EFEKTIVITAS KONSELING KELOMPOK DAN MEDIA PROMOSI KESEHATAN VIDEO TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN
DAN SIKAP PERAWATAN KAKI PENDERITA DIABETES MELITUS DI KLINIK DIABETES PUSKESMAS SERING MEDAN 2013
TESIS
Oleh
HARYATI LUBIS 117032139/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
THE EFFECTIVENESS OF GROUP COUNSELING AND HEALTH PROMOTION OF VIDEO MEDIA ON INCREASING THE
KNOWLEDGE AND ATTITUDE IN FOOT CARE OF DIABETES MELLITUS PATIENTS AT DIABETES
CLINIC OF SERING PUSKESMAS, MEDAN, IN 2013
THESIS
By
HARYATI LUBIS 117032139/IKM
MAGISTER OF PUBLIC HEATH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH
EFEKTIVITAS KONSELING KELOMPOK DAN MEDIA PROMOSI KESEHATAN VIDEO TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN
DAN SIKAP PERAWATAN KAKI PENDERITA DIABETES MELITUS DI KLINIK DIABETES PUSKESMAS SERING MEDAN 2013
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Oleh
HARYATI LUBIS 117032139/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Tesis : EFEKTIVITAS KONSELING KELOMPOK DAN MEDIA PROMOSI KESEHATAN VIDEO TERHADAP PENINGKATAN
PENGETAHUAN DAN SIKAP PERAWATAN KAKI PENDERITA DIABETES MELITUS DI KLINIK DIABETES PUSKESMAS SERING MEDAN 2013
Nama Mahasiswa : Haryati Lubis Nomor Induk Mahasiswa : 117032139
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Dr. dr. Wirsal Hasan, M.P.H) (Drs. Eddy Syahrial, M.S
Ketua Anggota
)
Dekan
Telah diuji
pada Tanggal : 19 Agustus 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. dr. Wirsal Hasan, M.P.H Anggota : 1. Drs. Eddy Syahrial, M.S
PERNYATAAN
EFEKTIVITAS KONSELING KELOMPOK DAN MEDIA PROMOSI KESEHATAN VIDEO TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN
DAN SIKAP PERAWATAN KAKI PENDERITA DIABETES MELITUS DI KLINIK DIABETES PUSKESMAS SERING MEDAN 2013
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Oktober 2013
ABSTRAK
Pengetahuan dan sikap penderita diabetes melitus tentang perawatan kakinya dapat memperkecil kemungkinan munculnya komplikasi kaki diabetes. Konseling yang dilakukan secara berkelompok dapat membantu meningkatkan pengetahuan dan sikap perawatan kaki penderita diabetes melitus melalui percakapan dan interaksi yang terjadi selama proses konseling. Media video merupakan media penyuluhan yang menarik dan merangsang lebih banyak indera. Tujuan penelitian ini adalah menilai apakah konseling kelompok atau media promosi kesehatan video yang lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap perawatan kaki penderita diabetes. Desain penelitian yang digunakan adalah quasi experimental design dengan jumlah sampel 60 orang, yang terdiri dari 30 orang mendapat perlakuan konseling kelompok dan 30 orang mendapatkan perlakuan penayangan video. Pengambilan sampel melalui
purposive sampling dan pengumpulan data menggunakan kuesioner yang dianalisis dengan paired t test untuk setiap perlakuan dan independent t test untuk menilai keefektivan masing-masing perlakuan. Penilaian terhadap pengetahuan dan sikap setelah masing-masing perlakuan memperlihatkan peningkatan yang bermakna setelah diuji dengan paired t test. Namun pada uji independent t test, konseling tidak menunjukkan penurunan nilai sikap yang bermakna pada saat segera setelah konseling dan seminggu setelah konseling. Hal ini yang menjadi dasar bagi peneliti merekomendasikan konseling secara berkelompok dalam pembelajaran bagi pasien diabetes melitus dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan sikap perawatan kaki.
ABSTRACT
The knowledge and attitude of diabetes mellitus patients about their foot care can decrease the possibility of the diabetic foot complication. A grouped counseling can help increase the knowledge and attitude about foot care of diabetes mellitus patients by conducting conversation and interaction during the process of counseling. Video is one of the counseling media which interests and stimulates the senses. The objective of the research was to know which one was more effective in increasing the knowledge and attitude in footcare of diabetes patients, whether health promotion through grouped counseling or through video media. The research used quasi experimental design. The samples consisted of 60 respondents: 30 of them were grouped in the counseling treatment and the other 30 respondents were grouped in the video display treatment. The samples were taken by purposive sampling technique. The data were gathered by using questionnaires which were analyzed by using paired t test for each treatment and independent t test for evaluating the effectiveness for each treatment. The evaluation of knowledge and attitude for each treatment indicated that there was significant increase after being tested by pair t test. On the other hand, the result of the independent t test indicated that counseling did not show any significant decrease in attitude, right after the counseling was done and a week after it was done. This result had caused the researcher to recommend that diabetes mellitus patients learn from a grouped counseling in order to improve their knowledge and attitude in foot care.
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya kepada Allah SWT yang telah melimpahkan karunia dan
hidayah-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan tesis dengan judul
“Efektivitas Konseling Kelompok dan Media Promosi Keshatan Video terhadap
Peningkatan Pengetahuan dan Sikap Perawatan Kaki Penderita Diabetes Melitus
di Klinik Diabetes Puskesmas Sering Medan 2013”. Tesis ini diajukan sebagai
salah satu persyaratan dalam menyelesaikan studi pada Program S2 Ilmu
Kesehatan masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara.
Banyak pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan dalam
penyusunan tesis ini, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis
menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga serta penghargaan kepada :
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
3. Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
4. Dr. dr. Wirsal Hasan,MPH selaku dosen pembimbing I yang telah banyak
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan pengarahan kepada
5. Drs. Eddy Syahrial, M.S selaku dosen pembimbing II yang telah banyak
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan pengarahan kepada
penulis dalam menyelesaikan tesis ini
6. Namora Lumongga Lubis, M.Sc, Ph.D selaku Dosen Penguji I yang telah
banyak memberikan saran, bimbingan dan arahan dalam penulisan tesis ini.
7. Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes selaku Dosen Penguji II yang telah banyak
memberikan saran, bimbingan dan arahan dalam penulisan tesis ini.
8. Seluruh dosen minat studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Program
Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, semoga ilmu pengetahuan yang
diberikan menjadi amal ibadah dan mendapat rahmat dari Allah SWT.
9. Kepala Puskesmas Sering Medan yang telah bersedia memberikan izin
penggunaan ruangan dan fasilitas lainnya selama proses penelitian,sehingga
penulis dapat menyelesaikan tesis ini
10.Temanku Syahdiana Sari yang sangat banyak membantu terlaksananya proses
kegiatan penelitian ini.
11.Suamiku yang tercinta Ramadhani Banurea, S.Si, M.Si, Ayah, Bunda dan Ibu
Mertua serta seluruh keluraga yang selalu memberikan doa, dukungan dan
semangat untuk penyelesaian pendidikan ini
12.Seluruh rekan – rekan seperjuangan di S2 IKM peminatan PKIP Angkatan
2011 atas segala dukungan, motivasi dan kebersamaannya
Peneliti menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk
itu segala saran yang membangun senantiasa diharapkan demi kesempurnaan tesis
ini. Akhir kata semoga tesis ini dapat bermanfaat dan semoga Allah SWT
meridhai kita semua.
Medan, Oktober 2013 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Haryati Lubis, lahir di Pekanbaru pada tanggal 9 Maret 1977, beragama
Islam, merupakan anak ke 1 dari 3 bersaudara dengan nama ayah H. M.Siddik
Lubis dan Ibu Hj. Hartati Nasution. Telah menikah dengan Ramadhani
Banurea,Ssi, Msi dan bertempat tinggal di Komplek Kejaksaan Medan.
Pendidikan formal diawali dari SD Negeri 001 Rumbai yang lulus pada
tahun 1989, kemudian melanjutkan ke SMP Cendana Rumbai yang diselesaikan
pada tahun 1992, setelah itu melanjutkan pendidikan ke SMA Cendana Rumbai
dan lulus tahun 1995. Pada tahun yang sama kemudian penulis melanjutkan
sekolah ke jenjang perguruan tinggi yakni Fakultas Kedokteran USU dan selesai
tahun 2002. Penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Strata 2
di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara dengan Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu
Perilaku yang berlangsung hingga saat ini.
Riwayat pekerjaan penulis diawali sebagai Dokter PTT di Pustu Desa
Besar Martubung Medan pada tahun 2003-2008, kemudian Dokter Umum di
Puskesmas Sering Medan dan Penanggung Jawab Klinik Diabetes Melitus di
DAFTAR ISI
Halaman
ASBTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang... ... 1
1.2 Permasalahan... .... 10
1.3 Tujuan Penelitian... .... 11
1.4 Hipotesis... ... 11
1.5 Manfaat Penelitian... .... 11
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 12
2.1Konseling... ... 12
2.1.1 Pengertian Konseling... .... 12
2.1.2 Tujuan dan Fungsi Konseling... ... 13
2.1.3 Konseling Kelompok... 16
2.1.3.1.Jenis Konseling Kelompok ... 17
2.1.3.2.Manfaat Konseling Kelompok ... 18
2.1.3.3. Pelaksanaan Konseling Kelompok ... 19
2.1.4 Prinsip Konseling... ... 20
2.1.5 Konselor... ... 22
2.2 Media Pembelajaran ... 25
2.2.1 Konsep Media... ... 25
2.2.2 Jenis-jenis Media Pembelajaran... ... 27
2.2.3 Fungsi Media... ... 29
2.2.4 Media Promosi Kesehatan... ... 29
2.2.5 Proses Pembelajaran... ... 30
2.2.6 Media Audiovisual... ... 32
2.3 Pengetahuan... 34
2.4 Sikap ... 35
2.5. Diabetes Melitus... ... 36
2.5.1. Kaki Diabetes... ... 40
2.5.2. Perawatan Kaki Diabetes... ... 41
2.5.3. Senam Kaki Diabetes... ... 43
2.6. Landasan Teori... ... 44
2.7. Kerangka Konsep Penelitian... ... 45
BAB 3. METODE PENELITIAN ... 46
3.1. Jenis Penelitian... .... 46
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian... ... 48
3.3. Populasi dan Sampel... ... 48
3.1.1 Populasi... ... 48
3.1.2 Sampel... ... 48
3.4 Metode Pengumpulan Data ... 49
3.4.1 Jenis Data... ... 49
3.4.2 Uji Validitas dan Reabilitas... ... 50
3.5 Variabel dan Defenisi Operasional... .... 52
3.6 Metode Pengukuran ... 53
3.7 Metode Analisa Data... ... 55
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 57
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 57
4.1.1 Gambaran Umum Klinik Diabetes Puskesmas Sering... . 57
4.1.2 Sumber Daya Puskesmas Sering... 58
4.2. Analisis Univariat... 58
4.2.1 Gambaran Karakteristik Responden... 59
4.2.1.1 Gambaran Karakteristik Responden Menurut Umur.. 59
4.2.1.2 Gambaran Karakteristik Responden Menurut Jenis Kelamin. ... 59
4.2.1.3 Gambaran Karakteristik Responden Menurut Tingkat Pendidikan... 60
4.2.1.4 Gambaran Karakteristik Responden Menurut Lama Mendertita DM... 60
4.2.2 Gambaran Pengetahuan Sebelum Konseling Kelompok, Segera Setelah Konseling Kelompok dan Seminggu Setelah Konseling Kelompok di Klinik Diabetes Puskesmas Sering.... 61
4.2.3 Gambaran Pengetahuan Sebelum Penayangan Video, Segera Setelah Penayangan Video dan Seminggu Setelah Penayangan Video di Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 65
Setelah Konseling Kelompok dan Seminggu Setelah Konseling
Kelompok... 86
4.3.2 Perbedaan Pengetahuan Sebelum Penayangan Video, Segera Setelah Penayangan Video dan Seminggu Setelah Penayangan Video ... 88
4.3.3 Perbedaan Sikap Sebelum Konseling Kelompok, Segera Setelah Konseling Kelompok dan Seminggu Setelah Konseling Kelompok ... 90
4.34 Perbedaan Pengetahuan Sebelum Penayangan Video, Segera Setelah Penayangan Video dan Seminggu Setelah Penayangan Video. ... 91
4.4. Hubungan Lama Menderita Diabetes dengan Ketertarikan terhadap Perlakuan ... 93
4.4.1 Hubungan Lama Menderita DM dengan Postes Pengetahuan Dan Sikap Konseling Kelompok ... 93
4.4.2 Hubungan Lama Menderita DM dengan Postes Pengetahuan Dan Sikap Video ... 94
4.5. Efektivitas Pengetahuan dan Sikap Responden Antara Kelompok Konseling dan Kelompok Video ... 95
4.4.1 Pengetahuan ... 95
4.4.2 Sikap ... 95
BAB 5. PEMBAHASAN ... 97
5.1. Hubungan Lama Menderita DM dengan Perlakuan... ... 97
5.2. Pengetahuan dan Sikap Responden Sebelum Konseling Kelompok Dan Video... 97
5.3. Pengetahuan dan Sikap Responden Setelah Konseling Kelompok Dan PenayanganVideo... 99
5.3.1 Pengetahuan... 99
5.3.2 Sikap... 101
5.4. Pengetahuan dan Sikap Responden Seminggu Setelah Konseling Kelompok dan Penayangan Video... 102
5.4.1 Pengetahuan... .... 102
5.4.2 Sikap... 104
5.5. Keterbatasan Penelitian... 105
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 107
6.1. Kesimpulan ... 107
6.2. Saran ... 108
DAFTAR PUSTAKA ... 109
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
2.1 Perbedaan Motivasi, Penyuluhan dan Konseling... 13
2.2 Tipe Diabetes Melitus dan Penyebabnya ... 36
3.1 Hasil Uji Validitas dan Realibilitas Kuesioner Pengetahuan dan Sikap . 51
3.2 Variabel dan Defenisi Operasional ... 55
4.1 Distribusi Frekwensi Responden Berdasarkan Umur Pasien Diabetes di Klinik Diabetes Puskesmas Sering Tahun 2013 ... 59
4.2 Distribusi Frekwensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Pasien
Diabetes di Klinik Diabetes Puskesmas Sering Tahun 2013 ... 59
4.3 Distribusi Frekwensi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Pasien Diabetes di Klinik Diabetes Puskesmas Sering Tahun 2013 ... 60
4.4 Distribusi Frekwensi Responden Berdasarkan Lama Pasien Menderita Diabetes di Klinik Diabetes Puskesmas Sering Tahun 2013 ... 60
4.5 Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Pengetahuan Sebelum
Konseling Kelompok di Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 61
4.6 Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Pengetahuan Segera
Setelah Konseling Kelompok di Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 62
4.7 Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Pengetahuan Seminggu
Setelah Konseling Kelompok di Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 63
4.8 Distribusi Frekwensi Responden Berdasarkan Indikator Pengetahuan SebelumKonseling Kelompok , Segera Setelah Konseling Kelompok dan Seminggu Setelah Konseling Kelompok di Klinik Diabetes
Puskesmas Sering Tahun 2013 ... 64
4.10 Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Pengetahuan Segera
Setelah Penayangan Video di Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 66
4.11 Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Pengetahuan Seminggu
Setelah Penayangan Video di Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 67
4.12 Distribusi Frekwensi Responden Berdasarkan Indikator Pengetahuan Sebelum Penayangan Video, Segera Setelah Penayangan Video dan Seminggu SetelahPenayangan Video di Klinik Diabetes Puskesmas
Sering ahun 2013 ... 68
4.13 Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Sikap Sebelum Konseling Kelompok di Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 69
4.14 Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Sikap Segera Setelah Konseling Kelompok di Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 71
4.15 Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Sikap Seminggu Setelah Konseling Kelompok di Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 73
4.16 Distribusi Frekwensi Responden Berdasarkan Indikator Sikap Sebelum Konseling Kelompok, Segera Setelah Konseling Kelompok dan
Seminggu Setelah Konseling Kelompok di Klinik Diabetes Puskesmas Sering Tahun 2013 ... 76
4.17 Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Sikap Sebelum
PenayanganVideo di Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 77
4.18 Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Sikap Segera Setelah
Penayangan Video di Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 80
4.19 Distribusi Responden Berdasarkan Indikator Sikap Seminggu Setelah Penayangan Videodi Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 82
4.20 Distribusi Frekwensi Responden Berdasarkan Indikator Sikap Sebelum Penayangan Video, Segera Setelah Penayangan Video dan Seminggu SetelahPenayangan Videodi Klinik Diabetes Puskesmas Sering ... 85
4.21 Perbedaan Pengetahuan Responden Sebelum dan Segera Setelah
Konseling Kelompok Perawatan Kaki Diabetes ... 86
Konseling Kelompok Perawatan Kaki Diabetes ... 87
4.23 Perbedaan Pengetahuan Responden Segera Setelah dan Seminggu
Setelah Konseling Kelompok Perawatan Kaki Diabetes ... 87
4.24 Perbedaan Pengetahuan Responden Sebelum dan Segera Setelah
Penayangan Video Perawatan Kaki Diabetes ... 88
4.25 Perbedaan Pengetahuan Responden Sebelum dan Seminggu Setelah
Penayangan Video Perawatan Kaki Diabetes ... 88
4.26 Perbedaan Pengetahuan Responden Segera Setelah dan Seminggu
Setelah Penayangan Video Perawatan Kaki Diabetes ... 89
4.27 Perbedaan Sikap Responden Sebelum dan Segera Setelah Konseling
Kelompok Perawatan Kaki Diabetes ... 90
4.28 Perbedaan Sikap Responden Sebelum dan Seminggu Setelah Konseling Kelompok Perawatan Kaki Diabetes ... 90
4.29 Perbedaan Sikap Responden Segera Setelah dan Seminggu Setelah
Konseling Kelompok Perawatan Kaki Diabetes ... 91
4.30 Perbedaan Sikap Responden Sebelum dan Segera Setelah Penayangan Video Perawatan Kaki Diabetes ... 91
4.31 Perbedaan Sikap Responden Sebelum dan Seminggu Setelah
PenayanganVideo Perawatan Kaki Diabetes ... 92
4.32 Perbedaan Sikap Responden Segera Setelah dan Seminggu Setelah
Penayangan Video Perawatan Kaki Diabetes ... 92
4.33 Hubungan Lama Menderita DM dengan Konseling Kelompok ... 94
4.34 Hubungan Lama Menderita DM dengan Video ... 94
4.35 Perbedaan Pengetahuan Responden antara Kelompok Konseling dan
Kelompok Video ... 95
4.36 Perbedaan Sikap Responden antara Kelompok Konseling dan
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
2.1 Landasan Teori ... 45
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Halaman
1. Kuesioner Penelitian ... 114
2. Hasil Uji Validitas dan Realibilitas ... 117
3. Hasil Analisis Univariat dan Bivariat ... 120
4. Gambar Bantu Konseling ... 148
5. Bahan Video Perawatan Kaki Diabetes ... 150
6. Master Data ... 153
ABSTRAK
Pengetahuan dan sikap penderita diabetes melitus tentang perawatan kakinya dapat memperkecil kemungkinan munculnya komplikasi kaki diabetes. Konseling yang dilakukan secara berkelompok dapat membantu meningkatkan pengetahuan dan sikap perawatan kaki penderita diabetes melitus melalui percakapan dan interaksi yang terjadi selama proses konseling. Media video merupakan media penyuluhan yang menarik dan merangsang lebih banyak indera. Tujuan penelitian ini adalah menilai apakah konseling kelompok atau media promosi kesehatan video yang lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap perawatan kaki penderita diabetes. Desain penelitian yang digunakan adalah quasi experimental design dengan jumlah sampel 60 orang, yang terdiri dari 30 orang mendapat perlakuan konseling kelompok dan 30 orang mendapatkan perlakuan penayangan video. Pengambilan sampel melalui
purposive sampling dan pengumpulan data menggunakan kuesioner yang dianalisis dengan paired t test untuk setiap perlakuan dan independent t test untuk menilai keefektivan masing-masing perlakuan. Penilaian terhadap pengetahuan dan sikap setelah masing-masing perlakuan memperlihatkan peningkatan yang bermakna setelah diuji dengan paired t test. Namun pada uji independent t test, konseling tidak menunjukkan penurunan nilai sikap yang bermakna pada saat segera setelah konseling dan seminggu setelah konseling. Hal ini yang menjadi dasar bagi peneliti merekomendasikan konseling secara berkelompok dalam pembelajaran bagi pasien diabetes melitus dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan sikap perawatan kaki.
ABSTRACT
The knowledge and attitude of diabetes mellitus patients about their foot care can decrease the possibility of the diabetic foot complication. A grouped counseling can help increase the knowledge and attitude about foot care of diabetes mellitus patients by conducting conversation and interaction during the process of counseling. Video is one of the counseling media which interests and stimulates the senses. The objective of the research was to know which one was more effective in increasing the knowledge and attitude in footcare of diabetes patients, whether health promotion through grouped counseling or through video media. The research used quasi experimental design. The samples consisted of 60 respondents: 30 of them were grouped in the counseling treatment and the other 30 respondents were grouped in the video display treatment. The samples were taken by purposive sampling technique. The data were gathered by using questionnaires which were analyzed by using paired t test for each treatment and independent t test for evaluating the effectiveness for each treatment. The evaluation of knowledge and attitude for each treatment indicated that there was significant increase after being tested by pair t test. On the other hand, the result of the independent t test indicated that counseling did not show any significant decrease in attitude, right after the counseling was done and a week after it was done. This result had caused the researcher to recommend that diabetes mellitus patients learn from a grouped counseling in order to improve their knowledge and attitude in foot care.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit yang prevalensinya
meningkat dari tahun ke tahun. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2005)
melansir angka kesakitan akibat diabetes didunia mencapai 171 juta pada tahun
2000 dan diperkirakan akan mencapai 366 juta pada tahun 2030 (Depkes, 007).
Sementara itu di Indonesia sendiri, WHO memprediksikan peningkatan penderita
diabetes melitus sekitar 12,9 juta dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar
21,3 juta pada tahun 2030 (Depkes, 2008).
Data statistik WHO juga memperkirakan jumlah penderita diabetes
melitus di beberapa negara berkembang cenderung meningkat dan Indonesia
menduduki peringkat keempat dunia untuk jumlah penderita diabetes melitus
setelah India, China dan Amerika Serikat. Namun jika dilihat dari persentase
pertumbuhannya hingga sampai tahun 2030, maka Indonesia menduduki
peringkat ketiga setelah Bangladesh dan Pakistan. Hal ini mungkin dipengaruhi
kemajuan teknologi dan perubahan gaya hidup dimasa sekarang ini. Konsumsi
makanan berlemak dan kurang serat sudah menjadi trend di sebagian besar
kalangan masyarakat kita. Kemajuan teknologi yang mempermudah aktivitas dan
mobilisasi masyarakat ditambah dengan kesibukan yang semakin padat membuat
Prevalensi diabetes melitus di Indonesia pada penduduk usia > 15 tahun
sekitar 5,7% dengann provinsi yang terbanyak adalah Maluku Utara dan
Kalimantan Barat, masing-masing 11,1%. Sementara itu, prevalensi nasional
untuk Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) 10,2%. Diabetes lebih banyak
dijumpai pada perempuan (6,4%) dibanding laki-laki (4,9,%), demikian juga TGT
pada perempuan (11,5%) lebih tinggi dibanding laki-laki (8,7%). Prevalensi
diabetes melitus dan TGT di Sumatera Utara adalah 5,3% dan 11,3%. Membuat
Sumatera Utara berada di posisi kelima untuk TGT dari seluruh provinsi di
Indonesia Dan ini (Riskesdas,2007). Data dari subdin Penyakit Tidak Menular
(PTM) Dinas Kesehatan Kota Medan, kunjungan pasien diabetes di seluruh
puskesmas di Kota Medan pada tahun 2011 sebanyak 25461 pasien dan tahun
2012 sebanyak 27390 pasien, menduduki peringkat kedua penyakit tidak menular
setelah hipertensi.
Diabetes Melitus jika tidak ditangani dengan benar akan dapat
menimbulkan berbagai macam komplikasi, seperti: gagal ginjal, penyakit jantung,
stroke, kebutaan serta kelainan bentuk dan infeksi pada kaki. Para ahli diabetes
telah mulai memperkenalkan masalah kaki diabetes di Inggris dan di beberapa
negara eropa pada tahun 1990. Menyadari pentingnya masalah kaki diabetes,
Federasi Diabetes Internasional juga memilih tema “Put Feet First, Prevent
Amputations” pada hari Diabetes tahun 2005 (Soegondo & Soekardji, 2008 dan
Prevalensi penderita ulkus diabetika di Indonesia sekitar 15%, angka
amputasi 30%, angka mortalitas 32% dan ulkus diabetika merupakan sebab
perawatan rumah sakit yang terbanyak sebesar 80% untuk diabetes melitus. Data
di Ruang Perawatan Penyakit Dalam RS Ciptomangunkusumo tahun 2007
menunjukan, dari 111 pasien diabetes melitus yang dirawat dengan masalah kaki
diabetik, angka amputasi mencapai 35%, terdiri atas 30% amputasi mayor dan
70% amputasi minor. Jumlah angka kematian akibat amputasi tersebut sekitar
15%. Sayangnya, data 2010-2011 justru memperlihatkan peningkatan angka
amputasi menjadi 54%. Sebagian besar merupakan amputasi minor, yakni bagian
bawah pergelangan kaki sebanyak 64,7%, dan amputasi mayor sejumlah 35,3%
(www.pdpersi.co.id). Pasien diabetes dengan komplikasi pada kaki juga dijumpai
di Klinik Diabetes Melitus (DM) Puskesmas Sering. Pasien termuda yang
mengalami komplikasi di kaki berusia 40 tahun dan sudah meninggal dunia.
Kebanyakan pasien diabetes yang berobat ke puskesmas ke tidak mengetahui
gejala dan komplikasi diabetes pada kaki, selain itu proses penyembuhan ulkus di
kaki yang lama penyembuhannya, menimbulkan suatu pemikiran bagaimana cara
menambah pengetahuan dan menimbulkan kesadaran pasien untuk mencegah
komplikasi tersebut.
Pasien dengan penyakit kronis memerlukan konseling untuk membantu
mereka menangani penyakit dan mencegah komplikasinya dalam kehidupan
sehari-hari. Hal ini merupakan tantangan bagi petugas pelayanan kesehatan karena
konseling individu yang dilakukan oleh para dokter di pelayanan kesehatan dasar
di Swiss terhadap pasien diabetes mengenai gaya hidup kepada mereka
menghasilkan kontrol glikemik yang lebih baik dan perbaikan kualitas hidup
(Seboa et all. 2006). Selain itu, penelitian yang dilakukan Palaian dkk dari
Departement Farmasi Universiatas Manipal di RS. Kartuba India tentang
konseling individual yang dilaksanakan pada sebagian pasien diabetes type 2
menunjukkan hasil yang signifikan terhadap peningkatan skor pengetahuan, tetapi
tidak untuk sikap dan tindakan. Konseling yang dilakukan dalam penelitian ini
terdiri dari empat tahapan, yaitu pada saat opname, saat akan pulang
meninggalkan rumah sakit, dan dua kali kunjungan rutin kontrol ulang dalam
waktu dua bulan setelah opname dengan interval kunjungan selama 1 bulan.
Konseling mengenai penyakit, gaya hidup, konsumsi obat dan penggunaan insulin
yang dilakukan disini berdurasi 30 – 60 menit selama kunjungan dengan petugas
farmasi (Palain et all, 2006).
Penelitian yang dilakukan Malathy dkk selama lebih dari 9 bulan, di 2
rumah sakit spesialis dan 1 klinik diabetes di Erode India Selatan, menyimpulkan
bahwa konseling individu merupakan elemen yang penting dalam program
penanganan diabetes. Hal ini terlihat dari hasil yang signifikan pada penurunan
kadar gula puasa dan lipid profile pasien diabetes setelah mendapat konseling.
Penilaian dari kuesioner tentang memperlihatkan hasil yang signifikan dari
kunjungan dibandingkan kelompok kontrol yang mendapatkan perlakukan
konseling dan diberi leaflet oleh petugas pada akhir penilaian saja. Konseling ini
dilakukan selama 3 bulan dengan interval tiap konseling sebulan, dengan durasi
konseling yang dilakukan berkisar 20-25 menit setiap kali kunjungan (Malathy et
all, 2011).
Konseling sudah menjadi bagian dari penangan pasien diabetes dan
penyakit kronis lainnya. Satpute dkk melakukan penilaian dampak dari konseling
individu mengenai nutrisi dan aktivitas fisik terhadap pasien diabetes type 2 di
RS.Indira Gandhi India yang dilakukan pada saat kunjungan pasien ke rumah
sakit setiap bulannya selama 3 bulan. Dari hasil penilaian didapatkan bahwa
konseling memberikan efek yang signifikan terhadap penurunan kadar gula darah
puasa dan post prandial, HbA1c, BMI, LDL dan trigliserida serta peningkatan
HDL pasien. Di Indonesia, Razak (2010) yang melakukan penelitian terhadap
perilaku makan dan status gizi penderita HIV/AIDS dengan metode konseling
individu di RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Makasar, mendapatkan kesimpulan
bahwa konseling yang dilakukan selama 4 minggu dengan durasi 60-90 menit
dengan intervensi LCD dan food model, efektif meningkatkan perilaku, asupan
makan dan status gizi penderita HIV/AIDS.
Penelitian yang dilakukan Rurik dkk (2010) di pelayanan kesehatan dasar
di Hungaria pada 47 orang pasien diabetes menggunakan metode konseling
kelompok dan individual mengenai pengaturan diet. Pasien diabetes yang
grup yang terdiri dari 6-8 orang ( maksimal 10 orang). Konseling yang dipandu
oleh ahli gizi ini dilakukan selama 90 menit, dalam dua kali pertemuan dengan
interval pertemuan dua minggu dimana diskusi mengenai pengalaman pasien di
sesi kedua. Konseling individual yang diikuti 24 orang dilakukan sebanyak tiga
sesi pertemuan, dimana ahli gizi mengumpulkan data pasien dalam dua kali
pertemuan dengan durasi konseling 1 jam. Hasil pengukuran FGB dan HbA1c
yang dilakukan 1- 2 bulan setelah konseling pada seluruh pasien yang mengikuti
konseling kelompok mengalami penurunan yang lebih nyata daripada pasien yang
mengikuti konseling individual. Namun pada pengukuran yang dilakukan setahun
setelah konseling, kadar FGB pasien dengan konseling individu lebih rendah dari
pada pasien yang mengikuti konseling kelompok. Hal ini kemungkinan
disebabkan pada konseling individu, pasien mendapatkan motivasi pribadi selama
proses konseling.
Pada penelitian yang dilakukan Murphy dkk di Toronto pada tahun 2004
tentang edukasi nutrisi pada sekelompok ibu hamil dengan diabetes yang
dilakukan dengan konseling kelompok kecil (2-4 orang) dan individual,
didapatkan peningkatan pengetahuan yang signifikan pada kedua kelompok
setelah konseling, tetapi tidak ada perbedaan yang berarti diantara kedua
perlakuan. Penanganan penyakit diabetes dalam bentuk kelompok juga dilakukan
di Afrika Selatan yang dilaksanakan di 45 pusat kesehatan masyarakat di Cape
program ini satu kelompok terdiri dari 10-15 orang. Materi diberikan dalam 4 sesi
pertemuan dengan durasi 20-60 menit per sesi, dimana dalam setiap pertemuan
membahas topik yang berbeda. Dalam penelitian ini tidak dilakukan analisa data
secara statistik, namun didapatkan kesimpulan bahwa, intervensi dalam bentuk
kelompok dapat mempengaruhi self efficacy penderita diabetes, menstabilkan
tekanan darah, menurunkan berat badan dan HbA1c serta meningkatkan kualitas
hidup dibandingkan kelompok kontrol yang mendapatkan perawatan dan saran
pada saat konsultasi biasa ataupun percakapan di ruang tunggu pasien (Mash
dkk,2012).
Penelitian dengan metode konseling kelompok juga dilakukan oleh Lubis
dan Othman di Medan pada tahun 2011. Dalam penelitian ini , peneliti menilai
dampak kelompok Cognitive Behavorial Theraphy (CBT) dan kelompok
dukungan sosial dalam mengatasi gangguan sikap menghargai diri sendiri pada
penderita kanker payudara dengan menggunakan kelompok kontrol. Penelitian
yang melibatkan 15 orang penderita kanker payudara ini, dilaksanakan dalam 12
sesi dengan interval pertemuan satu minggu dan durasi kegiatan berkisar 120
menit. Dalam penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwa nilai rata-rata kedua
kelompok mengalami peningkatan yang sgnifikan, dengan nilai CBT lebih tinggi
daripada nilai dukungan sosial dan kelompok kontrol.
Proses penyampaian informasi atau penyuluhan mengenai penyakit dan
penanganannya merupakan bagian dari pembelajaran / pendidikan bagi pasien.
diabetisi dapat menjalani kehidupan sehari-harinya seperti orang normal walau
menderita diabetes melitus. Dalam proses penyampaian informasi atau
penyuluhan, tenaga kesehatan sering menggunakan media untuk mempermudah
pasien mengerti tentang informasi yang disampaikan. Seperti penelitian yang
dilakukan Rahmawati dkk pada tahun 2007 di Kabupaten Kota Waringin Provinsi
Kalimantan Barat, penggunaan media audio visual dalam penyuluhan ternyata
meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku ibu yang memiliki balita gizi
kurang dan buruk. Penelitian ini bersifat quasi eksperimen terhadap 15 orang
responden dengan rancangan pretest-postest dengan control group design,
dimana responden diberikan intervensi penyuluhan sebanyak 3 kali, mulai dari
pretest sampai dengan postest. Satu minggu setelah penyuluhan yang pertama,
dilakukan postest terhadap responden. Penyuluhan yang kedua diulang 10 hari
sebelum dilaksanakan postest yang kedua, dan perlakukan penyuluhan yang
ketiga diualng 10 hari sebelum post test yang ketiga. Peneliti melakukan
pengulangan hanya tiga kali dikarenakan menurut Watson dkk (1984) di dalam
Social Psychology–Science and Application, individu akan bosan dan dapat
menolak pesan jika penyampaiannya lebih dari tiga kali. Dari hasil penelitian
didapatkan peningkatan yang signifikan terhadap nilai pengetahuan dan perilaku
ibu tentang gizi kurang/buruk dengan penggunaan media audio visual, tetapi
peningkatan nilai sikap tidak signifikan.
pengetahuan yang lebih tinggi pada pasien tuberkulosis yang mendapatkan
penyuluhan dengan media audio visual dibandingkan dengan media cetak
(Kumboyo, 2011). Sementara itu, penelitan yang dilakukan Sitepu Anhela
mengenai pengetahuan dan sikap ibu tentang penyakit pneumoni pada balita di
Kabupaten Stabat dengan metode ceramah dengan VCD dan metode ceramah
tanpa VCD, menghasilkan peningkatan pengetahuan dan sikap yang bermakna
kelompok ceramah dengan VCD dan kelompok ceramah tanpa VCD pada postest
yang dilakukan setelah selesai perlakuan maupun seminggu setelah perlakuan.
Namun terdapat penurunan skor pengetahuan dan sikap yang lebih besar dan
bermakna pada kelompok ceramah tanpa VCD dibandingkan kelompok ceramah
dengan VCD yang juga mengalami penurunan, tetapi tidak bermakna pada postest
yang dilakukan seminggu setelah perlakuan.
Dari pemaparan diatas, peneliti merasa penting melakukan penelitian
dengan menggunakan metode konseling kelompok dan penayangan video untuk
meningkatkan pengetahuan dan sikap perawatan kaki penderita diabetes di klinik
DM Puskesmas Sering, dengan dasar pemikiran ; 1) Kebanyakan pasien yang
berobat ke puskesmas berpenghasilan menengah kebawah dan tidak memiliki
kartu asuransi kesehatan, 2) dalam pengamatan peneliti selama ini, pasien tidak
merasa bosan jika harus menunggu giliran karena mereka dapat saling bercerita
dan bertukar pengalaman dan jika dokter memberikan penjelasan pada salah satu
pasien, pasien yang lain juga tertarik untuk mendengarkan karena merasa senasib
beberapa pasien sekaligus, 3) sebagian pasien datang dan pulang bersama-sama
dengan temannya sesama penderita diabetes, 4) dari segi waktu pelaksanaan dan
pembiayaan, konseling kelompok lebih efisien daripada konseling individu, 5)
konseling kelompok dapat menjadi media terapeutik pasien, 6) konseling
kelompok dapat meningkatkan pemahaman pasien tentang manfaat tindakan
pencegahan penyakit, sehingga timbulnya kompliksi penyakit yang memerlukan
banyak biaya dapat dihindarkan.
Selain itu, peneliti juga merasa perlu meneliti manfaat penggunaan media
video dalam menyampaikan informasi perawatan kaki bagi penderita diabetes
juga, karena selain pemanfaatan media video dalam kegiatan penyuluhan bagi
penderita diabetes di puskesmas belum pernah dilakukan, media video juga
memerankan dua fungsi yaitu; memperbaiki proses alih informasi (terutama
proses kognitif) dan memperkuat motivasi untuk perubahan (Van den Ban ,dikutip
dari Benunur, 2006).
1.2. Permasalahan
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti ingin mengetahui apakah
konseling kelompok ataukah penyuluhan dengan media video yang lebih efektif
untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap perawatan kaki penderita diabetes di
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menilai efektivitas konseling kelompok dan
media promosi kesehatan video dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap
perawatan kaki penderita diabetes di Klinik Diabetes Puskesmas Sering Kota
Medan tahun 2013.
1.4. Hipotesis
1. Ada perbedaan rata-rata peningkatan pengetahuan dan sikap perawatan kaki
penderita diabetes di Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering sebelum dan
sesudah konseling kelompok.
2. Ada perbedaan rata-rata peningkatan pengetahuan dan sikap perawatan kaki
penderita diabetes di Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering sebelum dan
sesudah intervensi media video
1.5. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan bagi Klinik Diabetes Melitus Puskesmas Sering
dalam memberikan pelayanan dan edukasi bagi penderita diabetes melitus
2. Sebagai masukan bagi peneliti khususnya dan praktisi kesehatan lainnya
dalam memberikan penjelasan dan edukasi bagi penderita diabetes melitus.
3. Penelitian ini secara umum bermafaat untuk mempromosikan hal-hal yang
dapat dilakukan untuk mencegah timbulnya komplikasi pada kaki penderita
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konseling
2.1.1. Pengertian Konseling
Ada banyak pengertian konseling yang dicetuskan oleh para ahli. Hal ini
didasarkan pada latar belakang dan pendidikan para ahli yang berbeda pula.
Menurut Pepinsky & Pepinsky, dalam Schertzer dan Stone (1974), konseling
merupakan interaksi yang; (a) terjadi antara dua orang individu , masing-masing
disebut konselor dan klien; (b) terjadi dalam suasana yang profesional; (c)
dilakukan dan dijaga sebagai alat untuk memudahkan perubahan-perubahan dalam
tingkah laku klien (Lubis, 2011).
Menurut Lewis, dalam Shertzer & Stone (1974), konseling adalah proses
mengenai seseorang individu yang sedang mengalami masalah (klien) dibantu
untuk merasa dan bertingkah laku dalam suasana yang lebih menyenangkan
melalui interaksi dengan seseorang yang bermasalah yang menyediakan informasi
dan reaksi-reaksi yang merangsang klien untuk mengembangkan tingkah laku
yang memungkinkan kliennya berperan secara lebih efektif bagi dirinya sendiri
dan lingkungannya (Lubis, 2011)
Menurut Machfoedz (2009), konseling merupakan media bagi pasien
pengetahuan dan membantu pasien menyikapi masalah yang dihadapinya secara
konstruktif.
Konseling menurut Roger dapat diartikan sebagai hubungan membantu,
dimana konselor bertujuan meningkatkan kemampuan dan fungsi mental klien.
Didalam hubungan dokter/perawat dan pasien, dapat dikatakan bahwa
dokter/perawat adalah pihak yang membantu, dan pasien sebagai pihak yang
terbantu. (Lubis, 2011).
Pada awalnya konseling dilaksanakan untuk menangani kasus psikologi
(Latipun,dikutip dari Lubis 20011), namun dalam perkembangannya konseling
beradaptasi dengan cabang ilmu lain di dalam penerapannya dikarenakan dalam
setiap interaksi sosial antar individu, konseling memegang peran penting.
Cabang-cabang ilmu yang memerlukan konseling dalam aplikasinya antara lain : ilmu
pendidikan, ilmu kesehatan, ilmu agama, industri, dan lain-lain.
2.1.2. Tujuan dan Fungsi Konseling
Dalam dunia kesehatan, konseling mempunyai perbedaan dengan
penyuluhan dan motivasi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan seperti tabel
[image:35.595.103.511.611.696.2]berikut (Manuaba et all, 2007):
Tabel 2.1. Perbedaan Motivasi, Penyuluhan dan Konseling
Hubungan Motivasi Penyuluhan Konseling
Tujuan Mengerahkan Menjelaskan Membimbing
Isi Promosi Edukatif Fakta
Pembicaraan Searah Berat Sebelah Dua arah
Sifat Kepentingan Petugas Kewajiban Petugas Kepentingan Klien
Beragam pendapat yang mengemukakan tujuan dari pelaksanaan
konseling. Menurut Machfoedz (2009), tujuan konseling itu sendiri meliputi lima
hal sebagai berikut :
a. Aktualisasi diri. Konseling yang dilakukan dapat menggali dan
mengembangkan potensi yang ada pasien.
b. Pertumbuhan dan perkembangan kepribadian pasien. Dengan konseling
pasien menjadi lebih bijaksana dalam menghadapi masalah kesehatan yang
dihadapinya.
c. Memahami orang lain. Konseling menumbuhkan sikap saling menghargai,
peduli dan menjaga hak dan privasi orang lain.
d. Efektivitas. Setelah mengikuti konseling, pasien diharapkan memiliki
kemampuan menjalani hidup yang lebih efektif, efisien dan sistematis dalam
memilih alternatif pemecahan masalah.
e. Kompetensi. Meningkatnya kemampuan kognitif, afektif, aspek perilaku
merupakan salah satu tujuan penting dari pelaksanaan konseling. Kemampuan
pasien DM dalam melaksanakan perawatan kaki merupakan contoh
kompetensi yang dimiliki pasien setelah mengikuti konseling.
Menurut Kromboltz dalam Lubis (2011), tujuan konseling dibagi menjadi
tiga kelompok, yaitu :
1. Mengubah penyesuaian perilaku yang salah
2. Belajar membuat keputusan
Konseling disini lebih ditujukan kepada klien dengan permasalahan
psikologis
3. Mencegah timbulnya masalah.
Menurut Notosoedirjo dan Latipun, mencegah munculnya masalah terdiri
dari tiga pengertian, yaitu : mencegah agar masalah tidak menimbulkan
hambatan di kemudian hari, mencegah agar masalah tidak berkepanjangan,
mencegah agar masalah tidak menimbulkan gangguan yang menetap.
Corey dalam Lubis (2011) menyatakan tujuan konseling yang berdasarkan
pendekatan tingkah laku yang digunakan dalam proses konseling adalah ; (a)
menghapus pola tingkah laku maladaptif, (b) mempelajari pola tingkah laku
konstruktif, (c) mengubah tingkah laku.
Fungsi konseling meliputi fungsi pencegahan, fungsi adaptif, fungsi
perbaikan dan fungsi pengembangan (Machfoedz, 2009).
a. Fungsi Pencegahan, yaitu mencegah terjadinya masalah yang dapat
menggangu kebutuhan dasar pasien. Contohnya: rasa nyeri pada kaki yang
sangat hebat dapat mengganggu tidur pasien di malam hari
b. Fungsi Adaptasi. Kelainan yang terjadi dan dirasakan pasien akibat penyakit
diabetes melitus yang dideritanya memerlukan pengetahuan, agar pasien
c. Fungsi Perbaikan. Keluhan yang dirasakan pada pasien diabetes melitus
memerlukan penjelasan sehingga pasien mau dan mampu menggali potensi
dirinya untuk mengurangi keluhan yang ada.
d. Fungsi Pengembangan. Konseling dapat menambah pengetahuan dan
meningkatkan kemampuan pasien dalam mengenal dan mengatasi masalah
kesehatannya.
Konseling yang dilakukan dalam penelitian ini mengharapkan adanya
perubahan perilaku perawatan kaki penderita diabetes melitus, sehingga
komplikasi diabetes melitus pada kaki dapat dihindarkan.
2.1.3. Konseling Kelompok
Pada awalnya pelaksanaan konseling dilakukan secara perorangan antara
konselor dan klien. Sejalan dengan perkembangan ilmu tentang konseling dan
penerapannya di berbagai bidang, maka terciptalah konsep konseling kelompok.
Konseling kelompok adalah proses konseling yang dilakukan seorang konselor
dengan beberapa orang klien dalam waktu bersamaan yang membicarakan satu
permasalahan (Lubis, 2011).
Menurut Latipun dalam Lubis (2011), konseling kelompok adalah suatu
bentuk konseling yang membantu beberapa klien normal yang diarahkan untuk
mencapai fungsi kesadaran secara afektif, yang dilakukan dalam jangka pendek
atau menengah.
memiliki permasalahan yang sama, menurut Wiener, konseling kelompok
bertujuan sebagai media terapeutik bagi klien/pasien, karena dapat meningkatkan
pemahaman diri dan merubah perilaku individual. Sementara George dan
Christiani menyatakan konseling kelompok dapat dimanfaatkan sebagai proses
belajar dan upaya untuk menolong klien/pasien dalam memecahkan masalahnya
(Lubis, 2011). Menurut Corey (2012), konseling kelompok dapat digunakan untuk
tujuan terapeutik atau pendidikan atau kombinasi keduanya. Konseling kelompok
dapat menjadi media yang dapat memberikan pemahaman dan dukungan, yang
mendorong para anggota untuk mengeksplorasi permasalahan mereka satu sama
lain. Dalam suasana yang mendukung inilah, anggota
2.1.3.1.
dapat menambah
pengetahuan dan contoh perilaku yang dapat diterapkan oleh masing-masing
anggota kelompok (Corey, 2012).
Jenis Konseling Kelompok
a.
Konseling kelompok dapat dibentuk berdasarkan populasi tertentu,
seperti : kelompok anak-anak, orang dewasa, pelajar dan orang tua.
Konseling Kelompok Anak-anak
Biasanya ditujukan pada anak-anak yang berperilaku agak berlebihan
dibandingkan teman-teman seusianya, seperti sering berkelahi, tidak dapat
bersosialisasi dengan teman-temannya ataupun berprestasi rendah di
sekolah. Berkumpul dalam satu kelompok kecil dapat membuat anak-anak
mengekspresikan perasaan dan pikirannya sehingga dapat diketahui
b. Konseling Kelompok Remaja
c.
Didalam kelompok ini, remaja dapat mengeksplorasi perasaan yang
bertentangan dengan nilai-nilai yang ada, saling berkomunikasi dan
mendengarkan keluhan-keluhan teman sebayanya, sehingga mereka dapat
saling membantu dan menguatkan serta meningkatkan kepercayaan diri.
Konseling Pelajar dan Mahasiswa
d.
Konseling kelompok dapat membantu para pelajar ataupun mahasiswa yang
mempunyai kendala dalam penyelesaian studi mereka.
Konseling Lansia
Hampir sama dengan remaja, konseling kelompok dapat meningkatkan
kepercayaan diri para lansia yang sering merasa tidak produktif lagi, tidak
diperlukan dan tidak diinginkan sehingga menimbulkan depresi
2.1.3.2.
Prosedur teknik dan proses konseling kelompok juga dipergunakan
berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, seperti : psikoterapi (untuk gangguan
emosional dan perilaku), psikoedukasi (edukasi dan pengobatan, seperti kelompok
penderita HIV ) dan kelompok tugas (Corey, 2012).
Manfaat Konseling Kelompok
Menurut Corey (2012) di dalam
1.
Theory & Practice of Group Counseling,
konseling kelompok dapat bermanfaat untuk :
Meningkatkan kesadaran dan pengetahuan diri dan menumbuhkan identitas
2. Menumbuhkan rasa kebersamaan anggota yang memiliki permasalahan yang
sama.
3. Membantu anggota belajar bagaimana membangun hubungan yang berarti dan
4.
Akrab.
Membantu anggota dalam menemukan sumber daya dalam komunitas mereka
sebagai cara untuk
5.
mengatasi permasalahan mereka.
Meningkatkan penerimaan diri, kepercayaan diri, harga diri, dan untuk
mencapai pandangan baru tentang diri sendiri dan
6.
orang lain.
Mempelajari cara untuk mengekspresikan emosi seseorang
7. Menemukan cara alternatif dalam menangani masalah perkembangan normal
ataupun konflik tertentu.
dengan cara yang
sehat.
8. Meningkatkan pengarahan diri sendiri, saling ketergantungan, dan tanggung
jawab terhadap diri sendiri dan orang lain.
9. Membantu seseorang dalam mengambil keputusan dengan bijaksana.
10.Membuat suatu rencana untuk mengubah
11.
perilaku tertentu.
Mempelajari keterampilan sosial
2.1.3.3.
yang lebih efektif.
Dalam pelaksanaannya, jumlah konseling kelompok bersifat fleksibel,
bergantung pada kemampuan konselor dan pertimbangan keefektifan proses dan
kondisi konseling yang ingin diciptakan konselor. Menurut Guez dan Allen
(2011), jumlah ideal dalam konseling kelompok tergantung dari usia anggota
kelompok, misalnya ; kelompok anak usia sekolah dapat terdiri dari 4-5 orang dan
kelompok remaja ataupun dewasa dapat terdiri dari 8-10 orang. Jumlah anggota
kelompok tidak telalu sedikit agar dapat tercipta interaksi tetapi tidak terlalu
banyak agar setiap anggota dapat telibat dalam diskusi kelompok (Unesco, 2011).
Menurut Yalom konseling kelompok dapat beranggotakan 4-12 orang
klien/pasien. Waktu pelaksanaan konseling kelompok tergantung kompleksitas
masalah yang akan dibahas. Tetapi secara umum konseling kelompok yang
bersifat jangka pendek berdurasi 60-90 menit per sesi. Menurut Latipun,
konseling kelompok pada umumnya dilaksanakan satu hingga dua kali dalam
seminggu seminggu. Jika dilakukan terlalu jarang, dikhawatirkan akan
menyebabkan banyak informasi dan umpan balik yang terlupakan (Lubis, 2011). .
Didalam pelaksanaannya, konseling kelompok di pimpin oleh seorang
konselor berperan dalam memfasilitasi interaksi antara anggota dan membantu
para anggota belajar satu sama lain.
2.1.4. Prinsip Konseling
Konseling kelompok tidak hanya terbatas
pada masalah kesehatan, tetapi juga dapat membantu menyelesaikan masalah
pendidikan, karir, sosial, dan lain sebagainya tergantung masalah yang dialami
oleh individu dalam kelompok tersebut.
Dalam membantu pasien diabetes melitus agar dapat memahami tindakan
yang mencegah timbulnya komplikasi pada kaki mereka, tenaga kesehatan
1. Pengajaran. Didalam hal ini, pasien mempunyai kesempatan untuk
mendapatkan informasi dan pengalaman dari petugas kesehatan selaku
konselor.
2. Nasihat dan Bimbingan. Konselor harus mempunyai keterampilan,
pengetahuan untuk memotivasi dan membimbing serta memberikan saran
pada pasien, agar permasalahan pasien dapat berkurang.
3. Tindakan Langsung. Konselor harus mempunyai pengetahuan, wawasan dan
pengalaman yang memadai untuk menghindari kemungkinan negatif dari
pasien yang tidak diharapkan.
4. Pengelolaan. Konselor harus memiliki keterampilan dalam mengelola emosi
pasien dan dirinya agar konseling dapat berjalan dengan efektif.
5. Konseling. Konseling dilaksanakan dalam suasana yang akrab dan nyaman
dengan memperhatikan privasi pasien.
Ada tiga pendekatan yang dapat dilakukan dalam proses pembelajaran
penderita diabetes melitus (Soegondo et all, 2011), yaitu :
1. Pendekatan ketaatan (compliance) edukasi. Cara ini bermaksud
mempengaruhi pasien untuk meningkatkan ketaatan pasien diabetes pada
rekomendasi terapi dan nasehat yang diberikan oleh tenaga kesehatan.
2. Pendekatan pemberian wewenang (empowerment). Tujuannya adalah
mempersiapkan penyandang diabetes melitus agar mampu membuat
keputusan perawatan diabetes mereka sendiri sehari-hari.
2.1.5. Konselor
Dalam konseling kesehatan, yang berperan sebagai konselor adalah tenaga
kesehatan, bisa dokter, perawat atau tenaga medis lainnya. Dasar konseling di
dalam Manuaba et all (2007) adalah hak penderita untuk menentukan nasib
dirinya sendiri, mendapat pelayanan adekuat dan menerima informasi yang
lengkap dan benar. Untuk dapat melakukan konseling diabetes yang baik, petugas
kesehatan perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Keterampilan sebagai konselor
2. Memiliki pengetahuan klinis tentang penyakit yang diderita pasien
Selain itu petugas kesehatan hendaknya menguasai tiga keterampilan
komunikasi, yaitu : (Basuki,2009)
1. Keterampilan melaksanakan komunikasi verbal dan non verbal
2. Keterampilan mengamati komunikasi verbal dan non verbal pasien
Dalam melaksanakan konseling kesehatan, seorang konselor dituntut
memiliki keterampilan sebagai berikut :
1. Mampu berempati kepada pasien
2. Dapat menciptakan rasa nyaman dalam hubungan dua arah.
3. Dapat menimbulkan rasa saling percaya yang membuat pasien merasa
nyaman untuk berkeluh kesah tentang penyakitnya.
4. Mampu mengenal hambatan sosio kultural setempat, agar tidak menjadi
6. Bersedia menjadi pendengar yang baik, dan bila bertanya secara baik dan
jelas
7. Mampu mengenali semua aspek kesehatan yang berhubungan dengan kondisi
penyakit pasien
8. Dapat memahami bahasa non verbal di balik ungkapan kata/kalimatnya,
gerak tubuh klien/pasien.
9. Mampu mengenali keinginan klien/pasien dan mengenali keterbatasan dirinya
sebagai penolong.
10. Dapat membuat klien/pasien bertanya dan mengeluarkan pendapat.
11. Menghormati hak klien/pasien sehingga sikap membantu lebih ditonjolkan.
12. Menjaga sikap selama berkomunikasi dengan pasien (bahasa tubuh) agar
tidak mengganggu komunikasi selama konseling, misalnya karena pasien
keliru mengartikan gerak tubuh, raut muka dan sikap dokter
Menurut Kaira dan Kaira (2010), konselor diabetes yang baik hendaknya
keahlian sebagai berikut:
C : Confident Competence, yaitu keahlian (pengetahuan yang berkaitan dengan
diabetes seperti; gejala, penanganannya, diet dan gaya hidup) dan
kemampuan untuk meyakinkan pasien untuk mau melakukan nasehat yang
diberikan melalui bahasa tubuh, dan sikap yang bersahabat.
A : Accessible Authenticity, maksudnya seorang konselor hendaklah orang yang
bersahaja, tidak sulit untuk dijumpai dan apa adanya, karena kebanyakan
Seorang konselor hendaklah tersenyum dengan hangat pada pasiennya, jika
melakukan bahasa tubuh yang kurang menyenangkan seperti menguap,
maka hendaklah ia minta maaf pada pasiennya.
R : Reciprocal Respect, maksudnya saling menghormati antara konselor dan
pasien, sehingga tercipta hubungan yang harmonis dalam komunikasi.
E : Expressive Empathy, maksudnya konselor dapat merasakan seperti apa yang
dirasakan pasien dan dapat berfikir dari sudut pandang pasien, sehingga
pasien merasa konselor dapat memahaminya.
S : Straightforward Simplicity, maksudnya dalam menyampaikan informasi
kepada pasien tidak bertele-tele, cukup dengan cara atau bahasa yang
sederhana dan mudah dimengerti.
Menurut Corey (2012), dalam pelaksanaan konseling secara berkelompok,
konselor juga hendaknya memiliki kemampuan seperti berikut ini :
1. Aktif mendengarkan, menaruh perhatian terhadap komunikasi verbal
dan non verbal klien tanpa sikap menghakimi. Hal ini sangat penting
untuk menimbulkan kepercayaan sehingga lebih banyak keterangan
yang dapat digali.
2. Mengulangi apa yang disampaikan klien guna memperjelas maksud
yang ingin disampaikan klien
3. Mengklarifikasi pernyataan dari klien yang dapat menimbulkan
4. Menyimpulkan hal-hal penting yang terjadi selama interaksi
kelompok
5. Menanyakan pertanyan yang dapat membuat klien dapat
mengeluarkan pendapat atau pengalamannya seperti pertanyaan apa
atau bagaimana yang berkaitan dengan perilaku klien terhadap suatu
masalah.
6. Menerangkan hal-hal yang dapat menjelaskan pemikiran, perasaan
dan perilaku
7. Memfasilitasi komunikasi langsung antara beberapa klien dalam
kelompok sehingga timbul kebersamaan anggota kelompok
8. Membatasi pembicaraan yang tidak sesuai topik diantara klien
9. Menetapkan tujuan dari konseling kelompok yang ingin dicapai.
10.Memberikan umpan balik dan sugesti kepada klien untuk menerapkan
perilaku baru
2.2. Media dan Pembelajaran 2.2.1. Konsep Media
Media berasal dari bahasa latin ”medium” yang secara harfiah berarti
“perantara” atau “pengantar” yang digunakan untuk menyampaikan pesan ke
penerima pesan. Definisi media menurut sebagian ahli adalah sebagai AECT
(Asociation Of Education And Communication Technologi) yaitu media sebagai
Heinich menyebut media sebagai perantara yang mengantar informasi antara
sumber dan penerima (Arsyad, 2007).
Menurut Depdiknas (2003), media pembelajaran adalah segala sesuatu
yang digunakan orang untuk menyampaikan pesan.Yang dimaksud sesuatu di sini
adalah apa saja yang bisa digunakan untuk menyampaikan pesan dapat berupa
lisan atau alat peraga yang mengisyaratkan maksud tertentu dan bisa dipahami
oleh orang yang menerima pesan (Kuswanto 2012).
Menurut Schramm (dalam Kuswanto 2012), media pembelajaran adalah
teknologi pembawa pesan yang dapat digunakan untuk pembelajaran. Sedangkan
menurut Kuswanto (2012) media pembelajaran adalah semua sarana yang dapat
dimanipulasikan untuk digunakan mempengaruhi / merangsang pikiran, perasaan,
perhatian dan sikap peserta didik (komunikan), sehingga mempermudah
terjadinya proses pembelajaran. Pemakaian media pembelajaran ini diharapkan
dapat meningkatkan efektivitas pembelajaran.
Media dalam promosi kesehatan dapat diartikan sebagai alat untuk
menyebarkan informasi atau memperlancar komunikasi, alat bantu untuk
mempromosikan kesehatan (Kholid,2012). Menurut Soekidjo (2005), media
promosi kesehatan adalah semua sarana/upaya yang digunakan komunikator
untuk menyampaikan pesan, baik itu media cetak, elektronik hingga media luar
ruang kepada sasaran, sehingga meningkat pengetahuannya dan akhirnya terjadi
Jadi foto, film, radio, televisi, rekaman audio, gambar yang diproyeksikan,
bahan cetakan dan sejenisnya adalah media yang disebut dengan media
komunikasi. Namun apabila media-media itu membawa pesan-pesan atau
informasi-informasi yang mengandung maksud pengajaran maka media itu
disebut dengan media pembelajaran (Arsyad,2007).
2.2.2. Jenis-jenis Media Pembelajaran
Berdasarkan bentuknya, jenis media pembelajaran dibagi menjadi
(Kholid,2011):
1. Media visual, contoh : grafik, diagram,chart, bagan, poster.
2. Media auditif, contoh : radio, tape, recorder, laboratorium bahasa dan
sejenisnya.
3. Projected still media, contoh : slide, OHP, in focus dan sejenisnya.
4. Projected motion media, contoh : film, televisi, video (VCD, DVD, VTR),
komputer dan sejenisnya.
Berdasarkan perkembangan teknologi (Arsyad,2007), media pembelajaran
terbagi dalam empat kelompok, yaitu :1) media hasil teknologi cetak, 2) media
hasil teknologi audio visual, 3) media hasil teknologi yang berdasarkan komputer
dan 4) media hasil gabungan teknologi cetak dan komputer.
Pengelompokan media seperti diatas memiliki kelebihan dan kekurangan
didalam penggunaannya masing-masing. Gerlach & Ely (dalam Arsyad, 2007)
1. Cirifixative
Ciri ini menggambarkan kemampuan media untuk merekam, menyimpan dan
merekonstruksi suaru peristiwa atau objek. Dengan kata lain, media
memungkinkan rekaman suatu peristiwa pada waktu tertentu ditampilkan
kembali di satu waktu. Media yang memiliki ciri ini antara lain ; fotografi,
video tape, audio tape dan film
2. Ciri manipulatif
Ilustrasi untuk menjelaskan kemampuan media disini adalah perubahan larva
menjadi kepompong sampai menjadi kupu-kupu yang memakan waktu
beberapa hari, dapat ditampilkan hanya dalam beberapa menit saja.
Penggunaan media disini dapat untuk mengedit bagian – bagian penting
saja yang ingin ditampilkan.
3. Ciri distributif
Ciri ini memungkinkan media memindahkan objek atau kejadian melalui
ruangan dan disajikan secara bersamaan kepada sejumlah audien.
Keberhasilam menggunakan media untuk meningkatkan hasil tergantung
dari tiga hal, yaitu : (1) isi pesan, (2) cara menyampaikan pesan, (3) karakteristik
penerima pesan. Kriteria pemilihan media harus disesuaikan dengan tujuan
pembelajaran atau kompetensi yang ingin dicapai. Jika tujuan yang diharapkan
agar audien dapat menghapal kata-kata, maka media audio yang menjadi pilihan.
cetak yang sebaiknya digunakan, tetapi jika tujuan pembelajaran agar audien
dapat menirukan gerakan atau aktivitas, maka media video yang menjadi pilihan.
2.2.3. Fungsi Media
Menurut Kholid dan Notoatmodjo (2012), media memiliki fungsi antara
lain :
1. Menimbulkan minat sasaran pengajaran
2. Dengan menggunakan media, sasaran pengajaran yang ingin dijangkau dapat
lebih banyak.
3. Media dapat mengatasi keterbatasan pemahaman audien , dimana media dapat
menyajikan hal yang dimaksud dalam bentuk nyata atau miniatur ataupun
gambar, yang dapat disajikan dalam bentuk audio visual atau audio
4. Mempermudah penyampaian pesan atau informasi ke sasaran.
5. Terdapat keseragaman pengamatan audien.
6. Media dapat menanamkan konsep dasar yang konkret dan realistis
7. Media dapat membangkitkan motivasi dan rasa ingin tahu yang lebih,
kemudian ingin mendalami dan akhirnya mendapatkan pengertian yang lebih
baik.
2.2.4. Media Promosi Kesehatan
Menurut Notoatmodjo (2012), media promosi kesehatan adalah media
yang menjadi saluran untuk menyampaikan informasi kesehatan, yang dapat
mempermudah penerimaan informasi kesehatan bagi masyarakat.
1. Mengajarkan ketrampilan dalam membaca menulis berbagai hal dalam
kesehatan
2. Meningkatkan aspirasi dibidang kesehatan
3. Menyebarluaskan informasi dibidang kesehatan
4. Sumber daya pengetahuan dalam kesehatan
5. Berpartisipasi dalam keputusan yang berkaitan dengan kesehatan
6. Membentuk perilaku hidup sehat dari statis ke dinamis
2.2.5. Proses Pembelajaran
Menurut Paivio, manusia memiliki dua sistem ingatan ; satu untuk
mengolah simbol-simbol verbal dan yang lainnya untuk mengolah simbol non
verbal. Artinya proses pembelajaran dengan mengunakan indera ganda ( pandang
dan dengar) akan memberikan keuntungan yang lebih optimal bagi audien.
Pendapat para ahli mengenai hal tersebut pun beragam. Perbandingan hasil belajar
melalui penglihatan dan pendengaran sangat jelas perbedaannnya. Menurut
Baugh hasil belajar yang diperoleh seseorang melalui penglihatan sebesar 90%,
dan hanya 5% melalui pendengaran, 5% lagi diperoleh melalui indera lain.
Sementara menurut Dale, perolehan hasil belajar melalui melalui penglihatan
berkisar 75%, melalui pendengaran 13% dan indera lainnya 12% (Arsyad, 2007).
Dikarenakan pasien DM hampir seluruhnya berusia dewasa, dan kelompok
ini yang ingin diberikan pembelajaran maka didalam pelaksanannya,
memuaskan. Berdasarkan hal diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
penyampaian informasi kesehatan yang cocok adalah media visual atau audio
visual (video).
Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan
pengetahuan penderiata diabetes melitus (Soegondo et all,2011) :
1. Ceramah singkat. Dalam hal ini kebanyakan pasien berperan pasif.
2. Diskusi. Pasien dapat lebih berpartisipatif dan aktif dalam kegiatan ini, karena
mereka mempunyai kesempatan untuk mendapatkan informasi yang lebih
banyak. Jika diskusi yang dilakukan bersifat individual ataupun beberapa
orang dalam kelompok yang kecil, maka teknik konseling bisa dimasukkan
kedalam cara ini.
3. Peragaan. Berguna untuk pelatihan psikomotor dan keterampilan sosial.
4. Materi cetakan. Materi seperti ini dapat berupa leaflet, brosur ataupun poster.
Namun dalam pengamatan di klinik diabetes melitus, pasien tidak selalu
mengerti atau dapat memahami informasi diabetes yang tertulis di media
tersebut.
5. Alat bantu audiovisual seperti slide.film, video tentang diabetes melitus dan
komplikasinya dapat memperjelas informasi bagi penderita. Penggunaan alat
bantu audiovisual sangat membantu pasien yang tidak dapat belajar dengan
baik melalui membaca.
6. Permainan. Cara pembelajaran seperti ini lebih menyenangkan dan dapat
2.2.6. Media Audiovisual
Media yang menggunakan teknologi audio visual dalam penggunaanya
menggunakan mesin-mesin mekanis dan elektronik untuk menyampaikan pesan
audio dan visual (Arsyad, 2007).
Menurut Djamarah, media audiovisual adalah mempunyai unsur suara dan
gambar (dikutip dari Waryanto, 2007) dan terbagi dalam dua jenis :
• Audiovisual diam, yang menampilkan suara dan visual diam, seperti film
sound slide.
• Audiovisual gerak, yaitu media yang dapat menampilkan unsur suara dan
gambar yang bergerak, seperti film, video cassete dan VCD.
Menurut Punaji Setyosari & Sihkabuden (dikutip dari Kristanto, 2011),
video adalah media penyampai pesan, termasuk media audio visual atau media
pandang dengar. Sementara itu Hujair AH (dikutip dari Kristianto, 2011) media
video adalah seperangkat alat yang memproyeksikan gambar bergerak dimana
antar gambar dan suara mempunyai karakter yang sama dengan objek aslinya.
Menurut Ronal Anderson (dikutip dari Waryanto, 2007), media video adalah
rangkaian gambar elektronis yang disertai unsur suara dan juga unsur gambar
yang dituangkan melalui pita video. Media video ini juga memiliki kekurangan
dan kelebihan sebagai berikut :
Kelebihan media video :
3. Dapat menyajikan materi yang secara fisik tidak dapat dihadirkan di dalam
ruangan.
4. Dapat menyajikan objek secara detail dan dapat menyajikan objek yang
sifatnya berbahaya.
5. Dapat meningkatkan motivasi, menanamkan sikap dan segi afektif lainnya.
6. Dapat ditujukan kepada kelompok besar atau kecil, kelompok heterogen dan
homogen.
7. Sangat baik menjelaskan suatu proses dan keterampilan, mampu
menunjukkan rangsangan yang sesuai dengan tujuan dan respon yang
diharapkan.
8. Pesan yang disampaikan cepat dan mudah diingat.
Kelemahan media video :
1. Sukar untuk dapat direvisi jika ada kesalahan.
2. Memerlukan biaya yang relatif mahal.
3. Pada saat ditayangkan, gambar yang ditampilkan bergerak terus, sehingga
tidak semua audien dapat menangkap pesan yang ingin disampaikan melalui
media video tersebut.
4. Video yang tersedia tidak selalu sesuai dengan kebutuhan belajar yang
2.3. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi setelah seseorang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan yang terjadi
melalui panca indera manusia dan sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh