• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Psychological Capital dan Job Involvement pada Perawat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan antara Psychological Capital dan Job Involvement pada Perawat"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan antara Psychological Capital dan Job Involvement pada Perawat

The Relationship between Psychological Capital and Job Involvement

among Nurses

Riri Damayanti

Pembimbing : Bertina Sjabadhyni

Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

ABSTRAK

Perawat harus memiliki karakteristik psikologi yang positif. Penelitian ini fokus pada hubungan antara psychological capital dan job involvement pada perawat. Psychological capital adalah suatu perkembangan psikologis yang positif pada individu dengan karakteristik self efficacy, optimism, hope, dan resiliency (Luthans, Youssef, dan Avolio, 2007). Job involvement adalah identifikasi diri secara psikologis dengan pekerjaannya saat ini (Kanungo, 1982). Penelitian menggunakan alat ukur Psychological Capital Questionnaire (PCQ) (Luthans dkk, 2007) dan Job Involvement Questionnaire (JIQ) (Kanungo, 1982). Partisipan adalah 207 perawat di Rumah Sakit X yang terpilih secara accidental. Hasil menunjukkan terdapat hubungan positif yang signifikan antara psychological capital dengan job involvement pada perawat (r = 0,199; p = 0,004, signifikan pada L.o.S 0,01). Artinya, semakin tinggi psychological capital yang dimiliki perawat, maka semakin tinggi pula tingkat job involvement pada dirinya. Dengan demikian, manajemen rumah sakit sebaiknya melakukan kegiatan yang sistematis dan berkesinambungan untuk meningkatkan psychological capital dan job involvement pada perawat.

Kata Kunci:

Psychological Capital; Job Involvement; Perawat

1. Pendahuluan

Pengembangan sumber daya manusia merupakan suatu hal yang penting dalam sebuah organisasi. Hal ini menjadi penting karena saat ini dunia telah memasuki era globalisasi, dimana persaingan dalam sumber daya manusia semakin ketat. Persaingan yang terjadi melibatkan seluruh komponen yang terdapat dalam sebuah organisasi, dimulai dari kebijakan organisasi hingga bagaimana sumber daya manusia yang tergabung di dalamnya. Kemampuan sebuah organisasi dalam meningkatkan pengembangan sumber daya manusia merupakan aset penting dalam menjalankan peran dan fungsi organisasi itu sendiri. Indonesia sebagai sebuah negara berkembang ikut menyadari pentingnya hal ini. Agar dapat bersaing di era globalisasi ini, pemerintah Indonesia berupaya untuk terus mengembangkan sumber daya manusia yang kompeten di seluruh aspek kehidupan. Adapun salah satu upaya yang dilakukan pemerintah

(2)

Indonesia dalam meningkatkan sumber daya manusia melalui pengembangan aspek pelayanan kesehatan.

Salah satu institusi yang tergolong aspek pelayanan kesehatan adalah rumah sakit. Rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat (pasal 1 UU no 44 tahun 2009). Tugas rumah sakit umum sendiri adalah melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan dan pemeliharaan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan rujukan (Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 983/Menkes/SK/XI/1992). Selanjutnya dijelaskan dalam pasal 1 ayat 2 UU no 36 tahun 2009, bahwa sumber daya di bidang kesehatan adalah segala bentuk dana, tenaga, perbekalan kesehatan, ketersediaan farmasi dan alat kesehatan serta fasilitas pelayanan kesehatan dan teknologi yang dimanfaatkan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Dari kedua teori ini terlihat bahwa pentingnya sumber daya yang harus dimiliki oleh sebuah rumah sakit. Untuk memberikan pelayanan terbaiknya, rumah sakit harus memiliki staf medis yang profesional.

Di Indonesia sendiri telah kita jumpai semakin banyak rumah sakit yang bermunculan, terutama rumah sakit asing. Bermunculannya rumah sakit asing ini memberi dampak positif bagi Indonesia karena membawa berbagai kemajuan di bidang pelayanan kesehatan, baik dalam hal teknologi, pengetahuan, maupun sistem pelayanan. Berbagai kemajuan inilah yang kemudian turut meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Akan tetapi, munculnya rumah sakit asing juga membawa dampak negatif bagi Indonesia karena rumah sakit asing cenderung menggunakan tenaga-tenaga kesehatan yang berasal dari luar negeri sehingga memperluas persaingan yang ada pada tenaga kesehatan di Indonesia. Hal ini menjadi penting karena rumah sakit tidak dapat dipisahkan dengan tenaga-tenaga kesehatan yang bekerja di dalamnya. Semakin memadai kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan yang berada dalam sebuah rumah sakit maka akan semakin optimal pula pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit tersebut.

Tenaga-tenaga kesehatan atau sering disebut juga sebagai staf medis terbanyak dan berhubungan langsung dengan para pasien adalah perawat. Tugas keperawatan meliputi perawatan otonom dan kolaboratif individu dari segala usia, keluarga, kelompok, dan masyarakat, sakit atau sehat dan dalam semua pengaturan (WHO, 2012). Keterlibatan perawat dalam menjaga kualitas pelayanan kesehatan terhadap masyarakat harus lebih efektif. Sebagai tenaga medis yang menjalani interaksi paling intensif dengan pasien serta keluarga pasien,

(3)

kinerja perawat memiliki kontribusi utama. Hingga tahun 2012, jumlah perawat Indonesia yang tersertifikasi sendiri hanya mencapai angka 2,6 persen (sekitar 13.000 perawat) dari total seluruh perawat yang ada di Indonesia, seperti yang dilansir oleh Harian Kompas dalam salah satu artikelnya (Kompas, 2012). Angka ini menggambarkan masih sangat banyak perawat di Indonesia yang belum memiliki sertifikat kerja sehingga tidak dapat dipekerjakan oleh berbagai rumah sakit di Indonesia. Tanpa adanya sertifikasi, rumah sakit menganggap bahwa kualitas yang dimiliki perawat kurang memadai untuk dipekerjakan di sebuah rumah sakit.

Selain belum tersertifikasi, ada beberapa hal lain yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan kualitas perawat, baik perawat lokal maupun perawat yang berasal dari luar negeri yang bekerja di Indonesia. Peningkatan mutu pendidikan, pelatihan keterampilan, dan kemampuan yang sesuai dengan standar kualitas perawat internasional dapat menjadi alternatif cara meningkatkan kualitas calon perawat sebelum terjun sebagai tenaga kesehatan profesional. Hal lain yang juga harus diperhatikan adalah aspek individu perawat itu sendiri. Apakah individu tersebut memiliki karakteristik psikologis positif yang berkembang dalam dirinya serta memiliki keyakinan dalam dirinya bahwa ia ingin terlibat dalam sebuah pekerjaan sebagai seorang perawat. Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa seorang perawat memiliki peran penting dalam pelayanan yang ada di sebuah rumah sakit. Perawat yang berinteraksi lebih lama dengan pasien, dan perawat merupakan tenaga medis dengan jumlah terbanyak di rumah sakit. Peran perawat ini yang kemudian menuntutnya untuk dapat fokus terhadap pekerjaannya secara keseluruhan.

Tappen (1989) menyatakan bahwa perawat berperan aktif dalam mengevaluasi kualitas pelayanan kesehatan dan memiliki kontribusi dalam memperbaiki dan meningkatkan pelayanan kesehatan untuk dapat mencapai hasil yang diinginkan. Meskipun perawat memiliki peran penting dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, potensi mereka masih belum sepenuhnya dihargai dan mereka juga masih belum dapat menggunakan kemampuan yang dimiliki secara sepenuhnya. Pekerjaan seorang perawat dengan kode etik profesinya menyebabkan perawat seringkali memiliki kendala ketika menghadapi pasien yang membutuhkan pertolongan darurat. Sampai saat ini, publik masih melihat dan menggambarkan perawat sebagai asisten atau bahkan bawahan dari dokter. Sebenarnya, perawat dan dokter adalah dua profesi yang berbeda yang keduanya saling melengkapi dalam upaya penyembuhan pasien. Perawat dan dokter merupakan mitra kerja yang saling membutuhkan dan mendukung satu sama lain. Perawat bertanggung jawab dalam membantu pasien memenuhi kebutuhan dasar manusia dan membantu pasien mandiri hingga sembuh dari penyakit.

(4)

Hubungan mitra kerja antara perawat dan dokter, antara perawat dan perawat lainnya, maupun antara dokter dan dokter lain haruslah sinergis. Pekerjaan perawat yang menuntut peran dan tanggung jawab besar mengarahkan mereka untuk selalu bekerja sama dengan karyawan lainnya. Kebutuhan akan pasien dan perkembangan kesehatannya merupakan informasi penting yang harus diketahui para perawat, untuk itu mereka sesama perawat harus saling berkoordinasi. Selain itu, banyaknya jumlah pasien dengan berbagai macam keluhan membuat perawat harus benar-benar fokus dalam melayani pasien. Untuk dapat fokus memberi pelayanan pada pasien, perawat hendaknya memiliki keyakinan terlebih dahulu akan pentingnya pekerjaan sebagai perawat dalam hidupnya. Apabila ia telah merasa hal tersebut adalah hal penting, maka ia akan memiliki dorongan atau hasrat untuk terlibat dengan sungguh-sungguh dengan pekerjaannya dalam menangani pasien.

Kanungo (1982) mendefinisikan keterlibatan kerja atau job involvement sebagai penilaian diri terhadap pekerjaannya atau identifikasi diri secara psikologis dengan pekerjaannya saat ini. Karakteristik individu yang memiliki tingkat job involvement tinggi adalah individu memiliki dorongan untuk memenuhi kebutuhan dirinya melalui pekerjaan dan memandang pekerjaannya sebagai bagian penting dalam hidupnya. Bagi seorang perawat yang memiliki job involvement tinggi, mereka akan memiliki anggapan bahwa memberikan pelayanan kepada pasien merupakan hal yang penting dalam hidupnya. Terlebih lagi, peran perawat sangatlah penting bagi kesembuhan pasien karena perawatlah yang melakukan penanganan langsung dan memiliki interaksi yang paling lama dengan pasien maupun keluarga pasien. Pekerjaan yang dijalani oleh perawat bukanlah hal yang sederhana. Perawat dituntut untuk memberikan pelayanan terbaik kepada pasien, yang menyangkut sembuh atau tidaknya pasien, atau bahkan dalam keadaan darurat dapat menyangkut hidup dan matinya pasien. Secara tidak langsung, pelayanan yang diberikan oleh perawat tidak hanya berdampak pada kesehatan seseorang, namun pada kesehatan masyarakat yang kemudian akan meningkatkan sumber daya manusia.

Besarnya tanggung jawab yang dimiliki oleh seorang perawat dalam melaksanakan pekerjaannya membutuhkan sumber daya psikologis yang disebut dengan psychological capital. Luthans, Youssef, dan Avolio, (2007) menjelaskan bahwa psychological capital merupakan keadaan psikologis positif seorang individu yang berkembang dengan empat karakteristik, yaitu self efficacy, optimism, hope, dan resiliency. Luthans, dkk (2007, dalam Avey, Youssef, & Luthans, 2009) menegaskan bahwa walaupun setiap komponen psychological capital dapat secara independen mempengaruhi performa pekerja pada organisasi, namun konsep psychological capital secara keseluruhan akan dapat memprediksi

(5)

employee outcomes (seperti performa dan kepuasan kerja) dengan lebih baik jika dibandingkan kinerja independen setiap komponennya. Lebih lanjut mereka menyatakan bahwa keseluruhan konsep psychological capital telah menjadi sebuah konstruk utama (higher order core construct) sehingga dapat lebih efektif dalam memprediksi employee outcomes (Avey, dkk, 2009).

Psychological capital penting dimiliki oleh perawat karena perawat dengan psychological capital yang tinggi akan memiliki energi dan memberikan usaha yang termanifestasi dalam performa yang lebih baik untuk memberikan pelayanan kesehatan pada jangka waktu yang lama. Hal ini dikarenakan tingginya self efficacy diaplikasikan dalam usaha untuk mencapai tujuan individu, dan mereka percaya dapat mencapainya. Selain itu perawat dengan psychological capital yang tinggi memiliki motivasi dan alternatif solusi untuk pemecahan masalah. Mereka membuat atribusi positif dan memiliki harapan terhadap hasil yang baik. Perawat dengan psychological capital yang tinggi akan tetap gigih dalam menghadapi tantangan dan dapat kembali ke keadaan semula setelah menghadapi masalah. Secara menyeluruh psychological capital dapat memfasilitasi motivasi dan intensi tingkah laku untuk sukses dalam memenuhi tujuan dan mengarahkan tugas untuk menghasilkan pelayanan yang lebih baik pada individu dengan psychological capital yang tinggi daripada individu yang memiliki psychological capital yang rendah. Psychological capital memiliki hubungan positif dengan unjuk kerja pada perawat, yaitu pelayanan yang diberikan kepada pasien (Avey, Reichard, Luthans, & Mhatre, 2011).

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa psychological capital yang tinggi dapat berpengaruh pada sumber daya manusia yang meliputi aspek, job involvement, performance, kesuksesan individu, dan kesuksesan rumah sakit. Demikian juga halnya pada perawat, psychological capital yang tinggi dapat berpengaruh pada job involvement pada perawat, dimana hal ini akan berpengaruh terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat. Sejauh yang telah peneliti ketahui, hingga saat ini belum ada penelitian yang dilakukan untuk meneliti hubungan antara psychological capital dan job involvement.

Dari penjelasan di atas peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara psychological capital dan job involvement pada perawat. Hal ini dilakukan mengingat penelitian antara psychological capital dan job involvement pada perawat di Indonesia belum pernah dilakukan. Selain itu peneliti memiliki asumsi bahwa perawat memiliki peran cukup penting dalam dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber

(6)

daya manusia di Indonesia. Dengan demikian penelitian ini menjadi penting karena dapat memberikan gambaran psychological capital dan job involvement pada perawat sehingga dapat dijadikan landasan acuan pada penelitian selanjutnya.

Berdasarkan latar belakang tersebut, pertanyaan dalam penelitian adalah:

“Apakah terdapat hubungan antara psychological capital dan job involvement pada perawat?”

2. Tinjauan Teori

Psychological capital adalah keadaan psikologis dari seorang individu, yang berkembang dengan karakteristik sebagai berikut: memiliki keyakinan terhadap kemampuan yang dimiliki oleh dirinya dalam mengambil dan memberikan usaha yang cukup agar dapat berhasil dalam menghadapi suatu tantangan (self efficacy), membuat atribusi yang positif tentang kesuksesan di masa kini dan masa depan (optimism), memiliki harapan untuk mencapai tujuan dan bila perlu mencari jalan lain dalam rangka mencapai tujuan tersebut (hope), dan karakteristik yang terakhir adalah ketika individu tersebut dihadapkan pada suatu masalah atau tantangan, ia dapat bertahan dan bangkit kembali bahkan dapat meraih kesuksesan yang lebih besar (resiliency) (Luthan, Youssef, & Avolio, 2007). Individu dengan psychological capital yang tinggi akan menjadikan individu tersebut fleksibel dan adaptif untuk bertindak dengan kapasitas yang berbeda dalam memenuhi tuntutan secara dinamis. Karakteristik atau komponen yang membangun psychological capital saling mempengaruhi satu sama lainnya sehingga konstruk ini lebih baik diukur sebagai satu kesatuan (Avey, Youssef, & Luthans, 2009).

Job involvement didefinisikan sebagai penilaian diri terhadap pekerjaannya atau identifikasi diri secara psikologis dengan pekerjaannya saat ini (Kanungo, 1982). Kemudian Kanungo (1982) membedakan job involvement menjadi dua, yaitu keterlibatan dalam pekerjaan yang spesifik dan general. Job involvement secara spesifik merupakan keyakinan diri dimana pekerjaan saat ini dapat memberikan kepuasan akan kebutuhan dirinya dalam pengembangan diri. Sebaliknya, job involvement secara general merupakan kepercayaan yang normatif mengenai nilai dalam bekerja dan lebih disebabkan oleh budaya sebelumnya yang telah dikondisikan dan disosialisasikan. Selain membedakan job involvement secara spesifik dan general, Kanungo (1982) kemudian melihat sebuah tingkatan dalam job involvement, yaitu semakin tinggi job involvement seseorang maka akan semakin penting suatu pekerjaan sebagai bagian dari identitas personalnya. Karyawan seperti ini dapat diidentifikasi dengan kepeduliannya terhadap pekerjaan mereka. Setiap karyawan memiliki perbedaan peran dan tanggung jawab, dimana hal tersebut dapat menunjukkan bahwa individu harus mengerti dan

(7)

memahami apa yang dikerjakan. Semakin tinggi kepeduliannya terhadap suatu pekerjaan, maka ia akan semakin memahami peran dan tanggung jawab sebagai kewajibannya. Dalam hal ini, job involvement individu terhadap pekerjaannya merupakan kondisi yang diharapkan muncul. Kanungo (1982), juga menyatakan bahwa keterlibatan kerja bersifat unidimensi dengan tiga karakteristik utama. Karakteristik pertama adalah adanya tingkatan sejauh mana pentingnya pekerjaan dalam hidup seseorang, dimana individu melihat ada atau tidaknya peluang untuk memenuhi kebutuhan utamanya. Kedua, adanya energi dan ambisi yang mengarah pada pekerjaan mereka. Karakteristik terakhir adalah identifikasi diri seseorang terhadap pekerjaan mereka dimana ditunjukkan dari adanya komitmen pada tugas dan adanya peningkatan harga diri.

2.1 Hipotesis

Ha: Terdapat hubungan yang signifikan antara skor total psychological capital yang didapat dari perhitungan Psychological Capital Questionnaire (PCQ) dengan skor total job involvement yang didapat dari perhitungan Job Involvement Questionnaire (JIQ) pada perawat.

H0: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara skor total psychological capital yang didapat dari perhitungan Psychological Capital Questionnaire (PCQ) dengan skor total Job Involvement yang didapat dari perhitungan Job Involvement Questionnaire (JIQ) pada perawat.

3. Metode Penelitian

Populasi partisipan pada penelitian ini adalah perawat yang bekerja di Rumah Sakit. Sampel partisipan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan perawat yang bekerja di Rumah Sakit X. Tidak ada batasan usia, jenis kelamin, status pernikahan, tingkat pendidikan, lama bekerja, serta jumlah jam kerja pada partisipan yang menjadi sampel penelitian ini. Jumlah sampel yang datanya dapatdiolah sebanyak 207 orang.

Peneliti menggunakan alat ukur PCQ dan JIQ. Pengukuran psychological capital pada penelitian ini mengacu pada alat ukur Psychological Capital Questionnaire-24 (PCQ-24) yang telah dikembangkan oleh Luthans, Youssef, dan Avolio (2007). Terdapat 24 item dalam alat ukur ini yang menggambarkan empat komponen pembentuk konstruk psychological capital, yaitu komponen self efficacy, optimisim, hope, dan resiliency. JIQ adalah Job Involvement Questionnaire oleh Kanungo (1982). Alat ukur JIQ terdiri dari 10 item yang diberikan untuk mengukur job involvement yang dimiliki seorang karyawan. Item tersebut terbagi menjadi 8 item favorable dan 2 item unfavorable. Alat ukur yang telah diadaptasi

(8)

dan dimodifikasi ini selanjutnya digunakan dalam penelitian yang mengukur job involvement pada perawat di rumah sakit.

Tipe penelitian digolongkan berdasarkan tiga aspek oleh Kumar (2005) yaitu aplikasi, tujuan, dan tipe pencarian informasi. Berdasarkan aplikasi, penelitian ini termasuk dalam tipe penelitian aplikatif (applied research) yang merupakan penelitian dimana teknik, prosedur, dan metode dalam penelitian tersebut diaplikasikan pada sekumpulkan informasi mengenai berbagai aspek dari sebuah situasi, isu, masalah, atau fenomena sehingga informasi yang didapatkan dari penelitian dapat bermanfaat dalam pembentukan peraturan, administrasi, dan peningkatan pemahaman akan suatu fenomena (Kumar, 2005). Berdasarkan tujuan, penelitian ini digolongkan dalam penelitian korelasional karena bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan/asosiasi/saling ketergantungan antara dua aspek situasi atau lebih (Kumar, 2005). Furlong, Lovelace, dan Lovelace (2000) menyatakan bahwa penelitian korelasional tidak menggunakan manipulasi dari sebuah variabel bebas sehingga dapat dikatakan penelitian korelasional memiliki pendekatan non-intervention. Berdasarkan tipe pencarian informasi, penelitian ini termasuk dalam penelitian kuantitatif dimana penelitinya ingin menguantifikasi data yang diperoleh ke dalam bentuk angka-angka yang kemudian diolah dengan perhitungan statistik untuk mengetahui hubungan antar variabel (Kumar, 2005). Dijelaskan pula bahwa penelitian kuantitatif dilakukan berdasarkan pengukuran terhadap respon individual untuk mendapatkan skor yang akan digunakan dalam analisis statistik untuk mendapatkan hasil keseluruhan dan juga interpretasi (Gravetter & Forzano, 2009).

Kumar (2005) membagi desain penelitian menjadi tiga perspektif yaitu, number of contacts, reference period, dan nature of investigation. Number of contacts mengacu pada berapa kali peneliti mengambil data pada partisipan. Dalam penelitian ini, peneliti hanya melakukan satu kali kontak dengan partisipan. Oleh karena itu, penelitian ini dapat digolongkan sebagai penelitian cross-sectional dimana desain ini cocok untuk meneliti fenomena, situasi, masalah, tingkah laku atau isu, dengan melakukan satu kali pengambilan data partisipan (Kumar, 2005). Desain ini berguna untuk mendapatkan gambaran umum partisipan pada saat dilakukannya penelitian (Kumar, 2005). Berdasarkan periode referensi, penelitian ini termasuk dalam penelitian retrospektif yang menginvestigasi fenomena, situasi, masalah, atau isu yang telah terjadi di masa lalu atau sudah ada sebelumnya (Kumar, 2005). Penelitian ini mengukur tingkat psychological capital dan job involvement pada perawat yang telah ada. Berdasarkan sifatnya (nature of investigation), penelitian ini dapat digolongkan sebagai penelitian non-eksperimental dimana dalam penelitian ini tidak dilakukan manipulasi

(9)

atau kontrol terhadap variabel yang diteliti namun hanya melakukan pengamatan dan berusaha menjelaskan hubungan dari kondisi variabel-variabel yang diteliti (Kumar, 2005).

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah non-probability sampling dimana tidak semua anggota populasi dalam penelitian ini memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi sampel dalam penelitian (Kumar, 2005). Lebih spesifik lagi, penelitian ini menggunakan teknik accidental sampling dimana pemilihan pertisipan hanya didasarkan pada ketersediaan atau kemudahan untuk mengakses partisipan (Kumar, 2005). Pengambilan sampel dipilih dari lokasi yang mudah bagi peneliti untuk mengaksesnya, kemudian kapanpun seseorang yang memiliki karakteristik yang sesuai dengan sampel yang dibutuhkan oleh peneliti, orang tersebut akan diminta kesediaannya untuk menjadi partisipan.

Metode atau teknik statistik yang digunakan untuk pengolahan data dalam penelitian ini adalah statistik deskriptif, pearson correlation, multiple regression, dan one-way analysis of variance (ANOVA). Statistik deskriptif digunakan untuk mengetahui tendensi sentral (mean, median, dan modus), frekuensi, variabilitas, standar deviasi (SD), jangkauan, nilai minimum dan maksimum dari masing-masing variabel. Teknik ini digunakan untuk mengetahui gambaran umum variabel psychological capital dan variabel job involvement serta data demografis yang meliputi jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, masa kerja, rata-rata jumlah jam kerja, dan status perkawinan. Sedangkan pearson correlation digunakan untuk melihat signifikansi hubungan antara dua variabel. Teknik ini digunakan untuk melihat signifikansi hubungan antara variabel psychological capital dan job involvement. Kemudian, multiple regression digunakan untuk melihat seberapa besar pengaruh dan prediksi dua atau lebih variabel yang satu terhadap variabel lainnya. Teknik ini digunakan untuk mengetahui pengaruh masing-masing komponen psychological capital terhadap job involvement, dan mengetahui seberapa besar sumbangan masing-masing komponen psychological capital terhadap job involvement. Terakhir adalah One-Way Analysis of Variance (ANOVA) yang digunakan untuk mengetahui signifikansi perbedaan mean antara dua kelompok atau lebih sebagai satu variabel terhadap variabel yang lain. Teknik ini digunakan untuk mengetahui signifikansi perbedaan mean jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, masa kerja, rata-rata jumlah jam kerja, dan status perkawinan, terhadap job involvement.

(10)

4. Hasil Penelitian

Berikut pemaparan gambaran umum partisipan penelitian berdasarkan data demografisnya.

Gambaran Demografis Partisipan

Data Partisipan Frekuensi Persentase

Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan 40 167 19,3 % 80,7 % Kelompok Usia < 25 tahun 25 – 44 tahun > 44 tahun 21 128 58 10,1% 61,8% 28 % Pendidikan SPK D3 S1 Ners (Profesi) 21 156 23 7 10,1 % 75,4 % 11,1 % 3,4 % Masa Kerja 0 – 10 tahun 11 – 20 tahun 21 – 30 tahun > 30 tahun 121 31 39 16 58,5 % 15,0 % 18,8 % 7,7 % Jam Kerja 6 jam 7 jam 8 jam 9 jam 10 jam 6 13 170 15 3 2,9 % 6,3 % 82,1% 7,2 % 1,4 % Status Perkawinan Lajang Menikah Janda 36 169 2 17,4 % 81,6 % 1,0 %

(11)

Kemudian, dapat dilihat statistik deskriptif psychological capital.

Statistik Deskriptif Psychological Capital

Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa mean psychological capital pada perawat dalam penelitian ini adalah sebesar 93,92 dengan SD sebesar 10,87, serta nilai minimum sebesar 62 dan nilai maksimum sebesar 121. Gambaran psychological capital juga dapat dikategorikan rendah, sedang, dan tinggi. Pembuatan kategorisasi dilakukan berdasarkan pada nilai mean dan standar deviasi yang diketahui atau norma berdasarkan z-score. S e d a n g k a n tingkat psychological capital dapat dilihat pada tabel berikut.

Kategori Tingkat Psychological Capital

Berdasarkan data tersebut, sebagian besar partisipan penelitian memiliki psychological capital yang berada pada tingkat sedang yaitu sebanyak 150 orang (75.6%). Partisipan sebanyak 33 orang (15,9%) memiliki tingkat psychological capital pada kategori rendah dan sebanyak 24 orang (11,6%) memiliki tingkat psychological capital pada kategori tinggi. Hal ini berarti bahwa sebanyak 24 perawat memiliki psychological capital yang tinggi dibandingkan perawat lainnya dalam penelitian ini.

Statistik Deskriptif Job involvement

Dari tabel tersebut, dapat dilihat bahwa mean job involvement pada perawat dalam penelitian ini adalah sebesar 42,28 dengan SD sebesar 7,07, dengan nilai minimum sebesar 22 dan nilai maksimum sebesar 57. Gambaran job involvement juga dapat

Variabel M SD Nilai Minimum Nilai Maksimum

Psychological Capital (n= 207)

93,92 10,87 62 121

Tingkat Skor Frekuensi Persentase

Rendah 62 – 82 33 15,9%

Sedang 83 – 105 150 72,5%

Tinggi 106 – 121 24 11,6%

Variabel M SD Nilai Nilai

Minimum Maksimum

(12)

dikategorikan rendah, sedang, dan tinggi. Pembuatan kategorisasi dilakukan berdasarkan pada nilai mean dan standar deviasi yang diketahui atau norma berdasarkan z-score. Sedangkan kategori tingkat job involvement terlihat pada tabel berikut,

Kategori Tingkat Job Involvement

Berdasarkan data dari tabel , sebagian besar partisipan penelitian memiliki job involvement yang berada pada tingkat sedang yaitu sebanyak 138 orang (66,7%).

Untuk hasil utama penelitian ini dapat dilihat dari tabel berikut,

Hasil Perhitungan Korelasi antara Psychological Capital dan Job Involvement

Variabel r Sig (p)

Psychological Capital dan Job Involvement 0,199** 0.004 ** Signifikan pada L.o.S. 0,01

Dari tabel di atas dapat diinterpretasikan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara psychological capital dan job involvement pada perawat di rumah sakit dengan nilai r = 0,199 dan p = 0,004 yang berarti signifikan pada L.o.S 0,01.

Di bawah ini merupakan hasil tambahan penelitian yang terdiri dari gambaran job involvement berdasarkan data demografis partisipan, sumbangan psychological capital terhadap job involvement, dan hasil perhitungan regresi ganda komponen psychological capital dan job involvement.

Gambaran Job Involvement Berdasarkan Data Demografis Partisipan

Karakteristik N Mean SD Signifikansi Keterangan

Partisipan Jenis Kelamin Laki-Laki 40 43,98 6,087 t = -1,891; Tidak Perempuan 167 41,87 7,087 (p > 0,05) Signifikan Usia < 25 tahun 21 43,29 5,632 F = 1,321; Tidak

Tingkat Skor Frekuensi Persentase

Rendah 22 – 34 30 14,5 %

Sedang 35 – 49 138 66,7 %

(13)

25–44 tahun 128 41,65 7,617 (p > 0,05) Signifikan > 44 tahun 58 43,29 6,173 Tingkat Pendidikan SPK 21 43,29 5,632 F= 1779; Tidak D3 156 41,69 7,428 (p>0,05) Signifikan S1 23 45,09 5,418 Ners 7 43,14 5,956 Masa Kerja 0-10 tahun 121 41,93 7,516 F = 1,052; Tidak 11-20 tahun 31 41,16 6,807 (p > 0,05) Signifikan 21-30 tahun 39 43,72 6,472 >30 tahun 16 43,5 5,086

Jumlah Jam Kerja

6 16 39,50 8,735 F=0,824 Tidak 7 13 44,54 3,230 p>0,05 Signifikan 8 170 42,14 7,365 9 15 42,13 5,263 10 3 46,33 6,351 Status Pernikahan Lajang 36 42,25 6,138 F=1,208 Tidak Menikah 169 42,19 7,265 p>0,05 Signifikan Janda 2 50,00 0,000

Hasil Perhitungan Regresi Komponen Psychological Capital dan Job Involvement

R R2 Sig.

0,242 0,059 0,015

*Signifikan pada L.o.S 0,05

Hasil Perhitungan Regresi Ganda Komponen Psychological Capital dan Job Involvement

Komponen Psychological Capital Beta (β) Sig.

Self-efficacy 0,074 0,338

(14)

Resiliency -0,062 0,491

Optimism 0,105 0,218

*Signifikan pada L.o.S .05

Berdasarkan data pada tabel tersebut, dapat disimpulkan bahwa hope (Beta = 0,182; p = 0,022*) memberikan sumbangan paling besar dan signifikan terhadap job involvement. Komponen psychological capital lainnya (self efficacy, optimism, dan resiliency) memiliki nilai yang tidak cukup besar dan tidak signifikan dalam memberikan sumbangan bagi job involvement.

5. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa psychological capital memiliki hubungan positif yang signifikan dengan job involvement. Hal ini menandakan bahwa semakin tinggi tingkat psychological capital yang dimiliki oleh seorang perawat maka semakin tinggi pula tingkat job involvementnya. Sejauh ini peneliti belum menemukan penelitian yang menjelaskan hubungan langsung antara psychological capital dan job involvement. Luthans, Norman, Avolio, dan Avey (2008); Shahnawaz dan Jafri (2009); Avey, Reichard, Luthans, dan Mhatre (2011); Miko (2012) menjelaskan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara psychological capital dan organizational commitment. Organizational Commitment adalah sebagai suatu keadaan psikologis yang (a) menggambarkan hubungan pekerja dengan organisasi dan (b) memiliki implikasi pada keputusan dirinya untuk melanjutkan atau menghentikan keanggotaan pada suatu organisasi (Allen & Meyer, 1991, dalam Palupi, 2004). Sementara Knoop (1995) mengemukakan bahwa terdapat hubungan signifikan yang kuat antara organizational commitment dan job involvement. Penelitian dilakukan oleh Miko (2012) dan Knoop (1995) dilakukan pada konteks perawat. Meskipun pada penelitian sebelumya dilakukan secara terpisah, penelitian – penelitian tersebut memperkuat hasil penelitian ini, bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara psychological capital dan job involvement pada perawat. Organizational commitment merupakan outcome variable yang sangat erat kaitannya dengan job involvement (Elloy, Everett & Flynn, 1995). Outcome variable merupakan tingkah laku sebagai indikator tinggi atau rendahnya job involvement. Elloy, Everett, dan Flynn (1995) menguraikan beberapa outcome variable yang memiliki hubungan signifikan yang kuat dengan job involvement, antara lain, organizational commitment, burnout, desire to leave, dan job satisfaction.

(15)

Sudah banyak penelitian yang mengkaitkan psychological capital dengan variabel-variabel lainnya, salah satunya adalah workplace well being. Hal ini dijelaskan oleh Avey, Luthans, Smith, dan Palmer (2010); Pormes (2012) bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara psychological capital dan workplace well being. Lebih lanjut lagi Avey, dkk (2010) menjelaskan bahwa psychological capital dapat meningkatkan workplace well being. Workplace well being merupakan suatu perasaan sejahtera (well-being) yang diperoleh individu dari pekerjaan, yang berhubungan dengan perasaan secara umum dan kepuasan terhadap nilai-nilai kerja intrinsik dan ekstrinsik pekerjaan (Page, 2005). Brown dan Leigh (1996) memaparkan terdapat hubungan antara workplace well being dengan job involvement. Secara tidak langsung, kedua penelitian ini menggambarkan adanya hubungan antara psychological capital dan job involvement yang sejalan dengan hasil penelitian ini. Dengan demikian dapat dikatakan hasil penelitian ini ikut memperkuat hasil-hasil penelitian sebelumnya yang secara tidak langsung menggambarkan bahwa psychological capital memiliki hubungan yang positif dengan job involvement. Jika dilihat dari variabel yang diteliti, belum ada penelitian sebelumnya yang meneliti hubungan langsung antara psychological capital dan job involvement, sehingga dapat dikatakan bahwa hasil penelitian ini juga memberikan kontribusi terhadap ilmu pengetahuan dan dunia kesehatan dalam melihat hubungan antara psychological capital dan job involvement khususnya dalam konteks perawat di rumah sakit. Selain itu, apabila dilihat dari konteks atau bidang pekerjaan, perawat di rumah sakit belum termasuk ke dalam bidang pekerjaan yang kerap diteliti.

Dari hasil tambahan penilitian dapat diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan mean yang signifikan pada data demografis terkait dengan tingkat job involvement pada perawat. Data demografis yang diteliti adalah jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, masa kerja, rata-rata jumlah jam kerja, dan status perkawinan. Hal ini sejalan dengan penelitian Brown (1996), bahwa hubungan antara variabel demografis yang mencakup usia, masa kerja, tingkat pendidikan, jenis kelamin, status perkawinan, dan penghasilan perbulan memiliki hubungan yang rendah dan tidak signifikan dengan job involvement. Hal ini berarti job involvement tidak bisa diprediksi melalui data demografis partisipan.

Selanjutnya, jika melihat hasil regresi ganda yang dilakukan pada komponen psychological capital terhadap job involvement dapat dilihat bahwa komponen hope memiliki korelasi yang paling besar dan signifikan dengan job involvement. Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa semakin besar tingkat hope pada perawat, semakin besar pula tingkat job involvement yang dimilikinya. Hope yang dimiliki oleh seorang perawat dapat memberikan sumbangan yang signifikan terhadap job involvement yang

(16)

ia miliki. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa perawat yang memiliki tingkat hope yang tinggi memiliki energy positif dan mampu melakukan berbagai usaha mencapai tujuan serta memiliki alternatif pilihan ketika menghadapi kesulitan. Kemampuan untuk terus mencari alternatif-alternatif pilihan saat menghadapi kesulitan inilah yang membuat perawat dapat mengidentifikasi diri secara psikologis terhadap pekerjaannya sehingga berdampak pada job involvement yang dimiliki. Hal ini juga didukung penelitian Luthans dkk (2007) yang menyatakan bahwa hope memiliki pengaruh terhadap perasaan sejahtera individu di tempat kerja yang berhubungan dengan job involvement.

Dalam penelitian ini, peneliti menyadari bahwa masih terdapat beberapa kekurangan yang dapat menjadi error dalam penelitian sehingga akhirnya dapat mempengaruhi hasil penelitian. Beberapa hal yang perlu ditinjau ulang dalam penelitian ini adalah mengenai alat ukur, pengawasan terhadap data partisipan, dan metode pengambilan data (pelaksanaan penelitian). Alat ukur psychological capital yang digunakan dalam penelitian ini adalah psychological capital quetionare yang telah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia. Salah satu kekurangan yang dirasakan dirasakan adalah dalam proses penerjemahan dan adaptasi alat ukur, terutama psychological capital quetinare. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji validitas alat ukur masih terdapat item yang memiliki nilai validitas yang rendah. Peneliti menduga hal tersebut terjadi karena proses penerjemahan yang kurang baik sehingga item-item tersebut tidak menunjukkan makna sesuai item aslinya. Berdasarkan hasil uji coba, peneliti tidak memasukkan tiga item, yaitu satu item komponen resiliency dan dua item komponen optimism. Item ini tidak dimasukan ke dalam alat ukur karena tidak konsisten mengukur satu konstruk tertentu. Alat ukur yang kemudian digunakan dalam penelitian ini adalah yang sudah memenuhi syarat dasar untuk dapat dikatakan valid dan reliabel

Peneliti juga merasakan kekurangan dalam pengambilan data, terdapat banyak data yang tidak bisa diolah karena kelalaian partisipan dalam mengisi, baik informasi demografis maupun item-item pernyataan yang terdapat pada booklet. Dampak langsung dari kelalaian partisipan saat mengisi booklet adalah berkurangnya jumlah data yang bisa digunakan dalam penelitian ini. Hal ini terjadi karena booklet disebarkan melalui bantuan kepala ruangan, yang berarti peneliti tidak dapat mengontrol bagaimana partisipan mengisi data dan mengerjakan sejumlah pernyataan yang diberikan. Sebab lain yang dapat mempengaruhi partisipan dalam pengisian booklet adalah faktor kelelahan dan distraksi yang disebabkan oleh pekerjaan atau hal lain. Sehingga partisipan dimungkinkan untuk asal menjawab atau menjawab seadanya.

(17)

Hal lain yang juga perlu diperhatikan lebih seksama adalah mengenai metode pengambilan data dan penyebaran booklet (pelaksanaan penelitian). Pada penelitian ini, peneliti memberikan rentang waktu yang cukup panjang dari penyebaran booklet hingga ke batas waktu pengambilan bookletnya. Hal ini dilakukan oleh peneliti dengan tujuan agar partisipan dapat mengisi booklet dengan tenang dan tanpa tekanan sehingga jawaban yang diberikan oleh partisipan benar-benar jujur dan sesuai dengan keadaan dirinya. Peneliti menyadari bahwa partisipan memiliki pekerjaan yang cukup menguras waktu dan pekerjaan perawat mengharuskan mereka untuk selalu siap siaga selama 24 jam sehingga pengisian booklet hanya bisa dilakukan ketika ada waktu luang. Oleh karena itulah peneliti memberikan waktu lebih kepada partisipan untuk mengisinya. Namun ternyata, hal ini membuat partisipan menjadi lebih menunda-nunda untuk mengisi booklet tersebut dan berujung menjadi hilangnya booklet yang sudah diberikan.

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan analisis penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara psychological capital dan job involvement. Hal ini berarti kenaikan skor psychological capital akan diikuti oleh kenaikan skor job involvement. Perawat yang memiliki tingkat psychological capital tinggi, juga memiliki tingkat job involvement yang tinggi. Begitu pula ketika perawat memiliki tingkat psychological capital yang rendah, maka perawat tersebut juga memiliki tingkat job involvement yang rendah. Dari analisis yang telah dilakukan, dapat dilihat bahwa sebagian besar perawat, khususnya perawat di Rumah Sakit X memiliki tingkat psychological capital dan job involvement pada tingkat sedang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar perawat sudah memiliki self efficacy, hope, resiliency, dan optimism pada tingkat sedang. Sama halnya dengan psychological capital, bahwa mayoritas perawat memiliki job involvement pada tingkat sedang. Akan tetapi perawat yang memiliki tingkat psychological capital rendah lebih banyak daripada perawat dengan tingkat psychological capital tinggi. Sebaliknya, perawat dengan tingkat job involvement tinggi, lebih banyak daripada perawat dengan tingkat job involvement rendah. Hal lain yang dapat disimpulkan berdasarkan hasil tambahan penelitian adalah tidak terdapat perbedaan mean job involvement yang signifikan pada perawat berdasarkan jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, masa kerja, rata-rata jumlah jam kerja, dan status perkawinan. Hasil tambahan selanjutnya yaitu komponen psychological capital yang memiliki sumbangan terbesar dan signifikan terhadap job involvement pada perawat di rumah sakit adalah hope. Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa

(18)

semakin besar tingkat hope pada perawat semakin besar pula tingkat job involvement yang dimiliki.

6. Saran

Data partisipan sebaiknya diletakkan di halaman awal setelah paragraf pengantar dan informed consent dalam kuesioner. Hal ini dilakukan untuk mencegah kelalaian partisipan dalam mengisi data partisipan. Perlu penelitian lebih lanjut dan lebih luas mengenai psychological capital di Indonesia dengan karakteristik partisipan dan perusahaan/organisasi yang lebih variatif, tidak hanya terbatas pada perawat di rumah sakit saja. Pelaksanaan penelitian di rumah sakit yang berbeda juga diperlukan untuk menentukan apakah hasil temuan pada penelitian ini dapat digeneralisasi untuk organisasi lain atau dibatasi hanya untuk suatu organisasi tertentu saja. Penelitian selanjutnya juga sebaiknya dilakukan pada partisipan dengan jumlah yang lebih besar agar dapat dilakukan analisa yang lebih mendalam pada setiap faktor atau aspek dari kedua variabel. Terkait dengan hasil penelitian yang sudah menemukan adanya hubungan, maka diharapkan penelitian selanjutnya dapat meneliti mengenai kemungkinan pengaruh psychological capital terhadap job involvement atau bahkan sebaliknya, yaitu pengaruh job involvement terhadap psychological capital. Untuk penelitian selanjutnya akan lebih baik jika peneliti melakukan back translation untuk memastikan bahwa terjemahan dan adaptasi yang dilakukan telah benar sesuai dengan alat ukur sebelumnya.

Ada beberapa saran yang dapat dilakukan pihak Rumah Sakit untuk meningkatkan psychological capital dan job involvement perawat. Pihak Rumah Sakit mengadakan kegiatan bersama yang melibatkan perawat. Kegiatan tersebut dapat berupa kegiatan yang bertujuan mengetahui goal setting masing-masing perawat, kegiatan yang bertujuan untuk berbagi pengalaman antara perawat junior dengan perawat senior, dan berbagai kegiatan lainnya. Selain itu, kepala ruangan sebaiknya membuat program employee of the month, yaitu memberikan penghargaan kepada perawat terbaik yang dinilai dari berbagai aspek yang telah ditentukan sebelumnya. Program ini akan menciptakan persepsi yang positif terhadap atasan (kepala perawat) dan terhadap pekerjaan itu sendiri sehingga job involvement perawat diharapkan akan meningkat. Ketika dilakukan program ini, pihak Rumah Sakit tidak hanya memberikan penghargaan saja, namun juga dapat melakukan penilaian kerja terhadap seluruh karyawan.

Bagian manajemen SDM rumah sakit sebaiknya membuat deskripsi kerja yang jelas sehingga para perawat memahami dengan jelas peran dan tanggung jawabnya sebagai

(19)

perawat. Ketika perawat memahami dengan jelas apa yang menjadi tanggung jawab kerjaya, hal ini akan variasi karakteristik pekerjaan, ambiguitas peran, dan konflik peran sehingga job involvement perawat dapat meningkat. Dalam rangka menciptakan iklim kerja yang kondusif dan meningkatkan kualitas kerja, kepala ruangan dapat mengagendakan suatu forum guna mendiskusikan permasalahan-permasalahan yang dialami oleh para perawat. Melalui forum tersebut kepala ruangan dapat mendengarkan keluhan para staf perawat dan membantu dalam memecahkan masalah. Selain itu, kepala ruangan mengarahkan stafnya untuk saling membantu mengerjakan dalam memberikan pelayanan kesehatan. Kegiatan ini memfasilitasi timbulnya dukungan kelompok dalam bekerja dan meningkatkan kualitas interaksi antar perawat sehingga dapat meningkatkan job involvement dan workplace well being dalam diri perawat.

Daftar Pustaka

Avey, J. B., Reichard, R.J., Luthans, F., & Mhatre, K.H. (2011). Meta-analysis of the mipact of positive psychological capital on employee attitudes, behaviors, and performance. Human Resource Development Quarterly, 22(2), 127-152. DOI: 10.1002/hrdq.20070.

Avey, J. B., Youssef, C. M., & Luthans, F. (2009). The additive value of positive psychological capital in predicting work attitudes and behaviors. Journal of Management. doi: 10.1177/0149206308329961.

Avey, J. B., Luthans, F., Smith, R. M.& Palmer, N. F. (2010). Impact of positive psychological capital on employee well-being over time. Journal of Occupational Health Psychology. doi: 10.1037/a0016998.

Brown, S.P., Leigh, T.W. (1996). A new look at psychological climate and its relationship to job involvement, effort, and performance. American Psychological Association, Inc. 0021-9010/96/S3.00.

Brown, S.P. (1996). A meta-analysis and review of organizational research on job involvement. Psychological Bulletin, 120, 235-255.

DepKes RI. (1992). Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 983/MenKes/SK/XI/1992. Pedoman Organisasi Rumah Sakit Umum.

Elloy, D.F., Everett, J.E., Flynn, W.R. (1995). Multidimensional mapping of the correlates of job involvement. Canadian Journal of Behavioural Science. 27(1). 79-91.

Furlong, N., Lovelace, E., & Lovelace, K. (2000). Research Methods and Statistics: An Integrated Approach. California: Wadsworth.

Gravetter, F. J., & Forzano, L.-A. B. (2009). Research Methods for The Behavioral Sciences. Canada: Wadsworth Cengange Learning.

Kanungo, Rabindra. (1982). Measurement of job and work involvement. Journal of Applied Psychology, 67, 3, 341-349. doi: 0021-9010/82/6703-0341S00.75.

Knoop, R. (1995). Relationships among job involvement, job satisfaction, and organizational commitment for nurses. The Journal of Psychology: Interdisciplinary and Applied. 129(6). 643-649.

(20)

Kumar, R. (2005). Research Methodology: A Step by Step Guide for Beginers. London: SAGE Publication.

Luthans, F., Avolio, B. J., Walumbwa, F. O., & Li, W. (2005). The psychological capital of Chinese workers: Exploring the relationship with performance. Management and Organization Review, 1, 247-269.

Luthans, F., Youssef, C. M., & Avolio, B. J. (2007). Psychological capital: Developing the human competitive edge. New York: Oxford University Press.

Luthans, F., Norman, S.M., Avolio, B.J., & Avey, J.B. (2008). The mediating role of psychological capital in supportive organizational climate: Employee performance relationship. Journal of Organizational Behavior, 29, 219-238. doi: 10.1002/job.507. Miko, M. (2012). Hubungan Psychological Capital dan Komitmen Organisasi pada

Perawat. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia.

MWZ. (2011). Sebaran tak merata, kualitas masih rendah. Artikel. Diakses pada tanggal 25

Juni 2012, dari

http://health.kompas.com/read/2011/05/07/04461794/Sebaran.Tak.Merata.KualitaAs. Masih.Rendah.

Page, Kathryn. (2005). Subjective wellbeing in the workplace. Thesis. School of Psychology Faculty of Health and Behavioural Sciences. Deakin University

Pormes, D. (2012). Hubungan Psychological Capital dan Workplace Well Being pada Perawat. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia

Shahnawaz, M. G., & Jafri, Md. H. (2009) Psychological capital as predictors of organizational commitment and organizational citizenship behaviour. Journal of the Indian Academy of Applied Psychology. 35(special issue) 78-84.

Tappen, R. M. (1989). Nursing leadership and management: Consepts and practice (3rd Ed.). Philadelphia: F.A. Davis Company.

Undang - Undang Republik Indonesia No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Undang - Undang Republik Indonesia No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan.

WHO. (2012, Mei). Health Topics: Nursing. Artikel. Diakses pada tanggal 17 Mei 2012, dari http://www.who.int/topics/nursing/en/.

Referensi

Dokumen terkait

Demikian Pengumuman ini disampaikan, kepada Penyedia yang kebaratan atas hasil pengumuman tersebut di atas dapat menyampaikan sanggahan melalui Aplikasi SPSE sampai

Pada kasus ini, penulis tidak menemukan tanda-tanda infeksi atau komplikasi yang mungkin akan terjadi pada ibu maupun janin karena penanganan ibu bersalin

HUBUNGAN MUTU PELAYANAN DENGAN KEPUASAN PASIEN DI INSTALASI RAWAT INAP RSI

Saat ini, yang sangat dominan adalah upaya untuk meningkatkan produktivitas agronomis yang bermuara pada pencapaian status swasembada pangan, tetapi dalam konteks

Grup Ganto Saroha dalam pertunjukannya menggunakan instrumen musik keyboard dan tidak menampilkan penyanyi atau Anak Ronggeng yang berpenampilan seperti perempuan

Tepi potong, permukaan lembaran dan bidang potong lembaran dari hasil pengamatan secara visual terhadap tepi potong permukaan lembaran dan bidang potong Tabel 1

1) Pengetahuan masyarakat sebelum diberikan edukasi dalam mendeteksi dini DHF di Desa Suruhwadang Kecamatan Kademangan Kabupaten Blitar, berdasarkan hasil penelitian

Dilihat dari bentuk fragmen geraham dan ukuran ruas tulang punggung, sisa binatang fosi1 yang telah ditemukan di Kecamatan Tan1ban itu benar-benar berasal dari