• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pajak 1. Berdasarkan Undang-undang

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana dirubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 menyebutkan bahwa Pajak adalah konstribusi wajib kepada negara yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

2. Berdasarkan Pendapat para Ahli

Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. (dalam Waluyo, 2013: 3) mengungkapkan bahwa Pajak adalah iuran kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

Menurut Mr. Dr. N. J. Feldmann (dalam Ilyas dan Burton, 2013: 6) Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh terutang kepada penguasa, (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontra-prestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum.

(2)

commit to user

Berdasarkan pengertian diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pajak adalah iuran wajib yang dikenakan kepada masyarakat untuk pengeluaran negara dimana masyarakat tidak mendapat imbalan secara langsung, dan apabila masyarakat tidak melunasinya maka akan dikenakan sanksi.

B. Unsur Pajak

Dari beberapa pengertian yang ada, dapat diketahui bahwa pajak memiliki lima unsur, (dalam Waluyo, 2013: 3) yaitu:

1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaanya yang sifatnya dapat dipaksakan

2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah

3. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah

4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukkannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment.

5. Pajak dapat pula mempunyai tujuan selain budgeter (anggaran), yaitu mengatur.

(3)

commit to user

C. Fungsi Pajak

Agar berjalan sesuai tujuan yang hendak dicapai oleh negara, maka terdapat dua fungsi pajak sebagaimana diungkapkan oleh (Mardismo, 2013: 1-2) yaitu:

1. Fungsi Budgetair

Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.

2. Fungsi Mengatur (regulerend)

Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.

D. Syarat Pemungutan Pajak

Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka dalam memungut pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut: (dalam Mardiasmo, 2013: 2)

1. Bersifat Adil (syarat keadilan)

Berdasarkan undang-undang yang dimaksud dengan adil ialah pajak dikenakan secara umum dan merata dan disesuaikan dengan kemampuan ekonomis masing-masing wajib pajak. Sedangkan adil menurut pelaksanaannya ialah wajib pajak berhak untuk mengajukan keberatan, banding, dan penundaan dalam pembayaran.

(4)

commit to user

2. Berdasarkan Undang-undang (syarat yuridis)

Pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Sehingga terdapat jaminan keadilan baik bagi negara maupun warganya.

3. Tidak Mengganggu Perekonomian (syarat ekonomis)

Agar tidak berdampak buruk pada roda perekonomian negara, maka dalam pemungutan pajak tidak boleh mengganggu kegiatan produksi maupun perdagangan.

4. Bersifat Efisien (syarat finansiil)

Biaya pemungutan pajak harus bisa ditekan sehingga lebih rendah dibandingkan dengan hasil pemungutannya.

5. Bersifat Sederhana

Sistem pemungutan pajak yang sederhana akan memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam memenuhi kewajiban pajaknya serta dapat mendorong kepedulian masyarakat terhadap pajak.

E. Teori Pemungutan Pajak

Teori pemungutan pajak diharapkan dapat menyadarkan masyarakat akan pentingnya membayar pajak dan tidak lagi menganggap bahwa pajak sebagai suatu beban, namun sebagai kewajiban untuk kemakmuran masyarakat sendiri. Adapun teori pemungutan pajak (dalam Ilyas dan Burton, 2013: 31-34) meliputi:

(5)

commit to user

1. Teori Asuransi

Teori asuransi menyamakan pembayaran premi asuransi dengan pembayaran pajak. Dalam perjanjian asuransi harus diperlukan pembayaran premi. Premi dianggap sebagai pembayaran atas usaha perusahaan dalam melindungi seseorang dari segala kepentingannya. Begitu juga dengan pembayaran pajak, dimana negara mempunyai kepentingan untuk melindungi masyarakat sehingga masyarakat wajib membayar pajak kepada negara. Namun pada kenyaataannya premi asuransi berbeda dengan pembayaran pajak. Masyarakat yang mengklaim asuransi dapat segera menerima imbalan secara langsung. Hal ini jelas berbeda dengan pajak yang mana tidak dapat memeberikan imbalan secara langsung kepada masyarakat. Sehingga teori ini banyak yang menentang.

2. Teori Kepentingan

Teori kepentingan didasarkan atas beban pajak yang ditanggung setiap individu berdasarkan kepentingannya masing-masing seperti perlindungan jiwa dan hartanya. Sehingga pengeluaran negara untuk melindunginya dibebankan kepada masyarakat.

3. Teori Gaya Pikul

Teori ini menganut asas keadilan dimana masyarakat membayar pajak sesuai dengan kemampuan ekonomis setiap individu. Oleh karena itu, beban pajak yang dibayar setiap individu menurut gaya pikul. Mr. A.J. Caren Stuart (dalam Ilyas dan Burton, 2013: 32-33) menyatakan bahwa teori gaya pikul sama dengan beban sebuah jembatan. Pendapat tersebut menjelaskan

(6)

commit to user

bahwa jembatan harus mampu menompang beban jembatan itu sendiri baru kemudian menompang beban yang lain. Artinya beban pajak yang harus dibayar masyarakat dilakukan setelah kebutuhan primernya terpenuhi. Teori ini lebih menekan unsur kemampuan individu dan rasa keadilan sehingga banyak ahli yang sepakat dengan teori ini.

4. Teori Bakti

Teori bakti disebut juga dengan teori kewajiban pajak mutlak. Negara mempunyai hak mutlak untuk memungut pajak sebab masyarakat yang terdiri dari kumpulan individu menyerahkan kepemimpinannya kepada negara. Sehingga masyarakat sebagai wujud bakti kepada negara wajib mutlak untuk membayar pajak.

5. Teori Gaya Beli

Gaya beli suatu rumah tangga negara sama dengan gaya beli rumah tangga di dalam masyarakatTeori ini menjelaskan bahwa pembayaran pajak kepada negara digunakan untuk membiayai kepentingan masyarakat dalam suatu negara tersebut. Teori ini lebih menitikberatkan pada fungsi mengatur (regulerent) agar kebutuhan masyarakat terpenuhi.

F. Sistem Pemungutan Pajak

Di dalam pemungutan pajak terdapat sistem yang digunakan agar sesuai dengan aturan yang berlaku. Sistem pemungutan pajak terbagi menjadi tiga (dalam Mardiasmo, 2013: 7), yaitu:

(7)

commit to user

1. Official Assessment System

Merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiscus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.

Ciri-cirinya:

a. Fiskus berwenang untuk menentukan besarnya pajak terutang. b. Wajib pajak bersifat pasif.

c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.

2. Self Assessment System

Merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya:

a. Wajib pajak berwenang menentukan sendiri besarnya pajak yang

terutang

b. Wajib pajak bersifat aktif, yaitu dengan menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.

c. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.

3. Withholding System

Merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.

(8)

commit to user

Ciri-cirinya: pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) berwenang menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.

G. Jenis-jenis Pajak

Pajak dapat dibedakan menjadi tiga jenis (dalam Waluyo, 2013: 12), antara lain:

1. Berdasarkan Golongan

a. Pajak langsung, yaitu pajak yang langsung dibebankan kepada Wajib Pajak yang bersangkutan dan tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Salah satu contohnya ialah Pajak Penghasilan.

b. Pajak tidak langsung, yakni pajak yang pembebanannya dapat

dilimpahkan kepada pihak lain. Contonya ialah Pajak Pertambahan Nilai.

2. Berdasarkan Sifat

a. Pajak subjektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: Pajak Penghasilan

b. Pajak objektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya, tanpa tidak memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

(9)

commit to user

a. Pajak Pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.

Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Materai.

b. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.

Pajak Daerah terdiri atas:

1) Pajak Propinsi, contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.

2) Pajak Kabupaten/Kota, contoh: pajak reklame, pajak hiburan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

H. Tarif Pajak

Tarif dapat menentukan asas keadilan dalam pemungutan pajak bagi Wajib Pajak. Besarnya tarif pajak dalam undang-undang tidak selau ditentukan dengan nilai persentase, namun juga dapat ditentukan dengan nilai nominal. Terdapat empat macam tarif pajak (dalam Mardiasmo, 2013: 9-10), yaitu sebagai berikut:

1. Tarif Sebanding/Proporsional

Tarif pajak berupa persentase tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak.

(10)

commit to user

Contoh: pada saat penyerahan Barang Kena Pajak di daerah pabean akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10%.

2. Tarif Tetap

Tarif pajak berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap. Contoh: Tarif Bea Materai untuk cek dan bilyet giro dengan nilai nominal berapapun adalah tiga ribu rupiah.

3. Tarif Degresif

Persentase tarif pajak yang digunakan semakin kecil apabila dasar pengenaan pajak semakin besar.

4. Tarif Progesif

Persentase tarif yang digunakan semakin besar apabila dasar pengenaan pajak juga semakin besar.

Berdasarkan kenaikan persentase tarifnya, tarif progresif dibagi menjadi tiga tarif, yaitu:

a. Tarif progresif progresif: apabila kenaikan persentase pajaknya semakin besar.

b. Tarif progresif tetap: apabila kenaikan persentase pajaknya tetap.

c. Tarif progresif degresif: apabila kenaikan persentase pajaknya semakin kecil.

I. Pajak Pertambahan Nilai

(11)

commit to user

Berdasarkan sejarah, Pajak Pertambahan Nilai merupakan pengganti dari Pajak Penjualan. Adanya reformasi perpajakan menjadi dasar perubahan dalam sistem pemungutan PPN agar berjalan lebih efektif dan efisien. Selain itu, penggantian tersebut disebabkan Pajak Penjualan belum mencapai sasaran dan tidak sesuai dengan kegiatan masyarakat saat ini. Oleh sebab itu, pemerintah menghapus Pajak Penjualan (1951) dan menggantinya dengan undang-undang Nomor 8 tahun 1983 sebagaimana terakhir diubah dengan undang-undang Nomor 42 tahun 2009 yang mengatur tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang (PPN) dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

Kelemahan dari Pajak Penjualan antara lain (Mardiasmo, 2013: 293): a. Adanya pajak berganda.

b. Terdapat 9 (sembilan) macam tarif sehingga menimbulkan kesulitan pelaksanaannya.

c. Tidak dapat mendorong ekspor.

d. Belum dapat mengatasi penyelundupan.

Sedangkan di lain sisi Pajak Pertambahan Nilai mempunyai kelebihan, antara lain:

a. Menghilangkan pajak berganda.

b. Menggunakan tarif tunggal sehingga memudahkan pelaksanaan.

c. Netral dalam persaingan dalam negeri. d. Netral dalam pola konsumsi.

(12)

commit to user

2. Karakteristik PPN di Indonesia

PPN di Indonesia memiliki karakteristik yang tidak dimiliki oleh Pajak Penjualan (PPn), yaitu:

a. PPN merupakan pajak tidak langsung

Secara ekonomis beban PPN dapat dialihkan kepada pihak lain. Tanggung jawab pembayaran pajak yang terutang berada pada pihak yang menyerahkan barang atau jasa, sedangkan pihak yang menanggung beban pajak berada pada penanggung pajak (pihak yang memikul beban pajak).

b. PPN merupakan pajak obektif

PPN sebagai pajak objektif mengandung pengertian bahwa timbulnya kewaiban membayar pajak sangat ditentukan oleh adanya objek pajak. Kondisi subjektif subjek pajak tidak relevan.

c. PPN bersifat Multistage Tax

PPN dikenakan setiap mata rantai jalur produksi dan distribusi (dari pabrikan sampai ke peritel) BKP/JKP. Hal ini berarti PPN dikenakan berulang-ulang pada setiap mutasi BKP/JKP. Akan tetapi PPN tidak menimbulkan pengenaan pajak berganda (non kumulasi).

d. PPN bersifat Nonkumulatif

PPN tidak bersifat kumulatif (nonkumulatif) meskipun memiliki karakteristik multistage tax karena PPN mengenal mekanisme pengkreditan

(13)

commit to user

Pajak Masukan. Oleh karena itu, PPN yang dibayar bukan unsur dari harga pokok barang atau jasa.

e. PPN di Indonesia menganut tarif tunggal (single rate)

PPN di Indonesia hanya mengenal satu jenis tarif yaitu 10% (sepuluh persen) untuk penyerahan dalam negeri dan 0% (nol persen) untuk ekspor BKP. Dengan Peraturan Pemerintah, tarif tersebut dapat dinaikkan paling tinggi menjadi 15% (lima belas persen) dan paling rendah 5% (lima persen). f.Perhitungan PPN terutang yang dibayar ke kas negara menggunakan

Indirect Substraction Method

Metode ini mengandung pengertian bahwa pajak yang terutang diperoleh dari hasil pengurangan pajak yang dipungut atau dikenakan pada saat penyerahan BKP/JKP atau yang dikenal dengan istilah Pajak Keluaran dengan pajak yang dibayar pada saat pembelian barang atau penerimaan jasa atau Pajak Masukan.

g. PPN adalah pajak atas konsumsi dalam negeri

Atas Impor Barang Kena Pajak dikenakan PPN sedangkan atas ekspor Barang Kena Pajak tidak dikenakan PPN. Prinsip ini menggunakan prinsip tempat tujuan (destination principle), yaitu pajak dikenakan di tempat barang atau jasa akan dikonsumsi.

h. PPN yang diterapkan di Indonesia ialah PPN Tipe Konsumsi

(14)

commit to user

PPN di Indonesia, Pajak Masukan atas pembelian atau pemeliharaan barang modal dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang dipungut atas penyerahan BKP dan/atau JKP. Sehingga dengan penerapan metode ini dapat menghindari adanya pajak berganda.

3. Fungsi Pajak Pertambahan Nilai

Agar pelaksanaan PPN jelas dan sesuai dengan peraturan perpajakan, maka harus sesuai dengan fungsi yang dijalankan, diantaranya:

a. PPN sebagai penerimaan negara

PPN sebagai penerimaan negara diperoleh dari pemungutan pajak yang digunakan untuk pembiayaan negara sebagaiman tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sejak diterapkannya, PPN termasuk sumber penerimaan negara yang cukup besar kontribusinya terhadap APBN dibandingkan penerimaan negara lainnya.

b. PPN berfungsi sebagai pemerataan beban pajak

PPN sering dikatan sebagai koreksi atau tambahan untuk PPh, sebab di dalam PPh terdapat pengecualian subjek pajak. Dengan adanya PPN, subjek pajak yang dibebaskan dari PPh secara tidak langsung menjadi penanngung pajak melalui konsumsi yang dilakukannya. Dengan demikian, beban pajak akan terbebani pada setiap orang, tanpa pengecualian. PPN dalam hal ini berperan sebagai alata pemerataan beban pajak.

c. PPN digunakan untuk mengatur pola konsumsi

PPN sering dikenal dengan istilah pajak atas konsumsi. Pemikul pajak atas PPN ialah konsumen akhir. Oleh karena itu, PPN dapat dijadikan alat

(15)

commit to user

untuk membentuk pola konsumsi, yaitu dengan mengenakan pajak atas barang-barang tertentu dan tidak mengenakan pajak atas barang lainnya sesuai dengan yang diinginkan. Dengan demikian pola konsumsi masyarakat diharapkan dapat dipengaruhi atau diarahkan oleh pemerintah.

d. PPN berfungsi sebagai pendorong ekspor

PPN dikenakan tarif 0% atas ekspor barang kena pajak. Hal ini berfungsi untuk mendorong dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya persaingan di pasar global.

e. PPN berfungsi sebagai pendorong investasi

Dalam sistem PPN, pajak yang dibayarkan atas impor barang modal dapat diminta kembali atau dibebaskan. Sehingga dengan adanya penerapan sistem tersebut diharapakan dapat mendorong investasi.

f.PPN dapat membantu pengusaha kecil

Dengan mengecualikan pengusaha kecil dari kewajiban memungut PPN, diharapakan akan membantu pengusaha kecil untuk mengembangkan usahanya.

4. Kewajiban Menyetor Pajak

PPN merupakan pajak tidak langsung, artinya beban pajak dikenakan oleh konsumen akhir. Pihak-pihak yang mempunyai kewajiban memungut, menyetor, dan melaporkan PPN terdiri atas:

a. Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan BKP dan/atau

JKP di daerah Pabean dan melakukan ekspor BKP Berwujud/ BKP Tidak Berwujud/ JKP.

(16)

commit to user

Pengusaha dapat dikatan sebagai PKP apabila melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dengan jumlah peredaran bruto melebihi Rp 600.000.000 (enam ratus juta rupiah) dalam satu tahun. Termasuk PKP antara lain:

1) Pabrikan atau produsen

2) Importir atau indentor

3) Pengusaha yang mempunyai hubungan istimewa dengan pabrikan

atau importir

4) Agen utama dan penyalur utama pabrikan atau importir

5) Pemegang hak paten atau merek dagang bkp

6) Pedagang besar (distributor)

7) Pengusaha yang melakukan hubungan penyerahan barang

8) Pedagang eceran (peritel)

PPN dibebankan kepada konsumen akhir pada saat terjadinya transaksi penyerahan BKP dan/atau JKP. Apabila PKP tidak melakukan hal tersebut maka PPN dibebankan terhadap PKP sendiri.

b. Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP

Pengusaha Kecil ialah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000 (enam ratus juta rupiah) dalam satu tahun. Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP, kemudian wajib melaksanakan kewajiban segaimana halnya PKP.

(17)

commit to user

c. Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan BKP tidak berwujud dan/atau JKP dari luar daerah Pabean di dalam daerah Pabean.

d. Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan impor BKP.

e. PKP yang melakukan penjualan barang yang menurut tujuan semula tidak untuk dijual kembali.

f.Orang pribadi atau badan yang melakukan pembangunan rumahnya sendiri

dengan persyaratan tertentu.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang pribadi atau badan yang melakukan pembangunan sendiri ialah:

1) Kegiatan membangun banguanan yang dilakukan tidak dalam

kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau pihak lain.

2) Bangunan yang terdiri dari satu atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau melekat secara permanen pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan dengan syarat:

a) Konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenisnya, dan/atau baja.

b) Diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha.

c) Luas keseluruhan paling sedikit (dua ratus meter persegi).

g. Pemungut pajak yang ditunjuk oleh pemerintah

Pemungut pajak yang ditunjuk oleh pemerintah terdiri atas Kantor Perbendaharaan Negara, Bendahara Pemerintah Pusat dan Daerah, termasuk Bendahara Proyek.

(18)

commit to user

5. Objek PPN

PPN dikenakan atas pertambahan nilai yang terjadi karena kegiatan-kegiatan tertentu yang dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

a. Penyerahan/ impor/ pemanfaatan/ ekspor terhadap BKP/ JKP/ BKP tidak

berwujud, yang terdiri dari:

1) Penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha.

2) Impor Barang Kena Pajak.

3) Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar daerah Pabean di dalam daerah Pabean.

4) Ekspor Barang Kena Pajak berwujud oleh PKP.

5) Ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud oleh PKP.

6) Ekspor Jasa Kena Pajak oleh PKP.

b. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha

atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain.

c. Penyerahan aktiva oleh PKP yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang Pajak Masukan yang dibayar pada saat perolehannya menurut ketentuan dapat dikreditkan.

J. Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri

(19)

commit to user

Pemungutan PPN atas KMS dimulai sejak 1 Januari 1995 dengan dikeluarkannya Undang-undang No.11 Tahun 1994 yang merupakan bagian Tax Reform ke 2 yang mana dicantumkannya Pasal 16 C yang merupakan dasar dari pemungutan PPN atas KMS. Filosofi dari pemungutan PPN atas KMS tercantum dalam penjelasan Pasal 16 C UU PPN Tahun 1994 yang berisi:

a. Untuk mencegah terjadinya penghindaran Pajak Pertambahan Nilai.

b. Untuk melindungi masyarakat yang berpenghasilan rendah dari pengenaan

Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri, maka diatur batasan kegiatan membangun sendiri dengan Peraturan Menteri Keuangan PMK 163/PMK.03/2012.

Pada waktu mulai berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.39/PMK.03/2010 di mana obyek dan batasan luas bangunan kegiatan membangun sendiri minimal 300 M2 dengan tarif efektifnya 40% dan ini hanya untuk tanah di luar kawasan Real Estate. Untuk tanah kaveling di kawassan Real Estate tidak termasuk sebab Pengusaha Real Estate tidak boleh hanya menjual tanah saja. Sejak tanggal 22 Oktober 2012 dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia

2. Tata Cara dan Batasan PPN atas Kegiatan Membanngun Sendiri

Menurut Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 163/PMK.03/2012 kegiatan membangun sendiri adalah kegiatan membangun sendiri bangunan yang diperuntukan bagi tempat tinggal, tempat usaha dengan luas minimal 200 M2 dan bersifat permanen. Sedangkan menurut PER

(20)

commit to user

25/PJ/2012 lebih rinci lagi kegiatan membangun sendiri adalah kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha oleh Orang Pribadi atau Badan diperuntukan bagi tempat tinggal, tempat usaha dengan luas minimal 200 M2 yang hasilnya digunakan sendiri atau orang lain. Menurut PER 25/PJ/2012 di atas pengertian dari bangunan adalah bangunan permanen yang konstruksi utamanya terdiri dari:

a. Batu bata, beton, baja, kayu tahan lama.

b. Bahan lain yang mempunyai kekuatan 20 tahun atau lebih. c. Bangunan dengan luas diatas 200 M2.

Dengan catatan bahwa syarat PPN atas KMS itu bersifat kumulatif, artinya semua harus terpenuhi, jika salah satu tidak terpenuhi menjadi tidak terutang PPN atas kegiatan membangun sendiri.

3. Dasar Hukum Pemungutan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri

Berdasarkan Pasal 23 A Undang-undang 1945 suatu pemungutan pajak harus di dasarkan Undang-Undang. Maka dasar Hukum dari pemungutan PPN atas kegiatan membangun sendiri diatur daalam:

a. Pasal 16 C Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.

b. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 39/PMK.03/2010

yang diperbaharui dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 163/PMK.03/2012.

c. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

95/KMK.03/2006 yang merupakan pengecualian tidak dikenakan PPN atas kegiatan membangun sendiri untuk daerah terkena bencana alam pada

(21)

commit to user

tanggal 27 Mei 2006 di Daerah Istimewa Yogyakarta (seluruhnya) dan Jawa Tengah (Kabupaten Klaten, Boyolali, Sukoharjo, Wonogiri, Purworejo, Magelang, Karanganyar, Kebumen dan Temanggung) serta bencana alam dan tsunami pada tanggal 17 Juli 2006 di Jawa Tengah dan Jawa Barat (di mana Kabupaten dan Kecamatannya dirinci dalam lampiran peraturan Menteri Keuangan) berlaku sejak 13 Oktober 2006 sampai dengan 31 Desember 2008, di mana Dasar Penghitungan Pajaknya adalah 0%.

d. Peraturan Direktorat Jenderal Pajak PER 25/PJ/2012 tentang tata cara penetapan secara jabatan atas jumlah biaya yang dikeluarkan atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan dalam rangka kegiatan membangun sendiri.

e. Surat Edaran Direktorat Jendral Pajak 22/PJ/2013 tentang batasan dan tata cara pengenaan PPN atas kegiatan membangun sendiri.

4. Obyek Pemungutan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri

Dalam Objek Pajak dari PPN atas KMS adalah setiap kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha, pekerjaan oleh Orang Pribadi atau Badan dan diperuntukkan bagi tempat tinggal, tempat usaha dengan luas minimal 200 M2 yang hasilnya digunakan sendiri atau orang lain dan dengan kriteria konstruksi bangunan dari batu bata, beton, baja, kayu tahan lama yang kekuatannya mencapai 20 Tahun.

(22)

commit to user

Dalam Subjek Pajak dari PPN atas KMS adalah siapapun yang membangun sendiri baik itu Orang Pribadi atau Badan yang tidak dalam lingkup perusahaan, pekerjaanya dan diperuntukan bagi tempat tinggal, tempat usaha dengan luas minimal 200 M2 yang hasilnya digunakan sendiri atau orang lain.

6. Tarif dan DPP Pemungutan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri

Tarif PPN atas kegiatan membangun sendiri adalah sebesar 10% dikalikan Dasar Pengenaan Pajak. Dasar Pengenaan Pajak atas kegiatan membangun sendiri sebesar 20% dari jumlah biaya yang dikeluarkan atau dibayarkan untuk membangun sendiri. Sedangkan dasar pengenaan pajak atas kegiatan membangun sendiri berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 95/KMK.03/2006 yaitu sebesar 0% yaitu di daerah yang terkena bencana alam pada tanggal 27 Mei 2006 di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah (Kabupaten Klaten, Boyolali, Sukoharjo, Wonogiri, Purworejo, Megelang, Karanganyar, Kebupaten dan Temanggung) serta bencana alam dan tsunami pada tanggal 17 Juli 2006 di Jawa Tengah dan Jawa Barat (di mana Kabupaten dan Kecamatannya dirinci dalam lampiran peraturan Menteri Keuangan diatas) berlaku sejak 13 Oktober 2006 sampai dengan 31 Desember 2008.

Referensi

Dokumen terkait

sekolah dasar di Singapura melalui kontak pribadi para peneliti yang kemudian diisi secara anonim. Sebanyak 85 kuesioner dikembalikan dengan data yang dapat

Pajak Pertambahan Nilai masukan adalah pajak yang dibebankan kepada pengusaha kena pajak atas perolehan barang atau jasa kena pajak, sedangkan Pajak Pertambahan Nilai

Kepuasan responden di Instalasi Rawat Inap RSUD Tugurejo Semarang kategori tinggi adalah 38 responden ( 38 % ) dan kategori sedang 62 responden ( 62 % ), dengan

Hasil penelitian ini tidak mendukung penelitian yang dilakukan oleh Putrady dan Haryanto (2014), Wibisono (2012), serta Ibrahim dan Raharja (2014) yang menyatakan bahwa

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan pendidikan strata satu (S1) pada Program Studi Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan MIPA Fakultas

Invensi ini berhubungan dengan suatu alat ukur frekuensi getaran menggunakan sistem optik yang terintegrasi dalam kantilever terbebani, sehingga apabila alat diletakkan pada objek

Bahwa benar dengan demikian Terdakwa pergi meninggalkan kesatuan tanpa ijin dari Komandan Satuannya atau atasan lain yang berwenang sejak tanggal 16 Oktober 2015 sampai dengan