas (Anonim, 2006b).

6. Peranan apoteker dalam swamedikasi

Peranan apoteker pada self care dan swamedikasi, memiliki beberapa fungsi, yaitu sebagai komunikator, penyalur obat bermutu, pelatih (trainer) dan pengawas (supervisor), kolaborator, dan penyelenggara kesehatan. Peranan apoteker dititikberatkan pada self care, yang dimaksudkan untuk bertanggung jawab lebih besar pada konsumen dan meningkatkan tanggung-jawab mereka. Sebagai anggota team pelayanan kesehatan, apoteker harus:

a. Berpartisipasi pada screening kesehatan untuk mengidentifikasi masalah kesehatan dan masalah yang beresiko pada komunitas.

b. Berpartisipasi pada kampanye promosi kesehatan untuk meningkatkan kesadaran akan permasalahan kesehatan dan pencegahan penyakit.

c. Menyediakan nasihat perorangan untuk membantu mereka membuat pilihan kesehatan (Anonim, 2008b).

7. Swamedikasi common cold

(45)

menghilangkan common cold sementara dan mengusahakan badan tetap normal dalam penghilangan penyerangan virus dan perbaikan kerusakan. Swamedikasi common cold dapat dilakukan menurut algoritma gambar 6.

pasien dengan komplain terkena common cold

apakah pasien keluar dari self care?

apakah gejala berhubungan dengan alergi? No

Yes

Yes

No

kongesti dan rhinorrhea mejadilebih bermasalah

sakit dan nyeri menjadi lebih bermasalah

demam yang menjadi lebih bermasalah

batuk yang menjadi lebih bermasalah

faringitis yang menjadi lebih bermasalah

apakah pasien juga mengeluh susah tidur?

mendapatkan riwayat pengobatan, termasuk alternatif pengobatan di rumah. evaluasi pengobatan yang dieksklusi atau tindakan pencegahan.

direkomendasikan non farmakologi seperti hidrasi (minum) dan istirahat yang cukup

apakah gejala pilek dapat hilang?

pemeriksaan pasien bila diperlukan

periksa ke dokter

pasien akan memperoleh terapi untuk alergi, bila gejala pilek yang timbul

karena gejala alergi

direkomendasikan spray nasal saline atau dekongestan. dipertimbangkan pemakaian humidifier dan meninggikan

kepala saat tidur. periksa ke dokter bila gejala tetap setelah terapi 7-10 hari

direkomendasikan analgesik / antipiretik sistemik.periksa ke dokter

bila gejala tetap setelah terapi 7-10 hari

direkomendasikan analgesik /antipiretik sistemik.periksa ke dokter bila gejala tetap

setelah terapi 7-10 hari memperoleh terapi batuk

direkomendasikan gargles nasal atau lokal anastetik spray atau lozenges. periksa ke

dokter bila gejala tetap setelah terapi 7-10hari

direkomendasikan spray nasal dekongestan (daripada dekongestan sistemuk) dan antihistamin pada malam hari atau preparat

mengandung alkohol

pengaturan dosis atau penggantian dengan agen lain. periksa ke dokter bila alternatif terapi tidak membantu

(46)

E. Penggunaan Obat yang Rasional

Dalam penggunaan obat yang rasional, perlu diperhatikan dalam penetapan jenis obat yang benar dan tepat untuk pengobatan penyakit yang diderita. Dalam pemilihan obat yang dibutuhkan perlu diperhatikan :

1. Gejala atau keluhan penyakit

2. Kondisi khusus misalnya hamil, menyusui, bayi, lanjut usia, diabetes mellitus dan lain-lain.

3. Pengalaman alergi atau reaksi yang tidak diinginkan terhadap obat tertentu. 4. Nama obat, zat berkhasiat, kegunaan, cara pemakaian, efek samping dan

interaksi obat yang dapat dibaca pada etiket atau brosur obat.

5. Pilihlah obat yang sesuai dengan gejala penyakit dan tidak ada interaksi obat dengan obat yang sedang diminum.

6. Untuk pemilihan obat yang tepat dan informasi yang lengkap, tanyakan kepada Apoteker (Anonim, 2006c).

Sebelum menggunakan obat, terlebih dahulu perlu membaca sifat dan cara pemakaiannya pada etiket, brosur atau kemasan obat agar penggunaannya tepat dan aman (Anonim, 2006c).

(47)

lama pengobatan terbatas, yaitu apabila sakit berlanjut segera hubungi dokter (Anonim, 1996).

F. Usia

Usia dalam hubungannya dengan swamedikasi berpengaruh terhadap banyaknya pengalaman seseorang dalam melakukan pengobatan (Holt and Hall, 1990). Erik H. Erikson membagi usia orang dewasa menjadi tiga yaitu dewasa awal antara 18 tahun sampai 30-an tahun, dewasa tengah pada rentang usia 35 tahun sampai 65 tahun dan usia dewasa akhir di atas 65 tahun (Santrock, 2002).

Puncak kemampuan fisik manusia dicapai pada usia di bawah 30 tahun, setelah usia tersebut terjadi penurunan fisiologi. Kemampuan kognitif sangat baik pada masa dewasa awal. Menurut Kline dan Schieber (1985), pada masa dewasa tengah, melihat dan mendengar merupakan dua perubahan yang paling tampak. Daya pendengaran mengalami penurunan pada usia 40 tahun. Menurut Craik (1977) daya ingat pada periode dewasa tengah menurun lebih mungkin pada memori jangka panjang dibandingkan jangka pendek (Santrock, 2002).

G. Tingkat Pendidikan

(48)

ekonomi dan sebagainya. Dalam promosi kesehatan faktor predisposisi yang dikaji dalam proses perubahan perilaku (Notoatmodjo, 2007).

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan meningkatkan moral dan dasar pengertian mereka sehingga meningkatkan daya tangkap responden terhadap informasi yang diberikan (Azwar, 2005). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Anonim, 2003c).

H. Jenis Pekerjaan

(49)

I. Tingkat Pendapatan

Pendapatan berhubungan dengan penggunaan pelayanan kesehatan. Bagi masyarakat dengan tingkat pendapatan rendah, biaya pengobatan menjadi pertimbangan utama dalam mencari pengobatan. Reaksi masyarakat bermacam-macam dalam hal kesehatan, seperti orang miskin cenderung menghindari rawat jalan, menunda pelayanan RS, menghindari penggunaan jasa spesialis yang mahal, cenderung memperpendek rawat inap, membeli separo atau bahkan sepertiga obat yang diresepkan sehingga tidak menjalani pengobatan total, mencari pengobatan lokal yang kadang dapat menimbulkan efek berbahaya (Suryawati, 2005).

Menurut Green (1980), Holt and Hall (1990), tingkat sosial ekonomi termasuk dalam faktor predisposisi yang dapat mempengaruhi perilaku dalam promosi kesehatan (Notoatmodjo, 2007). Sebagai tolok ukur tingkat ekonomi digunakan tingkat pendapatan.

J. Perilaku

(50)

Skinner (1976) membedakan perilaku menjadi (a) perilaku alami (innate behavior), (b) perilaku operan (operant behavior). Perilaku alami yaitu perilaku yang dibawa sejak organisme dilahirkan, yaitu yang berupa reflek dan insting, sedangkan perilaku operan merupakan perilaku yang dibentuk melalui proses belajar (Walgito, 1990).

Perilaku yang reflektif yaitu perilaku yang terjadi sebagai reaksi secara spontan terhadap stimulus yang mengenai organisme yang bersangkutan. Sedangkan perilaku non reflektif merupakan perilaku yang dikendalikan dan diatur oleh pusat kesadaran atau otak. Di mana stimulus yang diterima oleh reseptor diteruskan ke otak sebagai pusat susunan saraf pusat, yang kemudian baru terjadi respon melalui afektor. Perilaku atau aktivitas atas dasar proses psikologis disebut perilaku atau aktivitas psikologis. Perilaku yang bersifat psikologis merupakan perilaku yang dibentuk, dipelajari, dan dapat dikendalikan, karena itu dapat berubah melalui proses belajar (Walgito, 1990).

Perilaku yang didasarkan pada proses psikologis merupakan perilaku yang dibentuk, dipelajari, dan dapat dikendalikan, karena itu dapat berubah melalui proses belajar. Pembentukan perilaku dapat dilakukan melalui berbagai cara, yaitu: membentukan perilaku dengan conditioning atau kebiasaan, pembentukan perilaku dengan pengertian (insight), dan pembentukan perilaku dengan menggunakan model (Walgito, 1990).

1. Pengetahuan

(51)

merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2007). Pengetahuan akan menimbulkan suatu gambaran, persepsi, konsep dan fantasi terhadap segala hal yang diterima dari lingkungan melalui panca inderanya (Dharmesta dan Handoko, 2000). Dari pengalaman dan hasil penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari pengetahuan lebih langggeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan (Notoatmodjo, 2007).

Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan:

a. Tahu (know): dapat diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.

b. Memahami (comprehension): diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar mengenai objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

c. Aplikasi (application): diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum–hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi lain.

d. Analisis (analysis): adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen–komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

(52)

f. Evaluasi (evaluation): berkaitan dengan kemampuan melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian ini didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria– kriteria yang telah ada (Notoatmodjo, 2007).

2. Sikap

Sikap dapat dirumuskan sebagai kecenderungan untuk merespon (secara positif atau negatif) terhadap orang, obyek atau situasi tertentu (Sarwono, 2007). Ciri khas sikap adalah mempunyai objek tertentu dan mengandung penilaian (Sarwono, 2005). Menurut Baron, Byrne, Myers, dan Gerungan, sikap mengandung tiga domain yaitu kognitif (pengetahuan dan kepercayaan), afektif (perasaan), dan konatif (tingkah laku) yang berkaitan erat (Walgito, 1990).

Gambar 7. Skema sikap (Notoatmodjo, 2007)

Sikap seseorang dapat berubah dengan bertambahnya informasi tentang obyek tertentu, melalui persuasi serta tekanan dari kelompok sosialnya (Sarwono, 2007). Tingkatan sikap terdiri dari menerima (receiving), merespon (responding), menghargai (valuing) dan bertanggung jawab (responible) (Notoatmodjo, 2007).

Stimulus Rangsangan

Proses stimulus

Reaksi

Tingkah laku

(53)

3. Tindakan

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas dan faktor dukungan (Sarwono,1997).

Tindakan individu merupakan tindakan sosial yang rasional, yaitu mencapai tujuan atau sasaran dengan sarana yang paling tepat (Sarwono,1997). Tingkatan tindakan, yaitu:

a. Persepsi (perception): mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil, merupakan praktik tingkat pertama. b. Respon terpimpin (guided respone): dapat melakukan sesuatu sesuai

dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh, merupakan indikator praktik tingkat dua.

c. Mekanisme (mechanism): bila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka sudah mencapai praktik tingkat tiga.

(54)

K. Teori tentang Perilaku

1. Teori determinasi perilaku

a. Teori KepribadianSpranger

Spranger membagi kepribadian manusia menjadi enam macam nilai kebudayaan. Kepribadian seseorang dipengaruhi oleh salah satu nilai budaya yang dominan. Kemudian kepribadian tersebut menentukan pola dasar perilaku manusia (Notoatmodjo, 2007).

Gambar 8. Skema teori kepribadian

b. Teori LawrenceGreen

Menurut Lawrence Green (1980), perilaku kesehatan seseorang terbentuk dipengaruhi oleh:

1) Faktor–faktor predisposisi (predisposing factors): pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.

2) Faktor–faktor pendukung (enabling factors): lingkungan fisik, ketersediaan fasilitas atau sarana kesehatan.

3) Faktor–faktor pendorong (renforcing factors): sikap dan perilaku petugas kesehatan sebagai kelompok referensi perilaku masyarakat (Notoatmodjo, 2007).

Pegetahuan Persepsi Sikap Keinginan Kehendak

Perilaku

(55)

Gambar 9. Bagan teori pengaruh pendidikan terhadap perilaku

(Notoatmodjo, 2007)

c. Teori Snehandu B. Kar

Kar menganalisis perilaku kesehatan dengan bertitik tolak bahwa perilaku itu merupakan fungsi dari:

1) Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau perawatan kesehatan (behaviourintention)

2) Dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya (socialsupport)

3) Ada atau tidaknya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan (accessebilityofinformation)

4) Otonomi pribadi yang bersangkutan dalam hal ini mengambil tindakan atau keputusan (personalautonomy)

(56)

2. Teori perubahan perilaku

Perubahan perilaku merupakan tujuan dari pendidikan atau penyuluhan kesehatan (Notoatmodjo, 2007).

a. Teori Adopsi Innovasi Rogers

Roger (1974) menamakan teorinya sebagai teori innovasion prosess yang diartikan sebagai proses kejiwaan yang dialami individu sejak menerima informasi tentang suatu hal baru sampai saat dia menerima atau menolak ide baru tersebut. Proses adopsi innovasi ini meliputi lima tahap yaitu: mengetahui/menyadari tentang ide baru (awareness), menaruh perhatian terhadap ide tersebut (interest), memberikan penilaian (evaluation), mencoba memakainya (trial) dan bila menyukainya maka disetujui untuk menerima ide tersebut (adaption) (Sarwono,1997).

pengetahuan pertimbangan keputusan

diterima (adopsi)

ditolak tetap ditolak tetap adopsi

ditolak

adopsi penguatan

Gambar 10. Proses adopsi innovasi (Sarwono, 2007)

b. Teori Stimulus Organisme (SOR)

(57)

perubahan perilaku pada hakikatnya sama dengan proses belajar (Notoatmodjo, 2007).

Proses perubahan perilaku menurut Hosland, et al. (1953) menggambarkan proses belajar pada individu dimulai dari adanya stimulus yang diberikan kepada organisme dapat diterima atau ditolak. Bila stimulus mendapatkan perhatian dari organisme (diterima) maka ia mengerti stimulus ini dan dilanjutkan kepada proses berikutnya. Organisme akan mengolah stimulus tersebut sehingga terbentuk kesediaan untuk bertindak demi stimulus yang telah diterimanya (bersikap). Akhirnya dengan dukungan fasilitas serta dorongan dari lingkungan maka stimulus tersebut mempunyai efek tindakan dari individu tersebut (perubahan perilaku) (Notoatmodjo, 2007).

stimulus

Organisme -perhatian -pengertian -penerimaan

Reaksi (perubahan sikap)

Reaksi (perubahan praktik)

Teori S-O-R

Gambar 11. Teori SOR (Notoadmodjo, 2007)

c. Teori Kurt Lewin

(58)

apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua kekuatan tersebut di dalam diri seseorang sehingga ada tiga kemungkinan terjadinya perubahan perilaku pada diri seseorang yakni:

1) Kekuatan–kekuatan pendorong meningkat, terjadi karena adanya stimulus–stimulus yang mendorong perubahan perilaku. Stimulus ini dapat berupa penyuluhan–penyuluhan atau informasi–informasi sehubungan dengan perilaku yang bersangkutan

2) Kekuatan–kekuatan penahan menurun, terjadi karena adanya stimulus– stimulus yang memperlemah kekuatan penahan tersebut.

3) Kekuatan pendorong meningkat, kekuatan penahan menurun (Notoatmodjo, 2007).

L. Edukasi : Penyuluhan

Promosi kesehatan adalah suatu bentuk intervensi atau upaya yang ditujukan kepada perilaku, agar perilaku tersebut mendukung kesehatan. Pemberian promosi kesehatan diharapankan dapat terjadi perubahan perilaku sasaran ke arah yang lebih baik (Notoatmodjo, 2007). Secara umum, upaya pengubahan perilaku dapat dibedakan menjadi tiga macam cara:

(59)

2. Memberikan informasi. Dengan memberikan informasi tentang kebiasaan hidup sehat dan cara-cara pencegahan penyakit diharapkan akan terjadi peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku kesehatan dalam diri individu/kelompok sasaran yang berdasarkan atas kesadaran dan kemauan individu yang bersangkutan (Sarwono, 2007).

3. Diskusi dan partisipasi. Perubahan perilaku melalui diskusi dan partisipasi ini didasarkan atas asumsi bahwa masyarakat bukan sekedar objek melainkan juga subjek dari pelayanan kesehatan (Sarwono, 2007).

Penyuluhan yang merupakan bagian promosi kesehatan adalah rangkaian kegiatan berlandaskan prinsip–prinsip belajar untuk mencapai suatu keadaan dimana individu, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan memahami tentang tema tertentu yang telah diberikan (Anonim, 2003a).

Pendekatan edukatif diciptakan untuk merangsang potensi masyarakat yang bersangkutan sehingga mereka mampu menangani masalah kesehatan yang mereka hadapi, baik secara sendiri-sendiri maupun secara berkelompok. Tujuan pokok dari pendekatan edukatif ialah untuk: (1) mengembangkan kemandirian masyarakat di bidang kesehatan dan (2) memecahkan masalah kesehatan masyarakat setempat (Sarwono, 2007).

M.Landasan Teori

(60)

cukup serta menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Tetapi gejala common cold kadang sangat menggangu aktivitas kerja dar penderita, sehingga banyak orang melakukan pengobatan terhadap common cold. Common cold merupakan penyakit yang termasuk dalam penyakit ringan, sehingga dalam penanganannya dapat dilakukan dengan swamedikasi.

Swamedikasi merupakan penggunaan obat oleh masyarakat untuk tujuan pengobatan sakit ringan, tanpa resep atau intervensi dokter. Swamedikasi dapat dilakukan dengan menggunakan obat modern yaitu yang termasuk dalam obat bebas dan obat bebas terbatas. Perilaku sakit masyarakat dalam menghadapi penyakit dilakukan dalam berbagai macam cara yang sebagian besar masyarakat melakukan swamedikasi (Notoatmojo, 2007). Perilaku swamedikasi dapat diartikan sebagai perilaku seseorang untuk melakukan atau mencari pengobatan yang dilakukan sendiri tanpa bantuan dari tenaga kesehatan.

(61)

yang pada akhirnya membentuk perilaku swamedikasi common cold baru yang lebih baik.

Menurut Green perubahan perilaku dalam promosi kesehatan dipengaruhi beberapa faktor seperti sosio-ekonomi, tingkat pendidikan, usia, dan keyakinan. Hasil penelitian yang dilakukan Kristina, dkk (2008), menunjukkan bahwa usia, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan pekerjaan mempengaruhi perilaku swamedikasi. Faktor tersebut dapat mempengaruhi pembentukan perubahan perilaku swamedikasi. Dengan adanya perbedaan usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan jenis pekerjaan dapat mempengaruhi dampak edukasi terhadap perilaku swamedikasi, sehingga dapat memberikan gambaran kepada farmasis dan pemerintah dalam membuat metode edukasi common cold dengan penyuluhan guna menjalankan promosi kesehatan.

N. Hipotesis

(62)

41

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian quasi eksperimental dengan rancangan nonrandomized pretest–posttest with control group (Seniati, Yulianto, dan Setiadi, 2008). Penelitian bersifat eksperimental ditunjukkan dengan adanya manipulasi atau intervensi peneliti pada responden (Pratiknya, 2001). Manipulasi yang dimaksudkan adalah edukasi berupa peyuluhan meliputi informasi mengenai penyakit common cold dan pengobatannya. Quasi eksperimental dikarenakan dalam penelitian ini tidak dilakukan secara randomisasi.

Penelitian ini bersifat komparatif yaitu menganalisa pengaruh variabel bebas terhadap variabel tergantung sehingga dapat diketahui signifikasi pengaruh variabel bebasterhadap variabel tergantung (Dahlan, 2004). Pendekatan penelitian secara kuantitatif, dan analisis data dilakukan secara analitik menggunakan statistik.

B. Variabel Penelitian

Variabel adalah segala sesuatu yang dapat menjadi objek penelitian atau gejala yang diteliti. Variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini meliputi :

(63)

b. Variabel tergantung yaitu perilaku swamedikasi common cold yangdilihat dari 3 aspek yaitu pengetahuan, sikap, dan tindakan swamedikasi common cold yang dilakukan oleh ibu-ibu non kader kesehatan di Kecamatan Jetis Kabupaten Bantul.

C. Definisi Operasional

1. Edukasi adalah kegiatan pemberian informasi berupa penyuluhan kepada masyarakat mengenai definisi common cold, gejala dan tanda, faktor penyebab, penularan, pengobatan, dan pencegahan.

2. Perilaku swamedikasi adalah respon berupa aktivitas swamedikasi seseorang terhadap penyakit common cold, yang meliputi pengetahuan, sikap, dan tindakan responden.

3. Pengetahuan adalah tingkat pemahaman dari responden mengenai penyakit common cold yang meliputi definisi, gejala, pengobatan dan pencegahannya. 4. Sikap swamedikasi adalah evaluasi, perasaan, emosional, dan kecenderungan

tindakan swamedikasi seseorang dalam merespon adanya penyakit common cold.

5. Tindakan swamedikasi adalah praktik atau pelaksanaan swamedikasi yang dilakukan seseorang untuk mengobati penyakit common cold serta pencegahannya.

(64)

7. Tingkat pendapatan adalah jumlah total pendapatan keluarga dalam satu bulan.

8. Jenis pekerjaan adalah kegiatan responden di luar rumah dalam upaya untuk mencari pendapatan.

9. Common cold adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus pada hidung yang bersifat self limiting, dengan gejala yang biasa terjadi : bersin, sakit tenggorokan, batuk, suara serak, hidung keluar lendir, dan gejala lain seperti sakit kepala, demam dan kedinginan. Common cold dalam bahasa awam disebut selesma tetapi dalam penelitian ini common cold disebut dengan pilek.

10.Swamedikasi merupakan kegiatan atau tindakan mengobati diri sendiri maupun keluarganya dengan Obat Tanpa resep (OTR) secara tepat dan bertanggung jawab.

11.Obat Tanpa Resep (OTR) yang merupakan obat yang dapat dibeli tanpa resep dokter, tidak termasuk Obat Wajib Apotek (OWA) dan digunakan untuk tindakan swamedikasi penyakit common cold.

12.Responden adalah ibu-ibu non kader kesehatan yang tingkal di Kesamatan Jetis Kabupaten Bantul.

D. Subjek Penelitian

(65)

digunakan ibu–ibu karena dalam keluarga orang tua terutama ibu merupakan peletak dasar perilaku, terutama perilaku kesehatan keluarga, yang melakukan swamedikasi, baik untuk dirinya sendiri atau anggota keluarga lain.

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah ibu–ibu yang bertempat tinggal di Kecamatan Jetis Kabupaten Bantul, pernah mengalami common cold, berusia kurang dari 65 tahun dan bersedia mengikuti penelitian ini. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah wanita belum pernah menikah, usia di atas 65 tahun, baik dirinya atau anggota keluarga tidak pernah mengalami common cold, merupakan kader kesehatan dan berprofesi sebagai tenaga kesehatan.

E. Populasi dan Besar Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian yang terdiri dari manusia, benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, atau peristiwa-peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu dari suatu penelitian (Nawawi, 2007).

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua ibu yang bertempat tinggal di Kecamatan Jetis Kabupaten Bantul Provinsi DIY.

2. Besar sampel

(66)

Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian ibu bukan kader kesehatan yang bertempat tinggal di Kabupaten Bantul Provinsi DIY. Banyaknya sampel diperoleh dengan menggunakan rumus sampel :

(

N

)

Z p q

d q p Z N n × × + − × × × × = α α 2 2 2 1

n : jumlah sampel minimal N : besar populasi (16272 KK) p : estimator proporsi populasi (0,5)

q : estimator proposi sisa dalam populasi (1 – p)= 0,5

Zα : harga standar normal (1,96), karena menggunakan harga α = 5 % d : penyimpangan yang ditolerir (10%) (Usman dan Akbar, 2008)

(

16272 1

)

1,96 0,5 0,5 95,48232 96

% 10 5 , 0 5 , 0 96 , 1 16272 2 2 2 ≈ = × × + − × × × × = n

Apabila peneliti tidak mengetahui perkiraan proporsi dalam populasi, digunakan nilai p=0,5. Dengan tingkat kepercayaan 95 %, nilai b sebesar 10 %, karena tidak diketahuinya proporsi dalam populasi maka nilai p dan q masing-masing 50 % dan dengan jumlah populasi sebesar 16.272 orang.

Berdasarkan perhitungan diperoleh jumlah sampel minimal sebanyak 96 responden. Untuk menghadapi kemungkinan adanya data-data atau informasi yang kurang lengkap (outlier) maka sampel ditambah 20 % dari hasil perhitungan sampel menjadi sebesar 116 dan dibulatkan menjadi 120. Jadi dalam penelitian ini diperlukan 120 orang sebagai sampel perlakuan dan 120 orang sebagai kontrol.

(67)

sehingga kedua (set adanya da empat ora pindah ru perlakuan yang nant kontrol ya Pe Common Bantul” in 2009. Pen Pelaksana tanggal 4 M

Pe Common

2

responden telah 1 bula ata yang ku ang, karena umah dan

, sehingga d tinya diseb ang disebut

nelitian “P Cold pada I ni dilaksana ngambilan d aan Edukasi

Mei 2009.

nelitian “P Cold pada I 05 responden

yang didap an dari eduk urang lengk dua orang satu dikelu dalam penel but dengan dengan resp Gambar F.

Pengaruh E Ibu-Ibu non akan mulai data dilaksan

diadakan t

G.

Pengaruh E Ibu-Ibu non

kont 103 resp

perlak 102 resp

pat 102 or kasi), tiga or ap. Pada ko

pengisian uarkan seca litian ini dig responden ponden kon

12. Skema

Waktu Pe

Edukasi Ter n Kader Ke

dari Bulan nakan pada

iga kali pad

.Tempat P

Edukasi Ter n Kader Ke

rol  ponden kuan  ponden rang. Pada rang dikelu ontrol dari data yang ara acak u gunakan 99 n perlakuan ntrol. a pembagia enelitian rhadap Asp sehatan di K n Novembe

Bulan Mar da tanggal 1

enelitian

rhadap Asp sehatan di K

dikeluarkan  4 orang

dikeluarkan  3 orang

pelaksanan arkan dari p 103 respon kurang leng untuk meny

responden n dan 99 r

an reponden

pek Perilak Kecamatan er 2008 sam ret sampai B 19, dan 26 A

pek Perilak Kecamatan 99 respo

99 respo

n post-test penelitian k nden dikelu gkap, satu o yamakan ju

untuk perla responden u

n

(68)

Bantul” ini dilaksanakan di seluruh Kelurahan pada Kecamatan Jetis Kabupaten Bantul. Edukasi diadakan di Balai Desa Kelurahan Canden dan Trimulyo, serta di Dukuh Butuh.

H. Instrumen Penelitian

Pendekatan dari penelitian ini dilakukan secara kuantitatif yang pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner. Kuesioner adalah usaha mengumpulkan informasi dengan menyampaikan sejumlah pertanyaan tertulis, untuk dijawab secara tertulis pula oleh responden (Nawawi, 2007).

Kuesioner yang digunakan terdiri dari dua bagian. Bagian pertama (pertanyaan terbuka) memuat pertanyaan mengenai demografi responden. Bagian kedua (pertanyaan tertutup) memuat pernyataan tentang variabel penelitian yaitu perilaku yang terdiri dari 3 aspek (pengetahuan, sikap dan tindakan) dengan menggunakan skala likert yang dimodifikasi menjadi 4 skala yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS) dan sangat tidak setuju (STS). Pernyataan bersifat favourable dan unfavourable untuk melihat konsistensi jawaban responden. Pernyataan favourable merupakan pernyataan yang isinya mendukung, memihak, atau menunjukkan ciri adanya atribut yang akan diukur. Penyataan unfavorable merupakan pernyataan yang tidak mendukung, berlawanan, tidak memihak ataupun tidak menunjukkan ciri atribut yang akan diukur (Azwar, 1995).

(69)

meliputi pengertian penyakit common cold dan swamedikasi, pengobatan common cold, dan perilaku swamedikasi common cold.

I. Tata Cara Penelitian

1. Penentuan Lokasi

Lokasi penelitian dilakukan melalui kerjasama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul

Gambar

Tabel XII.
Gambar 1. Anatomi pernapasan (Anonim, 2008c)
Tabel I. Perbedaan gejala Common cold dan Flu (Anonim, 2009c)
GGambar 4. Siklus rep
+7

Referensi

Dokumen terkait