• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi drug therapy problems penggunaan antibiotika pada pasien kanker paru yang menjalani kemoterapi di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2006-2008 - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Evaluasi drug therapy problems penggunaan antibiotika pada pasien kanker paru yang menjalani kemoterapi di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2006-2008 - USD Repository"

Copied!
0
0
0

Teks penuh

(1)

ii

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh : Denok Hafsari NIM: 058114152

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

ii

EVALUASIDRUG THERAPY PROBLEMS

PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN KANKER PARU YANG MENJALANI KEMOTERAPI DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA

PERIODE 2006-2008

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh : Denok Hafsari NIM: 058114152

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

v

Kupersembahkan karyaku ini untuk :

Bapaku yang baik yang ada setiap saat bersamaku

Papa dan mamaku tercinta

My lovely sista and brother

Keluarga rohaniku di Jogja

Sahabat dan teman-temanku

dan....

Almamaterku

Hellen Keller, seorang yang buta pernah ditanya, “Apa yang

lebih buruk daripada dilahirkan dengan kebutaan?” Dia menjawab,

“punya penglihatan tetapi tidak mempunyai visi/tujuan hidup”

(from buku Generasi Maximal).

Kegagalan boleh terjadi, namun tanpa bangkit kembali dan meneruskan

perjuangan tujuan hidup adalah suatu hal yang tidak boleh terjadi..

Keep FIGHTING only…!!

(6)
(7)

vi

dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Evaluasi Drug Therapy Problems

Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Kanker Paru Yang Menjalani Kemoterapi di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2006-2008” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana farmasi pada program studi ilmu farmasi, Jurusan Farmasi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Sejak awal pembuatan skripsi ini sampai penyelesaian, penulis telah mendapatkan bantuan, motivasai, semangat, kritik dan saran dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan visiNya dalam hidupku.

2. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt. 3. dr. Fenty, MKes, Sp.PK. selaku dosen pembimbing I dan Maria Wisnu Donowati, M.Si, Apt. selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, saran dan kritik selama penyusunan skripsi ini.

4. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt sebagai dosen penguji yang telah banyak memberi saran dan masukan sehingga memperkaya pengetahuan penulis.

5. Bapak Ipang Djunarko, S.Si., Apt selaku dosen penguji yang memberi motivasi membangun.

(8)
(9)
(10)

ix

INTISARI

Kanker paru merupakan penyebab kematian terutama pada pria, dan dapat pula terjadi pada wanita. Kemoterapi merupakan salah satu pengobatan kanker. Pemberian obat-obatan kemoterapi memberikan efek samping mielosupresi. Untuk menekan terjadinya infeksi, dibutuhkan antibiotika. Penggunaan antibiotika yang tidak tepat dapat menimbulkan resistensi. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan antibiotika pada pasien kanker paru yang menjalani kemoterapi di RSUP Dr. Sardjito periode 2006-2008.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif yang bersifat retrospektif. Bahan penelitian yang digunakan adalah lembar rekam medis pasien kanker paru di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2006-2008.

Jumlah kasus yang dianalisis sebanyak 27 kasus. Kasus terbanyak adalah pasien berumur 41-50 tahun (37%) dan terjadi pada laki-laki (70%). Antibiotika yang paling banyak digunakan pasien kanker paru adalah golongan sefalosporin generasi III (47,73%), dengan bentuk sediaan paling banyak berupa sediaan serbuk injeksi (40,91%), dan jalur pemberian antibiotika paling banyak diberikan secara injeksi i.v. bolus (65,91%). Evaluasi Drug Therapy Problem pada pasien kanker paru diketahui 4 kasus tidak perlu antibiotika, 3 kasus perlu antibiotika tambahan, 2 kasus antibiotika tidak tepat, 1 kasus dosis antibiotika terlalu rendah, dan 2 kasus indikasi ADR. Sebanyak 16 kasus tidak terjadi DTPs.

(11)

x

Imprecise use antibiotics can generate resistance. The aim of this research is to evaluate antibiotics use in chemotherapy lung cancer patients in RSUP Dr. Sardjito Period 2006-2008.

This research represent non-experimental type with the descriptive evaluative with retrospective characteristic. Research substance used by medical record sheet of lung cancer patients in RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta period 2006-2008.

Case amount analysed as much 27 cases. Found cases of most patients old, age 40-50 year (37%) and became of the men (70%). Antibiotics which is at most used by lung cancer patients are from third generation of sefalosporin classes (47.73%), with the most dosage form are powder hypodermic (40.91%), and antibiotics given by i.v. bolus hypodermic (65.91%). Evaluation of Drug Therapy Problems for lung cancer patients is known 4 cases unnecessary therapy, 3 cases need for additional therapy, 2 cases wrong drug, 1 case dosage too low, and 2 case of ADR. As much 16 cases are not happened DTPs.

(12)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii

HALAMAN PENGESAHAN... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN... v

PRAKATA... vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... viii

INTISARI... ix

ABSTRACT... x

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL... xv

DAFTAR GAMBAR... xx

DAFTAR LAMPIRAN... xxi

BAB I. PENGANTAR... 1

A. Latar Belakang... 1

1. Perumusan masalah... 3

2. Keaslian penelitian... 3

3. Manfaat penelitian... 4

B. Tujuan Penelitian... 4

1. Tujuan umum... 4

(13)

xii

2. Definisi... 8

3. Epidemiologi... 9

4. Etiologi... 10

5. Gejala... 11

6. Patogenesis... 11

7. Klasifikasi kanker paru... 12

8. Diagnosis... 14

9. Stadium... 14

B. Pengobatan Suportif Pada Kanker Paru... 16

C. Kemoterapi... 17

1. Penatalaksanaan kemoterapi... 17

2. Mekanisme kerja... 18

3. Efek samping sitostatika... 19

D. Infeksi... 19

E. Antibiotika... 21

1. Mekanisme kerja... 22

2. Penggolongan... 23

3. Antibiotika empirik... 24

4. Antibiotika profilaksis... 24

(14)

xiii

F. Drug Therapy Problems... 25

1. Tidak perlu terapi obat(unnecessary drug therapy)... 26

2. Perlu terapi tambahan(need for additional drug therapy)... 26

3. Obat tidak tepat(wrong drug)... 26

4. Dosis terlalu rendah(dosage too low)... 27

5. Reaksi yang tidak diinginkan( adverse drug reaction)... 27

6. Dosis berlebihan(dosage too high)... 27

7. Ketidaktaatan pasien pada penggunaan obat(Noncomplience)... 27

G. Keterangan Empirik... 28

BAB III. METODE PENELITIAN... 29

A. Jenis dan Rancangan Penelitian... 29

B. Definisi Operasional... 29

C. Subyek Penelitian... 31

D. Bahan Penelitian... 31

E. Lokasi Penelitian... 32

F. Tata Cara Penelitian... 32

1. Tahap perencanaan... 32

2. Pengambilan data... 32

3. Pengolahan data... 33

G. Tata Cara Analisis Hasil... 33

H. Kesulitan Penelitian... 35

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 36

(15)

xiv

C. Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan DTPs... 44

1. Terapi antibiotika yang tidak perlu... 46

2. Perlu terapi antibiotika tambahan... 46

3. Terapi antibiotika yang tidak tepat... 47

4. Dosis terapi antibiotika terlalu rendah... 48

5. Indikasiadverse drug reaction... 48

6. Dosis terapi antibiotika berlebihan... 49

D. Rangkuman Pembahasan... 49

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 51

A. Kesimpulan... 51

B. Saran... 52

DAFTAR PUSTAKA... 53

LAMPIRAN... 57

(16)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel I Sistem TNM Untuk Karsinoma Paru Menurut AJC (1986)... 15 Tabel II Klasifikasi Stadium Klinis Karsinoma Paru Menurut

AJC 1986)... 15 Tabel III. Kombinasi Beberapa Kemoterapi

Yang Sering Dipergunakan dan Lebih Efektif... 18 Tabel IV Beberapa contoh Antibiotik dan Tempat Aksinya... 23 Tabel V Golongan dan Jenis Antibiotika pada Kasus Kanker

Paru yang Menjalani Kemoterapi di RSUP Dr. Sardjito

Yogyakarta Periode 2006-2008... 41 Tabel VI Persentase Bentuk Sediaan dan Dosis Antibiotika

pada Kasus Kanker Paru yang Menjalani Kemoterapi

di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2006-2008... 43 Tabel VII Persentase Cara Penggunaan Antibiotika pada Kasus

Kanker Paru yang Menjalani Kemoterapi di RSUP

Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2006-2008... 44 Tabel VIII Kasus DTPs Antibiotika yang Tidak Diperlukan

pada Terapi Kanker Paru yang Menjalani Kemoterapi

di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2006-2008... 46 Tabel IX Kasus DTPs yang Perlu Terapi Antibiotika Tambahan

pada Terapi Kanker Paru yang Menjalani Kemoterapi

di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2006-2008... 47 Tabel X Kasus DTPs Antibiotika yang Tidak Tepat pada

Terapi Kanker Paru yang Menjalani Kemoterapi

di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2006-2008... 47 Tabel XI Kasus DTPs Dosis Antibiotika yang Terlalu Rendah

pada Terapi Kanker Paru yang Menjalani Kemoterapi

di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2006-2008... 48 Tabel XII Kasus DTPs Antibiotika yang Memiliki Indikasi ADR

pada Terapi Kanker Paru yang Menjalani Kemoterapi

(17)

xvi

Kanker Paru Yang Menjalani Kemoterapi

di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2006-2008... 56 Tabel XV Kasus 2 Penggunaan Antibiotika Pada Pasien

Kanker Paru Yang Menjalani Kemoterapi

di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2006-2008... 57 Tabel XVI Kasus 3 Penggunaan Antibiotika Pada Pasien

Kanker Paru Yang Menjalani Kemoterapi

di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2006-2008... 58 Tabel XVII Kasus 4 Penggunaan Antibiotika Pada Pasien

Kanker Paru Yang Menjalani Kemoterapi

di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2006-2008... 59 Tabel XVIII Kasus 5 Penggunaan Antibiotika Pada Pasien

Kanker Paru Yang Menjalani Kemoterapi

di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2006-2008... 60 Tabel XIX Kasus 6 Penggunaan Antibiotika Pada Pasien

Kanker Paru Yang Menjalani Kemoterapi

di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2006-2008... 61 Tabel XX Kasus 7 Penggunaan Antibiotika Pada Pasien

Kanker Paru Yang Menjalani Kemoterapi

di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2006-2008... 62 Tabel XXI Kasus 8 Penggunaan Antibiotika Pada Pasien

Kanker Paru Yang Menjalani Kemoterapi

di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2006-2008... 63 Tabel XXII Kasus 9 Penggunaan Antibiotika Pada Pasien

Kanker Paru Yang Menjalani Kemoterapi

(18)

xvii

Tabel XXIII Kasus 10 Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Kanker Paru Yang Menjalani Kemoterapi

di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2006-2008... 65 Tabel XXIV Kasus 11 Penggunaan Antibiotika Pada Pasien

Kanker Paru Yang Menjalani Kemoterapi

di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2006-2008... 66 Tabel XXV Kasus 12 Penggunaan Antibiotika Pada Pasien

Kanker Paru Yang Menjalani Kemoterapi

di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2006-2008... 67 Tabel XXVI Kasus 13 Penggunaan Antibiotika Pada Pasien

Kanker Paru Yang Menjalani Kemoterapi

di RSUP Dr. Sardjito Periode 2006-2008... 68 Tabel XXVII Kasus 14 Penggunaan Antibiotika Pada Pasien

Kanker Paru Yang Menjalani Kemoterapi

di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2006-2008... 69 Tabel XXVIII Kasus 15 Penggunaan Antibiotika Pada Pasien

Kanker Paru Yang Menjalani Kemoterapi

di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2006-2008... 70 Tabel XXIX Kasus 16 Penggunaan Antibiotika Pada Pasien

Kanker Paru Yang Menjalani Kemoterapi

di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2006-2008... 71 Tabel XXX Kasus 17 Penggunaan Antibiotika Pada Pasien

Kanker Paru Yang Menjalani Kemoterapi

di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2006-2008... 72 Tabel XXXI Kasus 18 Penggunaan Antibiotika Pada Pasien

Kanker Paru Yang Menjalani Kemoterapi

di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2006-2008... 73 Tabel XXXII Kasus 19 Penggunaan Antibiotika Pada Pasien

Kanker Paru Yang Menjalani Kemoterapi

(19)

xviii

Kanker Paru Yang Menjalani Kemoterapi

di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2006-2008... 76

Tabel XXXV Kasus 22 Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Kanker Paru Yang Menjalani Kemoterapi di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2006-2008... 77

Tabel XXXVI Kasus 23 Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Kanker Paru Yang Menjalani Kemoterapi di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2006-2008... 78

Tabel XXXVII Kasus 24 Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Kanker Paru Yang Menjalani Kemoterapi di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2006-2008... 79

Tabel XXXVIII Kasus 25 Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Kanker Paru Yang Menjalani Kemoterapi di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2006-2008... 80

Tabel XXXIX Kasus 26 Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Kanker Paru Yang Menjalani Kemoterapi di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2006-2008... 81

Tabel XL Kasus 27 Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Kanker Paru Yang Menjalani Kemoterapi di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2006-2008... 82

Tabel XLI Obat Analgesik... 83

Tabel XLII Obat Saluran Pernafasan... 83

Tabel XLIII Obat Saluran Pencernaan... 83

Tabel XLIV Obat Sistem Kardiovaskuler... 83

Tabel XLV Obat Sistem Saraf Pusat... 84

Tabel XLVI Obat Antineoplestik... 84

(20)

xix

(21)

xx

Gambar 2 Persentase Jumlah Kasus Kanker Paru yang Menjalani Kemoterapi dan Memperoleh Terapi Antibiotika di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Periode 2006-2008 Berdasarkan Kelompok Umur... 37 Gambar 3 Persentase Jumlah Kasus Kanker Paru yang

Menjalani Kemoterapi dan Memperoleh Terapi Antibiotika di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

(22)

xxi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 AnalisisDrug Therapy Problems(DTPs) Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Kanker Paru Yang Menjalani Kemoterapi di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Periode 2006-2008... 56 Lampiran 2 Daftar Obat-obat Yang Diberikan Pada Kasus

Kanker Paru Yang Menjalani Kemoterapi

(23)

1

A. Latar Belakang

Kanker paru merupakan pertumbuhan yang tidak terkendali dari se-sel abnormal di salah satu atau kedua sisi paru. Pada tahun 2004, sekitar 16.440 orang Amerika meninggal akibat kanker paru, dan lebih banyak menyebabkan kematian pada pria dibandingkan pada wanita. Kanker paru membunuh hampir 90% penderitanya, atau hampir 30% dari seluruh kematian akibat kanker (Wastuwibowo, 2004).

Sel kanker mempunyai sifat yang berbeda dengan sel normal, yaitu perkembangbiakkannya tidak terkontrol, kehilangan fungsi karena ketidakmampuan sel berdiferensiasi, membahayakan, dan kemampuan untuk menyebar (Rang, 2003).

Kemoterapi merupakan salah satu pengobatan kanker. Pemberian obat-obatan kemoterapi sebagai terapi antikanker memberikan efek samping yaitu

(24)

2

leukositosis (meningkatnya jumlah leukosit) dapat merupakan akibat dari respon terhadap infeksi, peradangan, dan juga terjadi keganasan (Price and Wilson, 1984).

Dengan tindakan kemoterapi kanker bisa mengecil dan sembuh bila kanker hilang atau penyakit berkurang, 90 % penderita kanker meninggal karena infeksi (Anonim, 2008a). Oleh karena itu untuk menekan terjadinya infeksi, dibutuhkan antibiotika pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi. Penggunaan antibiotika yang tidak tepat dapat menimbulkan resistensi. Resistensi terhadap mikroba dapat berpengaruh terhadap keadaan infeksi yang diderita pasien, lamanya parawatan, biaya, dan kondisi kesehatan pasien yang bersangkutan.

Penelitian tentang evaluasi DTPs (Drug Therapy Problems) penggunaan antibiotika pada pasien kanker paru ini dilakukan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, dengan pertimbangan bahwa RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta merupakan rumah sakit tipe A di Yogyakarta dan menjadi rumah sakit rujukan untuk pasien-pasien kanker, karena memiliki pelayanan spesialis klinik kanker yaitu Instalasi Kanker Terpadu “Tulip” RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, dengan salah satu sub unitnya adalah pemeriksaan kanker paru.

(25)

1. Perumusan masalah

Masalah yang dapat dirumuskan mengenai evaluasi penggunaan antibiotika pada pasien kanker paru yang menjalani kemoterapi di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2006-2008 adalah :

a. bagaimana karakteristik pasien pada kasus kanker paru di RSUP Dr. Sardjito berdasarkan umur dan jenis kelamin ?

b. bagaimanakah gambaran penggunaan antibiotika berdasarkan golongan, bentuk sediaan, dan cara pemakaiannya pada kasus kanker paru yang menjalani kemoterapi ?

c. apakah terjadi Drug Therapy Problems (DTPs) yang berkaitan dengan penggunaan antibiotika pada pasien kanker paru yang menjalani kemoterapi ?

2. Keaslian penelitian

(26)

4

kemoterapi. Metode analisa yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada

Drug Therapy Problems.

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai evaluasi dan bahan masukan untuk meningkatkan mutu pengobatan pada pasien kanker paru di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

b. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai ketepatan terapi penggunaan antibiotika pada pasien kanker paru di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Untuk mengevaluasi DTPs penggunaan antibiotika pada pasien kanker paru di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2006-2008.

2. Tujuan khusus

Adapun tujuan khususnya yaitu :

a. mengetahui karakteristik pasien pada kasus kanker paru di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta berdasarkan umur dan jenis kelamin.

(27)
(28)

6

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Kanker Paru

1. Anatomi paru

Paru adalah organ yang paling banyak dipergunakan dan dipersalahgunakan di dalam tubuh. Di samping pertukaran karbon dioksida dengan oksigen yang tetap untuk hidup, pada saat yang sama paru tidak hanya dilewati oleh beratus-ratus polutan (termasuk asap tembakau), tetapi juga harus mencegah alergen, virus, bakteri, dan bahan mikroba yang lain yang tidak terhitung jumlahnya. Peradangan pernafasan lebih sering daripada peradangan organ lain, terutama pada individu dengan bakat penyakit yang melemahkan tubuh (Stanley, 1995).

(29)

Struktur paru-paru dibagi menjadi dua, yaitu paru kanan dan paru kiri. Paru kanan terdiri dari tiga bagian, yang disebut sebagai lobus yaitu lobus atas, tengah, dan bawah. Paru kiri terdiri dari dua lobus yang ukurannya lebih kecil dari paru kanan karena ada organ hati yang menempati ruang dalam sisi tubuh. Garis yang mengelilingi paru disebut pleura, yang fungsinya untuk melindungi paru dan memberikan gerakan saat bernafas. Trakea membawa udara turun ke paru dan dibagi dalam pembuluh yang disebut bronki, bronki terbagi dalam cabang-cabang yang lebih kecil disebut bronkiolus. Akhir dari percabangan ini adalah kantung kecil yang disebut alveoli (Anonim, 2009a).

(30)

8

2. Definisi

Kanker adalah jenis tumor yang ganas. Kanker merupakan nama umum untuk sekumpulan penyakit yang perjalanannya bervariasi, dengan ditandai oleh pertumbuhan sel yang tidak terkontrol, terus-menerus, tidak terbatas, merusak jaringan setempat dan sekitar, serta bisa menyebar luas (distant metastates). Disebut kanker oleh karena tumbuhnya bercabang-cabang menginvasi jaringan sehat disekitarnya menyerupai kepiting ataucancer(Kuswibawati, 2000).

Kanker paru merupakan penyakit yang makin meningkat di dunia dan memiliki angka kematian yang tinggi meskipun telah mengalami kemajuan dalam diagnosis dan penatalaksanaannya. Kanker paru ini merupakan penyebab utama kematian akibat kanker baik pada laki-laki maupun perempuan.

Sejumlah 28% kematian akibat kanker disebabkan kanker paru. Persentase ini tertinggi jika dibandingkan dengan pasien yang meninggal akibat kanker usus, payudara, prostat, dan kanker lainnya. Sekitar 15% dari seluruh diagnosis kanker baru adalah kanker paru.

Angka kejadian dan kematian kanker paru pada perempuan secara historis lebih rendah daripada laki-laki, meskipun pada 2 dekade terakhir ini jumlah pasien perempuan bertambah. Hal ini dikaitkan dengan kebiasaan merokok pada wanita lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki.

Angka kelangsungan hidup satu tahun adalah 41% sedangkan angka

(31)

Setiyohadi, Alwi, Simodibrata, Setiati, Uyainah, Reksodiputro, Kumaat, dan Rolly 2002).

3. Epidemiologi

Kanker paru membunuh lebih banyak penduduk di negara Barat, daripada keganasan yang lain (Stanley, 1995). Kanker paru merupakan penyebab utama kematian di banyak negara industri dan membahayakan dunia. Asosiasi Kanker Amerika memperkirakan kasus kanker paru terjadi pada 54 per 100.000 laki-laki dan wanita di Amerika selama tahun 2005, yang mewakili 175.000 kasus baru di tahun 2005. Kira-kira 163.510 kematian akan dihubungkan dengan bahayanya (Finley dan Mccune, 2005).

Kanker paru merupakan penyebab utama kematian akibat kanker di Kanada, sekitar 30% kematian pada laki-laki dan 20% pada perempuan. Empat puluh persen kematian terjadi pada individu di bawah 65 tahun. Pada tahun 1998 terdapat sekitar 17.100 kematian akibat kanker paru dan terdapat 20.400 kasus baru kanker paru. Di Kanada hampir sepertiga penduduknya telah mulai merokok pada usia 15 tahun dan terdapat peningkatan jumlah anak muda yang mulai merokok pada usia dini bertambah. Di Ontario terdapat penurunan angka kematian secara bermakna pada pasien kanker paru laki-laki, dan pertambahan angka kejadian dan angka kematian yang lebih rendah pada pasien perempuan.

(32)

10

kematian terbanyak setelah karsinoma nasofaring, mengingat frekuensi karsinoma nasofaring pada laki-laki lebih banyak dibanding dengan karsinoma paru. Insiden karsinoma paru berhubungan erat dengan rokok, penyakit paru yang menimbulkan parut dan polusi udara (Tambunan, 1995).

Pasien hanya bertahan kira-kira 5 tahun dari semua jenis kanker paru, meskipun bukti-bukti memperlihatkan angka kematian akibat kanker paru berangsur-angsur menurun dalam tiap tahunnya. Berlawanan dengan itu, di negara berkembang angka kematian akibat kanker paru meningkat. Perbedaan-perbedaan ini dihubungkan dengan perubahan kebiasaan merokok (di Amerika menurun dan di negara berkembang meningkat), kandungan tar dalam rokok dan kesediaan pasien dalam perawatan.

Kira-kira pasien dalam kasus kanker paru dapat bertahan meskipun jumlahnya rendah, pasien dapat diobati dengan operasi bila penyakit dapat dideteksi lebih awal dan lebih banyak pasien bertahan dengan kemoterapi atau radiasi yang lebih menguntungkan (Finley dan Mccune, 2005).

4. Etiologi

(33)

dalam rokok yang terhisap. Zat karsinogenik dalam rokok yang terdapat dalam rokok diantaranya: tar, benzopiren, dibenzan traken, nitrosamin, nikel, kadmium.

Faktor genetik juga berpengaruh pada risiko kanker paru dengan adanya perubahan/mutasi beberapa gen yang berperan, yaitu : proto onkogen, tumor gen supresor,enkoding enzyme gene(Sudoyo,et al., 2002).

5. Gejala

Gejala paling umum yang ditemui pada penderita kanker paru adalah batuk yang terus menerus atau batuk hebat, dahak berdarah, berubah warna dan makin banyak, napas sesak dan pendek-pendek, sakit kepala, nyeri atau retak tulang dengan sebab yang tidak jelas, kelelahan kronis, kehilangan selara makan atau turunnya berat badan tanpa sebab yang jelas, suara serak/parau, pembengkakan di wajah atau leher.

Gejala pada kanker paru umumnya tidak terlalu terlihat, sehingga kebanyakan pasien kanker paru yang mencari bantuan medis telah berada dalam stadium lanjut. Stadium awal sering ditemukan tanpa sengaja ketika seseorang melakukan pemeriksaan kesehatan rutin (Anonim, 2008c).

6. Patogenesis

(34)

12

membahayakan tetapi juga mempengaruhi perkembangan penyakit, respon terapi, danprognosispasien (Finley dan Mccune, 2005).

Karsinoma bronkogenik terbagi atas kategori histologi yang mempunyai implikasi klinik yang berbeda. Disamping perbedaan-perbedaan ini, tampak gambaran-gambaran seperti berikut : timbul dalam lapisan epitel bronkus utama biasanya dekat hilus paru; semua ada hubungannya dengan asap rokok, paling sering adalah jenis skuamosa dan karsinoma sel kecil; semuannya neoplasama agresif, invasi lokal, yang dapat mengadakan metastase jauh (terutama varian sel kecil) yang dapat ke hepar, adrenal, otak dan tulang, tetapi hampir semua organ dalam tubuh dapat terkena; semua, terutama kanker jenis sel kecil, mempunyai kapasitas mensintesis produk bioaktif yang menimbulkan sindrom paraneoplastik (Stanley, 1995).

7. Klasifikasi kanker paru

World Health Organisation (WHO) mengklasifikasikan kanker paru yang telah diterima oleh seluruh dunia. Empat tipe sel utama karsinoma (sel squamous,

adenokarsinoma, karsinoma sel besar, dan karsinoma sel kecil) dihitung lebih dari semua tumor paru. Dalam istilah strategi dan seluruh prognosis, adenokarsinoma, sel

squamous,dan karsinoma sel besar dikelompokkan bersama dan disebut sebagaiNon Small Cell Lung Cancer (NSCLC). Meskipun tipe paling umum, karsinoma sel

squamous terhitung lebih rendah 30% dari semua kanker paru. Karsinoma sel

(35)

Meskipun tumbuh dengan cepat, tetapi sebagian besar karsinoma sel

squamous cenderung berkembang dengan lambat dan hanya terbatas pada paru (khususnya pada tahap awal penyakit). Beberapa tumor menyebar ke hilar, limfa mediastinum, hati, kelenjar adrenal, ginjal, tulang, dan saluran pencernaan.

Adenokarsinoma merupakan tipe yang paling umum kanker paru di Amerika, 40% dari semua kasus. Hasil yang didapat kejadian kanker paru meningkat pada wanita, cenderung lebih banyak adenokarsinoma dibanding kankerepidermoid. Tumor ini biasanya berada dibagian tepi paru dan dibedakan secara patofisiologi, penyebarannya lebih dini (sering sebelum diagnosis tumor tahap awal) dan menyebar secara luas termasuk di paru, hati, tulang, kelenjar adrenal, ginjal dan sistem saraf pusat. Hasilnya, prognosis adenokarsinoma lebih buruk daripada karsinoma sel

squamous.

Karsinoma sel besar merupakan tumor anaplastik. Tumor ini hanya 15% dari semua kanker paru. Tumor ini cenderung besar, muncul ditepi paru, cenderung menyebar di daerah yang sama dengan karsinoma sel squamous dan juga prognosisnya buruk.

(36)

14

8. Diagnosis

Pemeriksaan histopatologis merupakan baku emas diagnosis kanker paru. Pemeriksaan sitologi sputum merupakan pemeriksaan rutin bila pasien ada keluhan batuk dan gambaran klinisnya dicurigai suatu keganasan. Pemeriksaan sputum sitologi tidak selalu positif, tergantung pada letak kanker tersebut. Pada kanker paru yang letaknya sentral, pemeriksaan sputum yang baik dapat memeberikan hasil sampai 67-85% pada karsinoma sel skuamosa.

Langkah awal dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti, selanjutnya pemeriksaan foto thoraks. Apabila ditemukan lesi, bila fasilitas ada, dengan teknik positron emission tomography (PET) dapat dibedakan tumor jinak dan ganas. Bila tidak ada fasilitas PET, dapat langsung dilakukan pemeriksaan CT scan thoraks dengan kontras sehingga lokasi lesi tampak jelas. Untuk lesi yang letaknya perifer biopsi transtorakal/aspirasi dengan tuntutan USG ataupun CT scan

akan memberikan hasil yang lebih baik. Untuk yang letaknya sentral lebih baik dilakukan pemeriksaan bronkoskopi dengan biopsi, aspirasi, sikatan, dan bilasan. dari spesimen-spesimen tersebut dilakukan pemeriksaan sitologi atau histopatologi. Setelah jelas ditemukan sel keganasan melalui histopatologi selanjutnya menentukan

staging dengan melalui beberapa pemeriksaan, diantaranya USG abdomen atau CT

scanabdomen, CTscanotak, danbone scan(Sudoyo,et al., 2002).

9. Stadium

(37)

sistem TNM menurut AJC (American Joint For Cancer Staging) yang telah direvisi tahun 1986 (Tambunan, 1995).

Tabel I. Sistem TNM Untuk Karsinoma Paru Menurut AJC (1986) (Tambunan, 1995).

TNM Interpretasi

T Tumor primer

To Tidak terbukti adanya tumor primer

Tx Occult carcinoma, sekresi bronkopulmuner mengandung sel ganas, tetapi tidak dapat dibuktikan adanya tumor primer

TIS Karsinoma in situ

T1 Diameter tumor 3 cm atau kurang, dikelilingi jaringan paru atau pleura viseralis dan pada bronkoskopi tidak terlihat perluasan tumor ke bagian proksimal bronkus lobaris.

T2 Diameter tumor lebih dari 3 cm atau tumor berbagai ukuran yang menyebar ke berbagai pleura atau disertai atelektasis atau pneumonitis obstruktif yang menyebar sampai pada hilus. Pada bronkoskopis terlihat tumor meluas sampai ke proksimal bronkus lobaris atau paling sedikit 2 cm di sebelah distal karina. Atelektasis atau pneumonitis obstruktif yang meliputi kurang dari satu bagian paru dan tidak disertai efusi dalam pleura.

T3 Tumor dengan berbagai ukuran disertai perluasan ekstrapulmonal misalnya pada pleura perietalis, dinding toraks, diagfragma, mediastinum, perikardium, atau pada bronkoskopi tumor meluas sampai ke bronkus utama kurang 2 cm dari sebelah distal karina. Atau setiap tumor yang disertai atelektasis atau pneumonitis obstriktif yang meliputi semua bagian dari satu paru atau adanya efusi dalam pleura.

N Metastasis ke KGB regional

No Tidak terdapat metastasis pada KGB regional

N1 Adanya metastasis pada KGB peribronkial atau daerah hilus ipsilateral atau keduanya termasuk metastasis perkontinuitatum.

N2 Adanya metastasis pada KGB mediastinum atau supraklavikuler M Metastasis jauh

Mo Tidak ada metastasis pada organ-organ jauh

M1 Ada metastasis pada organ jauh misalnya otak, tulang, hati dan ginjal

Tabel II. Klasifikasi Stadium Klinis Karsinoma Paru Menurut AJC (1986) (Tambunan, 1995).

Stadium Kriteria

Occult Tx No Mo

I T1 No Mo; T1 N1 Mo; T2 No Mo

II T2 N1 Mo

(38)

16

B. Pengobatan Suportif pada Kanker Paru

Pengobatan suportif penting pada pasien kanker paru karena data metaanalisis menunjukkan bahwa walaupun bermacam-macam protokol pengobatan memberikan respon yang berbeda bermakna, namun tidak dapat dilihat adanya perbedaan yang berarti dalam harapan hidup. Keberhasilan mencapai kualitas yang baik lebih penting daripada mencapai pengecilan ukuran tumor tetapi kualitas hidup pasien buruk.

Perlu selalu diingat bahwa apapun jenis pengobatan yang diberikan baik pembedahan, radiasi, apalagi sitostatika hasilnya akan lebih baik apabila pasien berada dalam keadaan prima. Karena itu pengobatan suportif menduduki peranan yang amat penting pada jenis kanker ini, lebih-lebih bila diputuskan akan memberikan sitostatika karena pendeknya rentang antara dosis toksik dengan dosis tidak efektif.

Seperti pasien kanker lainnya, pasien kanker paru juga memerlukan pengobatan suportif umum yang terutama terdiri atas pencegahan dan pengobatan infeksi, pengobatan nyeri, pemberian transfusi serta pencegahan dan perbaikkan fungsi berbagai organ, yang tak kalah pentingnya adalah aspek nutrisi. Untuk diperhatikan beberapa kriteria yang dipakai sebagai landasan pengobatan nutrisi suportif pada pasien kenker antara lain :

a. bila pasien tidak mampu untuk mengkonsumsi 1000 kalori per hari.

(39)

d. kadar transferin menurun, dan

e. ada tanda-tanda penurunan daya tahan tubuh.

Pengobatan suportif khusus pada kanker bergantung pada dampak langsung kanker tersebut terhadap organ tubuh lainnya. Dampak kanker paru terhadap organ-organ lain dapat dibagi atas beberapa kelompok gejala :

a. gejala yang diakibatkan oleh pertumbuhan tumor primer ke arah sentral atau endobronkial. Dapat berupa : batuk, batuk darah, stridor, sesak nafas, dan pneumonitis yang diakibatkan oleh obstruksi.

b. gejala yang diakibatkan oleh pertumbuhan tumor primer ke arah perifer. Dapat berupa : nyeri pleura batuk sesak nafas, atau sindrom abses paru kavitas tumor. c. gejala yang dihubungkan dengan penyebaran regional tumor di dalam thoraks

secara langsung atau metastasis melalui kelenjar limfe regional. Dapat berupa : obstruksi trakea, disfagia, paralisis, nervus laringeus, sindrom Horner, sindrom pancoast, sindrom vena cava superior, tamponade jantung, aritmia, efusi pleura, sesak nafas (Sudoyo,et al., 2002).

C. Kemoterapi

1. Penatalaksanaan kemoterapi

(40)

18

Nitrogen mustrad dipergunakan secara luas sebagai salah satu kemoterapi dan berguna untuk sindroma vena cava superior, sekalipun sifatnya temporer. Pada pemberian Adriamisin, sepertiga kasus karsinoma paru mengalami regresi. Nitrosoureas juga memberi harapan untuk terapi karsinoma paru. Kemoterapi tunggal nitrogen mustrad, mechlorethamin hydrochloride dan Atabrine sangat berguna untuk efusi dalam pleura yang disebabkan oleh karsinoma paru. Beberapa jenis kemoterapi lain banyak dipergunakan dalam penanggulangan karsinoma paru.

Tabel III. Kombinasi Beberapa Kemoterapi Yang Sering Dipergunakan dan Lebih Efektif (Tambunan, 1995).

Nama Obat Dosis Cara penggunaan

Cyclophosphamide 333 mg/m2 iv hari 1 Adriamicyn 27 mg/m2 iv hari 1

Cisplatin 25 mg injeksi bolus hari 1-5

Nimastine 33 mg/m2 iv push hari 1 Methotrexate 27 mg/m2 iv push hari 3-5

Syarat dilakukan kemoterapi adalah keadaan umum baik, konseling pada penderita, fungsi hepar dan ginjal baik diagnosa histopatologik, jenis kanker yang sensitif pada kemoterapi, riwayat terapi sebelumnya (radiologi, kemoterapi, tradisional), dan hasil laboratorium yang meliputi Hb > 12 g/dl, leukosit > 5.000/mm3, dan trombosit > 150.000/mm3(Anonim, 1996).

2. Mekanisme kerja

(41)

diperlukan sel tumor yang paling akhir juga terbunuh (Velde, Bosman, dan Wagener, 1999). Kemoterapi bekerja dengan cara :

a. merusak DNA dari sel-sel yang membelah dengan cepat, yang dideteksi oleh jalurp53/Rb,sehingga memicu apoptosis.

b. merusak apparatus spindel sel, mencegah pembelahan sel. c. menghambat sintesis DNA (Davey, 2006).

3. Efek samping sitostatika

Sitostatika utama kanker paru adalah sisplatin, doksorubisin, siklofosfamid, etoposid, dan obat golongan laksan. Efek samping utama dari obat-obat tersebut adalah gangguan fungsi ginjal, depresi sumsum tulang, gangguan fungsi jantung dan gangguan pencernaan. Sebelum pemberian sitostatika, maka harus diperhatikan gejala-gejala akibat kanker paru terhadap organ lain seperti yang tersebut di atas. Terpenting adalah membebaskan jalan nafas misalnya pada tumor yang letaknya sentral atau endobronkial dapat dilakukan dengan cara radiasi, pemasangan sten dalam bronkus, dan bila perlu dapat dilakukan operasi (Sudoyo,et al., 2002).

D. Infeksi

Infeksi adalah invasi dan pembiakan mikroorganisme di jaringan tubuh, secara klinis mungkin tak tampak atau timbul cedera seluler akibat respon antigen antibodi (Anonim, 2005).

(42)

20

Dalam hal ini tidak diperlukan antimikroba untuk penyembuhan infeksi. Untuk memutuskan perlu tidaknya pemberian antimikroba pada suatu infeksi, perlu diperhatikan gejala klinik, jenis dan patogenesis mikrobanya, serta kesanggupan mekanisme daya tahan tubuh hospes. Penyakit infeksi dengan gejala klinik ringan, tidak perlu mendapat antimikroba. Menunda pemberian antimikroba malahan memberikan kesempatan terserangnya kekebalan tubuh. Tetapi penyakit infeksi dengan gejala yang berat, walaupun belum membahayakan, apalagi bila telah berlangsung untuk beberapa waktu lamanya, dengan sendirinya memerlukan terapi antimikroba (Setyabudi dan Ganiswarna, 1995).

Komplikasi sebagai akibat tidak langsung dari kanker amat banyak dan bervariasi mulai dari yang ringan sampai pada yang cukup berat bahkan kadang-kadang akibat fatal bila tidak segera diatasi (hiperkalsemia). Di antara berbagai komplikasi tersebut, yang perlu menjadi perhatian utama adalah kakesia, anemia, gangguan imunologis, hiperkalsemia, dan nyeri. Kakesia merupakan keadaan gizi umum yang sangat buruk karena kegagalan pertukaran zat (metabolisme). Gangguan gizi yang tidak diperbaiki bersama-sama pengobatan antikanker sering lebih memperburuk keadaan umum pasien. Akibatnya kemampuan imunologis memperburuk dan terjadilah infeksi yang acap kali sukar diatasi (Sudoyo, et al., 2006).

(43)

Bila individu mengalami leukositosis yaitu meningkatnya jumlah leukosit, yang mencapai 10.000/l, ini merupakan akibat dari respon terhadap infeksi, toksik, dan peradangan, juga terjadi keganasan, khususnya payudara, ginjal, paru-paru, dan karsinoma metastatik (Price and Wilson, 1984).

Netrofil merupakan jenis sel darah putih bergranulosit, normal dalam darah sekitar 50-70% dari total sirkulasi sel darah putih, masa hidup sekitar 12 jam sehingga tubuh terus berproduksi hingga 1,6 milyar/kgBB/hari untuk menggantikan yang telah rusak dan mati. Netrofil berfungsi sebagai pertahanan primer terhadap infeksi. Netropenia merupakan efek samping kemoterapi, yang menyebabkan infeksi; risiko infeksi mulai meningkat jika jumlah netrofil kurang dari 1.000/l dan kenaikan suhu tubuh > 38C dinamakan demam netropeni.

Strategi penatalaksanaan netropeni adalah profilaksis dan terapi untuk mengatasi keadaan infeksi selama pasien menjalani kemoterapi. Penatalaksanaannya dapat berupa pemberian antibiotika, transfusi leukosit dan penurunan atau penundaan siklus kemoterapi (Anonim, 2005).

E. Antibiotika

(44)

22

vitro lebih kecil dari kadar zat yang dapat dicapai dalam tubuh dan tidak toksik (Mutschler, 1999).

Pemusnahan mikroba dengan antimikroba yang bersifat bakteriostatik masih tergantung dari kesanggupan reaksi daya tahan tubuh hospes. Peranan lamanya kontak antara mikroba dengan antimikroba dalam kadar efektif juga sangat menentukan untuk mendapatkan efek; khususnya pada tuberkulostatik (Setyabudi dan Ganiswarna, 1995).

1. Mekanisme kerja

(45)

2. Penggolongan

Antibiotika dapat diklasifikasikan berdasarkan spektrum atau kisaran kerja., mekanisme aksi, strain penghasil, cara biosintesis, maupun berdasarkan struktur kimianya. Berdasarkan spektrum atau kisaran kerja antibiotika dapat dibedakan menjadi antibiotika berspektrum sempit (narrow spectrum), dan antibiotika berspektrum luas (broad spectrum). Antibiotika berspektrum sempit hanya mampu menghambat atau membunuh bakteri Gram negatif atau Gram positif saja, sedangkan antibiotika berspektrum luas dapat menghambat atau membunuh bakteri dari golongan Gram positif maupun Gram negatif (Pratiwi, 2008).

Tabel IV. Beberapa contoh Antibiotika dan Tempat Aksinya (Pratiwi, 2008).

Beberapa contoh antibiotika Antibiotika

Aktivitas Tempat aksi Penisilin Bakteri Gram positif Sintesis dinding Sefalosporin Spektrum luas Sintesis dinding Grieseovulvin Fungi dermatofilik Mikrotubul Basitrasin Bakteri Gram positif Sintesis dinding Polimiksin B Bakteri Gram positif Membran sel

Amfoterisin B Fungi Membran sel

Eritromisin Bakteri Gram positif Sintesis dinding Neomisin Spektrum luas Sintesis dinding Streptomisin Bakteri Gram positif Sintesis dinding Tetrasiklin Spektrum luas Sintesis dinding Vankomisin Bakteri Gram positif Sintesis dinding Gentamisin Spektrum luas Sintesis dinding Rifamisin Tuberkolosis Sintesis dinding

(46)

24

3. Antibiotika empirik

Agen-agen antimikroba sering kali digunakan sebelum patogen yang menjadi penyebab suatu penyakit khusus ataupun rentan terhadap suatu agen antimikroba khusus diketahui. Penggunaan agen-agen antimikroba ini disebut terapi empiris yang didasarkan pada pengalaman dengan unit klinis khusus. Alasan umum untuk terapi empiris adalah harapan bahwa intervensi awal akan memperbaiki hasil. Terapi empiris diindikasikan ketika ada risiko morbiditas serius yang signifikan apabila terapi tidak diberikan sampai suatu patogen khusus dideteksi oleh laboratorium klinis (Katzung, 2004).

4. Antibiotika profilaksis

Agen-agen antimikroba efektif untuk mencegah infeksi-infeksi pada banyak situasi. Profilaksis antimikroba sebaiknya digunakan dalam keadaan-keadaan dimana efikasi telah ditunjukkan dan manfaat melebihi risikonya. Profilaksis antimikroba dibagi menjadi profilaksis pembedahan dan profilaksis nonpembedahan.

The Study of the Efficacy of Nosocomial Infection Control (SENIC)

(47)

5. Antibiotika kemoterapi

Bila mengalami netropenia dengan demam dan gejala-gejala infeksi, harus mendapat terapi obat dengan cepat. Antibiotika merupakan obat yang digunakan untuk terapi infeksi. Untuk penggunaan antibiotika yang baik harus dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui lokasi terjadinya infeksi dan juga tes laboratorium untuk menentukan kuman penyebab infeksi.

Untuk mengetahui adanya infeksi maka dapat dilihat nilai White Blood Cells (WBC)dan angka netrofil, kemudian dibandingkan dengan angka normalnya.

Bila menerima pengobatan kanker dan mengalami infeksi, itu bukan merupakan kesalahan. Itu karena mielosupresi, yaitu penekanan produksi sel-sel darah dalam sumsum tulang sehingga sel darah berkurang terutama leukosit, sehingga dapat menimbulkan infeksi. Untuk itu diperlukan antibiotika untuk mengobati infeksi (Anonim, 2004).

6. Resistensi antibiotika

Resistensi sel mikroba ialah suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel oleh antimikroba. Sifat ini dapat merupakan suatu mekanisme alamiah untuk bertahan hidup (Setyabudi dan Ganiswarna, 1995).

F.Drug Therapy Problems(DTPs)

(48)

masalah-26

masalah yang berhubungan dengan obat. Drug Therapy Problems meliputi keadaan yang tidak perlu terapi obat(unnecessary drug therapy),perlu terapi tambahan(need for additional drug therapy), obat tidak tepat (wrong drug), dosis terlalu rendah

(dosage too low), reaksi yang tidak diinginkan (adverse drug reaction), dosis berlebihan (dosage too high), dan ketidaktaatan pasien pada penggunaan obat

(noncomplience)(Cipolle, 1998).

1. Tidak perlu terapi obat(unnecessary drug therapy)

Tidak adanya indikasi medis yang valid untuk terapi obat yang digunakan saat itu, banyaknya pemakaian banyak obat untuk kondisi tertentu padahal hanya memerlukan terapi obat tunggal,kondisi medis lebih sesuai diobati tanpa terapi obat, terapi obat digunakan untuk menghilangkan adverse reaction yang berhubungan dengan pengobatan lain, penyalahgunaan obat, penggunaan alkohol, atau merokok yang menyebabkan masalah.

2. Perlu terapi tambahan(need for additional drug therapy)

Kondisi terapi yang memerlukan terapi inisiasi obat,pencegahan terapi obat diperlukan untuk mengurangi risiko berkembangnya penyakit baru, kondisi medis yang memerlukan farmakoterapi tambahan untuk mencapai sinergisme atau efek adiktif.

3. Obat tidak tepat(wrong drug)

(49)

4. Dosis terlalu rendah(dosage too low)

Dosis terlalu rendah untuk menghasilkan respon, interval dosis terlalu rendah untuk dapat menghasilkan respon yang diinginkan, interaksi obat menurunkan jumlah zat aktif yang tersedia, durasi obat terlalu pendek untuk menghasilkan respon yang cukup.

5. Reaksi yang tidak diinginkan( adverse drug reaction)

Obat menyebabkan yang tidak diinginkan yang tidak berhubungan dengan besarnya dosis, obat yang lebih aman diperlukan terhadap faktor risiko, interaksi obat menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan yang tidak berhubungan dengan besarnya dosis, adanya regimen dosis atau berubah sangat cepat, obat menyebabkan alergi, obat kontraindikasi terhadap faktor risiko.

6. Dosis berlebihan(dosage too high)

Dosis terlalu tinggi, frekuensi pemakaian obat terlalu singkat, durasi obat terlalu panjang, interaksi obat terjadi karena hasil dari reaksi toksik dari obat, dosis obat diberikan terlalu cepat.

7. Ketidaktaatan pasien pada penggunaan obat(Noncomplience)

(50)

28

G. Keterangan Empiris

(51)

29

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian mengenai evaluasai DTPs penggunaan antibiotika pada pasien kanker paru yang menjalani kemoterapi di RSUP Sardjito Yogyakarta periode 2006-2008 ini merupakan jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif yang bersifat retrospektif. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental karena tidak ada perlakuan pada subjek uji. Rancangan penelitian dikatakan deskriptif karena data dijelaskan secara tajam dan akurat tanpa mencari tahu alasan dibalik fenomena yang terjadi, dan bersifat evaluatif karena peneliti akan mengevaluasi data yang diperoleh berdasarkan standar yang berlaku (Pratiknya, 2003). Penelitian ini bersifat retrospektif karena data yang digunakan diambil dengan melakukan penelusuran terhadap dokumen terdahulu yaitu berupa rekam medis pasien.

B. Definisi Operasional

(52)

30

2. Antibiotika adalah senyawa yang digunakan untuk membunuh atau menghambat infeksi bakteri dari golongan apapun yang digunakan sebagai terapi oleh pasien kanker paru di RSUP Dokter Sardjito Yogyakarta periode 2006-2008 dan yang dimaksud dengan jenis antibiotika adalah nama antibiotika yang diresepkan kepada pasien kanker paru baik dalam bentuk generik maupunbrand name. 3. Infeksi adalah pembiakan mikroorganisme di jaringan tubuh, secara klinis

mungkin tak tampak atau timbul cedera seluler akibat respon antigen antibodi. Dikatakan memiliki potensi infeksi apabila dijumpai penanda infeksi yaitu, demam netropenia > 38°C, leukositosis > 10.000/µL dan netropenia < 2.000/µL atau < 43% (risiko infeksi rendah); < 1.000/µL atau < 21,5% (risiko infeksi sedang); < 500/µL atau < 10,75% (risiko infeksi berat).

4. Drug Therapy Problems adalah adalah suatu permasalahan atau kejadian yang tidak diharapkan atau yang kemungkinan akan dialami pasien selama proses terapi akibat obat, sehingga mengganggu tujuan terapi yang diinginkan.

a. dikatakan tidak perlu terapi, meliputi tidak adanya indikasi medis (penanda infeksi) yang jelas berupa kenaikan suhu tubuh, dan data laboratorium pendukung yang menunjukkan potensi infeksi sehingga digunakan antibiotika pada saat itu.

(53)

efek adiktif. Terapi antibiotik tambahan bisa sama dengan jenis antibiotika yang sebelumnya telah diberikan atau pun dengan jenis antibiotika lain. c. dikatakan pilihan obat tidak tepat yaitu jika antibiotika yang diberikan kepada

pasien tidak efektif (kurang sesuai dengan indikasinya), pasien mempunyai alergi terhadap antibiotika tersebut, antibiotika yang diberikan mempunyai kontraindikasi dengan obat lain yang dibutuhkan, dan antibiotika yang sudah resisten terhadap infeksi pasien.

d. dikatakan dosis terlalu rendah jika dosis antibiotika tersebut terlalu rendah untuk memberikan efek, kekuatan dosis kurang, dan interval dosis tidak cukup (tidak sesuai dengan literatur).

e. dikatakan efek samping obat jika ada alergi, ada faktor risiko, ada interaksi dengan obat lain, dan hasil laboratorium berubah akibat pemberian antibiotika.

f. dikatakan dosis terlalu tinggi jika dosis antibiotika tersebut terlalu tinggi. 5. Lembar rekam medis adalah catatan data klinis pasien yang meliputi nomor

rekam medis, nama, umur, jenis kelamin, komplikasi, jenis antibiotika, dosis obat, lama perawatan, bentuk sediaan, dan cara pemberian obat.

C. Subyek Penelitian

(54)

32

D. Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan adalah lembar medical record (rekam medis) pasien kanker paru di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2006-2008.

E. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Instalasi Catatan Medis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, Jalan Kesehatan No. 1 Sekip, Yogyakarta.

F. Tata Cara Penelitian

Jalannya penelitian meliputi tiga tahap, tahap pertama adalah perencanaan, tahap kedua adalah pengambilan data, dan tahap ketiga adalah tahap pengolahan data kemudian dibuat sebuah pembahasan.

1. Perencanaan

Dimulai dengan menentukan masalah yang akan dijadikan bahan penelitian kemudian mengurus perijinan untuk dapat melihat data rekam medis pasien kanker paru di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode tahun 2006-2008.

2. Pengambilan data

(55)

umur, jenis kelamin, komplikasi, jenis antibiotika, dosis obat, lama perawatan, bentuk sediaan, dan cara pemberian obat.

3. Pengolahan data

Dilakukan analisis lembarmedical record pasien kanker paru di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2006-2008. Analisis ini mengacu pada Drug Therapy Problems yaitu merupakan masalah-masalah yang dapat timbul pada pasien, yaitu adanya obat yang tidak diperlukan untuk terapi pada pasien, adanya terapi yang perlu ditambahkan, adanya pemilihan obat yang tidak tepat, dosis yang terlalu rendah, terjadi adverse drug reaction, adanya dosis yang berlebih pada penggunaan antibiotika di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada periode 2006-2008.

G. Tata Cara Analisis Hasil

Data pasien yang diperoleh terlebih dahulu dikelompokkan berdasarkan kategori sebagai berikut :

1. Distribusi kasus yang diperoleh sesuai dengan karakteristiknya berdasarkan : a. umur, dibagi dalam 5 kelompok yaitu 31-40 tahun, 41-50 tahun, 51-60 tahun,

61-70 tahun dan 71-80 tahun.

(56)

34

2. Gambaran penggunaan antibiotika pada kasus kanker paru, yang meliputi :

a. persentase golongan yang diberikan pada pasien dalam kasus, dihitung dengan cara menghitung jumlah penggunaan golongan antibiotika dibagi dengan jumlah total antibiotika yang diberikan dikalikan 100%.

b. daftar sediaan antibiotika menyangkut bentuk sediaan obat, dan cara pemakaian. Persentase dihitung dengan cara menghitung masing-masing bentuk sediaan dan cara pemakaian obat dibagi dengan jumlah sediaan obat dikalikan 100%.

Golongan, bentuk sediaan, dan cara pemakaian antibiotika dianalisis berdasarkan Informatorium Obat Nasional Indonesia dan MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi edisi 7 2007/2008.

3. Evaluasi penggunaan antibiotika berdasarkanDrug Teraphy Problems

Analisis hasilnya dengan melihat antibiotika yang digunakan pada pasien kanker paru yang menjalani kemoterapi di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada periode 2006-2008 dengan paramater yang mengacu pada Drug Therapy Problems. Antibiotika ini dianalisis dengan menggunakan metode Subyektif, Obyektif,Assessment, Rekomendasi. Identifikasi DTPs dilakukan dengan melihat subyektif yang menyangkut keluhan pasien dan obyektif yang menyangkut pemeriksaan fisik dan data laboratorium pasien. Setelah diketahui adanya kejadian DTPs kemudian diberikan rekomendasi yang tepat berdasarkan standar terapi antibiotika dalam Formularium RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dan

(57)

H. Kesulitan Penelitian

Kesulitan yang dialami oleh penulis selama ini adalah penulis harus cermat dalam memilih data rekam medis untuk dijadikan sebuah kasus yang layak dipergunakan sebagai data penelitian, karena tidak semua rekam medis yang memuat penyakit kanker paru menggunakan antibiotika dan menjalani kemoterapi. Selain itu saat pengambilan data, penulis juga mengalami kesulitan dalam pembacaan rekam medis baik tulisan dalam catatan medis yang kurang jelas maupun istilah yang kurang familiar dan tidak sesuai dengan istilah medis secara umum.

(58)

51

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada penelitian evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) penggunaan antibiotika pada pasien kanker paru yang menjalani kemoterapi di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2006-2008 ini, diperoleh 27 kasus kanker paru yang dirawat inap dan meperoleh terapi antibiotika, serta menjalani kemoterapi. Hasil dari penelitian ini dibagi menjadi 3 bagian yaitu karakteristik pasien kanker paru, gambaran penggunaan antibiotika, dan evaluasi penggunaan antibiotika berdasarkan

Drug Therapy Problems(DTPs).

A. Karakteristik Pasien Kanker Paru

Karakteristik pasien kanker paru diperoleh dari setiap kasus kanker paru yang memperoleh terapi antibiotika dan menjalani kemoterapi.

1. Persentase umur pasien pada kasus kanker paru

(59)

Persentase Kasus Kanker Paru Berdasarkan Umur

4%

37%

22% 26%

11%

31 - 40

41 - 50

51 - 61

61 - 70

71 - 80

Persentase umur pasien pada kasus kanker paru ini dikelompokkan menjadi 5 kelompok umur, yaitu 31-40 tahun, 41-50 tahun, 51-60 tahun, 61-70 tahun dan 71-80 tahun.

Gambar 2. Persentase Jumlah Kasus Kanker Paru yang Menjalani Kemoterapi dan Memperoleh Terapi Antibiotika di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Periode 2006-2008 Berdasarkan Kelompok Umur.

(60)

53

Survei) kebiasaan merokok di Indonesia diketahui sejak umur 15-19 tahun (tahun 2004), namun ditemukan juga perokok yang mulai merokok sejak umur < 15 tahun dan setiap tahunnya akan terus mengalami peningkatan (Anonim, 2009b). Seorang perokok yang memiliki riwayat merokok lama akan memiliki faktor risiko yang lebih besar dibanding yang orang yang tidak merokok atau orang yang hanya memiliki riwayat merokok lebih pendek.

Berdasarkan catatan rekam medis tahun 2006-2008 di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta terlihat pada umur 31-40 tahun, kejadian kanker paru memiliki persentase yang paling kecil. Hal ini menyatakan bahwa pada umur yang relatif muda dan belum menginjak usia lanjut memiliki kejadian kanker paru yang belum banyak terdiagnosis pada rentang umur tersebut. Perlu diperhatikan bahwa tanda dan gejala dari kanker paru umumnya tidak terlalu terlihat dan memiliki kemiripan dengan penyakit pernafasan atau penyakit paru lainnya, yaitu berupa sesak nafas, batuk, sakit kepala dan nafsu makan berkurang. Oleh karena itu kebanyakan pasien kanker paru yang mencari bantuan medis telah berada dalam stadium lanjut. Stadium awal sering ditemukan tanpa sengaja ketika seseorang melakukan pemeriksaan kesehatan rutin.

2. Persentase jenis kelamin pasien pada kasus kanker paru

(61)

ini merupakan persentase yang menggambarkan perbandingan kasus kanker paru pada tahun 2006-2008 di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta berdasarkan jenis kelaminnya.

Gambar 3. Persentase Jumlah Kasus Kanker Paru yang Menjalani Kemoterapi dan Memperoleh Terapi Antibiotika di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Periode 2006-2008 Berdasarkan Jenis Kelamin.

Dari gambar, diketahui jumlah kejadian kanker paru di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2006-2008 sebanyak 70% dialami oleh laki-laki. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya kesesuaian antara teori dengan kenyataan, dimana penderita kanker paru pada laki-laki dikatakan lebih banyak daripada wanita. Namun, bukan berarti wanita sepenuhnya terhindar dari risiko penyakit kanker paru sekalipun bukan merupakan perokok aktif, sebab perokok pasif yang terpapar terus-menerus juga memiliki faktor risiko yang sama dengan perokok aktif. Hal ini dikarenakan asap rokok mengandung lebih dari 4.000 bahan kimia dan 40 jenis racun.

Persentase Kasus Kanker Paru Berdasarkan Jenis Kelamin

70% 30%

Laki-laki

(62)

55

B. Gambaran Penggunaan Antibiotika

Berdasarkan catatan rekam medis pada kasus kanker paru di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2006-2008, ditemukan sebanyak 27 kasus pasien kanker paru yang menjalani kemoterapi memperoleh terapi berupa antibiotika sebagai penatalaksanaan terhadap infeksi. Pemberian obat-obatan kemoterapi pada pasien dapat menyebabkan mielosupresiatau berkurangnya produksi sel-sel darah sehingga dapat terjadi leukositopenia dan atau netropenia. Leukopenia yaitu penurunan jumlah leukosit, neutropenia menyatakan jumlah penurunan akibat absolut netrofil (Price and Wilson, 1984). Dengan berkurangnya sel darah putih dalam tubuh pasien selama kemoterapi, mengakibatkan sistem pertahanan tubuh akan melemah dan lebih mudah terkena infeksi. Oleh karena itu untuk menekan terjadinya infeksi tersebut, dibutuhkan antibiotika. Netrofil menjadi penanda infeksi yang paling berperan, dimana netrofil merupakan pertahanan primer terhadap infeksi.

(63)

Tabel V. Golongan dan Jenis Antibiotika pada Kasus Kanker Paru yang Menjalani Kemoterapi di RSUP Dr. Sardjito Periode 2006-2008

Golongan Obat Jenis Obat Jumlah

pada kasus

Persentase (%)

1. Kuinolon Siprofloksasin

Levofloksasin 8 20,5

2. Sefalosporin (generasi I) Sefadroksil 2 5,1 3. Sefalosporin (generasi III) Seftazidim

Sefotaksim Seftriakson Sefiksim

22 56,4

4. Sefalosporin (generasi IV) Sefepim 1 2,6

5. Penisilin Amoksisilin

Amoxiklav Sulbaktam

3 7,7

6. Makrolida Azitromisin 3 7,7

Total 39 100

Penggolongan antibiotika dikelompokkan diberdasarkan bentuk struktur dari senyawa kimianya. Dijumpai ada beberapa kasus yang menggunakan lebih dari satu jenis antibiotika sebagai terapinya sehingga jenis antibiotika yang digunakan pada seluruh kasus berjumlah 39 antibiotika. Hasil persentase merupakan perbandingan antara suatu golongan dengan total penggunaan antibiotika per seratus persen.

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa golongan antibiotika yang dipergunakan sebagai terapi pada pasien kanker paru yang memperoleh terapi antibiotika dan menjalani kemoterapi yaitu antibiotika yang termasuk golongan kuinolon, sefalosporin golongan I, sefalosporin golongan III, sefalosporin golongan IV, penisilin dan makrolida.

(64)

57

mikroba dan bersifat bakteriosid. Sefalosporin merupakan golongan antibiotika berspektrum luas yang aktif terhadap bakteri Gram positif dan Gram negatif, serta berdifusi baik dalam jaringan dan cairan tubuh, tetapi penetrasi ke dalam selaput otak kurang baik kecuali jika selaput otak mengalami infeksi (Anonim, 2000). Golongan antibiotika ini dapat diberikan sebagai monoterapi maupun kombinasi antibiotika ditujukan untuk antibiotika kuratif setelah terjadi infeksi.

Terapi antibiotika yang digunakan pada kasus ini dapat berfungsi sebagai antibiotika empirik, kuratif, maupun profilaksis. Antibiotika empirik umumnya digunakan sebelum patogen yang menjadi penyebab suatu penyakit khusus ataupun rentan terhadap suatu agen antimikroba khusus yang diketahui. Terapi ini diindikasikan ketika ada risiko morbiditas serius yang signifikan apabila terapi tidak diberikan sampai suatu patogen khusus dideteksi oleh laboratorium klinis, sehingga dapat diberikan ketika penyebab infeksi belum diketahui. Antibiotika kuratif umumnya diberikan apabila terjadi leukositosis. Sedangkan antibiotika profilaksis digunakan untuk mencegah infeksi-infeksi pada banyak situasi.

(65)

Tabel VI. Persentase Bentuk Sediaan dan Dosis Antibiotika pada Kasus Kanker Paru yang Menjalani Kemoterapi di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Periode 2006-2008

No. Bentuk Sediaan Obat

Jenis Obat Dosis Jumlah

pada kasus

Persentase (%)

1. Tablet Siprofloksasin

Azitromisin Levofloksasin Sefiksim 500 mg 250 mg 500 mg 100 mg 5 3 1 1 25,6

2. Kapsul Sefadroksil

Amoksisilin

500 mg 500 mg

2

1 7,7

3. Serbuk Injeksi vial

Seftriakson 1g/vial 15

38,5 4. Cairan Infus Siprofloksasin 200mg/100 ml 2 5,1 5. Cairan Injeksi Sulbactam

Co Amoxiklav Sefepim Sefotaksim Seftazidim

500 mg/vial 500 mg/ vial 1 g/vial 500 mg/vial 1 g/vial 1 1 1 1 5 23,1

Total 39 100

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa berdasarkan bentuk sediaan yang diberikan pada pasien kanker paru yang memperoleh terapi antibiotika dan menjalani kemoterapi paling banyak berupa sediaan serbuk injeksi yaitu sebanyak 38,5 %. Hal ini secara tidak langsung menggambarkan bahwa adanya penyiapan tersendiri terhadap sediaan antibiotika selama proses terapi. Dinilai dari segi efisiensi penyimpanan tentunya serbuk injeksi vial lebih menguntungkan dari sediaan lainnya, selain itu efektivitas jalur pemberian injeksi pun lebih efektif dari sediaan oral.

(66)

59

Tabel VII. Persentase Cara Penggunaan Antibiotika pada Kasus Kanker Paru yang Menjalani Kemoterapi di RSUP Dr. Sardjito Periode 2006-2008

No. Cara Penggunaan Jumlah pada kasus

Persentase (%)

1. Per oral (p.o.) 13 33,3

2. Injeksi i.v. infus 2 5,2

3. Injeksi i.v. bolus 24 61,5

Total 39 100

Dari hasil penelitian yang diperoleh, maka didapatkan bahwa jalur pemberian dari sediaan antibiotika yang paling banyak adalah melalui injeksi intravena bolus. Hal ini menggambarkan bahwa efek terapi yang diharapkan cepat tercapai. Dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi antara bentuk sediaan dan jalur penggunaan antibiotika.

C. Evaluasi Penggunaan Antibiotika Berdasarkan

Drug Therapy Problems(DTPs)

(67)

Dalam penelitian ini diperoleh 27 kasus. Sebanyak 15 kasus mengalami leukositosis disertai dengan kenaikan netrofil. Ini merupakan akibat dari respon terhadap infeksi, toksik, dan peradangan, juga terjadi keganasan, khususnya payudara, ginjal, pari-paru, dan karsinoma metastatik (Price and Wilson, 1984). Total kasus dengan jumlah leukosit dan netrofil normal sebanyak 5 kasus. Sedangkan sisanya, sebanyak 7 kasus mengalami hal sebagai berikut : 1 kasus hanya mengalami leukositosis tanpa disertai kenaikan netrofil, 2 kasus mengalami kenaikan netrofil tanpa leukositosis, 2 kasus mengalami leukositopenia disertai dengan netropenia, 1 kasus hanya mengalami leukositopenia tanpa netropenia, dan 1 kasus hanya mengalami netropenia tanpa leukositopenia.

Dari 27 kasus kanker paru rawat inap yang meperoleh terapi antibiotika dan menjalani kemoterapi, jumlah kasus yang tidak terjadi DTPs sebanyak 16 kasus, sedangkan jumlah kasus yang mengalami DTPs yaitu sebanyak 11 kasus. Dalam satu kasus dapat terjadi satu atau lebih dari satu DTPs.

(68)

61

1. Terapi antibiotika yang tidak perlu

Tabel VIII. Kasus DTPs Antibiotika yang Tidak Diperlukan pada Terapi Kanker Paru yang Menjalani Kemoterapi di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2006-2008 Kasus Jenis

antibiotika

Assessment Rekomendasi 3, 7,

18

Seftriakson Pada kasus 3 Penggunaan antibiotika seftriakson kurang tepat karena suhu tubuh normal dan hasil laboratorium awal belum terjadi kenaikan netrofil, meskipun kemudian terjadi kenaikan netrofil.

Pada kasus 7 penggunaan antibiotika seftriakson tidak tepat, karena tidak ada indikasi yang menunjukkan perlunya antibiotika sebagai anti infeksi.

Pada kasus 18 penggunaan antibiotika seftriakson di awal sudah tepat dan diduga sebagai antibiotika kuratif, namun kemudian diberikan seftazidim padahal suhu tubuh dan hasil laboratorium kedua tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi.

Pada kasus 3 dan 7 sebaiknya terus dilakukan monitoring data laboratorium dan tanda-tanda infeksi. Bila kemudian muncul tanda-tanda infeksi, antibiotika dapat diberikan.

Pada kasus 18 sebaiknya terus dilakukan monitoring data laboratorium dan tanda-tanda infeksi.

20 Sefadroksil Penggunaan sefadroksil kurang tepat karena dari hasil laboratoium tidak ada kondisi klinis yang menunjukkan infeksi.

Sebaiknya pemberian sefadroksil dihentikan untuk menghindari ADR yang mungkin terjadi pada penggunaan jangka panjang

Pada penelitian ini terdapat 4 kasus yang mengalami DTPs berdasarkan terapi antibiotika yang tidak perlu, maksudnya adalah tidak adanya indikasi medis yang valid untuk terapi obat yang digunakan saat itu, banyaknya pemakaian banyak obat untuk kondisi tertentu padahal hanya memerlukan terapi obat tunggal ataupun

kondisi medis yang lebih sesuai diobati tanpa terapi obat antibiotika.

2. Perlu terapi antibiotika tambahan

(69)

klinis penanda infeksi berupa demam netropenia > 38°C, leukositosis > 10.000/µL dan netropenia < 2.000/µL (risiko infeksi rendah); < 1.000/µL (risiko infeksi sedang); < 500/µL (risiko infeksi berat) (Anonim,2010). Jumlah kasus yang ditemukan berdasarkan perlunya terapi tambahan pada penelitian ini sebanyak 3 kasus yang terangkum dalam tabel berikut :

Tabel IX. Kasus DTPs yang Perlu Terapi Antibiotika Tambahan pada Terapi Kanker Paru yang Menjalani Kemoterapi di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Periode 2006-2008 Kasus Jenis antibiotika Assessment Rekomendasi 9 dan 16

Seftriakson Pada kasus 9 dan 16 penggunaan antibiotika seftriakson sudah tepat sebagai antibiotik kuratif, namun masih perlu diberikan terapi karena dari hasil laboratorium selanjutnya masih menunjukkan leukositosis

Pada kasus 9 dan 16 sebaiknya penggunaan seftriakson dilanjutkan

sampai hasil

laboratorium mencapai nilai normal

21 Levofloksasin Penggunaan antibiotika levofloksasin sudah tepat, namun pemberian dapat dikatakan terlambat karena dua hari sebelumnya hasil laboratorium menunjukkan leukositosis dan kenaikan netrofil.

Sebaiknya pemberian levofloksasin diberikan lebih di awal terapi.

3. Terapi antibiotika yang tidak tepat

Tabel X. Kasus DTPs Antibiotika yang Tidak Tepat pada Terapi Kanker Paru yang Menjalani Kemoterapi di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Periode 2006-2008

Kasus Jenis antibiotika

Assessment Rekomendasi

14 Seftriakson Pemberian antibiotika seftriakson dan azitromisin yang hampir bersamaan diduga sebagai penatalaksanaan setelah pasien menjalani punksi pleura yang berpotensi terjadi infeksi, namun sebaiknya hanya dipilih salah satu saja.

Sebaiknya hanya diberikan antibiotika azitromisin yang lebih aktif pada infeksi saluran nafas yang diduga terjadi karena punksi pleura.

24 Azitromisin Pemberian pemberian azitromisin yang diberikan ditengah terapi kurang tepat.

(70)

63

Terapi antibiotika yang tidak tepat pada analisis DTPs ini adalah terapi antibiotika yang bukan merupakan obat yang paling efektif terhadap masalah medis yang dialami, kondisi medis terbiaskan dengan adanya obat, bentuk sediaan obat tidak sesuai, dan obat tidak efektif terhadap indikasi yang dialami. Dari 27 kasus yang ada, ditemukan 2 kasus yang mengalami DTPs berdasarkan terapi antibiotika yang tidak efektif yaitu pada kasus 14 dan 24.

4. Dosis terapi antibiotika yang terlalu rendah

Tabel XI. Kasus DTPs Dosis Antibiotika yang Terlalu Rendah pada Terapi Kanker Paru yang Menjalani Kemoterapi di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2006-2008

Kasus Jenis antibiotika

Assessment Rekomendasi 21 Levofloksasin Durasi penggunaan

levofloksasin kurang dari 7 hari.

Levofloksasin efektif dengan dosis 500 mg tiap 24 jam selama 7-14 hari. Sebaiknya diberikan antibiotika sebagai terapi lanjutan rawat jalan seperti siprofloksasin 2 x 500 mg.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian antibiotika seftriakson, amoksiklav dan levofloksasin kurang dari 7 hari yang dapat berpotensi menimbulkan resistensi pada penggunaan jangka panjang, sehingga perlu adanya penambahan penggunaan antibiotika setidaknya sampai 7-14 hari (Godwin, 2005).

5. Indikasiadverse dug reaction

(71)

Tabel XII. Kasus DTPs Antibiotika yang Memiliki Indikasi ADR pada Terapi Kanker Paru yang Menjalani Kemoterapi di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2006-2008

Kasus Jenis antibiotika

Assessment Rekomendasi

13 Seftriakson 6 Siprofloksasin

Pada kasus 6 dan 13 pemberian seftriakson dan siprofloksasin berpotensi menimbulkan efek samping berupa rasa tidak enak pada saluran cerna, mual dan muntah.

Sebaiknya bila perlu diberilan antiemetik untuk mengatasi indikasi ADR seperti metoklopramide 10mg/2ml karena akan lebih efektif untuk pasien dengan keluhan mual dan muntah.

Pada kasus ADR di atas efek samping memang belum terjadi pada pasien, sehingga penulis mengemukakan adanya potensi efek samping yang mungkin akan muncul. Oleh karena itu, direkomendasikan pemberian antiemetik (metoklopramide 1A/8jam) mengingat riwayat mual atau muntah yang pernah dialami oleh pasien.

6. Dosis terapi antibiotika yang berlebihan

Pada kasus ini tidak ditemukan DTPs berdasarkan dosis antibiot

Gambar

GAMBAR 1. Paru-paru (Anonim, 2008b)
Tabel V. Golongan dan Jenis Antibiotika pada Kasus Kanker Paru yang
Tabel XV. Kasus 2 Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Kanker Paru Yang
Tabel XVI. Kasus 3 Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Kanker Paru Yang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Mengetahui dan menganalisis tentang apakahpesan-pesan yang disampaikan secara grafis secara parsial berpengaruh signifikan terhadap customer satisfaction pada Menumbing

Bila Penggugat danTergugat bertempat kediaman diluar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilana Agama/ Makhamah Syar’iah yang yang daerah hukumnya meliputi tempat

6) Berdasarkan hasil Penelitian dan pengujian Panitia, ditetapkan menjadi Daftar Rencana Kebutuhan Barang Milik Daerah (DRKBMD) dan Daftar Rencana Kebutuhan Pemeliharaan Barang

Tahap keempat jika Kabag telah menyetujui jadwal yang dibuat Administrasi, Kabag Labkom akan meminta Administrasi membuat undangan Rapat Evaluasi Masalah untuk seluruh

Anda mungkin akan terdorong untuk berbelanja lebih kerana kemudahan pinjaman dan kad kredit yang ditawarkan oleh institusi kewangan. Pinjaman mempunyai kadar faedah yang tertentu dan

satu dengan cara dicampur dalam skala penuh dan dihampar di lapangan serta dipadatkan dengan mesin gilas roda tiga.. 3) Menetapkan rancangan campuran aspal dingin dengan filler

Modifikasi Playfair cipher Dengan Teknik Pemutaran Kunci Dua Arah Ide untuk mencegah terjadinya pasangan huruf yang terus berulang memiliki hasil enkripsi yang sama adalah

(4) Narasumber dalam pelaksanaan Forum SKPD adalah Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau unit kerja Kabupaten, Kepala dan para Pejabat Bappeda, Anggota DPRD