• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Konseling Kelompok dan Media Promosi Keshatan Video terhadap Peningkatan Pengetahuan dan Sikap Perawatan Kaki Penderita Diabetes Melitus di Klinik Diabetes Puskesmas Sering Medan 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Efektivitas Konseling Kelompok dan Media Promosi Keshatan Video terhadap Peningkatan Pengetahuan dan Sikap Perawatan Kaki Penderita Diabetes Melitus di Klinik Diabetes Puskesmas Sering Medan 2013"

Copied!
186
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS KONSELING KELOMPOK DAN MEDIA PROMOSI KESEHATAN VIDEO TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN

DAN SIKAP PERAWATAN KAKI PENDERITA DIABETES MELITUS DI KLINIK DIABETES PUSKESMAS SERING MEDAN 2013

TESIS

Oleh

HARYATI LUBIS 117032139/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

THE EFFECTIVENESS OF GROUP COUNSELING AND HEALTH PROMOTION OF VIDEO MEDIA ON INCREASING THE

KNOWLEDGE AND ATTITUDE IN FOOT CARE OF DIABETES MELLITUS PATIENTS AT DIABETES

CLINIC OF SERING PUSKESMAS, MEDAN, IN 2013

THESIS

By

HARYATI LUBIS 117032139/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEATH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

(3)

EFEKTIVITAS KONSELING KELOMPOK DAN MEDIA PROMOSI KESEHATAN VIDEO TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN

DAN SIKAP PERAWATAN KAKI PENDERITA DIABETES MELITUS DI KLINIK DIABETES PUSKESMAS SERING MEDAN 2013

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

HARYATI LUBIS 117032139/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(4)

Judul Tesis : EFEKTIVITAS KONSELING KELOMPOK DAN MEDIA PROMOSI KESEHATAN VIDEO TERHADAP PENINGKATAN

PENGETAHUAN DAN SIKAP PERAWATAN KAKI PENDERITA DIABETES MELITUS DI KLINIK DIABETES PUSKESMAS SERING MEDAN 2013

Nama Mahasiswa : Haryati Lubis Nomor Induk Mahasiswa : 117032139

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. dr. Wirsal Hasan, M.P.H) (Drs. Eddy Syahrial, M.S

Ketua Anggota

)

Dekan

(5)

Telah diuji

pada Tanggal : 19 Agustus 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. dr. Wirsal Hasan, M.P.H Anggota : 1. Drs. Eddy Syahrial, M.S

(6)

PERNYATAAN

EFEKTIVITAS KONSELING KELOMPOK DAN MEDIA PROMOSI KESEHATAN VIDEO TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN

DAN SIKAP PERAWATAN KAKI PENDERITA DIABETES MELITUS DI KLINIK DIABETES PUSKESMAS SERING MEDAN 2013

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Oktober 2013

(7)

ABSTRAK

Pengetahuan dan sikap penderita diabetes melitus tentang perawatan kakinya dapat memperkecil kemungkinan munculnya komplikasi kaki diabetes. Konseling yang dilakukan secara berkelompok dapat membantu meningkatkan pengetahuan dan sikap perawatan kaki penderita diabetes melitus melalui percakapan dan interaksi yang terjadi selama proses konseling. Media video merupakan media penyuluhan yang menarik dan merangsang lebih banyak indera. Tujuan penelitian ini adalah menilai apakah konseling kelompok atau media promosi kesehatan video yang lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap perawatan kaki penderita diabetes. Desain penelitian yang digunakan adalah quasi experimental design dengan jumlah sampel 60 orang, yang terdiri dari 30 orang mendapat perlakuan konseling kelompok dan 30 orang mendapatkan perlakuan penayangan video. Pengambilan sampel melalui

purposive sampling dan pengumpulan data menggunakan kuesioner yang dianalisis dengan paired t test untuk setiap perlakuan dan independent t test untuk menilai keefektivan masing-masing perlakuan. Penilaian terhadap pengetahuan dan sikap setelah masing-masing perlakuan memperlihatkan peningkatan yang bermakna setelah diuji dengan paired t test. Namun pada uji independent t test, konseling tidak menunjukkan penurunan nilai sikap yang bermakna pada saat segera setelah konseling dan seminggu setelah konseling. Hal ini yang menjadi dasar bagi peneliti merekomendasikan konseling secara berkelompok dalam pembelajaran bagi pasien diabetes melitus dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan sikap perawatan kaki.

(8)

ABSTRACT

The knowledge and attitude of diabetes mellitus patients about their foot care can decrease the possibility of the diabetic foot complication. A grouped counseling can help increase the knowledge and attitude about foot care of diabetes mellitus patients by conducting conversation and interaction during the process of counseling. Video is one of the counseling media which interests and stimulates the senses. The objective of the research was to know which one was more effective in increasing the knowledge and attitude in footcare of diabetes patients, whether health promotion through grouped counseling or through video media. The research used quasi experimental design. The samples consisted of 60 respondents: 30 of them were grouped in the counseling treatment and the other 30 respondents were grouped in the video display treatment. The samples were taken by purposive sampling technique. The data were gathered by using questionnaires which were analyzed by using paired t test for each treatment and independent t test for evaluating the effectiveness for each treatment. The evaluation of knowledge and attitude for each treatment indicated that there was significant increase after being tested by pair t test. On the other hand, the result of the independent t test indicated that counseling did not show any significant decrease in attitude, right after the counseling was done and a week after it was done. This result had caused the researcher to recommend that diabetes mellitus patients learn from a grouped counseling in order to improve their knowledge and attitude in foot care.

(9)

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya kepada Allah SWT yang telah melimpahkan karunia dan

hidayah-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan tesis dengan judul

“Efektivitas Konseling Kelompok dan Media Promosi Keshatan Video terhadap

Peningkatan Pengetahuan dan Sikap Perawatan Kaki Penderita Diabetes Melitus

di Klinik Diabetes Puskesmas Sering Medan 2013”. Tesis ini diajukan sebagai

salah satu persyaratan dalam menyelesaikan studi pada Program S2 Ilmu

Kesehatan masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera

Utara.

Banyak pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan dalam

penyusunan tesis ini, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis

menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga serta penghargaan kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu

Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

4. Dr. dr. Wirsal Hasan,MPH selaku dosen pembimbing I yang telah banyak

meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan pengarahan kepada

(10)

5. Drs. Eddy Syahrial, M.S selaku dosen pembimbing II yang telah banyak

meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan pengarahan kepada

penulis dalam menyelesaikan tesis ini

6. Namora Lumongga Lubis, M.Sc, Ph.D selaku Dosen Penguji I yang telah

banyak memberikan saran, bimbingan dan arahan dalam penulisan tesis ini.

7. Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes selaku Dosen Penguji II yang telah banyak

memberikan saran, bimbingan dan arahan dalam penulisan tesis ini.

8. Seluruh dosen minat studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Program

Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, semoga ilmu pengetahuan yang

diberikan menjadi amal ibadah dan mendapat rahmat dari Allah SWT.

9. Kepala Puskesmas Sering Medan yang telah bersedia memberikan izin

penggunaan ruangan dan fasilitas lainnya selama proses penelitian,sehingga

penulis dapat menyelesaikan tesis ini

10.Temanku Syahdiana Sari yang sangat banyak membantu terlaksananya proses

kegiatan penelitian ini.

11.Suamiku yang tercinta Ramadhani Banurea, S.Si, M.Si, Ayah, Bunda dan Ibu

Mertua serta seluruh keluraga yang selalu memberikan doa, dukungan dan

semangat untuk penyelesaian pendidikan ini

12.Seluruh rekan – rekan seperjuangan di S2 IKM peminatan PKIP Angkatan

2011 atas segala dukungan, motivasi dan kebersamaannya

(11)

Peneliti menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk

itu segala saran yang membangun senantiasa diharapkan demi kesempurnaan tesis

ini. Akhir kata semoga tesis ini dapat bermanfaat dan semoga Allah SWT

meridhai kita semua.

Medan, Oktober 2013 Penulis

(12)

RIWAYAT HIDUP

Haryati Lubis, lahir di Pekanbaru pada tanggal 9 Maret 1977, beragama

Islam, merupakan anak ke 1 dari 3 bersaudara dengan nama ayah H. M.Siddik

Lubis dan Ibu Hj. Hartati Nasution. Telah menikah dengan Ramadhani

Banurea,Ssi, Msi dan bertempat tinggal di Komplek Kejaksaan Medan.

Pendidikan formal diawali dari SD Negeri 001 Rumbai yang lulus pada

tahun 1989, kemudian melanjutkan ke SMP Cendana Rumbai yang diselesaikan

pada tahun 1992, setelah itu melanjutkan pendidikan ke SMA Cendana Rumbai

dan lulus tahun 1995. Pada tahun yang sama kemudian penulis melanjutkan

sekolah ke jenjang perguruan tinggi yakni Fakultas Kedokteran USU dan selesai

tahun 2002. Penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Strata 2

di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara dengan Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu

Perilaku yang berlangsung hingga saat ini.

Riwayat pekerjaan penulis diawali sebagai Dokter PTT di Pustu Desa

Besar Martubung Medan pada tahun 2003-2008, kemudian Dokter Umum di

Puskesmas Sering Medan dan Penanggung Jawab Klinik Diabetes Melitus di

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ASBTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang... ... 1

1.2 Permasalahan... .... 10

1.3 Tujuan Penelitian... .... 11

1.4 Hipotesis... ... 11

1.5 Manfaat Penelitian... .... 11

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1Konseling... ... 12

2.1.1 Pengertian Konseling... .... 12

2.1.2 Tujuan dan Fungsi Konseling... ... 13

2.1.3 Konseling Kelompok... 16

2.1.3.1.Jenis Konseling Kelompok ... 17

2.1.3.2.Manfaat Konseling Kelompok ... 18

2.1.3.3. Pelaksanaan Konseling Kelompok ... 19

2.1.4 Prinsip Konseling... ... 20

2.1.5 Konselor... ... 22

2.2 Media Pembelajaran ... 25

2.2.1 Konsep Media... ... 25

2.2.2 Jenis-jenis Media Pembelajaran... ... 27

2.2.3 Fungsi Media... ... 29

2.2.4 Media Promosi Kesehatan... ... 29

2.2.5 Proses Pembelajaran... ... 30

2.2.6 Media Audiovisual... ... 32

2.3 Pengetahuan... 34

2.4 Sikap ... 35

2.5. Diabetes Melitus... ... 36

2.5.1. Kaki Diabetes... ... 40

2.5.2. Perawatan Kaki Diabetes... ... 41

2.5.3. Senam Kaki Diabetes... ... 43

(14)

2.6. Landasan Teori... ... 44

2.7. Kerangka Konsep Penelitian... ... 45

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 46

3.1. Jenis Penelitian... .... 46

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian... ... 48

3.3. Populasi dan Sampel... ... 48

3.1.1 Populasi... ... 48

3.1.2 Sampel... ... 48

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 49

3.4.1 Jenis Data... ... 49

3.4.2 Uji Validitas dan Reabilitas... ... 50

3.5 Variabel dan Defenisi Operasional... .... 52

3.6 Metode Pengukuran ... 53

3.7 Metode Analisa Data... ... 55

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 57

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 57

4.1.1 Gambaran Umum Klinik Diabetes Puskesmas Sering... . 57

4.1.2 Sumber Daya Puskesmas Sering... 58

4.2. Analisis Univariat... 58

4.2.1 Gambaran Karakteristik Responden... 59

4.2.1.1 Gambaran Karakteristik Responden Menurut Umur.. 59

4.2.1.2 Gambaran Karakteristik Responden Menurut Jenis Kelamin. ... 59

4.2.1.3 Gambaran Karakteristik Responden Menurut Tingkat Pendidikan... 60

4.2.1.4 Gambaran Karakteristik Responden Menurut Lama Mendertita DM... 60

4.2.2 Gambaran Pengetahuan Sebelum Konseling Kelompok, Segera Setelah Konseling Kelompok dan Seminggu Setelah Konseling Kelompok di Klinik Diabetes Puskesmas Sering.... 61

4.2.3 Gambaran Pengetahuan Sebelum Penayangan Video, Segera Setelah Penayangan Video dan Seminggu Setelah Penayangan Video di Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 65

(15)

Setelah Konseling Kelompok dan Seminggu Setelah Konseling

Kelompok... 86

4.3.2 Perbedaan Pengetahuan Sebelum Penayangan Video, Segera Setelah Penayangan Video dan Seminggu Setelah Penayangan Video ... 88

4.3.3 Perbedaan Sikap Sebelum Konseling Kelompok, Segera Setelah Konseling Kelompok dan Seminggu Setelah Konseling Kelompok ... 90

4.34 Perbedaan Pengetahuan Sebelum Penayangan Video, Segera Setelah Penayangan Video dan Seminggu Setelah Penayangan Video. ... 91

4.4. Hubungan Lama Menderita Diabetes dengan Ketertarikan terhadap Perlakuan ... 93

4.4.1 Hubungan Lama Menderita DM dengan Postes Pengetahuan Dan Sikap Konseling Kelompok ... 93

4.4.2 Hubungan Lama Menderita DM dengan Postes Pengetahuan Dan Sikap Video ... 94

4.5. Efektivitas Pengetahuan dan Sikap Responden Antara Kelompok Konseling dan Kelompok Video ... 95

4.4.1 Pengetahuan ... 95

4.4.2 Sikap ... 95

BAB 5. PEMBAHASAN ... 97

5.1. Hubungan Lama Menderita DM dengan Perlakuan... ... 97

5.2. Pengetahuan dan Sikap Responden Sebelum Konseling Kelompok Dan Video... 97

5.3. Pengetahuan dan Sikap Responden Setelah Konseling Kelompok Dan PenayanganVideo... 99

5.3.1 Pengetahuan... 99

5.3.2 Sikap... 101

5.4. Pengetahuan dan Sikap Responden Seminggu Setelah Konseling Kelompok dan Penayangan Video... 102

5.4.1 Pengetahuan... .... 102

5.4.2 Sikap... 104

5.5. Keterbatasan Penelitian... 105

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 107

6.1. Kesimpulan ... 107

6.2. Saran ... 108

DAFTAR PUSTAKA ... 109

(16)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

2.1 Perbedaan Motivasi, Penyuluhan dan Konseling... 13

2.2 Tipe Diabetes Melitus dan Penyebabnya ... 36

3.1 Hasil Uji Validitas dan Realibilitas Kuesioner Pengetahuan dan Sikap . 51

3.2 Variabel dan Defenisi Operasional ... 55

4.1 Distribusi Frekwensi Responden Berdasarkan Umur Pasien Diabetes di Klinik Diabetes Puskesmas Sering Tahun 2013 ... 59

4.2 Distribusi Frekwensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Pasien

Diabetes di Klinik Diabetes Puskesmas Sering Tahun 2013 ... 59

4.3 Distribusi Frekwensi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Pasien Diabetes di Klinik Diabetes Puskesmas Sering Tahun 2013 ... 60

4.4 Distribusi Frekwensi Responden Berdasarkan Lama Pasien Menderita Diabetes di Klinik Diabetes Puskesmas Sering Tahun 2013 ... 60

4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Pengetahuan Sebelum

Konseling Kelompok di Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 61

4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Pengetahuan Segera

Setelah Konseling Kelompok di Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 62

4.7 Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Pengetahuan Seminggu

Setelah Konseling Kelompok di Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 63

4.8 Distribusi Frekwensi Responden Berdasarkan Indikator Pengetahuan SebelumKonseling Kelompok , Segera Setelah Konseling Kelompok dan Seminggu Setelah Konseling Kelompok di Klinik Diabetes

Puskesmas Sering Tahun 2013 ... 64

(17)

4.10 Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Pengetahuan Segera

Setelah Penayangan Video di Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 66

4.11 Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Pengetahuan Seminggu

Setelah Penayangan Video di Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 67

4.12 Distribusi Frekwensi Responden Berdasarkan Indikator Pengetahuan Sebelum Penayangan Video, Segera Setelah Penayangan Video dan Seminggu SetelahPenayangan Video di Klinik Diabetes Puskesmas

Sering ahun 2013 ... 68

4.13 Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Sikap Sebelum Konseling Kelompok di Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 69

4.14 Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Sikap Segera Setelah Konseling Kelompok di Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 71

4.15 Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Sikap Seminggu Setelah Konseling Kelompok di Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 73

4.16 Distribusi Frekwensi Responden Berdasarkan Indikator Sikap Sebelum Konseling Kelompok, Segera Setelah Konseling Kelompok dan

Seminggu Setelah Konseling Kelompok di Klinik Diabetes Puskesmas Sering Tahun 2013 ... 76

4.17 Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Sikap Sebelum

PenayanganVideo di Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 77

4.18 Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Sikap Segera Setelah

Penayangan Video di Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 80

4.19 Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Sikap Seminggu Setelah Penayangan Videodi Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 82

4.20 Distribusi Frekwensi Responden Berdasarkan Indikator Sikap Sebelum Penayangan Video, Segera Setelah Penayangan Video dan Seminggu SetelahPenayangan Videodi Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 85

4.21 Perbedaan Pengetahuan Responden Sebelum dan Segera Setelah

Konseling Kelompok Perawatan Kaki Diabetes ... 86

(18)

Konseling Kelompok Perawatan Kaki Diabetes ... 87

4.23 Perbedaan Pengetahuan Responden Segera Setelah dan Seminggu

Setelah Konseling Kelompok Perawatan Kaki Diabetes ... 87

4.24 Perbedaan Pengetahuan Responden Sebelum dan Segera Setelah

Penayangan Video Perawatan Kaki Diabetes ... 88

4.25 Perbedaan Pengetahuan Responden Sebelum dan Seminggu Setelah

Penayangan Video Perawatan Kaki Diabetes ... 88

4.26 Perbedaan Pengetahuan Responden Segera Setelah dan Seminggu

Setelah Penayangan Video Perawatan Kaki Diabetes ... 89

4.27 Perbedaan Sikap Responden Sebelum dan Segera Setelah Konseling

Kelompok Perawatan Kaki Diabetes ... 90

4.28 Perbedaan Sikap Responden Sebelum dan Seminggu Setelah Konseling Kelompok Perawatan Kaki Diabetes ... 90

4.29 Perbedaan Sikap Responden Segera Setelah dan Seminggu Setelah

Konseling Kelompok Perawatan Kaki Diabetes ... 91

4.30 Perbedaan Sikap Responden Sebelum dan Segera Setelah Penayangan Video Perawatan Kaki Diabetes ... 91

4.31 Perbedaan Sikap Responden Sebelum dan Seminggu Setelah

PenayanganVideo Perawatan Kaki Diabetes ... 92

4.32 Perbedaan Sikap Responden Segera Setelah dan Seminggu Setelah

Penayangan Video Perawatan Kaki Diabetes ... 92

4.33 Hubungan Lama Menderita DM dengan Konseling Kelompok ... 94

4.34 Hubungan Lama Menderita DM dengan Video ... 94

4.35 Perbedaan Pengetahuan Responden antara Kelompok Konseling dan

Kelompok Video ... 95

4.36 Perbedaan Sikap Responden antara Kelompok Konseling dan

(19)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1 Landasan Teori ... 45

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Kuesioner Penelitian ... 114

2. Hasil Uji Validitas dan Realibilitas ... 117

3. Hasil Analisis Univariat dan Bivariat ... 120

4. Gambar Bantu Konseling ... 148

5. Bahan Video Perawatan Kaki Diabetes ... 150

6. Master Data ... 153

(21)

ABSTRAK

Pengetahuan dan sikap penderita diabetes melitus tentang perawatan kakinya dapat memperkecil kemungkinan munculnya komplikasi kaki diabetes. Konseling yang dilakukan secara berkelompok dapat membantu meningkatkan pengetahuan dan sikap perawatan kaki penderita diabetes melitus melalui percakapan dan interaksi yang terjadi selama proses konseling. Media video merupakan media penyuluhan yang menarik dan merangsang lebih banyak indera. Tujuan penelitian ini adalah menilai apakah konseling kelompok atau media promosi kesehatan video yang lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap perawatan kaki penderita diabetes. Desain penelitian yang digunakan adalah quasi experimental design dengan jumlah sampel 60 orang, yang terdiri dari 30 orang mendapat perlakuan konseling kelompok dan 30 orang mendapatkan perlakuan penayangan video. Pengambilan sampel melalui

purposive sampling dan pengumpulan data menggunakan kuesioner yang dianalisis dengan paired t test untuk setiap perlakuan dan independent t test untuk menilai keefektivan masing-masing perlakuan. Penilaian terhadap pengetahuan dan sikap setelah masing-masing perlakuan memperlihatkan peningkatan yang bermakna setelah diuji dengan paired t test. Namun pada uji independent t test, konseling tidak menunjukkan penurunan nilai sikap yang bermakna pada saat segera setelah konseling dan seminggu setelah konseling. Hal ini yang menjadi dasar bagi peneliti merekomendasikan konseling secara berkelompok dalam pembelajaran bagi pasien diabetes melitus dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan sikap perawatan kaki.

(22)

ABSTRACT

The knowledge and attitude of diabetes mellitus patients about their foot care can decrease the possibility of the diabetic foot complication. A grouped counseling can help increase the knowledge and attitude about foot care of diabetes mellitus patients by conducting conversation and interaction during the process of counseling. Video is one of the counseling media which interests and stimulates the senses. The objective of the research was to know which one was more effective in increasing the knowledge and attitude in footcare of diabetes patients, whether health promotion through grouped counseling or through video media. The research used quasi experimental design. The samples consisted of 60 respondents: 30 of them were grouped in the counseling treatment and the other 30 respondents were grouped in the video display treatment. The samples were taken by purposive sampling technique. The data were gathered by using questionnaires which were analyzed by using paired t test for each treatment and independent t test for evaluating the effectiveness for each treatment. The evaluation of knowledge and attitude for each treatment indicated that there was significant increase after being tested by pair t test. On the other hand, the result of the independent t test indicated that counseling did not show any significant decrease in attitude, right after the counseling was done and a week after it was done. This result had caused the researcher to recommend that diabetes mellitus patients learn from a grouped counseling in order to improve their knowledge and attitude in foot care.

(23)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit yang prevalensinya

meningkat dari tahun ke tahun. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2005)

melansir angka kesakitan akibat diabetes didunia mencapai 171 juta pada tahun

2000 dan diperkirakan akan mencapai 366 juta pada tahun 2030 (Depkes, 007).

Sementara itu di Indonesia sendiri, WHO memprediksikan peningkatan penderita

diabetes melitus sekitar 12,9 juta dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar

21,3 juta pada tahun 2030 (Depkes, 2008).

Data statistik WHO juga memperkirakan jumlah penderita diabetes

melitus di beberapa negara berkembang cenderung meningkat dan Indonesia

menduduki peringkat keempat dunia untuk jumlah penderita diabetes melitus

setelah India, China dan Amerika Serikat. Namun jika dilihat dari persentase

pertumbuhannya hingga sampai tahun 2030, maka Indonesia menduduki

peringkat ketiga setelah Bangladesh dan Pakistan. Hal ini mungkin dipengaruhi

kemajuan teknologi dan perubahan gaya hidup dimasa sekarang ini. Konsumsi

makanan berlemak dan kurang serat sudah menjadi trend di sebagian besar

kalangan masyarakat kita. Kemajuan teknologi yang mempermudah aktivitas dan

mobilisasi masyarakat ditambah dengan kesibukan yang semakin padat membuat

(24)

Prevalensi diabetes melitus di Indonesia pada penduduk usia > 15 tahun

sekitar 5,7% dengann provinsi yang terbanyak adalah Maluku Utara dan

Kalimantan Barat, masing-masing 11,1%. Sementara itu, prevalensi nasional

untuk Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) 10,2%. Diabetes lebih banyak

dijumpai pada perempuan (6,4%) dibanding laki-laki (4,9,%), demikian juga TGT

pada perempuan (11,5%) lebih tinggi dibanding laki-laki (8,7%). Prevalensi

diabetes melitus dan TGT di Sumatera Utara adalah 5,3% dan 11,3%. Membuat

Sumatera Utara berada di posisi kelima untuk TGT dari seluruh provinsi di

Indonesia Dan ini (Riskesdas,2007). Data dari subdin Penyakit Tidak Menular

(PTM) Dinas Kesehatan Kota Medan, kunjungan pasien diabetes di seluruh

puskesmas di Kota Medan pada tahun 2011 sebanyak 25461 pasien dan tahun

2012 sebanyak 27390 pasien, menduduki peringkat kedua penyakit tidak menular

setelah hipertensi.

Diabetes Melitus jika tidak ditangani dengan benar akan dapat

menimbulkan berbagai macam komplikasi, seperti: gagal ginjal, penyakit jantung,

stroke, kebutaan serta kelainan bentuk dan infeksi pada kaki. Para ahli diabetes

telah mulai memperkenalkan masalah kaki diabetes di Inggris dan di beberapa

negara eropa pada tahun 1990. Menyadari pentingnya masalah kaki diabetes,

Federasi Diabetes Internasional juga memilih tema “Put Feet First, Prevent

Amputations” pada hari Diabetes tahun 2005 (Soegondo & Soekardji, 2008 dan

(25)

Prevalensi penderita ulkus diabetika di Indonesia sekitar 15%, angka

amputasi 30%, angka mortalitas 32% dan ulkus diabetika merupakan sebab

perawatan rumah sakit yang terbanyak sebesar 80% untuk diabetes melitus. Data

di Ruang Perawatan Penyakit Dalam RS Ciptomangunkusumo tahun 2007

menunjukan, dari 111 pasien diabetes melitus yang dirawat dengan masalah kaki

diabetik, angka amputasi mencapai 35%, terdiri atas 30% amputasi mayor dan

70% amputasi minor. Jumlah angka kematian akibat amputasi tersebut sekitar

15%. Sayangnya, data 2010-2011 justru memperlihatkan peningkatan angka

amputasi menjadi 54%. Sebagian besar merupakan amputasi minor, yakni bagian

bawah pergelangan kaki sebanyak 64,7%, dan amputasi mayor sejumlah 35,3%

(www.pdpersi.co.id). Pasien diabetes dengan komplikasi pada kaki juga dijumpai

di Klinik Diabetes Melitus (DM) Puskesmas Sering. Pasien termuda yang

mengalami komplikasi di kaki berusia 40 tahun dan sudah meninggal dunia.

Kebanyakan pasien diabetes yang berobat ke puskesmas ke tidak mengetahui

gejala dan komplikasi diabetes pada kaki, selain itu proses penyembuhan ulkus di

kaki yang lama penyembuhannya, menimbulkan suatu pemikiran bagaimana cara

menambah pengetahuan dan menimbulkan kesadaran pasien untuk mencegah

komplikasi tersebut.

Pasien dengan penyakit kronis memerlukan konseling untuk membantu

mereka menangani penyakit dan mencegah komplikasinya dalam kehidupan

sehari-hari. Hal ini merupakan tantangan bagi petugas pelayanan kesehatan karena

(26)

konseling individu yang dilakukan oleh para dokter di pelayanan kesehatan dasar

di Swiss terhadap pasien diabetes mengenai gaya hidup kepada mereka

menghasilkan kontrol glikemik yang lebih baik dan perbaikan kualitas hidup

(Seboa et all. 2006). Selain itu, penelitian yang dilakukan Palaian dkk dari

Departement Farmasi Universiatas Manipal di RS. Kartuba India tentang

konseling individual yang dilaksanakan pada sebagian pasien diabetes type 2

menunjukkan hasil yang signifikan terhadap peningkatan skor pengetahuan, tetapi

tidak untuk sikap dan tindakan. Konseling yang dilakukan dalam penelitian ini

terdiri dari empat tahapan, yaitu pada saat opname, saat akan pulang

meninggalkan rumah sakit, dan dua kali kunjungan rutin kontrol ulang dalam

waktu dua bulan setelah opname dengan interval kunjungan selama 1 bulan.

Konseling mengenai penyakit, gaya hidup, konsumsi obat dan penggunaan insulin

yang dilakukan disini berdurasi 30 – 60 menit selama kunjungan dengan petugas

farmasi (Palain et all, 2006).

Penelitian yang dilakukan Malathy dkk selama lebih dari 9 bulan, di 2

rumah sakit spesialis dan 1 klinik diabetes di Erode India Selatan, menyimpulkan

bahwa konseling individu merupakan elemen yang penting dalam program

penanganan diabetes. Hal ini terlihat dari hasil yang signifikan pada penurunan

kadar gula puasa dan lipid profile pasien diabetes setelah mendapat konseling.

Penilaian dari kuesioner tentang memperlihatkan hasil yang signifikan dari

(27)

kunjungan dibandingkan kelompok kontrol yang mendapatkan perlakukan

konseling dan diberi leaflet oleh petugas pada akhir penilaian saja. Konseling ini

dilakukan selama 3 bulan dengan interval tiap konseling sebulan, dengan durasi

konseling yang dilakukan berkisar 20-25 menit setiap kali kunjungan (Malathy et

all, 2011).

Konseling sudah menjadi bagian dari penangan pasien diabetes dan

penyakit kronis lainnya. Satpute dkk melakukan penilaian dampak dari konseling

individu mengenai nutrisi dan aktivitas fisik terhadap pasien diabetes type 2 di

RS.Indira Gandhi India yang dilakukan pada saat kunjungan pasien ke rumah

sakit setiap bulannya selama 3 bulan. Dari hasil penilaian didapatkan bahwa

konseling memberikan efek yang signifikan terhadap penurunan kadar gula darah

puasa dan post prandial, HbA1c, BMI, LDL dan trigliserida serta peningkatan

HDL pasien. Di Indonesia, Razak (2010) yang melakukan penelitian terhadap

perilaku makan dan status gizi penderita HIV/AIDS dengan metode konseling

individu di RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Makasar, mendapatkan kesimpulan

bahwa konseling yang dilakukan selama 4 minggu dengan durasi 60-90 menit

dengan intervensi LCD dan food model, efektif meningkatkan perilaku, asupan

makan dan status gizi penderita HIV/AIDS.

Penelitian yang dilakukan Rurik dkk (2010) di pelayanan kesehatan dasar

di Hungaria pada 47 orang pasien diabetes menggunakan metode konseling

kelompok dan individual mengenai pengaturan diet. Pasien diabetes yang

(28)

grup yang terdiri dari 6-8 orang ( maksimal 10 orang). Konseling yang dipandu

oleh ahli gizi ini dilakukan selama 90 menit, dalam dua kali pertemuan dengan

interval pertemuan dua minggu dimana diskusi mengenai pengalaman pasien di

sesi kedua. Konseling individual yang diikuti 24 orang dilakukan sebanyak tiga

sesi pertemuan, dimana ahli gizi mengumpulkan data pasien dalam dua kali

pertemuan dengan durasi konseling 1 jam. Hasil pengukuran FGB dan HbA1c

yang dilakukan 1- 2 bulan setelah konseling pada seluruh pasien yang mengikuti

konseling kelompok mengalami penurunan yang lebih nyata daripada pasien yang

mengikuti konseling individual. Namun pada pengukuran yang dilakukan setahun

setelah konseling, kadar FGB pasien dengan konseling individu lebih rendah dari

pada pasien yang mengikuti konseling kelompok. Hal ini kemungkinan

disebabkan pada konseling individu, pasien mendapatkan motivasi pribadi selama

proses konseling.

Pada penelitian yang dilakukan Murphy dkk di Toronto pada tahun 2004

tentang edukasi nutrisi pada sekelompok ibu hamil dengan diabetes yang

dilakukan dengan konseling kelompok kecil (2-4 orang) dan individual,

didapatkan peningkatan pengetahuan yang signifikan pada kedua kelompok

setelah konseling, tetapi tidak ada perbedaan yang berarti diantara kedua

perlakuan. Penanganan penyakit diabetes dalam bentuk kelompok juga dilakukan

di Afrika Selatan yang dilaksanakan di 45 pusat kesehatan masyarakat di Cape

(29)

program ini satu kelompok terdiri dari 10-15 orang. Materi diberikan dalam 4 sesi

pertemuan dengan durasi 20-60 menit per sesi, dimana dalam setiap pertemuan

membahas topik yang berbeda. Dalam penelitian ini tidak dilakukan analisa data

secara statistik, namun didapatkan kesimpulan bahwa, intervensi dalam bentuk

kelompok dapat mempengaruhi self efficacy penderita diabetes, menstabilkan

tekanan darah, menurunkan berat badan dan HbA1c serta meningkatkan kualitas

hidup dibandingkan kelompok kontrol yang mendapatkan perawatan dan saran

pada saat konsultasi biasa ataupun percakapan di ruang tunggu pasien (Mash

dkk,2012).

Penelitian dengan metode konseling kelompok juga dilakukan oleh Lubis

dan Othman di Medan pada tahun 2011. Dalam penelitian ini , peneliti menilai

dampak kelompok Cognitive Behavorial Theraphy (CBT) dan kelompok

dukungan sosial dalam mengatasi gangguan sikap menghargai diri sendiri pada

penderita kanker payudara dengan menggunakan kelompok kontrol. Penelitian

yang melibatkan 15 orang penderita kanker payudara ini, dilaksanakan dalam 12

sesi dengan interval pertemuan satu minggu dan durasi kegiatan berkisar 120

menit. Dalam penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwa nilai rata-rata kedua

kelompok mengalami peningkatan yang sgnifikan, dengan nilai CBT lebih tinggi

daripada nilai dukungan sosial dan kelompok kontrol.

Proses penyampaian informasi atau penyuluhan mengenai penyakit dan

penanganannya merupakan bagian dari pembelajaran / pendidikan bagi pasien.

(30)

diabetisi dapat menjalani kehidupan sehari-harinya seperti orang normal walau

menderita diabetes melitus. Dalam proses penyampaian informasi atau

penyuluhan, tenaga kesehatan sering menggunakan media untuk mempermudah

pasien mengerti tentang informasi yang disampaikan. Seperti penelitian yang

dilakukan Rahmawati dkk pada tahun 2007 di Kabupaten Kota Waringin Provinsi

Kalimantan Barat, penggunaan media audio visual dalam penyuluhan ternyata

meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku ibu yang memiliki balita gizi

kurang dan buruk. Penelitian ini bersifat quasi eksperimen terhadap 15 orang

responden dengan rancangan pretest-postest dengan control group design,

dimana responden diberikan intervensi penyuluhan sebanyak 3 kali, mulai dari

pretest sampai dengan postest. Satu minggu setelah penyuluhan yang pertama,

dilakukan postest terhadap responden. Penyuluhan yang kedua diulang 10 hari

sebelum dilaksanakan postest yang kedua, dan perlakukan penyuluhan yang

ketiga diualng 10 hari sebelum post test yang ketiga. Peneliti melakukan

pengulangan hanya tiga kali dikarenakan menurut Watson dkk (1984) di dalam

Social Psychology–Science and Application, individu akan bosan dan dapat

menolak pesan jika penyampaiannya lebih dari tiga kali. Dari hasil penelitian

didapatkan peningkatan yang signifikan terhadap nilai pengetahuan dan perilaku

ibu tentang gizi kurang/buruk dengan penggunaan media audio visual, tetapi

peningkatan nilai sikap tidak signifikan.

(31)

pengetahuan yang lebih tinggi pada pasien tuberkulosis yang mendapatkan

penyuluhan dengan media audio visual dibandingkan dengan media cetak

(Kumboyo, 2011). Sementara itu, penelitan yang dilakukan Sitepu Anhela

mengenai pengetahuan dan sikap ibu tentang penyakit pneumoni pada balita di

Kabupaten Stabat dengan metode ceramah dengan VCD dan metode ceramah

tanpa VCD, menghasilkan peningkatan pengetahuan dan sikap yang bermakna

kelompok ceramah dengan VCD dan kelompok ceramah tanpa VCD pada postest

yang dilakukan setelah selesai perlakuan maupun seminggu setelah perlakuan.

Namun terdapat penurunan skor pengetahuan dan sikap yang lebih besar dan

bermakna pada kelompok ceramah tanpa VCD dibandingkan kelompok ceramah

dengan VCD yang juga mengalami penurunan, tetapi tidak bermakna pada postest

yang dilakukan seminggu setelah perlakuan.

Dari pemaparan diatas, peneliti merasa penting melakukan penelitian

dengan menggunakan metode konseling kelompok dan penayangan video untuk

meningkatkan pengetahuan dan sikap perawatan kaki penderita diabetes di klinik

DM Puskesmas Sering, dengan dasar pemikiran ; 1) Kebanyakan pasien yang

berobat ke puskesmas berpenghasilan menengah kebawah dan tidak memiliki

kartu asuransi kesehatan, 2) dalam pengamatan peneliti selama ini, pasien tidak

merasa bosan jika harus menunggu giliran karena mereka dapat saling bercerita

dan bertukar pengalaman dan jika dokter memberikan penjelasan pada salah satu

pasien, pasien yang lain juga tertarik untuk mendengarkan karena merasa senasib

(32)

beberapa pasien sekaligus, 3) sebagian pasien datang dan pulang bersama-sama

dengan temannya sesama penderita diabetes, 4) dari segi waktu pelaksanaan dan

pembiayaan, konseling kelompok lebih efisien daripada konseling individu, 5)

konseling kelompok dapat menjadi media terapeutik pasien, 6) konseling

kelompok dapat meningkatkan pemahaman pasien tentang manfaat tindakan

pencegahan penyakit, sehingga timbulnya kompliksi penyakit yang memerlukan

banyak biaya dapat dihindarkan.

Selain itu, peneliti juga merasa perlu meneliti manfaat penggunaan media

video dalam menyampaikan informasi perawatan kaki bagi penderita diabetes

juga, karena selain pemanfaatan media video dalam kegiatan penyuluhan bagi

penderita diabetes di puskesmas belum pernah dilakukan, media video juga

memerankan dua fungsi yaitu; memperbaiki proses alih informasi (terutama

proses kognitif) dan memperkuat motivasi untuk perubahan (Van den Ban ,dikutip

dari Benunur, 2006).

1.2. Permasalahan

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti ingin mengetahui apakah

konseling kelompok ataukah penyuluhan dengan media video yang lebih efektif

untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap perawatan kaki penderita diabetes di

(33)

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah menilai efektivitas konseling kelompok dan

media promosi kesehatan video dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap

perawatan kaki penderita diabetes di Klinik Diabetes Puskesmas Sering Kota

Medan tahun 2013.

1.4. Hipotesis

1. Ada perbedaan rata-rata peningkatan pengetahuan dan sikap perawatan kaki

penderita diabetes di Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering sebelum dan

sesudah konseling kelompok.

2. Ada perbedaan rata-rata peningkatan pengetahuan dan sikap perawatan kaki

penderita diabetes di Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering sebelum dan

sesudah intervensi media video

1.5. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan bagi Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering

dalam memberikan pelayanan dan edukasi bagi penderita diabetes melitus

2. Sebagai masukan bagi peneliti khususnya dan praktisi kesehatan lainnya

dalam memberikan penjelasan dan edukasi bagi penderita diabetes melitus.

3. Penelitian ini secara umum bermafaat untuk mempromosikan hal-hal yang

dapat dilakukan untuk mencegah timbulnya komplikasi pada kaki penderita

(34)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konseling

2.1.1. Pengertian Konseling

Ada banyak pengertian konseling yang dicetuskan oleh para ahli. Hal ini

didasarkan pada latar belakang dan pendidikan para ahli yang berbeda pula.

Menurut Pepinsky & Pepinsky, dalam Schertzer dan Stone (1974), konseling

merupakan interaksi yang; (a) terjadi antara dua orang individu , masing-masing

disebut konselor dan klien; (b) terjadi dalam suasana yang profesional; (c)

dilakukan dan dijaga sebagai alat untuk memudahkan perubahan-perubahan dalam

tingkah laku klien (Lubis, 2011).

Menurut Lewis, dalam Shertzer & Stone (1974), konseling adalah proses

mengenai seseorang individu yang sedang mengalami masalah (klien) dibantu

untuk merasa dan bertingkah laku dalam suasana yang lebih menyenangkan

melalui interaksi dengan seseorang yang bermasalah yang menyediakan informasi

dan reaksi-reaksi yang merangsang klien untuk mengembangkan tingkah laku

yang memungkinkan kliennya berperan secara lebih efektif bagi dirinya sendiri

dan lingkungannya (Lubis, 2011)

Menurut Machfoedz (2009), konseling merupakan media bagi pasien

(35)

pengetahuan dan membantu pasien menyikapi masalah yang dihadapinya secara

konstruktif.

Konseling menurut Roger dapat diartikan sebagai hubungan membantu,

dimana konselor bertujuan meningkatkan kemampuan dan fungsi mental klien.

Didalam hubungan dokter/perawat dan pasien, dapat dikatakan bahwa

dokter/perawat adalah pihak yang membantu, dan pasien sebagai pihak yang

terbantu. (Lubis, 2011).

Pada awalnya konseling dilaksanakan untuk menangani kasus psikologi

(Latipun,dikutip dari Lubis 20011), namun dalam perkembangannya konseling

beradaptasi dengan cabang ilmu lain di dalam penerapannya dikarenakan dalam

setiap interaksi sosial antar individu, konseling memegang peran penting.

Cabang-cabang ilmu yang memerlukan konseling dalam aplikasinya antara lain : ilmu

pendidikan, ilmu kesehatan, ilmu agama, industri, dan lain-lain.

2.1.2. Tujuan dan Fungsi Konseling

Dalam dunia kesehatan, konseling mempunyai perbedaan dengan

penyuluhan dan motivasi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan seperti tabel

[image:35.595.103.511.611.696.2]

berikut (Manuaba et all, 2007):

Tabel 2.1. Perbedaan Motivasi, Penyuluhan dan Konseling

Hubungan Motivasi Penyuluhan Konseling

Tujuan Mengerahkan Menjelaskan Membimbing

Isi Promosi Edukatif Fakta

Pembicaraan Searah Berat Sebelah Dua arah

Sifat Kepentingan Petugas Kewajiban Petugas Kepentingan Klien

(36)

Beragam pendapat yang mengemukakan tujuan dari pelaksanaan

konseling. Menurut Machfoedz (2009), tujuan konseling itu sendiri meliputi lima

hal sebagai berikut :

a. Aktualisasi diri. Konseling yang dilakukan dapat menggali dan

mengembangkan potensi yang ada pasien.

b. Pertumbuhan dan perkembangan kepribadian pasien. Dengan konseling

pasien menjadi lebih bijaksana dalam menghadapi masalah kesehatan yang

dihadapinya.

c. Memahami orang lain. Konseling menumbuhkan sikap saling menghargai,

peduli dan menjaga hak dan privasi orang lain.

d. Efektivitas. Setelah mengikuti konseling, pasien diharapkan memiliki

kemampuan menjalani hidup yang lebih efektif, efisien dan sistematis dalam

memilih alternatif pemecahan masalah.

e. Kompetensi. Meningkatnya kemampuan kognitif, afektif, aspek perilaku

merupakan salah satu tujuan penting dari pelaksanaan konseling. Kemampuan

pasien DM dalam melaksanakan perawatan kaki merupakan contoh

kompetensi yang dimiliki pasien setelah mengikuti konseling.

Menurut Kromboltz dalam Lubis (2011), tujuan konseling dibagi menjadi

tiga kelompok, yaitu :

1. Mengubah penyesuaian perilaku yang salah

(37)

2. Belajar membuat keputusan

Konseling disini lebih ditujukan kepada klien dengan permasalahan

psikologis

3. Mencegah timbulnya masalah.

Menurut Notosoedirjo dan Latipun, mencegah munculnya masalah terdiri

dari tiga pengertian, yaitu : mencegah agar masalah tidak menimbulkan

hambatan di kemudian hari, mencegah agar masalah tidak berkepanjangan,

mencegah agar masalah tidak menimbulkan gangguan yang menetap.

Corey dalam Lubis (2011) menyatakan tujuan konseling yang berdasarkan

pendekatan tingkah laku yang digunakan dalam proses konseling adalah ; (a)

menghapus pola tingkah laku maladaptif, (b) mempelajari pola tingkah laku

konstruktif, (c) mengubah tingkah laku.

Fungsi konseling meliputi fungsi pencegahan, fungsi adaptif, fungsi

perbaikan dan fungsi pengembangan (Machfoedz, 2009).

a. Fungsi Pencegahan, yaitu mencegah terjadinya masalah yang dapat

menggangu kebutuhan dasar pasien. Contohnya: rasa nyeri pada kaki yang

sangat hebat dapat mengganggu tidur pasien di malam hari

b. Fungsi Adaptasi. Kelainan yang terjadi dan dirasakan pasien akibat penyakit

diabetes melitus yang dideritanya memerlukan pengetahuan, agar pasien

(38)

c. Fungsi Perbaikan. Keluhan yang dirasakan pada pasien diabetes melitus

memerlukan penjelasan sehingga pasien mau dan mampu menggali potensi

dirinya untuk mengurangi keluhan yang ada.

d. Fungsi Pengembangan. Konseling dapat menambah pengetahuan dan

meningkatkan kemampuan pasien dalam mengenal dan mengatasi masalah

kesehatannya.

Konseling yang dilakukan dalam penelitian ini mengharapkan adanya

perubahan perilaku perawatan kaki penderita diabetes melitus, sehingga

komplikasi diabetes melitus pada kaki dapat dihindarkan.

2.1.3. Konseling Kelompok

Pada awalnya pelaksanaan konseling dilakukan secara perorangan antara

konselor dan klien. Sejalan dengan perkembangan ilmu tentang konseling dan

penerapannya di berbagai bidang, maka terciptalah konsep konseling kelompok.

Konseling kelompok adalah proses konseling yang dilakukan seorang konselor

dengan beberapa orang klien dalam waktu bersamaan yang membicarakan satu

permasalahan (Lubis, 2011).

Menurut Latipun dalam Lubis (2011), konseling kelompok adalah suatu

bentuk konseling yang membantu beberapa klien normal yang diarahkan untuk

mencapai fungsi kesadaran secara afektif, yang dilakukan dalam jangka pendek

atau menengah.

(39)

memiliki permasalahan yang sama, menurut Wiener, konseling kelompok

bertujuan sebagai media terapeutik bagi klien/pasien, karena dapat meningkatkan

pemahaman diri dan merubah perilaku individual. Sementara George dan

Christiani menyatakan konseling kelompok dapat dimanfaatkan sebagai proses

belajar dan upaya untuk menolong klien/pasien dalam memecahkan masalahnya

(Lubis, 2011). Menurut Corey (2012), konseling kelompok dapat digunakan untuk

tujuan terapeutik atau pendidikan atau kombinasi keduanya. Konseling kelompok

dapat menjadi media yang dapat memberikan pemahaman dan dukungan, yang

mendorong para anggota untuk mengeksplorasi permasalahan mereka satu sama

lain. Dalam suasana yang mendukung inilah, anggota

2.1.3.1.

dapat menambah

pengetahuan dan contoh perilaku yang dapat diterapkan oleh masing-masing

anggota kelompok (Corey, 2012).

Jenis Konseling Kelompok

a.

Konseling kelompok dapat dibentuk berdasarkan populasi tertentu,

seperti : kelompok anak-anak, orang dewasa, pelajar dan orang tua.

Konseling Kelompok Anak-anak

Biasanya ditujukan pada anak-anak yang berperilaku agak berlebihan

dibandingkan teman-teman seusianya, seperti sering berkelahi, tidak dapat

bersosialisasi dengan teman-temannya ataupun berprestasi rendah di

sekolah. Berkumpul dalam satu kelompok kecil dapat membuat anak-anak

mengekspresikan perasaan dan pikirannya sehingga dapat diketahui

(40)

b. Konseling Kelompok Remaja

c.

Didalam kelompok ini, remaja dapat mengeksplorasi perasaan yang

bertentangan dengan nilai-nilai yang ada, saling berkomunikasi dan

mendengarkan keluhan-keluhan teman sebayanya, sehingga mereka dapat

saling membantu dan menguatkan serta meningkatkan kepercayaan diri.

Konseling Pelajar dan Mahasiswa

d.

Konseling kelompok dapat membantu para pelajar ataupun mahasiswa yang

mempunyai kendala dalam penyelesaian studi mereka.

Konseling Lansia

Hampir sama dengan remaja, konseling kelompok dapat meningkatkan

kepercayaan diri para lansia yang sering merasa tidak produktif lagi, tidak

diperlukan dan tidak diinginkan sehingga menimbulkan depresi

2.1.3.2.

Prosedur teknik dan proses konseling kelompok juga dipergunakan

berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, seperti : psikoterapi (untuk gangguan

emosional dan perilaku), psikoedukasi (edukasi dan pengobatan, seperti kelompok

penderita HIV ) dan kelompok tugas (Corey, 2012).

Manfaat Konseling Kelompok

Menurut Corey (2012) di dalam

1.

Theory & Practice of Group Counseling,

konseling kelompok dapat bermanfaat untuk :

Meningkatkan kesadaran dan pengetahuan diri dan menumbuhkan identitas

(41)

2. Menumbuhkan rasa kebersamaan anggota yang memiliki permasalahan yang

sama.

3. Membantu anggota belajar bagaimana membangun hubungan yang berarti dan

4.

Akrab.

Membantu anggota dalam menemukan sumber daya dalam komunitas mereka

sebagai cara untuk

5.

mengatasi permasalahan mereka.

Meningkatkan penerimaan diri, kepercayaan diri, harga diri, dan untuk

mencapai pandangan baru tentang diri sendiri dan

6.

orang lain.

Mempelajari cara untuk mengekspresikan emosi seseorang

7. Menemukan cara alternatif dalam menangani masalah perkembangan normal

ataupun konflik tertentu.

dengan cara yang

sehat.

8. Meningkatkan pengarahan diri sendiri, saling ketergantungan, dan tanggung

jawab terhadap diri sendiri dan orang lain.

9. Membantu seseorang dalam mengambil keputusan dengan bijaksana.

10.Membuat suatu rencana untuk mengubah

11.

perilaku tertentu.

Mempelajari keterampilan sosial

2.1.3.3.

yang lebih efektif.

Dalam pelaksanaannya, jumlah konseling kelompok bersifat fleksibel,

bergantung pada kemampuan konselor dan pertimbangan keefektifan proses dan

kondisi konseling yang ingin diciptakan konselor. Menurut Guez dan Allen

(2011), jumlah ideal dalam konseling kelompok tergantung dari usia anggota

(42)

kelompok, misalnya ; kelompok anak usia sekolah dapat terdiri dari 4-5 orang dan

kelompok remaja ataupun dewasa dapat terdiri dari 8-10 orang. Jumlah anggota

kelompok tidak telalu sedikit agar dapat tercipta interaksi tetapi tidak terlalu

banyak agar setiap anggota dapat telibat dalam diskusi kelompok (Unesco, 2011).

Menurut Yalom konseling kelompok dapat beranggotakan 4-12 orang

klien/pasien. Waktu pelaksanaan konseling kelompok tergantung kompleksitas

masalah yang akan dibahas. Tetapi secara umum konseling kelompok yang

bersifat jangka pendek berdurasi 60-90 menit per sesi. Menurut Latipun,

konseling kelompok pada umumnya dilaksanakan satu hingga dua kali dalam

seminggu seminggu. Jika dilakukan terlalu jarang, dikhawatirkan akan

menyebabkan banyak informasi dan umpan balik yang terlupakan (Lubis, 2011). .

Didalam pelaksanaannya, konseling kelompok di pimpin oleh seorang

konselor berperan dalam memfasilitasi interaksi antara anggota dan membantu

para anggota belajar satu sama lain.

2.1.4. Prinsip Konseling

Konseling kelompok tidak hanya terbatas

pada masalah kesehatan, tetapi juga dapat membantu menyelesaikan masalah

pendidikan, karir, sosial, dan lain sebagainya tergantung masalah yang dialami

oleh individu dalam kelompok tersebut.

Dalam membantu pasien diabetes melitus agar dapat memahami tindakan

yang mencegah timbulnya komplikasi pada kaki mereka, tenaga kesehatan

(43)

1. Pengajaran. Didalam hal ini, pasien mempunyai kesempatan untuk

mendapatkan informasi dan pengalaman dari petugas kesehatan selaku

konselor.

2. Nasihat dan Bimbingan. Konselor harus mempunyai keterampilan,

pengetahuan untuk memotivasi dan membimbing serta memberikan saran

pada pasien, agar permasalahan pasien dapat berkurang.

3. Tindakan Langsung. Konselor harus mempunyai pengetahuan, wawasan dan

pengalaman yang memadai untuk menghindari kemungkinan negatif dari

pasien yang tidak diharapkan.

4. Pengelolaan. Konselor harus memiliki keterampilan dalam mengelola emosi

pasien dan dirinya agar konseling dapat berjalan dengan efektif.

5. Konseling. Konseling dilaksanakan dalam suasana yang akrab dan nyaman

dengan memperhatikan privasi pasien.

Ada tiga pendekatan yang dapat dilakukan dalam proses pembelajaran

penderita diabetes melitus (Soegondo et all, 2011), yaitu :

1. Pendekatan ketaatan (compliance) edukasi. Cara ini bermaksud

mempengaruhi pasien untuk meningkatkan ketaatan pasien diabetes pada

rekomendasi terapi dan nasehat yang diberikan oleh tenaga kesehatan.

2. Pendekatan pemberian wewenang (empowerment). Tujuannya adalah

mempersiapkan penyandang diabetes melitus agar mampu membuat

keputusan perawatan diabetes mereka sendiri sehari-hari.

(44)

2.1.5. Konselor

Dalam konseling kesehatan, yang berperan sebagai konselor adalah tenaga

kesehatan, bisa dokter, perawat atau tenaga medis lainnya. Dasar konseling di

dalam Manuaba et all (2007) adalah hak penderita untuk menentukan nasib

dirinya sendiri, mendapat pelayanan adekuat dan menerima informasi yang

lengkap dan benar. Untuk dapat melakukan konseling diabetes yang baik, petugas

kesehatan perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Keterampilan sebagai konselor

2. Memiliki pengetahuan klinis tentang penyakit yang diderita pasien

Selain itu petugas kesehatan hendaknya menguasai tiga keterampilan

komunikasi, yaitu : (Basuki,2009)

1. Keterampilan melaksanakan komunikasi verbal dan non verbal

2. Keterampilan mengamati komunikasi verbal dan non verbal pasien

Dalam melaksanakan konseling kesehatan, seorang konselor dituntut

memiliki keterampilan sebagai berikut :

1. Mampu berempati kepada pasien

2. Dapat menciptakan rasa nyaman dalam hubungan dua arah.

3. Dapat menimbulkan rasa saling percaya yang membuat pasien merasa

nyaman untuk berkeluh kesah tentang penyakitnya.

4. Mampu mengenal hambatan sosio kultural setempat, agar tidak menjadi

(45)

6. Bersedia menjadi pendengar yang baik, dan bila bertanya secara baik dan

jelas

7. Mampu mengenali semua aspek kesehatan yang berhubungan dengan kondisi

penyakit pasien

8. Dapat memahami bahasa non verbal di balik ungkapan kata/kalimatnya,

gerak tubuh klien/pasien.

9. Mampu mengenali keinginan klien/pasien dan mengenali keterbatasan dirinya

sebagai penolong.

10. Dapat membuat klien/pasien bertanya dan mengeluarkan pendapat.

11. Menghormati hak klien/pasien sehingga sikap membantu lebih ditonjolkan.

12. Menjaga sikap selama berkomunikasi dengan pasien (bahasa tubuh) agar

tidak mengganggu komunikasi selama konseling, misalnya karena pasien

keliru mengartikan gerak tubuh, raut muka dan sikap dokter

Menurut Kaira dan Kaira (2010), konselor diabetes yang baik hendaknya

keahlian sebagai berikut:

C : Confident Competence, yaitu keahlian (pengetahuan yang berkaitan dengan

diabetes seperti; gejala, penanganannya, diet dan gaya hidup) dan

kemampuan untuk meyakinkan pasien untuk mau melakukan nasehat yang

diberikan melalui bahasa tubuh, dan sikap yang bersahabat.

A : Accessible Authenticity, maksudnya seorang konselor hendaklah orang yang

bersahaja, tidak sulit untuk dijumpai dan apa adanya, karena kebanyakan

(46)

Seorang konselor hendaklah tersenyum dengan hangat pada pasiennya, jika

melakukan bahasa tubuh yang kurang menyenangkan seperti menguap,

maka hendaklah ia minta maaf pada pasiennya.

R : Reciprocal Respect, maksudnya saling menghormati antara konselor dan

pasien, sehingga tercipta hubungan yang harmonis dalam komunikasi.

E : Expressive Empathy, maksudnya konselor dapat merasakan seperti apa yang

dirasakan pasien dan dapat berfikir dari sudut pandang pasien, sehingga

pasien merasa konselor dapat memahaminya.

S : Straightforward Simplicity, maksudnya dalam menyampaikan informasi

kepada pasien tidak bertele-tele, cukup dengan cara atau bahasa yang

sederhana dan mudah dimengerti.

Menurut Corey (2012), dalam pelaksanaan konseling secara berkelompok,

konselor juga hendaknya memiliki kemampuan seperti berikut ini :

1. Aktif mendengarkan, menaruh perhatian terhadap komunikasi verbal

dan non verbal klien tanpa sikap menghakimi. Hal ini sangat penting

untuk menimbulkan kepercayaan sehingga lebih banyak keterangan

yang dapat digali.

2. Mengulangi apa yang disampaikan klien guna memperjelas maksud

yang ingin disampaikan klien

3. Mengklarifikasi pernyataan dari klien yang dapat menimbulkan

(47)

4. Menyimpulkan hal-hal penting yang terjadi selama interaksi

kelompok

5. Menanyakan pertanyan yang dapat membuat klien dapat

mengeluarkan pendapat atau pengalamannya seperti pertanyaan apa

atau bagaimana yang berkaitan dengan perilaku klien terhadap suatu

masalah.

6. Menerangkan hal-hal yang dapat menjelaskan pemikiran, perasaan

dan perilaku

7. Memfasilitasi komunikasi langsung antara beberapa klien dalam

kelompok sehingga timbul kebersamaan anggota kelompok

8. Membatasi pembicaraan yang tidak sesuai topik diantara klien

9. Menetapkan tujuan dari konseling kelompok yang ingin dicapai.

10.Memberikan umpan balik dan sugesti kepada klien untuk menerapkan

perilaku baru

2.2. Media dan Pembelajaran 2.2.1. Konsep Media

Media berasal dari bahasa latin ”medium” yang secara harfiah berarti

“perantara” atau “pengantar” yang digunakan untuk menyampaikan pesan ke

penerima pesan. Definisi media menurut sebagian ahli adalah sebagai AECT

(Asociation Of Education And Communication Technologi) yaitu media sebagai

(48)

Heinich menyebut media sebagai perantara yang mengantar informasi antara

sumber dan penerima (Arsyad, 2007).

Menurut Depdiknas (2003), media pembelajaran adalah segala sesuatu

yang digunakan orang untuk menyampaikan pesan.Yang dimaksud sesuatu di sini

adalah apa saja yang bisa digunakan untuk menyampaikan pesan dapat berupa

lisan atau alat peraga yang mengisyaratkan maksud tertentu dan bisa dipahami

oleh orang yang menerima pesan (Kuswanto 2012).

Menurut Schramm (dalam Kuswanto 2012), media pembelajaran adalah

teknologi pembawa pesan yang dapat digunakan untuk pembelajaran. Sedangkan

menurut Kuswanto (2012) media pembelajaran adalah semua sarana yang dapat

dimanipulasikan untuk digunakan mempengaruhi / merangsang pikiran, perasaan,

perhatian dan sikap peserta didik (komunikan), sehingga mempermudah

terjadinya proses pembelajaran. Pemakaian media pembelajaran ini diharapkan

dapat meningkatkan efektivitas pembelajaran.

Media dalam promosi kesehatan dapat diartikan sebagai alat untuk

menyebarkan informasi atau memperlancar komunikasi, alat bantu untuk

mempromosikan kesehatan (Kholid,2012). Menurut Soekidjo (2005), media

promosi kesehatan adalah semua sarana/upaya yang digunakan komunikator

untuk menyampaikan pesan, baik itu media cetak, elektronik hingga media luar

ruang kepada sasaran, sehingga meningkat pengetahuannya dan akhirnya terjadi

(49)

Jadi foto, film, radio, televisi, rekaman audio, gambar yang diproyeksikan,

bahan cetakan dan sejenisnya adalah media yang disebut dengan media

komunikasi. Namun apabila media-media itu membawa pesan-pesan atau

informasi-informasi yang mengandung maksud pengajaran maka media itu

disebut dengan media pembelajaran (Arsyad,2007).

2.2.2. Jenis-jenis Media Pembelajaran

Berdasarkan bentuknya, jenis media pembelajaran dibagi menjadi

(Kholid,2011):

1. Media visual, contoh : grafik, diagram,chart, bagan, poster.

2. Media auditif, contoh : radio, tape, recorder, laboratorium bahasa dan

sejenisnya.

3. Projected still media, contoh : slide, OHP, in focus dan sejenisnya.

4. Projected motion media, contoh : film, televisi, video (VCD, DVD, VTR),

komputer dan sejenisnya.

Berdasarkan perkembangan teknologi (Arsyad,2007), media pembelajaran

terbagi dalam empat kelompok, yaitu :1) media hasil teknologi cetak, 2) media

hasil teknologi audio visual, 3) media hasil teknologi yang berdasarkan komputer

dan 4) media hasil gabungan teknologi cetak dan komputer.

Pengelompokan media seperti diatas memiliki kelebihan dan kekurangan

didalam penggunaannya masing-masing. Gerlach & Ely (dalam Arsyad, 2007)

(50)

1. Cirifixative

Ciri ini menggambarkan kemampuan media untuk merekam, menyimpan dan

merekonstruksi suaru peristiwa atau objek. Dengan kata lain, media

memungkinkan rekaman suatu peristiwa pada waktu tertentu ditampilkan

kembali di satu waktu. Media yang memiliki ciri ini antara lain ; fotografi,

video tape, audio tape dan film

2. Ciri manipulatif

Ilustrasi untuk menjelaskan kemampuan media disini adalah perubahan larva

menjadi kepompong sampai menjadi kupu-kupu yang memakan waktu

beberapa hari, dapat ditampilkan hanya dalam beberapa menit saja.

Penggunaan media disini dapat untuk mengedit bagian – bagian penting

saja yang ingin ditampilkan.

3. Ciri distributif

Ciri ini memungkinkan media memindahkan objek atau kejadian melalui

ruangan dan disajikan secara bersamaan kepada sejumlah audien.

Keberhasilam menggunakan media untuk meningkatkan hasil tergantung

dari tiga hal, yaitu : (1) isi pesan, (2) cara menyampaikan pesan, (3) karakteristik

penerima pesan. Kriteria pemilihan media harus disesuaikan dengan tujuan

pembelajaran atau kompetensi yang ingin dicapai. Jika tujuan yang diharapkan

agar audien dapat menghapal kata-kata, maka media audio yang menjadi pilihan.

(51)

cetak yang sebaiknya digunakan, tetapi jika tujuan pembelajaran agar audien

dapat menirukan gerakan atau aktivitas, maka media video yang menjadi pilihan.

2.2.3. Fungsi Media

Menurut Kholid dan Notoatmodjo (2012), media memiliki fungsi antara

lain :

1. Menimbulkan minat sasaran pengajaran

2. Dengan menggunakan media, sasaran pengajaran yang ingin dijangkau dapat

lebih banyak.

3. Media dapat mengatasi keterbatasan pemahaman audien , dimana media dapat

menyajikan hal yang dimaksud dalam bentuk nyata atau miniatur ataupun

gambar, yang dapat disajikan dalam bentuk audio visual atau audio

4. Mempermudah penyampaian pesan atau informasi ke sasaran.

5. Terdapat keseragaman pengamatan audien.

6. Media dapat menanamkan konsep dasar yang konkret dan realistis

7. Media dapat membangkitkan motivasi dan rasa ingin tahu yang lebih,

kemudian ingin mendalami dan akhirnya mendapatkan pengertian yang lebih

baik.

2.2.4. Media Promosi Kesehatan

Menurut Notoatmodjo (2012), media promosi kesehatan adalah media

yang menjadi saluran untuk menyampaikan informasi kesehatan, yang dapat

mempermudah penerimaan informasi kesehatan bagi masyarakat.

(52)

1. Mengajarkan ketrampilan dalam membaca menulis berbagai hal dalam

kesehatan

2. Meningkatkan aspirasi dibidang kesehatan

3. Menyebarluaskan informasi dibidang kesehatan

4. Sumber daya pengetahuan dalam kesehatan

5. Berpartisipasi dalam keputusan yang berkaitan dengan kesehatan

6. Membentuk perilaku hidup sehat dari statis ke dinamis

2.2.5. Proses Pembelajaran

Menurut Paivio, manusia memiliki dua sistem ingatan ; satu untuk

mengolah simbol-simbol verbal dan yang lainnya untuk mengolah simbol non

verbal. Artinya proses pembelajaran dengan mengunakan indera ganda ( pandang

dan dengar) akan memberikan keuntungan yang lebih optimal bagi audien.

Pendapat para ahli mengenai hal tersebut pun beragam. Perbandingan hasil belajar

melalui penglihatan dan pendengaran sangat jelas perbedaannnya. Menurut

Baugh hasil belajar yang diperoleh seseorang melalui penglihatan sebesar 90%,

dan hanya 5% melalui pendengaran, 5% lagi diperoleh melalui indera lain.

Sementara menurut Dale, perolehan hasil belajar melalui melalui penglihatan

berkisar 75%, melalui pendengaran 13% dan indera lainnya 12% (Arsyad, 2007).

Dikarenakan pasien DM hampir seluruhnya berusia dewasa, dan kelompok

ini yang ingin diberikan pembelajaran maka didalam pelaksanannya,

(53)

memuaskan. Berdasarkan hal diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa

penyampaian informasi kesehatan yang cocok adalah media visual atau audio

visual (video).

Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan

pengetahuan penderiata diabetes melitus (Soegondo et all,2011) :

1. Ceramah singkat. Dalam hal ini kebanyakan pasien berperan pasif.

2. Diskusi. Pasien dapat lebih berpartisipatif dan aktif dalam kegiatan ini, karena

mereka mempunyai kesempatan untuk mendapatkan informasi yang lebih

banyak. Jika diskusi yang dilakukan bersifat individual ataupun beberapa

orang dalam kelompok yang kecil, maka teknik konseling bisa dimasukkan

kedalam cara ini.

3. Peragaan. Berguna untuk pelatihan psikomotor dan keterampilan sosial.

4. Materi cetakan. Materi seperti ini dapat berupa leaflet, brosur ataupun poster.

Namun dalam pengamatan di klinik diabetes melitus, pasien tidak selalu

mengerti atau dapat memahami informasi diabetes yang tertulis di media

tersebut.

5. Alat bantu audiovisual seperti slide.film, video tentang diabetes melitus dan

komplikasinya dapat memperjelas informasi bagi penderita. Penggunaan alat

bantu audiovisual sangat membantu pasien yang tidak dapat belajar dengan

baik melalui membaca.

6. Permainan. Cara pembelajaran seperti ini lebih menyenangkan dan dapat

(54)

2.2.6. Media Audiovisual

Media yang menggunakan teknologi audio visual dalam penggunaanya

menggunakan mesin-mesin mekanis dan elektronik untuk menyampaikan pesan

audio dan visual (Arsyad, 2007).

Menurut Djamarah, media audiovisual adalah mempunyai unsur suara dan

gambar (dikutip dari Waryanto, 2007) dan terbagi dalam dua jenis :

• Audiovisual diam, yang menampilkan suara dan visual diam, seperti film

sound slide.

• Audiovisual gerak, yaitu media yang dapat menampilkan unsur suara dan

gambar yang bergerak, seperti film, video cassete dan VCD.

Menurut Punaji Setyosari & Sihkabuden (dikutip dari Kristanto, 2011),

video adalah media penyampai pesan, termasuk media audio visual atau media

pandang dengar. Sementara itu Hujair AH (dikutip dari Kristianto, 2011) media

video adalah seperangkat alat yang memproyeksikan gambar bergerak dimana

antar gambar dan suara mempunyai karakter yang sama dengan objek aslinya.

Menurut Ronal Anderson (dikutip dari Waryanto, 2007), media video adalah

rangkaian gambar elektronis yang disertai unsur suara dan juga unsur gambar

yang dituangkan melalui pita video. Media video ini juga memiliki kekurangan

dan kelebihan sebagai berikut :

Kelebihan media video :

(55)

3. Dapat menyajikan materi yang secara fisik tidak dapat dihadirkan di dalam

ruangan.

4. Dapat menyajikan objek secara detail dan dapat menyajikan objek yang

sifatnya berbahaya.

5. Dapat meningkatkan motivasi, menanamkan sikap dan segi afektif lainnya.

6. Dapat ditujukan kepada kelompok besar atau kecil, kelompok heterogen dan

homogen.

7. Sangat baik menjelaskan suatu proses dan keterampilan, mampu

menunjukkan rangsangan yang sesuai dengan tujuan dan respon yang

diharapkan.

8. Pesan yang disampaikan cepat dan mudah diingat.

Kelemahan media video :

1. Sukar untuk dapat direvisi jika ada kesalahan.

2. Memerlukan biaya yang relatif mahal.

3. Pada saat ditayangkan, gambar yang ditampilkan bergerak terus, sehingga

tidak semua audien dapat menangkap pesan yang ingin disampaikan melalui

media video tersebut.

4. Video yang tersedia tidak selalu sesuai dengan kebutuhan belajar yang

(56)

2.3. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi setelah seseorang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan yang terjadi

melalui panca indera manusia dan sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh

Gambar

Tabel 2.1. Perbedaan Motivasi, Penyuluhan dan Konseling
Tabel 2.2. Tipe Diabetes Melitus dan Penyebabnya
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
Tabel 3.1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner Pengetahuan dan                      Sikap
+7

Referensi

Dokumen terkait

Yang dimaksud BMN sesuai dengan pasal 1 butir 10 UU No 1 Tahun 2004 adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang

X1.3 Ketersediaan informasi pertanian.. Program pembangunan pertanian baru dengan paradigma yang baru menuntut partisipasi aktif petani sebagai prioritas utama dalam

Hasil penelitian ini bahwa BMT ANDA Salatiga dalam pengelolaan ZIS dibagi menjadi dua yaitu penghimpunan dana yang meliputi: zakat nasabah, zakat karyawan dan zakat BMT

[r]

[r]

[r]

Kaini :iampaikan bahwa nekanisme penyalura dana hibah akal dilakukan )nelalui perjanjiai kcriasama antara DRPM Diilcr) l,cnguaian RisbaDg Kenenristekdikti dengan PT

UPAYA MENINGKATKAN KEAKTIFAN BELAJAR SISWA MELALUI PENDEKATAN PEMBELAJARAN SCIENCE.. ENVERIONMENT TECNOLOGY AND SOCIENTY PADA MATA PELAJARAN IPA