10 2.1. Laporan Keuangan
Laporan Keuangan merupakan ringkasan dari suatu proses pencatatan,
merupakan suatu ringkasan dari transaksi keuangan yang terjadi selama tahun
buku yang bersangkutan (Baridwan, 2013). Secara umum laporan keuangan
adalah catatan informasi keuangan suatu perusahaan pada suatu periode
akuntansi yang dapat digunakan untuk menggambarkan kinerja perusahaan
tersebut (Sujarweni, 2017). Laporan keuangan merupakan salah satu sumber
informasi yang penting bagi pemakaian laporan keuangan dalam rangka
pengambilan keputusan ekonomi (Hery, 2015).
2.2 Jenis Laporan Keuangan
Menurut SAK ETAP (2009), Laporan keuangan yang lengkap
meliputi :
1. Neraca
Neraca merupakan bagian dari laporan keuangan suatu perusahan
yang dihasilkan pada suatu periode akuntansi yang menunjukkan
posisi keuangan perusahaan pada akhir periode tersebut. Neraca
minimal mencakup pos-pos berikut: kas dan setara kas; piutang
tetap; aset tidak berwujud; utang usaha dan utang lainnya; aset dan
kewajiban pajak; kewajiban diestimasi; ekuitas.
2. Laporan laba rugi
Laporan laba rugi menyajikan hubungan antara penghasilan dan
beban dari entitas. Laba sering digunakan sebagai ukuran kinerja
atau sebagai dasar untuk pengukuran lain, seperti tingkat
pengembalian investasi atau laba per saham. Unsur-unsur laporan
keuangan yang secara langsung terkait dengan pengukuran laba
adalah penghasilan dan beban. Laporan laba rugi minimal
mencakup pos-pos sebagai berikut: pendapatan; beban keuangan;
bagian laba atau rugi dari investasi yang menggunakan metode
ekuitas; beban pajak; laba atau rugi neto.
3. Laporan perubahan ekuitas
Dalam laporan ini menunjukkan Seluruh perubahan dalam ekuitas
untuk suatu periode, termasuk di dalamnya pos pendapatan dan
beban yang diakui secara langsung dalam ekuitasuntuk periode
tersebut, pengaruh perubahan kebijakan akuntansi dan koreksi
kesalahan yang diakui dalam periode tersebut. Perubahan ekuitas
selain perubahan yang timbul dari transaksi dengan pemilik dalam
kapasitasnya sebagai pemilik termasuk jumlah investasi,
penghitungan dividen dan distribusi lain ke pemilik ekuitas selama
4. Laporan arus kas
Laporan arus kas menyajikan informasi perubahan historis atas kas
dan setara kas entitas, yang menunjukkan secara terpisah
perubahan yang terjadi selama satu periode dari aktivitas operasi,
investasi, dan pendanaan.
5. Catatan atas laporan keuangan
Yang berisi ringkasan kebijakan akuntansi yang signifikan dan
informasi penjelasan lainnya. Catatan atas laporan keuangan berisi
informasi sebagai tambahan informasi yang disajikan dalam
laporan keuangan. Catatan atas laporan keuangan memberikan
penjelasan naratif atau rincian jumlah yang disajikan dalam laporan
keuangan dan informasi pos-pos yang tidak memenuhi kriteria
pengakuan dalam laporan keuangan.
2.3 Analisis Laporan Keuangan
Menurut Kasmir (2017) agar laporan keuangan menjadi lebih berarti
sehingga dapat dipahami dan dimengerti oleh berbagai pihak, perlu dilakukan
analisis laporan keuangan. Bagi pihak pemilik dan manajemen, tujuan utama
analisis laporan keuangan adalah agar dapat mengetahui posisi keuangan
perusahaan saat ini. Dengan mengetahui posisi keuangan, setelah dilakukan
analisis laporan keuangan secara mendalam akan melihat apakah perusahaan
dapat mencapai target yang telah direncanakan sebelumnya atau tidak.
pengambil keputusan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan perusahaan
melalui informasi yang didapat dalam laporan keuangan keuangan (Hery,
2015). Menurut Harahap (2015) analisis laporan keuangan berarti
menguraikan akun-akun laporan keuangan menjadi unit informasi yang lebih
kecil dan melihat hubungannya yang bersifat signifikan atau yang
mempunyai makna antara yang satu dengan yang lain baik antara data
kuantitatif maupun data non kuantitatif dengan tujuan untuk mengetahui
kondisi keuangan yang lebih dalam yang sangat penting dalam proses
menghasilkan keputusan yang tepat.
2.4. Rasio Keuangan
2.4.1 Pengertian Rasio Keuangan
Menurut Kasmir (2017) rasio keuangan merupakan kegiatan
membandingkan angka-angka yang ada dalam laporan keuangan dengan cara
membagi angka dengan angka lainnya. Perbandingan dapat dilakukan antar
satu komponen dengan komponen dalam satu laporan keuangan atau antar
komponen yang ada diantara laporan keuangan. Kemudian angka-angka yang
diperbandingkan dapat dalam satu periode maupun beberapa periode. Hasil
rasio keuangan ini untuk menilai hasil kerja manajemen apakah mencapai
target seperti yang telah ditetapkan. Kemudian juga dapat menilai
kemampuan manajemen dan memperdayakan sumber perusahaan secara
efektif. Dari kinerja yang dihasilkan ini juga dapat dijadikan sebuah evaluasi
ditingkatkan atau dipertahankan sesuai dengan target perusahaan. Menurut
Hery (2015) rasio keuangan merupakan suatu perhitungan rasio dengan
menggunakan laporan keuangan yang bersifat sebagai alat ukur dalam
menilai kondisi keuangan dan kinerja perusahaan.
2.4.2 Rasio Profitabilitas
Profitabilitas merupakan rasio untuk mengukur besarnya kemampuan
suatu perusahaan untuk memperoleh keuntungan ditinjau dari kemampuan
perusahaan yang bersangkutan dalam memperoleh laba dibanding dengan
jumlah aktiva yang dimilikinya (Sartono, 2001). Menurut Hanafi dan Halim
(2006), Profitabilitas adalah rasio untuk mengukur besarnya kemampuan
suatu perusahaan didalam memperoleh keuntungan. Terdapat tiga rasio untuk
mengukur profitabilitas yaitu:
1) Mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan laba bersih berdasarkan
tingkat aktiva tertentu.
2) Mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan laba bersih pada tingkat
penjualan tertentu.
3) Mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan laba berdasarkan model
saham tertentu.
Secara sederhana profitabilitas dapat diterjemahkan sebagai keuntungan
yang diperoleh perusahaan (Riyanto, 1999). Perusahaan dengan profitabilitas
yang tinggi biasanya cenderung menggunakan hutang yang lebih kecil,
yaitu melalui laba yang di tahan yang akan memperbesar modal sendiri
(Sartono, 2001).
Seringkali pengamatan menunjukkan bahwa perusahaan dengan
tingkat pengembalian yang tinggi atas investasi menggunakan hutang yang
relatif kecil. Karena modal sendiri yang tinggi dirasa sudah memadai untuk
membiayai sebagian besar kebutuhan pendanaan (Brigham dan Houston,
2004). Menurut Hery (2015) Profitabilitas dapat diukur dengan beberapa
rasio antara lain:
1) Return On Assets (Hasil Pengembalian atas Aset)
Rasio yang menunjukkan hasil (return) atas penggunaan aset perusahaan
dalam menciptakan laba bersih. Dengan kata lain rasio ini digunakan
untuk mengukur seberapa besar jumlah laba bersih yang akan dihasilkan
dari setiap rupiah dana yang tertanam dalam total aset. Rumusnya yaitu:
Return On Assets = Laba bersih Total Asset
2) Return On Equity (Hasil Pengembalian atas Ekuitas)
Rasio yang menunjukkan hasil (return) atas penggunaan ekuitas
perusahaan dalam menciptakan laba bersih. Dengan kata lain rasio ini
digunakan untuk mengukur seberapa besar jumlah laba bersih yang akan
dihasilkan dari setiap rupiah dana yang tertanam dalam total ekuitas.
Return On Equity = Laba bersih Total Ekuitas
3) Gross Profit Margin (Margin Laba Kotor)
Rasio yang digunakan untuk mengukur besarnya presentase laba kotor atas
penjualan bersih. Rumusnya yaitu:
Gross Profit Margin = Laba kotor Penjualan bersih
4) Operating Profit Margin (Margin Laba Operasional)
Rasio yang digunakan untuk mengukur besarnya presentase laba
operasional atas penjualan bersih. Rumusnya yaitu:
Operating Profit Margin = Laba Operasional Penjualan bersih
5) Net Profit Margin (Margin Laba Operasional)
Rasio yang digunakan untuk mengukur besarnya presentase laba bersih
atas penjualan bersih. Rumusnya yaitu:
2.4.3 Rasio Likuiditas
Likuiditas merupakan rasio yang menunjukkan hubungan antara aset
lancar yang dimiliki perusahaan dengan kewajiban lancar yang dimiliki
perusahaan. Biasanya rasio ini digunakan perusahaan untuk mengukur sejauh
mana kemampuan perusahaan untuk memenuhi seluruh kewajiban jangka
pendeknya (Brigham dan Houston, 2004). Menurut Brigham dan Houston
(2004) Likuiditas dapat diukur dengan beberapa rasio antara lain:
1) Current Ratio (Rasio Lancar)
Rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam
memenuhi kewajiban jangka pendeknya yang segera jatuh tempo dengan
menggunakan total aset lancar yang tersedia. Dengan kata lain, rasio lancar
ini menggambarkan seberapa besar jumlah ketersediaan aset lancar yang
dimiliki perusahaan dibandingkan dengan total kewajiban lancar (Hery,
2015). Rumusnya yaitu:
Current Ratio = Asset Lancar Kewajiban Lancar
2) Quick Ratio (Rasio Lancar)
Rasio yang digunakan perusahaan untuk mengukur kemampuan
perusahaan dalam membayar kewajiban jangka pendeknya dengan
Quick Ratio = Aktiva Lanca - Persediaan Hutang Lancar
3) Cash Ratio (Rasio Kas)
Cash ratio (CR) merupakan salah satu ukuran likuiditas yang dihitung
berdasarkan perbandingan antara saldo kas akhir tahun dengan utang
lancar perusahaan (Gitman, 2003 dalam Suwetja, 2014). Sebenarnya
semakin tinggi rasio ini, akan semakin baik kesempatan kas untuk
membayar kewajiban jangka pendeknya. Tapi bila dianggap terlalu tinggi,
maka akan menjadi tidak efisien. Hal ini dikarenakan kas tidak disimpan
terlalu berlebihan. Bisa digunakan untuk membayar hutang lebih cepat,
atau membeli aset tetap yang dapat berguna untuk kegiatan operasional
perusahaan (Munthe, 2012).Rumusnya yaitu:
Cash Ratio = Kas Utang Lancar
2.4.4 Rasio Solvabilitas
Rasio yang digunakan untuk mengukur sejauh mana aktiva perusahaan
dibiayai dengan utang atau rasio yang digunakan untuk mengukur
kemampuan perusahaan untuk membayar seluruh kewajibannya, baik jangka
pendek maupun jangka panjang apabila perusahaan dibubarkan atau
dilikuidasi (Kasmir, 2008 dalam Widiyanti, 2014). Jenis-jenis Rasio
1) Debt To Asset Ratio (Debt Ratio)
Rasio utang yang digunakan untuk mengukur perbandingan antara total
utang dengan total aktiva. Apabila rasionya tinggi, artinya pendanaan
dengan utang semakin banyak, maka semakin sulit bagi perusahaan untuk
memperoleh pinjaman karena dikhawatirkan perusahaan tidak mampu
menutupi utang-utangnya dengan aktiva yang dimilikinya. Demikian pula
apabila rasionya rendah, semakin kecil perusahaan dibiayai dengan utang.
Standar pengukuran rata-rata industri adalah 35% (Kasmir, 2008 dalam
Widiyanti, 2014). Rumusnya yaitu:
Debt To Asset Ratio = Total Hutang Total Akitiva
2) Debt To Equity Ratio
Merupakan rasio yang digunakan untuk menilai utang dengan ekuitas.
Standar umum rata-rata industri sebesar 90%, bila diatas rata-rata
perusahaan dianggap kurang baik (Kasmir, 2008 dalam Widiyanti, 2014).
Rumusnya yaitu:
3) Long Term Debt To Equity Ratio
Rasio antara utang jangka panjang dengan modal sendiri. Tujuannya
adalah untuk mengukur berapa bagian dari setiap rupiah modal sendiri
yang dijadikan jaminan utang jangka panjang dengan cara
membandingkan antara utang jangka panjang dengan modal sendiri yang
disediakan oleh perusahaan (Kasmir, 2008 dalam Widiyanti, 2014).
Rumusnya yaitu:
Long Term Debt To Equity Ratio= Total Utang Jangka Panjang Total Ekuitas
2.4.5 Rasio Aktivitas (Activity Ratio)
Mengukur tingkat efisiensi pemanfaatan sumber daya perusahaan
(penjualan, sediaan, penagihan piutang, dan lainnya) atau rasio untuk menilai
kemampuan perusahaan dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari (Kasmir,
2008 dalam Widiyanti, 2014). Jenis-jenis Rasio Aktivitas (Activity Ratio)
yaitu:
1) Receivable Turn Over (Perputaran Piutang)
Rasio untuk mengukur berapa lama penagihan piutang selama satu periode
atau berapa kali dana yang ditanam dalam piutang ini berputar dalam satu
periode. Standar umum rata-rata industri untuk perputaran piutang adalah
15 kali. Semakin tinggi rasio menunjukkan bahwa modal kerja yang
perusahaan semakin baik. Sebaliknya jika rasio semakin rendah ada over
investment dalam piutang (Kasmir, 2008 dalam Widiyanti, 2014).
Rumusnya yaitu:
Receivable Turn Over = Penjualan Kredit Piutang
2) Inventory Turn Over (Perputaran Persediaan)
Rasio untuk mengukur berapa kali dana yang ditanam dalam sediaan
(inventory) ini berputar dalam suatu periode. Standar umum rata-rata
industri adalah 20 kali. Apabila mencapai sampai 20 kali berarti inventory
turn over lebih baik, perusahaan tidak menahan sediaan dalam jumlah
yang berlebihan. Apabila rasio yang diperoleh tinggi, ini menunjukkan
perusahaan bekerja secara efisien dan likuid persediaan semakin baik.
Demikian pula apabila perputaran sediaan rendah berarti perusahaan
bekerja secara tidak efisien atau tidak produktif dan banyak barang sediaan
yang menumpuk. Hal ini akan mengakibatkan investasi dalam tingkat
pengembalian yang rendah (Kasmir, 2008 dalam Widiyanti, 2014).
Rumusnya yaitu:
3) Working Capital Turn Over (Perputaran Modal Kerja)
Mengukur atau menilai keefektifan modal kerja perusahaan selama periode
tertentu. Artinya seberapa banyak modal kerja berputar selama suatu
periode atau dalam suatu periode. Untuk mengukur rasio ini, dibandingkan
antara penjualan dengan modal kerja atau dengan modal kerja rata-rata.
Apabila perputaran modal kerja yang rendah, dapat diartikan perusahaan
sedang kelebihan modal kerja. Hal ini mungkin disebabkan karena
rendahnya peputaran persediaan atau piutang atau saldo kas yang terlalu
besar. Demikian pula sebaliknya jika perputaran modal kerja tinggi,
mungkin disebabkan tingginya perputaran persediaan atau perputaran
piutang atau saldo kas yang terlalu kecil. Rata-rata industri untuk
perputaran modal kerja adalah 6 kali (Kasmir, 2008 dalam Widiyanti,
2014). Rumusnya yaitu:
Working Capital Turnover = Sales
Net Working Capital
4) Total Assets Turn Over (Perputaran Total Aktiva)
Mengukur perputaran semua aktiva yang dimiliki perusahaan dan
mengukur berapa jumlah penjualan yang diperoleh dari tiap rupiah aktiva..
Standar umum rata-rata industri untuk rasio ini adalah 2 kali, jika dibawah
standar berarti perusahaan belum mampu memaksimalkan aktiva yang
mengurangi sebagian aktiva yang kurang produktif (Kasmir, 2008 dalam
Widiyanti, 2014).
Total Assets Turn Over = Sales
Total Assets
2.4.6 Rasio Nilai Pasar
Rasio ini digunakan untuk mengukur harga saham perusahaan relatif
terhadap nilai bukunya. Rasio yang digunakan yaitu: Price Earning Ratio
(PER) dan Earning Per Share (EPS).
Price Earning Ratio (PER) merupakan perbandingan antara harga pasar
suatu saham (market price) dengan laba perlembar saham, dan merupakan
indikator perkembangan perusahaan di masa mendatang. Menurut (Murhadi,
2013 dalam Sutomo dan Ardini, 2017) Price to Earning Ratio
menggambarkan perbandingan antara harga pasar dengan pendapatan per
lembar saham. Perusahaan yang mempunyai kesempatan untuk tumbuh dan
berkembang lebih besar adalah perusahaan yang memiliki price earning ratio
yang tinggi. Semakin tinggi ratio PER, semakin tinggi pertumbuhan laba
yang diharapkan oleh pemodal. Apabila PER perusahaan tinggi, maka saham
perusahaan dapat memberikan reaksi pasar yang tinggi bagi para investor.
Sedangakan Earning Per Share (EPS) adalah rasio yang menunjukkan
berapa besar kemampuan per lembar saham dalam menghasilkan laba. EPS
juga merupakan analisis laba dari sudut pandang pemilik yang dipusatkan
digunakan dalam publikasi mengenai performance perusahaan yang menjual
sahamnya kepada masyarakat umum karena EPS merupakan pendapatan yang
diperoleh dari tiap lembar saham yang diinvestasikan dimana besarnya
pendapatan tergantung pada laba bersih yang diperoleh perusahaan dan
jumlah lembar saham yang beredar (Muhardi, 2013 dalam Sutomo dan
Ardini, 2017).
2.4.7 Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan merupakan suatu skala dimana diklasifikasinya
perusahaan menurut besar kecilnya. Besar kecilnya suatu perusahaan dapat
dilihat dari jumlah pendapatan, total aset, jumlah karyawan dan total modal.
Semakin besar ukuran pendapatan, total aset, jumlah karyawan dan total
modal maka akan mencerminkan keadaan perusahaan yang semakin kuat
(Basyaib, 2007 dalam Mutia dkk, 2011). Menurut Departement Perindustrian
dan Perdagangan Republik Indonesia ukuran perusahaan terbagi dalam tiga
kategori yaitu perusahaan besar, perusahaan menengah dan perusahaan kecil.
Suatu perusahaan yang sudah mapan akan memiliki aktivitas yang lebih besar
dan memiliki risiko atau tanggung jawab yang besar pula sesuai dengan
aktivitas yang dilakukan, semakin besar suatu perusahaan maka akan semakin
dikenal masyarakat, yang berarti semakin mudah untuk mendapatkan
informasi mengenai perusahaan (Jogiyanto, 2003 dalam Mutia dkk, 2011).
Ukuran perusahaan (size) adalah indikasi ukuran sebuah perusahaan
yang dimiliki perusahaan jika mengalami peningkatan mengidentifikasikan
meningkatkan kinerja perusahaan dari sudut penjualan dan laba
(Sudharmadji, 2007 dalam Hasni dkk, 2013). Ukuran perusahaan sangat
identik dengan besarnya skala produksi yang dihasilkan sebuah perusahaan
dalam satu periode tertentu. Bentu-bentuk ukuran perusahaan terdiri dari total
nilai penjualan, besarnya nilai kapitalisasi pasar dan struktur assets yang
dimiliki perusahaan (Phalipu, 2005 dalam Hasni dkk, 2013).
2.4.8 Dividend Payout Ratio
Dividend Payout Ratio merupakan indikasi atas persentase jumlah
pendapatan yang diperoleh yang didistribusikan kepada pemilik atau
pemegang saham dalam bentuk kas (Gitman, 2003 dalam Rosdini, 2009).
Dividend Payout Ratio (DPR) ini ditentukan perusahaan untuk membayar
dividen kepada para pemegang saham setiap tahun, penentuan DPR
berdasarkan besar kecilnya laba setelah pajak.
Dividend Payout Ratio = Dividend per share
Earnings per share
2.5 Definisi Dividen
(Stice et al, 2005 dalam Suharli, 2007) Mengartikan dividen sebagai
pembagian laba kepada para pemegang saham perusahaan sebanding dengan
jumlah saham yang dipegang oleh masing-masing pemilik. Dividen dapat
saham dapat dinyatakan sebagai persentase atas nilai saham atau sejumlah
uang tiap lembar saham yang dimiliki.
Dividen merupakan bagian dari laba yang tersedia bagi pemegang
saham biasa (earning available for common stock holders) yang dibagikan
kepada para pemegang saham biasa dalam bentuk tunai (Warsono, 2003
dalam Sihombing 2014). (Hanafi, 2004 dalam Sihombing, 2014) menyatakan bahwa “Dividen merupakan kompensasi yang diterima oleh pemegang
saham, disamping capital gain.
2.5.1 Jenis Dividen
Dividen dapat dibagikan dalam berbagai bentuk. Dilihat dari bentuk
dividen yang didistribusikan kepada pemegang saham, dividen dapat dibedakan
menjadi beberapa jenis (Darmadji dan Fakhruddin, 2006) :
1. Dividen Tunai (cash dividend) : Dividen yang dibagikan kepada
pemegang saham dalam bentuk kas (tunai),
Dividen kas yang dibayarkan merupakan penilaian investor atas suatu
saham. Dividen kas mencerminkan arus kas kepada pemegang saham
dan menginformasikan kinerja perusahaan saat ini dan yang akan
datang. Sebab retained earnings (laba ditahan) adalah salah satu
bentuk pendanaan internal, maka keputusan mengenai dividen dapat
mempengaruhi kebutuhan pendanaan eksternal perusahaan. Dengan
demikian, semakin besar pula jumlah pendanaan eksternal yang
dibutuhkan melalui pinjaman hutang atau penjualan saham (Gitman,
2. Dividen Saham (stock dividend): Dividen yang dibagikan bukan
dalam bentuk tunai melainkan dalam bentuk saham perusahaan
tersebut. Di Indonesia saham yang dibagikan sebagai dividen
tersebut disebut saham bonus. Dengan demikian para pemegang
saham mempunyai jumlah lembar saham yang lebih banyak setelah
menerima Dividen Saham (stock Dividend). Dividen saham dapat
berupa saham yang sama jenisnya maupun yang berbeda jenisnya.
Pembayaran dividen dalam bentuk saham yaitu berupa pemberian
tambahan saham kepada para pemegang saham tanpa diminta
pembayaran dan dalam jumlah saham yang sebanding dengan saham
yang dimiliki (Munandar, 1983 dalam Sihombing, 2014).
3. Dividen harta (property dividend): Dividen harta merupakan
dividen yang diberikan kepada para pemegang saham dalam
bentuk barang-barang (bukan berupa uang tunai ataupun modal
saham perusahaan). Contoh Dividen Harta adalah dividen berupa
persediaan atau saham yang merupakan investasi perusahaan pada
perusahaan lain. Pembagian dividen berupa harta lebih sulit
dibanding pembagian dividen tunai. Perusahaan melakukan
dividen harta ini karena uang tunai perusahaan tertanam dalam
investasi saham perusahaan lain atau persediaan dan penjualan
investasi atau persediaan terutama bila jumlahcukup banyak akan
menyebabkan harga jual investasi ataupun persediaan turun
sehingga merugikan perusahaan dan pemegang saham sendiri
4. Dividen likuiditas (liquidating dividend): Dividen yang diberikan
kepada pemegang saham sebagai akibat likuidasinya perusahaan.
Dividen yang dibagikan adalah selisih nilai realisasi aset
perusahaan dikurangi dengan semua kewajibannya (Munandar,
1983 dalam Sihombing, 2014).
2.6. Kebijakan Dividen
Kebijakan dividen (dividend policy) adalah keputusan apakah laba
yang diperoleh perusahaan akan dibagikan kepada pemegang saham sebagai
dividen atau akan ditahan dalam bentuk laba ditahan guna pembiayaan
investasi dimasa datang. Apabila perusahaan memilih untuk membagikan
laba sebagai dividen, maka akan mengurangi laba yang ditahan dan
selanjutnya akan mengurangi total sumber dana intern atau internal financing
(Sartono, 2001 dalam Latiefasari, 2011). Kebijakan dividen merupakan
bagian yang tidak dapat dipisahan dengan keputusan pendanaan perusahaan.
Kebijakan dividen merupakan salah satu kebijakan dalam perusahaan yang
harus diperhatikan dan dipertimbangkan secara seksama (Sartono, 2001
dalam Latiefasari, 2011).
Laba ditahan merupakan salah satu dari sumber dana yang paling
penting untuk membiayai pertumbuhan perusahaan, sedangkan dividen
merupakan aliran kas yang dibayar kepada para pemegang saham (Riyanto,
1999). Dividen merupakan nilai pendapatan bersih perusahaan setelah pajak
pemegang saham sebagai keuntungan dari laba perusahaan. Rasio
pembayaran dividen (dividend payout ratio) yaitu perbandingan antara
Dividend Per Share (DPS) dengan Earning Per Share (EPS). Keputusan
mengenai jumlah laba yang ditahan dan dividen yang dibagikan diputuskan
dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) (Robert, 1997 dalam
Latiefasari, 2011).
2.6.1Teori Kebijakan Dividen
Menurut Sartono (2001) terdapat beberapa pendapat dan teori yang
mengemukakan tentang dividen diantaranya yaitu:
1. Dividen Tidak Relevan
Menurut Modigliani dan Miller (MM) dalam (Sartono, 2001), mereka
berpendapat bahwa bagaimanapun kebijakan dividen itu memang tidak
mempengaruhi harga saham maupun kemakmuran pemegang saham. Lebih
lanjut MM berpendapat bahwa nilai perusahaan ditentukan oleh earning
power dan asset perusahaan. Dengan demikian nilai perusahaan ditentukan
oleh keputusan investasi. Sementara itu keputusan apakah laba yang
diperoleh akan dibagikan dalam bentuk dividen atau akan ditahan tidak
mempengaruhi nilai perusahaan. MM menyatakan bahwa dividen tidak
relevan berdasarkan asumsi-asumsi di bawah ini:
a. Pasar modal sempurna, di mana para investor mempunyai
b. Para investor bersifat rasional.
c. Semua peserta pasar bersifat price-taker.
d. Kebijakan investasi perusahaan tidak berubah. Pada praktiknya
pasar modal yang sempurna sulit ditemui, biaya emisi saham baru
pasti ada, pajak pasti ada, dan kebijakan investasi perusahaan tidak
mungkin berubah.
Beberapa ahli menentang pendapat MM tentang dividen adalah tidak relevan
dengan menunjukkan bahwa adanya biaya emisi saham baru akan
mempengaruhi nilai perusahaan.
2. Teori The Bird In the Hand
Gordon dan Lintner (Sartono, 2001) berpendapat bahwa investor lebih
merasa aman untuk memperoleh pendapatan berupa pembayaran dividen
daripada menunggu capital gain. Sementara itu MM berpendapat dan telah
dibuktikan secara matematis bahwa investor merasa sama saja apakah
menerima dividen saat ini atau menerima capital gain dimasa datang. Gordon
dan Lintner (Sartono, 2001) beranggapan bahwa para investor memandang
seekor burung ditangan lebih berharga daripada seribu burung di udara.
Sementara itu MM berpendapat bahwa tidak semua investor berkeinginan
untuk menginvestasikan kembali dividen mereka diperusahaan yang sama
atau sejenis dengan memiliki resiko yang sama, oleh sebab itu tingkat resiko
pendapatan mereka dimasa datang bukannya ditentukan oleh kebijakan
3. Teori Perbedaan Pajak
Litzenberger dan Ramaswamy (Sartono, 2001). Mereka menyatakan
bahwa karena adanya pajak terhadap keuntungan dividen dan capital gains
dapat menunda pembayaran pajak. Oleh karena itu investor mensyaratkan
suatu tingkat keuntungan yang lebih tinggi pada saham yang memberikan
dividen yield tinggi, capital gains yield rendah daripada dividen yield rendah,
capital gains yield tinggi. Jika pajak atas dividen lebih besar daripada pajak
atas capital gains, perbedaan ini akan makin terasa.
Jika manajemen percaya bahwa teori dividen tidak relevan menurut
MM (Sartono, 2001) adalah benar, maka perusahaan tidak perlu
memperdulikan berapa besar dividen yang harus dibagi. Jika mereka
menganut teori the bird in the hand, mereka harus membagi seluruh EAT
(Earning After Tax) dalam bentuk dividen. Dan bila manajemen cenderung
mempercayai teori perbedaan pajak (Tax Differential Theory), mereka harus
menahan seluruh EAT (Earning After Tax) atau DPR (Dividend Payout
Ratio) = 0%.
4. Teori Signaling Hypothesis
Ada bukti empiris bahwa jika ada kenaikan dividen, sering diikuti
dengan kenaikan harga saham. Sebaliknya penurunan dividen pada umumnya
menyebabkan harga saham turun. Fenomena ini dapat dianggap sebagai bukti
bahwa para investor lebih menyukai dividen daripada capital gains. Tapi MM
(Sartono, 2001) berpendapat bahwa suatu kenaikan dividen yang diatas
perusahaan meramalkan suatu penghasilan yang baik di masa mendatang.
Sebaliknya, suatu penurunan dividen atau kenaikan yang dibawah kenaikan
normal (biasanya) diyakini para investor sebagai suatu sinyal bahwa
perusahaan menghadapi masa sulit di waktu mendatang.
Seperti teori dividen yang lain, teori signaling hypothesis ini juga sulit
dibuktikan secara empiris. Adalah nyata bahwa perubahan dividen
mengandung beberapa informasi. Tapi sulit apakah kenaikan dan penurunan
harga setelah adanya kenaikan dan penurunan dividen semata-mata
disebabkan oleh efek sinyal atau disebabkan karena efek sinyal dan preferensi
dividen.
5. Teori Clientele Effect
Terdapat banyak kelompok investor dengan berbagai kepentingan, ada
investor yang lebih menyukai memperoleh pendapatan saat ini dalam bentuk
dividen seperti halnya individu yang sudah pension sehingga investor ini
menghendaki perusahaan untuk membayar deviden yang tinggi. Tetapi ada
pula investor yang lebih menyukai untuk menginvestasikan kembali
pendapatan mereka, karena kelompok ini berada dalam tarif pajak yang cukup
tinggi (Sartono, 2001).
2.6.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan Dividen
Berbagai faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen (Sartono,
1. Kebutuhan dana perusahaan
Kebutuhan dana bagi perusahaan dalam kenyataanya merupakan
faktor yang harus dipertimbangkan dalam menentukan kebijakan
dividen yang akan diambil. Aliran kas perusahaan yang
diharapkan, pengeluaran modal dimasa datang yang diharapkan,
kebutuhan tambahan piutang dan persediaan, pola (skedul)
pengurangan utang dan masih banyak faktor lain yang
mempengaruhi posisi kas perusahaan harus dipertimbangkan dalam
analisis kebijakan dividen.
2. Likuiditas
Likuiditas perusahaan merupakan pertimbangan utama dalam
banyak kebijakan dividen. Karena dividen bagi perusahaan
merupakan kas keluar, maka semakin besar posisi kas dan
likuiditas perusahaan secara keseluruhan akan semakin besar
kemampuan perusahaan untuk membayar dividen.
3. Kemampuan meminjam
Kemampuan meminjam dalam jangka pendek tersebut akan
meningkatkan fleksibilitas likuiditas perusahaan. Selain itu
fleksibilitas perusahaan juga dipengaruhi oleh kemampuan
perusahaan untuk bergerak di pasar modal dengan mengeluarkan
obligasi. Perusahaan yang semakin besar dan establish akan
meminjam yang lebih besar, fleksibilitas yang lebih besar akan
memperbesar kemampuan membayar dividen.
4. Keadaan pemegang saham
Jika perusahaan itu kepemilikan sahamnya relatif tertutup,
manajemen biasanya mengetahui dividen yang diharapkan oleh
pemegang saham dan dapat bertindak dengan tepat. Jika hampir
semua pemegang saham berada dalam golongan high tax (pajak
yang lebih tinggi) dan lebih suka memperoleh capital gains, maka
perusahaan dapat mempertahankan dividend payout yang rendah.
Dengan dividend payout yang rendah tentunya dapat diperkirakan
apakah perusahaan akan menahan laba untuk kesempatan investasi
yang profitable. Untuk perusahaan yang jumlah pemegang
sahamnya besar hanya dapat menilai dividen yang diharapkan
pemegang saham dalam konteks pasar.
5. Stabilitas dividen
Bagi para investor faktor stabilitas deviden akan lebih menarik
daripada dividend payout ratio yang tinggi. Stabilitas disini dalam
arti tetap memperhatikan tingkat pertumbuhan perusahaan, yang
ditunjukkan oleh koefisien arah yang positif. Bagi investor
pembayaran dividen yang stabil merupakan indikator prospek
perusahaan yang stabil pula dengan demikian resiko perusahaan
juga relatif lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan dengan
2.6.3Jenis Kebijakan Dividen
Kebijakan dividen menurut (Riyanto, 2001 dalam Sihombing, 2014 )
dapat dibagi ke dalam 4 (empat) bagian sebagai berikut:
1. Kebijakan dividen yang stabil
Kebijakan dividen yang stabil merupakan jumlah dividen per lembar
saham yang dibayarkan setiap tahunnya relatif tetap selama jangka waktu
tertentu meskipun pendapatan per lembar saham per tahunnya berfluktuasi.
2. Kebijakan pembayaran dividen dengan penetapan jumlah minimal plus
jumlah ekstra tertentu
Kebijakan ini menetapkan jumlah rupiah minimal dividen per lembar
saham setiap tahunnya. Dalam keadaan keuangan yang lebih baik
perusahaan akan membayarkan dividen ekstra di atas jumlah minimal
tersebut.
3. Kebijakan dividen dengan penetapan dividend payout ratio yang konstan.
Kebijakan ini menjelaskan bahwa perusahaan yang menjalankan kebijakan
dividend payout ratio yang konstan dan dividen per lembar saham yang
akan dibayarkan setiap tahunnya akan berfluktuasi sesuai dengan
perkembangan keuntungan bersih yang diperoleh setiap tahunnya.
4. Kebijakan dividen yang fleksibel
Perusahaan menetapkan rasio pembayaran dividen yang besarnya tiap
tahunnya disesuaikan dengan posisi keuangan dan kebijakan pendanaan
dari perusahaan yang bersangkutan. Apabila keuntungan tinggi maka
keuntungan rendah maka besarnya dividen yang dibayarkan juga rendah
atau dapat dikatakan besarnya selalu proporsional dengan tingkat
keuntungan.
2.7. Hasil Penelitian Terdahulu
Bansaleng, Tommy, dan Saerang (2014) melakukan penelitian
mengenai Pengaruh Kebijakan Hutang, Struktur Kepemilikan dan
Profitabilitas Terhadap Kebijakan Dividen Pada Perusahaan Food and
Beverage Di Bursa Efek Indonesia Tahun 2007 - 2011. Hasil penelitian
tersebut menyebutkan bahwa kebijakan hutang dan struktur kepemilikan tidak
berpengaruh terhadap kebijakan dividen, sedangkan profitabilitas
berpengaruh terhadap kebijakan dividen.
Lopolusi (2013) melakukan penelitian mengenai Analisis Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Kebijakan Dividen Sektor Manufaktur Yang Terdaftar
Di Bursa Efek Indonesia Periode 2007 - 2011. Hasil penelitian tersebut
menyebutkan bahwa profitabilitas, likuiditas, utang, pertumbuhan, free cash
flow tidak berpengaruh terhadap perubahan kebijakan dividen,sedangkan
ukuran badan usaha berpengaruh terhadap perubahan kebijakan dividen.
Idawati dan Sudiartha (2014) melakukan penelitian mengenai
Pengaruh Profitabilitas, Likuiditas dan Ukuran Perusahaan Terhadap
Kebijakan Dividen Perusahaan Manufaktur Di Bursa Efek Indonesia (BEI)
profitabilitas dan likuiditas berpengaruh terhadap kebijakan dividen
sedangkan ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap kebijakan dividen.
Nurwani (2017) melakukan penelitian mengenai Pengaruh Likuiditas
Dan Profitabilitas Terhadap Kebijakan Dividen (Studi Pada Perusahaan
Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Tahun 2013 - 2015).
Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa profitabilitas dan likuiditas
tidak berpengaruh terhadap kebijakan dividen.
Novianti dan Amanah (2017) melakukan penelitian mengenai
Pengaruh Profitabilitas, Growth, Kebijakan Hutang dan Kepemilikan
Institusional Terhadap Kebijakan Dividen. Hasil penelitian tersebut
menyebutkan bahwa profitabilitas, growth, kebijakan hutang menunjukkan
tidak berpengaruh terhadap kebijakan dividen sedangkan kepemilikan
institusional menunjukkan berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen.
Sandy dan Asyik (2013) melakukan penelitian mengenai Pengaruh
Profitabilitas Dan Likuiditas Terhadap Kebijakan Dividen Kas Pada
Perusahaan Otomotif. Penelitian Dilakukan Pada Tahun 2009 – 2011. Hasil
penelitian tersebut menyebutkan bahwa profit margin, return on equity,
current ratio, dan quick ratio menunjukkan tidak berpengaruh terhadap
kebijakan dividen sedangkan return on assets menunjukkan berpengaruh
2.8 Hipotesis
2.8.1 Pengaruh Profitabilitas Terhadap Kebijakan Dividen
Profitabilitas mempengaruhi kebijakan dividen dikarenakan
profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba
dan dividen akan dibagi apabila perusahaan tersebut memperoleh laba. Dari
laba setelah pajak tersebut sebagian dibagikan sebagai dividen kepada para
pemegang saham dan sebagian lain ditahan di perusahaan (laba ditahan). Jika
laba yang diperoleh kecil, maka dividen yang akan dibagikan juga kecil. Agar
para pemegang saham dapat menikmati dividen yang besar, maka manajemen
akan berusaha untuk memperoleh laba yang sebesar-besarnya guna
meningkatkan kemampuan membayar dividen. Semakin besar kemampuan
dalam menghasilkan laba maka laba yang diperoleh perusahaan yang
disediakan kepada pemegang saham juga akan semakin besar. Laba yang di
sediakan bagi para pemegang saham yang besar memungkinkan para
pemegang saham untuk memperoleh dividen dalam jumlah besar. Semakin
besar dividen yang diterima oleh para pemegang saham maka kemakmuran
pemegang saham akan meningkat dengan demikian tujuan perusahaan untuk
memakmurkan pemegang saham dapat tercapai (Darminto, 2008). (Jumaah,
2008 dalam Lopolusi, 2013) menyatakan bahwa profitabilitas memiliki
pengaruh positif terhadap kebijakan dividen. Hal ini dinyatakan dengan
semakin besar keuntungan yang diperoleh suatu perusahaan maka semakin
besar dividen yang dibagikan. Jika laba tinggi maka dividen yang dibagikan
tersebut memperoleh keuntungan sehingga perusahaan yang semakin besar
keuntungannya akan memiliki jumlah kas yang besar pula dan perusahaan
tersebut dapat membagikan dividen dalam jumlah yang besar pula.
Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis penelitian yang diajukan sebagai
berikut :
H1 = Profitabilitas berpengarung terhadap kebijakan dividen.
2.8.2 Pengaruh Likuiditas Terhadap Kebijakan Dividen
Rasio likuiditas menggambarkan kemampuan perusahaan untuk
menyelesaikan kewajiban-kewajiban yang harus segera dipenuhi. Kewajiban
yang harus segera dipenuhi adalah hutang jangka pendek. Perusahaan yang
mampu memenuhi kewajibannya tepat pada waktunya, berarti perusahaan
tersebut dikatakan likuid. Salah satu rasio likuiditas yang dapat
menggambarkan kemampuan likuiditas perusahaan, yang juga akan
digunakan dalam penelitian, adalah CR (cash ratio). Posisi kas ini merupakan
suatu alat analisis yang perlu dipertimbangkan sebelum membuat keputusan
mengenai kebijakan dividen. Pembayaran dividen merupakan arus kas keluar,
sehingga semakin kuat posisi kas perusahaan, berarti semakin besar
kemampuan untuk membayar dividen (Suwetja, 2014). (Jumaah, 2008 dalam
Lopolusi, 2013) menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif antara likuiditas
terhadap kebijakan dividen. Hal ini dinyatakan dengan semakin baik
likuiditas yang dimiliki suatu perusahaan maka akan meningkatkan
perusahaanmencerminkan bahwa adanya peningkatan kas yang dimiliki
perusahaan tersebut. Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis penelitian yang
diajukan sebagai berikut :
H2: Likuiditas berpengaruh terhadap kebijakan dividen.
2.8.3 Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Kebijakan Dividen
Perusahaan kecil memiliki aset yang lebih kecil dibandingkan dengan
perusahaan besar. Perusahaan kecil yang memiliki aset kecil akan cenderung
membagikan dividen yang rendah karena laba dialokasikan pada laba ditahan
untuk menambah aset perusahaan (Chang dan Ree, 1990 dalam Dewi, 2008).
(Jumaah, 2008 dalam Lopolusi, 2013) menyatakan bahwa ada pengaruh
positif antara ukuran perusahaan terhadap kebijakan dividen. Hal ini
dinyatakan dengan semakin besar suatu perusahaan maka omset yang
dihasilkan akan semakin tinggi dan menyebabkan laba yang dihasilkan tinggi.
Jika laba tinggi maka dividen yang dibagikan juga akan tinggi. Perusahaan
besar diperkirakan akan mampu membayar dividen yang lebih tinggi
dibandingkan dengan perusahaan kecil. Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis
penelitian yang diajukan adalah :
2.8.4 Pengaruh Profitabilitas, Likuiditas dan Ukuran Perusahaan Terhadap Kebijakan Dividen
Profitabilitas berarti hasil yang diperoleh melalui usaha manajemen
terhadap dana yang diinvestasikan pemilik dan investor. Semakin besar
tingkat laba atau profitabilitas yang diperoleh perusahaan akan
mengakibatkan semakin besar dividen yang akan dibagikan dan sebaliknya
(Sunarto dan Kartika, 2013 dalam Sandy dan Asyik, 2013).
Likuiditas merupakan kemampuan perusahaan dalam memenuhi
kewajiban jangka pendeknya dengan tepat waktu. Bagi perusahaan, dividen
adalah arus kas keluar, dan hal tersebut mempengaruhi posisi dari kas
perusahaan. Hal tersebut mengakibatkan kesempatan perusahaan dalam
melakukan investasi menggunakan kas yang dibagikan dalam bentuk dividen
tersebut berkurang (Suharli, 2006 dalam Idawati dan Sudiartha, 2014).
Semakin likuid sebuah perusahaan, kemungkinan pembayaran dividen yang
dilakukan perusahaan tersebut akan semakin besar (Idawati dan Sudiartha,
2014).
Perusahaan dengan ukuran yang besar cenderung memiliki suatu
kemudahan dalam aksesnya menuju pasar modal. Tentu saja hal tersebut
mempengaruhi fleksibilitas perusahaan besar tersebut dalam memperoleh
dana dalam jumlah besar. Perolehan dana tersebut, dapat digunakan sebagai
pembayaran dividen bagi pemegang sahamnya. Semakin besar tingkat ukuran
besar pula (Idawati dan Sudiartha, 2014). Berdasarkan uraian tersebut,
hipotesis penelitian yang di ajukan adalah :
H4 : Profitabilitas, likuiditas dan ukuran perusahaan berpengaruh terhadap
2.9. Kerangka Pemikiran
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
H1 :Profitabilitas
H2 : Likuiditas Kebijakan Dividen