• Tidak ada hasil yang ditemukan

LESSON FROM ANIMAL: COMPARATIVE STUDIES ON HUMAN-ANIMAL INTERACTION IN FOLKTALES OF BALI AGA AND AINU JAPAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LESSON FROM ANIMAL: COMPARATIVE STUDIES ON HUMAN-ANIMAL INTERACTION IN FOLKTALES OF BALI AGA AND AINU JAPAN"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

LESSON FROM ANIMAL: COMPARATIVE STUDIES ON HUMAN-ANIMAL INTERACTION IN

FOLKTALES OF BALI AGA AND AINU JAPAN

Ida Ayu Laksmita Sari

Universitas Udayana, e-mail: dayumita23@gmail.com I Nyoman Darma Putra

Universitas Udayana, e-mail: darmaputra@unud.ac.id I Nyoman Weda Kusuma

Universitas Udayana, e-mail: weda_kusuma@yahoo.com I Wayan Suardiana

Universitas Udayana, e-mail: i.suardiana@yahoo.co.id Abstrak

Banyak cerita rakyat yang menampilkan interaksi antara tokoh manusia dan tokoh binatang yang mengandung nilai hiburan, pesan moral dan pengetahuan kehidupan. Makalah ini menganalisis secara komparatif interaksi antara tokoh manusia dan tokoh binatang dalam cerita-cerita rakyat Bali Aga dan Ainu Jepang. Perbandingan cerita rakyat kedua etnik ini dilakukan karena khasanah cerita rakyat mereka menampilkan banyak kisah hubungan manusia dengan binatang dan kedua etnik memiliki latar belakang sosial yang mirip, yakni sama-sama merupakan etnik penduduk asli yang minoritas di daerah masing-masing yang kaya akan warisan budaya berupa cerita rakyat. Analisis difokuskan pada nilai moral dan pesan-pesan kemanusiaan yang muncul dalam interaksi antara manusia dan binatang. Data analisis diambil secara selektif dari cerita rakyat kedua etnik, yakni cerita rakyat Bali Aga diambil dari antologi Ceritera Rakyat Bali: Desa Tenganan, Pedawa, Tigawasa (1978) dan Ainu Jepang dari antologi Ainu no Mukashi Banashi: Hitotsubu no Sacchiporo (1993). Cerita dikaji dengan antropologi sastra dan sastra bandingan. Hasil analisis menunjukkan bahwa tokoh binatang dalam kedua cerita bisa sama-sama dapat dikategorikan menjadi dua yaitu binatang yang memiliki kekuatan gaib dan yang merupakan jelmaan dewa. Dalam interaksinya dengan manusia, karakter kedua jenis tokoh binatang itu bisa menjadi penolong dan atau pencelaka bagi manusia. Dengan kata lain, tokoh binatang dalam cerita rakyat BA dan AJ memberikan pelajaran hidup tentang kebajikan, moralitas, balas budi dan manusia bisa mengambil pelajaran dari sana jika mereka ingin hidup lebih bahagia, sejahtera, dan harmonis.

Kata Kunci: cerita rakyat, interaksi manusia-binatang, Bali Aga, Ainu Jepang, moral cerita

Abstract

Many folktales depict interactions between human and animal characters from which entertainment and moral values can be obtained. This paper analyses comparatively the interactions between human and animal characters in the folktales of the people of Balinese Bali Aga of North Bali and Ainu of Japan. The comparison of these two ethnics folktales is done because their folktales repertoire features many stories of human relationships with animals and both ethnics have similar social backgrounds, which are both ethnic are indigenous minorities in their respective regions that rich in cultural heritage folklores. The analysis focuses on moral values and humanity that arise in the interaction between human and animal characters. Data for the study were taken selectively from folktales of both ethnics. The Balinese Bali Aga folktales derived from the anthology of the Ceritera Rakyat Bali: Desa Tenganan, Pedawa, Tigawasa (Balinese Folktales: Tenganan Village, Pedawa, Tigawasa, 1978) and folktales of Ainu Japan taken from the book Ainu no Mukashi Banashi: Hitotsubu no Sacchiporo (1993). Stories are studied by theories of literary anthropology and comparative literature. The result of the analysis shows that the animal characters in both stories can be equally able to categorise into two including the animals that have supernatural powers and

(3)

which is a divine incarnation. In their interaction with humans, the characters of both types of animal figures can be a helper and / or a destructor for human beings. The paper argues that the animal characters in the Balinese Bali Aga and Ainu Japan folktales give life lessons on virtue and morality that human being can learn from there if they want to live happily, prosperous, and socially harmonious.

Keywords: folktales, human-animal interaction, Bali Aga, Ainu Japan, moral story

A.PENDAHULUAN

Cerita rakyat banyak menampilkan interaksi antara manusia dengan binatang. Hal itu juga tampak banyak pada cerita rakyat Bali Aga di Bali Utara dan Ainu di Hokkaido, Jepang Utara, yang menjadi objek kajian ini (Dinas Kebudayaan Bali 1987; Shigeru, 1993). Hanya saja, penampilan tokoh binatang dalam cerita rakyat sering dianggap sebagai hiburan belaka. Binatang biasanya dilihat sebagai figur jenaka atau cerdas yang berkata dan berperilaku sebagai manusia. Kenyataannya, di balik interaksi antara manusia dan binatang dalam cerita-cerita rakyat, terdapat banyak pelajaran dan pengetahuan hidup yang bisa dipetik untuk memahami fenomena sosial dengan lebih komprehensif dan lebih bermakna (Danandjaja, 1995; Kobayashi, 2010).

Makalah ini menganalisis secara komparatif pelajaran hidup yang tersirat dalam cerita rakyat Bali Aga dan Ainu Jepang yang menampilkan cerita interaksi antara manusia dengan binatang. Objek penelitian ini diambil dari antologi cerita rakyat masing-masing daerah, yaitu Cerita Rakyat Bali: Desa Tenganan, Pedawa, Tigawasa (1987), dan Ainu Mukashi Banashi: Hitotsubu no Sacchiporo (1993).

Alasan pemilihan cerita rakyat Bali Aga Bali Utara dan Ainu Jepang sebagai kajian komparatif setidaknya ada tiga. Pertama, kajian komparatif antara keduanya belum pernah dilakukan. Salah satu studi penting studi komparatif folklor Indonesia dan Jepang pernah dilakukan Djames Dananjaja (1995). Kajian Danandjaja memberikan inspirasi untuk makalah ini.

Kedua, Bali Aga dan Ainu memiliki persamaan dalam latar belakang demografi, yakni sama-sama merupakan indegenous people (penduduk pribumi)

di negeri masing-masing. Kedua penduduk pribumi ini memiliki khasanah cerita rakyat yang kaya, yang menarik dibandingkan untuk melihat persamaan dan perbedaannya dan alasan-alasan di balik keduanya.

Ketiga, kahasanah cerita rakyat kedua etnik atau subetnik memiliki banyak kisah yang menampilkan tokoh-tokoh binatang yang berinteraksi dengan manusia. Kiranya menarik untuk membandingkan makna apa yang tersirat dari cerita dengan tokoh binatang, atau pengetahuan apa yang bisa dipetik dari tokoh-tokoh binatang dalam interaksinya dengan manusia.

B.METODEDANTEORI

Makalah ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan mengambil dan menganalisis data berupa teks. Teks data yang berupa cerita diambil dari antologi cerita rakyat Bali Aga dan Ainu Jepang yang sudah dibukukan. Cerita rakyat Bali Aga diambil dari kumpulan cerita Ceritera Rakyat Bali: Desa Tenganan, Pedawa, Tigawasa (1978). Ketiga nama desa yang disebut dalam judul ini adalah tergolong desa Bali Aga. Buku ini berisi 59 buah cerita dari ketiga desa tersebut. Dalam analisis, cerita dipilih secara selektif, yaitu cerita yang memiliki binatang sebagai tokoh cerita, baik tokoh utama maupun komplementer.

Data cerita Ainu Jepang diambil dari buku dan Ainu no Mukashi Banashi: Hitotsubu no Sacchiporo (1993). Buku ini berisi 20 judul cerita, semuanya dikenal sebagai cerita rakyat Ainu. Cerita dipilih secara selektif yang memiliki tokoh binatang. Tiga teori secara eklitik digunakan dalam menganalisis cerita rakyat ini yaitu teori sastra bandingan, teori naratif, dan sosiologi sastra.

(4)

Ketiganya saling mendukung untuk menemukan jawaban kedudukan tokoh binatang dalam cerita dan menggunakannya untuk menentukan fungsi cerita rakyat dalam kehidupan sosio-budaya masyarakat Bali Aga dan Ainu Jepang.

Sastra bandingan merupakan teori yang sudah lama berkembang, paling tidak sejak awal abad ke-19, mula-mula di Eropa seperti Perancis, Inggris, dan Jerman. Perkembangan ke belahan dunia lainnya adalah Amerika dan Afrika (Bassnett, 1993:6—12), kemudian juga ke Asia seperti Indonesia dan Brunei Darrusalam (Sutarto, 2012:637—77; Damono, 2015:43—53). Batasan sastra bandingan pernah diberikan Bassnett (1993:1) seperti berikut:

Comparative literature involves the study of texts across culture, that it is interdiciplinary and that it is concerned with patterns of connection in literature across both time and space.

Maksudnya adalah bahwa sastra bandingan melibatkan kajian teks sastra lintas budaya, yang dilaksanakan secara interdisipliner yang memperhatikan pola-pola hubungan dalam sastra lintas waktu dan ruang. Batasan ini relevan dengan analisis komparatif cerita rakyat lintas budaya yang dilakukan makalah ini. Dalam analisis, pendapat Damono (2015) dijadikan patokan dengan memulainya dengan analisis intrinsik dan aspek lain, namun di sini hanya difokuskan pada aspek narasi, dengan menggunakan teori naratif.

Teori naratif menyiapkan analisis untuk mendalami bagaimana cerita dituturkan (Genette, 1983; Phelan dan Rabinowitz, 2005; Fludernik, 2009). Fokusnya adalah pada sudut pandang dan latar cerita, yang oleh Stanzel (dalam Fludernik, 2009:88) disebutkan sebagai narrative situation. Situasi naratif ini dapat dibentuk dari tiga cara penceritaan yaitu first person narrative (tuturan orang pertama), auhtorial narrative (tuturan pencerita), dan figural narrative (tuturan reflektif dari satu atau lebih tokoh cerita). Fludernik (2009:88) menegaskan bahwa situasi naratif yang dibedakan menjadi tiga itu sering tampil secara kombinatif, artinya tidak selamanya sebuah cerita

menyajikan narasinya dari tuturan dari kata ganti orang pertama saja, atau narator saja, atau dari beberapa tokoh cerita.

Teori sosiologi sastra memiliki beberapa prinisp seperti disampaikan para ahli. Wellek dan Warren (1993) dan Damono (2015) menganggap sastra sebagai cermin masyarakat; sedangkan Goldmann (1975) melihat sastra sebagai refleksi padangan dunia pengarang atau masyarakat. Artinya bahwa kebiasaan hidup, sistem kepercayaan, pandangan dunia masyarakat tercermin dalam karya sastra.

Sosiologi Sastra menolak pandangan sastra sebagai karya fiktif yang muncul dari kekosongan sosial, sebaliknya dipengaruhi oleh situasi sosial tempat sastra itu diciptakan dan dilestarikan (Teeuw, 1984; Kleden, 2004). Cerita rakyat pun, jika dilihat dari sosiologi sastra, akan memungkinkan untuk menganggap cerita yang tampak sebagai fiktif sebetulnya merefleksikan pandangan dunia masyarakat tentang berbagai hal seperti ketuhanan, alam dan lingkungan, serta hubungan sosial sesuai dengan moral dan etika sosial.

C.HASILDANPEMBAHASAN

Berikut ini dibahas secara komparatif makna interaksi tokoh-tokoh binatang dengan manusia dalam cerita Bali Aga dan Ainu Jepang. Kajian pemaknaan ini dilakukan dengan menggunakan kajian naratologi yang menyoroti teknik penceritaan. Analisis difokuskan pada kehadiran, kedudukan, dan fungsi tokoh-tokoh binatang dalam cerita. Kedudukan tokoh binatang dibedakan menjadi dua, yaitu (1) sebagai tokoh sakral, termasuk di dalamnya tokoh siluman dewa atau binatang yang memiliki kekuatan gaib; (2) sebagai binatang profan, yang tampil sama dengan binatang-binatang sesungguhnya. Untuk kategori kedua ini, cerita yang seluruh tokoh-tokohnya binatang disebut dengan fabel.

Tabel 1. Cerita Rakyat Bali Aga No. Judul Pelajaran 1. Mén

Lenggeroh

Kaul harus ditepati; kerelaan untuk dibunuh

(5)

(Ibu Lenggeroh)

jika kehadirannya tidak diharapkan lagi; mengenal mitos ujung daun sirih dipotong sebelum sirih boleh dikonsumsi.

2.

Pan Poléng (Pak Poleng)

Binatang yang tahu membalas budi baik majikannya; dekonstruksi atas permusuhan antara tikus-kucing-anjing; manusia yang curang akan dikalahkan bahkan oleh binatang. 3. Pan Sentul Ring I Macan (Pak Sentul dan Harimau)

Sikap ksatria, mengakui kekuatan orang lain dan tetap bersahabat walau kalah; sahabat identik dengan sumber rezeki Pelajaran dari Binatang dalam Cerita Rakyat Bali Aga

Nasihat akan pentingnya kesetiaan memenuhi kaul, sikap ksatria, balas budi, kawan sebagai sumber rezeki, serta berbagai mitos tentang kehidupan mewarnai pelajaran moral dalam cerita rakyat Bali Aga.

Cerita Mén Lenggeroh menggambarkan sikap manusia yang memenuhi kaul yang diucapkan, kemudian melakukan manuver untuk membunuh penerima kaul. Dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga, cerita dimulai dari seorang ibu yang bernama Mén Lenggeroh yang berkaul akan menyerahkan anaknya kepada orang yang dapat membantunya memotong ranting pohon beringin, karena si ibu lelah menyapu guguran daun beringin setiap hari. Demikian kaulnya:

“Nah, nyén ja nyak notorin bingin kuné né, aku upahinya I Lenggeroh” (Mén Lenggeroh, 1987:58).

Terjemahan:

“Siapa yang dapat membantu memotong ranting-ranting pohon beringin, maka akan aku berikan upah, I Lenggeroh”

Janji dari Mén Lenggeroh didengar oleh seekor ulat. Dilihat dari sosok, perilaku, dan kekuatannya, ulat dalam cerita ini tergolong binatang gaib. Ulat ini mampu memakan semua daun beringin hingga bersih. Tidak ada daun yang gugur lagi. Men Lenggeroh yang telah berkaul pun rela menyerahkan anaknya sebagai istri kepada Sang Ulat. Dia setia pada kaulnya, tetapi kemudian menyesal, setelah mengetahui bahwa anaknya dimakan oleh Sang Ulat.

Mén Lenggeroh pun kemudian membunuh Sang Ulat, tetapi tentu saja gagal karena kegaibannya. Namun, mengetahui akan dirinya tidak disukai, Sang Ulat rela memberitahu cara membunuh dirinya yaitu dengan “gaénang aku gantal sulasih telung besik, ancukin jelitkuné pang telu!” [‘buatkan aku sedah dari daun sirih, tusuk pantatku tiga kali!”].

Ulat itu pun berakhir dibunuh dengan menusuk pantatnya tiga kali dengan ujung daun sirih. Cerita ditutup dengan sebuah mitos tentang sirih: “krana kahang kajani orahana ngamah basé, gedihenga puncuk baséné” terkandung kearifan lokal yang menjelaskan mengapa orang-orang kalau makan sirih, maka ujung daun sirih itu dibuang terlebih dahulu karena berbahaya. Mitos ini tidak saja berlaku di Bali Aga, tetapi juga di seluruh Bali. Hanya saja sekarang ini sudah tidak banyak lagi penduduk mengkonsumsi sirih.

Cerita lainnya berjudul Pan Poléng yang mengisahkan empat tokoh binatang menunjukkan kerja sama mereka untuk berbalas budi dengan majikannya yang menelamatkan dan menghidupinya. Keempat tokoh bintang itu adalah anjing, kucing, tikus, dan ular. Dari keempat binatang itu, satu binatang diketahui adalah binatang gaib, yaitu ular. Setelah beberapa saat dipelihara oleh Pan Poleng, ular itu meminta agar Pan Poléng mengantarnya pulang.

“Pan Poléng, jani atehin kaki mulih, umah kakiné ditu di bongkol gunungé”(Pan Poléng, 1987:149)

Terjemahan:

“Pak Poleng, sekarang antarkan Kakek Pulang, Rumah Kakek di kaki gunung itu”.

(6)

Tokoh Ular memanggil dirinya dengan sebutan Kaki, ‘Kakek’, setelah Pan Poléng mengantar ular sakti tersebut, ia pun diberikan hadiah cincin bertuah yang jika cincin tersebut menyentuh suatu benda, maka benda tersebut akan berubah menjadi emas. Pan Poléng pun kaya tidak kekurangan apa pun. Ada Si Pandai Besi menukarkan cincin itu sehingga tuahnya hilang. Pan Poléng dan istrinya sedih, tidak bisa lagi memberikan makanan kepada tikus, kucing, anjing, sampai ketiganya kurus.

Ketiga binatang itu akhirnya bekerja sama untuk mendapatkan kembali cincin bertuah yang telah dikuasai oleh Si Pandai Besi dengan tipu-muslihat. Dalam kenyataan, anjing, kucing, dan tikus bermusuhan. Si Pandai Besi berfikir tidak mungkin tikus mencuri cincin karena di sana ada kucing. Namun, itulah yang terjadi, ketiga binatang yang bermusuhan itu berhasil mendapatkan cincin bertuah itu dan mengembalikan kepada Pan Poléng. Pan Poléng dan istrinya pun kembali menjadi kaya.

Cerita ini tidak saja menunjukkan karma baik Pan Poléng karena merawat dan memelihara binatang, sebaliknya menunjukkan karma buruk Si pandai Besi yang menipu. Selain itu, cerita juga melakukan dekonstruksi fakta tentang permusuhan antara tikus, kucing, dan anjing.

Cerita lainnya yaitu Pan Sentul Ring I Macan dimana ada seekor harimau yang ingin menguji kesaktian Pan Sentul. Harimau tersebut menyamar menjadi manusia dan mengajak Pan Sentul berkelahi. Si Harimau itu pun mengakui kekalahannya dan membawakan Pan Sentul hadiah sebagai tanda persahabatan.

“…né tiang maang Bapa Sentul ngiding céléng aukud, kapinang padi adepuk, apang ada cirin tiang makakasihan ajak Bapa Sentul” (Pan Sentul Ring I Macan, 1987:103).

Terjemahan:

“…ini saya berikan Bapak Sentul seekor babi dan padi sebagai tanda persahabatan dengan Pak Sentul.”

Cerita ini memberikan pelajaran bagi pembaca bahwa hidup selalu penuh cobaan dan tugas manusia untuk selalu tabah menghadapinya. Ketabahan akan memberikan kemenangan. Selain itu, juga terdapat pelajaran mengenai sikap ksatria dalam mengakui kekalahan, seorang seteru juga tunduk menjadi sahabat. Bagi mereka yang teguh dan tabah, sahabat adalah sumber manfaat.

Pelajaran dari Binatang dalam Cerita Rakyat Ainu Jepang

Tokoh-tokoh binatang pada cerita rakyat Ainu Jepang pada umumnya adalah binatang yang sakral karena masyarakat Ainu percaya bahwa binatang adalah dewa. Lewat interaksinya binatang sakral itu, pelajaran tentang hidup disajikan oleh cerita, seperti mengenai hukum karma, pentingnya manusia mempercayai kehadiran dewa, selalu berbuat baik jika ingin mendapat pertolongan dari kekuatan dewa, kesetiaan dan balas budi tidak mengenal batas waktu. Dalam cerita-cerita binatang, juga ada kisah mengenai pelaksanaan ritual atau cara memasak ikan salmon, salah satu makanan utama etnik Ainu yang lezat.

Tabel 2. Cerita Rakyat Ainu Jepang

No Judul Pelajaran

1. Iedeshita Inu (Anjing yang keluar dari rumah)

Tidak semua kebaikan dapat terlihat, kejahatan bisa saja ditutupi tanpa manusia

mengetahuinya;

kesetiaan dan balas budi tidak memiliki batas 2. Hima na Konabe

(Panci Kecil yang Memiliki Waktu Luang)

Beruang (Dewa) sengaja menampakkan diri agar mudah diburu manusia; tata cara pelaksanaan ritual iomante, pengembalian roh beruang ke alam dewa. 3. Yotaka ni sareta Kyoudai (Kakak beradik yang berubah menjadi burung Elang Hukum karma,

terkutuklah mereka yang tidak hormat pada orang tua; asal usul Elang Malam yang hanya

(7)

Malam) dapat memakan

serangga; cara memasak ikan salmon.

Pada cerita Iedeshita Inu terdapat satu tokoh manusia dan empat tokoh anjing, semuanya tidak memiliki nama. Dari keempat anjing itu, ada satu ekor anjing bertubuh kecil dan tiga ekor anjing bertubuh besar. Sebelumnya Anjing Kecil ini sangat disayang majikannya sampai suatu ketika datanglah tiga Anjing Besar yang kemudian juga dipelihara majikannya. Anjing-anjing bertubuh besar ini selalu mencari cara agar disayang majikannya dan juga agar Anjing Kecil itu tidak diperhatikan lagi.

そんなことを知らない父は、わたしをに らむばかりでなく、棒を持って、「この からっぽやみ(骨惜しみ)」と言いなが ら、わたしをめっためったになぐるよう になりました (Iedeshita Inu, 1993:181). Terjemahan:

Ayah yang tidak mengetahui hal itu, tidak hanya menatap saya dengan amarah selalu, tetapi ia juga membawa tongkat, sambil berkata [anak malas] dan terus memukuli saya.

Tokoh tiga ekor anjing berbadan besar pada kisah Iedeshita Inu sebenarnya tidak pandai berburu, mereka selalu mengakui hasil kerja keras Anjing Kecil dalam berburu rusa. Pemiliknya yang tidak mengetahui hal itu berbalik marah kepada Anjing Kecil dan terus memukulnya. Anjing Kecil itu juga mendapat kekerasan dari tiga Anjing Besar. Karena Anjing Kecil sudah tidak tahan lagi, ia pun ke luar dari rumah tersebut. Di perjalanan ia bertemu dua perempuan yang mengatakan bahwa sebenarnya Anjing Kecil itu adalah anak dewa beruang. Ketika ia telah menikah ia pun kembali ke rumah majikannnya terdahulu dan tetap membantu merawat mereka yang telah menua. Walau pernah disakiti tetapi Anjing Kecil tidak dendam malah tetap berterima kasih kepada majikannya karena pernah menjaganya. Anjing Kecil adalah lambang

kuatnya kesetiaan dan balas budi tidak mengenal batas waktu.

Pada cerita rakyat Hima na Konabe terdapat tokoh beruang sebagai sudut pandang orang pertama yang menceritakan bahwa ia adalah dewa beruang, penjaga gunung tertinggi di Sungai Yubekkawa. Cerita ini memiliki beberapa dimensi dari mana pengetahuan mengenai sistem kepercayaan masyarakat Ainu bisa disimak, misalnya mengenai ritual iomante, pengembalian roh berung dari dunia ini ke alam dewa di sana, melalui proses turunnya arwah itu ke alam manusia, seperti dapat disimak dalam kutipan berikut.

アイヌのところといっても、だれのとこ ろでもいいというのではありません。イ ナウを作るのが上手で、精神の最もいい 人 の と こ ろ へ 行 く も の で す (Hima na Konabe, 1993:29) Terjemahan:

Ketika aku pergi ke dunia manusia, bukan berarti aku boleh datang ke tempat siapa pun. Aku hanya datang ke tempat manusia yang pandai membuat inau dan yang berhati baik. Kisah ini secara cukup jelas menggambarkan proses upacara iomante, yaitu upacara pengembalian roh dewa beruang ke negeri Dewa. Dewa beruang berkata bahwa sebagai dewa tertinggi dia tidak sembarangan menampakkan diri kepada manusia hanya manusia yang memiliki akhlak baiklah yang dapat memburunya dan menangkapnya untuk kemudian diupacarai bersama masyarakat secara kolektif. Dalam pengembangan pariwisata Ainu dengan label ethnic tourism, aneka kekayaan seni budaya Ainu disajikan dalam festival-festival termasuk fragmen pelaksanaan iomante (Hiwasaki, 2000:407). Ritual iomante yang sesungguhnya tidak lagi dilaksanakan masyarakat Ainu, yang terakhir sekitar tahun 1960-an, namun pengetahuan tentang cara pelaksanaannya tercatat dalam banyak cerita rakyat Ainu.

Cerita Yotaka ni sareta Kyoudai (Kakak Beradik yang Berubah Menjadi Burung Elang Malam) tak hanya mengisahkan bagaimana manusia dikutuk dewa menjadi burung karena durhaka pada orang tuanya tetapi juga mengandung pengetahuan mengenai proses pembuatan chitatap, makanan lezat berbahan ikan salmon. Cerita menuturkan

(8)

bahwa cara memasak chitatap sudah dimulai dari cara memilih bahan dari bagian salmon dan cara memotongnya, serta bumbu lain yang diperlukan. Kutipan berikut yang dituturkan narator cerita menjelaskan proses dan cara serta makna chitatap.

むすこたちは、川にたくさんいる鮭をとっ てきては、氷頭のところ(頭の軟骨)で、チタ タプというぬたをつくります。イタタニという 肉切り台の上で、鮭の氷頭を切りきざむと、ロ ロ ロ ッ ロ ロ ロ ッ と い う 音 が し て … (Yotaka ni sareta Kyoudai, 1993:39) Terjemahan:

Anak-anak laki-laki itu mengambil salmon yang banyak di sungai, dengan mengambil bagian hizu (tulang rawan kepala), mereka membuat salad dengan bumbu miso yang disebut citatap. Saat memotong bagian tulang rawan kepala salmon di tempat memotong daging yang disebut itatani maka terdengarlah suara rororot rororot…

Ada empat istilah khusus dalam kutipan di atas yang berkaitan dengan citatap, yaitu hizu (tulang rawan bagian kepala salmon), miso (bumbu), itatani (takalan yang digunakan mencincang daging salmon), dan onomatope rororot rororot (suara gergaji memotong tulang rawan kepala salmon). Secara semiotik, istilah itu merupakan simbol yang makna denotatifnya berkaitan langsung dengan aktivitas yang dimaksudkan, namun secara konotatif dapat ditafsirkan sebagai konsep-konsep yang menjadi wadah bagi masyarakat Ainu untuk meneruskan pengetahuan tradisional kepada generasi penerus lewat warisan budaya cerita rakyat.

Menariknya pengetahuan cara memasak salmon ini disampaikan lewat cerita manusia dikutuk menjadi burung karena mereka (adik kakak) hanya memasak untuk diri mereka saja, orang tuanya tidak diberikan chitatap. Dewa pun marah atas kelakuan mereka sehingga mereka dikutuk menjadi Burung Elang Malam. Tidak saja sampai di situ, mereka hanya bisa makan serangga, tidak bisa makan daging dan ikan salmon.

D. PENUTUP Simpulan

Secara komparatif bisa dilihat beberapa persamaan dan perbedaan antara cerita rakyat Bali Aga dan Ainu Jepang dalam menyampaikan pesan atau pengetahuan melalui interaksi tokoh-tokoh manusia dengan binatang. Pertama, cerita rakyat kedua etnik sama-sama memiliki kekhasan dalam membungkus pesan, mitos, atau pengetahuan di balik narasi. Menikmati cerita rakyat Bali Aga, orang bisa mendapat penjelasan dari mitos memotong ujung sirih sebelum dimakan, atau menikmati cerita Ainu bisa mendapatkan tata cara ritual iomante atau memasak ikan salmon.

Kedua, cerita rakyat Bali Aga dan Ainu Jepang memiliki roh yang sama yaitu memperkuat ajaran mengenai sistem kepercayaan akan keberadaan dewa-dewa, kekuatan gaib, kutukan, dan hukum karma. Kehidupan manusia sangat ditentukan oleh kekuatan dewa atau makhluk gaib lainnya yang dilukiskan muncul dalam sosok binatang. Kepercayaan kedua etnik akan dewa dan kekuatan gaib pada binatang dan tumbuhan ini menegaskan bahwa sesama etnik di Asia sama-sama memiliki kepercayaan pada animisme dan dinamisme.

Perbedaan antara keduanya terletak pada, kalau cerita Bali Aga menampilkan sosok binatang gaib sebagai sumber jimat yang bisa memberikan kekayaan, sedangkan cerita Ainu sosok binatang untuk menjelaskan tata laksana upacara tradisional.

Dari analisis komparatif di atas dapat disimpulkan bahwa cerita rakyat tidak sekadar berfungsi sebagai pelipur lara atau dongeng belaka atau tutur pengantar tidur, tetapi mengandung berbagai pelajaran penting untuk kehidupan, mulai dari pengetahuan yang abstrak mengenai sistem kepercayaan hingga keterampilan praktis seperti tata cara memasak lauk-pauk. Dalam enam cerita yang dipilih, pengetahuan itu disampaikan lewat kisah interaksi manusia dengan binatang yang dapat ditafsirkan bahwa kehidupan manusia tidak saja tergantung pada dirinya tetapi juga makhluk lain di dunia ini.

(9)

Saran

Data analisis untuk makalah ini terbatas pada enam cerita, untuk mendapatkan simpulan yang lebih kuat dan ilustrasi cerita yang lebih komplit, disarankan ke depan meneliti lebih banyak cerita. Atau, melakukan kajian komparatif dengan cerita rakyat dari etnik lain.

DAFTAR PUSTAKA

Bassnett, Susan. 1993. Comparative Literature: A Critical Introduction. Cambridge: Blacwell Publishers.

Damono, Sapardi Djoko. 2015. Sastra Bandingan. Jakarta: Editum.

Danandjaja, James. 1995. “A Comparative Study of Japanese and Indonesian Folklores” dalam Southeast Asian Studies Vol.33, No.3, hlm. 484—496.

Fludernik, Monika. 2009. An Introduction to Narratology. UK: Routledge.

Genette, Gerard. 1983. Narrative Discourse: An Essay in Method. Ithaca: Cornell University Press.

Goldmann, Lucien. 1975. Towards a Sociology of the Novel (Trans. Alan Sheridan). New York: Tavistock Publications.

Hiwasaki, Lisa. 2000. “Ethnic Tourism in Hokkaido and the Shaping of Ainu Identity” dalam Pacific AffairsI Vol.73, No.3, hlm. 393—412. Kleden, Ignas. 2004. Sastra Indonesia dalam enam

pertanyaan: esai-esai sastra dan budaya. Jakarta: Freedom Institut.

Kobayashi, Fumihiko. 2010. “Is the Animal Woman a Meek or an Ambitious Figure in Japanese Folktales?” Fabula; 2010; 51, 3/4.

Phelan, James and Peter J. Rabinowitz (eds). 2005. A companion to narrative theory. USA, UK: Blackwell Publishing Ltd.

Sutarto, Ayu. 2012. Sastra Bandingan dan Sejarah Sastra. Jember: Fakultas Sastra Universitas Jember, MASTERA, dan Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT. Gramedia.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra; Sebuah Pengantar Teori Sastra. Jakarta : Pustaka Jaya.

Ucapan Terima Kasih

Terimakasih disampaikan kepada Kementerian Ristek Dikti dan Universitas Udayana atas bantuan sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan. Penelitian ini dibiayai oleh Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi; dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Udayana dengan dana Penelitian Disertasi Doktor Tahun Anggaran 2018 dengan Nomor: 171.3/UN14.4.A/LT/2018.

Gambar

Tabel 2. Cerita Rakyat Ainu Jepang

Referensi

Dokumen terkait

Akta dibawah tangan yang dilegalisasi Notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang tidak sama dengan akta otentik, karena tanda tangan yang terdapat dalam akta

Uraikan pula kondisi dan potensi wilayah dari segi fisik, sosial, ekonomi maupun lingkungan yang relevan dengan kegiatan yang akan dilakukan..

ƒ Data yang tersimpan dalam sistem komputer lain dapat diambil kembali secara elektronis untuk membuat atau memperbarui knowledge base dari ES, semuanya dengan tanpa melibatkan

Perhitungan meliputi pengestimasian nilai parameter, yang kemudian dilakukan simulasi harga komoditas pada waktu menggunakan vasicek , dan penentuan harga kontrak

Tabel I menunjukkan bahwa kecepatan tumbuh umbi dari berbagai perlakuan penutupan luka menunjukkann hasil yang sama, sedangkan daya tumbuh umbi perlakuan penutupan

telah menuliskan wahyu untuk Rasulullah Sallahu „Alaihi wa Sallam, oleh karena itu carilah Al Qur‟an dan kumpulkanlah”. Kata Zaid lebih lanjut :”Demi Allah,. sekiranya mereka

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar sebagian besar responden yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik dan sikap ibu dalam pemberian ASI eksklusif yang

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Rancangan Perda yang berasal dari anggota DPRD, komisi, gabungan komisi, atau Badan Pembentukan Perda, dikoordinasikan