• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS MANAJEMEN PENYIMPANAN DAN PENDISTRIBUSIAN OBAT DI INSTALASI FARMASI CHASAN BOESOIRIE TERNATE Fera The*, Jimmy Posangi*, Fatimawali*

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS MANAJEMEN PENYIMPANAN DAN PENDISTRIBUSIAN OBAT DI INSTALASI FARMASI CHASAN BOESOIRIE TERNATE Fera The*, Jimmy Posangi*, Fatimawali*"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

32

ANALISIS MANAJEMEN PENYIMPANAN DAN PENDISTRIBUSIAN OBAT DI INSTALASI FARMASI CHASAN BOESOIRIE TERNATE

Fera The*, Jimmy Posangi*, Fatimawali*

*Program Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi

ABSTRAK

Pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan Rumah Sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu. Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan cara menempatkan perbekalan farmasi yang diterima pada tempat yang dinilai aman dari pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu obat. Pendistribusian merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka menyalurkan/menyerahkan obat dari tempat penyimpanan sampai kepada unit pelayanan/pasien dengan tetap menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah dan ketepatan waktu. Penyimpanan dan pendistribusian berhubungan erat dengan pengendalian. Tujuan penelitian untuk menganalisis tentang penyimpanan, pendistribusian dan pengendalian obat di instalasi farmasi RSUD Chasan Boesoirie Ternate. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mendapatkan informasi secara mendalam mengenai manajemen penyimpanan, pendistribusian dan pengendalian instalasi farmasi RSUD Chasan Boesoirie Ternate. Informan yang dipilih berdasarkan prinsip kesesuaian dan kecukupan. Informan Penelitian ini adalah kepala penunjang medik, kepala instalasi farmasi, staf umum farmasi, kepala gudang farmasi, staf distribusi ruangan farmasi, staf distribusi apotik. Data yang diperoleh diolah secara manual dengan membuat transkrip kemudian disusun dalam bentuk matriks dan selanjutnya dianalisis dengan memakai metode analisis isi. Kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah: Penyimpanan di Instalasi Farmasi belum memenuhi standar Permenkes 58 tahun 2014 dan Kemenkes 2010. Pendistribusian obat melalui apotik sentral sehingga sering terjadinya antrian pasien. Stock out obat terjadi pada obat fast moving dan penggunaan obat di luar formularium. Stock opname rutin dilakukan. Saran yang diajukan perlunya dilakukan pembenahan terhadap gudang, prasarana di dalam gudang dan pembuatan depo ruangan di RSUD Chasan Boesoirie Ternate.

Kata Kunci: Manajemen Penyimpanan, Pendistribusian Obat, Instalasi Farmasi

ABSTRACT

The hospital pharmacy service is an inseparable part of the hospital's service-oriented health care system, providing quality medicine. Storage is an activity of storing and maintaining by placing a pharmaceutical supply received at a place deemed safe from theft as well as physical disturbance that may damage the quality of the drug. Distribution is a series of activities in order to channel / deliver drugs from storage to service units / patients while ensuring quality, stability, type, amount and timeliness. Storage and distribution are closely related to control. The purpose of the study was to analyze the storage, distribution and control of drugs in the pharmaceutical installation of Chasan Boesoirie Ternate General Hospital. This research uses qualitative research method that aims to obtain information in depth about storage management, distribution and control of phala phases installation of General Hospital of Chasan Boesoirie Ternate. Informants selected based on the principle of conformity and adequacy. Informants The study was the chief medical supporter, the head of pharmaceutical installation, the general staff of pharmacy, the head of the pharmaceutical warehouse, the pharmaceutical distribution staff, the dispensary staff of pharmacies. The data obtained is processed manually by making transcripts then arranged in matrix form and then analyzed by using content analysis method. The conclusions that can be taken in this research are: Storage in Pharmacy Installation has not met the standard Regulation of the Minister of Health 58 years 2014 and Kemenkes 2010. Distribution of drugs through central pharmacies so that frequent the queue of patients. Stock out drugs occur in fast moving drugs and the use of drugs outside the formulary. Stock opname routine done. Suggested suggestions on the need to reform the warehouse, infrastructure in the warehouse and the manufacture of room depot at the General Hospital of Chasan Boesoirie Ternate.

(2)

33 PENDAHULUAN

Undang-undang kesehatan No 36 tahun 2009 mengatakan pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan kesehatan dalam arti pembangunan nasional harus memperhatikan kesehatan masyarakat dan merupakan tanggung jawab semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat.

Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Peningkatan mutu dan jangkauan pelayanan rumah sakit serta pengaturan hak dan kewajiban masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan, perlu mengatur rumah sakit dengan Undang-Undang (Anonim, 2009b).

Pelayanan kefarmasian di rumah sakit merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat termasuk pelayanan farmasi klinik. Instalasi Farmasi Rumah Sakit adalah salah satu unit di rumah sakit yang bertugas dan bertanggung jawab sepenuhnya pada pengelolaan semua aspek yang berkaitan dengan obat yang beredar dan digunakan di rumah sakit (Anonim, 2014a).

Sistem pengelolaan obat merupakan rangkaian kegiatan rumah sakit yang meliputi tahap perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat. Masing-masing tahap pengelolaan obat merupakan suatu rangkaian yang terkait, dengan demikian dimensi pengelolaan obat akan dimulai dari perencanaan pengadaan dasar (Oscar, 2016).

Keberhasilan pengelolaan obat rumah sakit tergantung pada kompetensi dari manajemen rumah sakit. Fungsi manajemen yaitu mengelola obat dengan mengidentifikasi, merencanakan pengadaan, pendistribusian agar dapat berjalan dengan efektif dan efisien (Febriawati, 2013).

(3)

34 Penyimpanan adalah suatu kegiatan pengaturan perbekalan farmasi menurut persyaratan yang telah ditetapkan disertai dengan sistem informasi yang selalu menjamin ketersediaan perbekalan farmasi sesuai kebutuhan (Febriawati,2013) Barang yang sudah ada di dalam persediaan harus dijaga agar tetap baik mutunya maupun kecukupan jumlahnya serta keamanan penyimpanannya. Untuk itu diperlukan suatu perencanaan dan pengaturan yang baik untuk memberikan tempat yang sesuai bagi setiap barang atau bahan yang disimpan, baik dari segi pengamanan penyimpanan maupun dari segi pemeliharaannya (Aditama,2015)

Pendistribusian adalah tahap selanjutnya setelah penyimpanan. Distribusi obat adalah tatanan jaringan sarana, personel, prosedur dan jaminan mutu yang serasi, terpadu dan berorientasi penderita dalam kegiatan penyampaian sediaan obat beserta informasinya kepada penderita. Sistem distribusi obat mencakup penghantaran obat yang telah di-dispensing instalasi farmasi ke penderita dengan keamanan dan ketepatan obat (Febriawati,2013)

Penyimpanan dan

pendistribusian berhubungan erat dengan pengendalian. Pengendalian adalah inti dari manajemen logistik obat. Pengendalian di dalamnya terdapat kegiatan memonitor dan mengamankan

seluruh fungsi logistik obat (Febriawati,2013).

Penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Sinuraya (2014) tentang manajemen obat di RSUD Dr. Hadrianus Sinaga kabupaten Samosir di mana pengelolaan obat belum berjalan dengan baik. Perencanaan obat tidak berjalan dengan baik karena hanya menggunakan metode konsumsi. Penganggaran hanya berdasarkan pada anggaran pemerintah daerah sehingga kebutuhan obat kurang tersedia. Pengadaan terkendala pada Memorandum of Understanding (MoU) antara rumah sakit dan pemasok. Penyimpanan dan pendistribusian sudah dilakukan dengan baik. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Sheina (2010) tentang penyimpanan obat di gudang Instalasi Farmasi Rumah Sakit Pembina Kesejahteraan Umat (RS PKU) Muhammadiyah Yogyakarta unit 1 didapatkan sistem penyimpanan tidak sesuai dengan standar Seto yaitu penggolongan obat tidak berdasarkan kelas terapi/khasiat obat, tetapi faktor gedung dan sumber daya manusia sudah sesuai.

Penelitian juga dilakukan oleh Malinggas (2015) tentang analisis manajemen obat di Instalasi Farmasi RSUD Dr. Sam Ratulangi Manado didapatkan perencanaan obat menggunakan data sebelumnya. Sistem

(4)

35 pengadaan dilakukan dengan pembelian langsung ke Pedagang Besar Farmasi (PBF) dalam waktu tidak pasti. Penyimpanan obat belum berjalan dengan baik karena sarana dan prasarana penyimpanan belum memadai. Pendistribusian obat dilakukan dengan pengambilan langsung ke instalasi farmasi oleh pasien atau keluarga pasien.

Rumah Sakit DR.Chasan Boesoirie adalah salah satu rumah sakit rujukan provinsi Maluku Utara yang terletak di Ternate. Rumah sakit ini merupakan rumah sakit tipe B non pendidikan yang melayani rujukan dari berbagai kabupaten antara lain Halmahera Barat, Halmahera Utara, Tidore, Halmahera Selatan, Halmahera Timur, Halmahera Tengah, Kepulauan Sula, Pulau Morotai, Pulau Taliabu.

Rumah Sakit DR.Chasan Boesoirie memiliki instalasi farmasi dengan jumlah apoteker sebanyak 8 orang, S2 farmasi 1 orang, asisten apoteker 2 orang. Berdasarkan data Rumah Sakit 2015 persentase pasien umum lebih banyak bila dibandingkan pasien BPJS yaitu 65 % dan 32,2 %. Data profil didapatkan peningkatan Bed Occupancy Rate (BOR) dari 65 % tahun 2014 menjadi 70 % di tahun 2015 dengan rata-rata pasien rawat jalan tahun 2014 berjumlah 592 ribu menjadi 685 ribu di tahun 2015. Hal ini

mengakibatkan permintaan obat menjadi meningkat. Permintaan obat yang meningkat mendorong rumah sakit untuk menjaga mutu dan stabilitas obat. Penyimpanan dan pendistribusian adalah dua fungsi yang berperan penting dalam menjaga kualitas obat hingga ke pasien. Pengendalian yang meliputi proses monitoring juga berperan penting dalam mengevaluasi stok obat.

Sistem penyimpanan obat di instalasi farmasi rumah sakit belum memadai. Permintaan ruangan untuk penyimpanan telah diajukan ke pemerintah daerah sekitar 20 tahun yang lalu, tetapi sampai sekarang belum diberikan tempat penyimpanan obat yang memadai dan sesuai standar. Ruangan penyimpanan obat yang terbatas dan belum memadai mengakibatkan pemesanan obat menjadi terbatas.

Instalasi farmasi mendistribusikan obat kepada pasien dengan menggunakan metode resep individu yaitu pasien menebus resep obat dengan cara membawa resep dokter ke depo sentral. Pembangunan depo di setiap ruangan belum terealisasi sampai saat ini dikarenakan anggaran yang belum ada. Obat pada pasien rawat inap diberikan 1 hari. Sistem distribusi yang menggunakan 1 depo mengakibatkan sering terjadi antrian pasien. Hal ini sangat berkaitan dengan pelayanan

(5)

36 pasien yang memerlukan obat dengan segera. Obat yang tidak tersedia di instalasi farmasi diambil pasien di apotik Kimia Farma yang bekerja sama dengan rumah sakit.

Kegiatan pengendalian stok obat yang berkaitan dengan penyimpanan dan distribusi obat dilakukan secara berkala dan teratur. Kegiatan tersebut diwujudkan dalam bentuk stock opname yang dilakukan setiap akhir bulan. Stock opname dilakukan di gudang untuk mencari dan mengevaluasi stok yang akan atau kadaluarsa, kerusakan obat, obat dengan kategori fast moving dan slow moving.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka diperlukan analisis dan kajian untuk menemukan upaya perbaikan mengenai manajemen penyimpanan, pendistribusian dan pengendalian obat di Rumah Sakit Umum Daerah DR.Chasan Boesoirie Ternate.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dilaksanakan di instalasi farmasi RSUD Dr. Chasan Boesoirie Ternate. Waktu pelaksanaan mulai Desember 2016 sampai April 2017. Pemilihan sampel pada penelitian ini berdasarkan prinsip kesesuaian

(appropriatness) dan kecukupan

(adequacy). Berdasarkan prinsip

tersebut, maka yang dipilih menjadi informan yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam pelaksanaan penyimpanan, pendistribusian dan pengendalian obat dengan jumlah informan 6 orang masing-masing kepala penunjang medik, kepala instalasi farmasi, staf umum farmasi, kepala gudang farmasi , staf distribusi ruangan farmasi, staf distribusi apotik RSUD Chasan Boesoirie Ternate. Penelitian ini menggunakan metode analisis isi (content analysis).

HASIL DAN PEMBAHASAN Penyimpanan Obat

Berdasarkan hasil wawancara mendalam dan observasi dokumen menunjukkan bahwa standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.

Instalasi farmasi Rumah Sakit (IFRS) merupakan suatu bagian di rumah sakit yang menyelenggarakan semua kegiatan kefarmasian untuk keperluan rumah sakit itu sendiri. Instalasi farmasi rumah sakit

(6)

37 bertanggung jawab dalam penggunaan obat yang aman dan efektif di rumah sakit secara keseluruhan. Tanggung jawab ini termasuk seleksi, pengadaan, penyimpanan dan penyiapan obat untuk konsumsi serta distribusi obat ke unit perawatan penderita (Siregar, 2004).

Penyimpanan obat merupakan proses sejak dari penerimaan obat, penyimpanan obat dan mengirimkan obat ke unit pelayanan di rumah sakit. Tujuan utama penyimpanan obat adalah mempertahankan mutu obat dari kerusakan akibat peyimpanan yang tidak baik serta untuk memudahkan pencarian dan pengawasan obat-obatan. Untuk memantau dan mengevaluasi hasil yang telah dicapai dari sistem pengelolaan obat diperlukan suatu indikator. Hasil pengujian dapat digunakan untuk meninjau kembali strategi atau sasaran yang lebih tepat. Demi tercapainya efektifitas terapi dan tujuan kesehatan, diperlukan stabilitas obat yang menunjang pada kondisi penyimpanan dan pendistribusian

Pengelolaan obat merupakan pelaksanaan manajemen obat. Prinsip manajemen tersebut merupakan pegangan untuk terselenggaranya fungsi pengelolaan obat dengan baik. Di dalam pengelolaan obat, fungsi manajemen merupakan siklus kegiatan yang terdiri dari perencanaan, penganggaran, pengadaan, penerimaan, penyimpanan,

pendistribusian, pemeliharaan, penghapusan dan pengawasan. Menurut Permenkes 2010 mengenai perbekalan farmasi, penyimpanan obat meliputi pengaturan tata ruang dan penyusunan stok perbekalan farmasi.

Hasil wawancara mendalam dan observasi mengenai pengaturan tata ruang, rumah sakit belum memiliki gudang yang layak yang dapat menampung semua kebutuhan farmasi. Rumah sakit Chasan Boesoirie memiliki 3 gudang yang terpisah yaitu gudang obat, gudang BHP dan gudang laboratorium. Gudang obat yang ada berada di dekat apotik. Ukuran gudang yang ada sangat sempit dan tidak sesuai dengan standar. Ukuran gudang yang sempit mengakibatkan kebebasan bergerak menjadi terbatas dan mengakibatkan obat-obat lainnya seperti cairan infuse diletakkan di depan gudang. Gudang farmasi memiliki beberapa pallet dan rak dengan jumlah yang sedikit untuk meletakkan obat-obat tertentu sedangkan obat lainnya seperti cairan diletakkan di atas lantai. Penyusuanan obat dipallet diletakkan melekat pada dinding. Sirkulasi udara yang berada dalam gudang obat tidak berjalan dengan baik, karena di dalamnya tidak memiliki jendela karena menggunakan AC. Gudang farmasi telah memiliki suhu penyimpanan akan tetapi belum memiliki alat untuk mengatur

(7)

38 kelembaban ruangan. Kelembaban udara yang tidak stabil menyebabkan sering terjadi obat seperti obat suntik mengalami perubahan warna dan terjadi endapan

Untuk obat-obat yang memerlukan suhu tertentu seperti vaksin dan obat supositoria diletakan di dalam lemari pendingin. Karena kondisi lemari pendingin yang tidak mencukupi, banyak vaksin yang dititipkan di tiap ruangan. Untuk obat-obat yang berbahaya tidak diberi keterangan. Gudang farmasi tidak memiliki alat pemadam kebakaran

Hasil wawancara yang mendalam didapatkan metode penyimpanan obat yang dilakukan oleh bagian farmasi berdasarkan metode First Expired First Out ( FEFO ) dan First In First Out (FIFO). Penyimpanan obat belum ditata berdasarkan dengan alfabet, dikarenakan tempat atau rak yang sedikit. Peletakkan obat berdasarkan dengan jenis sediaan, akan tetapi karena keterbatasan penyimpanan obat-obat tersebut sering dicampur dengan obat oral dan injeksi. Penyimpanan obat juga belum berdasarkan kelas terapi dan khasiat. Obat yang rusak dan obat yang baik diletakkan terpisah. Obat-obat narkotika diletakkan di dalam lemari tersendiri dan dikunci. Penyimpanan obat LASA (Look Alike Sound Alike) belum

dilaksanakan. SOP penyimpanan Rumah Sakit Chasan Boesoirie sudah ada, tetapi masih belum berjalan optimal karena ada bagian-bagian tertentu belum dilaksanakan

Qiyaam (2016) meneliti evaluasi manajemen penyimpanan obat di gudang obat instalasi farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Dr. R. Soedjono Selong Lombok Timur. Penelitian ini merupakan penelitian deskripsi. Teknik pengumpulan data menggunakan metode observasi disertai wawancara yang disesuaikan dengan standar parameter penyimpanan obat yang baik dan benar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyimpanan obat-obatan di gudang obat Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah dr.R.Soedjono Selong sudah baik dan benar berdasarkan 5 indikator pengelolaan obat pada tahap distribusi yaitu : ketepatan data jumlah obat pada kartu stok, sistem penataan gudang, persentase nilai obat yang kadaluarsa, persentase stok mati dan tingkat ketersediaan obat.

Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan Rumah Sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang bermutu dan terjangkau bagi

(8)

39 semua lapisan masyarakat termasuk pelayanan farmasi klinik. Strategi optimalisasi harus ditegakkan dengan cara memanfaatkan Sistem Informasi Rumah Sakit secara maksimal pada fungsi manajemen kefarmasian. (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016)

Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit bertujuan untuk: a. meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian; b. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan c. melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).

Hasratna (2016) meneliti Gambaran Pengelolaan Persediaan Obat Di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Muna Tahun 2016. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi lebih mendalam tentang Gambaran Pengelolaan Persediaan Obat di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Muna 2016. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Informan dalam penelitian ini berjumlah 5 orang, yang terdiri dari 2 orang informan kunci dan 3 orang informan biasa. Hasil penelitian menunjukan bahwa tempat penyimpanan obat masih kurang memadai.

Ibrahim (2016) dalam penelitian tentang Evaluasi Penyimpanan dan Pendistribusian Obat di Gudang Farmasi RSUP Prof. DR. R.D Kandou Manado menjelaskan jika standar penyimpanan dirumah sakit telah memenuhi Standar Pelayanan Farmasi Rumah Sakit berdasarkan Permenkes Nomor 58 tahun 2014, hanya terdapat prasarana yang harus dilengkapi seperti lemari penyimpanan, keterangan untuk obat yang mudah terbakar dan masih diperlukan pallet dan rak untuk penyimpanan obat.

Penelitian yang sama dilakukan oleh Jahanbani (2016) di Iran mengenai Hubungan Manajemen Pemasukan Obat dan Implementasi Perencanaan Kesehatan di Farmasi Rumah Sakit. Penelitian ini menunjukkan sekitar 75% instalasi farmasi rumah sakit yang diteliti tidak memiliki ruang penyimpanan obat yang seimbang dengan jumlah tempat tidur yang disediakan. Ruang penyimpanan obat yang tidak layak dan tidak memadai dapat menimbulkan berbagai masalah terhadap staf farmasi, gudang, dan inspeksi, juga dapat menimbulkan penumpukan obat yang berlebihan pada rak obat sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada obat tersebut.

Penelitian yang dilakukan oleh Iqbal (2017) mengenai Manajemen Obat di Rumah Sakit India didapatkan

(9)

40 pengendalian lingkungan yang tepat seperti suhu, cahaya, dan kelembaban yang tepat, kondisi sanitasi, ventilasi, dan pembuangan perlu dijaga di manapun obat disimpan. Tempat penyimpanan obat harus memiliki ruangan yang memadai dan aman dengan akses terbatas untuk petugas yang berwenang.

Pada penyimpanan obat obat psikotropika yang diteliti oleh Lumenta (2015) di RS Ratumbuysang Manado. Penyimpanan obat psikotropika belum memenuhi standar dikarenakan belum terdapat lemari khusus yang digunakan untuk menyimpan. Obat-obat tersebut diletakkan di rak-rak terbuka dan perlindungan sistem penyimpanan masih menunjukkan kekurangan.

Penelitian mengenai metode pengaturan stok obat diteliti oleh Herman (2009) tentang manajemen obat di daerah dan di rumah sakit umum Indonesia. Dari hasil penelitian yang dilakukan pada 10 gudang farmasi kabupaten/kota dan 9 rumah sakit pemerintah di Indonesia belum menerapkan sistem FIFO dan kartu stok, tidak ada catatan mengenai obat kadaluwarsa, serta penempatan obat yang tidak teratur sehingga menyulitkan pengawasan. Tempat penyimpanan obat yang masih belum memadai tersebut dikarenakan dana untuk renovasi belum cair.

Distribusi Obat

Distribusi merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka menyalurkan/menyerahkan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dari tempat penyimpanan sampai kepada unit pelayanan/pasien dengan tetap menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah, dan ketepatan waktu. Rumah Sakit harus menentukan sistem distribusi yang dapat menjamin terlaksananya pengawasan dan pengendalian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai di unit pelayanan. (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016)

Distribusi merupakan kegiatan mendistribusikan perbekalan farmasi di rumah sakit untuk pelayanan individu dalam proses terapi bagi pasien rawat inap dan rawat jalan. Distribusi merupakan proses yang dimulai dari pemahaman permintaan, pengendalian stok, pengelolaan penyimpanan serta penyaluran ke depo obat. Proses penyimpanan didahului dengan penerimaan obat dan barang farmasi di gudang obat. Obat yang sudah diterima dicatat dalam buku penerimaan dan kartu stok. (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016)

(10)

41 Sistem distribusi obat di ruma h sakit untuk pasien rawat inap adala h tatanan jaringan sarana, personel, p rosedur dan jaminan mutu yang serasi, terpadu, dan berorientasi penderita dalam kegiatan penyampaian sediaan obat beserta informasinya kepada pasien. Sistem distribusi obat untuk pasien rawat inap yang diterapkan di rumah sakit sangat bervariasi, hal ini tergantung pada kebijakan rumah sakit, kondisi dan keberadaan fasilitas fisik, personel dan tata ruang rumah sakit. Sistem distribusi dirancang atas dasar kemudahan untuk dijangkau oleh pasien dengan mempertimbangkan efisiensi dan efektifitas sumber daya yang ada serta metode sentralisasi atau desentralisasi.

Pengelolaan obat di rumah sakit sangat penting karena ketidakefisienan akan memberikan dampak negatif terhadap rumah sakit, baik secara medis maupun ekonomis (Anonim, 2014b). Pengelolaan obat tidak hanya mencakup aspek logistik saja, tetapi juga mencakup aspek informasi obat, supervisi dan pengendalian menuju penggunaan obat yang rasional. Oleh karena itu, pengelolaan perbekalan farmasi harus dilakukan dengan efektif dan efisien sehingga memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pasien dan rumah sakit.

IFRS bertanggung jawab pada penggunaan obat yang aman di rumah sakit. Tanggung jawab ini meliputi seleksi, pengadaan, penyimpanan, penyiapan obat untuk dikonsumsi dan distribusi obat ke daerah perawatan penderita. Berkaitan dengan tanggung jawab penyampaian dan distribusi obat dari IFRS ke daerah perawatan pasien maka dibuat sistem distribusi obat (Anonim, 2014a).

Distribusi sediaan farmasi dan alat kesehatan merupakan salah satu tugas utama pelayanan farmasi dirumah sakit. Distribusi memegang peranan penting dalam penyerahan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diperlukan ke unit-unit disetiap bagian farmasi rumah sakit termasuk kepada pasien. Hal terpenting yang harus diperhatikan adalah berkembangnya suatu proses yang menjamin pemberian sediaan farmasi dan alat kesehatan yang benar dan tepat kepada pasien, sesuai dengan yang tertulis pada resep atau kartu obat atau Kartu Instruksi Obat (KIO) serta dilengkapi dengan informasi yang cukup (Quick,2012).

Farmasi rawat inap menjalankan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pasien rawat inap di RS, yang diselenggarakan secara sentralisasi dan atau desentralisasi

(11)

42 dengan sistem persediaan lengkap diruangan, sistem resep perorangan, sistem unit dosis dan sistem kombinasi oleh satelit farmasi (Anonim,2014a).

Sistem distribusi obat adalah suatu proses penyerahan obat sejak setelah sediaan disiapkan oleh IFRS, dihantarkan kepada perawat, dokter atau profesional pelayanan kesehatan lain untuk diberikan kepada penderita. Sistem pendistribusian obat yang dibuat harus mempertimbangkan efisiensi penggunaan sarana, personel, waktu dan mencegah kesalahan atau kekeliruan. Sistem ini melibatkan sejumlah prosedur, personel dan fasilitas (Anonim, 2014a).

Sistem distribusi obat di rumah sakit adalah tatanan jaringan sarana, personel, prosedur, dan jaminan mutu yang serasi, terpadu dan berorientasi penderita dalam kegiatan penyampaian sediaan obat dan informasinya kepada penderita. Sistem distribusi obat di rumah sakit mencakup penghantaran sediaan obat yang telah di-dispensing IFRS ke daerah tempat perawatan penderita dengan keamanan dan ketepatan obat, ketepatan penderita, ketepatan jadwal, tanggal, waktu, metode pemberian, keutuhan mutu obat dan ketepatan personel pemberi obat. (Anonim, 2014a)

Proses distribusi yaitu penyerahan obat sejak setelah sediaan

disiapkan oleh IFRS sampai diantarkan kepada perawat, dokter atau professional pelayanan kesehatan lain untuk diberikan kepada penderita. Sistem distribusi obat di rumah sakit untuk pasien rawat inap adalah tatanan jaringan sarana, personel, pros edur dan jaminan mutu yang serasi, terpadu, dan berorientasi penderita dalam kegiatan penyampaian sediaan obat beserta informasinya kepada pasien. Sistem distribusi obat untuk pasien rawat inap yang diterapkan di rumah sakit sangat bervariasi, hal ini tergantung pada kebijakan rumah sakit, kondisi dan keberadaan fasilitas fisik, personel dan tata ruang rumah sakit (Anonim,2014a)

Liwu (2017) dalam penelitian mereka dengan judul “Analisis distribusi obat pada pasien Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado” menggunakan metode kualitatif yang diambil dari sumber informasi: pasien BPJS, dokter, perawat, asisten farmasi, tenaga bantu farmasi, dan kepala Departemen Farmasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya prosedur standar pemberian obat dari regulasi yang tidak tercakup menyeluruh dikarenakan faktor waktu dan persepsi tingkat kebutuhan informasi pasien dari tenaga farmasi.

(12)

43 Sistem distribusi obat di rumah sakit digolongkan berdasarkan ada tidaknya satelit/depo farmasi dan pemberian obat ke pasien rawat inap. Berdasarkan ada atau tidaknya satelit farmasi, sistem distribusi obat dibagi menjadi dua sistem, yaitu: (1). Sistem pelayanan terpusat (sentralisasi) farmasi dan (2) sistem desentralisasi

Sentralisasi adalah sistem pendistribusian perbekalan farmasi yang dipusatkan pada satu tempat yaitu instalasi farmasi. Pada sentralisasi, seluruh kebutuhan perbekalan farmasi setiap unit pemakai baik untuk kebutuhan individu maupun kebutuhan barang dasar ruangan disuplai langsung dari pusat pelayanan farmasi tersebut. 2). Sistem pelayanan terbagi (desentralisasi). Desentralisasi adalah sistem pendistribusian perbekalan farmasi yang mempunyai cabang di dekat unit perawatan/pelayanan. Cabang ini dikenal dengan istilah depo farmasi/satelit farmasi. Pada desentralisasi, penyimpanan dan pendistribusian perbekalan farmasi ruangan tidak lagi dilayani oleh pusat pelayanan farmasi. Instalasi farmasi dalam hal ini bertanggung jawab terhadap efektivitas dan keamanan perbekalan farmasi yang ada di depo. (Anonim, 2014a)

Berdasarkan distribusi obat bagi pasien rawat inap, digunakan empat

sistem, yaitu: sistem distribusi obat resep individu, sistem distribusi obat persediaan lengkap di ruangan (floor stock), sistem distribusi kombinasi antara resep individu dan floor stock dan sistem distribusi obat dosis unit/unit dose dispensing (UDD).

Suatu sistem distribusi obat yang efisien dan efektif harus dapat memenuhi hal-hal berikut: 1). Ketersediaan obat yang tetap terpelihara; 2). Mutu dan kondisi obat/ sediaan obat tetap stabil selama proses distribusi; 3). Meminimalkan kesalahan obat dan memaksimalkan keamanan pada penderita; 4). Meminimalkan obat yang rusak atau kadaluwarsa; 5). Efisiensi penggunaan SDM; 6). Meminimalkan pencurian dan atau kehilangan obat; 7). IFRS mempunyai semua akses dalam semua tahap proses distribusi untuk pengendalian pengawasan dan penerapan pelayanan farmasi klinik; 8). Terjadinya interaksi profesional antara apoteker, dokter, perawat, dan penderita; 9). Meminimalkan pemborosan dan penyalahgunaan obat;10). Harga terkendali; 11). Peningkatan penggunaan obat yang rasional (Anonim, 2014a)

Menurut Permenkes Nomor 58 tahun 2014 merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka menyalurkan/menyerahkan obat dari tempat penyimpanan sampai kepada unit pelayanan / pasien dengan tetap

(13)

44 menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah dan ketepatan waktu

Hasil wawancara mendalam didapatkan bahwa bentuk distribusi obat yang dilakukan di instalasi farmasi RSUD Chasan Boesoirie Ternate adalah sistem resep perorangan dengan dosis unit bagi pasien rawat inap, sedangkan untuk pasien rawat jalan diberikan obat selama 5 hari. Pasien atau keluarga pasien mengambil langsung obat ke apotik sentral dengan membawa resep yang diberikan dokter. Akibatnya terjadi penumpukan pasien yang mengantri dari jam 10.00-12.00 disaat jam visite dokter telah selesai. Proses desentralisasi yang dinilai akurat pada efisiensi distribusi belum berjalan dengan baik dikarenakan pembangunan depo di ruangan belum berjalan karena proses pengajuan belum disetujui. Pengajuan pembangunan depo belum terwujud karena anggaran rumah sakit yang dipotong dan lama dikeluarkan. Depo yang belum mengakibatkan pasien harus mengambil sendiri obat di apotek sentral dan harus menunggu dalam jangka waktu yang lama

Sasongko (2014) mengevaluasi tahapan pengelolaan obat terutama distribusi dan penggunaan obat pada pasien rawat jalan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Ortopedi Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta. Sampel penelitian sebesar 100 pasien dan 660 lembar

resep. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa belum semua pengelolaan obat pada tahap distribusi dan penggunaan dikelola secara efisien. Indikator yang belum efisien ialah kecocokan jumlah obat dengan kartu stok sebesar 99,33%, masih terdapatnya stok mati sebesar 3,33%, peresepan generik masih sebesar 70,18%, dan obat yang diresepkan sesuai formularium rumah sakit sebesar 95,76%. Faktor-faktor yang memengaruhi kinerja pengelolaan obat antara lain kurangnya ketelitian petugas instalasi logistik dalam pencatatan, kasus penyakit yang jarang, beberapa obat tidak ada generiknya dan tidak semua dokter hafal isi formularium rumah sakit. (Sasongko, 2014)

Pendistribusian merupakan kegiatan mendistribusikan perbekalan farmasi di rumah sakit untuk pelayanan individu dalam proses terapi bagi pasien rawat inap dan rawat jalan serta untuk menunjang pelayanan medis. Rumah sakit menerapkan sistem distribusi obat tergantung pada kebijakan yang diambil oleh pihak manajerial, kondisi rumah sakit dan jumlah personil yang dimiliki. Penyampaian obat dari apoteker ke pasien adalah bagian terakhir distribusi obat. Di apotek, proses penyampaian ini dapat dilakukan langsung dari apoteker ke pasien. Namun, hal ini tidak dapat terjadi di rumah sakit terhadap pasien rawat inap karena jarak yang jauh antara

(14)

45 penderita yang berada di ruangan dan apoteker yang ada di instalasi farmasi. Selain itu, masih ada perawat yang bertanggungjawab menerima dan melaksanakan konsumsi obat untuk pasien. (Anonim, 2014a)

Penelitian yang dilakukan oleh Taxis (1999) tentang sistem distribusi obat di Rumah Sakit UK dan Jerman. Berdasarkan hasil penelitian sistem distribusi obat dari ketiga rumah sakit di Jerman dan Inggris yang diteliti ditemukan tingkat kesalahan dalam pengobatan (medication error) yang berbeda secara signifikan. Sistem unit dosis adalah sistem distribusi obat yang memiliki tingkat kesalahan pengobatan paling rendah sedangkan sistem persediaan lengkap di ruangan (Ward System) merupakan sistem distribusi yang paling banyak menghasilkan kesalahan pengobatan. Peneltian yang sama juga dilakukan oleh Silva (2008) tentang Proses Distribusi dan Dispensing obat di empat rumah sakit Brasil didapatkan dari keempat rumah sakit yang diteliti di Brazil, sedikitnya 90% sistem distribusi di rumah sakit tersebut menggunakan sistem resep perorangan dan sekitar 34,8% rumah sakit di Brazil masih menggunakan sistem ini. Sedangkan, di dalam literatur menunjukkan bahwa sistem dosis unit memiliki banyak keuntungan berhubungan dengan keamanan pasien.

Pengendalian atau evaluasi

Pada wawancara mendalam didapatkan untuk mengontrol stok obat yang berhubungan dengan penyimpanan dan distribusi dilakukan stok opname secara berkala yaitu setiap akhir bulan. Proses stok opname dilakukan pengecekan mengenai kuantitasdan kualitas obat. Obat dicek berdasarkan kartu kontrol yang ada. Penilaian obat yang kadaluarsa, rusak dan slow moving melalui stok opname. Obat yang akan kadaluarsa akan dikelompokkan berdasarkan tanggal kadaluarsa dan akan dikembalikan kepada perusahaan penyalur dan akan diganti dengan yang baru. Obat yang rusak akibat penyimpanan akan dipisahkan dan obat yang telah kadaluarsa untuk dilakukan tindakan selanjutnya.

Obat slow moving sering terjadi dikarenakan kurang koordinasi dari pihak farmasi dan dokter. Dokter yang telah melakukan pelatihan dan balik ke rumah sakit sering menggunakan obat di luar persediaan, oleh sebab itu dari pihak farmasi sering melakukan konfirmasi mengenai obat yang telah dipesan tapi tidak jalan. Instalasi Farmasi sering mengalami stock out obat terutama obat fast moving akibat anggaran dan ruang penyimpanan yang belum memadai. Pasien sering diminta

(15)

46 mengambil sendiri obat di apotek pendamping yang ada di kawasan rumah sakit. Apotek pendamping tersebut bekerja sama dengan provinsi. Kekosongan obat sering terjadi dikarenakan formularium yang ada dirumah sakit menggunakan formularium nasional. Formularium resmi rumah sakit belum ada dikarenakan belum berjalannya Tim Farmasi Terapi, akibatnya beberapa dokter menggunakan obat di luar dari formularium nasional.

Somantri (2013) dalam penelitiannya berjudul “Evaluasi Pengelolaan Obat Di Instalasi Farmasi Rumah Sakit “X” menunjukkan bahwa indikator kecocokan antara barang dengan kartu stok menghasilkan persentase sebesar 80,2%. Indikator sistem penataan di gudang menghasilkan persentase sebesar 88,9%. Indikator stok kadaluwarsa menghasilkan persentase sebesar 0,2%. Indikator stok mati menghasilkan persentase sebesar 10,9%. Stok obat kadaluwarsa, dari hasil penelitian Somantri (2013) didapat persentase sebanyak 0,2 %,. Menurut peneliti, walaupun penyimpangannya cuma 0,2 % tapi hal ini dikatakan belum efisien. Ketidakefisienan ini mencerminkan ketidaktepatan perencanaan, kurangnya pengamatan dalam penyimpanan. Adanya persentase nilai obat kadaluwarsa 7 karena

pengelolaaan obat yang kurang baik khususnya pada tahap penyimpanan hingga menyebabkan obat kadaluwarsa. Hal ini disebabkan karena peresepan dokter bervariasi, sehingga menyebabkan obat-obat yang digunakan berubah, akibatnya banyak obat yang tidak keluar atau tidak digunakan dan menumpuk, yang akhirnya bisa menjadi kadaluwarsa. Walaupun sudah menerapkan sistem FIFO dan FEFO, tetapi kadang petugas merasa barang selalu cepat berputar, padahal hal tersebut mungkin tidak berlaku pada beberapa obat karena obat tersebut tidak bersifat fast moving juga kesibukan pada saat pelayanan dan kurangnya petugas..

Somantri (2011) mengevaluasi pengelolaan obat di instalasi farmasi “X”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keefisiensian tahap pengelolaan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Dr. Moewardi berdasarkan indikator kecocokan antara barang dengan kartu stok, sistem penataan gudang, persentase obat kadaluarsa, persentase stok mati. Indikator dari penyimpanan obat adalah indikator kecocokan antara barang dengan kartu stok, sistem penataan gudang, persentase obat kadaluarsa, persentase stok mati. Hasil evaluasi penyimpanan obat di Rumah Sakit Umum Dr. Moewardi adalah indikator kecocokan antara

(16)

47 barang dengan kartu stok adalah 80,2%, indikator sistem penataan gudang adalah 88,9%, indikator persentase obat kadaluwarsa adalah 0,2% dan indikator persentase stok mati adalah 10,9%.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Ibrahim dkk (2016) dalam penelitian mereka berjudul “Evaluasi penyimpanan dan pendistribusian obat di gudang farmasi RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado” yang melaporkan bahwa pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku meliputi: perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pelayanan obat yang memakai sistim FIFO (first in first out) dan FEFO (first expired first out). Pelayanan resep meliputi skrining resep yang berisi nama, surat ijin praktek dan alamat dokter, tanggal penulisan resep, tanda tangan atau paraf dokter penulis resep, nama dan umur pasien; kesesuaian bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, eara dan lama pemberian; pertimbangan klinis adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian dosis dan jumlah obat. (Ibrahim dkk, 2016)

Untuk mengatasi agar stok tidak terjadi kadaluwarsa maka dilakukan beberapa cara, yaitu: 1) mengganti sistem komputerisasi yang ada dengan yang lebih baik 2) kebijakan tentang

reward and punishment sebagai langkah meningkatkan kesadaran dan komitmen dalam melakukan tugas dan pekerjaan 3) membuat evaluasi yang berkesinambungan, misalnya evaluasi pelaksanaan prosedur tetap penyimpanan dengan pelaksanaan di lapangan 4) pembinaan, pelatihan, pendidikan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan SDM

Penelitian yang dilakukan oleh Yunita (2016) tentang Manajemen Pengelolaan Obat-obatan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Banda Aceh dalam menghadapi Bencana Gempa Bumi. Penelitian membandingkan 3 rumah sakit di mana pengendalian stok obat dilakukan dengan cara stok opname, kartu stok. Untuk pengendalian dua rumah sakit sudah menggunakan sistem online sedangkan satu rumah sakit masih menggunakan sistem manual.

Penelitian yang dilakukan oleh Kjos (2015) di Amerika tentang sistem pengadaan, penyimpanan dan distribusi di rumah sakit umum. Penelitian didapatkan sistem perencanaan, penyimpanan, dan distribusi obat sangat diperlukan agar dapat menyediakan obat yang tepat untuk pasien yang tepat pada waktu yang tepat. Kekosongan obat merupakan masalah yang sering dihadapi oleh rumah sakit dan seringkali berhubungan dengan ketiga sistem

(17)

48 tersebut. Oleh karena itu, diperlukan kemampuan untuk dapat meganalisis dan mengawasi ketiga sistem tersebut untuk mencegah masalah kekosongan obat.

Mongi (2015) meneliti Implementasi Pelayanan Kefarmasian Di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Angkatan Darat Robert Wolter Mongisidi Manado Penelitian ini dapat disimpulkan implementasi penerapan pelayanan kefarmasian yang dilakukan diIFRSAD R.W. Mongisidi Manado belum sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58 Tahun 2014.

KESIMPULAN

1. Penyimpanan di Instalasi Farmasi belum memenuhi standar Permenkes 58 tahun 2014 dan Kemenkes 2010. Sarana dan prasarana khususnya gudang berukuran kecil, penyediaan pallet dan rak masih minimal, penyusunan obat belum berdasarkan standar terapi, penyusunan secara alphabet belum dilaksanakan semuanya. Pengaturan obat belum berdasarkan prosedur LASA. Metode FEFO dan FIFO sudah berjalan dengan baik di Instalasi Farmasi RSUD Chasan Boesoirie Ternate.

2. Pendistribusian obat Instalasi Farmasi RSUD Chasan Boesoirie menggunakan bentuk sentralisasi dan sistem resep perorangan dan sistem Unit Dispensing Dose akibatnya sering terjadi antrian pasien pada jam visite dokter dikarenakan pasien atau keluarga pasien mengambil obat setiap hari di apotik sentral.

3. Pengendalian stok obat sering terjadi stock out dikarenakan tidak terdapat formularium resmi rumah sakit. Proses stock opname rutin dilakukan sehingga obat kadaluarsa dan obat rusak dapat diminimalisir di Instalasi Farmasi RSUD Chasan Boesoirie Ternate.

SARAN

1. Bagi Rumah Sakit

a. Perlu dibenahi mengenai sarana dan prasarana penyimpanan khususnya pembangunan gudang yang lebih besar dengan kemudahan bergerak disertai dengan prasarana lainnnya seperti rak, pallet dan keamanan obat b. Perlu dibuat depo-depo ruangan

agar distribusi obat bisa berjalan dengan efekif tanpa menimbulkan antrian pasien

c. Perlu dilakukan pengecekan kembali terhadap penyebab stock

(18)

49 out obat dari fungsi perencanaan dan pengadaan

2. Bagi peneliti Lain

Disarankan untuk meneliti fungsi manajamen obat lainnya seperti perencanaan, pengadaan, penghapusan dan administrasi khususnya dibahas mengenai formularium Rumah Sakit Dr. Chasan Boesoirie Ternate

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, Y.T. 2015. Manajemen Administrasi Rumah Sakit. Universitas Indonesia. Jakarta. Anonimous, 2016. Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 72. Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta

Anonimous. 2009a, Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

Anonimous. 2014a, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58. Standar Pelayanan Kefarmasian di di Rumah Sakit. Jakarta.

Febriawati,H. 2013, Manajemen Logistik Farmasi Rumah Sakit. Penerbit Gosyen Publishing. Jakarta

Herman, M.J. 2009. Drug Management Review in District Drug Management Unit and General Hospital 13(2) 59-62

Ibrahim, A. 2016. Evaluasi Penyimpanan dan Pendistribusian Obat di Gudang Farmasi RSUP Prof. DR. R.D Kandou Manado. Jurnal Ilmiah Farmasi 5(2), 1-8 Imron,M. 2009. Manajemen Logistik

Rumah Sakit. Sagung Seto. Jakarta Iqbal, J. 2017. Medicines Management

on Hopitals.A multifaceted Review journal in the field of Pharmacy8(1):80-85.

Jahanbani, E. 2016. Drug Supply Chain Management and Implementation of Helath Reform Plan in Teaching Hospital Pharmacies of Ahvaz Iran. Hospital Practices and Research 1(4), 141-14

Justicia, A.K., 2009, Analisis Pengelolaan Obat di Instalasi Farmasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Soedarso Pontianak tahun 2005-2007, Tesis, Fakultas Farmasi Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Kjos, A. 2015. A drug Procuurement, storage and distribution modelin public hospitals in a developing country. Research social and administrative pharmacy.

Liwu, I. 2017. Analisis Distribusi Obat pada Pasien Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di RSUP Prof. Dr. R.D Kandou Manado. Jurnal Biomedik 9 (1), 40-45.

(19)

50 Lumenta, J. 2015. Evaluasi

Penyimpanan dan Distribusi Obat Psikotropika di Rumah Sakit Jiwa Prof. DR. V.L. Ratumbuysang Manado. Jurnal Ilmiah Farmasi 4(4) 147-155

Malinggas, N.E.R. 2015. Analisis Manajemen Logistik Obat di Instalasi Farmasi RSUD dr. Samratulangi Tondano. Artikel penelitian. JIKMU 5 (2b) : 448-459.

Mongi, J. 2015. Implementasi Pelayanan Kefarmasian di Instalasi Farmasi RSAD Robert Wolter Mongisidi Manado. Jikmu, 1(1).

Oscar,L. dan Jauhar,M. 2016. Dasar-Dasar Manajemen Farmasi. Prestasi Pustaka. Jakarta

Qiyaam,N. 2016. Evaluasi Manajemen Penyimpanan Obat di Gudang Obat Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah dr. R. Soedjono Selong Lombok Timur. Jurnal Ilmiah Ibnu Sina, 1(1), 61-70 Quick, J.D. 2012. Inventory

Management in Managing Drug Supply. Third Edition, Managing Access to Medicines and Health Technologies.. Management Science of Health. Arlington Sasongko, H. 2014. Evaluasi Distribusi

dan Penggunaan Obat pada Pasien Rawat Jalan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Ortopedi Prof. Dr. R.

Soeharso Surakarta. Tesis. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Seto, S dan Nita, Y. 2008. Manajemen Farmasi. Airlangga University Press. Surabaya.

Sheina,B. 2010. Penyimpanan Obat di Gudang Instalasi Framasi RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Jurnal Kesmas 5: 29-42

Silva, A. 2008. The Process of Drug Dispensing andDistribtion at Four Brazilian Hospital. Lat. Am.J.Pharm 27 (3)

Sinuraya, E.C. 2014. Analisis Manajemen Obat dan Kaitannya dengan Ketersediaan Obat Di RSUD Dr. Hadrianus Sinaga Kabupaten Samosir Tahun 2013. Thesis. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Siregar,C.J.P. 2004. Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta. Somantri,P. 2013. Evaluasi Pengelolaan

Obat di Instalasi Farmasi Rumah Sakit X. Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta

Taxis, K. 1999. HospitalDrug Distribution System in the UK and Germany. Pharm World sci 1999 21(1) 25-31

Yunita, F. 2016. Manajemen Pengelolaan Obat-Obatan di

(20)

51 Instalasi Farmasi Rumah Sakit Banda Aceh dalam Menghadapi Bencana Gempa Bumi. 2: 80-86

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan menurut Groonros (1990:27) dalam Ratminto dan Atik (2005:2) pelayanan adalah suatu aktivitas atau serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat

Mengacu pada Laporan RBA Tahun 2017 & Kembang Kegiatan 2018RBA, Ruang Belajar Aqil menetapkan visi yang akan diwujudkan di masa yang akan datang sebagai berikut:

Analisis Pengendalian Persediaan Obat Antibiotik Pada Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Kota

Hasil penelitian kecerdasan emosional pada pria yang hobi memainkan alat musik tidak hanya bebas mengekspreikan diri, juga akan mendapatkan perasaan tenang dari nada-

Akibat dari seorang tersangka yang menolak menandatangani berita acara pemeriksaan akan terlihat pada saat tersangka diperiksa dimuka persidangan, dimana hakim akan

penutaran cacint yang paling cepat sehingga penyebarannya cepat, dimana diduga bita I orang terinfeksi di dalam maka satu rumah mungkin iuga terinfeksia. Ascaris

Seorang laki-laki, berusia 42 tahun dan tinggal di Papua datang ke Puskesmas dengan keluhan demam sejak 2 minggu yang lalu.. Demam naik-turun disertai nyeri pada seluruh

Pada proses pembuatan roti, gula berfungsi sebagai makanan ragi (yeast) untuk membantu jalannya proses fermentasi sehingga adonan roti dapat mengembang.. Gula