• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alda Kartika, SE., MSi Staf Bagian Pemasaran PTPN II ABSTRACT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Alda Kartika, SE., MSi Staf Bagian Pemasaran PTPN II ABSTRACT"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

MENCIPTAKAN NILAI TAMBAH KOMODITI UNGGULAN MINYAK SAWIT SEKTOR AGRIBISNIS PERUSAHAAN PERKEBUNAN SEBAGAI KEKUATAN

UNTUK MEMBANGUN DAYA SAING DALAM MENGHADAPI PERSAINGAN GLOBAL

Alda Kartika, SE., MSi (alda_kartika@yahoo.com) Staf Bagian Pemasaran PTPN II

ABSTRACT

The plantation business was sub-sector that has important role for the national economic through its contribution in national income, preparing of job, export and taxes revenue in Indonesian administration as the agricultural country. The plantation business was one of agri business sectors that signed by land shared in large scale that realizing in allocation of material forms and capital access. The government’s programs for increasing to oil palm productivity and quality, has the policy to disobey to raise plant productivity and oil palm quality little by little both to be produced by farmer and plantation company. In competitiveness and performance perspective, oil palm was valued to own the best competitiveness and performing. Because, the oil palm market share was build up time to time and 5 years recent, the competitiveness of oil palm still better then the others.

Government, in strategic planning for plantation business developing, has the estuary industry program and to enrichment the oil palm value added. This policy forwards the oil palm export did not in raw pattern but produced that so the Indonesian oil palm can create both added value and opening the job. The clustering of business on oil palm based, expected can make the strong value chain from the industry that produce raw materials till the end. Each of chains might increasing the added value through to build up the harmony vision and mission. At last, value chain in oil palm industry, can increase effectiveness, efficiency, and can focus on using of green products.

Keywords : oil palm added value, competitiveness

PENDAHULUAN

Perkebunan merupakan subsektor yang berperan penting dalam perekonomian nasional melalui kontribusi dalam pendapatan nasional, penyediaan lapangan kerja, penerimaan ekspor dan penerimaan pajak. Dalam perkembangannya, subsektor ini tidak terlepas dari berbagai dinamika lingkungan nasional dan global. Perubahan strategis nasional dan global tersebut mengisyaratkan bahwa pembangunan perkebunan harus mengikuti dinamika lingkungan perkebunan. Pembangunan perkebunan harus mampu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi perkebunan selain mampu menjawab tantangan globalisasi (Drajat, 2009).

Perusahaan perkebunan merupakan salah satu bidang usaha yang bergerak di

sektor agribisnis yang ditandai dengan penguasaan lahan dalam skala luas yang diwujudkan dalam bentuk alokasi bahan serta akses modal. Dengan sentuhan modal dan teknologi yang dimiliki perusahaan perkebunan menjadikan lahan yang dikuasai lebih produktif dari pada sebelumnya.

Tabel 1.

Komposisi Kepemilikan Lahan

Sumber : Murti (2011)

Perusahaan %

Perkebunan Rakyat 42,00 Perkebunan Swasta Besar 45,00

(2)

Usaha-usaha yang dilakukan perusahaan perkebunan dalam bisnis perkebunan adalah mengelola budi daya tanaman untuk menghasilkan produk agribisnis secara efisien, tepat guna dan berdaya guna, sehat, moderen dan profesional sebagai perusahaan yang menciptakanprofit making serta melaksanakan wahana pembangunan. Hal ini sejalan dengan kebijaksanaan dan program pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan dalam arti seluas-luasnya dengan tujuan memupuk keuntungan sesuai prinsip-prinsip perusahaan sehat berdasarkan:

a. Mempertahankan dan meningkatkan sumbangan bidang perkebunan bagi pendapatan nasional melalui upaya peningkatan produksi dan pemasaran dari berbagai jenis komoditi perkebunan untuk kepentingan konsumsi dalam negeri maupun ekspor non migas sekaligus dalam rangka meningkatkan ekspor non migas.

b. Memperluas lapangan kerja dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat pada umumnya serta meningkatkan taraf hidup petani dan karyawan pada khususnya.

c. Memelihara kelestarian sumber daya alam, air dan kesuburan tanah.

Usaha perkebunan yang efisien adalah usaha yang bisa menghasilkan produktivitas persatuan modal dan tenaga kerja paling optimal. Oleh karena itu biaya-biaya produksi atau pengeluaran usaha yang tidak penting harus dihindari. Dengan adanya biaya produksi yang kecil dalam menghasilkan produksi tinggi serta kualitas yang sesuai permintaan berarti menghasilkan produk yang memiliki daya saing tinggi.

PRODUKTIVITAS KOMODITAS

UNGGULAN SEKTOR AGRIBISNIS Menunjuk kepada pengelolaan perkebunan di Indonesia saat ini pada umumnya belum sampai pada tingkat efisiensi yang memiliki daya saing yang cukup memadai. Produktivitas hasil perkebunan dewasa ini baru berkisar 30-40% masih jauh dibawah produktivitas potensial yang bisa dicapai.

Prasetyani dan Miranti (2004) mengatakan bahwa bila melihat potensi luas lahan dan sumberdaya manusia yang tersedia, produktivitas hasil perkebunan yang masih rendah disebabkan rendahnya produktivitas tanaman, kurangnya dukungan riset/lembaga riset yang memadai untuk pengembangan produksi maupun produk turunannya, kurangnya promosi di pasar Internasional, standarisasi dan sertifikasi bibit yang belum sempurna, terbatasnya pabrik pengolahan dan kurang berkembangnya industri hilir.

Kondisi ini sungguh sangat tidak berimbang dengan kebijakan pengembangan perkebunan yang ekspansif. Indonesia saat ini memiliki perkebunan kelapa sawit seluas 6,7 juta hektar, dimana sebanyak 2,7 juta hektar milik sedikitnya 2 juta keluarga petani, 800.000 hektar oleh BUMN perkebunan dan 3,2 juta hektar diantaranya dikelola swasta (Hamzirwan, 2009). Pemerintah seperti tersihir dengan pengembangan sektor hulu, namun sejauh ini mengesampingkan produktivitas, efisiensi dan product development. Dengan berbagai upaya pembangunan, secara umum beberapa komoditas mengalami kenaikan produktivitas, namun secara umum produktivitas komoditas perkebunan masih rendah dan masih dapat ditingkatkan. Masih rendahnya produktivitas perkebunan tersebut merupakan tantangan bagi pengembangan perkebunan kedepan (Drajat, 2009).

Selanjutnya Drajat (2009) mengatakan, bahwa produktivitas perkebunan nasional masih tertinggal dari perkebunan negara Malaysia. Produktivitas kelapa sawit di Malaysia rata-rata berkisar antara 18 – 21 ton Tandan Buah Segar (TBS)/ha/tahun. Sementara produktivitas kelapa sawit di Indonesia baru berkisar 14 – 16 ton TBS/ha/tahun. Tabel berikut menunjukkan luas kebun kelapa sawit dan produksi minyak sawit selama kurun waktu tahun 2000 – 2010.

(3)

Tabel 2.

Luas Kebun Kelapa Sawit dan Produksi Minyak Sawit Tahun 2000 – 2010

Sumber : Dirjenbun (2010)

Departemen Pertanian dalam programnya untuk meningkatkan produktivitas dan mutu kelapa sawit mempunyai kebijakan jangka menengah 2006-2010 dengan meningkatkan produktivitas tanaman serta mutu kelapa sawit secara bertahap, baik yang dihasilkan petani maupun perkebunan besar. Program peningkatan produktivitas dan mutu kelapa sawit antara lain : peremajaan kelapa sawit, pengembangan industri benih yang berbasis teknologi dan pasar, peningkatan pengawasan dan pengujian mutu benih, perlindungan plasma nuftah kelapa sawit, pengembangan dan pemantapan kelembagaan petani (Deptan, 2007).

DAYA SAING KOMODITAS

UNGGULAN SEKTOR AGRIBISNIS Persaingan antar negara di pasar global semakin ketat karena beberapa negara memproduksi komoditas pertanian yang sama. Kondisi ini menunjukkan bahwa daya saing komparatif relatif antara negara untuk komoditas tertentu ikut menentukan apakah Indonesia lebih unggul dalam persaingan itu. Negara yang mampu menekan biaya produksi komoditas pertaniannya sehingga mempunyai daya saing komparatif lebih tinggi dibanding negara lain, akan mampu bersaing di pasar Internasional.

Daya saing didefinisikan sebagai“the sustained ability to profitability gain and maintained market share” (Martin, Westgren and Van Duren, 1991 dalam Hadi dan Agustian, 2002). Sementara menurut Simatupang (2002), analisis daya saing ini sangat penting untuk mengetahui apakah suatu usaha tersebut layak dikembangkan secara ekonomis. Daya saing suatu usaha dapat didefinisikan sebagai kemampuan suatu usaha untuk tetap layak secara finansial pada kondisi teknologi usaha tani, lingkungan ekonomi dan kebijakan pemerintah yang ada.

Pakar manajemen strategi memaknai era globalisasi sebagai hyper competition yang menuntut kemampuan daya saing tertentu (nasional/daerah) agar bisa ikut dalam percaturan ekonomi dunia (global) yang selanjutnya disebut dengan Daya Saing Domestik (DSD). Abdullah (2002) mengatakan, bahwa DSD memberi makna sebagai konsep yang mengukur dan membandingkan seberapa baik suatu negara dalam menyediakan suatu iklim tertentu yang kondusif untuk mempertahankan daya saing domestik maupun global dari perusahaan-perusahaan yang ada di wilayahnya. Kemampuan bersaing menjadi hal utama dalam menghadapi ekonomi global.

Secara teoritis, suatu komoditas diproduksi oleh suatu negara karena

Tahun Kelapa Sawit (Nasional) Kelapa Sawit (Sumut) Perbandingan (%) Luas (Ha) Produksi (Ton) Luas (Ha) Produksi (Ton) Luas Produksi

2000 4.158.079,00 7.000.507,00 785.732,00 2.210.954,00 18,90 31,58 2001 4.713.435,00 8.396.472,00 869.074,00 2.467.598,00 18,44 29,39 2002 5.067.058,00 9.622.344,00 886.612,00 2.619.271,00 17,50 27,22 2003 5.283.557,00 10.440.834,00 919.680,00 2.763.862,00 17,41 26,47 2004 5.284.723,00 10.830.389,00 844.882,00 2.453.010,00 15,99 22,65 2005 5.453.817,00 11.861.615,00 894.911,00 2.511.587,00 16,41 21,17 2006 6.594.914,00 17.350.848,00 979.541,00 3.244.922,00 14,85 18,70 2007 6.766.836,00 17.664.725,00 998.966,00 3.083.389,00 14,76 17,46 2008 7.363.847,00 17.539.788,00 1.017.574,00 2.738.279,00 13,82 15,61 2009 8.248.328,00 19.324.293,00 1.044.854,00 3.158.144,00 12,67 16,34 2010 8.430.026,00 19.760.011,00 1.057.769,00 3.230.488,00 12,55 16,35

(4)

beberapa faktor penyebab. Pertama, pengetahuan produsen dan atau pemerintah mengenai hukum keunggulan komparatif, sehingga komoditas yang diproduksi adalah memiliki keunggulan komparatif. Kedua, komoditas yang bersangkutan diusahakan karena kebiasaan sejak dulu atau warisan orang tua. Ketiga, keunggulan komparatif suatu komoditas bersifat dinamis yang dari waktu ke waktu dapat berubah karena berubahnya lingkungan ekonomi di dalam negeri dan luar negeri (Hadi dkk., 2002).

Dengan pengertian bahwa komoditas perkebunan merupakan komoditas yang diperdagangkan secara internasional, maka pengetahuan mengenai globalisasi dan liberalisasi perdagangan merupakan hal yang sangat penting. Pokok perhatian dalam globalisasi dan liberalisasi perdagangan adalah daya saing. Tanpa daya saing yang kuat maka komoditas perkebunan Indonesia akan kalah bersaing dengan komoditas yang dihasilkan negara lain.

Menyimak dari indikator ekonomi makro, bahwa penggerak utama pertumbuhan ekonomi berada di sektor pertanian sub sektor perkebunan yang memberi kontribusi kepada PDRB kepada masing-masing propinsi. Dengan demikian sangat beralasan pemerintah menekankan pembangunan ekonomi ke sektor pertanian sub sektor perkebunan. Ini berarti bahwa pembangunan industri di dalam negeri selayaknya dimotori oleh sektor tersebut yang berbasis pada komoditi unggulan. Prioritas pembangunan pertanian diarahkan

pada komoditi unggulan yang selanjutnya akan dijadikan sebagai basis pengembangan investasi, agribisnis dan agroindustri

untuk kemudian mampu memasuki pasar global.

Menurut Cho dan Moon (2003) bahwa ada dua strategi yang bisa dipilih dalam rangka peningkatan daya saing domestik (DSD) yaitu market based approach dan resources based approach. Jika strategi market based approach dipilih berarti bahwa strategi bersaing difokuskan pada kebutuhan pasar melalui analisis lingkungan industri. Sementara pendekatan resources based memandang aktivitas ekonomi atau bisnis dari sisi pemanfaatan sumber daya yang dilayani. Pemanfaatan sumber daya dan kapabilitas dalam rangka membangun daya saing berkesinambungan yang diarahkan kepada usaha-usaha menangkap berbagai peluang dan mengatasi berbagai ancaman dalam persaingan. Strategi resources based lebih menekankan pada pengembangan kemampuan bersaing melalui inovasi dan kompetensi inti (core competence).

Dari berbagai perkembangan dan kajian yang ada, terlihat bahwa persaingan dalam usaha perkebunan kelapa sawit bukan saja terjadi antar sesama negara produsen melainkan juga persaingan dengan jenis minyak nabati lainnya. Hal ini jelas terlihat dari gambaran, pangsa konsumsi dan produksi minyak nabati terlihat pada tabel 3.

Tabel. 3.

Pangsa Konsumsi dan Produksi Minyak Nabati

No Uraian 1993-1997 1982-2002 2003-2007 2008-2012 I TotalProduksi (Ton) 70.778.000 83.680.000 95.624.000 108.512.000 Minyak Sawit 15.500.382 20.752.640 25.340.360 29.949.312 Minyak Kedelai 17.765.278 19.915.840 22.376.016 25.174.784 Minyak Kanola 10.121.254 11.966.240 12.526.744 15.517.216 M. BungaMatahari 8.351.804 9.790.560 12.526.744 12.044.832 Minyak Lainnya 19.039.282 21.254.720 22.854.136 25.825.856 II TotalKonsumsi(Ton) 90.501.000 104.281.000 18.061.000 132.234.000 Minyak Sawit 15.385.170 20.021.952 25.973.420 29.752.650 Minyak Kedelai 17.828.697 20.126.233 22.213.529 25.124.460 Minyak Kanola 10.045.611 11.783.753 13.511.015 15.471.378 M. BungaMatahari 8.326.092 9.593.852 10.816.612 12.033.294 Minyak Lainnya 38.915.930 42.753.210 45.335.424 49.852.218

(5)

Arifin (2001) mengatakan bahwa daya saing komparatif hasil perkebunan kelapa sawit karena rendahnya biaya produksi ditingkat kebun seharusnya ditransfer sampai pada kegiatan pemasaran dan upaya pendalaman (deepening) pada beberapa komoditas strategis dengan meningkatkan program-program diversifikasi produk dan percepatan pertumbuhan sektor hilir. Upaya ini walaupun berskala panjang, sangat bermanfaat untuk menambah daya tahan industri komoditas perkebunan dari gejolak pasar internasional produk hulu. Selain meningkatkan nilai tambah (added-value) dapat dilaksanakan di dalam negeri dan dapat menyerap tenaga kerja produktif yang sangat diperlukan dalam pembangunan ekonomi.

Dari segi daya saing dan kinerja, minyak sawit dinilai memiliki daya saing dan kinerja yang paling baik karena pangsa pasarnya terus meningkat dari sekitar 10 persen pada tahun 1970-an menjadi 28 persen pada tahun 2000-an. Beberapa jenis minyak nabati seperti rapeseed oil dan sunflower oil terus mengalami penurunan pangsa. Hal ini menunjukkan bahwa minyak sawit di pasar dunia memiliki daya saing untuk menggeser pasar minyak nabati lainnya (Susila, 1998). Pada lima tahun terakhir, daya saing minyak sawit di pasar dunia masih lebih baik dari daya saing minyak nabati lainnya (Basiron, 2002).

MENCIPTAKAN NILAI TAMBAH

KOMODITI MINYAK SAWIT

MELALUI INDUSTRI HILIR

Indonesia sebagai negara agraris yang dianugerahi sumber daya alam yang melimpah patut mensyukurinya karena potensi yang terkandung didalamnya merupakan modal awal untuk menggerakkan roda perekonomian nasional dan salah satunya adalah sektor agribisnis. Pengembangan sektor agribisnis akan menjadi salah satu keunggulan (a leading sector) pembangunan ekonomi nasional dalam berbagai aspek yang luas.

Oleh sebab itu, pengembangan agribisnis perlu mengandalkan industri-industri atau kegiatan yang dapat menciptakan nilai tambah bagi produk perusahaan perkebunan terutama nilai tambah industri non migas dan ekspor non migas yang cukup tinggi. Nilai tambah yang terbesar diciptakan melalui kegiatan agribisnis justru pada sektor hilir atau off-farm agribusiness.

Indonesia baru mampu menghasilkan komoditas perkebunan yang bernilai tambah kecil seperti produk minyak sawit perusahaan perkebunan. Padahal sebagaimana yang kita ketahui bahwa minyak sawit yang dihasilkan tersebut adalah bahan baku berbagai produk olahan dan non pangan yang dapat memberikan nilai tambah besar dalam upaya mendongkrak devisa negara.

Namun ironisnya bahwa dengan produksi minyak sawit yang sangat besar ternyata Indonesia tidak berupaya untuk meningkatkan nilai tambah dari minyak sawit tersebut. Peningkatan produksi minyak sawit perusahaan perkebunan tidak diikuti oleh perkembangan industri pengolahan lebih lanjut sehingga Indonesia hanya sebagai pengekspor produk primer (primary product).

Tabel 4.

Volume Ekspor Minyak Sawit Indonesia Tahun 2004-2011

Sumber: GAPKI (2011)

Dengan demikian perekonomian perkebunan masih didominasi oleh produk primer perkebunan. Padahal, potensi untuk mengembangkan industri hilir perkebunan masih terbuka dan pasar produk hilir perkebunan lebih prospektif. Dalam perolehan dari nilai tambah perkebunan besar, baik BUMN perkebunan maupun swasta tampak masih terbatas sebagaimana Tahun Volume (Juta Ton)

2004 8,66

2009 15,50

2010 15,17

(6)

diperlihatkan oleh produk akhir yang diusahakan, yaitu masih terbatas pada produk-produk primer perkebunan. Hal ini menunjukkan bahwa perkebunan Indonesia masih merupakan pensuplai bahan baku dimana industri akhirnya berada di negara konsumen.

Sebagai konsekunesi dari konstelasi dan dinamika perekonomian dunia, pengusahaan komoditas primer cenderung kurang menguntungkan. Terlihat kecenderungan harga komoditas primer yang sangat fluktuatif dan ekstrim, sedangkan harga komoditas sekunder dan turunannya cenderung meningkat dan prospektif. Dengan demikian akan jelas terlihat peningkatan nilai tambah yang sangat signifikan bila komoditas primer diolah lebih lanjut menjadi komoditas yang lebih hilir.

Hamzirwan (2009) mengatakan, bahwa kebijakan industri hilir yang lemah membuat industri pengolahan minyak sawit seperti kehilangan tenaga. Dari kapasitas terpasang 21 juta ton di 62 pabrik, hanya 54 persen yang terpakai.

Menurut Drajat (2009), bahwa kenyataan tersebut menuntut dilakukannya pengelolaan perkebunan secara terintegrasi melalui sektor hulu dan hilir untuk mengintegrasikan pengelolaan komoditas primer dengan komoditas yang lebih hilir. Upaya mengintegrasikan hulu dan hilir perlu mendapat dukungan dari berkembangnya sistem dan usaha agribisnis perkebunan. Keterkaitan sejak subsistem sarana produksi hingga subsistem pemasaran/perdagangan perlu dikembangkan dan melibatkan pelaku usaha. Pengembangan sistem dan usaha agribisnis perkebunan harus mampu mensinergikan setiap subsistem dan pelaku usaha, disamping mendorong pemerintah untuk senantiasa sebagai fasilitator pengembangan tersebut.

Syahza (2003) mengatakan bahwa aktivitas pembangunan perkebunan kelapa sawit yang melibatkan banyak tenaga kerja dan investasi yang relatif besar untuk industri hilirnya, diperkirakan secara positif merangsang, menumbuhkan dan menciptakan lapangan kerja serta lapangan berusaha. Melalui kegiatan ekonomi yang menghasilkan barang dan jasa yang

diperlukan selama proses kegiatan perkebunan kelapa sawit dan pembangunan industri hilirnya akan mempunyai keterkaitan ke belakang (backward linkages) dan ke depan (forward linkages).

Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian dalam rencana stratejik pembangunan perkebunan 2005-2009 mempunyai program pengembangan industri hilir dan peningkatan nilai tambah kelapa sawit dimana kebijakan tersebut dimaksudkan agar ekspor kelapa sawit Indonesia tidak lagi berupa bahan mentah (CPO) tetapi sudah dalam bentuk hasil olahan sehingga dapat meningkatkan nilai tambah dalam negeri dan lapangan kerja baru (Dirjenbun, 2006). Selanjutnya langkah yang ditempuh pengembangan industri hilir antara lain :

- Fasilitas pengembangan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) terpadu dengan refinery 5-10 ton TBS/jam di areal yang belum terkait dengan unit pengolahan dan pendirian pabrik Minyak Goreng Sawit (MGS) skala kecil di sentra produksi CPO yang belum ada pabrik MGS. - Pengembangan industri hilir kelapa

sawit di sentra-sentra produksi.

- Peningkatan kerjasama di bidang promosi, penelitian dan pengembangan serta pengembangan SDM dengan negara penghasil CPO.

- Fasilitas pengembangan biodiesel. - Pengembangan market research dan

market intelligent untuk memperkuat daya saing.

Dari Road Map Industri Pengolahan CPO Dirjen Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustian RI (2009), bahwa dari produk antara sawit dapat diproduksi berbagai jenis produk yang sebagian besar adalah produk yang memiliki pangsa pasar potensial, baik untuk pangsa pasar dalam negeri maupun pangsa ekspor. Pengembangan industri hilir sawit perlu dilakukan mengingat nilai tambah produk hilir sawit yang tinggi. Jenis industri hilir kelapa sawit spektrumnya sangat luas, hingga lebih dari 100 produk hilir yang telah dapat dihasilkan pada skala industri, namun baru sekitar 23 jenis produk hilir

(7)

(pangan dan non pangan) yang sudah diproduksi secara komersial di Indonesia.

Selanjutnya berdasarkan Road Map tersebut, bahwa industri berbasis CPO memiliki keterkaitan kuat secara horizontal dan vertikal mulai dari hulu sampai hilir, maka pendekatan klaster dapat digunakan sebagai cara untuk pengembangan industri CPO. Namun demikian, industri berbasis CPO di Indonesia belum sepenuhnya terintegrasi antara industri hulu dan hilir. Potensi bahan baku yang tinggi sebaiknya dimanfaatkan untuk pengembangan industri hilirnya, karena mempunyai nilai tambah yang tinggi dan menimbulkan efek ganda (multiplier effect) yang sangat signifikan.

Sebagai upaya mengimplementasikan keterkaitan tersebut, pemerintah mencanangkanMaster PlanPercepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 pada tanggal 27 Mei 2011 di Jakarta yang mengacu kepada pendekatan terintegrasi antara pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. MP3EI mencakup 22 aktivitas ekonomi utama Indonesia dan merupakan adaptasi serta integrasi dari RPJPN 2002-2025 dengan dimulainya proyek-proyek “groundbreaking” yang pencanangannya dilakukan di enam koridor ekonomi Indonesia yang akan dipusatkan pada empat lokasi dengan 17 proyek yaitu Sei Mangke Sumatera Utara, Cilegon Banten, Lombok Timur NTB dan Timika Papua. Khusus Sei Mangke Sumatera Utara merupakan industri berbasis CPO melalui pendekatan klaster dengan integrasi industri hulu dan hilir yang didukung sepenuhnya oleh PTPN III (Kompas, 2011).

Adanya klaster industri berbasis minyak sawit diharapkan memperkuat keterkaitan pada semua tingkatan rantai nilai (value chain) dari industri hulunya, mampu meningkatkan nilai tambah sepanjang rantai nilai dengan membangun visi dan misi yang selaras sehingga mampu meningkatkan produktivitas, efisiensi dan jenis sumber daya yang digunakan dalam industri dan memfokuskan pada penggunaan sumber-sumber daya terbarukan (green product).

Indonesia sudah seharusnya tidak hanya menjadi pemain marjinal melalui ekspor minyak sawitnya, tetapi

mengembangkan produk-produk turunan yang mempunyai nilai tambah tinggi. Potensi bahan baku yang tinggi sebaiknya dimanfaatkan untuk pengembangan industri hilirnya, karena mempunyai nilai tambah yang tinggi dan menimbulkan efek ganda (multiplier effect) yang sangat signifikan.

Dalam upaya pembangunan industri yang berbasis minyak sawit, maka diperlukan suatu strategi yang dititik bertakan pada :

- Penguatan struktur yang terkait pada semua tingkat dalam mata rantai (value chain) industri berbasis minyak sawit - Pengembangan teknologi kedepan

industri berbasis minyak sawit

- Pengembangan lokasi klaster industri berbasis minyak sawit

Berdasarkan hal tersebut maka untuk menciptakan nilai tambah dari produksi minyak sawit perusahaan perkebunan, sudah saatnya membangun industri hilir minyak sawit yang pada intinya adalah membangun agribisnis dalam skala lebih luas. Menurut Bungaran Saragih (1997) bahwa dengan membangun agribisnis berarti mengintegrasikan pembangunan pertanian, industri dan jasa dengan membangun keunggulan bersaing (competitive advantage) diatas keunggulan komparatif (comparative advantage) yaitu melalui transformasi pembangunan yang digerakkan oleh modal (capital driven) dan selanjutnya digerakkan oleh inovasi (innovation driven).

KESIMPULAN

1. Perkebunan merupakan subsektor yang berperan penting dalam perekonomian nasional melalui kontribusi dalam pendapatan nasional, penyediaan lapangan kerja, penerimaan ekspor dan penerimaan pajak Indonesia sebagai negara agraris yang dianugerahi sumber daya alam yang melimpah.

2. Perusahaan perkebunan merupakan salah satu bidang usaha yang bergerak di sektor agribisnis yang ditandai dengan penguasaan lahan dalam skala luas yang diwujudkan dalam bentuk alokasi bahan serta akses modal.

(8)

3. Pemerintah dengan programnya untuk meningkatkan produktivitas dan mutu kelapa sawit mempunyai kebijakan melalui peningkatan produktivitas tanaman serta mutu kelapa sawit secara bertahap, baik yang dihasilkan petani maupun perkebunan besar.

4. Dari segi daya saing dan kinerja, minyak sawit dinilai memiliki daya saing dan kinerja yang paling baik karena pangsa pasarnya terus meningkat dan selama lima tahun terakhir, daya saing minyak sawit di pasar dunia masih lebih baik dari daya saing minyak nabati lainnya. 5. Pemerintah dalam rencana stratejik

pembangunan perkebunan mempunyai program pengembangan industri hilir dan peningkatan nilai tambah kelapa sawit dimana kebijakan tersebut dimaksudkan agar ekspor kelapa sawit Indonesia tidak lagi berupa bahan mentah (CPO) tetapi sudah dalam bentuk hasil olahan sehingga dapat meningkatkan nilai tambah dalam negeri dan lapangan kerja baru.

6. Adanya klaster industri berbasis minyak sawit diharapkan memperkuat keterkaitan pada semua tingkatan rantai nilai (value chain) dari industri hulunya, mampu meningkatkan nilai tambah sepanjang rantai nilai dengan membangun visi dan misi yang selaras sehingga mampu meningkatkan produktivitas, efisiensi dan jenis sumber daya yang digunakan dalam industri dan memfokuskan pada penggunaan sumber-sumber daya terbarukan (green product).

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah. (2002). Daya Saing Daerah dan Pengukurannya. BPFE Yogyakarta. Arifin, B. (2001). Spektrum Kebijakan

Pertanian Indonesia. Jakarta.

Basiron, Y. (2002). Palm Oil and Its Global Supply and Demand Prospect. Oil Palm Industry Economic Journal. Bungaran Saragih. (1997). Pengembangan

Agribisnis Dalam Pembangunan Ekonomi Nasional Menghadapi Abad Ke-21. Tesis.

Cho, Dong Su and Moon, Hwy-Chang. (2003). From Adam Smith to Michael Porter. Salemba Empat. Jakarta.

Deptan. (2007). Direktori Perkebunan Indonesia 2007-2008. Direktorat Jendral Perkebunan. Jakarta.

Dirjenbun.(2006). Rencana Stratejik Pembangunan Perkebunan 2005-2009.Direktorat Jenderal Perkebunan. Departemen Pertanian. Jakarta.

___________________.(2010). Statistik Perkebunan Kelapa Sawit.. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan Jakarta.

Direktorat Industri Agro dan Kimia. (2009). Roadmap Industri Pengolahan CPO. Departemen Perindustrian. Jakarta.

Drajat, Bambang. (2009). Dinamika Lingkungan Nasional dan Global Perkebunan : Implikasi Strategis Bagi Pembangunan Perkebunan. Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. Bogor.

Gapki. (2011). Produksi CPO Diprediksi 23 Juta Ton Tahun 2011. Artikel Opini 24 Januari 2011.

Hadi U, Projogo dan Agustian, Adang. (2002). Analisis Dinamika Ekspor dan Keunggulan Komparatif Minyak Kelapa Sawit (CPO) Di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Hadi, dkk. (2002). Kajian Perdagangan

Internasional Komoditas Pertanian Tahun 2001. Kerjasama Proyek ARMP II dengan Puslitbang Sosek Pertanian. Bogor.

Hamzirwan. (2009). Menjadi Penentu Pasar Dunia. Harian Kompas, 23 Juni 2009.

Kompas. (2011). Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Harian Kompas, 28 Mei 2011. Murti, B.Krisna. (2011). Indonesia Butuh

Tambahan 100 Unit PKS. Harian Kontan, 28 Maret 2011.

(9)

Oil World Annual. (2007). Pangsa Produksi dan Konsumsi Minyak

Nabati Dunia.

http://www.oilworld.biz.

Prasetyani, Martha dan Miranti, Ermina. (2004). Potensi dan Prospek Bisnis Kelapa Sawit. Analis Ekonomi Bisnis pada salah satu Bank Pemerintah di Jakarta.

Simatupang, P. (2001). Daya Saing Komoditas. Puslitbang Sosek Pertanian. Bogor.

Susila, W. R. (1998). Daya Saing dan Efisiensi Penggunaan Sumber Daya Minyak Sawit Mentah (CPO) Indonesia. Jurnal Agribisnis.

Syahza, Almasdi. (2003). Ekspor CPO (Crude Palm Oil) dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah Riau. Pusat Pengkajian Koperasi dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (PPKPEM) Universitas Riau.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan dapatan kajian ini maka kombur jenaka dianggap sebagai suatu jenis wacana cerita jenaka berbentuk dongeng, humor, dan anekdot yang berkesan

a) Mengembangkan ketrampilan siswa untuk memecahkan permasalahan dan mengambil keputusan secara objektif dan mandiri. b) Mengembangkan ketrampilan

yang mana rataan total biaya produksi tertinggi pada perlakuan P0 (Penggunaan ransum kontrol dengan tepung limbah ikan gabus pasir sebanyak 0% dan tepung ikan komersil

namun, turbin angin vertikal memiliki keunggulan yaitu Turbin angin sumbu vertikal tidak harus diubah posisinya jika arah angin berubah, tidak seperti turbin

Suyanik (2010) menyimpulkan bahwa dalam pembelajaran siswa yang berkemampuan awal tinggi cenderung memperoleh hasil belajar yang lebih baik dibanding siswa

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang

Subang Siti Rohmah Hasanah Mtss Tanjungsiang 238 - Sejarah Kebudayaan Islam TAHAP XVII.. Sutrisno MtsN 238 - Sejarah Kebudayaan Islam

Jika dilihat dari konsep pemupukan (5T) yaitu: tepat dosis, tepat waktu, tepat jenis, tepat cara, dan tepat kualitas dapat dilihat dari hasil penelitian bahwa petani belum