• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) Dalam Mengatasi Krisis Perbankan (Studi Perbandingan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI))

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) Dalam Mengatasi Krisis Perbankan (Studi Perbandingan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI))"

Copied!
232
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBERIAN FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK

(FPJP) DALAM MENGATASI KRISIS PERBANKAN (STUDI

PERBANDINGAN BANTUAN LIKUIDITAS BANK

INDONESIA(BLBI))

T E S I S

Oleh

NIA AVENASARI. S

077005085/HK

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PEMBERIAN FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK

(FPJP) DALAM MENGATASI KRISIS PERBANKAN (STUDI

PERBANDINGAN BANTUAN LIKUIDITAS BANK

INDONESIA(BLBI))

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

NIA AVENASARI. S

077005085/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Telah diuji pada

Tanggal 31 Agustus 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua

:

Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum

Anggota

:

1. Dr. Zulkarnain Sitompul, SH, LL.M

2. Dr. T. Keizerina Devi, SH, CN, M.Hum

3. Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS

(4)

Judul Tesis : PEMBERIAN FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK (FPJP) DALAM MENGATASI KRISIS PERBANKAN (STUDI PERBANDINGAN BANTUAN LIKUIDITAS BANK INDONESIA-BLBI)

Nama Mahasiswa : Nia Avenasari. S Nomor Pokok : 077005085 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum) K e t u a

(Dr. Zulkarnain Sitompul, SH, LL.M) (Dr. T. Keizerina Devi, SH, CN, M.Hum)

A n g g o t a A n g g o t a

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)

(5)

ABSTRAK

Krisis global 2008 mempengaruhi stabilitas keuangan termasuk Indonesia, Pemerintah menerbitkan berbagai kebijakan untuk mencegah krisis global, salah satunya adalah Perpu No. 2 Tahun 2008 Tentang amandemen UU BI No.23 Tahun 1999 Pasal 11 tentang pelunakan persyaratan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). FPJP yang merupakan bantuan likuiditas adalah mekanisme pendanaan dari Bank Indonesia untuk mengatasi kesulitan likuiditas yang dihadapi bank, kesulitan likuiditas yang juga pernah dialami ketika krisis 1998 dan mengucurkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang hingga saat ini tidak kunjung menemui titik terang terhadap pengembalian pinjaman dari bank penerimanya.

Penelitian ini dilatar belakangi oleh sejumlah pertanyaan, yakni bagaimana mekanisme bank sehingga dikategorikan berada dalam masalah likuiditas? Selanjutnya bagaimanakah persyaratan pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP)?. Terakhir, bagaimana hubungan Bank Indonesia dengan Pemerintah dalam Pemberian Bantuan Likuiditas untuk mengatasi Krisis Perbankan?

Penelitian menggunakan metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh melalui studi pustaka. Seluruh data yang sudah diperoleh akan ditelaah dan dianalisis secara kualitatif untuk ditarik suatu kesimpulan yang bersifat deduktif sebagai jawaban atas permasalahan yang diteliti.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : Pertama, suatu bank dikategorikan berada dalam masalah likuiditas apabila terjadi ketidaksesuaian (mismatch) pendanaan arus masuk kas dengan arus keluar, yang ditandai awal dengan ketidakikutsertaan dalam kliring dan berakhir dengan saldo negatif pada rekening giro di Bank Indonesia. Pada krisis perbankan 1998 bank bersaldo debet mendapat fasilitas bantuan likuiditas yang disebut BLBI sedangkan untuk mengantisipasi krisis global 2008 Bank Indonesia memberikan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek dengan menerbitkan PBI No. 10/26/PBI/2008 dan PBI No. 10/30/PBI/2008 dan Perpu No. 2 Tahun 2008 yang ditetapkan menjadi UU No. 6 Tahun 2009 oleh Pemerintah. Kedua, persyaratan pemberian BLBI dalam darurat sistemik sangat berbeda dengan FPJP yang telah diintegrasikan dalam kerangka Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Ketiga, Bank Indonesia memberikan bantuan likuiditas dalam perannya sebagai

lender of the last resort, peran tersebut penting diformulasikan Pemerintah bersama

Bank Indonesia dalam RUU JPSK sebagai tindakan pencegahan dan penanganan krisis. JPSK juga merekomendasikan terbentuknya Crisis Management Protocol (CMP) dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

(6)

(Bank Indonesia) dan Otoritas pengawas Bank dan LKBB dalam pembinaan sistem keuangan nasional agar terhindar dari penanganan krisis yang lambat, meminimalisir biaya penanganan krisis, meningkatkan kepercayaan masyarakat dan mengisi missing

link di undang-undang sektor keuangan yang sudah ada.

(7)

ABSTRACT

Global crisis 2008 influenced the financial stability, including Indonesia. The government issued some policies to prevent the global crisis and one of the policies is Act No.2 of 2008 concerning with the amendment of Act for Bank of Indonesia No.23 of 1999 Article 11 concerning with loosing of the requirements for Short Term Funding Facility (Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek-FPJP). FPJP as the assisted liquidity is the funding mechanism from the Bank of Indonesia to overcome the liquidity hindrances encountered by bank. The liquidity hindrances has also been ever issued at the time of crisis in 1998 and launching the Bank Indonesia Liquidity Assistance (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia-BLBI) and it is until now the return for the loan by the bank which accepted the fund is unclear.

This research is based on some questions such as : How is the mechanism of the bank categorized as the liquidity in problem ? How is the requirements for giving the Bank Indonesia Liquidity Assistance (BLBI) and Short Term Funding Facility (FPJP) ? The last question is of how is the relationship of the Bank of Indonesia with the government in the case of giving the liquidity assistance to overcome the banking crisis ?

This research uses normative law research method with analytical descriptive using secondary data obtained from the library research. All data obtained are comprehended and analyzed qualitatively to make one deductive conclusion as the answer to the question posed.

The result of the research shows that , firstly, the bank is categorized as the bank with the problem if there is the mismatch for cash inflow funding with cash outflow and it is signified by without participation in clearing and ended with negative balance in the clearing account in Bank of Indonesia. In banking crisis in 1998, the bank with debit balance got the facility such as liquidity assistance which is called as BLBI, whereas, to anticipate the global crisis in 2008, the Bank of Indonesia gave the short term funding facility by issuing PBI No.

10/26/PBI/2008 and PBI No. 10/30/PBI/1008 and Rule No 2 of 2008 which is later

established as Act No.6 of 2009 by the government. Second, the requirements to give BLBI in the systematical emergency condition is very different from FPJP which has been integrated in the frame of Financial Safety Network (Jaring

Pengaman Sistem Keuangan-JPSK). Third, Bank of Indonesia gives the liquidity

assistance with the role as the lender of the last resort. The role is very important which is formulated by the government with Bank of Indonesia in the rule design of JPSK as the prevention and crisis management action. JPSK also recommended the forming of Crisis Management Protocol (CMP) and Financial System Stability Committee (KSSK).

(8)

between fiscal authority (Minister of Financial), monetary authority (Bank of Indonesia) and Bank Supervisor Authority and LKBB in the maintenance from national financial system in order to avoid slow crisis management, minimize the crisis management cost, increase the trust from the society and to fill the missing link in the available financial sector rules.

Key Words : Liquidity hindrances, Bank Indonesia Liquidity Assistance, Short Term Funding Facility and Lender of the Last Resort.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar Magister Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan judul “PEMBERIAN

FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK (FPJP) DALAM MENGATASI

KRISIS PERBANKAN (STUDI PERBANDINGAN BANTUAN LIKUIDITAS

BANK INDONESIA-BLBI)”

Dalam penyelesaian tesis ini penulis banyak memperoleh bantuan baik dari para pengajar/ dosen dan terutama dari para dosen pembimbing. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, SpA (K) dan Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk dapat menjadi mahasisiwi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara; 2. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH sebagai Ketua Program Studi Ilmu Hukum

Sekolah Pascasarjana yang telah memberikan perhatian penuh, mendorong dan membekali penulis dengan ilmu bermanfaat dalam penyelesaian studi;

(10)

A, SH, CN, M.Hum selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan penuh perhatian telah memberikan bimbingan, arahan, petunjuk, ide, motivasi yang terbaik serta kritik dan saran yang konstruktif demi tercapainya hasil yang terbaik dalam penulisan tesis ini;

4. Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS dan Prof. Dr. Suhaidi SH, MH selaku penguji tesis penulis yang telah banyak memberikan kritik yang membangun dan memotivasi penulis untuk lebih banyak belajar dan membaca berbagai literatur; 5. Seluruh staf pengajar di Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu dan motivasi dalam setiap perkuliahan kepada penulis;

6. Seluruh staf pegawai di Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang telah membantu penulis dalam mengurus berbagai administrasi kampus;

7. Kedua Orang Tua, Ayahanda Drs. Sukaini Surawirja, MM dan Ibunda Nurbetti Amd, Kakanda Eko Ikhsan. S. Amd, Adinda Ade Fajar Wirawan S. Bsc.(Hons) dan Adinda Wahyu Wulan Dayani S., yang telah memberikan dorongan dan dukungan serta doa yang tiada hentinya hingga saat sekarang ini, penulis yakin karena doa merekalah penulis bisa menyelesaikan perkuliahan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;

(11)

9. Sahabat-sahabat di Kampus Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Angkatan 2003, Putri Marlina Sari SH, Diegi Dona Sari SH, Ayu Andanaly SH, Fitri Hadijah SH, Atria Fachrina SH, Zuliana Maro Batubara SH, M. Ayodia Rizaldi SH, Wulan Anggraini Zega SH, Wan Yusnizar SH, M. Anwar Tanjung SH, Ahmad Azhari Lubis SH, Ari Masias Sembiring SH, Taufik Mustakim SH, Ferdiansyah SH, Melda Maria Simatupang SH, Sri Cipta SH,. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada mereka karena telah memberikan semangat dan selalu setia menemani penulis selama menempuh pendidikan di Universitas Sumatera Utara;

10. Kepada rekan-rekan seperjuangan pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara angkatan 2007, Gilang Medina SH. M.Hum, Rise Karmilia SH, M.Hum, Fitri Wahyuni SH. M.Hum, Mega Kartika SH. M.Hum, Abdillah Sinaga SH. M.Hum, Syuratty Astuty Rahayu Manalu SH, Spd, M. Arif Sahlepi SH, Pamella Romauli Tampubolon SH. M.Hum, Della Maria Panjaitan SH, Verry Iskandar SH. M.Hum, Helwan Kasra SH. M.Hum, Elvira Fitriyani Pakpahan SH. M.Hum. Ellieka Sari SH M.Hum, Andoko SH. M.Hum, dan seluruh rekan-rekan konsentrasi Hukum Bisnis yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhir kata, penulis berharap semoga tesis ini daat bermanfaat bagi pembaca. Medan, Agustus 2009

(12)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Nia Avenasari. S

Tempat/ Tanggal Lahir : Dumai / 16 Januari 1985 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

Alamat : Jl. Gaharu Gg. Langgar No. 3 Medan

PENDIDIKAN FORMAL

1. SD Negeri 005 Bukit Timah, Dumai, Riau, dari tahun 1991 hingga tahun 1997. 2. SLTP Negeri 03 Dumai, Riau, dari tahun 1997 hingga tahun 2000.

3. SMU Negeri 01 Dumai, Riau, dari tahun 2000 hingga tahun 2003.

4. Universitas Sumatera Utara, Fakultas Hukum, Jurusan Hukum Ekonomi dari tahun 2003 hingga tahun 2007.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... iii

KATA PENGANTAR... v

RIWAYAT HIDUP... viii

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR... xiii

DAFTAR ISTILAH... xiv

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah... 20

C. Tujuan Penelitian... 20

D. Manfaat Penelitian... 21

E. Keaslian Penelitian... 21

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 22

1. Kerangka Teori... 22

2. Kerangka Konsepsi... 38

G. Metode Penelitian………... 41

1. Jenis Penelitian... 41

2. Sumber Data... 42

3. Teknik Pengumpulan Data... 44

4. Analisis Data... 44

BAB II BANK DAN RISIKO LIKUIDITAS... 46

A. Karakteristik Kegiatan Usaha Bank... 46

B. Risiko Kegiatan Usaha Bank... 56

1. Jenis Risiko Perbankan... 56

(14)

3. Risiko Likuiditas Perbankan... 64

C. Bank dalam Masalah Likuiditas... 71

D. Prinsip Kehati-hatian Bank (Prudential Banking Regulation)…. 87

BAB III BANTUAN KEPADA BANK DALAM MASALAH LIKUIDITAS... 96

A. Pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)... 96

1. Pengertian BLBI... 96

2. Jenis dan Dasar Hukum BLBI... 100

3. Latar Belakang Pemberian BLBI... 110

4. Mekanisme Pemberian BLBI... 114

5. Kriteria Bank Penerima BLBI... 116

6. Upaya Penyelesaian BLBI. ... 119

B. Pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP)... 127

1. Pengertian FPJP... 127

2. Dasar Hukum FPJP... 128

3. Proses Timbulnya FPJP... 129

4. Persyaratan FPJP... 131

5. Pengajuan FPJP... 135

6. Perhitungan Nilai Agunan FPJP... 138

7. Persetujuan FPJP... 142

8. Pelunasan FPJP... 144

9. Pengawasan Bank Penerima FPJP... 145

BAB IV BANK INDONESIA SEBAGAI PEMBERI BANTUAN LIKUIDITAS... 148

A. Peran Bank Indonesia Sebagai Lender of The Last Resort (LoLR) dalam Pemberian Bantuan Likuiditas ……....……... 148

(15)

2. Bank Indonesia dan Stabilitas Sistem Keuangan………… 152

3. Bank Indonesia sebagai Lender of The Last Resort (LoLR) dalam Pemberian Bantuan Likuiditas……..……... 155

B. Hubungan Bank Indonesia dengan Pemerintah dalam Pemberian Bantuan Likuiditas untuk mengatasi Krisis Perbankan ... 173

1. Peran Pemerintah dan Bank Indonesia dalam Kebijaksanaan BLBI………….………... 173

2. Pembentukan Jaring Pengaman Sistem Keuangan (Financial Safety Net)... 182

3. Crisis Management Protocol (CMP)….…………...……. 187

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……….... 191

A. Kesimpulan... 191

B. Saran... 194

(16)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

1. Jenis Bantuan Likuiditas Bank Indonesia... 105 2. Bank Dalam Penyehatan Kronologi Penyehatan Perbankan

(17)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

(18)

DAFTAR ISTILAH

Bankers Acceptance : akseptasi bank. Sebuah draft atau bill of exchange dengan pembayaran yang dijamin oleh suatu bank. Bank Beku Operasi (BBO) : pemberhentian sementara operasi suatu bank oleh

Pemerintah karena dianggap tidak dapat memenuhi kewajibannya terhadap pihak ketiga.

Bank bermasalah : 1. Bank yang memiliki rasio atau nisbah kredit tidak lancar yang tinggi apabila dibandingkan dengan modalnya. 2. Bank yang dari hasil pemeriksaan nilai CAMEL-nya berada pada posisi empat (kurang sehat) atau lima (tidak sehat) pada daftar urutan kondisi bank, pendapat tersebut tidak disebarluaskan ke masyarakat, bank bermasalah akan lebih sering diperiksa daripada bank yang berkondisi sehat.

Bank Dalam Likuidasi (BDL) : bank yang telah dicabut izin usahanya karena tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1996 Tentang ketentuan dan tata cara pencabutan izin usaha, pembubaran dan likuidasi bank karena dianggap tidak mungkin diselamatkan lagi meskipun telah dilakukan berbagai upaya penyehatan.

Bailout : bantuan keuangan kepada bank tertanggung atau

lembaga tabungan yang mengalami kerugian karena kredit macet, kondisi pasar yang lesu, atau penarikan dana dalam jumlah besar secara tiba-tiba oleh para deposan; upaya yang dilakukan oleh lembaga tersebut dapat berupa bantuan kepada bank bermasalah.

Bank Take Over (BTO) : bank yang manajemennya diambil alih oleh Badan

(19)

kesehatannya tergolong tidak sehat, bank tersebut tetap beroperasi dengan pembatasan tertentu.

Bank Panic : kebangkrutan bank yang mengakibatkan kerugian

pada penyimpan dana, pemegang saham dan dunia usaha.

Batas Maksimum

Pemberian Kredit : ketentuan dari Bank Indonesia sebagai bank sentral yang membatasi penyaluran kredit ke kelompok bank atau nasabah perorangan, sebesar maksimal atau tidak boleh melebihi 20 persen dari modal sendiri. Pembatasan seperti ini dilaksanakan dalam rangka mewujudkan praktik perbankan yang hati-hati, sehingga bisa dicegah bank collapse karena praktik penyaluran pinjaman yang tak memperhatikan posisi permodalan bank bersangkutan.

Blanket Guarantee : penjaminan seluruh kewajiban nasabah.

Capital Adequacy Ratio : (CAR, Rasio Kecukupan Modal), istilah dalam perbankan yang menyangkut rasio antara modal dengan aset (tertimbang menurut risiko). Aset-aset bank itu ada yang berisiko dan tidak. Bagi aset yang berisiko seperti pinjaman terhadap nasabah, perlu didukung sejumlah modal tertentu untuk menutupi kemungkinan risiko kerugian di masa datang.

Capital Outflow : aliran keluar dana/ modal jangka pendek atau

jangka panjang dari Negara pencatat neraca pembayaran.

Capital Flight : pelarian modal. Pergerakan uang dalam jumlah

besar dari suatu Negara ke Negara lain, untuk menghindari kekacauan politik, ekonomi, atau untuk memburu tingkat pendapatan yang lebih tinggi.

Commercial Bank : bank yang beroperasi dengan menerima simpanan

(20)

Collateral : Agunan. Merupakan jaminan tambahan yang

diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah

Contagion effect : efek penularan. Merupakan akibat dari

ketidakpercayaan kepada suatu bank yang cepat atau lambat membawa ketidakpercayaan kepada sistem perbankan secara keseluruhan sehingga akan menimbulkan panics.

Exit Policy : penerapan kebijakan

Fiduciary Duty : Tanggung jawab Direktur

Foreign Exchange Swap : atau yang lebih dikenal sebagai swap—dalam dunia

keuangan, merupakan suatu instrumen derivatif, di

mana terdapat dua pihak saling mempertukarkan suatu aliran arus kas dengan aliran arus kas lainnya.

Inflation Targeting Framework: kerangka kebijakan moneter yang ditandai dengan

pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa periode ke depan.

Illiquid : keadaan bank yang tidak mampu memenuhi

kewajiban yang jatuh tempo.

Insolvensi : ketidakmampuan seseorang atau badan hukum untuk membayar utang tepat pada waktunya atau keadaan yang menunjukkan kewajiban melebihi harta.

Insolvent : suatu pihak yang tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban dengan aktiva tersedia.

Investment banking : bank investasi. Bank yang kegiatan utamanya

(21)

diterbitkan oleh perusahaan. Hingga saat ini bank ini belum ada di Indonesia.

Jakarta Interbank Offered Rate: disebut JIBOR, adalah suku bunga antar bank untuk

berbagai jangka waktu yang ditawarkan oleh bank-bank tertentu di Jakarta.

Kliring : pertukaran warkat atau data keuangan elektronis antar bank, baik atas nama bank maupun atas nama nasabah yang hasil perhitungannya diselesaikan dalam waktu tertentu.

Lender of last resort (LOLR) : diartikan sebagai pemberi pinjaman pada tempat

yang terakhir, yaitu membayar atau memberikan dana talangan (bailout) dan memberikan keringanan sementara atas kebutuhan likuiditas bank pelaksana yang sehat selama masa krisis, yang hanya dapat dilakukan oleh Bank Sentral.

Leverage : dalam keuangan, adalah meminjam uang untuk

menyediakan dana yang tersedia untuk investasi dengan cara pengeluaran potensial negatif atau positif ditambah dan atau ditinggikan.

Likuiditas : kemampuan untuk memenuhi seluruh kewajiban yang harus dilunasi segera dalam waktu yang singkat.

Liquid Asset : Alat likuid. Merupakan uang tunai dan aset lain

yang dapat segera diuangkan sehingga operasional usaha tetap berjalan, termasuk persediaan (inventory) barang dagangan, biaya dibayar dimuka dan aset yang dapat diuangkan dalam waktu 1 tahun.

Moral Hazard : berasal dari kosakata industri asuransi, merujuk

(22)

dengan merujuk kepada perilaku dari beberapa individu, korporasi, investor, deposan, debitur dan kreditur maupun perbankan yang menciptakan insentif untuk melakukan agenda dan tindakan yang tersembunyi yang berlawanan dengan etika bisnis dan hukum yang berlaku.

Non Performing Loan (NPL) : pinjaman yang dikucurkan perbankan. Tidak

mampu ditagih oleh perbankan karena bisnis dunia usaha sedang lesu, bangkrut, atau sebab lainnya. Istilah lain adalah kredit bermasalah yang terbagi atas beberapa kategori yaitu kategori diragukan, kategori kurang lancar, dan kategori macet.

Pagu : batas tertinggi atas sesuatu, seperti batas tertinggi pemberian kredit, penetapan bunga deposito dan batas harga nilai tukar mata uang asing; sin. Plafon.

Primary Reserve : jumlah uang kas yang diperlukan untuk kebutuhan

operasi bank ditambah cadangan wajib yang harus disimpan di bank sentral/ bank koresponden, ditambah dengan cek-cek yang belum ditagihkan ke bank; cadangan primer tidak dapat digunakan untuk menutup penarikan deposito secara mendadak atau krisis likuiditas sementara; cadangan primer berbeda dengan cadangan sekunder yang dapat diinvestasikan dalam surat berharga yang mudah diperjualbelikan, seperti surat berharga jangka pendek dan obligasi pemerintah.

Prudential banking : asas kehati-hatian dalam perbankan.

Rentabilitas : kemampuan menghasilkan laba.

Reserve Requirement : segala perlengkapan yang berupa uang tunai yang

tersedia dalam perusahaan/bank, guna memenuhi kewajiban yang timbul secara mendadak atau mendesak.

Runs : suatu kondisi dimana nasabah-nasabah yang

(23)

membayar kewajibannya secara penuh sehingga mereka menarik uangnya.

Rush : penarikan dana secara besar-besaran dan tiba-tiba

oleh nasabah

Saldo Giro Negatif : saldo rekening giro rupiah bank pada Bank Indonesia yang menunjukkan angka negatif pada saat Bank Indonesia menutup sistem akuntingnya.

Secondary Reserve : aset bank yang ditanamkan pada surat-surat

berharga jangka pendek yang mudah diperjualbelikan, seperti surat-surat berharga pemerintah (SBI); aktiva ini menghasilkan bunga dan dapat diperhitungkan sebagai cadangan pelengkap bank; jika permintaan kredit tidak terlalu banyak, dana yang dihimpun sering diinvestasikan dalam surat-surat berharga jangka pendek yang mudah diperjualbelikan (dikonversikan menjadi uang tunai); cadangan ini tidak dicantumkan secara terpisah dalam pos neraca.

Sistem BI-RTGS : proses penyelesaian akhir transaksi (settlement) pembayaran yang dilakukan pertransaksi dan bersifat real time, dimana rekening peserta didebit/ dikredit berkali-kali dalam sehari sesuai dengan perintah pembayaran dan penerimaan pembayaran.

Systemic Risk : akibat dari suatu kondisi yang jika tidak diatasi

dapat menyebabkan kegagalan bank lain sehingga menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap sistem keuangan dan perekonomian nasional.

Solvabilitas : kemampuan perusahaan untuk memenuhi semua kewajibannya.

Statutory Reserve : simpanan minimum yang harus dipelihara oleh

Bank dalam bentuk saldo rekening giro pada Bank Sentral yang besarnya ditetapkan oleh Bank Sentral.

Subprime Mortgage : jenis kredit yang diberikan kepada debitor dengan

(24)

keuangan. Kredit berisiko tinggi yang diberikan kepada peminjam berdasarkan persyaratan kredit normal tidak layak menerima kredit.

Transfer Pricing : suatu prosedur akuntansi yang biasanya dibuat

untuk menurunkan jumlah pajak yang harus dibayar oleh perusahaan multinasional. Caranya antara lain dengan mengadakan penjualan dan pembelian fiktif antar unit dalam perusahaan yang sama. Agar laba yang diperoleh anak atau cabang perusahaan yang terletak di negara-negara yang tinggi pajaknya nampak kecil; sehingga kecil pula bahkan bisa nol pajaknya.

Underlying transactions : kontrak atau perjanjian antara pihak penjual dan pembeli dalam L/C.

Window Dressing : memanipulasi data. Suatu istilah untuk menyatakan

(25)

ABSTRAK

Krisis global 2008 mempengaruhi stabilitas keuangan termasuk Indonesia, Pemerintah menerbitkan berbagai kebijakan untuk mencegah krisis global, salah satunya adalah Perpu No. 2 Tahun 2008 Tentang amandemen UU BI No.23 Tahun 1999 Pasal 11 tentang pelunakan persyaratan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). FPJP yang merupakan bantuan likuiditas adalah mekanisme pendanaan dari Bank Indonesia untuk mengatasi kesulitan likuiditas yang dihadapi bank, kesulitan likuiditas yang juga pernah dialami ketika krisis 1998 dan mengucurkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang hingga saat ini tidak kunjung menemui titik terang terhadap pengembalian pinjaman dari bank penerimanya.

Penelitian ini dilatar belakangi oleh sejumlah pertanyaan, yakni bagaimana mekanisme bank sehingga dikategorikan berada dalam masalah likuiditas? Selanjutnya bagaimanakah persyaratan pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP)?. Terakhir, bagaimana hubungan Bank Indonesia dengan Pemerintah dalam Pemberian Bantuan Likuiditas untuk mengatasi Krisis Perbankan?

Penelitian menggunakan metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh melalui studi pustaka. Seluruh data yang sudah diperoleh akan ditelaah dan dianalisis secara kualitatif untuk ditarik suatu kesimpulan yang bersifat deduktif sebagai jawaban atas permasalahan yang diteliti.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : Pertama, suatu bank dikategorikan berada dalam masalah likuiditas apabila terjadi ketidaksesuaian (mismatch) pendanaan arus masuk kas dengan arus keluar, yang ditandai awal dengan ketidakikutsertaan dalam kliring dan berakhir dengan saldo negatif pada rekening giro di Bank Indonesia. Pada krisis perbankan 1998 bank bersaldo debet mendapat fasilitas bantuan likuiditas yang disebut BLBI sedangkan untuk mengantisipasi krisis global 2008 Bank Indonesia memberikan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek dengan menerbitkan PBI No. 10/26/PBI/2008 dan PBI No. 10/30/PBI/2008 dan Perpu No. 2 Tahun 2008 yang ditetapkan menjadi UU No. 6 Tahun 2009 oleh Pemerintah. Kedua, persyaratan pemberian BLBI dalam darurat sistemik sangat berbeda dengan FPJP yang telah diintegrasikan dalam kerangka Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Ketiga, Bank Indonesia memberikan bantuan likuiditas dalam perannya sebagai

lender of the last resort, peran tersebut penting diformulasikan Pemerintah bersama

Bank Indonesia dalam RUU JPSK sebagai tindakan pencegahan dan penanganan krisis. JPSK juga merekomendasikan terbentuknya Crisis Management Protocol (CMP) dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

(26)

(Bank Indonesia) dan Otoritas pengawas Bank dan LKBB dalam pembinaan sistem keuangan nasional agar terhindar dari penanganan krisis yang lambat, meminimalisir biaya penanganan krisis, meningkatkan kepercayaan masyarakat dan mengisi missing

link di undang-undang sektor keuangan yang sudah ada.

(27)

ABSTRACT

Global crisis 2008 influenced the financial stability, including Indonesia. The government issued some policies to prevent the global crisis and one of the policies is Act No.2 of 2008 concerning with the amendment of Act for Bank of Indonesia No.23 of 1999 Article 11 concerning with loosing of the requirements for Short Term Funding Facility (Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek-FPJP). FPJP as the assisted liquidity is the funding mechanism from the Bank of Indonesia to overcome the liquidity hindrances encountered by bank. The liquidity hindrances has also been ever issued at the time of crisis in 1998 and launching the Bank Indonesia Liquidity Assistance (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia-BLBI) and it is until now the return for the loan by the bank which accepted the fund is unclear.

This research is based on some questions such as : How is the mechanism of the bank categorized as the liquidity in problem ? How is the requirements for giving the Bank Indonesia Liquidity Assistance (BLBI) and Short Term Funding Facility (FPJP) ? The last question is of how is the relationship of the Bank of Indonesia with the government in the case of giving the liquidity assistance to overcome the banking crisis ?

This research uses normative law research method with analytical descriptive using secondary data obtained from the library research. All data obtained are comprehended and analyzed qualitatively to make one deductive conclusion as the answer to the question posed.

The result of the research shows that , firstly, the bank is categorized as the bank with the problem if there is the mismatch for cash inflow funding with cash outflow and it is signified by without participation in clearing and ended with negative balance in the clearing account in Bank of Indonesia. In banking crisis in 1998, the bank with debit balance got the facility such as liquidity assistance which is called as BLBI, whereas, to anticipate the global crisis in 2008, the Bank of Indonesia gave the short term funding facility by issuing PBI No.

10/26/PBI/2008 and PBI No. 10/30/PBI/1008 and Rule No 2 of 2008 which is later

established as Act No.6 of 2009 by the government. Second, the requirements to give BLBI in the systematical emergency condition is very different from FPJP which has been integrated in the frame of Financial Safety Network (Jaring

Pengaman Sistem Keuangan-JPSK). Third, Bank of Indonesia gives the liquidity

assistance with the role as the lender of the last resort. The role is very important which is formulated by the government with Bank of Indonesia in the rule design of JPSK as the prevention and crisis management action. JPSK also recommended the forming of Crisis Management Protocol (CMP) and Financial System Stability Committee (KSSK).

(28)

between fiscal authority (Minister of Financial), monetary authority (Bank of Indonesia) and Bank Supervisor Authority and LKBB in the maintenance from national financial system in order to avoid slow crisis management, minimize the crisis management cost, increase the trust from the society and to fill the missing link in the available financial sector rules.

Key Words : Liquidity hindrances, Bank Indonesia Liquidity Assistance, Short Term Funding Facility and Lender of the Last Resort.

(29)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di akhir tahun 2007, diskusi tentang instabilitas finansial1 menghangat seiring dengan meningkatnya risiko resesi ekonomi pada perekonomian Amerika Serikat (AS) yang ditandai dengan bertumbangannya perusahaan-perusahaan keuangan besar seperti Lehman Brothers Holdings Inc yang dinyatakan bangkrut dan beberapa perusahaan lainnya yang mengalami kesulitan likuiditas.2 Penyebabnya adalah terjadinya krisis di pasar finansial yang bersumber dari masalah kredit perumahan berkualitas rendah atau subprime mortgage.3 Pengaruh yang ditimbulkan dari gejolak

1

Instabilitas finansial (financial instability) didefinisikan sebagai perubahan drastis harga-harga aset-aset finansial. Pada dasarnya aset-aset finansial menyangkut produk-produk finansial seperti saham, obligasi, mortgage, futures, serta berbagai bentuk surat berharga dan produk derivatif (derivative products) lainnya. Instabilitas tersebut terjadi akibat fluktuasi sektor finansial yang terlalu besar sehingga menimbulkan ketidakstabilan (instabilitas) yang dapat menganggu kesinambungan sektor-sektor ekonomi lainnya. Sektor finansial menjadi “transmisi” yang paling efektif memunculkan gejolak dan krisis. Meskipun sumber dari krisis tidak selalu harus dimulai dari suatu masalah di pasar finansial itu sendiri. Jika krisis masih terisolasi pada sektor finansial saja, maka dapat dikatakan situasi belum menjalar pada krisis ekonomi. Sedangkan krisis adalah suatu kondisi dimana berbagai langkah pengendalian sudah tidak lagi mampu menahan gejolak pada sektor finansial, yang segera berdampak pada perekonomian secara umum dan mempengaruhi kehidupan masyarakat luas. Secara sederhana dipahami bahwa instabilitas (finansial) bersifat permanen, dan krisis adalah konsekuensi logis dari kondisi instabilitas tersebut. A. Prasetyantoko, Bencana Finansial, Stabilitas sebagai Barang Publik, (Jakarta : Kompas, 2008), hal 11.

2

Likuiditas adalah kemampuan untuk memenuhi seluruh kewajiban yang harus dilunasi segera dalam waktu yang singkat; sebuah perusahaan dikatakan likuid apabila mempunyai alat pembayaran berupa harta lancar yang lebih besar dibandingkan dengan seluruh kewajibannya. Kamus

Ekonomi, http://d.scribd.com/docs/cdosajogsdr6llzqdxs.pdf, (Diakses Jum’at, 20 Maret 2009).

3

(30)

di pasar finansial Amerika Serikat sangatlah besar bagi dinamika perekonomian global.

Setelah bank investasi, Lehman Brothers Inc, pada 15 september 2008 mengajukan proteksi kebangkrutan, dimana sebelumnya Pemerintah AS menolak untuk mem-bail-out-nya, kebangkrutan masih menghantui perusahaan-perusahaan lainnya di Wall Street. Apalagi sejumlah perusahaan finansial yang selama ini yang berdasarkan persyaratan kredit normal tidak layak menikmati kredit (tidak bankable). Zulkarnain Sitompul, Secondary Mortgage Facility (SMF) sebagai Alternatif Pembiayaan Perumahan, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 27-No.3-Tahun 2008, hal 38.

Krisis yang dipicu oleh masalah surat utang berbasis perumahan yang berkualitas rendah (subprime mortgage). Bermula dari merosotnya harga properti dan perumahan yang segera diikuti oleh turunnya harga surat-surat utang yang berbasis pada perumahan (mortgages). Mortgage merupakan suatu instrumen hutang antara peminjam (mortgagor) dan pemberi pinjaman (mortgagee), yang didalamnya terdapat suatu penyerahan tertulis mengenai hak atas benda (title to property). Penyerahan ini tidak bersifat kepemilikan tetapi ditujukan untuk menjamin pembayaran atas suatu hutang atau pelaksanaan suatu kewajiban, dengan syarat hak atas benda itu hapus apabila kewajiban sudah dibayar sepenuhnya. Mortgage dibagi menjadi prime mortgage dan subprime mortgage. Prime mortgage biasanya diberikan kepada peminjam yang memiliki reputasi yang baik. Misalnya usahanya berjalan dengan baik, tepat membayar angsuran. Disamping itu menunjukkan kapasitas untuk membayar kembali hutangnya. Johannes Ibrahim, Fenomena Suprime Mortgage dan Kebijakan Pembiayaan

Sekunder Perumahan di Indonesia : Wacana dan Dilema yang patut diantisipasi, Jurnal Hukum

Bisnis, Volume 27-No.3-Tahun 2008, hal 6.

Subprime mortgage ini merupakan kredit yang diberikan kepada kelas menengah bawah di

Amerika Serikat untuk membeli properti. Kredit ini tidak diberikan oleh bank melainkan oleh perusahaan yang bergerak di bidang kredit perumahan, karena bank tidak mau mengambil risiko. Pada saat itu suku bunga yang diberikan oleh Federal Reserve System, Bank Sentral Amerika Serikat, cukup rendah yaitu antara 1,5% - 1,75%. Penurunan suku bunga tentunya juga menurunkan biaya dana. Karena suku bunga yang rendah inilah masyarakat berduyun-duyun mengambil kredit perumahan tersebut. Tersedianya dana murah dalam jumlah besar kemudian mendorong terjadinya housing bubble di Amerika Serikat. Ketika The Fed menaikkan suku bunganya hingga kisaran 5,25 % kekhawatiran kalangan perbankan terbukti karena para peminjam mengalami kredit macet bahkan gagal bayar.

Domino effect pun terjadi, perusahaan pemberi kredit bertumbangan karena tidak dibayar nasabah.

Investor yang terlanjur membeli surat utang subprime mortgage turut terkena imbas karena nilai surat utang mereka anjlok. Dampaknya sangat serius menggoncang pasar finansial Amerika Serikat, sehingga banyak perusahaan yang bergerak di sektor investasi, asuransi dan perbankan yang terkait dengan subprime mortgage berguguran. Pemerintah Amerika Serikat akhirnya mengambil intervensi dengan mencairkan dana talangan (bail-out) senilai US $ 7 miliar (tujuh miliar dolar Amerika) untuk membiayai surat utang subprime mortgage yang bermasalah. Benny Swastika, ”Perbandingan

Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dengan Bailout Amerika”,

(31)

dipercaya kuat juga mengalami kesulitan keuangan. Perusahaan pesaing Lehman,

Merrill Lynch misalnya, sudah diambil oleh Bank of America senilai US $ 50 Miliar

(lima puluh miliar dolar Amerika). Perusahaan raksasa lainnya, American

International Group (AIG) - salah satu perusahaan asuransi terbesar di dunia saat ini,

yang harga sahamnya anjlok hingga 60,8% disuntikkan dana sebesar US $ 85 milliar dan sebagai hasilnya 79,9% saham perusahaan asuransi itu dikuasai Pemerintah Amerika Serikat.4

Kerugian pada sejumlah lembaga finansial besar yang rata – rata tercatat di pasar modal, mengubah krisis sektor perumahan menjalar menjadi sentimen negatif terhadap industri pasar modal finansial. Kecemasan pun terus menjalar, terkait bakal rendahnya daya serap pasar terbesar Amerika Serikat dan Eropa, akibat pelemahan ekonomi yang bersumber dari AS. Sentimen buruk ini terus menular ke belahan dunia lainnya.

Krisis pasar modal (saham dan surat utang) global sebenarnya hanya mempengaruhi investor pasar modal. Tetapi krisis perbankan global dapat mempengaruhi sektor riil ekonomi dunia, termasuk Indonesia. Krisis keuangan di AS mengakibatkan pengeringan likuiditas sektor perbankan dan institusi keuangan non-bank yang disertai berkurangnya transaksi keuangan. Pengeringan likuiditas akan memaksa para investor dari institusi keuangan AS untuk melepas kepemilikan saham mereka di pasar modal Indonesia untuk memperkuat likuiditas keuangan institusi

4

(32)

mereka.5 Intinya, sektor perbankan AS sedang terpuruk, kekurangan modal, dan melihat banyaknya lembaga keuangan yang bangkrut, mengakibatkan AS enggan meminjamkan dolarnya, termasuk ke bank-bank internasional di Eropa dan Asia.6

Hal tersebut secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi stabillitas sistem keuangan7 Indonesia. Dalam pertumbuhan perekonomian suatu Negara, peranan sektor finansial yang stabil sangat penting dan inti kestabilan sektor finansial adalah stabilitas sistem perbankan domestik.8 Industri perbankan yang sehat9 dan

5

Scribd.com, ”Perdagangan Internasional dalam Pengaruh Krisis Keuangan Global”,

http://www.scribd.com/doc/9301061/Perdagangan-Internasional-Dalam-Pengaruh-Krisis-Keuangan-Global, (Diakses Selasa, 17 Maret 2009).

6

Madani-ri.com, ”Menakar Dampak Krisis Finansial Global”, http://www.madani-ri.com/2008/10/13/menakar-dampak-krisis-finansial-global/ , (Diakses Senin, 13 Oktober 2008).

7

Sistem keuangan dapat diartikan sebagai kumpulan institusi, pasar, ketentuan perundangan, peraturan-peraturan, dan teknik-teknik dimana surat-surat berharga diperdagangkan, tingkat bunga ditetapkan, dan jasa-jasa keuangan dihasilkan serta ditawarkan ke seluruh bagian dunia. Sistem keuangan merupakan bagian integral dari sistem ekonomi. Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga

Keuangan, Kebijakan Moneter dan Perbankan, (Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi

Universitas Indonesia, 2005), hal 1.

Financial stability mengacu pada stabilitas institusi keuangan dan kestabilan pasar-pasar

yang tergabung dalam institusi keuangan. Marcflame, Gubernur Reserve Bank Australia dalam

“Financial Stability” mengemukakan bahwa “financial instability is avoidance of crisis”. Artinya

stabilitas keuangan diartikan sebagai upaya untuk menghindari terjadinya krisis. Jadi pengertian stabilitas keuangan terkait dengan ketiadaan krisis keuangan (finansial crisis). Anwar Nasution, “Masalah-masalah Sistem Keuangan dan Perbankan Indonesia”, disampaikan pada “Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII”, (Denpasar : Badan Pembinaan Hukum Nasional - Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 14-18 Juli 2003) hal 5.

8

Zulkarnain Sitompul, Problematika Perbankan, (Bandung : Book Terrace & Library, 2005), hal 327. Jika lembaga-lembaga keuangan dan pasar keuangan yang berperan sebagai mediator berada pada dalam kondisi tidak stabil atau ketidakpastian maka dapat dipastikan aktivitas perekonomian akan sulit berlangsung karena rendahnya aktivitas produksi, konsumsi maupun investasi. Disamping itu dalam kondisi tingkat inflasi yang tinggi akan sulit bagi perekonomian suatu Negara untuk tetap kompetitif dalam menghadapi persaingan global. Anwar Nasution, Loc. Cit.

9

Pentingnya kesehatan lembaga keuangan, khususnya perbankan, dalam penciptaan sistem keuangan yang sehat mempunyai beberapa alasan antara lain :

1. Keunikan karakteristik perbankan yang rentan terhadap serbuan masyarakat yang menarik dana secara besar-besaran (bank runs) sehingga berpotensi merugikan deposan dan kreditur bank; 2. Penyebaran kerugian diantara bank-bank sangat cepat melalui contagion effect sehingga

berpotensi menimbulkan system problem;

(33)

berada dalam kondisi stabil berperan mutlak dalam kegiatan atau pembangunan ekonomi10 dalam pengertian bahwa lembaga keuangan tersebut terutama perbankan diyakini dapat memenuhi seluruh kewajibannya tanpa dukungan atau bantuan pihak luar (eksternal). Suatu Negara bisa saja memiliki sistem perbankan kuat, dengan perekonomian yang lemah. Tetapi, tidak pernah dalam sejarah menunjukkan bahwa suatu Negara dengan sistem perbankan yang lemah menjadikan perekonomiannya kuat.11

Salah satu pengaruh dari sistem keuangan global adalah munculnya keraguan masyarakat terhadap kehandalan dan keamanan sistem perbankan yang dapat ditandai antara lain dengan meningkatnya kepanikan masyarakat dalam menyikapi krisis. Walaupun krisis ini belum secara langsung berdampak pada sektor perbankan, 4. Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan sebagai lembaga intermediasi akan

menimbulkan tekanan-tekanan dalam sektor keuangan (financial distress);

5. Ketidakstabilan sektor keuangan akan berdampak pada kondisi makro ekonomi, khususnya dikaitkan dengan tidak efektifnya transmisi kebijakan moneter. Anwar Nasution, Loc. Cit.

Bank runs adalah suatu kondisi di mana nasabah – nasabah yang menyimpan uangnya di suatu bank mulai tidak yakin akan kemampuan bank tersebut dalam membayar kewajibannya secara penuh sehingga mereka menarik uangnya. Runs menjadi masalah karena ketika bank mengalami permintaan akan uang yang meningkat, mereka harus menyediakan dana dalam jumlah yang mencukupi. Masalahnya menjadi lebih pelik sebab bank hanya memegang sebagian kecil asetnya dalam bentuk kas sehingga bank harus mengambil simpanan dananya yang ada di bank sentral atau di bank lain. Jika belum mencukupi, hal tersebut harus dipenuhi dengan menjual asetnya dan atau menjual utangnya (yang tentunya dalam harga yang lebih rendah). Hasil Riset Bank Indonesia (Satgas BLBI) dengan HLB Hadori & Rekan, Studi Ekonomi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, (Jakarta : Bank Indonesia, 2002), hal 32.

10

Kegiatan perbankan telah mulai dikenal sejak tahun 2000 SM di Babylonia, dimana sudah dikenal lembaga perbankan dalam bentuk sederhana yang dikenal dengan sebutan Temples of Babylon yang mempunyai aktivitas berupa peminjaman emas dan perak dengan tingkat suku bunga 20 % setiap bulannya. Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta : Citra Aditya Bakti, 1993), hal 38.

Kegiatan perbankan ini semakin meluas di zaman Romawi Kuno yakni berupa simpanan uang dalam deposito, pemberian kredit dan tukar menukar mata uang. Munir Fuady, Hukum Perbankan

Modern, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hal.17.

11

Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah Suatu Gagasan Tentang Pendirian

Lembaga Penjamin Simpanan di Indonesia, (Jakarta : Sekolah Pascasarjana Fakultas Hukum

(34)

seburuk yang terjadi di pasar modal Indonesia saat ini,12 namun krisis ini membuat semua sektor bisnis harus melakukan antisipasi penyelamatan aset dan keuangan.13 Sementara itu, kepercayaan masyarakat merupakan salah satu prasyarat utama yang diperlukan untuk menciptakan sistem perbankan yang stabil. Keberadaan aset bank dalam bentuk kepercayaan masyarakat sangat penting dijaga.14

Memperhatikan hal-hal tersebut diatas diperlukan langkah-langkah tertentu untuk mengantisipasi terjadinya guncangan terhadap kinerja dan fungsi intermediasi perbankan dan upaya untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Bahwa pada saat ini perubahan kondisi perekonomian yang semakin memburuk dikhawatirkan dapat menggangu kondisi keuangan perbankan, yang pada akhirnya membahayakan stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional. Landasan hukum yang kuat diperlukan sehingga mekanisme koordinasi antar lembaga yang terkait dalam pembinaan sistem keuangan nasional, serta mekanisme pengambilan

12

Turunnya pasar tidak dapat lagi diprediksi, inflasi sudah menyentuh 12,14%, BI rate (suku bunga) hanya mencapai 9,5% dan IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) anjlok sampai 10,38% menuju titik 1.451,67. Dalam situasi saat itu, intervensi dan koordinasi dari Pemerintah dan BI harus diperkuat agar pelaku pasar tidak panik. Menyusul anjoknya IHSG sebesar 10,38%, penutupan sementara transaksi di Bursa Efek Indonesia pada 8 Oktober 2008 merupakan langkah strategis untuk menghindari kepanikan investor. Wahyu Soedarmono, ”Membendung Badai Krisis Finansial”, http://www.scribd.com/doc/9789796/Membendung-Badai-Krisis-Finansial, (Diakses Jum’at, 20 Maret 2009).

13

Sulistyowati Toelle, Dipilih Nasabah Saat Krisis Likuiditas, Majalah Info Bank, No 357, Edisi Desember 2008, hal 64.

14

Sebab kepercayaan masyarakat sangat penting bagi bank, paling tidak karena dua alasan :

pertama, meningkatkan efisiensi penggunaan bank dan efisiensi intermediasi, dan kedua, mencegah

(35)

keputusan dalam tindakan pencegahan dan penanganan krisis sehingga dapat dilakukan secara terpadu, efisien dan efektif.15

Landasan hukum dimaksud ditetapkan dalam kebijakan Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 200816 tanggal 13 Oktober 2008 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dalam Pasal 11 disebutkan bahwa :

(1) Bank Indonesia dapat memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh hari) kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek bank yang bersangkutan; (2) Pelaksanaan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dijamin oleh bank penerima dengan agunan yang berkualitas tinggi yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diterimanya;

(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia;

(4) Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan, Bank Indonesia dapat memberikan Fasilitas Pembiayaan Darurat yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah;

(5) Ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan mengenai kesulitan keuangan bank yang berdampak sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat, dan sumber pendanaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diatur dalam Undang – Undang tersendiri.

15

Penjelasan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang No. 4 Tahun 2008 Tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan.

16

(36)

Perpu ini ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 4 Tahun 2008 tanggal 15 Oktober 2008 Tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).17 Dalam perpu ini diatur mengenai ruang lingkup JPSK yang meliputi pencegahan krisis (crisis prevention) dan penanganan krisis (crisis

management). Pencegahan krisis dilakukan melalui penanganan kesulitan likuiditas

dan masalah solvabilitas18 dari bank dan lembaga keuangan bukan bank (LKBB) yang berdampak sistemik19, yaitu antara lain dengan memberikan Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD) bagi bank atau LKBB yang mengalami kesulitan likuiditas.20

17

Jaring Pengaman Sistem Keuangan (financial safety net) yang didesain dengan baik ditujukan sebagai alat pencegahan krisis. JPSK yang terintegrasi berfungsi membatasi risiko terhadap sistem keuangan dan sebagai alat menajemen krisis untuk mengatasi dampak ancaman tersebut jika terjadi. Meskipun kerangkanya berbeda-beda, namun pada umumnya JPSK mencakup kombinasi dari empat elemen yakni : (i) regulasi dan pengawasan independent yang efektif, (ii) lender of the last

resort yang memadai, (iii) skim asuransi penjamin simpanan yang memadai, dan (iv) resolusi bank

bermasalah dan krisis yang memadai. Sukarela Batunanggar, ”Jaring Pengaman Sistem Keuangan”, www.scribd.com/doc/3932765/Batunanggar-Jaring-Pengaman-Keuangan-Kajian-Literatur-dan-Prakteknya-di-Indonesia-256k-, (Diakses Selasa, 3 Maret 2009).

18

Solvabilitas adalah kemampuan bank untuk membayar kewajibannya sesuai dengan jadwal yang ditetapkan; hal itu berarti bahwa jumlah aset lebih besar daripada kewajibannya. Kamus

Ekonomi, http://d.scribd.com/docs/cdosajogsdr6llzqdxs.pdf, (Diakses Jum’at, 20 Maret 2009).

19

Berdampak sistemik adalah suatu kondisi sulit yang ditimbulkana suatu bank, Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB), dan / atau gejolak pasar keuangan yang apabila tidak diatasi dapat menyebabkan kegagalan sejumlah bank dan / atau LKBB lain sehingga menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap sistem keuangan dan perekonomian nasional. Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang No. 4 Tahun 2008 Tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan.

20

(37)

Fasilitas Pembiayaan Darurat21 adalah alternatif terakhir setelah sebelumnya menerima akses pendanan BI melalui Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). Ketentuan FPJP disempurnakan melalui PBI No.10/26/PBI/2008 tanggal 30 Oktober 2008 dan PBI No.10/30/PBI/2008 tanggal 14 November 2008 Tentang Perubahan atas PBI No. 10/26/PBI/2008. FPJP adalah salah satu upaya BI untuk mengurangi dampak bahaya krisis global khususnya yang mengancam stabilitas sistem keuangan dalam industri perbankan. FPJP merupakan bagian integral dari Jaring Pengaman Sistem Keuangan (financial safety net) yang diperlukan dalam rangka memelihara stabilitas keuangan. FPJP pada dasarnya merupakan tindakan antisipatif Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia yang tergabung dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). FPJP diberikan bagi bank untuk mengatasi kesulitan keuangan atau likuiditas (mismatch) agar dapat memenuhi kewajiban Giro Wajib Minimum22 Rupiah yang saat ini berdasarkan PBI No. 10/19/PBI/2008 tanggal 14 Oktober 2008, giro wajib minimum yang harus dipenuhi setiap bank sebesar 7,5 persen dari dana pihak ketiga.

21

Fasilitas Pembiayaan Darurat disempurnakan melalui Peraturan Bank Indonesia No. 10/31/PBI/2008 Tentang Fasilitas Pembiayaan Darurat bagi Bank Umum. Fasilitas ini hanya diberikan kepada bank yang masih memenuhi tingkat solvabilitas (rasio permodalan) positif dan berdampak sistemik yang dapat membahayakan perekonomian nasional. Pemberian FPD harus didasarkan pada keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Untuk pencegahan krisis, sumber pendanaan FPD berasal dari BI sedangkan untuk penanganan krisis sumber dananya berasal dari Pemerintah. Kusumaningtuti. SS, Op. Cit, hal 82.

22

Giro Wajib Minimum selanjutnya disebut GWM adalah peraturan Bank Indonesia bagi perbankan yang mewajibkan bank mempunyai cadangan wajib minimum tanpa bunga dalam rekening giro di Bank Indonesia. Hasil Riset Bank Indonesia (Satgas BLBI) dengan HLB Hadori & Rekan,

(38)

Kesenjangan likuiditas merupakan salah satu risiko yang dialami bank sehari-hari mengingat bank memiliki leverage (rasio utang terhadap modal) yang tinggi dan ketidakseimbangan dalam struktur aset (umumnya berjangka menengah dan panjang) dan kewajiban (umumnya berjangka pendek). Bank Century menjadi bank pertama menerima akses FPJP. Tingginya intensitas rumor negatif yang beredar di masyarakat, akhirnya mempertegas kondisi perbankan Indonesia yang sedang mengalami ketatnya likuiditas antar bank. Gagal kliring23 akibat kesulitan likuiditas yang dialami Bank Century, yang merupakan hasil merger dari Bank CIC, Bank Danpac, dan Bank Pikko, pada 13 November 2008 menjadi bukti nyata dampak rumor telah meresahkan sektor perbankan.24 Dengan sigap BI mengumumkan bahwa Bank Century diambil alih oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) setelah sebelumnya membawa permasalahan tersebut ke rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). KSSK selanjutnya memutuskan Bank Century bersifat sistemik

23

Kinerja dan kestabilan perbankan dalam praktek sehari-hari dapat dipantau dari mekanisme pelaksanaan kliring antar bank. Kliring adalah pertukaran warkat atau data keuangan elektronis antar bank, baik atas nama bank maupun atas nama nasabah yang hasil perhitungannya diselesaikan dalam waktu tertentu. Salah satu kewajiban penting dari bank sebagai peserta kliring adalah memelihara rekening giro pada BI sejumlah tertentu yang disebut GWM. Melalui mekanisme perhitungan kliring dapat dilakukan pemantauan terhadap kestabilan dan manajemen likuiditas bank antara lain kalah kliring misalnya belum merupakan indikator buruk sepanjang bank tersebut dapat segera mengatasinya yaitu terdukung oleh saldo gironya pada BI atau dengan tambahan dana baik yang diusahakan dari bank sendiri atau melalui pinjaman antar bank. Tetapi bila kalah kliring terjadi dalam frekuensi yang sering apalagi berkelanjutan, maka hal itu merupakan suatu indikasi bahwa manajemen likuiditas bank tersebut kurang baik atau sedang mengahadapi kesulitan likuiditas. Hasil Riset Bank Indonesia (Satgas BLBI) dengan Hadori & Rekan, Studi Hukum Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, (Jakarta : Bank Indonesia, 2002), hal 52 – 53.

24

(39)

sehingga harus diberikan Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI)25 namun ternyata tidak dapat melunasi nilai FLI sampai dengan batas waktu pelunasan yang ditetapkan dan terhadap nilai FLI yang tidak dilunasi tersebut diberlakukan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). Jika tidak dapat melunasi FPJP dalam jangka waktu yang ditetapkan, bank bersangkutan dinyatakan sebagai bank gagal. Dan karena itu selanjutnya KSSK menyerahkan penanganan Bank Century pada LPS.26

Beberapa kasus masalah likuiditas yang dihadapi oleh satu bank, jika tidak segera diselesaikan dapat merembet ke bank-bank lainnya sehingga dapat menggangu kepercayaan publik terhadap sistem perbankan. Jika hal ini dibiarkan akan terjadi

systemic run yang dapat meruntuhkan sistem perbankan. Kondisi seperti itu yang

pernah terjadi pada tahun 1997. Krisis hebat yang meluluhlantakkan tatanan perekonomian kawasan Asia yang sebelumnya oleh Bank Dunia dinilai sebagai

25

Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI) disempurnakan melalui PBI No.10/29/PBI/2008. FLI adalah fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia kepada bank umum untuk mengatasi kesulitan pendanaan yang terjadi selama jam operasional Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI – RTGS) karena nilai transaksi keluar (outgoing transaction) melalui sistem BI – RTGS lebih besar dibandingkan dengan saldo rekening giro Rupiah bank di Bank Indonesia. Sistem BI – RTGS adalah sistem transfer dana elektronik antar peserta dalam mata uang Rupiah yang penyelesaiannya dilakukan secara seketika per transaksi individual. Penggunaan FLI dilakukan secara otomatis melalui BI – RTGS pada saat saldo rekening giro Rupiah bank di BI tidak mencukupi untuk melakukan transaksi keluar berdasarkan kecukupan nilai agunan FLI yang tersedia di rekening penggunaan surat berharga dalam sarana BI – SSSS (Bank Indonesia Scriptless Securities Settlement System). Selanjutnya pelunasan FLI dilakukan secara otomatis oleh sistem BI – RTGS setiap terdapat transaksi masuk yang” mengkredit rekening giro Rupiah bank bersangkutan di BI sampai dengan batas waktu pelunasan FLI. Bank wajib melunasi FLI sampai batas waktu pelunasan FLI yang ditetapkan BI. Jika bank tidak melunasi nilai FLI sampai dengan batas waktu pelunasan FLI yang ditetapkan, maka terhadap nilai FLI yang tidak dapat dilunasi diberlakukan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). Dahlan Siamat, Op.

Cit, hal 206 – 207.

26

(40)

kinerja yang ajaib. Sebelum tahun 1997,27 pertumbuhan perekonomian Indonesia telah meningkat secara pesat, kurs Rupiah cenderung stabil. Investasi asing dalam bentuk penanaman modal asing (PMA) terus meningkat. Pemerintah memberikan kesempatan kepada swasta nasional untuk melakukan pinjaman kepada kreditur luar negeri. Mengingat pada saat itu kondisi yang cenderung stabil dan masyarakat bisnis

27

Sejak tahun 1983, awal dimulainya Pelita IV, Pemerintah telah mengembangkan konsep liberalisasi sektor swasta dengan berbagai paket deregulasi. Langkah liberalisasi tersebut merupakan reaksi Pemerintah atas kuatnya tuntutan Barat, khususnya negara-negara dan lembaga keuangan internasional pemberi pinjaman, agar perekonomian Indonesia dibuka. Selain liberalisasi, Barat juga mendesakkan langkah-langkah nyata Pemerintah dalam hal debirokratisasi, transparansi, swastanisasi, serta demokrasi ekonomi dan politik. Didik J.Rachbini, Bank Indonesia Menuju Independensi Bank Sentral, (Jakarta : Mardi Mulyo, 2000), hal 19.

Pengaruh liberalisasi ini semakin kuat searah dengan menguatnya isu globalisasi perdagangan bebas yang termuat dalam berbagai kesepakatan kerangka kerjasama internasional seperti World Trade

Organization (WTO), Asia Pacific Economic Cooperation (APEC), dan Asociation of South East Asian Nations (ASEAN). Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, (Jakarta :

Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal 10.

Strategi induk pembangunan Pemerintah dirancang sejak Program Pelita III yang dimulai dengan deregulasi di bidang perbankan dengan dikeluarkannya kebijakan 1 Juni 1983 (Pakjun 83). Isi dari paket deregulasi tersebut sebagai proses awal dari liberalisasi perbankan nasional antara lain pelepasan pagu (pembatasan) kredit, pembebasan suku bunga perbankan dan kelonggaran atas pajak deposito. Tulus Tambunan, Krisis Ekonomi dan Masa Depan Reformasi, (Jakarta : Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1998), hal 31.

Liberalisasi semakin terdorong sejak diluncurkannya Paket Deregulasi Oktober 1988 (Pakto 88), yang dikeluarkan Pemerintah pada tanggal 27 Oktober 1988, yang berisi antara lain penghapusan larangan pendirian bank swasta yang berlaku sejak 1971, penghilangan seluruh batasan pembukaan kantor cabang domestik dan membolehkan bank asing mendirikan bank campuran bersama-sama dengan bank domestik. Kebijaksanaan ini juga membolehkan perusahaan milik Negara untuk menempatkan dananya sebesar 50% pada bank-bank swasta. Pakto 88 ini kemudian diikuti dengan dikeluarkannya Undang-Undang Perbankan No. 7 Tahun 1992 sebagai pengganti Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 Tentang Pokok-pokok Perbankan. Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana

Nasabah….Op. Cit, hal 89.

(41)

nasional sedang dipayungi psikologis optimisme, maka pinjaman pihak swasta nasional tidak di-hedging (nilai lindung)28 dan kebanyakan berjangka pendek.

Hal tersebut berjalan seperti biasa hingga akhirnya pada pertengahan 1997 krisis moneter dan keuangan melanda negara-negara di Asia. Diawali dari krisis keuangan yang terjadi di Thailand29 yang dikenal sebagai Tom Yum Effect yaitu pada tanggal 14 Mei 1997 dimana baht dilanda serangan spekulan. Krisis yang terjadi di Thailand tersebut merupakan dampak menular (contagion effect) dari jatuhnya mata uang regional di kawasan Asia yang akhirnya merambat kemana-mana. Malaysia, Korea dan Indonesia merupakan beberapa negara yang paling terkena dampaknya.

Krisis tersebut telah menyebabkan kinerja perekonomian Indonesia menurun tajam dan kemudian berubah menjadi krisis yang berkepanjangan di berbagai bidang. Proses penyebaran krisis berkembang cepat mengingat tingginya keterbukaan perekonomian Indonesia dan ketergantungan pada sektor luar negeri

28

Hedging artinya nilai lindung, pinjaman tanpa hedging artinya pinjaman swasta tersebut tidak memakai nilai lindung. Nilai lindung merupakan perlindungan terhadap perjanjian yang menggunakan kurs atau mata uang asing sebagai alat pembayarannya, perlindungan yang diberikan adalah pengurangan risiko terhadap berfluktuasinya nilai kurs dan mata uang. Verry Iskandar,

Peranan Bank Indonesia sebagai Lender of The Last Resort dalam Pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Skripsi, (Yogyakarta : Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2002), hal

64

(42)

yang sangat besar. Bersamaan dengan itu, sistem perbankan yang rapuh menyebabkan gejolak nilai tukar berubah menjadi krisis utang swasta dan krisis perbankan.30

Krisis mata uang yang berlanjut menjadi krisis likuiditas yang besar karena kelemahan-kelemahan struktural di sektor perbankan dan tingginya suku bunga hutang luar negeri serta lemahnya tingkat modal perbankan nasional turut memperburuk kondisi perekonomian Indonesia pada waktu itu. Situasi ini menimbulkan lingkaran setan (vicious circle) yang berat karena di satu pihak sektor perbankan mengalami krisis likuiditas dan kehilangan kepercayaan yang berdampak pada meningkatnya biaya pendanaan bank, sementara di lain pihak sektor riil mengalami kesulitan modal kerja yaitu perusahaan-perusahaan yang mempunyai pinjaman jangka pendek dalam bentuk valuta asing (valas), baik kepada kreditur dalam negeri maupun kepada bank-bank dalam negeri mengalami kesulitan memenuhi kewajibannya.31 Besarnya kesulitan likuiditas (mismatch) pada akhirnya telah memicu terjadinya krisis pada perbankan nasional.

Kesadaran tentang pentingya pembenahan terhadap sektor perbankan kemudian disadari oleh Bank Indonesia (BI) yang membawa masalah ini dalam Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekonomi Keuangan Pengawasan Pembangunan dan Produksi Distribusi (Ekku Wasbang dan Prodis) tanggal 3 September 1997. Presiden

30

Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana Nasabah….Op. Cit, hal 3. 31

(43)

Soeharto membuat keputusan penting antara lain agar Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia mengambil langkah-langkah sebagai berikut :32

1. Bank-bank nasional yang sehat tetapi mengalami kesulitan likuiditas untuk sementara waktu supaya dibantu; dan

2. Bank-bank yang nyata-nyata tidak sehat, supaya diupayakan penggabungan atau akuisisi dengan bank-bank lainnya yang sehat. Jika upaya ini tidak berhasil, supaya dilikuidasi sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dengan mengamankan semaksimal mungkin para deposan, terutama deposan kecil.

Sebagai langkah awal reformasi di bidang perbankan, tanggal 1 November 1997, atas rekomendasi International Monetary Fund (IMF) Pemerintah menjalankan program exit policy atau penutupan bank dengan mencabut izin usaha 16 bank

insolvent.33 Upaya ini dimaksudkan untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Namun yang terjadi justru sebaliknya, masyarakat malah semakin tidak percaya pada sistem perbankan nasional. Penarikan dana secara besar-besaran (rush) oleh nasabah melanda sebagian besar perbankan nasional. Nasabah memindahkan dananya terutama dari bank yang dianggap kurang dan tidak sehat, ke bank-bank yang dianggap lebih sehat. Dalam waktu sekejap, bank yang semula sehat karena domino effect beralih status menjadi bank sakit karena kesulitan likuiditas.34

32

Sukowaluyo Mintorahardjo, BLBI Simalakama Pertaruhan Kekuasaan Presiden Soeharto, (Jakarta : Riset Ekonomi Sosial Indonesia, 2001), hal 4. Di dalam Zulkarnain Sitompul, Perlindungan

Dana Nasabah….Op. Cit, hal 74 – 75.

33

Bank Insolvent adalah bank yang tidak mampu untuk memenuhi kewajiban jangka menengah dan panjang. Berbeda dengan Liquid yang memiliki konotasi bahwa suatu bank mempunyai kemampuan untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Bantuan likuiditas hanya diberikan pada bank yang illiquid tetapi solvent Membedakan suatu bank dalam keadaan illiquid dan insolvent sehingga layak untuk diberikan bantuan likuiditas, pada banyak kasus, hal ini termasuk grey area yang dapat menimbulkan kontroversi. Hasil Riset Bank Indonesia (Satgas BLBI) dengan HLB Hadori & Rekan, Studi Keuangan…Op. Cit, hal 33.

34

(44)

Sementara itu, kelangkaan kebutuhan pokok cukup merebak di masyarakat, hal ini sangat mengkhawatirkan karena terkait erat dengan ekspektasi masyarakat terhadap inflasi yang semakin tinggi. Beberapa bank yang sebelumnya tergolong sehat dan merupakan pemasok dana seperti Bank Central Asia (BCA), Bank Danamon dan Bank Pemerintah berubah posisinya yang awalnya dalam Pasar Uang Antar Bank (inter call money market) sebagai bank pemberi pinjaman (lending bank) menjadi bank peminjam (borrowing bank).

Selanjutnya pada akhir Januari 1998, Pemerintah mengambil kebijakan dengan pemberian jaminan pembayaran atas kewajiban bank-bank umum kepada deposan dan kreditur baik di dalam maupun luar negeri (blanket guarantee)35 melalui Keppres No. 26 Tahun 1998 Tentang Jaminan terhadap Pembayaran Bank Umum dan membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), hal ini dikarenakan pada saat itu Negara tidak memiliki sistem perlindungan nasabah secara eksplisit.36 Namun, kedua kebijakan ini tidak juga mereda krisis perbankan, bahkan krisis telah mulai melumpuhkan sistem perbankan nasional. Fenomena kesulitan likuiditas yang menyebabkan pelanggaran Giro Wajib Minimum (GWM) dan bahkan telah menyebabkan saldo debet (overdraft) pada rekening giro di BI itu semakin meluas di kalangan perbankan.

35

Blanket guarantee adalah penjaminan secara penuh kepada seluruh pemilik simpanan dan kreditur pada bank yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia. Jaminan tersebut berupa pembayaran terhadap seluruh kewajiban bank baik dalam Rupiah maupun valuta asing, meskipun untuk tagihan dalam valuta asing dibayarkan dalam bentuk Rupiah. Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana

Nasabah…. Op. Cit, hal 111.

36

(45)

Ditengah kondisi perbankan di ambang kehancuran, Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral menjalankan perannya untuk mengatasi kesulitan bank-bank dan mencegah efek domino terhadap sistem perbankan, mengucurkan apa yang dikemudian hari dikenal dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). BLBI semula diterjemahkan dari istilah yang dipergunakan IMF, yaitu Bank Indonesia

Liquidity Support. Kebijaksanaan yang dilakukan BI dalam pemberian BLBI merujuk

pada Pasal 32 ayat (3) Undang – Undang No. 13 Tahun 1968 Tentang Bank Sentral yang menyebutkan bahwa : ”Bank dapat pula memberikan likuiditas kepada bank – bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat.” Pasal ini sangat krusial dan paling menunjukkan bahwa eksistensi BLBI memang merupakan otoritas yang diberikan oleh Undang – Undang tersebut kepada BI. Selanjutnya di perkuat dalam Penjelasan Umum angka III Undang – Undang tersebut yang menyebutkan bahwa :

”Sungguhpun Bank Sentral menjalankan tugasnya berdasarkan garis – garis kebijakan Pemerintah di bidang moneter, namun dalam Undang – Undang ini kepada Bank Sentral diberikan beberapa wewenang yang ditujukan ke arah pemeliharaan dan jaminan dari pelaksanaan kebijaksanaan moneter itu yang sesuai dengan kebutuhan penjagaan kestabilan nilai satuan uang Rupiah dan perkembangan produksi dan pembangunan guna meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”37

Salah satu wewenang tersebut adalah di bidang perkreditan. Penjelasan Umum angka III huruf b mengatakan sebagai berikut :

”Bank Sentral dan perbankan pada umumnya diwajibkan mengikuti batas – batas yang telah ditetapkan dalam rencana kredit. Rencana kredit tersebut disusun oleh Bank Sentral untuk diajukan kepada Pemerintah melalui Dewan

37

Gambar

Tabel 1. Jenis Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
Tabel 2. Bank Dalam Penyehatan Kronologi Penyehatan Perbankan 1 April 1998 – 13 Maret 1999
Gambar 1. Skema Keterkaitan antara Bantuan Likuiditas dan Perekonomian

Referensi

Dokumen terkait