• Tidak ada hasil yang ditemukan

R p ,-

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "R p ,-"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL (PPUK)

FURNITURE KAYU

(2)

POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL (PPUK)

FURNITURE KAYU

(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami penjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya Buku Pola Pembiayaan Usaha Furniture Kayu ini mampu diselesaikan. Penyusunan buku ini dilakukan dalam rangka mendukung pengembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), terutama untuk menyediakan informasi baik bagi perbankan, UMKM pengusaha maupun calon pengusaha yang berminat mengembangkan usaha tersebut. Informasi pola pembiayaan disajikan juga dalam Data dan Informasi Bisnis Indonesia (www.bi.go.id).

Buku Pola Pembiayaan usaha furniture kayu mengambil sampel di Kabupaten Tangerang Propinsi Banten. Penyusunan buku dilakukan melalui survei langsung ke lapangan dan in depth interview kepada pelaku usaha, wawancara dan diskusi dengan dinas/instansi terkait serta dengan pihak perbankan.

Dalam penyusunan buku pola pembiayaan ini, Bank Indonesia bekerjasama dengan Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (DKP) dan memperoleh masukan dan saran dari banyak pihak antara lain PT. Bank Mandiri, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk, PT Bank Negara Indonesia (Persero), Bukopin, Bank Niaga, Bank Permata, Bank Panin, Bank Internasional Indonesia, Bank Danamon serta narasumber yang terkait baik asosiasi maupun perorangan. Atas sumbang pikir dan bantuan kelancaran penyusunan buku pola pembiayaan usaha furniture kayu, Bank Indonesia cq Biro Pengembangan UMKM - Direktorat Kredit, BPR dan UMKM (BUMKM - DKBU) menyampaikan terimakasih.

Sedangkan bagi pembaca yang ingin memberikan kritik, saran dan masukkan bagi penyempurnaan buku ini atau ingin mengajukan pertanyaan terkait dengan buku ini dapat menghubungi: Biro Pengembangan UMKM Direktorat Kredit, BPR dan UMKM Bank Indonesia dengan alamat:

Gedung Tipikal (TP), Lt. V

Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10110

Telp: (021) 381-8581, Fax: (021) 351 – 8951 Email: Bteknis_PUKM@bi.go.id

Akhir kata, semoga buku ini bermanfaat bagi pembaca dan dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi pengembangan UMKM.

Jakarta, Mei 2008

(4)

No UNSUR URAIAN

1 Jenis Usaha Usaha Furniture Kayu

2 Dana yang digunakan Investasi : Rp 196.700.000,- Modal Kerja : Rp 486.033.000,- Total : Rp 682.733.000,- 3 Sumber Dana Kredit : Rp. 475.000.000,-

Modal sendiri : Rp. 207.733.000,- 4 Jangka Waktu Kredit Investasi : 2 tahun

Modal Kerja : 1 tahun

5 Suku Bunga 15% per tahun

6 Periode Pembayaran Kredit Angsuran pokok dan bunga angsuran dibayarkan tiap bulan

7 Pola Usaha a. Periode proyek b. Skala Usaha

c. Tingkat Teknologi d. Produk yang Dihasilkan

e. Pemasaran Produk

5 tahun

bahan baku 2 m3 kayu jati dan 1 m3 kayu mahoni per bulan

Semi mekanik

Kursi tamu, lemari pakaian, kursi makan, kursi dipan, dan meja rias

Dijual langsung, pesanan 8 Kriteria Kelayakan Usaha

Net B/C Ratio DF 15% NPV DF 15% IRR PBP usaha BEP rata-rata a. Total penjualan b. Rata-rata produksi Penilaian 3,53 Rp 844.261.802,- 94,92%

1 tahun 3 bulan (1,29 tahun)

Rp 351.706.454,- per tahun Kursi Tamu: 37 Lemari makan: 29 Kursi makan: 34 Kursi dpan: 29 Meja rias: 29 Layak dilaksanakan 9 Analisa Sensitifitas

(1) Dari sisi pendapatan a. Pendapatan turun 18% Net B/C Ratio DF 15% NPV DF 15% IRR PBP usaha Penilaian 1,06 Rp 20.625.846,- 17,40%

4 tahun 8 bulan (4,69 tahun) Layak dilaksanakan

(5)

No UNSUR URAIAN b. Pendapatan turun 19% Net B/C Ratio DF 15% NPV DF 15% IRR PBP usaha Penilaian 0,92 Rp -20.792.639,- 12,00%

lebih dari 5 tahun Tidak layak dilaksanakan (2) Dari sisi biaya operasional

a. Biaya operasional naik 27% Net B/C Ratio DF 15% NPV DF 15% IRR PBP usaha Penilaian 1,07 Rp 22.676.684,- 17,61%

4 tahun 8 bulan (4,67 tahun) Layak dilaksanakan

b. Biaya operasional naik 28% Net B/C Ratio DF 15% NPV DF 15% IRR PBP usaha Penilaian 0,98 Rp -7.752.395,- 14,09%

lebih dari 5 tahun Tidak layak dilaksanakan (3) Dari sisi pendapatan dan

biaya operasional

a. Pendapatan turun 10% dan Biaya operasional naik 10% Net B/C Ratio DF 15% NPV DF 15% IRR PBP usaha Penilaian 1,25 Rp 82.395.486,- 24,29%

3 tahun 11 bulan (3,93 tahun) Layak dilaksanakan

b. Pendapatan turun 12% dan Biaya operasional naik 12% Net B/C Ratio DF 15% NPV DF 15% IRR PBP usaha Penilaian 0,79 Rp -69.977.777,- 6,44%

lebih dari 5 tahun Tidak layak dilaksanakan

(6)

KATA PENGANTAR ………...………...… i RINGKASAN EKSEKUTIF ……… ii DAFTAR ISI ………... iv DAFTAR TABEL ………..……. vi DAFTAR GAMBAR ………... vii BAB I PENDAHULUAN ...……….…………... 1

BAB II PROFIL USAHA DAN POLA PEMBIAYAAN ...

3

2.1 Profil Usaha Abon Ikan ... 3

2.2 Pola Pembiayaan ………... 4

BAB III ASPEK PRODUKSI ... 7 3.1 Lokasi Usaha ……….………..………. 7

3.2 Fasilitas Produksi dan Peralatan ………. 7

3.2.1 Fasilitas Produksi .……… 7

3.2.2 Peralatan Produksi ………. 8

3.3 Bahan Baku dan Bahan Pembantu ………... 9

3.4 Tenaga Kerja ………... 9

3.5 Teknologi ……….. 10

3.6 Proses Produksi ………... 10

3.7 Jenis dan Mutu Produk ……….. 12

3.8 Produksi Optimum ……….. 12

3.9 Kendala Produksi ……… 13

BAB IV ASPEK PASAR DAN PEMASARAN ……… 15

4.1 Aspek Pasar ……….………... 15 4.1.1 Permintaan ... 15 4.1.2 Penawaran ... 16 4.1.3 Persaingan Pasar ... 16 4.2 Aspek Pemasaran ………... 17 4.2.1 Harga ... 17

4.2.2 Jalur Pemasaran Produk ... 18

4.2.3 Kendala Pemasaran ... 18

BAB V ASPEK KEUANGAN ..………...………... 21 5.1 Pemilihan Pola Usaha ……….………... 21

(7)

5.3 Komponen dan Struktur Biaya ... 22

5.3.1 Biaya Investasi………... 22

5.3.2 Biaya Operasional…………...….……….. 23

5.4 Kebutuhan Dana Investasi dan Modal Kerja ... 24

5.5 Produksi dan Pendapatan .………... 25

5.6 Proyeksi Laba Rugi dan Break Even Point (BEP) .……... 27

5.7 Proyeksi Arus Kas dan Kelayakan Proyek ………... 27

5.8 Analisis Sensitivitas Kelayakan Usaha ………... 28

BAB VI ASPEK EKONOMI, SOSIAL DAN DAMPAK LINGKUNGAN ... 33

6.1 Aspek Ekonomi dan Sosial ... 33

6.2 Dampak Lingkungan ... 33

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ..…... 35 7.1 Kesimpulan ……….………...…... 35 7.2 Saran …………..………... 36 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(8)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Jumlah Industri UMKM Furniture di Kota Tangerang Tahun 2007 ... 4

Tabel 5.1 Asumsi Dasar Proyek Kerajinan Furniture Kayu ... 22

Tabel 5.2 Komposisi Biaya Investasi ... 23

Tabel 5.3 Komposisi Biaya Operasional (Rp) ... 24

Tabel 5.4 Kebutuhan Dana untuk Investasi dan Modal Kerja ……….. 25 Tabel 5.5 Perhintungan Angsuran Kredit Modal Kerja dan Investasi ……….. 25

Tabel 5.6 Volume Produksi dan Nilai Penjualan Furniture Kayu (Persentase Produksi dan Penjualan = 100%) ……….. 26

Tabel 5.7 Produksi dan Penjualan Mebel Kayu ……….. 26

Tabel 5.8 Rata-rata Laba-Rugi dan BEP Usaha ... 27

Tabel 5.9 Kelayakan Usaha Furniture Kayu ……….….…... 28

Tabel 5.10 Analisis Sensitivitas Pendapatan Turun ………... 29

Tabel 5.11 Analisis Sensitivitas Biaya Operasional Naik ... 29

(9)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 3.1 Aliran Proses Produksi Pembuatan Furniture Kayu ... 11

Gambar 4.1 Contoh Produk ... 18

(10)
(11)

BAB I

PENDAHULUAN

Furniture adalah istilah yang digunakan untuk perabot rumah tangga yang berfungsi sebagai tempat penyimpan barang, tempat duduk, tempat tidur, tempat mengerjakan sesuatu dalam bentuk meja atau tempat menaruh barang di permukaannya. Misalnya furniture sebagai tempat penyimpan biasanya dilengkapi dengan pintu, laci dan rak, contoh lemari pakaian, lemari buku dll. Furniture dapat terbuat dari kayu, bambu, logam, plastik dan lain sebagainya. Furniture sebagai produk artistik biasanya terbuat dari kayu pilihan dengan warna dan tekstur indah yang dikerjakan dengan penyelesaian akhir yang halus.

Sejauh ini industri furniture/mebel Indonesia masih memiliki pamor bagus dalam perdagangan dunia. Pada ajang pameran tunggal bertajuk “Indonesia Paviliun” yang berlangsung selama 18-22 Maret 2007 di Shenzen - Cina, furniture asal Indonesia banyak diminati oleh para pembeli internasional. Terdapat sekitar 50 hingga 70 pembeli telah meminta pengusaha Indonesia untuk menjadi pemasok furniture dan kerajinan Indonesia dengan nilai transaksi mencapai sekitar US$ 100 juta (Tempo Interaktif, Jakarta, 9 April 2007).

Pemerintah juga telah mengupayakan untuk mengembangkan industri furniture. Terlebih sektor ini telah ditetapkan pemerintah sebagai salah satu dari 10 komoditas unggulan ekspor Tanah Air. Ini didukung baik oleh aspek kualitas dan desain produk yang diminati oleh konsumen luar negeri, ketersedian bahan baku maupun sumber daya manusia yang terampil.

Demikian juga dari sisi pangsa pasar nasional, industri mebel lokal masih menguasai 70% pasar mebel domestik. Tetapi pangsa pasar ini terancam oleh impor mebel asal China yang pertumbuhannya mencapai 200% per tahun dalam satu tahun terakhir. Peningkatan impor mebel asal China yang terjadi tiap tahun terutama untuk segmen mebel murah, untuk pasar menengah ke bawah (Media Indonesia Online, 27 Oktober 2007).

Terkait dengan pasar domestik, satu diantara sentra industri furniture adalah Kota Tangerang. Industri kecil furniture relatif cukup banyak, terutama memproduksi furniture untuk keperluan masyarakat Tangerang dan sekitarnya. Jumlah unit usaha dalam kategori usaha mikro, kecil dan menengah untuk semua jenis furniture usaha adalah 71 buah. Usaha furniture lokal ini perlu diupayakan pengembangannya, tidak saja agar kebutuhan lokal dapat terpenuhi, tetapi juga guna meningkatkan daya serap tenaga kerja terampil dan meningkatkan daya saing mereka dalam

(12)

menghadapi masuknya produk impor (China dan Vietnam). Untuk lebih mengetahui tentang industri furniture maka pada penyusunan pola pembiayaan usaha kecil dipilih usaha furniture.

Guna memelihara kelangsungan usaha dan peningkatan volume penjualan, industri kecil furniture memerlukan dukungan kelangsungan pengadaan bahan baku dan modal usaha, konsumen dan kemudahan akes perbankan. Sehubungan dengan perbankan, maka dukungan yang diharapkan adalah kemudahan akses kredit. Jenis kredit yang dibutuhkan adalah kredit untuk modal kerja dan investasi. Modal kerja terutama diperlukan untuk pengadaan bahan baku dan upah pekerja. Sedangkan modal investasi umumnya diperlukan untuk penyediaan tempat usaha dan peralatan baru.

(13)

BAB II

PROFIL USAHA DAN POLA PEMBIAYAAN

2.1. Profil Usaha

Usaha furniture kayu di Kota Tangerang telah berkembang cukup lama, dirintis sekitar tahun delapanpuluhan. Perkembangan industri ini diawali melalui perpindahan domisili pengusaha dan pekerja dari Jepara dan beberapa sentra industri furniture di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hal ini dapat dilihat dari motif dan model produk yang masih mengandung unsur kerajinan Jawa dan Jepara pada khususnya.

Pada umumnya usaha kecil furniture kayu di Tangerang memproduksi lemari, meja, kursi, tempat tidur dan meja rias sebagai produk utama. Beberapa pengusaha selian menghasilkan produk utama, juga memproduksi perabot lain seperti akuarium, meja pajangan, papan kaligrafi, dan sebagainya dalam jumlah sedikit.

Tiap pengusaha mempekerjakan beberapa orang karyawan administrasi dan sejumlah tenaga kerja produksi yang diupah secara harian atau borongan. Di Kota Tangerang, perusahaan furniture yang terdaftar pada Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Pariwisata adalah sebanyak 71 industri dalam kategori mikro, kecil dan menengah. Industri ini tersebar di beberapa kecamatan yang mempekerjakan lebih dari 6.000 orang, seperti yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Para pengusaha furniture kayu tersebut biasanya memfungsikan rumah sebagai tempat tinggal sekaligus sebagai tempat usaha. Bagian rumah yang difungsikan sebagai tempat usaha, sebagian untuk produksi dan sebagian lagi untuk penjualan berupa showroom/outlet/toko. Toko ini juga berfungsi sebagai gudang barang jadi sekaligus tempat transaksi jual beli.

Dinas yang mengatur bidang usaha ini di Kota Tangerang adalah Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Pariwisata. Para pengusaha yang terdaftar pada dinas tersebut memperoleh kesempatan untuk mengikuti program pembinaan UMKM, baik yang diadakan oleh dinas ataupun oleh perkumpulan pengusaha furniture kayu seperti koperasi dan asosiasi usaha furniture. Demikian pula kesempatan untuk mendapatkan binaan kemitraan dari BUMN dan BUMD yang difasilitasi oleh dinas.

(14)

Tabel 2.1. Jumlah Industri UMKM Furniture di Kota Tangerang Tahun 2007

No. Kecamatan Unit Usaha

(buah) Tenaga Kerja (orang) Nilai Investasi (Rp. juta) 1 Priuk 7 1.975 21.126 2 Ciledug 1 17 189 3 Karang Tengah 7 195 736 4 Benda 4 180 2.834 5 Batu Ceper 2 61 923 6 Jatiuwung 12 1.578 24.883 7 Cipondoh 10 356 6.840 8 Cibodas 11 789 16.793

9 Neglasari Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data

10 Tangerang 4 882 907

11 Pinang 4 133 786

12 Larangan 2 Tidak ada data Tidak ada data

13 Karawaci 7 661 5.799

Jumlah 71 6.827 81.820

Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Pariwisata Kota Tangerang (2007)

2.2. Pola Pembiayaan

Penyaluran kredit oleh pihak perbankan yaitu Bank Mandiri di Kota Tangerang untuk usaha furniture kayu. Kredit diberikan kepada unit usaha yang telah berjalan agar lebih berkembang atau untuk perluasan skala usaha. Jenis kredit yang disalurkan merupakan Kredit Modal Kerja (KMK) dengan plafon kredit yang sebesar Rp 700.000.000,- per debitur per seorangan dengan bunga pinjaman sebesar 13,5% per tahun dan jangka waktu pinjaman 3 tahun tanpa masa grace period.

Penyaluran kredit investasi belum pernah diterapkan untuk usaha furniture kayu di Kota Tangerang, meskipun penyaluran kredit ini tetap dimungkinkan dengan jangka waktu 3 tahun dan bunga 13,5% pertahun. Khusus untuk kebutuhan investasi usaha furniture kayu, proporsi kredit investasi terhadap modal sendiri diberikan maksimum 70% dari total investasi dengan masa grace period 2-3 bulan.

Jumlah pembiayaan yang sudah diberikan oleh bank tersebut kepada debitur perseorangan dalam tahun 2006 adalah sebesar Rp. 45.195.000.000,-. Di antaranya kredit yang diberikan untuk pengusaha furniture kayu mencapai Rp. 1.650.000.000,- kepada 4 nasabah atau sekitar 3,6%.

(15)

Persentase ini relatif kecil jika dibandingkan dengan seluruh jenis usaha lainnya. Berdasarkan informasi dari narasumber perbankan diketahui bahwa beberapa pengusaha furniture kayu sudah memperoleh pengulangan pembiayaan. Hal ini mengindikasikan bahwa usaha furniture kayu merupakan usaha yang potensial untuk dibiayai.

Prosedur untuk memperoleh kredit dinilai cukup mudah dengan persyaratan jaminan berupa sertifikat tanah dan bangunan tempat usaha serta legalitas izin usaha. Proses penyaluran kredit sejak permohonan hingga pencairan kredit relatif cepat yaitu ±14 hari kerja. Apabila persyaratan telah dilengkapi, bank akan segera menindak lanjuti melalui peninjauan lapangan, penyusunan appraisal kredit, analisis kredit dan dilanjutkan dengan pembahasan oleh tim internal bank. Apabila disetujui dan plafon kredit masih di bawah wewenang kantor bank tersebut, maka kredit akan segera diproses dan dicairkan.

Sumber pembiayaan lain berasal dari dua buah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menjalankan usaha di wilayah Tangerang. Penyaluran pembiayaan dilakukan dalam bentuk program pembinaan manajemen usaha dan kredit modal kerja. Besar bunga kredit yang dikenakan oleh kedua perusahaan BUMN tersebut adalah 8% dan 6% setahun. Plafon pembiayaan relatif kecil yaitu kurang dari Rp50 juta. Pengajuan proposal pembiayaan biasanya difasilitasi oleh dinas/instansi terkait. Sejauh ini, beberapa pengusaha furniture kayu sudah memfaatkan layanan pembiayaan dari BUMN lebih dari sekali. Hal ini menunjukkan bahwa kredibilitas pengusaha dan proses usaha furniture kayu relatif bagus.

(16)
(17)

BAB III

ASPEK TEKNIK PRODUKSI

3.1. Lokasi Usaha

Kelangsungan usaha industri furniture kayu salah satunya dipengaruhi oleh referensi konsumen. Kedekatan dengan konsumen akan memudahkan pemasaran terhadap produk yang bersangkutan. Sebagaimana perkembangan industri furniture kayu di Kota Tenggerang yang didukung oleh kedekatan lokasi dengan konsumen. Hal ini mengingat pertumbuhan penduduk Kota Tangerang dan sekitarnya yang terus bertambah, seiring dengan perkembangan perumahan baru di kawasan tersebut. Pertumbuhan tersebut menjadi pemacu meningkatnya kebutuhan akan produk furniture kayu, khususnya kayu jati dan mahoni.

Sedangkan akses bahan baku dijembatasni melalui pemasok. Pemasok bahan baku, biasanya dipenuhi oleh pedagang kayu di Pulo Gadung – Jakarta. Pengadaan bahan baku kayu relatif lancar karena dukungan ketersediaan infrastruktur yang baik dan frekuensi pengadaan yang cukup satu bulan sekali.

Dalam konteks lokasi, kelangsungan usaha industri furniture kayu di Kota Tangerang lebih ditentukan oleh kedekatan dan kemudahan konsumen untuk mengakses produk, dari pada kedekatan bahan baku. Lokasi unit-unit usaha yang berada di Kota Tangerang adalah salah satu bukti kelangsungan usaha furniture kayu yang berlokasi relatif jauh dari lokasi pemasok bahan baku kayu. Oleh karena itu pilihan lokasi usaha, terutama lokasi pemasaran yang sering menyatu dengan lokasi produksi, hendaknya mempertimbangkan kemudahan akses dengan konsumen.

Faktor selanjutnya yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan dan penetapan lokasi usaha adalah kedekatan dengan domisili pekerja. Ini mengingat, usaha furniture kayu memerlukan cukup banyak pekerja produksi (harian/borongan), terutama ketika pesanan sedang banyak-banyaknya. Tenaga kerja jenis ini banyak tersedia di sekitar lokasi industri. Sementara, kedekatan dengan bahan pembantu atau pendukung tidak terlalu kritikal, karena bahan pendukung mudah diperoleh di kota-kota besar seperti halnya Kota Tangerang.

3.2. Fasilitas Produksi dan Peralatan

3.2.1. Fasilitas Produksi

(18)

a. Gudang bahan baku

Bahan baku berupa kayu jati dan kayu mahoni dalam bentuk papan, balok dan kaso beragam ukuran memerlukan tempat yang terlindung dari hujan, tetapi tidak harus terutup dengan dinding.

b. Ruang produksi dengan sebagian area terbuka

Ruang produksi terdiri dari ruang pengerjaan dan ruang pewarnaan serta finishing. Ruang pengerjaan kayu perlu dipisahkan dengan ruang pewarnaan dan finishing, karena debu dari serbuk gergaji dapat mengganggu kualitas hasil kerja pewarnaan dan finishing. Pemisahan dapat diperoleh dengan penyekatan atau memberi jarak tertentu untuk menghindari debu.

c. Tempat penyimpanan hasil produksi

Tempat penyimpanan hasil produksi yang disiapkan dengan baik dapat berfungsi rangkap sebagai toko atau tempat memajang produk yang dapat menarik calon konsumen.

Untuk satu unit usaha kecil furniture kayu yang ada di Kota Tangerang paling tidak diperlukan lahan seluas ±200 m2 sebagai tempat fasilitas-fasilitas yang disebut di atas.

3.2.2. Peralatan Produksi

Peralatan yang digunakan oleh para pengusaha furniture kayu dapat dikelompokkan ke dalam peralatan mekanis dengan bantuan tenaga listrik dan peralatan manual, yaitu:

a. Peralatan mekanis dengan tenaga listrik yang digunakan antara lain adalah mesin gergaji kayu, mesin bor kayu, mesin serut, mesin ampelas, obeng listrik dan kompresor untuk pewarnaan dan finishing politur.

b. Sedangkan peralatan manual terdiri dari gergaji manual, palu atau pukul besi, tang, tatah atau pahat, tatah ukir, pisau raut, mistar, meteran serta peralatan politur, cat, dsb.

Penggunaan peralatan dalam industri ini memerlukan keterampilan serta keahlian pekerja produksi, baik dari segi pengoperasian alat maupun kemampuan membuat bentukan kayu dengan ketelitian tinggi secara manual.

Sementara itu, tambahan peralatan yang diperlukan adalah untuk pengeringan kayu dan finishing selama musim hujan. Pengeringan kayu dapat dibantu dengan peralatan oven dengan bahan bakar arang atau sisa kayu dan serbuk gergaji. Sedangkan untuk pengeringan dalam pewarnaan dapat menggunakan blower yang dilengkapi dengan dryer dengan pemanasan listrik.

(19)

3.3. Bahan Baku dan Bahan Pembantu

3.3.1. Bahan Baku

Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan berbagai jenis produk furniture kayu antara lain kayu jati dan kayu mahoni. Kayu jati digunakan untuk bagian furniture yang tampak terekspose pada produk akhir, sedangkan kayu mahoni digunakan untuk bagian dalam seperti rangka bagian dalam, rak, lis penyangga rak, dan sebagainya.

Bahan baku tersebut berasal dari luar daerah, baik dari Jawa maupun luar Jawa. Pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu dipasok oleh pedagang kayu yang berdomisili di Pulogadung. Pengusaha furniture biasanya datang langsung ke pangkalan kayu di Pulogadung untuk membeli kayu dengan memilih kayu gelondongan. Kayu kemudian dipotong-potong sesuai kebutuhan dalam bentuk papan, balok dan kaso. Bahan ini selanjutnya, dibentuk dengan pola-pola sesuai kebutuhan, menurut disain tiap jenis produk.

Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku, biasanya pengusaha melakukan pembelian bahan baku setiap 30 hari atau sebulan sekali, kecuali untuk memenuhi pesanan. Harga pembelian sudah termasuk ongkos potong kayu dan pembayaran dilakukan secara tunai.

3.3.2. Bahan Pelengkap dan Pembantu

Bahan pelengkap yang digunakan dalam pembuatan berbagai macam jenis furniture kayu antara lain: kaca, cermin, kunci, engsel, tarikan pintu, bahan jok, asesoris dan sebagainya. Sedangkan bahan pembantu yang digunakan terdiri dari paku, sekrup, ampelas, dempul, bahan melamin, thiner, spiritus, bahan politur seperti sirlak dan pewarna, lem serta cat.

3.4. Tenaga Kerja

Tenaga kerja yang terlibat dalam usaha furniture kayu terdiri dari tenaga kerja langsung dan tenaga kerja tidak langsung. Tenaga kerja langsung adalah pekerja produksi yang memiliki keahlian dalam kategori tukang kayu, tukang politur untuk pekerjaan finishing, serta tukang amplas. Sedangkan tenaga manajemen, administrasi dan penjualan serta sopir sebagai kelompok tenaga kerja tidak langsung.

Pada lokasi penelitian diperoleh informasi bahwa umumnya pengusaha furniture kayu bersama tenaga kerjanya menerapkan 7–8 jam kerja per hari. Pada saat permintaan pesanan meningkat pengusaha furniture kayu dapat menambah tenaga kerja produksi. Penambahan ini

(20)

relatif mudah diusahakan baik karena tersedianya tenaga kerja dan sistem pengupahan yang dilakukan secara harian atau borongan. Penambahan tenaga kerja diperhitungan atas dasar jumlah jam kerja atau jumlah hari kerja untuk dijadikan sebagai patokan dalam menghitung jumlah tenaga kerja terampil yang dibutuhkan guna menyelesaikan seluruh produk yang akan diproduksi. Permintaan produk biasanya meningkat pada saat menjelang lebaran.

Tingkat keterampilan tenaga kerja sangat menentukan kualitas produk yang dihasilkan. Oleh karena itu, kreatifitas perancang dan keahlian pekerja merupakan aset penting bagi kelangsungan usaha furniture kayu, mengingat produk yang diproduksi lebih mengedepankan nilai seni.

3.5. Teknologi

Teknologi produksi dalam usaha furniture kayu merupakan gabungan antara teknologi sederhana dengan teknologi semi modern. Teknologi sederhana terlihat dari penggunaan peralatan yang dikerjakan secara manual dengan tenaga manusia. Teknologi semi modern tercermin dalam penggunaan peralatan yang digerakkan dengan mesin listrik, meskipun masih dalam kendali pekerja bukan komputer.

Pekerjaan dalam industri ini mengandalkan gabungan antara keterampilan tangan pekerja baik dalam menggunakan peralatan sederhana/manual maupun dalam mengoperasikan peralatan semi modern. Dengan demikian tingkat keahlihan tenaga kerja menjadi faktor yang kritikal untuk menghasilkan produk furniture yang berkualitas baik.

3.6. Proses Produksi

Proses produksi furniture kayu secara umum dapat digambarkan dengan diagram alir berikut ini.

(21)

Gambar 3.1: Aliran Porses Produksi Pembuatan Furniture Kayu

Proses produksi pada usaha kecil furniture kayu ini menggunakan teknologi proses sederhana secara manual untuk pekerjaan kecil dan rinci. Pada pekerjaan yang lebih berat sudah menggunakan teknologi proses semi modern, yaitu dalam proses pemotongan, penyerutan dan penghalusan untuk bidang-bidang yang lebih luas. Proses pembuatan furniture kayu merupakan gabungan proses mekanik (pemotongan, pengeboran dan pemolaan kayu) dan pengerjaan seni (pembentukan akhir sesuai contoh model). Furniture kayu yang dihasilkan merupakan produk yang mempunyai kandungan seni menurut model dan fungsi produk yang dikehendaki.

Proses pembuatan dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu pemotongan kayu gelondongan menjadi bentuk kaso, papan dan balok yang dilakukan di tempat penjual kayu. Selanjutnya bahan tersebut dilakukan pemotongan sesuai dengan ukuran produk, pembentukan model-model produk dengan mesin bubut, pengukiran bentukan produk jadi, pengampelasan, pewarnaan dan finishing.

Pewarnaan umumnya memanfaatkan warna alami kayu jati yang sangat digemari oleh konsumen. Penguatan warna sesuai selera konsumen, biasanya cenderung kepada warna terang,

Bahan baku: Kayu papan, balok, dan

kaso

Bahan pelengkap: Kaca, list, palstik, paku, sekrup,

lem, politur, cat, dsb. Disain Furniture

Pemotongan kayu berdasarkan ukuran dan

model produk Penghalusan Komponen

Produk dengan Serut dan Gergaji Perakitan Komponen Produk sesuai dengan

disain

Pengampelasan dengan mesin dan secara manual

Pewarnaan dan Finishing

(22)

kuning sampai kecoklatan, atau warna agak gelap, yaitu coklat sampai kehitaman. Tetapi beberapa konsumen juga ada yang menginginkan warna lain seperti warna keemasan atau perak. Bahan pelarut warna dan perekat warna dapat dipilih antara politur dan melamine.

3.7. Jenis dan Mutu Produk

Jenis produk yang diusahakan oleh industri kecil furniture kayu di Kota Tangerang sangat beragam. Secara umum produk yang dapat dihasilkan oleh usaha kecil furniture kayu meliputi kursi, meja, lemari, ukian kaligrafi, akuarium, bufet, lemari jam dan meja rias. Kursi, lemari dan meja merupakan produk yang dihasilkan secara rutin dengan jumlah paling dominan.

Pengendalian mutu bahan dan produk yang akan dihasilkan dilakukan sejak penyiapan bahan baku hingga pengiriman barang. Pengujian kualitas atau mutu dilakukan dengan alat ukur dimensi serta secara visual dan indera perabaan untuk kehalusan pekerjaan. Bagian-bagian yang mendapat pengawasan dan pengujian adalah ukuran, ketepatan dimensi (mendatar dan vertikal serta lekukan), kehalusan hasil serutan dan pengampelasan, kehalusan dan kerataan warna pengecatan, finishing serta ketepatan bentuk menurut contoh model. Kualitas produk juga ditentukan oleh tingkat kualitas bahan baku kayu. Tingkat kualitas bahan kayu dapat diidentifikasi dari umur kayu, tingkat kekeringan kayu, keseragaman warna kayu, kekerasan kayu serta jumlah cacat dalam tiap satuan luas permukaan kayu.

3.8. Produksi Optimum

Produksi optimum yang dianalisis dalam pola pembiayaan ini adalah furniture kayu dengan siklus bahan baku sebanyak 1 kali dalam sebulan dengan jumlah per siklus sebanyak 1 m3 kayu mahoni dan 2 m3 kayu jati. Bahan baku sebanyak itu dalam satu siklus usaha akan dihasilkan produksi secara rata-rata 10 kursi tamu, 7 lemari pakaian, 10 kursi makan, 5 kursi dipan, dan 7 meja rias. Jenis-jenis produk ini diambil sebagai referensi karena jumlah permintaan akan jenis tersebut relatif tinggi. Sedangkan komposisi jumlahnya mencerminkan komposisi rata-rata volume penjualan yang ada berdasarkan informasi dari narasumber di lokasi penelitian.

Ketersediaan fasilitas, peralatan produksi dan jumlah tenaga kerja, mulai dari tukang kayu, tukang finishing dan tukang ampelas menjadi penentu kapasitas produksi dalam satu kali siklus usaha. Sejauh ini pengusaha kecil furniture kayu tidak merasa kesulitan dalam menjalankan usaha karena pada saat pesanan meningkat dalam jumlah tertentu, masih dimungkinkan untuk menambah pekerja lepas yang terdapat di sekitarnya.

(23)

3.9. Kendala Produksi

Secara umum, relatif kecil kendala produksi yang dihadapi oleh pengusaha industri kecil furniture kayu. Satu diantaranya adalah cuaca. Pada saat musim penghujan, terutama antara bulan Desember sampai dengan Februari saat curah hujan cukup tinggi, kelembaban udara menyebabkan kayu yang akan dikerjakan agak lembab. Selain itu juga membuat proses pengeringan pewarnaan dan finishing bertambah lama. Hal ini disebabkan belum tersedianya ruangan khusus untuk pengeringan dengan bantuan peralatan pengering.

Kendala lain adalah kecenderungan harga kayu yang semakin tinggi sebagai akibat menipisnya persediaan hutan jati dan mahoni. Banyak pengusaha besar furniture yang terpaksa mengimpor kayu jati guna mengamankan pasokan agar tidak terkena sanksi dari pemesan, terutama pesanan impor. Pendekatan ini tentu tidak mudah untuk dilakukan oleh usaha kecil furniture, sehingga berpotensi menjadi kendala serius di masa depan, utamanya bagi kesinambungan usaha kecil furniture berbasis kayu jati. Solusi yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan alternatif jenis kayu lain seperti sengon, kelapa dan sebagainya.

(24)
(25)

BAB IV

ASPEK PASAR DAN PEMASARAN

4.1. Aspek Pasar

4.1.1. Permintaan

Di Kota Tangerang meskipun cukup banyak pengusaha furniture, tetapi usaha industri furniture masih berpotensi untuk berkembang. Setiap rumah tangga memerlukan pemenuhan kebutuhan perabot rumah tangga dalam bentuk furniture, khususnya produk meja, kursi, lemari dan tempat tidur. Pemasaran produk furniture yang sudah ada tidak hanya sebatas di Kota Tangerang dan sekitarnya tetapi juga meliputi daerah Jakarta dan sekitarnya. Potensi pasar cenderung membesar sejalan dengan perkembangan jumlah rumah-rumah baru yang dibangun setiap tahun dan jumlah keluarga muda yang masih memerlukan furniture untuk pertama kali serta kelanjutan dan penggantiannya. Permintaan produk selama ini yang terbesar adalah melalui pesanan. Umumnya konsumen datang ke showroom perusahaan, sebagian langsung membeli produk jadi yang siap jual dan lebih banyak yang memesan sesuai selera dan ukuran yang diinginkan. Konsumen furniture umumnya adalah perorangan tetapi juga ada yang membeli atas nama instansi, baik instansi pemerintah maupun swasta.

Apresiasi masyarakat terhadap produk yang dihasilkan oleh pengusaha furniture di Kota Tanggerang relatif bagus. Konsumen tertarik kepada bahan kayu jati yang merupakan kualitas pilihan dengan model yang selalu berkembang dan harga terjangkau. Reputasi masing-masing perusahaan juga dijadikan referensi konsumen. Kepuasan atas produk tersebut merupakan bentuk pemasaran yang efektif karena konsumen yang pernah membeli barang dari suatu perusahaan, akan menginformasikan kepada teman-teman ataupun relasinya. Model promosi getok tular (mulut ke mulut) inilah yang memungkinkan adanya pesanan tidak hanya dari daerah sekitar toko, tetapi juga sampai wilayah yang lebih jauh.

Selama ini penjualan dilakukan dengan pembayaran tunai. Untuk mendukung permintaan konsumen yang menginginkan pembayaran secara mengangsur, beberapa perusahaan telah bekerjasama dengan lembaga pembiayaan.

Sampai saat ini pengusaha kecil furniture masih mendapat pesanan dalam jumlah yang memadai dan berkesinambungan sehingga pengusaha dapat bertahan. Bahkan tidak sedikit, pengusaha furniture yang makin berkembang. Indikasi prospek usaha yang baik itu juga

(26)

mendorong minat lembaga pembiayaan untuk memberi kredit kepada pembeli furniture kayu. Ini berarti memberi indikasi bahwa ada permintaan yang skala ekonominya memadai.

4.1.2. Penawaran

Kapasitas produksi optimun yang mampu dihasilkan oleh pengusaha di lokasi penelitian adalah 10 kursi tamu, 7 lemari pakaian, 10 kursi makan, 5 kursi dipan, dan 7 meja rias per bulan. Kapasitas produksi ini mengindikasikan kemampuan rata-rata penawaran pengusaha di wilayah tersebut. Secara teknis, kemampuan penawaran ini masih dapat ditingkatkan, mengingat tenaga kerja terampil relatif mudah diperoleh. Ini dapat dilihat dari kebiasaan pengusaha setempat yang mampu menerima pesanan dalam jumlah yang relatif besar dengan cara menambah jumlah tenaga kerja. Dengan demikian, dari sisi penawaran, berdasarkan informasi dari narasumber terkait dapat mengikuti jumlah permintaan.

4.1.3. Persaingan Pasar

Menurut pengalaman sejumlah pengusaha kecil furniture kayu di lokasi penelitian, pesaing utama mereka adalah para pengusaha sejenis di Kota Tangerang. Bentuk persaingan antara lain berupa persaingan harga jual produk. Penawaran harga jual yang lebih murah dapat dilakukan, antara lain dengan mengurangi kualitas produk. Dengan cara itu, ongkos produksi ditekan agar dapat menjual produk dengan harga yang lebih murah. Tentu saja cara ini hanya dapat dilakukan dalam batas-batas harga tertentu. Di sisi lain, konsumen yang mengutamakan kualitas dan menghargai karya seni akan memilih pengusaha yang menghasilkan produk bermutu tinggi dan bernilai seni. Biasanya konsumen ini adalah konsumen yang tergolong dalam kelas ekonomi menengah ke atas.

Persaingan pasar tidak hanya muncul dari adanya pengusaha sejenis di daerah yang bersangkutan, tetapi juga oleh kemudahan konsumen untuk memperoleh produk dari pasar di luar Kota Tangerang, seperti Klender dan sentra produksi lainnya. Persaingan dipertajam, dengan membajirnya produk furniture impor, yang umumnya berasal dari China. Produk impor tersebut dijual dengan harga relatif murah dengan kualitas yang cukup baik.

Strategi yang dilakukan untuk bersaing di pasar umumnya dilakukan dengan promosi getok tular serta mengikuti pameran-pameran, baik dengan inisiatif sendiri ataupun mengikuti pameran yang dilakukan oleh dinas terkait. Institusi/dinas yang memberikan perhatian terhadap

(27)

perkembangan usaha furniture kayu antara lain: Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Pariwisata Kota Tangaerang atau Dinas Perindustrian Provinsi.

Strategi lain yang diterapkan dalam menghadapi persaingan pasar adalah dengan senantiasa memperbaiki disain produk yang mengikuti model dan selera konsumen yang sedang digemari.Upaya lain yang dilakukan pengusaha untuk meningkatkan pemasaran adalah membuka showroom sendiri dan secara tidak langsung mengupayakan untuk tidak menggunakan jasa perantara yang dapat mengurangi marjin keuntungan.

4.2. Aspek Pemasaran

4.2.1. Harga

Secara rata-rata, harga produsen untuk furniture kayu untuk kursi tamu (Foto 1.) adalah sebesar Rp. 3.500.000,- per set, kursi makan (Foto 2.) dijual dengan harga Rp. 2.600.000,- per set, lemari pakaian (Foto 5.) dijual dengan harga Rp. 2.800.000,- per set, kursi dipan (Foto 3.) dijual dengan harga Rp. 2.100.000,- per set, dan meja rias (Foto 4.) dijual dengan harga Rp. 1.600.000,- per set. Harga yang ditetapkan untuk setiap produk yang dihasilkan adalah harga di lokasi usaha dan masih ditambah dengan biaya transportasi. Harga jual dari setiap jenis produk ditentukan oleh pengusaha dengan memperhitungkan keuntungan yang diharapkan.

Photo 1. KURSI TAMU GANESHA MESI

3,2,1,1+ 3 BUAH MEJA Photo 2. KURSI MAKAN SALING PLONG 6 KURSI + 1 MEJA BESAR

(28)

Photo 5. LEMARI PAKAIAN

Gambar 4.1. Contoh Produk

4.2.2. Jalur Pemasaran Produk

Umumnya pengusaha furniture kayu di Kota Tangerang memasok untuk pasar lokal. Jalur pemasaran furniture lokal dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 4.2. Jalur Pemasaran Produk

Upaya untuk meningkatkan volume penjualan furniture kayu dilakukan antara lain melalui pameran dan atau menyewa area pertokoan untuk memajang produk dalam waktu tertentu. Cara ini membantu pengusaha agar produknya dapat lebih dikenal dan diminati oleh konsumen yang lebih luas.

4.2.3. Kendala Pemasaran

Kendala pemasaran yang umum dialami oleh pengusaha kecil termasuk pengusaha kecil furniture kayu diantaranya adalah kurangnya informasi pasar seperti keterbatasan akses untuk mengetahui perkembangan harga dan jenis produk yang sedang diminati konsumen. Untuk mengatasi hal ini, disarankan untuk membentuk atau bergabung dalam koperasi atau asosiasi usaha sejenis.

(29)

Kendala lain bagi jenis usaha furniture kayu ialah sifat produk yang relatif awet. Konsekuensinya frekuensi pembelian menjadi kecil, karena banyak yang membeli sebatas untuk pembelian pertama atau penambahan furniture baru. Oleh karena itu, disarankan untuk aktif mengikuti pameran sehingga diharapkan dapat memperluas jangkauan pasar.

Kendala berikutnya adalah harga jual yang relatif tinggi untuk produk furniture kayu memperkecil potensi daya beli konsumen. Akibatnya, sebagian potensial konsumen ini beralih kepada jenis furniture berbahan baku murah, seperti papan partikel, rotan, bambu dan plastik. Kendala ini dapat dimitigasi dengan mengedepankan nilai seni dan kualitas tinggi sehingga diharapkan mempunyai konsumen tersendiri (captive market) yang loyal.

(30)
(31)

BAB V

ASPEK KEUANGAN

5.1. Pemilihan Pola Usaha

Penyajian analisis keuangan usaha kerajinan mebel kayu diharapkan dapat memberikan gambaran baik kepada perbankan tentang kelayakan pembiayaan terhadap usaha yang bersangkutan maupun pengusaha/pemerhati usaha furniture kayu terhadap nilai tambah yang dihasilkan melalui kegiatan usaha ini. Perhitungan analisis kelayakan ini didasarkan pada kelayakan usaha kerajinan mebel kayu. Model kelayakan usaha ini merupakan pengembangan usaha kerajinan kayu yang telah berjalan dan untuk menumbuhkan kemandirian usaha serta upaya replikasi usaha di wilayah lain.

Pola pembiayaan yang dianalisis adalah kerajinan mebel kayu skala industri kecil. Industri yang menjadi contoh adalah usaha kerajinan mebel kayu yang terdapat di Kota Tanggerang, Propinsi Banten.

Produk utama yang dihasilkan adalah kursi tamu, lemari pakaian, kursi makan, kursi dipan dan meja rias. Teknologi yang digunakan adalah semi mekanik yaitu menggunakan tenaga manusia dan mesin.

5.2. Asumsi dan Parameter yang Digunakan

Untuk mengetahui kelayakan usaha furniture kayu, maka dilakukan analisis kelayakan usaha dengan mendasarkan diri kepada beberapa asumsi yang akan dijadikan dasar perhitungan dalam penyusunan kelayakan usaha. Hasil analisis diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak yang bermaksud memulai usaha baru atau pihak yang ingin memberikan pembinaan dan akses permodalan. Dalam membuat perhitungan kelayakan usaha ini, digunakan asumsi-asumsi yang disusun berdasarkan hasil pengamatan di lokasi usaha seperti dapat dilihat pada Tabel 5.1. Selengkapnya ditampilkan pada Lampiran 1.

Proses produksi furniture kayu dilaksanakan sepanjang tahun atau selama 12 bulan dengan siklus pengadaan kebutuhan bahan baku kayu jati dan mahoni sekali dalam sebulan, masing-masing sebanyak 2 m3

kayu jati dan 1 m3

kayu mahoni untuk asumsi produksi dan penjualan optimum (100%). Dalam perhitungan kelayakan finansial, prospek usaha furniture kayu diproyeksikan dalam waktu 5 tahun ke depan.

(32)

Tabel 5.1. Asumsi Dasar Proyek Kerajinan Furniture Kayu

No. Perincian Jumlah Satuan

1 Umur Proyek 5 Tahun

2 Bulan Kerja efektif per tahun 12 Bulan

3 Hari kerja per bulan 26 Hari

4 Bahan Baku Kayu Persiklus Produksi

Kayu Jati 2 M3 per bulan

Kayu Mahoni 1 M3 per bulan

5 Siklus bahan baku per bulan 1 sekali bulan

6 Produksi Optimum per siklus (per bulan):

- Kursi Tamu 13 Set

- Lemari Pakaian 10 Unit

- Kursi Makan 12 Set

- Kursi Dipan 10 Unit

- Meja Rias 10 Unit

7 Harga Satuan Jual

- Kursi Tamu 3,500,000 Rp./set

- Lemari Pakaian 2,300,000 Rp/unit.

- Kursi Makan 2,200,000 Rp./set

- Dipan 1,800,000 Rp./unit

- Meja Rias 1,000,000 Rp/unit.

8 Kapasitas Produksi

a. Tahun ke - 1 80%

b. Tahun ke - 2 90%

c. Tahun ke - 3 sampai 5 100%

9 Bunga Kredit 15% %

10 Discount Factor ( suku bunga) 15% %

Sumber: Lampiran 1

5.3. Komponen dan Struktur Biaya

Komponen biaya dalam analisis kelayakan usaha furniture kayu dibedakan menjadi dua yaitu biaya investasi dan biaya operasional. Biaya investasi adalah komponen biaya yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dana pada awal pendirian usaha yang meliputi lahan atau areal usaha, peralatan dan sarana pengangkutan. Biaya operasional adalah seluruh biaya yang harus dikeluarkan dalam proses produksi.

5.3.1. Biaya Investasi

Biaya investasi diperlukan untuk memulai kegiatan usaha furniture kayu. Komponen terbesar dari biaya investasi usaha ini adalah penyediaan tanah dan bangunan untuk keseluruhan proses produksi serta sarana transportasi produk (Tabel 5.2). Peralatan mekanik yang digunakan

(33)

adalah bor kayu, mesin amplas dan kompresor namun peralatan ini sebenarnya masih dapat digantikan dengan alat manual.

Tabel 5.2. Komposisi Biaya Investasi

No. Uraian

1 Tanah dan Bangunan 85,000,000

2 Mesin dan Alat Produksi 12,950,000

3 Inventaris Kantor 1,750,000

4 Alat Tranportasi (pick up) 70,000,000

5 Perijinan (4 macam) 2,000,000

Jumlah Biay a Inv estasi 171,700,000

6 Sumber Dana Investasi dari: % Rp

a. Kredit 73% 125,000,000

b. Dana Sendiri 27% 46,700,000

Total Biay a (Rp.)

Sumber: Lampiran 2

Tanah dan bangunan yang diperlukan dengan luas yang dinilai memadai terdiri dari tanah seluas 320 m2, bangunan produksi membutuhkan luas sekitar 100 m2,bangunan toko/ruang pamer/showroom satu unit seluas 50 m2. Selebihnya adalah tempat penyimpan bahan baku dan penjemurannya. Selain tanah dan bangunan, biaya perizinan pendirian usaha juga dimasukkan ke dalam komponen biaya investasi. Meskipun perizinan sangat diperlukan untuk bisa mengoperasikan usaha, namun sebagian besar pengusaha tidak memiliki perizinan secara lengkap. Dokumen perizinan yang biasa diperlukan adalah Izin Usaha Industri, Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Tanda Daftar Perusahaan (TDP) dan SIKA.

5.3.2. Biaya Operasional

Biaya operasional usaha furniture kayu terdiri dari dua komponen biaya, yaitu biaya variabel dan biaya tetap. Biaya variabel terdiri dari biaya pekerja produksi, biaya bahan baku, biaya bahan pelengkap dan biaya pengecatan serta finishing. Sedangkan biaya tetap terdiri dari gaji karyawan adminsitrasi dan penjualan, serta biaya pemasaran, transportasi dan biaya overhead.

Kebutuhan biaya operasional perbulan mencapai Rp 81.005.500,- atau Rp 972.066.000,- per tahun. Persentase terbesar dari biaya operasional per tahun adalah biaya bahan-bahan produksi yang mencapai Rp 595.866.000 (61,30%) dan tenaga kerja sebesar Rp 214.200.000 (22,04%). Tingginya biaya bahan-bahan produksi dan tenaga kerja disebabkan oleh karakteristik furniture kayu yang berbahan baku mahal dan memerlukan tingkat keterampilan pekerja yang tinggi. Komposisi biaya operasional ditampilkan pada Tabel 5.3 dan selengkapnya pada Lampiran 3.

(34)

Tabel 5.3. Komposisi Biaya Operasional (Rp)

No. Jenis Biay a 1 Bulan 1 Tahun

Rp Rp

1 Biaya Tenaga Kerja Produksi 17,850,000 214,200,000

2 Biaya Bahan Baku Produksi 49,655,500 595,866,000

3 Biaya Bahan Baku Lainnya 2,000,000 24,000,000

4 Biaya Pemasaran 2,500,000 30,000,000

5 Biaya Overhead 8,900,000 106,800,000

6 Biaya Administrasi & Umum 100,000 1,200,000

Jumlah Biaya Operasional 81,005,500 972,066,000

Sumber: Lampiran 3

5.4. Kebutuhan Dana Investasi dan Modal Kerja

Kebutuhan investasi dalam usaha furniture kayu lebih banyak diperlukan pada kebutuhan tanah dan bangunan, sementara untuk investasi peralatan relatif kecil. Peralatan yang cukup besar adalah alat transportasi produk untuk keperluan pengiriman barang kepada konsumen dan pengangkutan bahan baku kayu.

Seluruh biaya pengangkutan produk kepada pembeli atau pemesan, baik yang berada di sekitar Kota Tangerang, Banten dan sekitarnya maupun di wilayah Jakarta ditanggung oleh pengusaha dengan memasukkan biaya pengiriman tersebut dalam harga jual produk. Perhitungan kebutuhan modal kerja dilakukan melalui asumsi:

a. Siklus produksi efektif rata-rata 1 bulan untuk menghasilkan sejumlah produk jadi.

b. Proses perputaran barang menjadi uang kas rata-rata memerlukan waktu selama 15-30 hari. c. Total rata-rata perputaran bahan baku, produk dan penjualan menjadi uang kas diperlukan

waktu 2 bulan.

d. Sehingga diperlukan modal kerja 2 kali lipat dari ongkos produksi dengan mengasumsikan besarnya biaya operasional per bulan mencapai Rp 81.005.500,- x 2 bln = Rp162.011.000,- , dengan rincian satu kali untuk persedian bahan produksi dan satu kali untuk biaya operasional.

Berdasarkan keempat asumsi tersebut, kebutuhan modal kerja adalah sebesar Rp 162.011.000,-. Dengan jumlah Rp.100.000.000,- bersumber dari kredit perbankan dan sisanya dipenuhi dari modal sendiri Rp62.011.000,-. Rincian kebutuhan dana untuk investasi dan modal kerja dapat tampilkan pada tabel 5.4 dan Lampiran 4.

(35)

Tabel 5.4. Kebutuhan Dana untuk Investasi dan Modal Kerja

No Rincian Biay a Proy ek Total Biay a

1 Dana investasi yang bersumber dari

a. Kredit 125,000,000

b. Dana sendiri 46,700,000

Jumlah dana investasi 171,700,000

2 Dana modal kerja yang bersumber dari

a. Kredit 100,000,000

b. Dana sendiri 62,011,000

Jumlah dana modal kerja 162,011,000

3 Total dana proyek yang bersumber dari

a. Kredit 225,000,000

b. Dana sendiri 108,711,000

Jumlah dana proy ek 333,711,000

Sumber: Lampiran 4

Seperti terlihat pada Tabel 5.4, kredit untuk memenuhi kebutuhan modal investasi sebagian besar dapat dipenuhi sendiri, sedangkan kebutuhan modal kerja diperoleh dari bank. Kredit modal kerja bank akan dikembalikan selama jangka waktu 2 tahun dengan tingkat suku bunga 15% per tahun.

Untuk baik kredit investasi maupun modal kerja yang berasal dari bank, tidak terdapati grace period. Jumlah angsuran pokok dan bunga yang harus dibayarkan per tahun ditampilkan pada Tabel 5.5, sedangkan perhitungan angsuran kredit perbulan dapat dilihat dalam Lampiran 6.

Tabel 5.5. Perhitungan Angsuran Kredit Modal Kerja dan Investasi

Sumber: Lampiran 5

5.5. Produksi dan Pendapatan

Volume Produksi dan penjualan optimum per bulan berdasarkan asumsi yang digunakan adalah 13 set kursi tamu, 10 lemari pakaian, 12 set kursi makan, 10 set kursi dipan, dan 10 meja rias. Namun demikian dalam proses produksi selama 5 tahun usia proyek produksi furniture diasumsikan produksi dan penjualan mebel berjumlah 80% pada tahun 1, 90% pada tahun

ke-Tahun ke- Angsuran Pokok Angsuran Bunga Total Angsuran

Saldo Awal Saldo Akhir

0 225.000.000 225.000.000

1 162.500.000 22.578.125 185.078.125 225.000.000 62,500,000

(36)

2 dan 100% pada tahun ke-3 hingga ke-5. Perincian volume produksi dan nilai penjualan optimum kedua model tersebut ditampilkan dalam Tabel 5.6 dibawah ini.

Tabel 5.6. Volume Produksi dan Nilai Penjualan Furniture Kayu (Persentase produksi dan penjualan = 100%)

Model Volume

Produksi

Harga Jual per unit (Rp.) Total Penjualan per bulan (Rp.) Total Penjualan per tahun (Rp.) Kursi Tamu 13 3,500,000 45,500,000 546,000,000 Lemari Pakaian 10 2,300,000 23,000,000 276,000,000 Kursi Makan 12 2,200,000 26,400,000 316,800,000 Kursi Dipan 10 1,800,000 18,000,000 216,000,000 Meja Rias 10 1,000,000 10,000,000 120,000,000 Total 55 122,900,000 1,474,800,000 Sumber: Lampiran 6

Seperti terlihat pada Tabel 5.6, harga jual produk ditetapkan berdasarkan kisaran yang ada pada beberapa pengusaha. Melalui asumsi yang dibangun dalam pola pembiayaan ini, maka total penjualan optimum per bulan adalah Rp 122.900.000,- atau Rp 1.474.800.000,- pertahun.

Pendapatan usaha diproyeksikan dengan asumsi bahwa kapasitas produksi dan penjualan pada tahun ke-1 adalah 80% dari produksi optimum, meningkat menjadi 90% pada tahun ke-2 dan 100% pada tahun ke-3 hingga tahun ke-5. Seperti terlihat pada tabel 5.7 (lampiran 6)

Tabel 5.7. Produksi dan Penjualan Mebel Kayu

Uraian Satuan Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5

Kapasitas Produksi Persen 80% 90% 100% 100% 100%

Produksi Mebel

a. Kursi Tamu set 125 140 156 156 156 b. Lemari Pakaian set 96 108 120 120 120 c. Kursi makan set 115 130 144 144 144 d. Kursi Dipan set 96 108 120 120 120 e. Meja Rias set 96 108 120 120 120 Harga Jual a. Kursi Tamu Rp 3,500,000 3,500,000 3,500,000 3,500,000 3,500,000 b. Lemari Pakaian Rp 2,300,000 2,300,000 2,300,000 2,300,000 2,300,000 c. Kursi makan Rp 2,200,000 2,200,000 2,200,000 2,200,000 2,200,000 d. Kursi Dipan Rp 1,800,000 1,800,000 1,800,000 1,800,000 1,800,000 e. Meja Rias Rp 1,000,000 1,000,000 1,000,000 1,000,000 1,000,000 Total Penjualan a. Kursi Tamu Rp 436,800,000 491,400,000 546,000,000 546,000,000 546,000,000 b. Lemari Pakaian Rp 220,800,000 248,400,000 276,000,000 276,000,000 276,000,000 c. Kursi makan Rp 253,440,000 285,120,000 316,800,000 316,800,000 316,800,000 d. Kursi Dipan Rp 172,800,000 194,400,000 216,000,000 216,000,000 216,000,000 e. Meja Rias Rp 96,000,000 108,000,000 120,000,000 120,000,000 120,000,000 Jumlah total Rp 1,179,840,000 1,327,320,000 1,474,800,000 1,474,800,000 1,474,800,000

(37)

5.6. Proyeksi Laba Rugi Dan Break Event Point

Hasil proyeksi laba–rugi usaha selama 5 tahun proyek menunjukkan bahwa usaha ini mulai tahun pertama sudah mampu membubuhkan laba sebesar Rp 246.938.353,-. Data perhitungan laba rugi usaha furniture kayu selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7.

Selama kurun waktu 5 tahun proyek, usaha furniture kayu secara rata-rata menghasilkan keuntungan per tahun sebesar Rp 318.723.097,- dan profit margin rata-rata 22,90%. Dengan membandingkan pengeluaran untuk biaya tetap terhadap biaya variabel dan total penerimaan, maka rata-rata BEP penjualan sebesar Rp. 351.706.454,- dan BEP produksi unit rata-rata adalah 37 set untuk kursi tamu, 29 unit untuk lemari pakaian, 34 set kursi makan, 29 unit dipan, dan 29 unit meja rias (Tabel 5.8).

Tabel 5. 8. Rata-rata Laba-Rugi dan BEP Usaha

No. Uraian Nilai

1 Laba Pertahun 318.723.097

2 Profit Margin 22,90%

3 BEP Nilai penjualan (Rp) 351.706.454

4 BEP Produksi : - Kursi Tamu 37 - Lemari Pakaian 29 - Kursi Makan 34 - Kursi Dipan 29 - Meja Rias 29 Sumber: Lampiran 8

5.7. Proyeksi Arus Kas dan Kelayakan Proyek

Untuk aliran kas (cash flow) dalam perhitungan ini dibagi dalam dua aliran, yaitu arus masuk (cash inflow) dan arus keluar (cash outflow). Arus masuk diperoleh dari penjualan produk furniture kayu selama satu tahun. Dengan asumsi kapasitas usaha berpengaruh pada besarnya volume produksi yang akan menentukan nilai total penjualan, sehingga arus masuk menjadi optimal. Arus keluar meliputi biaya investasi, biaya variabel, biaya tetap, termasuk angsuran pokok, angsuran bunga.dan pajak penghasilan.

Untuk penghitungan kelayakan rencana investasi digunakan metode penilaian NPV, IRR, Net B/C Ratio dan Pay Back Period (PBP). Seperti ditunjukkan pada Tabel 5.9, usaha furniture kayu mampu memberikan keuntungan bagi pengusaha selama 5 tahun proyek dengan menghasilkan

(38)

Net Present Value (NPV) sebesar Rp 844.261.802,- dengan Net B/C Ratio 3,53 (lebih besar dari 1). Nilai IRR dalam perhitungan ini mencapai 94,92% dengan PBP usaha 1 tahun 3 bulan. Dari hasil perhitungan tersebut dapat disimpulkan bahwa usaha furniture kayu ini layak dan menguntungkan, selengkapnya ditampilkan pada Lampiran 9.

Tabel 5. 9. Kelayakan Usaha Furniture Kayu

No. Kriteria Nilai

1. NPV (Rp.) 844.261.802

2. IRR (%) 94,92%

3. Net B/C Ratio 3.53

4. Pay Back Periode (Usaha) 1 tahun 3 bulan

Sumber: Lampiran 9

5.8. Analisis Sensitivitas Kelayakan Usaha

Dalam suatu analisis kelayakan suatu proyek, biaya produksi dan pendapatan biasanya akan dijadikan patokan dalam mengukur kelayakan usaha karena kedua hal tersebut merupakan komponen inti dalam suatu kegiatan usaha, terlebih lagi bahwa komponen biaya produksi dan pendapatan juga didasarkan pada asumsi dan proyeksi sehingga memiliki tingkat ketidakpastian yang cukup tinggi. Untuk mengetahui dan mengurangi resiko ini diperlukan analisis sensitivitas untuk menguji tingkat sensitivitas proyek terhadap perubahan harga, baik pembiayaan maupun pendapatannya. Analisis ini mencoba mengestimasi pengaruh penurunan pendapatan dan kenaikan biaya operasional dari asumsi yang dikemukan. Besar pengaruh terhadap kelayakan proyek diukur dengan perubahan NPV, Internal Rate of Return (IRR), Benefit Cost Ratio (B/C) dan Pay Back Period. Dalam pola pembiayaan ini digunakan tiga skenario sensitivitas, yaitu:

a. Skenario 1

Pendapatan mengalami penurunan sedangkan biaya operasional tetap/konstan. Dalam skenario ini penurunan pendapatan disebabkan oleh penurunan total pendapatan dari hasil penjualan produk furniture kayu, yang dimungkinkan karena adanya penawaran harga dari pemesan/konsumen atau volume produk yang terjual mengalami penurunan. Hasil analisis sensitivitas penurunan pendapatan ditampilkan pada Tabel 5.10.

(39)

Tabel 5. 10. Analisis Sensitivitas Pendapatan Turun

No. Kriteria Turun 18%

1 NPV (Rp.) 20.625.846

2 IRR (%) 17,40

3 Net B/C Ratio 1,06

4 Pay Back Periode (usaha) 4 tahun 8 bulan

Sumber: Lampiran 11

No. Kriteria Turun 19%

1 NPV (Rp.) -20.792.639

2 IRR (%) 12

3 Net B/C Ratio 0,92

4 Pay Back Periode (usaha) >5 Sumber: Lampiran 13

Dengan penurunan pendapatan usaha sebesar 18 %, usaha furniture kayu ini masih layak dilaksanakan. Hal ini berdasar hasil perhitungan sejumlah kriteria kelayakan investasi (pada discount rate 15%) sebagai berikut : NPV sebesar Rp 20.625.846,- (> 0), nilai IRR 17,40 (> discount rate), PBP (usaha) adalah 4 tahun 8 bulan (< jangka waktu proyek).

b. Skenario 2

Dengan perkembangan ekonomi saat ini dan kenaikan harga BBM yang semakin menekan masyarakat memunculkan asumsi peningkatan biaya operasional, sedangkan pendapatan dianggap konstan. Kenaikan biaya operasional dimungkinkan terjadi karena harga alat-alat produksi seperti bahan baku dan bahan-bahan produksi, tenaga kerja, dan atau biaya overhead mengalami kenaikan. Hasil analisis sensitivitas kenaikan biaya operasional ditampilkan pada Tabel 5.11.

Tabel 5.11. Analisis Sensitivitas Biaya Operasional Naik

No. Kriteria Naik 27%

1 NPV (Rp.) 22.676.684

2 IRR (%) 17,61

3 Net B/C Ratio 1,07

4 Pay Back Periode (usaha) 4 tahun 8 bulan

(40)

No. Kriteria Naik 28%

1 NPV (Rp.) -7.752.395

2 IRR (%) 14,09

3 Net B/C Ratio 0,98

4 Pay Back Periode (usaha) >5

Sumber: Lampiran 17

Dalam Skenario 2, dengan kenaikan biaya operasional sebesar 27%, usaha furniture kayu ini masih layak dilaksanakan. Hal ini berdasarkan hasil perhitungan sejumlah kriteria kelayakan investasi (pada discount rate 15%) sebagai berikut : NPV sebesar Rp 22.676.684,- (> 0), nilai IRR 17,61% (> discount rate), dan PBP (usaha) 4 tahun 8 bulan (< jangka waktu proyek).

c. Skenario 3

Penurunan jumlah produksi terjadi manakala kondisi pasar dan permintaan produk menurun. Dampak yang terjadi adalah penurunan total penerimaan, namun berbeda dengan skenario sebelumnya, maka dalam skenario ini seluruh komponen biaya operasional akan berubah sesuai penurunan volume produksi sedangkan harga jual produk tetap.

Tabel 5.12. Analisis Sensitivitas Pendapatan Turun dan Biaya Operasional Naik

No. Kriteria

Pendapatan turun 10% dan biaya naik 10%

1 NPV (Rp.) 82.395.486

2 IRR (%) 24,29

3 Net B/C Ratio 1,25

4 Pay Back Periode (usaha) 3 tahun 11 bulan

Sumber: Lampiran 19

Pendapatan turun 12% dan biaya naik 12%

1 NPV (Rp.) -69.977.777

2 IRR (%) 6.44

3 Net B/C Ratio 0,79

4 Pay Back Periode (usaha) >5 tahun

(41)

Pada skenario III, pada saat terjadi penurunan pendapatan sebesar 10 sekaligus kenaikan biaya operasional sebesar 10, usaha furniture kayu ini masih layak dilaksanakan. Hal inii berdasarkan hasil perhitungan sejumlah kriteria kelayakan investasi (pada discount rate 15%) sebagai berikut : net B/C ratio sebesar 1,25(> 1), dengan nilai NPV sebesar Rp 82.395.486,- (> 0), nilai IRR 24,29% (> discount rate), PBP (usaha) 3 tahun 11 bulan (< jangka waktu proyek).

Hasil analisis sensitivitas tersebut di atas memperlihatkan bahwa usaha furniture kayu lebih sensitif terhadap penurunan pendapatan dibandingkan kenaikan biaya operasional. Berdasarkan ketiga skenario yang dibuat tersebut maka antisipasi keadaan untuk masing-masing skenario dengan memperhatikan kriteria NPV, adalah :

1. Pada Skenario 1 proyek ini sensitif pada penurunan pendapatan hingga 18%, (dengan asumsi biaya operasional dan investasi tetap), artinya jika penurunan pendapatan sama dengan atau lebih dari 18% tiap tahunnya, proyek ini menjadi tidak layak/merugi.

2. Pada Skenario 2 proyek ini sensitif pada peningkatan biaya operasional hingga 27%, (dengan asumsi pendapatan dan biaya investasi tetap), artinya jika peningatan biaya operasional sama dengan atau lebih dari 27% tiap tahunnya, proyek ini menjadi tidak layak/merugi.

3. Analisis sensitivitas gabungan menunjukkan bahwa proyek ini sensitif pada kondisi terjadi penurunan pendapatan sebesar 10% sekaligus kenaikan biaya operasional sebesar 10%.

4. Hasil analisis aspek keuangan di atas menunjukkan bahwa usaha furniture kayu memberikan pendapatan yang tinggi sehingga proyek ini layak dilaksanakan dan dibiayai oleh bank.

(42)
(43)

BAB VI

ASPEK EKONOMI, SOSIAL DAN DAMPAK LINGKUNGAN

6.1. Aspek Ekonomi dan Sosial

Kegiatan usaha furniture kayu yang sudah dilaksanakan selama kurun waktu lebih dari 20 tahun telah memberi dampak positif bagi perkembangan ekonomi dan sosial secara nyata, baik bagi pengusaha maupun masyarakat sekitar Kota Tanggerang. Kemampuan masyarakat sekitar untuk belajar sehingga menjadi terampil dalam memproduksi furniture telah menempatkan masyarakat menjadi tenaga kerja yang siap pakai. Bagi pengusaha, dengan semakin banyaknya tenaga terampil memberikan kemudahan dalam pengaturan kegiatan dan proses produksi. Sebagai gambaran, jika pesanan banyak dengan mudah memperoleh tambahan tenaga kerja yang dibutuhkan

Ketersedian infrastruktur yang relatif baik yaitu transportasi dan komunikasi, mendorong perkembangan industri kecil furniture kayu. Perkembangan industri ini diharapkan dapat menjadi salah satu jenis usaha unggulan yang mampu berkontribusi bagi kemajuan ekonomi lokal.

6.2. Dampak Lingkungan

Kegiatan produksi furniture kayu secara umum tidak menghasilkan limbah pengganggu kehidupan masyakarat dan lingkungan sekitar. Proses produksi furniture kayu tidak menyisakan limbah/bahan yang membahayakan lingkungan. Hampir seluruh bahan baku kayu dapat dimanfaatkan untuk produk, bahkan sisanya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar sebagai bahan bakar kayu. Risiko yang mungkin dapat terjadi adalah kemungkinan bahaya kebakaran karena terdapat limbah kayu dan bahan pewarnaan dalam bentuk cair yang mudah terbakar. Oleh karena itu, disarankan untuk menyediakan alat pemadam kebakaran sebagai upaya meminimalkan dampat resiko kebakaran.

(44)
(45)

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan

1. Usaha furniture kayu di Kota Tangerang merupakan usaha dengan skala kecil.

2. Sumber pendanaan untuk usaha furniture kayu dapat berasal dari dana sendiri, kredit perbankan dan bantuan kredit dari BUMN atau dinas/instansi terkait.

3. Teknologi proses produksi dalam usaha furniture kayu umumnya termasuk kategori semi mekanik. Hal ini karena selain masih banyak yang mengandalkan tenaga para pekerja dan peralatan sederhana, juga dilengkapi dengan penggunaan mesin bor dan kompresor bertenaga listrik dalam proses pengerjaan kayu, pengecatan dan finishing.

4. Penjualan produk umumnya melalui pesanan dari konsumen dan penjualan langsung kepada konsumen yang datang ke perusahaan atau showroom.

5. Harga yang ditetapkan untuk setiap produk yang dihasilkan adalah harga di lokasi usaha ditambah dengan biaya transportasi. Harga jual dari setiap produk ditentukan dari biaya produk terjual yang tergantung dari jenis dan harga bahan baku serta kualitas produk. Persaingan pasar, lokasi showroom dan tempat tinggal konsumen juga mempengaruhi harga jual.

6. Berdasar analisis kelayakan keuangan, usaha furniture kayu ini layak untuk dilaksanakan. Pada tingkat discount rate 15%, usaha furniture kayu mampu memberi keuntungan bagi pengusaha selama 5 tahun proyek dengan menghasilkan Net Present Value (NPV) sebesar Rp 844.261.802,- dengan Net B/C Ratio 3,53 (lebih besar dari 1). Nilai IRR dalam perhitungan ini mencapai 94,92 % dengan PBP usaha 1 tahun 3 bulan.

7. Analisis sensitivitas terhadap perubahan pendapatan, dengan asumsi biaya operasional dan investasi konstan, menunjukkan bahwa proyek ini sensitif terhadap penurunan pendapatan sebesar 18%. Artinya, jika penurunan pendapatan sama dengan atau lebih besar dari 18% tiap tahunnya, proyek ini menjadi tidak layak diusahakan (merugi).

8. Analisis sensitivitas terhadap kenaikan biaya operasional, dengan asumsi pendapatan proyek dan biaya investasi tetap, menunjukkan bahwa proyek ini sensitif pada kenaikan biaya operasional sebesar 27%. Artinya, jika kenaikan biaya operasional sama dengan atau lebih besar dari 27% tiap tahunnya, proyek ini menjadi tidak layak diusahakan (merugi).

(46)

9. Analisis sensitivitas terhadap penurunan pendapatan usaha dan kenaikan biaya operasional sekaligus, proyek ini sensitif pada penurunan pendapatan sebesar 10% dan kenaikan biaya operasional sebesar 10%. Artinya, jika penurunan pendapatan sama dengan atau lebih besar dari 10% dan sekaligus terjadi kenaikan biaya operasional sama dengan atau lebih besar dari 10% tiap tahunnya, maka proyek ini menjadi tidak layak diusahakan (merugi).

7.2. Saran

1. Perusahaan yang mengalami peningkatan permintaan yang tinggi perlu mempertimbangkan untuk pengadaan mesin baru menggantikan mesin yang sudah tua. Ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas produksi agar mampu memproduksi secara lebih cepat dan presisi.

2. Risiko kenaikan harga bahan bahan baku disarankan untuk diantisipasi melalui penyediaan cadangan bahan baku oleh koperasi/asosiasi pengusaha sejenis, guna menurunkan risiko kerugian jika harga bahan baku naik. Pembelian bahan baku secara kolektif juga dapat menurunkan biaya bahan baku.

3. Peningkatan akses antara pengusaha dan konsumen serta kurangnya popularitas produsen dan upaya untuk menembus pasar disarankan untuk dilakukan secara bersama (pemasaran bersama) dalam wadah koperasi/asosiasi.

4. Pengusaha disarankan untuk mempertimbangkan pemanfaatan akses kredit dari lembaga keuangan formal (perbankan) guna meningkatkan kemampuan keuangan dan volume bisnis. Hal ini mengingat perbankan merupakan salah satu sumber kredit yang relatif besar dan berkesinambungan.

5. Pembiayaan perbankan diharapkan dapat mengakomodir kebutuhan kredit investasi, terutama untuk penyediaan/ pengadaan mesin dan ruangan khusus pengeringan, sebagai solusi terhadap kendala pada proses pengeringan, pengecatan dan finishing terutama di musim penghujan.

(47)

DAFTAR PUSTAKA

Clive Gray, Pengantar Evaluasi Proyek, Gramedia Pustaka Utama, 2007

Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Pariwisata Kota Tangerang

Husein Umar, Studi Kelayakan Bisnis: Manajemen, Metode, dan Kasus, Gramedia Pustaka Utama, 1997

(48)
(49)

L A M P I R A N

Lampiran 1. Asumsi dan Parameter untuk Analisis Keuangan Industri Furniture Kayu

No. Perincian Jumlah Satuan

1 Umur Proyek 5 Tahun

2 Bulan Kerja efektif per tahun 12 Bulan

3 Hari kerja per bulan 26 Hari

4 Bahan Baku Kayu Persiklus Produksi

Kayu Jati 2 M3 per bulan

Kayu Mahoni 1 M3 per bulan

5 Siklus bahan baku per bulan 1 sekali bulan

6 Produksi Optimum per siklus (per bulan):

- Kursi Tamu 13 Set

- Lemari Pakaian 10 Unit

- Kursi Makan 12 Set

- Kursi Dipan 10 Unit

- Meja Rias 10 Unit

7 Harga Satuan Jual

- Kursi Tamu 3,500,000 Rp./set

- Lemari Pakaian 2,300,000 Rp/unit.

- Kursi Makan 2,200,000 Rp./set

- Dipan 1,800,000 Rp./unit

- Meja Rias 1,000,000 Rp/unit.

8 Kapasitas Produksi

a. Tahun ke - 1 80%

b. Tahun ke - 2 90%

c. Tahun ke - 3 sampai 5 100%

9 Bunga Kredit 15% %

(50)

Lampiran 2. Biaya Investasi Industri Furniture

No. Jenis Biay a Satuan Jumlah Harga Total Umur Peny usutan Akumulasi Nilai Sisa

(Rp/ satuan) (Rp.) ekonmis Per Tahun Peny usutan

1 Sewa Lahan (10x32) m2 tahun 5 10,000,000 50,000,000 5 10,000,000 50,000,000

2 Sewa Bangunan Tempat Produksi (10x10) m2 Unit 1 25,000,000 25,000,000 5 5,000,000 25,000,000

3 Sewa Show room (10x20) m2 Unit 1 10,000,000 10,000,000 5 2,000,000 10,000,000

-Sub Total Lahan dan Bangunan 85,000,000 17,000,000 85,000,000

-4 Mesin dan Alat-alat Produksi

Mesin Serut Buah 3 350,000 1,050,000 5 210,000 1,050,000

-Mesin Bor Buah 4 350,000 1,400,000 5 280,000 1,400,000

-Gergaji Buah 2 2,250,000 4,500,000 5 900,000 4,500,000

-Mesin Compresor Buah 2 2,500,000 5,000,000 5 1,000,000 5,000,000

-5 Peralatan Kecil *) 1,000,000 2 500,000 500,000

Sub Total Mesin dan Alat-alat Produksi 12,950,000 2,890,000 11,950,000 500,000

6 Inventaris Kantor

Alat-alat Tulis Buah 1 150,000 150,000 5 30,000 150,000

-Telpon Buah 1 750,000 750,000 5 150,000 750,000

-Meja Kerja Buah 1 500,000 500,000 5 100,000 500,000

-Mesin Ketik Buah 1 250,000 250,000 5 50,000 250,000

-Kalkulator Buah 1 100,000 100,000 5 20,000 100,000

-Sub Total Inventaris Kantor 1,750,000 350,000 1,750,000

-7 Kendaraan

Pick up Unit 1 70,000,000 70,000,000 7 10,000,000 50,000,000 20,000,000

Roda dua

Sub Total Kendaraan 70,000,000 10,000,000 50,000,000 20,000,000

8 Perizinan

SIUP 500,000 5

TDP 500,000 5

SIKA 500,000 5

Perindustrian 500,000 5

Sub Total Perizinan 2,000,000

Jumlah biay a inv estasi 171,700,000 30,240,000 148,700,000 20,500,000

*) Tatah, Pisau Raut, Pahat, Bor Manual, serut manual, palu, tang, tatah ukir Obeng, Drip. Meteran gulung, mistar siku

Rekap Jumlah Biaya Investasi

No. Uraian

1 Tanah dan Bangunan 85,000,000

2 Mesin dan Alat Produksi 12,950,000

3 Inventaris Kantor 1,750,000

4 Alat Tranportasi (pick up) 70,000,000

5 Perijinan (4 macam) 2,000,000

Jumlah Biay a Inv estasi 171,700,000

6 Sumber Dana Investasi dari: % Rp

a. Kredit 73% 125,000,000

b. Dana Sendiri 27% 46,700,000

(51)

Gambar

Tabel 2.1.  Jumlah Industri UMKM Furniture di Kota Tangerang Tahun 2007
Gambar 3.1: Aliran Porses Produksi Pembuatan Furniture Kayu
Gambar 4.2.  Jalur Pemasaran Produk
Tabel 5.1.  Asumsi Dasar Proyek Kerajinan Furniture Kayu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari penjelasan di atas tampak bahwa literasi matematika terkait dengan kemampuan siswa dalam menggunakan matematika untuk menghadapi masalah- masalah yang ada pada

digunakan bagi siswa kelas V di SD Negeri 1 Kaliprau Kecamatan Ulujami Kabupaten Pemalang. Produk model permainan tradisional bontengan adu sudah dapat digunakan

Kondisi tersebut menunjukkan pula bahwa penggunaan faktor koreksi DHIA cenderung menyebabkan “ over estimate ” pada produksi susu terkoreksi dibanding pada penggunaan

PADA DINAS KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA KABUPATEN TEMANGGUNG NO JENIS INFORMASI DESKRIPSI INFORMASI (RINGKASAN ISI INFORMASI) PEJABAT YANG MENGUASAI INFORMASI PENANGGU NG JAWAB

23 Tahun 2004 memiliki tanggungjawab utama untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja secara nasional, sebagai bagian tak terpisahkan dari usaha untuk me- ningkatkan daya

Berdasarkan gambar 2, hasil uji lanjut Anava interaksi antara metode dan motivasi terhadap prestasi belajar mahasiswa menunjukkan jika ditinjau dari metode dengan motivasi

Pasar yang berkemampuan bekerjasama dalam pengadaan atau produksi dengan pihak atau pelaku bisnis lainnya;Pasar yang berkemampuan membiayai pemeliharaan dan

Sinar Dunia, yang merupakan salah satu brand buku tulis di Indonesia, menjadi salah satu merk buku tulis yang sangat dikenal pada.. sektor industri buku tulis di