• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pengembangan Wilayah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pengembangan Wilayah"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

5 penghematan ongkos produksi dan distribusi yang disebabkan oleh kegiatan-kegiatan produksi yang dilakukan di satu tempat atau terkonsentrasi di suatu lokasi (Sitorus 2012), didekati dengan menganalisis wilayah-wilayah tempat terpusatnya aktivitasi industri kecil pengolahan hasil pertanian saat ini.

Selanjutnya adalah aspek konsentrasi tenaga kerja yang didekati dengan menganalisis wilayah dengan fasilitas pelayanan dan aksesibililitas berorde tinggi secara relatif terhadap wilayah lainnya (hirarki 1). Hal ini mengacu kepada pendapat Rustiadi et al. (2011) yang menyatakan bahwa semakin tinggi ordo wilayah berarti semakin tinggi pula tingkat pelayanan fasilitas dan menunjukkan aktivitas sosial ekonomi yang tinggi pula. Tingkat pelayanan ini berkorelasi erat dengan jumlah penduduk, sehingga seringkali wilayah yang berorde tinggi mempunyai kepadatan penduduk yang lebih tinggi.

Dengan demikian, wilayah pengembangan industri berbasis komoditas unggulan pertanian di Kabupaten Majalengka dapat ditentukan.

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pengembangan Wilayah

Menurut Undang-undang No. 26 Tahun 2007, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. Pengertian wilayah sangat penting untuk diperhatikan apabila berhubungan dengan program-program pembangunan yang terkait dengan pengembangan wilayah dan pengembangan kawasan. Pengembangan wilayah mempunyai cakupan yang lebih luas daripada pengembangan kawasan. Pengembangan wilayah mencakup penelaahan keterkaitan antar kawasan. Sementara itu, pengembangan kawasan terkait dengan pengembangan fungsi tertentu dari suatu unit wilayah, mencakup fungsi sosial, ekonomi, budaya, politik maupun pertahanan keamanan (Rustiadi et al. 2011).

Menurut Sitorus (2012), pengembangan atau pembangunan didefinisikan sebagai upaya yang terkoordinasi dan sistematik untuk menciptakan suatu keadaan dimana terdapat lebih banyak alternatif yang sah bagi setiap warga negara untuk memenuhi aspirasinya yang paling humanistik yaitu peningkatan kesejahteraan.

Menurut Riyadi dan Bratakusumah (2005), pengembangan wilayah merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, penurunan kesenjangan antar wilayah, dan pemeliharaan kelestarian lingkungan hidup di suatu wilayah. Upaya ini diperlukan karena setiap wilayah memiliki kondisi sosial ekonomi, budaya, dan keadaan geografis yang berbeda-beda, sehingga pengembangan wilayah bertujuan untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah. Optimal berarti dapat tercapainya tingkat kemakmuran yang sesuai dan selaras dengan aspek sosial budaya dan lingkungan yang berkelanjutan. Sejalan dengan salah satu tujuan pengembangan wilayah nasional, yakni mewujudkan keseimbangan pertumbuhan antar daerah, maka tujuan perencanaan wilayah pada suatu kabupaten sebagai penjabaran dalam ruang lingkup yang lebih

(2)

6

kecil adalah keseimbangan pertumbuhan antara kecamatan, desa, dan seterusnya (Rinaldi 2004).

Menurut Rustiadi et al. (2011), hal penting dalam menyusun perencanaan pembangunan berbasis wilayah adalah memperhatikan keterpaduan sektoral, spasial serta keterpaduan antar pelaku pembangunan di dalam dan antar wilayah. Salah satu ciri penting pembangunan wilayah adalah adanya upaya mencapai pembangunan berimbang (balanced development), dengan terpenuhinya potensi-potensi pembangunan sesuai dengan kapasitas pembangunan di setiap wilayah maupun daerah yang beragam sehingga dapat memberikan keuntungan dan manfaat yang optimal bagi masyarakat di seluruh wilayah.

Dalam pembangunan wilayah perlu senantiasa diarahkan pada tujuan pengembangan wilayah, antara lain untuk mencapai: (1) pertumbuhan (growth), yaitu terkait dengan alokasi berbagai sumber daya yang langka yang terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan, untuk hasil yang maksimal, sehingga hasil tersebut dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia dalam meningkatkan kegiatan produktivitasnya; (2) pemerataan (equity), yang terkait dengan pembagian manfaat hasil pembangunan secara adil sehingga setiap warga negara yang terlibat perlu memperoleh pembagian hasil yang memadai secara adil. Dalam hal ini perlu adanya kelembagaan yang dapat mengatur manfaat yang diperoleh dari proses pertumbuhan material maupun non-material di suatu wilayah secara adil; serta (3) keberlanjutan (sustainability), bahwa penggunaan sumber daya baik yang ditransaksikan melalui sistem pasar maupun di luar sistem pasar tidak boleh melampaui kapasitas kemampuan produksinya (Anwar 2005).

Menurut Rustiadi et al. (2011), timbulnya disparitas antar wilayah antara lain disebabkan oleh beberapa faktor utama yang terkait dengan variabel fisik maupun variabel ekonomi wilayah, yaitu: (1) geografi; (2) sejarah; (3) politik; (4) kebijakan pemerintah; (5) administrasi; (6) sosial-budaya; dan (7) ekonomi. Suatu wilayah yang memiliki kondisi geografi yang lebih baik akan mempunyai kemampuan untuk berkembang yang lebih baik pula dibandingkan dengan wilayah dengan kondisi geografi yang kurang menguntungkan. Bentuk organisasi serta kondisi perekonomian pada masa lalu akan mempengaruhi tingkat perkembangan masyarakat di suatu wilayah dalam hal menumbuhkan inisiatif dan kreativitas dalam bekerja dan berusaha. Instabilitas politik serta sistem administrasi yang tidak efisien akan menghambat pengembangan wilayah dalam hal hilangnya peluang investasi akibat ketidakpastian usaha terutama di bidang ekonomi dan perijinan yang rumit. Demikian juga kebijakan pemerintah yang tidak tepat dengan lebih menekankan pada pertumbuhan pembangunan tanpa diimbangi dengan pemerataan. Nilai-nilai sosial-budaya masyarakat yang konservatif dan kontraproduktif akan menghambat perkembangan ekonomi wilayahnya.

2.2 Sektor Basis, Keunggulan Komparatif dan Kompetitif

Salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan dalam perumusan kebijakan pembangunan daerah adalah keberadaan sektor-sektor perekonomian yang memiliki daya saing dan bernilai strategis untuk menjadi pendorong utama (prime mover) pertumbuhan ekonomi wilayah. Menurut Rustiadi et al. (2011), sektor

(3)

7 ekonomi wilayah dapat dibagi dalam dua golongan yaitu sektor basis dimana kelebihan dan kekurangan yang terjadi di dalam proses pemenuhan kebutuhan pada sektor tersebut menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Sektor basis ini akan menghasilkan barang dan jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar wilayah, sedangkan sektor non basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di wilayahnya sendiri dan kapasitas ekspor wilayah belum berkembang.

Basis ekonomi mendasarkan pandangannya bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari wilayah tersebut. Berdasarkan pemikiran itu, sektor basis dapat membangun dan memacu penguatan dan pertumbuhan ekonomi lokal sehingga diidentifikasi sebagai mesin ekonomi lokal.

Keragaman fisik secara geografis menjadi sebab adanya konsep keunggulan komparatif bagi suatu wilayah. Sifat fisik geografis yang merupakan karakteristik yang melekat di suatu wilayah merupakan pembeda satu wilayah dengan wilayah yang lain, sehingga pertimbangan terhadap aktivitas spesifik yang khas dan sesuai dengan keunggulan komparatifnya menjadi bagian penting dalam perencanaan suatu wilayah (Panuju dan Rustiadi 2012).

Di sisi lain, adanya pertumbuhan dan perkembangan sektor-sektor ekonomi merupakan hal yang diharapkan dari dilaksanakannya pembangunan. Pertumbuhan dan perkembangan tersebut menyebabkan terjadinya pergeseran aktifitas ekonomi. Panuju dan Rustiadi (2012) berpendapat bahwa pemahaman terhadap pergeseran struktur aktifitas ekonomi suatu wilayah dan membandingkannya dalam cakupan referensi yang lebih luas pada waktu yang berbeda dapat menjelaskan kemampuan berkompetensi (competitiveness) aktivitas tertentu secara dinamis di suatu wilayah atau dalam cakupan wilayah yang lebih luas.

2.3 Pusat Pertumbuhan dan Konsep Pewilayahan Nodal

Dalam kaitannya dengan strategi pengembangan wilayah, perlu diidentifikasi wilayah-wilayah yang menjadi pusat pertumbuhan yang mampu menggerakan ekonomi wilayah di sekitarnya. Melalui pendekatan konsep wilayah nodal, dapat diketahui wilayah-wilayah yang menjadi pusat-pusat pertumbuhan dan dampaknya dalam memberikan multiplier effect terhadap wilayah lain.

Menurut Tarigan (2008), suatu wilayah atau kawasan dapat dijadikan sebagai pusat pertumbuhan apabila memenuhi kriteria sebagai pusat pertumbuhan, baik secara fungsional maupun secara geografis. Secara fungsional, pusat pertumbuhan merupakan lokasi konsentrasi kelompok usaha atau cabang industri yang karena sifat hubungannya memiliki unsur-unsur kedinamisan sehingga mampu menstimulasi kehidupan ekonomi baik ke dalam maupun ke luar (daerah belakangnya atau hinterland). Secara geografis, pusat pertumbuhan merupakan lokasi dengan fasilitas dan kemudahan yang mampu menjadi pusat daya tarik (pole of attraction) serta menyebabkan berbagai macam usaha tertarik untuk berlokasi dan masyarakat pun memanfaatkan fasilitas yang ada di lokasi tersebut. Wilayah sebagai pusat pertumbuhan pada dasarnya harus mampu mencirikan antara lain: hubungan internal dari berbagai kegiatan atau adanya keterkaitan antara satu sektor dengan sektor lainnya, keberadaan sektor-sektor yang saling terkait menciptakan efek pengganda yang mampu mendorong pertumbuhan

(4)

8

daerah belakangnya, adanya konsentrasi geografis berbagai sektor atau fasilitas yang menciptakan efisiensi, serta terdapat hubungan yang harmonis antara pusat pertumbuhan dengan daerah belakangnya.

Anwar (2005) mengemukakan bahwa pendekatan analisis pembangunan wilayah yang lebih tepat harus mampu mencerminkan adanya kerangka berfikir yang menyangkut interaksi antara aktivitas-aktivitas ekonomi spasial dan mengarah pada pemanfaatan sumber daya secara optimal antara kegiatan di kawasan kota-kota dan wilayah-wilayah belakangnya, dan interaksi dengan wilayah-wilayah lain yang lebih jauh. Antara kawasan kota dan wilayah belakangnya dapat terjadi hubungan fungsional yang tumbuh secara interaktif yang dapat saling mendorong atau saling menghambat dalam mencapai tingkat kemajuan optimum bagi keseluruhannya.

Menurut Rustiadi et al. (2011), berdasarkan konsep wilayah nodal, pusat maupun hinterland suatu wilayah memiliki ciri khas dimana inti mengatur proses berjalannya interaksi dari komponen sel, sedangkan hinterland mendukung keberlangsungan hidup sel dan mengikuti pengaturan yang dibangun oleh inti. Jika suatu wilayah dianalogikan sebagai satu sel, maka dalam wilayah kota utama yang menjadi inti dari wilayah memiliki fungsi penting yang berperan besar dalam mempengaruhi jalannya interaksi antar hinterland. Pusat memiliki daya tarik kuat bagi elemen di hinterland. Daya tarik tersebut secara harfiah berupa berbagai layanan yang didukung oleh fasilitas yang lengkap. Hinterland mendukung berjalannya proses penting yang dilakukan di pusat. Proses-proses penting tersebut terdiri atas proses-proses transaksi dan peningkatan nilai tambah produksi. Industri dan jasa sebagai titik-titik aktifitas berperan besar dalam peningkatan nilai tambah dan akan berkembang pesat di inti (kota) dengan fasilitas yang lengkap tersebut. Sebaliknya, hinterland sebagai pendukung berlangsungnya proses di pusat memiliki keunggulan sumber daya dasar untuk mendukung proses peningkatan nilai tambah di pusat.

Secara teknis identifikasi pusat dan hinterland dapat dilakukan dengan mengidentifikasi jumlah dan jenis fasilitas umum, industri dan jumlah penduduknya. Pusat yang memiliki daya tarik kuat karena lengkapnya fasilitas dicirikan dengan jumlah unit dan jumlah jenis fasilitas yang lebih lengkap dibandingkan dengan di hinterland. Disamping fasilitas umum, pusat juga berpotensi memiliki industri dan jumlah penduduk dengan kuantitas dan kualitas yang lebih besar dan baik dibandingkan dengan unit wilayah yang lain.

Selanjutnya, wilayah pusat tersebut disebut sebagai wilayah yang berhirarki lebih tinggi (hirarki 1). Semakin jauh dari pusat maka pengaruh dan manfaat pelayanan akan semakin kecil, sehingga akan cenderung memiliki hirarki yang lebih rendah (Panuju dan Rustiadi 2012).

2.4 Perencanaan Pembangunan Wilayah

Dalam perspektif paradigma keterkaitan antar wilayah, perencanaan pembangunan wilayah dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu melalui pendekatan sektoral dan pendekatan wilayah. Pendekatan sektoral dilaksanakan dengan memfokuskan perhatian pada sektor-sektor kegiatan yang ada di wilayah tersebut. Pendekatan ini mengelompokkan kegiatan ekonomi atas sektor-sektor yang seragam atau dianggap seragam. Adapun pendekatan wilayah dilakukan bertujuan untuk melihat pemanfaatan ruang serta interaksi berbagai kegiatan

(5)

9 dalam ruang wilayah, sehingga terlihat adanya perbedaan fungsi ruang yang satu dengan ruang yang lainnya. Perbedaan fungsi tersebut terjadi karena perbedaan lokasi, perbedaan potensi, dan perbedaan aktivitas utama pada masing-masing ruang yang harus diarahkan untuk bersinergi agar saling mendukung dalam penciptaan pertumbuhan yang serasi dan seimbang (Tarigan 2008).

Perencanaan pembangunan wilayah dalam hubungannya dengan suatu daerah sebagai wilayah pembangunan, merupakan suatu proses perencanaan pembangunan yang bertujuan melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan lingkungannya dalam wilayah atau daerah tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumber daya yang ada, serta harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap, namun tetap berpegang pada asas prioritas (Riyadi dan Bratakusumah 2005).

Perencanaan pembangunan wilayah dari aspek ekonomi adalah penentuan peranan sektor-sektor pembangunan dalam mencapai target pembangunan yaitu pertumbuhan, yang kemudian diikuti dengan kegiatan investasi pembangunan baik investasi pemerintah maupun swasta. Penentuan peranan sektor-sektor pembangunan diharapkan dapat mewujudkan keserasian sumber daya pembangunan, sehingga dapat meminimalisasi inkompabilitas antar sektor dalam pemanfaatan ruang, mewujudkan keterkaitan sumber daya baik ke depan maupun ke belakang, serta proses pembangunan yang berjalan secara bertahap ke arah yang lebih maju dan menghindari kebocoran maupun kemubaziran sumber daya (Anwar 2005).

Menurut Rustiadi et al. (2011), skala prioritas pembangunan harus didasarkan atas pemahaman bahwa: (1) setiap sektor memiliki sumbangan langsung dan tidak langsung yang berbeda terhadap pencapaian sasaran pembangunan (penyerapan tenaga kerja, pendapatan wilayah, dan lain-lain); (2) setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dengan karakteristik yang berbeda-beda; dan (3) aktivitas sektoral tersebar secara tidak merata dan spesifik, beberapa sektor cenderung memiliki aktivitas yang terpusat dan terkait dengan sebaran sumber daya alam, buatan dan sosial yang ada. Atas dasar pemikiran tersebut maka di setiap wilayah selalu terdapat sektor-sektor yang bersifat strategis karena besarnya sumbangan yang diberikan sektor tersebut terhadap perekonomian wilayah serta keterkaitan sektoral dan spasialnya. Perkembangan sektor strategis tersebut memberikan dampak langsung dan tidak langsung yang signifikan, dimana dampak tidak langsung terwujud akibat perkembangan sektor tersebut berdampak bagi berkembangnya sektor-sektor lain dan secara spasial berdampak luas di seluruh wilayah. Menurut Saefulhakim (2004), keterbatasan dalam hal ketersediaan sumber daya harus menjadi pertimbangan pemerintah khususnya pemerintah daerah dalam melaksanakan program-program pembangunan daerahnya sehingga dalam perencanaan pembangunan perlu ditetapkan adanya skala prioritas pembangunan.

2.5 Evaluasi Kesesuaian Lahan Komoditas Pertanian

Kesesuaian lahan adalah penggambaran tingkat kecocokan lahan untuk penggunaan tertentu. Kecocokan antara kriteria kesesuaian lahan dengan

(6)

10

karakteristik lahan menunjukkan bahwa lahan tersebut sesuai untuk penggunaan yang dikehendaki (Sitorus 2012).

Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001), pengertian kesesuaian lahan berbeda dengan kemampuan lahan. Kemampuan lahan lebih menekankan pada kapasitas berbagai penggunaan lahan yang dapat diusahakan di suatu wilayah. Semakin banyak kapasitas atau alternatif penggunaan yang dapat dikembangkan atau diusahakan di suatu wilayah, maka kemampuan lahan wilayah tersebut makin tinggi, sedangkan kesesuaian lahan merupakan kecocokan suatu lahan untuk penggunaan tertentu.

Menurut Djaenudin et al. (2011) terdapat dua macam kesesuaian lahan, yaitu kesesuaian lahan kualitatif dan kesesuaian lahan kuantitatif. Kesesuaian lahan kualitatif adalah kesesuaian lahan yang hanya dinyatakan dalam istilah kualitatif, tanpa memperhitungkan dengan tepat hal-hal yang terkait dengan biaya, modal maupun keuntungan. Klasifikasi ini didasarkan hanya pada potensi fisik lahan. Sementara itu kesesuaian lahan kuantitatif adalah kesesuaian lahan yang didasarkan tidak hanya pada fisik lahan, tetapi juga mempertimbangan aspek ekonomi, seperti input-output atau cost-benefit.

Masing-masing kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai berdasarkan waktu dan penggunaannya menjadi kelas kesesuaian aktual dan kelas kesesuaian potensial. Menurut Hardjowigeno (1994), kesesuaian lahan aktual menunjukkan kesesuaian lahan tanpa ada perbaikan yang berarti, sedangkan kesesuaian lahan potensial menunjukkan kesesuaian terhadap penggunaan lahan yang ditentukan dari satuan lahan dalam keadaaan yang akan datang setelah diadakan perbaikan utama tertentu.

Proses evaluasi dilakukan dengan membandingkan sifat-sifat atau kualitas lahan yang akan digunakan dengan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Menurut FAO dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), klasifikasi kuantitatif maupun kualitatif dari kesesuaian lahan tergantung dari ketersediaan data. Kerangka dari sistem klasifikasi kesesuaian lahan terdiri atas empat kategori yaitu: (1) Ordo, yang menunjukkan apakan suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk penggunaan tertentu; (2) Kelas, yang menunjukkan tingkat kesesuaian lahan dalam order; (3) Subkelas, yang menunjukkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang harus dilakukan dalam masing-masing kelas; (4) Unit, yang menunjukkan perbedaan-perbedaan kecil yang berpengruh dalam pengelolaan suatu sub kelas. Selanjutnya, struktur klasifikasi kesesuaian lahan yang digunakan mengikuti kelas kesesuaian lahan menurut FAO (1976) dalam Djaenudin et al. (2011) yang membedakan ordo “sesuai” (S) menjadi tiga kelas yaitu lahan sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2) dan sesuai marjinal (S3) dan lahan yang tergolong ordo “tidak sesuai” (N).

Pembagian serta definisi kualitatif kelas sebagai berikut : (1) Kelas S1 (sangat sesuai-highly suitable), yaitu lahan yang tidak mempunyai pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan berkelanjutan atau terdapat faktor pembatas tetapi bersifat minor dan tidak mereduksi produktifitas lahan secara nyata; (2) Kelas S2 (cukup sesuai-moderately suitable), yaitu lahan mempunyai pembatas yang agak besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Dalam hal ini, pembatas akan mengurangi produksi atau keuntungan dan meningkatkan masukan yang diperlukan; (3) Kelas S3 (sesuai

(7)

terbatas-11 marjinally suitable), yaitu lahan mempunyai pembatas-pembatas yang besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus ditetapkan. Dalam hal ini pembatas akan mengurangi produksi dan keuntungan atau akan menambah input yang diperlukan; (4) Kelas N (tidak sesuai not suitable), yaitu lahan mempunyai pembatas yang lebih besar sehingga menyulitkan berdasarkan tingkat pengelolaannya atau lahan mempunyai pembatas permanen yang mencegah segala kemungkinan penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang.

Penilaian kesesuaian lahan dilaksanakan dengan mencocokkan (matching) data tanah dan fisik lingkungan dengan tabel rating kesesuaian lahan yang telah disusun berdasarkan peryaratan penggunaan lahan mencakup persyaratan tumbuh komoditas pertanian (Djaenudin et al. 2011).

2.6 Pemilihan Alternatif Terbaik dari Multi Kriteria

Dalam konsep perencanaan wilayah partisipatif–kolaboratif penentuan prioritas pembangunan dilakukan dengan melibatkan seluruh stakeholder yang terdiri atas unsur pemerintahan serta pengguna atau mereka yang menerima manfaat/dampak dari hasil-hasil pembangunan baik dari kalangan swasta maupun masyarakat. Salah satu metoda yang dapat dilakukan adalah menyebarkan kuesioner kepada responden sebagai pewakil dari stakeholder dimaksud. Kuesioner atau angket adalah teknik pengumpulan data dengan menyerahkan atau mengirimkan daftar pertanyaan untuk diisi sendiri oleh responden (Riyadi dan Bratakusumah 2005).

Hasil persepsi responden selanjutnya digunakan untuk menentukan alternatif pengambilan keputusan terkait arahan program pembangunan. Pengambilan keputusan adalah proses untuk mencari pilihan terbaik dari semua alternatif yang tersedia. Kriteria-kriteria tersebut biasanya bertentangan antara satu dengan lainnya sehingga kemungkinan tidak ada solusi yang memuaskan semua kriteria secara simultan. Itulah sebabnya, untuk banyak kasus, pengambil keputusan memerlukan pemecahan masalah dengan menggunakan Multi-Criteria Decision-Making (MCDM) (Jahanshahloo et al. 2009).

Menurut Simanaviciene dan Ustinovichius (2010), MCDM secara praktis digunakan dalam sistem pendukung keputusan kuantitatif. Metode ini sangat berbasis matematis. Metode MCDM berbasis kuantitatif yang sering digunakan di antaranya adalah metode linear assignment, metode simple additive weighting, metode hierarchical additive weighting, Metode ELECTRE dan metode TOPSIS. Menurut Shih et al. (2007), TOPSIS merupakan teknik yang sangat berguna dalam kaitannya dengan permasalahan pengambilan keputusan multi-atribut atau multi-kriteria di dunia nyata. TOPSIS membantu para pengambil keputusan untuk mengelola permasalahan-permasalahan untuk dipecahkan, menganalisis, membandingkan serta mengurutkan banyak alternatif sehingga dapat diseleksi alternatif mana yang layak untuk dilaksanakan. Berdasarkan pendapat Shih, ada empat kelebihan dari metode TOPSIS dibandingkan dengan metode lainnya yaitu: (1) logis dalam merepresentasikan pilihan-pilihan secara rasional; (2) sebuah nilai skalar yang dapat menghitung alternatif-alternatif terburuk dan terbaik secara simultan; (3) proses komputasi yang sederhana dan dapat diprogram secara mudah; (4) penilaian kinerja dari semua alternatif atau atribut dapat divisualisasikan dalam polihedron dan dua dimensi.

Referensi

Dokumen terkait

membimbing kami dalam pembuatan Tugas Akhir ini dari awal

a, Gejala busuk yang meluas ke seluruh bagian daun pada aksesi rentan saat 6 HSI; b, Infeksi tidak berkembang pada aksesi resisten dan gejala penyakit mengering setelah 45

Unit amatan adalah sesuatu yang dijadikan sumber untuk memperoleh data dalam rangka menggambarkan atau menjelaskan tentang suatu analisis (Ihalauw, 2003: 178).Yang

Jenis penelitian adalah survei dengan tipe explanatory (survey penjelasan). Populasi penelitian adalah 8 buah puskesmas dan SD di Kota Binjai. Sampel penelitian adalah 3

[r]

Superkapasitor merupakan alat penyimpan energi yang memiliki keunggulan dibandingkan dengan baterai dan kapasitor konvensional, diantaranya adalah waktu

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “OPTIMALISASI EKSTRAKSI SENYAWA (E)-4-(3,4-DIMETOKSIFENIL) BUT-3-EN-1-OL DARI BENGLE (Zingiber montanum)

Pada alur awal film ini, interaksi komunikasi antaretnik yang berbeda dapat dilihat pada scene 00:20, dimana pada scen tersebut memperlihatkan Ratu Victoria, seorang