• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II BANK DAN RISIKO LIKUIDITAS

C. Bank dalam Masalah Likuiditas

Industri perbankan yang sehat dan berada dalam kondisi stabil berperan mutlak dalam kegiatan atau pembangunan ekonomi dalam pengertian bahwa lembaga keuangan tersebut terutama perbankan diyakini dapat memenuhi seluruh kewajibannya tanpa dukungan atau bantuan pihak luar (eksternal). Suatu negara bisa saja memiliki sistem perbankan yang kuat, dengan perekonomian yang lemah. Tetapi, tidak pernah dalam sejarah menunjukkan bahwa suatu negara dengan sistem perbankan yang lemah menjadikan perekonomiannya kuat.140

Pentingnya kesehatan lembaga keuangan, khususnya perbankan, dalam penciptaan sistem keuangan yang sehat mempunyai beberapa alasan, antara lain:141

1. Keunikan karakteristik perbankan yang rentan terhadap serbuan masyarakat yang menarik dana secara besar-besaran (bank runs) sehingga berpotensi merugikan deposan dan kreditur bank;

2. Penyebaran kerugian di antara bank-bank sangat cepat melalui contagion

effect sehingga berpotensi menimbulkan system problem;

3. Proses penyelesaian bank-bank bermasalah membutuhkan dana dalam jumlah yang tidak sedikit;

4. Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan sebagai lembaga intermediasi akan menimbulkan tekanan-tekanan dalam sektor keuangan (financial distress);

139

Hasil Riset Bank Indonesia (Satgas BLBI) dengan HLB Hadori & Rekan, Studi

Keuangan...Op. Cit, hal 17.

140

Zulkarnain Sitompul, Perlindungan Dana...Loc. Cit. 141

5. Ketidakstabilan sektor keuangan akan berdampak pada kondisi makro ekonomi, khususnya dikaitkan dengan tidak efektifnya transmisi kebijakan moneter.

Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan menyebutkan bahwa Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas asset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.142 Penilaian kesehatan bank dilakukan oleh Bank Indonesia secara teratur dan diberitahukan kepada bank secara berkala. Sistem penilaian tingkat kesehatan bank telah dimulai sekitar tahun 1970 dengan menggunakan kriteria yang dikembangkan dari asas-asas usaha bank dan perkreditan yang sehat. Dalam periode ini kriteria penilaian tingkat kesehatan tidak hanya didasarkan atas kriteria tradisional yaitu: aspek likuiditas, solvabilitas, dan rentabilitas, namun juga telah memasukkan unsur penilaian atas kemampuan modal untuk memikul resiko yang mungkin timbul dari kegiatan usahanya.143

Proses penyehatan dan penguatan perbankan telah mulai dirumuskan dalam PAKFEB 1991.144 Kebijakan tersebut mengadopsi ”Prudential Banking” (Prinsip

142

Pasal 29 angka (2) Undang-undang No. 10 tahun 1998 Tentang Perbankan. 143

Hasil Riset Bank Indonesia (Satgas BLBI) dengan HLB Hadori & Rekan, Studi Hukum ...

Op.Cit., hal 49.

144

Ketentuan penilaian tingkat kesehatan berdasarkan PAKFEB 1991 tersebut untuk pertama kalinya ditetapkan dalam Paket ketentuan antara lain sebagai berikut:

1. Surat Keputusan dan Surat Edaran Direksi Bank Indonesia tentang Penilaian Tingkat Kesehatan, yaitu masing-masing No. 23/81/KEP/DIR dan No. 23/21/BPPP tanggal 28 Februari 1991.

2. Surat Keputusan dan Surat Edaran Direksi Bank Indonesia tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank, masing-masing No. 23/67/KEP/DIR dan No. 23/11/BPPP tanggal 28 Februari 1991.

kehati-hatian dalam usaha perbankan), yang digunakan sebagai ”Best Practice

Guide” di dunia perbankan internasional. Beberapa ketentuan yang penting adalah

syarat kecukupan modal minimum (CAR), kewajiban penyisihan cadangan risiko, pengetatan klasifikasi likuiditas kredit (kolektibilitas) dan BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit).145

Ukuran kinerja bank umum yang lebih komprehensif adalah CAMEL, yang mencakup seluruh aspek yang penting dalam evaluasi kesehatan/ kinerja bank umum, yaitu : C = Capital Adequacy (tingkat kecukupan modal), A = Assets Quality (kualitas aktiva), M = Management Quality (kualitas manajemen), E = Earnings (kemampuan menghasilkan pendapatan), L = Liquidity (tingkat likuiditas).146 Teknik analisa CAMEL yang digunakan untuk penilaian kinerja keuangan bank mengacu pada ketentuan penilaian yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 30/ 2/ UUPPB/tgl30/4/1997 jo.SE No.30/ UUPPB/ tgl 19/03/1998.147

Dalam menentukan tingkat kesehatan suatu bank, pada mulanya Bank Indonesia menilai atas dasar 3 (tiga) kelompok faktor penilaian, yaitu :148

3. Surat Keputusan Direksi dan Surat Edaran Direksi Bank Indonesia tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Cadangan, masing-masing No. 23/68/KEP/DIR dan No. 23/12/BPPP tanggal 28 Februari 1991. Hasil Riset Bank Indonesia (Satgas BLBI) dengan HLB Hadori & Rekan, Studi Hukum…Op. Cit., hal 50.

145

Hasil Riset Bank Indonesia (Satgas BLBI) dengan HLB Hadori & Rekan, Studi

Hukum....Op. Cit, hal 41.

146

Manurung Mandala dan Prathama Rahardja, Op. Cit, hal 157. 147

M. Faisal Abdullah, Manajemen Perbankan (Teknik Analisis Kinerja Keuangan Bank), (Malang : Universitas Muhammadiyah Malang, 2005), hal 129 – 130.

148

Hasil Riset Bank Indonesia (Satgas BLBI) dengan HLB Hadori & Rekan, Studi

1. Faktor Penambah (CAMEL Reward System)

Aspek yang dinilai mencakup 5 (lima) faktor yang meliputi aspek permodalan (capital), kualitas aktiva produktif (asset liquidity), manajemen, rentabilitas (earnings) dan likuiditas sebagai faktor CAMEL. Setiap faktor yang dinilai terdiri dari beberapa komponen yang dikuantifikasikan dan diberi bobot sesuai dengan besarnya pengaruh terhadap kesehatan bank. Penilaian terhadap faktor CAMEL tersebut dilakukan dengan mengkuantifikasikan beberapa komponen penting dari masing – masing faktor yang seluruhnya berjumlah sembilan komponen dengan nilai kredit antara 0 sampai dengan 100.

2. Faktor Pengurang (Compliance/ Violation Penalty)

Aspek yang meliputi penilaian atas pemenuhan (compliance) dan pelanggaran

(violation) terhadap ketentuan kehati – hatian dalam pengelolaan bank (prudential banking regulation) yang terdiri atas :

a. Pelanggaran ketentuan BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit); b. Pelanggaran ketentuan PDN (Posisi Devisa Neto).

Pelanggaran atas BMPK dan PDN akan dikenakan sebagai faktor pengurang terhadap total nilai kredit.

3. Faktor Professional Judgement

Pada proses penilaian tingkat kesehatan bank penilaian secara profesional

(professional judgement) berupa analisis dan pengujian tambahan atas aspek tertentu

usaha bank yang belum dimasukkan dapat dilakukan untuk memperoleh tingkat kesehatan bank yang sebenarnya.

Sesuai dengan hasil penilaian maka tingkat kesehatan suatu bank dapat menurun apabila ditemukan adanya :149

a. Perselisihan internal antara pemegang saham dan pelaksana operasional perbankan dapat menimbulkan kesulitan pada bank bersangkutan;

b. Campur tangan dari pihak – pihak di luar bank tersebut dalam pengelolaan bank;

c. Indikasi terjadinya window dressing150 dalam akuntansi dan laporan bank yang secara signifikan mempengaruhi keadaan keuangan sehingga mengakibatkan terjadinya kekeliruan dalam penilaian terhadap bank;

149

Ibid, hal 31. 150

Window dressing is a strategy used by mutual fund and portfolio managers near the year

d. Ketidaksesuaian atau mismatch dalam pengelolaan likuiditas sehingga mengakibatkan penghentian dari keikutsertaan dalam kliring;

e. Praktik bank dalam bank dengan melakukan usaha di luar akuntansi perbankan.

Suatu bank dapat mengalami permasalahan likuiditas apabila mengalami permasalahan keuangan akibat ketidaksesuain antara arus kas masuk dengan arus kas keluar. Apabila permasalahan likuiditas tersebut tidak segera ditangani, dikhawatirkan kepercayaan nasabah terhadap bank tersebut merosot dan nasabah berbondong-bondong menarik uangnya (bank runs) sehingga bank dimaksud tidak berfungsi secara normal.151 Pengelolaan likuiditas merupakan salah satu hal yang

clients or shareholders. Performance reports and a list of the holdings in a mutual fund are usually sent to clients every quarter. To window dress, the fund manager will sell stocks with large losses and purchase high flying stocks near the end of the quarter. These securities are then reported as part of the fund's holdings. Another variation of window dressing is investing in stocks that don't meet the style of the mutual fund. For example, a precious metals fund might invest in stocks that are in a hot sector at the time, disguising the fund's holdings, so clients really have no idea what they are paying for. Window dressing may make a fund appear more attractive, but you can't hide poor performance for long. Investopedia, http://www.investopedia.com/terms/w/windowdressing.asp (Diakses Senin, 6

Juli 2009). Window dressing adalah suatu strategi yang digunakan oleh manajer dana dan portofolio sebelum akhir tahun atau perempat tahun untuk meningkatkan penampilan dari portofolio/keuangan sebelum memperkenalkannya pada klien atau shareholder. Laporan performa dan daftar dari perusahaan dalam keuangan yang sama biasanya dikirim ke klien setiap tiga bulan. Untuk melakukan window dressing, manajer keuangan akan menjual saham yang sangat merugikan dan membeli saham yang sedang naik pada saat akhir bulan ketiga. Sekuritas ini kemudian dilaporkan sebagai bagian dari dana perusahaan. Variasi lain dari window dressing adalah berinvestasi dalam stok yang tidak mempunyai jenis dana yang sama. Contohnya, logam berharga mungkin diinvestasikan dalam saham di sektor yang sedang beruntung pada saat itu, menyamarkan keuangan perusahaan, jadi klien benar- benar tidak tahu apa yang telah mereka bayarkan. Window dressing mungkin membuat keuangan kelihatan lebih menarik, tapi anda tidak dapat menyembunyikan keuangan yang buruk dalam jangka waktu yang lama.

Window dressing adalah penyajian laporan keuangan yang lebih baik daripada keadaaan

sesungguhnya. Kamus Keuangan, http://www.perencanakeuangan.com/files/wl.html (Diakses Senin, 17 Mei 2009). Secara politis, window dressing akan membuat pemerintahan seolah-olah berhasil mencapai target-targetnya. Tempointeraktif, “Ekonom Kuatir Pemerintah Melakukan Window

Dressing”, http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2007/10/21/brk.20071021-109827.id.html, (Diakses Senin, 6 Juli 2009).

151

Bank Runs sangat rentan terhadap rumor yang dengan mudah menyebar dan makin besar yang dapat berpengaruh pada tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. Suatu bank dapat kolaps apabila semua nasabah percaya terhadap rumor yang berkembang ditengah masyarakat dan kemudian semua bertindak menarik simpanannya. Bank tersebut tidak akan mampu melikuidasi

sangat mempengaruhi indikator penentuan penurunan kesehatan suatu bank. Dalam pengelolaan likuiditas dikenal beberapa komponen/ unsur yakni Giro Wajib Minimum, Rekening Giro di Bank Indonesia, Dana Pihak Ketiga (DPK), dan Cadangan Kedua.152

Ad. 1. Giro Wajib Minimum/Cadangan Wajib

Pengelolaan likuiditas dalam kaitannya dengan Giro Wajib Minimum ditentukan dengan menggunakan suatu formula yang berlaku umum bagi semua bank. Perbandingan antara Total Saldo Giro Bank Indonesia Harian yang dipelihara oleh seluruh cabang pada suatu bank dengan rata – rata kewajiban kepada masyarakat atau DPK yang ada di seluruh cabang dari bank yang bersangkitan pada 2 (dua) periode sebelumnya. Bank Indonesia menentukan bahwa GWM harian minimal sebesar 5%. Menjaga agar GWM dalam batas minimal yang ditetapkan Bank Indonesia dan alat likuid/ kas tetap tersedia harus dijadikan prioritas utama dalam kegiatan bank sehari – hari. Dalam ketentuan perhitungan GWM, rata – rata DPK setiap bulannya dibagi menjadi 4 (empat) periode sebagai berikut :

i) Periode I yaitu tanggal 1 s/d 7, ii) Periode II yaitu tanggal 8 s/d 15, iii) Periode III yaitu tanggal 16 s/d 23,

iv) Periode IV yaitu tanggal 24 s/d akhir bulan.

asetnya dalam waktu singkat untuk dapat memenuhi efek domino terhadap bank lain sehingga bank – bank lain kesulitan memenuhi kewajiban pembayaran kepada nasabahnya (dampak sistemik). Naskah Akademik Rancangan Undang – Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK), http://www.jpsk.info/publish/detail.php?module=det_naskah&id=11(Diakses Jum’at, 31 Juli 2009).

152

Hasil Riset Bank Indonesia (Satgas BLBI) dengan HLB Hadori & Rekan, Studi

Ad. 2. Saldo Giro Bank pada Bank Indonesia

Saldo Giro Bank pada Bank Indonesia terdiri dari saldo giro yang dicatat dalam pembukuan Bank Indonesia. Saldo giro bank ini meliputi seluruh saldo giro cabang – cabangnya di Kantor – kantor Cabang Bank Indonesia di seluruh Indonesia. Di wilayah DKI Jakarta dari berbagai cabang dari suatu bank, Bank Indonesia hanya memperkenankan dipelihara 1 (satu ) rekening giro saja, dengan demikian hasil kliring cabang – cabang tersebut akan ditampung di satu rekening tersebut. Besarnya giro Bank Indonesia yang diperlukan oleh setiap bank setiap harinya ditentukan oleh :

a. Besarnya penarikan tunai dalam operasional sehari – hari; b. Besarnya kewajiban jatuh tempo yang harus dipenuhi oleh bank; c. Besarnya komitmen kredit yang akan ditarik;

d. Batas minimal 5% dari Dana Pihak Ketiga.

Ad. 3. Dana Pihak Ketiga (DPK)

DPK dalam rupiah meliputi jumlah dana milik masyarakat yang ada pada seluruh cabang dari bank yang bersangkutan baik berupa Giro, Tabungan, Deposito maupun kewajiban lainnya kepada masyarakat seperti Transfer yang belum dibayarkan, dan lain – lain. DPK dalam rupiah ini tidak termasuk dana yang diterima hasil transaksi money market dengan Bank komersial lainnya, atau dari Bank Indonesia.

Ad. 4. Cadangan Kedua (Secondary Reserve)

Selain Cadangan Wajib dikenal pula sejenis cadangan lainnya yang biasa disebut dengan Cadangan Kedua. Sifat cadangan ini adalah tidak wajib namun demikian dengan tujuan untuk keamanan bank itu sendiri bila suatu saat jumlah Giro

Bank Indonesia tidak memenuhi syarat minimal 5%. SBI dan SUN merupakan surat berharga bank yang dapat berfungsi sebagai cadangan kedua. Sertifikat ini diterbitkan oleh Bank Indonesia dan risikonya nihil karena pengembalian pokok dan bunganya dijamin langsung oleh Bank Indonesia. Surat Promes yang dikeluarkan oleh para debitur – lebih dikenal dengan Sertifikat Berharga Pasar Uang (SBPU) dapat dijual/ diskonto ke Bank Indonesia dalam upaya untuk menambah likuiditas, walaupun ketersediaan likuiditas sangat tergantung dari kebijakan Bank Indonesia. Surat berharga semacam ini dapat diklasifikasikan sebagai Cadangan Ketiga.

Ketidaksesuaian atau mismatch dalam pengelolaan likuiditas mengakibatkan penghentian dari keikutsertaan dalam kliring. Kinerja dan kestabilan perbankan dalam praktek sehari – hari dapat dipantau dari mekanisme pelaksanaan kliring antar bank. Kliring adalah pertukaran warkat atau data keuangan elektronis antar bank, baik atas nama bank maupun atas nama nasabah yang hasil perhitungannya diselesaikan dalam waktu tertentu.153

Dalam penyelenggaraan kliring tersebut BI sebagai pengatur, penyelenggara, pengawas ketertiban dan kelancaran kliring. Pengaturan kliring oleh BI mencakup antara lain tata kerja dan prosedur kliring, tata kerja dan prosedur penyelesaian perhitungan kliring, mekanisme kliring dengan Pasar Uang Antar Bank dan penetapan jadwal kliring. Peserta kliring terdiri atas bank yang memenuhi syarat sebagai peserta kliring baik sebagai peserta langsung maupun peserta tidak langsung.

153

Hasil Riset Bank Indonesia (Satgas BLBI) dengan Hadori & Rekan, Studi Hukum.... Op.

Sesuai dengan perkembangan bank di Indonesia jumlah peserta kliring maupun jumlah dan nilai nominal warkat – warkat yang diperhitungkan dalam kliring dari waktu ke waktu menunujukkan peningkatan.

Salah satu kewajiban penting dari bank sebagai peserta kliring adalah memelihara rekening giro pada BI sejumlah tertentu yang disebut GWM. Ada 2 (dua) tujuan dari penetapan GWM tersebut yaitu :154

(1) Secara mikro, tersedianya dana siaga dari setiap bank agar setiap waktu dapat membayar kewajibannya;

(2) Secara makro, merupakan sarana pengawasan bank dan pengendalian moneter yaitu untuk meredam ekses likuiditas yang berlebihan dari perbankan yang dapat mendorong ekspansi yang berlebihan atau spekulasi.

Memperhatikan tujuan dari GWM tersebut, pada umumnya bank memelihara giro pada BI sedikit lebih besar dari GWM, dengan memperlihatkan kebiasaan penarikan dan penyetoran oleh nasabah bank serta berjaga – jaga dari hal – hal yang tidak terduga.

Melalui mekanisme perhitungan kliring dapat dilakukan pemantauan terhadap kestabilan dan manajemen likuiditas bank antara lain dari indikator sebagai berikut:155

(1) Kalah Kliring atau Menang Kliring

Perhitungan kliring menghasilkan kompilasi besarnya pembayaran yang akan diterima dan besarnya tagihan yang harus dibayar oleh setiap bank peserta kliring. Bila besarnya pembayaran yang akan diterima lebih kecil dari jumlah tagihan yang harus dibayar, disebut kalah kliring.

Kalah kliring belum merupakan indikator buruk sepanjang bank tersebut dapat segera mengatasinya, yaitu terdukung oleh saldo gironya pada BI atau dengan

154

Loc. Cit. 155

tambahan dana baik yang diusahakan dari bank sendiri atau melalui pinjaman antar bank. Tetapi bila kalah kliring terjadi dalam frekuensi yang sering apalagi berkelanjutan, maka hal itu merupakan suatu indikasi bahwa manajemen likuiditas bank tersebut kurang baik atau sedang menghadapi kesulitan likuiditas.

Bank yang kondisinya seperti di atas biasanya sulit untuk memperoleh pinjaman dari Pasar Uang Antar Bank, kalaupun dapat dengan bunga yang cukup tinggi dibanding dengan bank lainnya. Bila kekalahan kliring tersebut sampai dengan proses Penyelesaian Akhir oleh BI tidak dapat ditutup dengan dana yang cukup maka terjadilah Saldo Debet.

(2) Bank yang mengalami saldo debet dalam rekening gironya pada BI sebelum proses Penyelesaian Akhir ditutup, memberikan indikasi bahwa bank tersebut sedang mengalami kesulitan likuiditas

Dalam kondisi seperti tersebut, bank yang bersangkutan diwajibkan mengusahakan dana yang cukup untuk menutup saldo debet tersebut, baik melalui pinjaman antar bank (PUAB) atau sumber dana lain. Bila upaya tersebut tidak berhasil sampai dengan penutupan Perhitungan Akhir oleh BI, maka terjadilah Saldo Negatif.

(3) Saldo Negatif

Sesuai dengan ketentuan/ perjanjian penyertaan kliring, maka terhadap bank yang mengalami saldo negatif diwajibkan untuk dapat mengatasinya/ menutupnya sampai dengan pukul 09.00 WIB hari kerja berikutnya. Terhadap bank yang mengalami saldo negatif dan tidak dapat menutupnya dalam batas waktu yang ditetapkan, dapat dikenakan skors dari kliring. Pengenaan sanksi skorsing tersebut dilakukan dengan hati – hati oleh BI karena dapat memiliki implikasi yang luas baik terhadap nasabah bank, bank lain atau bank itu sendiri.

Melalui mekanisme yang telah ditetapkan dilakukan analisis dan evaluasi terhadap besarnya saldo negatif, faktor yang menyebabkan terjadinya saldo negatif dan permasalahan yang dihadapi oleh bank, guna menentukan apakah bank tersebut segera diskors dari kliring atau terlebih dahulu diberi kesempatan untuk dilakukan upaya penyelamatan/ penyehatan. Sementara dalam proses penyelamatan/ penyehatan bank yang bersangkutan mendapat pengawasan yang intensif oleh BI. Saldo negatif yang tercatat pada bank tersebut sedang dalam proses penyelematan tersebut tergolong dalam salah satu jenis BLBI.

Beberapa strategi represif yang diterapkan untuk mengatasi krisis likuiditas dapat dijelaskan sebagai berikut :156

1. Meminjam dari Pasar Uang

Pasar Uang Antar Bank (interbank call money market)157 merupakan sumber

dana utama untuk mengatasi kekurangan likuiditas. Bank yang mengalami kekurangan likuiditas dapat meminjam dari bank lain yang kelebihan dana atau

overliquid melalui instrumen yang tersedia di pasar uang. Dalam kaitannya dengan

pinjaman antarbank ini, biasanya masing – masing bank mempunyai credit line dengan bank lainnya. Credit line ini disediakan berdasarkan hasil analisis tertentu dan pemanfaatannya tergantung tersedia tidaknya dana. Pada saat bank mengalami kekurangan likuiditas, bank tersebut dapat memanfaatkan credit line yang diberikan oleh bank lain sejauh dananya tersedianya dari pemberi credit line. Pinjaman yang diterima dari bank lain dapat dipakai untuk menutup kekurangan likuiditas sehingga krisis likuiditas yang nyaris terjadi dapat dihindarkan.

156

Julius R. Latumaerissa, Mengenal Aspek – Aspek Operasi Bank Umum, ( Jakarta : Bumi Aksara, 1999), hal 38 – 39.

157

Pasar Uang Antar Bank (interbank call money market) dibentuk dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan dana – dana bank misalnya :

a. Bank – bank yang sangat memerlukan dana tambahan untuk menutup kekalahan kliring pada hari yang bersangkutan dan/ atau untuk memenuhi ketentuan kewajiban pemelihaaraan likuiditas.

b. Bank – bank yang mempunyai kelebihan dana (idle) dapat menjadikan dana tersebut untuk

earning assets dalam rangka mendapat rentabilitas yang optimal dengan cara meminjam

hanya untuk waktu yang relatif pendek.

Yang ikut serta dalam Pasar uang antar bank adalah Bank – bank umum dan Bank – bank pembangunan yang menjadi peserta kliring di tempat pasar uang antar bank diselenggarakan. Setiap bank diwakili oleh kantor pusat atau cabangnya yang ditetapkan oleh Direksi bank yang bersangkutan. Thomas Suyatno dkk, Kelembagaan Perbankan, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2005), hal 86.

2. Mengkonversikan Dana Valuta Asing yang dimiliki

Alternatif lain yang dapat diterapkan untuk mengatasi krisis likuiditas (rupiah) ialah dengan menjual dana valas (valuta asing) yang dimiliki. Valuta asing yang ditukarkan rupiah sehingga posisi uang kas bank yang bersangkutan mengalami peningkatan. Apabila bank yang bersangkutan menjual valasnya ke Bank Indonesia, maka rekening bank yang bersangkutan menjual valasnya ke Bank Indonesia, maka rekening bank yang bersangkutan di Bank Indonesia akan di kredit. Pengkreditan rekening bank yang dimaksud dapat dipakai untuk menutup kekurangan likuiditas yang nyaris terjadi.

3. Meminjam Valuta Asing dari Pasar Uang Internasional

Dalam kondisi tertentu seperti langkanya dana rupiah akibat kebijakan uang ketat misalnya bank dalam negeri dapat mengalami kesulitan untuk meminjam dana dari bank lain. Apabila hal ini terjadi, bank yang bersangkutan dapat mempertimbangkan untuk meminjam di pasar uang internasional. Hasil pinjaman valas ini kemudian dijual ke Bank Indonesia untuk ditukarkan menjadi rupiah. Dengan cara ini uang kas rupiah bank yang bersangkutan meningkat sehingga dapat dipakai untuk menutup krisis likuiditas yang semula akan menimpa bank tersebut.

4. Memanfaatkan Fasilitas Diskonto (Discount Facility)

Pemberian fasilitas ini diberikan berkaitan dengan fungsi Bank Indonesia sebagai lender of the last resort. Fasilitas ini diberikan agar kepercayaan masyarakat terhadap bank secara umum dapat terjaga. Namun apabila bank sering menggunakan fasilitas ini dapat memberikan kesan yang kurang baik bagi kapabilitas manajemen

bank. Dengan fasilitas diskonto ini bank sentral dapat mempengaruhi permintaan pinjaman dari bank melalui pengaturan terhadap tinggi atau rendahnya tingkat diskonto yang diberikan kepada bank peminjam. Fasilitas diskonto ini disebut juga Fasdis. Fasdis adalah penyediaan dana jangka pendek oleh Bank Indonesia dengan cara pembelian promes yang diterbitkan bank atas dasar diskonto. Fasdis dapat dibagi menjadi dua, yakni Fasdis I dan Fasdis II. Fasdis I disediakan dalam rangka memperlancar pengaturan dana bank sehari – hari. Fasdis II diberikan untuk memudahkan bank dalam menanggulangi kesulitan pendanaan karena rencana pengerahan dana tidak sesuai dengan penarikan kredit jangka menengah atau jangka