9 BAB 2
TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
2.1 Tinjauan Teoritis
2.1.1 Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Tanggung jawab sosial perusahaan bukanlah merupakan konsep baru dalam masyarakat, tetapi semakin meluas bersamaan dengan konsep-konsep lain. Ide tanggung jawab sosial pada dasarnya adalah bagaimana perusahaan memberi perhatian kepadalin lingkungannya, terhadap dampak yang terjadi akibat kegiatan operasional perusahaan. Moir (2011) menyatakan selain menghasilkan keuntungan, perusahaan harus membantu memecahkan masalah-masalah sosial terkait atau tidak perusahaan ikut menciptakan masalah tersebut bahkan jika disana tidak mungkin ada potensi keuntungan jangka pendek atau jangka panjang yang lain.
Pada saat yang sama perusahaan diharapkan untuk mematuhi hukum, karena hukum adalah kodifikasi yang dapat diterima masyarakat atas perilaku yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima. Perusahaan harus bertanggung jawab secara etis dan perusahaan diharapkan untuk menjadi warga perusahaan yang baik (good corporate citizen).
Mirza dan Imbuh (dalam Indira, 2005) mendefinisikan Corporate Social
Responsibility sebagai kewajiban organisasi yang tidak hanya menyediakan barang dan jasa yang baik bagi masyarakat, tetapi juga mempertahankan kualitas lingkungan sosial maupun fisik, dan juga memberikan kontribusi positif terhadap
kesejahteraan komunitas dimana mereka berada.
Commission of the European Communities (2001) mendefinisikan CSR
sebagai berikut A concept whereby companies integrate social and environmental
concern in their business operations and their interaction with their stakeholders on a voluntary basis.
Dari pengertian diatas konsep CSR adalah perusahaan seharusnya mengintegrasikan kepediulian sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksi mereka dengan para stakeholder secara sukarela.
Ini berarti bahwa perusahan harus dapat berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi beriringan dengan meningkatkan kualitas hidup tenaga kerja dan keluarganya serta komunitas lokal dan masyarakat luas. Ini bisa dilakukan dengan
cara mengerti aspirasi dan kebutuhan stakeholder dan kemudian berkomunikasi
dan berinteraksi dengan para stakeholder.
Akibat banyaknya definisi CSR yang sangat beragam, lebih lanjut dalam penelitian Dahlsrud (2006) meneliti komponen yang terdapat dalam definisi-definisi CSR yang telah ada sebelumnya. Dahlsrud menemukan bahwa berbagai definisi CSR yang diteliti secara konsisten mengandung lima komponen, yaitu: ekonomi, sosial, lingkungan, pemangku kepentingan dan voluntarisme. Jika hasil analisis frekuensi diterapkan, maka urutan paling konsisten dari lima komponen adalah pemangku kepentingan dan sosial (keduanya memiliki rasio 88%), disusul ekonomi (86%), voluntarisme (80%) dan lingkungan (59%).
Konsep CSR pada umumnya menyatakan bahwa tanggung jawab perusahaan tidak hanya terhadap pemiliknya atau pemegang saham saja tetapi juga terhadap
para stakeholders yang terkait dan/atau terkena dampak dari keberadaan
perusahaan. Hal ini sesuai dengan teori stakeholder yang menyatakan bahwa
perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri
namun harus memberikan manfaat bagi stakeholdernya.
Hal tersebut didukung oleh Gray et al. (Dalam Chariri dan Ghozali, 2007)
yang menyatakan bahwa, kelangsungan hidup perusahaan tergantung pada
dukungan stakeholder dan dukungan tersebut harus dicari sehingga aktivitas
perusahaan adalah untuk mencari dukungan tersebut, pengungkapan sosial
dianggap sebagai bahan dari dialog antara perusahaan dengan stakeholdernya.
Listyorini dan Anggana (dalam Indira, 2005) menyatakn bahwa pada dasarnya
kemauan untuk melaksanakan Corporate Social Responsibility tergantung pada
tingkat kepekaan sosial (social sensiveness) manajemen perusahaan, dimana
tingkat kepekaan pengelola perusahaan adalah merupakan akumulasi dari tingkat kepekaan masing-masing individu yang menduduki berbagai tingkatan jabatan organisasi perusahaan yang bersangkutan.
Konsep CSR pada umumnya menyatakan bahwa tanggung jawab perusahaan tidak hanya terhadap pemiliknya atau pemegang saham saja tetapi juga terhadap
para stakeholders yang terkait dan/atau terkena dampak dari keberadaan
perusahaan. Hal ini sesuai dengan teori stakeholder yang menyatakan bahwa
perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri
namun harus memberikan manfaat bagi stakeholdernya.
Untuk dapat menentukan ruang lingkup dari tanggung jawab sosial, mengidentifikasi isu-isu yang relevan dan menentukan prioritasnya terhadap
tanggung jawab sosial, suatu perusahaan harus dapat mengerti elemen dasar yang terdapat dalam tanggung jawab sosial. Didalam ISO 260002 dijelaskan tujuh elemen dasar dari praktik CSR yang dapat dilakukan oleh perusahaan, yaitu:
1. Tata kelola perusahaan
Elemen ini mencakup bagaimana perusahaan harus bertindak sebagai elemen
dasar dari tanggung jawab sosial (social responsibility) dan sebagai sarana untuk
meningkatkan kemampuan perusahaan untuk menerapkan perilaku yang
bertanggung jawab sosial (socially responsible behavior) yang berkaitan dengan
elemen dasar lainnya.
2. Hak asasi manusia
Elemen ini mencakup penghormatan terhadap hak asasi manusia. Hak asasi manusia terbagi menjadi dua katagori utama, katagori pertama menganai hak-hak
sipil dan politik (civil and political rights) yang mencakup hak untuk hidup dan
kebebasan (right to life and liberty), kesetaraan di mata hukum (equality before
the law) dan hak untuk berpendapat (freedom of expression). Katagori yang kedua
mengenai hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (economic, social and cultural
rights) yang mencakup hak untuk bekerja (right to work), hak atas pangan (right to food), hak atas kesehatan (right to health), hak atas pendidikan (right to education) dan hak atas jaminan sosial (right to social security).
3. Ketenagakerjaan (labour practices)
Elemen ini mencakup seluruh hal yang terdapat didalam prinsip dasar deklarasi ILO 1944 dan hak-hak tenaga kerja dalam deklarasi hak asasi manusia. Sebagai contohnya yaitu pelaksanaan kondisi kerja yang baik, bermartabat, dan
kondusif; pengembangan sumber daya manusia dan lain-lain.
4. Lingkungan
Elemen ini mencakup pencegahan polusi sebagai dampak aktivitas perusahaan, pencegahan global warming, pendayagunaan sumber alam secara efisien dan efektif, dan penggunaan sistem manajemen lingkungan yang efektif dan berkelanjutan.
5. Praktik operasional yang adil (fair operational practices)
Elemen ini mencakup pelaksanaan aktivitas secara etik dan pengungkapan aktivitas perusahaan yang transparan, pelaksanaan aktivitas pemilihan pemasok yang etis dan sehat, penghormatan terhadap hak-hak intelektual dan kepentingan stakeholder, serta perlawanan terhadap korupsi.
6. Konsumen (consumer issues)
Elemen ini mencakup penyediaan informasi yang akurat dan relevan tentang produk perusahaan kepada pelanggan, penyediaan produk yang aman dan bermanfaat bagi pelanggan.
7. Keterlibatan dan pengembangan masyarakat (community envolvement and
development)
Elemen ini mencakup pengembangan masyarakat, peningkatan kesejahtraan
masyarakat, aktivitas sosial kemasyarakatan (philantrophy), dan melibatkan
masyarakat didalam aktivitas operasional perusahaan.
Tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dapat memberikan berbagai manfaat potensial bagi perusahaan. Dalam ISO 26000 disebutkan manfaat CSR bagi perusahaan yaitu:
1. Mendorong lebih banyak informasi dalam pengambilan keputusan berdasarkan peningkatan pemahaman terhadap ekspektasi masyarakat, peluang jika kita melakukan tanggung jawab sosial (termasuk manajemen risiko hukum yang lebih baik) dan risiko jika tidak bertanggung jawab secara sosial.
2. Meningkatkan praktek pengelolaan risiko dari organisasi.
3. Meningkatkan reputasi organisasi dan menumbuhkan kepercayaan publik
yang lebih besar.
4. Meningkatkan daya saing organisasi.
5. Meningkatkan hubungan organisasi dengan para stakeholder dan kapasitasnya
untuk inovasi, melalui paparan perspektif baru dan kontak dengan para stakeholder.
6. Meningkatkan loyalitas dan semangat kerja karyawan, meningkatkan
keselamatan dan kesehatan baik karyawan laki-laki maupun perempuan dan berdampak positif pada kemampuan organisasi untuk merekrut, memotivasi dan mempertahankan karyawan.
7. Memperoleh penghematan terkait dengan peningkatan produktivitas dan
efisiensi sumber daya, konsumsi air dan energi yang lebih rendah, mengurangi limbah, dan meningkatkan ketersediaan bahan baku.
8. Meningkatkan keandalan dan keadilan transaksi melalui keterlibatan politik
yang bertanggung jawab, persaingan yang adil, dan tidak adanya korupsi.
9. Mencegah atau mengurangi potensi konflik dengan konsumen tentang produk
10.Memberikan kontribusi terhadap kelangsungan jangka panjang organisasi dengan mempromosikan keberlanjutan sumber daya alam dan jasa lingkungan.
11.Kontribusi kepada masyarakat dan untuk memperkuat masyarakat umum dan
lembaga.
2.1.2 Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Menurut Hackston and Milne (dalam Sembiring, 2005), tangggung jawab
sosial perusahaan sering disebut juga sebagai corporate social responsibility atau
social disclosure, corporate social reporting, social reporting merupakan proses pengkomunikasian dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan ekonomi organisasi terhadap kelompok khusus yang berkepentingan dan terhadap masyarakat secara keseluruhan. Hal tersebut memperluas tanggung jawab organisasi dalam hal ini perusahaan, di luar peran tradisionalnya untuk menyediakan laporan keuangan kepada pemilik modal, khususnya pemegang saham. Perluasan tersebut dibuat dengan asumsi bahwa perusahaan mempunyai tanggung jawab yang lebih luas dibanding hanya mencari laba untuk pemegang saham.
Menurut Gray et.al. (dalam Sembiring, 2005) ada dua pendekatan yang secara
signifikan berbeda dalam melakukan penelitian tentang pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Pertama, pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan mungkin diperlakukan sebagai suatu suplemen dari aktivitas akuntansi konvensional. Pendekatan ini secara umum akan menganggap masyarakat
keuangan sebagai pemakai utama pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan dan cenderung membatasi persepsi tentang tanggung jawab sosial yang dilaporkan.
Pendekatan alternatif kedua dengan meletakkan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan pada suatu pengujian peran informasi dalam hubungan masyarakat dan organisasi. Pandangan yang lebih luas ini telah menjadi sumber utama kemajuan dalam pemahaman tentang pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan dan sekaligus merupakan sumber kritik yang utama terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
Pertanggungjawaban sosial berhubungan juga dengan social contract theory.
Menurut teori ini, diantara bisnis perusahaan dan masyarakat terdapat suatu kontrak sosial yang secara implisit maupun eksplisit. Dimana dalam kontraksosial, akuntansi sosial digunakan sebagai serangkaian teknik pengumpulan dan pengungkapan data sehingga memungkinkan masyarakat untuk mengevaluasi kinerja sosial organisasi dalam memberi penilaian mengenai kelayakan operasi organisasi menurut Parker (dalam Nur Cahyonowati, 2003). Disamping itu, pertanggungjawaban perusahaan diperlukan untuk menilai apakah kegiatan perusahaan telah memenuhi ketentuan, standar, dan peraturan yang berlaku. Misalnya mengenai polusi, kesehatan dan keselamatan, bahaya pengunaan bahan-bahan yang beracun.
2.1.3 Teori Stakeholder
Pendekatan stakeholder muncul pada pertengahan tahun 1980-an. Latar
belakang pendekatan stakeholder adalah keinginan untuk membangun suatu
kerangka kerja yang responsif terhadap masalah yang dihadapi para manajer saat
itu yaitu perubahan lingkungan. Tujuan dari manajemen stakeholder adalah untuk
merancang metode untuk mengelola berbagai kelompok dan hubungan yang dihasilkan dengan cara yang strategis, Freeman dan McVea (dalam Fahrizqi, 2010).
Kelangsungan hidup perusahaan tergantung pada dukungan stakeholder dan
dukungan tersebut harus dicari sehingga aktivitas perusahaan adalah untuk mencari dukungan tersebut. pengungkapan sosial dianggap sebagai bagian dari
dialog antara perusahaan dengan stakeholdernya (Gray, et al., 1995). Perusahaan
bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri, dan untuk
mendapatkan dukungan dari stakeholder perusahaan harus memberikan manfaat
bagi para stakeholdernya.
Definisi stakeholder menurut Freeman dan McVea (dalam Fahrizqi, 2010)
adalah setiap kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi
oleh pencapaian tujuan organisasi. Stakeholder dapat dibagi menjadi dua
berdasarkan karakteristiknya yaitu stakeholder primer dan stakeholder sekunder.
Stakeholder primer adalah seseorang atau kelompok yang tanpanya perusahaan
tidak dapat bertahan untuk going concern, meliputi: shareholder dan investor,
karyawan, konsumen dan pemasok, bersama dengan yang didefinisikan sebagai
stakeholder sekunder didefinisikan sebagai mereka yang mempengaruhi, atau dipengaruhi perusahaan, namun mereka tidak berhubungan dengan transaksi dengan perusahaan dan tidak esensial kelangsungannya.
Dari dua jenis stakeholder diatas, stakeholder primer adalah stakeholder yang
paling berpengaruh bagi kelangsungan perusahaan karena mempunyai power yang
cukup tinggi terhadap ketersediaan sumber daya perusahaan. Oleh karena itu,
ketika stakeholder mengendalikan sumber ekonomi yang penting bagi
perusahaan, maka perusahaan akan bereaksi dengan cara-cara yang memuaskan
keinginan stakeholder (Ghozali dan Achmad, 2007). Lebih lanjut lagi teori
stakeholder umumnya berkaitan dengan cara-cara yang digunakan perusahaan
untuk me-manage stakeholdernya(Gray, et al., 1995).
Teori stakeholder adalah teori yang menggambarkan kepada pihak mana saja
(stakeholder) perusahaan bertanggung jawab (Freeman, 2001). Perusahaan harus
menjaga hubungan dengan stakeholdernya dengan mengakomodasi keinginan dan
kebutuhan stakeholdernya, terutama stakeholder yang mempunyai power terhadap
ketersediaan sumber daya yang digunakan untuk aktivitas operasional perusahaan, misal tenaga kerja, pasar atas produk perusahaan dan lain-lain (Ghozali dan Achmad, 2007). Salah satu strategi untuk menjaga hubungan dengan para stakeholder perusahaan adalah dengan melaksanakan CSR, dengan pelaksanaan
CSR diharapkan keinginan dari stakeholder dapat terakomodasi sehingga akan
menghasilkan hubungan yang harmonis antara perusahaan dengan stakeholdernya. Hubungan yang harmonis akan berakibat pada perusahaan dapat
2.1.4 Teori Agensi
Prinsip utama teori ini menyatakan adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang (prinsipal) yaitu investor dengan pihak yang menerima wewenang (agensi) yaitu manajer. Jansen dan Meckling (dalam Anggraeni, 2006) menyatakan hubungan keagenan adalah suatu kontrak di mana satu atau lebih orang (prinsipal) melibatkan orang lain (agen) untuk melakukan beberapa layanan atas nama mereka yang melibatkan mendelegasikan sebagian kewenangan pengambilan keputusan kepada agen.
Teori agensi mengasumsikan bahwa semua individu bertindak atas kepentingan mereka sendiri. Sehingga terjadi konflik kepentingan antara pemilik dan agen karena kemungkinan agen tidak selalu berbuat sesuai dengan
kepentingan prinsipal, sehingga memicu biaya keagenan (agency cost). Pemegang
saham sebagai prinsipal diasumsikan hanya tertarik kepada hasil keuangan yang bertambah atau investasi mereka di dalam perusahaan. Sedang para agen diasumsikan menerima kepuasan berupa kompensasi keuangan dan syarat-syarat yang menyertai dalam hubungan tersebut.
Dalam hubungan agensi tersebut, terdapat 3 faktor yang mempengaruhi pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan yaitu biaya pengawasan (monitoring costs), biaya kontrak (contracting costs), dan visibilitas politis. Perusahaan yang melakukan pengungkapan informasi tanggung jawab sosial
dengan tujuan untuk membangun image pada perusahaan dan mendapatkan
perhatian dari masyarakat. Perusahaan memerlukan biaya dalam rangka untuk memberikan informasi pertanggungjawaban sosial, sehingga laba yang dilaporkan
dalam tahun berjalan menjadi lebih rendah. Ketika perusahaan menghadapi biaya kontrak dan biaya pengawasan yang rendah dan visibilitas politis yang tinggi akan cenderung untuk mengungkapkan informasi pertanggungjawaban sosial. Jadi pengungkapan informasi pertanggungjawaban sosial berhubungan positif dengan kinerja sosial, kinerja ekonomi dan visibilitas politis dan berhubungan negatif dengan biaya kontrak dan pengawasan (biaya keagenan), Belkaoui dan Karpik (dalam Anggraini, 2006).
Berdasarkan teori agensi, perusahaan yang menghadapi biaya kontrak dan biaya pengawasan yang rendah cenderung akan melaporkan laba bersih rendah atau dengan kata lain akan mengeluarkan biaya-biaya untuk kepentingan manajemen (salah satunya biaya yang dapat meningkatkan reputasi perusahaan di mata masyarakat). Kemudian, sebagai wujud pertanggungjawaban, manajer sebagai agen akan berusaha memenuhi seluruh keinginan pihak prinsipal, dalam hal ini adalah pengungkapan informasi pertanggungjawaban sosial perusahaan.
2.1.5 Teori Legitimacy
Menurut Deegan (dalam Gray et al., 1995) teori legitimasi menegaskan bahwa perusahaan terus berupaya untuk memastikan bahwa mereka beroprasi dalam bingkai dan norma yang ada dalam masyarakat atau lingkungan dimana perusahaan berada, dimana mereka berusaha untuk memastikan bahwa aktifitas mereka (perusahaan) diterima oleh pihak luar sebagai suatu yang “sah”. Pendapat yang sama diungkapkan juga oleh Tilt (dalam Haniffa et al, 2005) yang menyatakan bahwa perusahaan memiliki kontrak dengan masyarakat untuk
melakukan kegiatannya berdasarkan nilai-nilai justice, dan bagaimana perusahaan menanggapi berbagai kelompok kepentingan untuk melegitimasi tindakan
perusahaan. Lindblom (dalam Haniffa et al., 2005) menyatakan teori legitimacy
ini sangat berkaitan dengan kinerja keuangan dan tanggung jawab sosial yaitu apabila terjadi ketidakselarasan antara sistem nilai perusahaan dan sistem nilai masyarakat, maka perusahaan dapat kehilangan legitimasinya, yang selanjutnya akan mengancam kelangsungan hidup perusahaan.
Lindblom (dalam Gray et al., 1995) menyatakan bahwa teori legitimacy
merupakan suatu kondisi atau status yang ada ketika suatu sistem nilai perusahaan kongruen dengan system nilai dari system sosial yang lebih besar dimana perusahaan merupakan bagiannya. Ketika suatu perbedaan yang nyata atau yang potensial ada antara kedua system nilai tersebut, maka akan muncul ancaman terhadap legitimasi perusahaan.
2.1.6 Kinerja Keuangan yang Mempengaruhi Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Aktivitas sosial perusahaan merupakan salah satu komponen yang digunakan dalam laporan tahunan. Belum adanya standar baku yang mengatur tentang pelaporan aktivitas sosial perusahaan menyebabkan adanya keanekaragaman bentuk pengungkapan sosial yang dilakukan oleh perusahaan. Setiap perusahaan mempunyai kebijakan yang berbeda-beda mengenai pengungkapan sosial sesuai dengan karateristik perusahaan. Hal ini menimbulkan masalah dalam pengukuran
dengan menggunakan instrumen penelitian berupa daftar item pengungkapan sosial (Sembiring, 2005).
Banyak faktor yang dapat menpengaruhi pertanggungjawaban sosial, seperti size perusahaan, profitabilitas, ukuran dewan komisaris, maupun profile yang dianggap sebagai variabel penduga dalam pengungkapan pertanggungjawaban sosial. Mengingat banyaknya faktor yang mempengaruhi pertangggungjawaban
sosial, maka penelitian ini akan melihat apakah size perusahaan, profitabilitas,
leverage dan ukuran dewan komisaris perusahaan akan berpengaruh atau tidak terhadap pertanggungjawaban sosial yang dilakukan oleh perusahaan.
1. Ukuran Perusahaan (Size)
Size perusahaan merupakan variabel yang banyak digunakan untuk menjelaskan pengungkapan sosial yang dilakukan perusahaan dalam laporan tahunan yang dibuat. Secara umum perusahaan besar akan mengungkapkan informasi lebih banyak daripada perusahaan kecil. Hal ini karena perusahaan besar akan menghadapi resiko politis yang lebih besar dibanding perusahaan kecil. Secara teoritis perusahaan besar tidak akan lepas dari tekanan politis, yaitu tekanan untuk melakukan pertanggungjawaban sosial. Pengungkapan sosial yang lebih besar merupakan pengurangan biaya politis bagi perusahaan (Hasibuan, 2001). Dengan mengungkapkan kepedulian pada lingkungan melalui pelaporan keuangan, maka perusahaan dalam jangka waktu panjang bisa terhindar dari biaya yang sangat besar akibat dari tuntutan masyarakat.
Menurut Buzby (dalam Hasibuan, 2001) ada dugaan bahwa perusahaan yang kecil akan mengungkapkan lebih rendah kualitasnya dibanding perusahaan besar.
Hal ini karena ketiadaan sumber daya dan dana yang cukup besar dalam Laporan Tahunan. Manajemen khawatir dengan mengungkapkan lebih banyak akan membahayakan posisi perusahaan terhadap kompetitor lain. Ketersediaan sumber daya dan dana membuat perusahaan merasa perlu membiayai penyediaan informasi untuk pertanggungjawaban sosialnya.
Di samping itu, perusahaan yang berukuran lebih besar cenderung memiliki public demand akan informasi yang lebih tinggi dibanding perusahaan yang berukuran lebih kecil. Alasan lain adalah perusahaan besar dan memiliki biaya keagenan yang lebih besar tentu akan mengungkapkan informasi yang lebih luas hal ini dilakukan untuk mengurangi biaya keagenan yang dikeluarkan. Lebih banyak pemegang saham, berarti memerlukan lebih banyak juga pengungkapan, hal ini dikarenakan tuntutan dari para pemegang saham dan para analis pasar
modal. Cowen et.al. (dalam Sembiring, 2005) menyatakan bahwa perusahaan
yang lebih besar mungkin akan memiliki pemegang saham yang memperhatikan program sosial yang dibuat perusahaan dalam laporan tahunan, yang merupakan media untuk menyebarkan informasi tentang tanggung jawab sosial keuangan perusahan.
Akan tetapi tidak semua peneliti mendukung hubungan antara size perusahaan
dengan tanggung jawab sosial perusahaan. Penelitian yang tidak berhasil menunjukkan hubungan kedua variabel ini ditemukan oleh Anggraini (2006). Sedangkan penelitian yang berhasil menunjukkan hubungan kedua variabel ini antara lain adalah penelitian Hadi dan Sabeni (2002), Hasibuan (2001), dan Wulandari (2009). Karena ketidakkonsistenan hasil, maka penelitian ini menguji
kembali size perusahaan terhadap pengungkapan sosial dalam laporan tahunan di BEI.
H1: Size berpengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
2. Profitabilitas
Pengungkapan mengenai pertanggungjawaban sosial perusahaan mencerminkan suatu pendekatan perusahaan dalam melakukan adaptasi dengan lingkungan yang dinamis dan bersifat multidimensi. Hubungan antara pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan dan profitabilitas perusahaan telah diyakini mencerminkan pandangan bahwa reaksi sosial memerlukan gaya manajerial yang sama dengan gaya manajerial yang dilakukan pihak manajemen untuk membuat suatu perusahaan memperoleh keuntungan, Bowman dan Haire (dalam Sembiring, 2003).
Pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan merupakan cerminan suatu pendekatan manajemen dalam menghadapi lingkungan yang dinamis dan multidimensional serta kemampuan untuk mempertemukan tekanan sosial dengan reaksi kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, ketrampilan manajemen perlu
dipertimbangkan untuk survive dalam lingkungan perusahaan masa kini, Cowen et
al. (dalam Hasibuan, 2001).
Achmad (2007) menyatakan bahwa profitabilitas merupakan faktor yang memberikan kebebasan dan fleksibilitas kepada manajemen untuk mengungkapkan pertanggungjawaban sosial kepada pemegang saham. Hal ini berarti semakin tinggi tingkat profitabilitas perusahaan maka semakin besar pengungkapan informasi sosial.
Riset penelitian empiris terhadap hubungan pengungkapan sosial perusahaan, profitabilitas menghasilkan hasil yang sangat beragam. Penelitian Hadi dan Sabeni (2002), dan Hasibuan (2001) mendukung hubungan profitabilitas dengan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Sedangkan penelitian yang dilakukan Anggraini (2006), dan Yuliani (2003) melaporkan bahwa profitabilitas tidak berpengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Berbeda dengan pendapat di atas yang menyatakan bahwa profitabilitas berpengaruh positif terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan, Donovan dan Gibson (dalam Hasibuan, 2001) menyatakan berdasarkan teori legitimasi, salah satu argumen dalam hubungan antara profitabilitas dan tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial adalah ketika perusahaan memiliki laba yang tinggi, perusahaan tidak perlu melaporkan hal-hal yang mengganggu informasi tentang suksesnya keuangan perusahaan. Sebaliknya pada saat tingkat profitabilitas rendah, mereka berharap para pengguna laporan akan membaca “good news” kinerja perusahaan. Misalnya dalam lingkup sosial, ketika investor membaca laporan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan diharapkan mereka tetap berinvestasi di perusahaan tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa profitabilitas mempunyai hubungan negatif terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
Namun hal ini bertentangan dengan teori agensi yang menyatakan bahwa semakin besar perolehan laba yang didapat perusahan, maka semakin luas informasi sosial yang diungkapkan perusahaan. Ini dilakukan untuk mengurangi biaya keagenan yang muncul.
H2: Profitabilitas berpengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
3. Leverage
Menurut Makmun (2002) Leverage keuangan (ratio leverage) adalah
perbandingan antara dana-dana yang dipakai untuk membelanjai/membiayai perusahaan atau perbandingan antara dana yang diperoleh dari ekstern perusahaan (dari kreditur-kreditur) dengan dana yang disediakan pemilik perusahaan. Rasio tersebut digunakan untuk memberikan gambaran mengenai struktur modal yang dimiliki perusahaan, sehingga dapat dilihat tingkat resiko tak tertagihnya suatu utang.
Leverage dibagi menjadi dua, yaitu Operating Leverage dan Financial
Leverage. Menurut Brigham dan Houston (2006), operating leverage adalah tingkat sampai sejauh mana biaya-biaya tetap digunakan di dalam operasi sebuah
perusahaan. Operating leverage juga dapat diartikan sebagai penggunaan dana
dengan biaya tetap dengan harapan pendapatan yang dihasilkan dari penggunaan dana tersebut dapat menutup biaya tetap dan biaya variabel. Menurut Brigham dan
Houston (2006), financial leverage adalah tingkat sampai sejauh mana sekuritas
dengan laba tetap (utang dan saham preferen) digunakan dalam struktur modal
sebuah perusahaan. Sedangkan menurut Sartono (1996) financial leverage adalah
penggunaan asset dan sumber dana (source of fund) oleh perusahaan yang
memiliki biaya tetap dengan maksud menigkatkan keuntungan potensial
pemegang saham. Financial leverage terjadi pada saat perusahaan menggunakan
maka perusahaan harus membayar bunga. Bunga harus dibayar berapapun laba perusahaan (Husnan, 1997).
Tingkat risiko dan returrn saham perusahaan merupakan faktor penting yang
harus dipertimbangkan calon investor sebelum mengambil keputusan investasi
saham. Return saham dan risiko berhubungan secara linier dengan leverage yang
akan digunakan oleh perusahaan. Apabila risiko tinggi maka para pemegang saham akan meminta return saham yang tinggi pula, disamping itu penggunaan leverage juga dapat meningkatkan nilai perusahaan.
Perusahaan dengan rasio leverage yang tinggi berkewajiban untuk melakukan pengungkapan yang lebih luas dibanding perusahaan dengan rasio leverage yang rendah. Hal ini sejalan dengan penelitian Apriwenni (2009) menunjukkan hasil bahwa leverage berpengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Sedangkan penelitian yang dilakukan Sembiring (2005) dan Angraini (2006) dalam penelitiannya tidak menemukan hubungan signifikan antara leverage dengan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
H3: Leverage berpengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
4. Ukuran Dewan Komisaris
Dewan komisaris adalah wakil shareholder dalam perusahaan yang berbadan
hukum perseroan terbatas yang berfungsi mengawasi pengelolaan perusahaan yang dilaksanakan oleh manajemen (direksi), dan bertanggung jawab untuk menentukan apakah manajemen memenuhi tanggung jawab mereka dalam mengembangkan dan menyelenggarakan pengendalian intern perusahaan, Mulyadi (dalam Fahrizqi, 2010). Sebagai wakil dari prinsipal di perusahaan
dewan komisaris dapat mempengaruhi luasnya pengungkapan tanggung jawab sosial adalah karena dewan komisaris merupakan pelaksana tertinggi dalam perusahaan.
Dewan komisaris memiliki wewenang untuk mengawasi dan memberikan petunjuk dan arahan pada pengelola perusahaan. Dengan wewenang yang dimiliki, dewan komisaris dapat memberikan pengaruh yang cukup kuat untuk menekan manajemen untuk mengungkapkan CSR. Dengan mengungkapkan
informasi sosial perusahaan, image perusahaan akan semakin baik, Gray et al.,
(dalam Anggraini, 2006). Dewan komisaris tentu menginginkan peningkatan citra perusahaan.
Proporsi dewan komisaris cukup menentukan pengaruhnya terhadap pengungkapan sosial perusahaan. Beasly (dalam Fahrizqi, 2010) menyatakan bahwa semakin besar jumlah anggota dewan komisaris makan akan semakin
mudah mengendalikan Chief Eexecutive Officer (CEO) dan monitoring yang
dilakukan akan semakin efektif. Dengan demikian, semakin besar dewan komisaris maka akan semakin mudah untuk mengendalikan CEO untuk mengungkapkan informasi sosoal perusahaan. Hal ini sejalan dengan penelitian Sabeni (2002) dan Sembiring (2005) yang menunjukan hasil bahwa proporsi dewan komisaris independen mempengaruhi tingkat pengungkapan sukarela. H4: Ukuran dewan komisaris berpengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
Penelitian ini merupakan replikasi atau pengembangan dari penelitian-penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Sembiring (2005) dan Anggraini (2006). Namun salah satu variabel independen pada penelitian ini berbeda dengan penelitian Anggraini (2005). Dimana pada penelitian yang dilakukan Anggraini
(2005) salah satu variabel independennya menggunakan Kepemilikan Manajemen, sedangkan dalam penilitian ini menggunakan Ukuran Dewan Komisaris.
Dimana pada penelitian Sembiring (2005) menunjukkan bahwa variabel
profitabilitas dan leverage tidak berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan
CSR. Sementara variabel lainnya menunjukkan pengaruh signifikan terhadap pengungkapan CSR. Sedangkan pada penelitian Anggraini (2006) menunjukkan bahwa hanya variabel prosentase kepemilikan manajemen dan tipe industri yang terbukti mempunyai hubungan positif signifikan. Sementara variabel lainnya (leverage, size, dan profitabilitas) tidak terbukti adanya pengaruh terhadap pengungkapan informasi sosial.
2.1.7 Penelitian Terdahulu
Tabel 1
Penelitian Terdahulu
Penelitian Terdahulu Penelitian Sekarang Keterangan Sembiring (2005) Anggraini (2006) Afrianto (2015) Judul Karakteristik Perusahaan dan Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial: Studi Empiris Pada Perusahaan Yang Tercatat Di BEI Pengungkapan Informasi Sosial dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Informasi Sosial dalam Laporan Keuangan Tahunan Analisis Pengaruh Kinerja Perusahan Terhadap Pengungkapan Corporate Social Responsibility
Obyek Perusahaan Yang
Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Perusahan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Perusahan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia
Periode Penelitian Tahun 2002 2002 – 2004 2012 – 2014
Variabel Size, Profitabilitas, Profil, Ukuran Dewan Komisaris, Leverage, Pengungkapan CSR Size, Profitabilitas, Profile, Kepemilikan Manajemen dan Leverage, Pengungkapan CSR Size, Profitabilitas, Leverage, Ukuran Dewan Komisaris, Pengungkapan CSR
Metode Analisis Regresi Linier
Berganda
Regresi Linier
Berganda
Regresi Linier
2.2 Rerangka Pemikiran
Gambar 1 Rerangka Pemikiran
Keterangan:
- Perusahaan yang Go Public/yang Listing di BEI, mempunyai kewajiban
menerbitkan laporan keuangan setiap tahunnya.
- Perusahaan melakukan Pengungkapan Sosial pada setiap tahunnya.
- Kinerja perusahaan diukur berdasarkan Size, Profitabilitas (ROA), Leverage
(DER), Ukuran Dewan Komisaris.
Perusahaan yang Go Public
Kinerja Perusahaan
Size
(X1)
Profitabilitas Pengungkapan Sosial
Perusahaan/CSR Leverage
Ukuran Dewan Komisaris
2.3 Perumusan Hipotesis
Berdasarkan pada rumusan masalah, hasil penelitian terdahulu, dan kerangka berpikir yang telah diuraikan, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
H1: Size berpengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
H2: Profitabilitas berpengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
H3: Leverage berpengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.
H4: Ukuran dewan komisaris berpengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.