• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PRINSIP PERLINDUNGAN HUKUM KEPADA PIHAK YANG DIRUGIKAN DALAM PERJANJIAN KONSTRUKSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PRINSIP PERLINDUNGAN HUKUM KEPADA PIHAK YANG DIRUGIKAN DALAM PERJANJIAN KONSTRUKSI"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PRINSIP PERLINDUNGAN HUKUM KEPADA PIHAK YANG DIRUGIKAN DALAM PERJANJIAN KONSTRUKSI

1. Pengertian Tentang Perjanjian Borongan

Sumber hukum kontrak di Indonesia yang berbentuk perundang-undangan adalah KUH Perdata, khususnya buku III. Bagian-bagian buku III yang berkaitan dengan kontrak adalah sebagai berikut:37

a. Pengaturan tentang perikatan perdata. Pengaturan ini merupakan pengaturan pada umumnya, yakni yang berlaku baik untuk perikatan yang berasal dari kontrak maupun yang berlaku karena undang-undang.

b. Pengaturan tentang perikatan yang timbul dari kontrak. Pengaturan perikatan yang timbul dari kontrak ini menurut KUH Perdata diatur dalam Bab II Buku III.

c. Pengaturan tentang hapusnya perikatan. Pengaturan ini terdapat dalam Bab IV Buku III.

d. Pengaturan tentang kontrak-kontrak tertentu. Pengaturan ini terdapat dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII Buku III.

Sebagai bentuk perjanjian tertentu, maka perjanjian pemborongan tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan umum perjanjian yang diatur dalam title I sampai dengan IV Buku III KUH Perdata. Dalam Buku III KUH Perdata, diatur mengenai ketentuan-ketentuan umum yang berlaku terhadap semua perjanjian yaitu perjanjian-perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata maupun jenis perjanjian-perjanjian baru yang belum ada aturannya dalam Undang-undang. Sebagai dasar perjanjian pemborongan bangunan KUHPerdata mengatur dalam Pasal 1601 butir (b).

(2)

Menurut Subekti, pemborongan pekerjaan (aanneming van werk) ialah suatu perjanjian, dimana satu pihak menyanggupi untuk keperluan pihak lainnya, melakukan suatu pekerjaan tertentu dengan pembayaran upah yang ditentukan pula.38 Pemborongan pekerjaan merupakan persetujuan antara kedua belah pihak yang menghendaki hasil dari suatu pekerjaan yang disanggupi oleh pihak lainnya, atas pembayaran sejumlah uang sebagai harga hasil pekerjaan. Disini tidaklah penting bagi pihak yang memborongkan pekerjaan bagaimana pihak yang memborong pekerjaan mengerjakannya, karena yang dikehendaki adalah hasil dari pekerjaan tersebut, yang akan diserahkan kepadanya dalam keadaan baik (mutu dan kwalitas/kwantitas) dalam jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian.

Perjanjian pemborongan bangunan dapat dilaksanakan secara tertutup, yaitu antar pemberi tugas dan kontraktor atau terbuka yaitu melalui pelelangan umum atau tender. Lain halnya dengan pemborongan bangunan milik pemerintah dimana harus diadakan pelelangan. Kontrak kerja dapat dibedakan dalam 2 jenis yaitu:39

1. Kontraktor hanya melakukan pekerjaan saja, sedangkan bahan-bahannya disediakan oleh pemberi tugas.

2. Kontraktor melakukan pekerjaan dan juga menyediakan bahan-bahan bangunan. Dalam hal kontraktor hanya melakukan pekerjaan saja, jika barangnya musnah sebelum pekerjaan diserahkan, maka ia bertanggung jawab dan tidak dapat menuntut harga yang diperjanjikan kecuali musnahnya barang itu, karena suatu cacat yang terdapat di dalam bahan yang disediakan oleh pemberi tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1606 dan 1607 KUH Perdata.

38Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Bandung, 1987, hal 174. 39Ibid

(3)

Menurut Subekti, Undang – Undang Membagi perjanjian untuk melakukan pekerjaan dalam tiga macam yaitu :40

a. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu:

Adalah perjanjian dimana satu pihak menghendaki dari pihak lainnya dilakukan suatu pekerjaan untuk mencapai tujuan, untuk mana ia bersedia membayar upah, sedangkan apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut sama sekali tergantung pada pihak lainnya.

b. Perjanjian kerja / perburuhan

Adalah perjanjian dimana pihak yang satu, si buruh mengikatkan dirinya untuk dibawah perintah pihak yang lainnya yaitu si majikan, untuk suatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah.

c. Perjanjian pemborongan pekerjaan

Adalah perjanjian dimana pihak yang satu, si pemborong mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang memborongkan dengan menerima suatu harga yang ditentukan.

Dilihat dari obyeknya, perjanjian pemborongan bangunan mirip dengan perjanjian lain yaitu perjanjian kerja dan perjanjian melakukan jasa, yaitu sama sama menyebutkan bahwa pihak yang satu menyetujui untuk melaksanakan pekerjaan pihak lain dengan pembayaran tertentu. Perbedaannya satu dengan yang lainnya ialah bahwa pada perjanjian kerja terdapat hubungan kedinasan atau kekuasaan antara buruh dengan majikan. Pada pemborongan bangunan dan perjanjian melakukan jasa tidak ada hubungan semacam itu, melainkan melaksanakan pekerjaan yang tugasnya secara mandiri.41

Ketentuan pemborongan pada umumnya diatur dalam Pasal 1601 sampai dengan Pasal 1617 KUH Perdata. Perjanjian pemborongan bangunan juga memperhatikan berlakunya ketentuan-ketentuan perjanjian untuk melakukan

40R. Subekti, Aneka Perjanjian, Op.Cit, hal 57

41 Sri Soedewi Masjchun Sofwan. Hukum Bangunan, Perjanjian Pemborongan Bangunan, Liberty Yogyakarta. 1982. hal 52.

(4)

pekerjaan, khususnya bagi bangunan yang diatur dalam KUH Perdata yang berlaku sebagai hukum pelengkap peraturan tersebut pada umumnya mengatur tentang hak-hak dan kewajiban pemborong yang harus diperhatikan baik pada pelaksanaan perjanjian, dan berakhirnya perjanjian. Pemborong bertanggungjawab dalam jangka waktu tertentu, pada masa ini pemborong wajib melakukan perbaikan jika terbukti adanya cacat ataupun kegagalan bangunan. Dalam prakteknya pemborong bertanggungjawab sampai masa pemeliharaan sesuai dengan yang tertulis dikontrak.

Menurut Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi: kegagalan bangunan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan terhitung sejak penyerahan akhir pekerjaan konstruksi dan paling lama 10 (sepuluh) tahun.

2. Bentuk Perjanjian Pemborongan Pekerjaan

Perjanjian pemborongan bersifat konsensuil, artinya perjanjian pemborongan lahir sejak adanya kata sepakat antara kedua belah pihak, yaitu pihak yang memborongkan dengan pihak pemborong mengenai suatu karya dan harga borongan/kontrak. Dengan adanya kata sepakat tersebut, perjanjian pemborongan mengikat kedua belah pihak artinya para pihak tidak dapat membatalkan perjanjian tanpa persetujuan pihak lainnya. Perjanjian pemborongan bentuknya bebas (vormvrij) artinya perjanjian pemborongan dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis. Dalam prakteknya, apabila perjanjian pemborongan menyangkut harga borongan kecil, biasanya perjanjian pemborongan dibuat secara lisan, sedangkan apabila perjanjian

(5)

pemborongan dengan biaya agak besar maupun besar, perjanjian pemborongan dibuat secara tertulis, baik dengan akta dibawah tangan maupun dengan akta otentik (akta notaris).

3. Jenis Perjanjian Pemborongan Pekerjaan

Menurut cara terjadinya perjanjian pemborongan pekerjaan dapat dibedakan dalam:42

a. Perjanjian pemborongan pekerjaan yang diperoleh sebagai hasil pelelangan atas dasar penawaran yang diajukan

b. Perjanjian pemborongan pekerjaan atas dasar penunjukkan

c. Perjanjian pemborongan pekerjaan yang diperoleh sebagai hasil perundingan antara pemberi tugas dengan pemborong.

Sedangkan menurut cara penentuan harganya perjanjian pelaksanaan pemborongan itu dapat dibedakan atas 4 bentuk utama sebagai berikut:43

1. Perjanjian pelaksanaan pemborongan dengan harga pasti (fixed price). Disini harga pemborongan telah ditetapkan secara pasti, ialah baik mengenai harga kontrak maupun harga satuan.

2. Perjanjian pelaksanaan pemborongan dengan harga lumpsum. Disini harga borongan diperhitungkan secara keseluruhan.

42Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

(6)

3. Perjanjian pelaksanaan pemborongan atas dasar satuan (unit price), yaitu harga yang diperhitungkan untuk setiap unit. Disini luas pekerjaan ditentukan menurut jumlah perkiraan jumlah unit.

4. Perjanjian pelaksanaan pemborongan atas dasar jumlah biaya dan upah (cost plus fee). Disini pemberi tugas akan membayar pemborongan dengan jumlah biaya yang sesungguhnya yang telah dikeluarkan ditambah dengan upahnya.

Pada umumnya pemborongan pekerjaan dikenal dua prosedur pemilihan pemborongan, yaitu44:

a. Pemilihan kontraktor secara negosiasi (Penunjukan Langsung)

Melalui sistem negosiasi, pemilihan kontraktor tidak dilakukan dengan suatu tender tertentu, akan tetapi pihak pemilik pekerjaan bernegosiasi langsung dengan pihak pemborong untuk memastikan apakah kontraktor tersebut dapat dipilih untuk mengerjakan proyek yang bersangkutan. Sehingga prosedur negosiasi ini praktis lebih bersifat informal. Dalam hal ini pihak pemilik pekerjaan mengontak satu atau lebih pemborong yang menurut penilaiannya mampu mengerjakan pekerjaan dimaksud, sambil menginformasikan persyaratan-persyaratan untuk itu. Biasanya pihak pemilik pekerjaan memintakan pihak pemborong untuk memasukkan juga penawaran kepada pihak pemilik pekerjaan.

b. Pemilihan Kontraktor secara tender (Pemilihan Umum)

44Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah

(7)

Ada dua macam tender yang lazim dilakukan dalam praktek, yaitu pertama sistem tender terbuka, pada sistem ini tender mengundang semua pihak yang berkepentingan untuk berpartisipasi dalam tender tersebut, dalam hal ini dapat diumumkan dengan cara pemasangan iklan dimedia massa, internet. Kemudian tender terbatas, yaitu hanya beberapa pihak tertentu saja untuk berpartisipasi dalam tender tersebut. Tentu saja sungguh pun sistem tender ini terkesan formal dengan dokumentasi yang lebih rumit akan tetapi sistem ini mengandung manfaat yang lebih nyata, antara lain dengan semakin banyaknya pihak yang berpartisipasi dalam tender tersebut, tentu akan dikemukakan semakin banyak pilihan yang pada akhirnya akan menemukan kontraktor yang terbaik.

4. Isi Perjanjian Pemborongan Pekerjaan

Isi perjanjian pemborongan pada umumnya adalah sebagai berikut:45

a. Luasnya pekerjaan yang harus dilaksanakan dan memuat uraian tentang pekerjaan dan syarat-syarat pekerjaan yang disertai dengan gambar (bestek) dilengkapi dengan uraian tentang bahan material, alat-alat, dan tenaga kerja yang dibutuhkan.

b. Penentuan tentang harga pemborongan.

c. Mengenai jangka waktu penyelesaian sengketa d. Mengenai sanksi dalam hal terjadinya wanprestasi e. Tentang resiko dalam hal terjadi Overmacht f. Penyelesaian jika terjadi perselisihan

g. Hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian pemborongan 5. Pihak-Pihak Dalam Perjanjian Pemborongan Pekerjaan

Dengan adanya perjanjian pemborongan selalu ada pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian pemborongan. Adapun pihak-pihak yang terlibat adalah:46

45Sri Soedewi Masjchun Sofwan. Op.cit, hal 62

(8)

a. Pemberi Tugas (Bouwheer)

Pemberi tugas dapat berupa perorangan, badan hukum, instansi pemerintah ataupun swasta. Sipemberi tugaslah yang mempunyai prakarsa memborongkan bangunan sesuai dengan kontrak dan apa yang tercantum dalam bestek dan syarat-syarat. Dalam pemborongan pekerjaan umum dilakukan oleh instansi pemerintah, direksi lazim ditunjuk dari instansi yang berwenang, biasanya dari instansi pekerjaan umum atas dasar penugasan ataupun perjanjian kerja.47

Adapun hubungan antara pemberi tugas dengan perencana jika pemberi tugas adalah pemerintah dan perencana juga dari pemerintah maka terdapat hubungan kedinasan. Jika pemberi tugas dari pemerintah dan atau swasta, perencana adalah pihak swasta yang bertindak sebagai penasihat pemberi tugas, maka hubungannya dituangkan dalam perjanjian melakukan jasa-jasa tunggal. Sedangkan apabila pemberi tugas dari pemerintah atau swasta dengan perencana dari phak swasta yang bertindak sebagai wakil pemberi tugas (sebagai direksi) maka hubungannya dituangkan dalam perjanjian pemberian kuasa (Pasal 1792-1819 KUH Perdata).

b. Pemborong (kontraktor)

(9)

Pemborong adalah perseorangan atau badan hukum, swasta maupun pemerintah yang ditunjuk untuk melaksanakan pekerjaan pemborongan bangunan sesuai dengan bestek.48

Penunjukan sebagai pelaksana bangunan oleh pemberi tugas dapat terjadi karena pemborong menang dalam pelelangan atau memang ditetapkan sebagai pelaksana oleh pemberi tugas. Dalam perjanjian pemborongan, pemborong dimungkinkan menyerahkan sebagian pekerjaan tersebut kepada pemborong lain yang merupakan subkontraktor berdasarkan perjanjian khusus.

c. Perencana (arsitek)

Arsitek adalah perseorangan atau badan hukum yang berdasarkan keahliannya mengerjakan perencanaan, pengawasan, penaksiran harga bangunan, memberi nasehat, persiapan dan melaksanakan proyek dibidang teknik pembangunan untuk pemberi tugas.

d. Pengawas (Direksi)

Direksi bertugas untuk mengawasi pelaksanaan pekerjaan pemborong. Disini pengawas memberi petunjuk-petunjuk memborongkan pekerjaan, memeriksa bahan-bahan, waktu pembangunan berlangsung dan akhirnya membuat penilaian opname dari pekerjaan. Selain itu, pada waktu pelelangan yaitu: mengadakan pengumuman pelelangan yaitu: Mengadakan pengumuman pelelangan yang akan dilaksanakan, memberikan penjelasan mengenai RKS

48FX.Djumialdji. Hukum Bangunan Dasar-dasar Hukum Dalam Proyek dan Sumber Daya Manusia, Rineka Cipta, Jakarta, hal 8

(10)

(Rencana Kerja dan Syarat-syarat) untuk pemborongan-pemborongan/pembelian dan membuat berita acara penjelasan, melaksanakan pembukuan surat penawaran,mengadakan penilaian dan menetapan calon pemenang serta membuat berita acara hasil pelelangan dan sebagainya.49

Fungsi mewakili yang terbanyak dari direksi adalah pada fase pelaksana pekerjaan dimana direksi bertindak sebagai pengawas terhadap pekerjaan pemborong. Jadi kewenangan mewakili dari direksi ini ada selama tidak ditentukan sebaliknya oleh pemberi tugas secara tertulis dalam perjanjian yang bersangkutan bahwa dalam hal-hal tertentu hanya pemberi tugas yang berwenang menangani.50

6. Hak dan Kewajiban Para Pihak

Mengenai hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian pemborongan.51 a. Pihak Pemberi Pekerjaan Pemborongan Bangunan

1. Hak pemberi tugas dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu :

a. Hak utama yaitu menerima hasil pekerjaan secara utuh dan sesuai ketentuan yang dibuat dalam perjanjian diterima sesuai dengan keinginan pihak pemberi tugas dan diselesaikan sesuai jadwal waktunya.

b. Hak tambahan adalah :

1. Mengetahui jalannya pekerjaan pemborongan di lapangan

49Ibid, hal 12 50Ibid,hal 53

51 Syarat – Syarat Umum Khusus Kontrak, yang ada pada dokumen lelang yang diberikan pada saat pendaftaraan atau dapat didownload pada website pemilk pekerjaan.

(11)

2. Mengecek jalannya pelaksanaan pekerjaan di lapangan apakah sudah sesuai dengan perjanjian atau tidak

3. Memperoleh laporan bulanan mengenai hasil kemajuan pekerjaan b. Kewajiban pihak pemberi kerja (owner) dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian

yaitu:

1. Kewajiban utama adalah melakukan pembayaran sesuai dengan nilai kontrak dari pihak pemborong jika pemborong telah menyelesaikan pekerjaannya. 2. Kewajiban tambahan yaitu :

a. Membayar uang maka pekerjaan (down payment) kepada pihak pemborong setelah menerima jaminan pelaksanaan dari pihak pemborong. b. Memberikan pengarahan dan bimbingan apabila dalam pelaksanaan

pekerjaan lapangan terdapat hal-hal menyimpang di luar isi perjanjian. c. Memberikan biaya tambahan atas kenaikan harga atau jasa sehubungan

dengan pekerjaan tersebut. c. Pihak Pemborong

1. Hak pihak pemborong dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu:

a. Hak utama adalah menerima pembayaran sebesar nilai kontrak dari pihak pemberi tugas

b. Hak tambahan adalah :

1. Hak mendapatkan uang muka (down payment) dari pihak pemberi borongan pekerjaan bangunan sesuai dengan yang diperjanjikan.

(12)

2. Berhak menuntut tambahan biaya atas kenaikan harga barang atau jasa sehubungan dengan perkerjaan itu dengan syarat telah mendapat ijin dari pemberi borongan pekerjaan tentang klaim yang diajukan pihak pemborong

3. Mendapat pengarahan dan bimbingan dari pemberi tugas dalam melaksanakan pekerjaan pemborongan bangunan

4. Mencari tambahan dana dari pihak ketiga

2. Kewajiban pihak pemborong pekerjaan dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu:

a. Kewajiban utama adalah menyelesaikan pekerjaan pemborongan pekerjaan bangunan yang diberikan pihak pemberi borongan pekerjaan.

b. Kewajiban tambahan, antara lain meliputi :

1. Menaati dan melaksanakan ketentuan umum yang berlaku di Indonesia termasuk ketentuan mengenai hubungan ketenagakerjaan dan keselamatan kerja.

2. Harus menyelesaikan pekerjaannya sendiri, tidak boleh menyerahkan atau menguasakan secara keseluruhan kepada pihak ketiga

3. Mengadakan tindakan preventif agar pelaksanaan pekerjaan dapat dilaksanakan dengan cara yang benar dan tidak membahayakan keselamatan, baik bagi para pekerja atau yang berdampak buruk bagi masyarakat sekitar.

(13)

4. Pemborong wajib mengasuransikan tenaga kerjanya dan harus melaporkan pada pemberi tugas.

5. Melakukan pekerjaan pemeliharaan pekerjaan selama waktu yang diperjanjiakan sejak penyerahan pertama dilakukan

6. Membuat laporan setengah harian, Mingguan dan setengah bulan atas kemajuan fisik yang dicapai dalam pelaksanaan pekerjaan

7. Mengadakan pemberitahuan secara tertulis apabila terjadi force majeure pada pihak pemberi tugas.

8. Jika ada kekurangan atau kekeliruan dalam gambar bestek, maka pemborong wajib memberitahukan pada pemberi tugas dan pemborong wajib bertanggung jawab atas kekurangan serta keamanan dan konstruksi hasil pekerjaan, sehingga jika pekerjaan yang tidak baik, pemborong masih berkewajiban memperbaiki atas biaya pemborong sampai baik dan diterima pihak pemberi tugas.

Konsekuensi hukum dari tidak terpenuhinya salah satu atau lebih dari syarat syarat sahnya suatu kontrak tersebut bervariasi mengikuti syarat mana yang dilanggar. Konsekuensi hukum tersebut adalah sebagai berikut:52

a. Batal demi hukum (void). Kontrak ini tidak mempunyai akibat hukum, seolah-olah tidak pernah terjadi suatu kontrak. Contoh kontrak untuk melakukan suatu tindak pidana. Apabila kontrak ini batal maka tidak ada satu pihak. Hal

(14)

ini terjadi bila dilanggarnya syarat objektif kontrak dalam pasal 1320 KUH Perdata, syarat objektif tersebut adalah: perihal tertentu, dan kausa yang legal. b. Dapat dibatalkan (voidable). Kontrak di mana setidak-tidaknya satu pihak

mempunyai pilihan untuk meniadakan kewajiban dalam kontraknya. Kontrak yang dapat dibatalkan ini kedua belah pihak dibebaskan dari kewajiban mereka untuk memenuhinya. Apabila pihak dengan pilihan tadi memilih untuk meratifikasi (yaitu melaksanakan kontrak tersebut) maka kedua belah pihak harus secara penuh melaksanakan kewajiban tersebut. Dengan beberapa pengecualian yaitu dalam hal tidak dipenuhinya syarat subjektif dalam pasal 1320 KUH Perdata. Syarat subjektif itu adalah kesepakatan kehendak dan kecakapan berbuat.

c. Kontrak tidak dapat dilaksanakan (un-enforceable), Kontrak ini adalah kontrak yang unsur-unsur esensial untuk menciptakan kontrak telah terpenuhi namun terdapat perlawanan secara hukum bagi dilaksanakannya kontrak. Jadi kontrak ini terdapat perlawanan hukum bagi pelaksanaannya. Bedanya dengan kontrak yang batal (demi hukum) adalah kontrak yang tidak dapat dilaksanakan masih mungkin dikonversi menjadi kontrak yang sah. Sedangkan bedanya dengan kontrak yang dapat dibatalkan adalah dalam kontrak yang dapat dibatalkan ini kontraknya sudah sah, mengikat dan dapat dilaksanakan sampai dengan dibatalkannya kontrak tersebut. Contoh kontrak yang tidak dapat dilaksanakan adalah kontrak yang tidak dalam bentuk tertulis, kendatipun Undang-Undang Penipuan telah mengisyaratkan agar

(15)

dalam bentuk tertulis kontrak ini tidak dapat dilaksanakan. Pihak-pihak bisa saja secara sukarela membuat kontrak yang tidak dapat dilaksanakan.di. Sanksi administratif. Ada juga kontrak yang apabila tidak dipenuhi hanya mengakibatkan sanksi administratif saja.

A. Wanprestasi

Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada pihak yang dirugikan. Tetapi adakalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak atau debitur.

Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian53 dan bukan dalam keadaan memaksa. Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu:54

1. Memberikan sesuatu

Bagian tersebut dibuka dengan pasal 1235 yang mengatakan bahwa “ Tiap Perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban si berhutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan sampai penyerahaan, kewajiban disini harus dikaitkan dengan dan timbul karena adanya suatu

53Nindyo Pramono, Hukum Komersil,(Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003, cet. 1, hal. 221 54R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Jakarta: Putra Abadin, 1999, cet. 6, hal.18

(16)

hubungan obligator tertentu, yang bisa timbul baik karena adanya perjanjian obligatoir tertentu ataupun karena ditentukan oleh Undang-undang.55

2. Berbuat sesuatu

Pembuat Undang–undang lalai untuk memberikan kepada kita suatu patokan untuk membedakan antara perikatan untuk memberikan dan melakukan sesuatu, karena memberikan sesuatu sebenarnya juga melakukan sesuatu itulah sebabnya ada yang mengusulkan pembagian antara memberikan sesuatu dan perikatan melakukan atau tidak melakukan tindakan yang lain,56 yang lain daripada memberikan sesuatu.

Orang yang menutup perjanjian pemborongan atau untuk melakukan sesuatu pekerjaan tertentu, memikul kewajiban perikatan untuk melakukan sesuatu. 3. Tidak berbuat sesuatu

Kewajiban prestasi bukan bersifat aktif namun sebaliknya bersifat pasif, yang dapat berupa tidak berbuat sesuatu atau membiarkan sesuatu berlangsung.

Sementara itu, dengan wanprestasi (Defaultt atau non fulfillment), ataupun yang disebut juga dengan istilah istilah breach of contract yang dimaksudkan adalah tidak dilaksanakan prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.57

Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi unuk memberikan

55J.Satrio Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, PT.Alumni,1999, hal. 83. 56Ibid. hal. 52.

(17)

ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satupun pihak yang dirugikan karena wanprestasi tersebut.

Ada kemungkinan bahwa sungguhpun salah satu pihak telah melakukan wanprestasi, tetapi sebahagian prestasi telah dilakukan atau terdapat cukup alasan untuk menunda sementara pelaksanaan prestasi ataupun ada alasan-alasan lain yang menyebabkan kepentingan yang melakukan wanprestasi pun mesti dilindungi.58 Karena itu dalam ilmu hukum kontrak dikenal dengan prinsip keseimbangan, yakni keseimbangan antara pihak yang dirugikan dengan kepentingan dari pihak yang melakukan wanprestasi.

Pada umumnya tidak dengan sendirinya dia telah melakukan wanprestasi. Apabila tidak ditentukan dalam kontrak atau undang-undang maka wanprestasinya (debitur) akan resmi terjadi setelah dia (debitur) dinyatakan lalai oleh pihak kreditur (ingebrekestelling) yaitu dengan dikeluarkannya ”akta lalai” oleh pihak kreditur, Akta lalai adalah tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa (dalam hal ini adanya kelalaian) dan ditandatangani oleh pembuatnya. Ketentuan ini bisa dilihat dalam Pasal 1238 KUH Perdata yaitu: “Si berutang adalah lalai apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa siberutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”

Sedangkan menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu:59 a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan

b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat

58J.Satrio Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, Op.Cit hal. 97. 59

(18)

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu perjanjian, kadang-kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang diperjanjikan.

Dalam hal bentuk prestasi debitur dalam perjanjian yang berupa tidak berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan debitur melakukan wanprestasi yaitu sejak pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian. Sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu apabila batas waktunya ditentukan dalam perjanjian maka menurut pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Dan apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya maka untuk menyatakan seseorang debitur melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan tertulis dari kreditur yang diberikan kepada debitur. Surat peringatan tersebut disebut dengan somasi.60

Menurut pasal 1238 KUH Perdata yang menyakan bahwa: “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.61

Contoh kasus Putusan MA No.201 K/PDT/2009 Antara Pihak Pihak Pemberi Dinas Pekerjaan Umum Gunung Kidul dengan CV. Nindya Bhuwana, dimana Pihak Pemberi kerja tidak memberikan surat pemberitahuan pemutusan kontrak, walaupun masa pelaksanaan pekerjaan telah lewat waktu, sehingga pekerjaan tersebut 60Somasi merupakan pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu

(19)

diselesaikan 100%, hingga pihak pemberi kerja harus membayar prestasi yang dilaksanakan oleh kontraktor.

Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi apabila sudah ada somasi (in gebreke stelling). Adapun bentuk-bentuk somasi menurut pasal 1238 KUH Perdata adalah:62

a) Surat perintah

Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk penetapan. Dengan surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat-lambatnya dia harus berprestasi. Hal ini biasa disebut “exploit juru Sita”

b) Akta sejenis

Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta notaris. c) Tersimpul dalam perikatan itu sendiri

Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya wanprestasi.

Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang melalaikan kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk mempermudah pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut berlanjut ke pengadilan maka sebaiknya diberikan peringatan secara tertulis.

Dalam keadaan tertentu somasi tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang debitur melakukan wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu dalam perjanjian (fatal

termijn), prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, debitur mengakui dirinya

wanprestasi. B. Sanksi

Apabila debitur melakukan wanprestasi maka ada beberapa sanksi yang dapat dijatuhkan kepada debitur, yaitu:63

(20)

1. Membayar kerugian yang diderita kreditur; 2. Pembatalan perjanjian;

3. Peralihan resiko;

4. Membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan dimuka hakim.

C. Ganti Kerugian

Penggantian kerugian dapat dituntut menurut undang-undang berupa “kosten,

schaden en interessen” (pasal 1243). Yang dimaksud kerugian yang bisa dimintakan

penggantikan itu, tidak hanya biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang sungguh-sungguh menimpa benda si berpiutang (schaden), tetapi juga berupa kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang didapat seandainya siberhutang tidak lalai (winstderving)64.

Bahwa kerugian yang harus diganti meliputi kerugian yang dapat diduga dan merupakan akibat langsung dari wanprestasi, artinya ada hubungan sebab-akibat antara wanprestasi dengan kerugian yang diderita. Berkaitan dengan hal ini ada dua sarjana yang mengemukakan teori tentang sebab-akibat yaitu:65

2. Conditio Sine qua Non (Von Buri)

Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain) dan peristiwa B tidak akan terjadi jika tidak ada pristiwa A 3. Adequated Veroorzaking (Von Kries)

Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain). Bila peristiwa A menurut pengalaman manusia yang normal diduga mampu menimbulkan akibat (peristiwa B).

Dari kedua teori diatas maka yang lazim dianut adalah teori Adequated Veroorzaking karena pelaku hanya bertanggung jawab atas kerugian yang selayaknya

63Ibid, hal. 2.22-2.25

64Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2005), cet. 32, hal. 148 65Nindyo Pramono, Op. Cit. 223

(21)

dapat dianggap sebagai akibat dari perbuatan itu disamping itu teori inilah yang paling mendekati keadilan.

Seorang debitur yang dituduh wanprestasi dapat mengajukan beberapa alasan untuk membela dirinya, yaitu:

a. Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmach); b. Mengajukan alasan bahwa kreditur sendiri telah lalai;

c. Mengajukan alasan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.

D. Keadaan Memaksa (overmach)

Debitur yang tidak dapat membuktikan bahwa tidak terlaksanya prestasi bukan karena kesalahannya, diwajibkan membayar gantirugi. Sebaliknya debitur bebas dari kewajiban membayar gantirugi, jika debitur karena keadaan memaksa tidak memberi atau berbuat sesuatu yang diwajibkan atau telah melakukan perbuatan yang seharusnya ia tidak lakukan.

Keadaan memaksa adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya perjanjian, yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya, dimana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat.

Keadaan memaksa menghentikan bekerjanya perikatan dan menimbulkan berbagai akibat yaitu:66

1. Kreditur tidak dapat lagi memintai pemenuhan prestasi;

66

(22)

2. Debitor tidak lagi dapat dinyatakan wanprestasi, dan karenanya tidak wajib membayar ganti rugi;

3. Resiko tidak beralih kepada debitor;

4. Kreditor tidak dapat menuntut pembatalan pada persetujuan timbal-balik.

Mengenai keadaan memaksa ada dua teori, yaitu teori obyektif dan teori subjektif: Menurut teori obyektif, debitur hanya dapat mengemukakan tentang keadaan memaksa, jika pemenuhan prestasi bagi setiap orang mutlak tidak mungkin dilaksanakan. Terdapat keadaan memaksa jika debitor yang bersangkutan mengingat keadaan pribadinya tidak dapat memenuhi prestasinya. Misalnya, A pemilik industri kecil harus menyerahkan barang kepada B, dimana barang-barang tersebut masih harus dibuat dengan bahan-bahan tertentu, tanpa diduga bahan-bahan tersebut harganya naik berlipat ganda, sehingga jika A harus memenuhi prestasinya ia akan menjadi miskin.

Dalam hal ini ajaran subyektif mengakui adanya keadaan memaksa. Akan tetapi jika menyangkut industri besar maka tidak terdapat keadaan memaksa. Keadaan memaksa dapat bersifat tetap dan sementara. Jika bersifat tetap maka berlakunya perikatan berhenti sama sekali. Misalnya, barang yang akan diserahkan diluar kesalahan debitur terbakar musnah. Sedangkan keadaan memaksa yang bersifat sementara berlakunya perikatan ditunda. Setelah keadaan memaksa itu hilang, maka perikatan bekerja kembali.

Dalam diagram berikut ini terlihat bagaimana pemenuhan prestasi dalam kontrak dengan berbagai kemungkinan yuridisnya.67

(23)

Dengan memerlukan doktrin pelaksanaan kontrak secara substansial, maka untuk mengetahui apakah tidak terlaksananya kontrak merupakan “material” atau

Prestasi Wanprestasi

Memberikan Sesuatu Berbuat Sesuatu

Tidak Berbuat Sesuatu

Terlambat Berprestasi Tidak Sempurna Berprestasi Tidak Berprestasi Doktrin Pemenuhan Prestasi Substansial Doktrin Pelaksanaan Prestasi Pemenuhan Prestasi

(24)

tidak, masalah sangat relatif dan dalam praktek sangat sangkutan. Sebagai pedoman bagi hakim, biasanya diberlakukan beberapa criteria dasar sebagai berikut :68

a. Kelayakan Kompensasi

Dalam hal ini akan dilihat apakah tersedia komposensi yang cukup memuaskan terhadap pihak yang dirugikan karena wanprestasi. Apabila tidak cukup baik tersedia kompensasi atau sulit menghitung ganti rugi, maka pelaksanaan kontrak akan dianggap tidak substansial, sehingga dianggap telah terjadi ketidak terlaksanaan kontrak yang material (material breach).

b. Hilangnya Keuntungan yang Diharapkan

Dalam hal ini, semakin besar keuntungan yang hilang dari adanya pelaksanaan kontrak yang tidak sempurna, semakin besar pula kemungkinan wanprestasi yang material terhadap kontrak yang bersangkutan. Sehingga kalau kerugian kepada yang dirugikan tersebut besar, sulit dikatakan terjadi pelaksanaan kontrak yang subtansial.

c. Bagian Kontrak yang Dilaksanakan

Untuk dapat dikatakan bahwa pihak tertentu telah melaksanakan kontraksnya secara substansial, dapat diukur dari bagian presatsi yang telah dilakukan. Semakin besar bagian prestasi yang telah dilakukan, semakin kemungkinan substansialnya pelaksanaan kontrak yang bersangkutan.

d. Kesengajaan Untuk Tidak Melaksanakan Kontrak

Apabila ada bagian kontrak yang tidak dilaksanakan dengan unsure kesengajaan (bukan karena kelalaian atau sebab-sebab lain yang mengandung unsure itikad baik). Unsur kesengajaan mana biasanya terlihat dari dengan sengaja mengabaikan kontraknya, atau dengan dengan sengaja memasang material yang tidak memenuhi standar, dapat dikatakan bahwa dia belum melaksanakan kontrak secara substansial.

e. Kesediaan Untuk Memperbaiki Prestasi

Jika pihak yang melakukan wanprestasi dapat memperbaiki dan punya kemauan untuk memperbaiki prestasinya, maka dalam hal yang demikian dapat dianggap tidak terjadi bukan wanprestasi yang bersifat material (material breach).

f. Keterlambatan Melaksanaan Prestsi

Keterlambatan dalam melaksanakan prestasi umumnya tidak dianggap sebagai wanprestasi yang bersifat material. Kecuali jika dengan keterlambatan tersebut akan sangat merugikan pihak lain.

(25)

E. Prinsip – Prinsip Hukum Dalam Perjanjian Konstruksi

Prinsip-prinsip yuridis mengenai suatu kontrak pemborongan yang terdapat dalam KUH Perdata adalah sebagai berikut :69

1. Prinsip Antara Tanggung Jawab Para Pihak Dengan Kesalahan Dan Penyediaan Bahan Bangunan.

Prinsip ini menyatakan bahwa tanggung jawab masing-masing pihak disangkutkan dengan (a) kesalahan para pihak dan (b) pihak mana yang menyediakan bahan bangunan. Dalam hal ini KUH Perdata menentukan bahwa dalam suatu kontrak pemborongan, jika pihak pemborong yang harus menyediakan bahan bangunannya, maka apabila sebelum diserahkan, pekerjaannya musnah dalam keadaan bagaimanapun, maka setiap kerugian yang timbul merupakan tanggung jawab pihak pemborong, kecuali dapat dibuktikan bahwa pihak bouwheer telah melakukan kesalahan berupa lalai untuk menerima pekerjaan tersebut. Sebaliknya, apabila bahan bangunan disediakan oleh pihak bouwheer sementara pihak pemborong hanya berkewajiban :

a. Bouwheer telah bersalah yakni lalai dalam memeriksa dan menyetujui pekerjaannya, dan/atau

b. Musnahnya pekerjaan tersebut akibat dari cacat dari bahan yang bersangkutan.

(26)

2. Prinsip Ketegasan Tanggung Jawab Pemborong Jika Bangunan Musnah Karena Cacat Dalam Penyusunan Atau Faktor Tidak Ditopang Oleh Kesanggupan Tanah.

Menurut prinsip ini, terhadap suatu pembangunan gedung (dan juga ahli bangunan) pihak pemborong mesti bertanggung jawab secara hukum atas pekerjaan yang dibuatnya, jika kemudian bangunannya musnah (seluruhnya atau sebagian) asal memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. Yang diborongkan untuk suatu harga tertentu, dan b. Pekerjaan diborongkan untuk suatu harga tertentu, dan

c. Tanggung jawab pihak pemborong (dan juga ahli bangunan) sampai dengan jangka waktu 10 tahun

d. Musnahnya barang tersebut disebabkan karena : 1. Cacat dalam penyusunan, atau

2. Tanah tidak sanggup (menahan gedung tersebut) 3. Prinsip Larangan Perubahan Harga Kontrak.

Yang dimaksud dengan prinsip larangan perubahan harga kontrak adalah bahwa pihak pemborong tidak boleh mengubah kontrak secara sepihak dengan menaikkan harga borongan, dengan alasan telah terjadi :

a. Telah terjadi kenaikan upah buruh, atau

b. Telah terjadi kenaikan harga bahan-bahan bangunan, atau

c. Telah terjadi perubahan-perubahan dan tambahan-tambahan yang tidak termasuk dalam rencana tersebut.

(27)

4. Prinsip Kebebasan Pemutusan Kontrak Secara Sepihak Oleh Pihak Bouwheer Prinsip ini berasal dari Pasal 1611 KUH Perdata. Prinsip ini menentukan bahwa pihak bouwheer bebas memutuskan kontrak di tengah jalan (walaupun tidak disebutkan di dalam perjanjian) walau tanpa kesalahan dari pihak pemborong, asalkan bouwheer tersebut mengganti kerugian (biaya yang telah dikeluarkan dan keuntungan yang hilang) dari pekerjaan tersebut. Prinsip ini menyimpang dari prinsip hukum kontrak yang umumnya berlaku bahwa para pihak tidak dapat memutuskan kontrak di tengah jalan kecuali disetujui oleh kedua belah pihak atau dengan keputusan pengadilan (Pasal 1266 KUH Perdata), kecuali ditentukan lain dalam kontrak yang bersangkutan.

Bahwa oleh Pasal 1611 KUH Perdata hanya diberikan hak untuk memutuskan perjanjian secara sepihak hanya kepada pihak bouwheer, hak mana tidak diberikan kepada pihak pemborong, hal ini dapat dimengerti, karena apabila suatu konstruksi terbengkalai, pihak bouwheer yang lebih besar kemungkinan menghadapi masalah. Misalnya sulit atau lamanya proses mencari pemborong pengganti. Untuk menghindari masalah seperti itu, maka undang-undang tidak memberikan hak pemutusan kontrak ini kepada pihak pemborong. Hal ini sudah tidak sesuai lagi karena pada saat memulai pekerjaan Pihak kontraktor telah menyerahkan jaminan pelaksanaan minimal 5% dari nilai kontrak yag diterbitkan oleh bank, sehingga apabila pihak pemborong tidak melaksanakan pekerjaan maka jaminan pelaksanaan tersebut akan dicairkan serta perusahan Kontraktor akan masuk dalam daftar hitam selama 2 tahun.

(28)

5. Prinsip kontrak yang melekat dengan pihak pemborong

Pada umumnya hukum menentukan bahwa hak dan kewajiban yang terbit dari suatu kontrak turun ke ahli waris. Prinsip hukum yang berlaku umum seperti ini tidak berlaku terhadap kontrak-kontrak untuk mana kepada salah satu pihak untuk dapat melaksanakan prestasinya diperlukan skill tertentu. Contohnya kontrak pemborongan yang memang memerlukan skill tertentu dari pihak pemborong.

Konsekuensinya KUH Perdata menentukan bahwa suatu kontrak pemborongan akan berakhir dengan meninggalnya pihak pemborong. Jadi kewajiban pihak pemborong tidak diteruskan kepada ahli waris. Akan tetapi para ahli waris pemborong tersebut tetap mempunyai hak atas harga borongan terhadap pekerjaan yang lelah dikerjakan oleh pihak pemborong sebanding dengan pekerjaan yang telah dikerjakannya itu.

6. Prinsip Vicarious Liability

Yang dimaksudkan dengan vicarious liability (tanggung jawab pengganti) adalah suatu tanggung jawab dari atasan atas tindakan tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh bawahannya terhadap pihak ketiga ketika menjalankan tugas yang dibebankan kepadanya oleh atasannya itu. Prinsip tanggung vicarious liability ini dianut dalam hukum tentang kontrak pemborongan dan konstruksi. Pasal 1613 KUH Perdata menentukan bahwa pihak pemborong secara hukum mesti bertanggung jawab atas tindakan-tindakan dari orang-orang yang di pekerjakan olehnya. Tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai bagaimana

(29)

pemberlakuan prinsip vicarious liability ke dalam suatu kontrak pemborongan ini. Akan tetapi, sesuai dengan asas-asas hukum yang berlaku secara universal, maka dalam hubungan dengan vicarious liability, istilah "tindakan" orang lain tersebut haruslah ditafsirkan bahwa tindakan yang bersangkutan dilakukannya dalam rangka melakukan tugas yang dibebankan kepadanya atau dijanjikan untuk dilakukannya. Selanjutnya penafsiran secara universal terhadap istilah “orang yang dipekerjakan” dalam hubungan dengan vicarious liability adalah mereka yang bekerja tetapi tidak dalam arti “independent contractor”. Jadi, dalam hubungan dengan kontraktor dengan subkontraktor, maka subkontraktor akan bertanggung jawab sendiri kepada pihak pemborong, bukan pihak pemilik kontraknya.

7. Prinsip Ekosistensi Hubungan Kontraktual

Berlakunya prinsip eksistensi hubungan kontraktual ini juga antara lain sebagai konsekuensi dari keberadaan Pasal 1613 tersebut. Sebab di samping berlakunya prinsip vicarious liability, maka si pemborong juga bertanggung jawab atas tindakan pekerja terhadap pihak bouwheer (jadi tidak hanya tindakan pekerja terhada pihak ketiga seperti dalam hal vicarious liability). Sebab yang terikat secara kontrak dengan bouwheer (yang menandatangani kontrak) adalah pihak pemborong sendiri, sehingga sudah sepantasnyalah jika pihak pemborong yang mesti bertanggung jawab kepada pihak bouwheer, sungguhpun menyangkut dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pihak pekerja dari pemborong tersebut.

(30)

Dalam hal ini pihak bouwheer tidak punya hubungan kontraktual dengan pihak pekerja tersebut, sehingga dalam bahasa litigasi dikatakan bahwa satu sama lainnya tidak dapat saling menggugat karena tidak punya cause of action.70 Selain dari Pasal 1613 KUH Perdata tersebut, maka Pasal 1614 dan Pasal 1615 KUH Perdata juga menegaskan kembali berlakunya prinsip eksistensi hubungan kontraktual ini, di mana para tukang hanya mempunyai hubungan hukum (secara kontraktual) dengan pihak pemborong (bukan dengan pihak bouwheer), kecuali apabila para tukang tersebut bekerja atas tanggung jawab sendiri secara langsung (dengan pihak bouwheer) dan untuk suatu harga tertentu.

8. Prinsip Hak Retensi

Juga merupakan hukum yang telah berlaku secara universal dan diakui secara eksplisit dalam KUH Perdata (Pasal 1616) bahwa jika para pekerja menguasai sesuatu barang kepunyaan orang lain untuk membuat sesuatu pekerjaan atas barang tersebut, maka kepada pekerja tersebut diberikan hak retensi. Maksudnya adalah bahwa para pekerja tersebut mempunyai hak untuk menahan barang tersebut (meskipun milik orang lain) dalam kekuasaannya selama ongkos pembuatan pekerjaan atas barang tersebut belum dibayar lunas.

Yang perlu digaris bawahi di sini adalah adanya perbedaan antara hak retensi dengan jaminan hutang. Sebab, dalam hak retensi, pihak yang mempunyai hak retensi tersebut hanya dapat "menahan" barang yang bersangkutan, dalam arti mempertahankan barang tersebut sehingga tetap berada dalam kekuasaannya. Dia

(31)

tidak mempunyai wewenang untuk mengeksekusi, jadi barang tersebut tidak dapat dijual, dimiliki atau dinikmati hasilnya. Jika hutang tetap tidak dibayar oleh pemilik barang tersebut kepada pihak pemegang hak retensi, maka tentunya pihak pemegang hak retensi tersebut dapat mengajukan gugatan melalui prosedur biasa ke pengadilan dan minta dilakukan conservatoir beslag71 atas barang tersebut. Dalam hal ini kedudukan pihak pemegang hak retensi sebagai kreditur konkuren dan penyitaan barang tersebut didasarkan atas Pasal 1331 KUH Perdata. Lain halnya seperti yang berlaku di negara-negara Common Law dimana disana berlaku teori Mechanics' lien. Dalam hal ini, berdasarkan teori tersebut, pihak pekerja atau subkontraktor dapat menahan barang yang telah dibuatnya beserta property miliknya pihak bouwheer di mana barang tersebut dibuat, dan, secara hukum (walau tidak diperjanjikan) dapat menjadi jaminan hutang atas upah/ongkos pembuatannya itu, dan barang tersebut dapat dieksekusi dengan cara melakukan lelang di muka umum.

9. Prinsip Hukum Pemborongan Dalam Peraturan Selain KUH Perdata72 a. Prinsip Hukum Pemborongan Dalam AV 1941

Peraturan ini diberlakukan karena ternyata KUH Perdata sangat minim mengatur tentang masalah pemborongan/kontruksi ini.

71

Conservatoir beslag dalam bahasa hukum Indonesia dapat diartikan ke dalam istilah sita pengukuhan dan istilah sita jaminan.Tetapi agar adanya pembakuan keseragaman pengalihan bahasa, maka istilah yang dipilih adalah istilah sita jaminan.Dalam pengerian sita jaminan dari segi yuridis, dimaksudakan memahami sita jaminan sesuai ketentuan undang- undang. Ketentuan sita jaminan ini diatur dalam pasal 227 HIR jo pasal 261 RBG, disini akan dibahas mengenai sita tindakan hukum eksepsional dan juga sita sebagai perampasan. Sita jaminan ini tujuannya adalah agar tergugat tidak memindahkan atau membebankan hartanya kepada pihak ketiga.

(32)

b. Prinsip Hukum Pemborongan Dalam Lainnya. Selain dari KUH Perdata dan AV 1941, masih ada lagi peraturan lain yang mesti diikuti dalam mengerjakan suatu konstruksi.

Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral. Demikianlah sehingga asas-asas moral, kepatutan dan kebiasaan yang mengikat para pihak.73

Pasal 1339 KUH Perdata: “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”. Suatu perjanjian tidak diperkenankan merugikan pihak ketiga, hal ini sesuai dengan Pasal 1340 KUH Perdata: “Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya”. Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga; tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317 KUH Perdata".

Pihak ketiga adalah mereka yang bukan merupakan pihak dalam suatu perjanjian dan juga bukan penerima/pengoper hak (rechtsverkrijgenden), baik berdasarkan alas hak umum maupun alas hak khusus. Suatu perjanjian menimbulkan hak dan kewajiban antara para pihak, isi hak dan kewajiban tersebut selain ditentukan oleh hukum yang memaksa juga sudah tentu oleh sepakat para pihak. Namun

73Mariam Darus Badrulzaman et.al, Kompilasi Hukum Perikatan (Dalam Rangka Menyambut Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,2001, hal 87-88

(33)

disamping itu hukum yang menambah juga mengisi kekosongan dalam perjanjian mereka, yaitu apabila mereka tidak secara tegas mengaturnya secara menyimpang. Adanya kesempatan kepada para pihak untuk menyimpangi ketentuan yang bersifat menambah itu,ada kalanya memberikan kesempatan kepada si kuat untuk menyingkirkan tanggung jawab tertentu, bahkan ada kalanya menggesernya ke pundak lawan janjinya, dengan memperjanjikan suatu klausula, yang biasa disebut exoneratie-clausul. Dengan adanya kesempatan seperti itu kita sudah dapat menduga bahwa kemungkinan terjadi, bahwa klausula exoneratie mempunyai kaitan dengan penyalahgunaan keadaan.

F. Terminasi Suatu Kontrak

1. Ketentuan Dalam Kontrak tentang Terminasi

Apakah suatu kontrak yang telah dibuat secara sah dapat diputuskan di tengah jalan. Dan apakah konsekuensi dari pemutusan kontrak tersebut. Untuk mengetahui hal-hal tersebut, pertama-tama harus dilihat dahulu apakah ada ketentuan dalam kontrak yang bersangkutan mengenai cara-cara dan akibat-akibat pemutusan kontrak tersebut. Ada berbagai kemungkinan pengaturan tentang pemutusan kontrak dalam kontrak yang bersangkutan, yaitu sebagai berikut74:

a. Penyebutan Alasan Pemutusan

Seringkali dalam kontrak diperinci alasan sehingga salah satu pihak atau kedua belah pihak dapat memutuskan kontrak. Maka dalam hal ini tidak semuanya wanprestasi dapat menyebabkan salah satu pihak memutuskan kontraknya, tetapi hanya wanprestasi sepreti yang disebutkan dalam kontrak saja.

(34)

b. Kontrak Dapat Diputus Dengan persetujuan

Kadang-kadang disebutkan dalam kontrak bahwa suatu kontrak hanya dapat diputuskan jika disetujui oleh kedua belah pihak.Sebenarnya hal ini hanya penegasan saja, karena tanpa penyebutan tentang hal tersebut, demi hokum, kontrak dapat diterminasi jika disetujui oleh kedua belah pihak. c. Penyimpangan Pasal 1266 KUH Perdata

Sangat sering dalam kontrak disebutkan bahwa jika ingin memutuskan kontrak, para pihak tidak perlu harus menempuh prosedur pengadilan, tetapi dapat diputuskan langsung oleh para pihak. Dengan ini, pasakl 1266 KUH Perdata harus dengan tegas dikesampingkan berlakunya sebab, menurut Pasal 1266 tersebut setiap pemutusan kontrak harus dilakukan lewat pengadilan. d. Tata Cara Pemutusan Kontrak

Di samping penentuan pemutusan kontrak tidak lewat pengadilan, biasanya ditentukan juga prosedur pemutusan kontrak oleh para pihak tersebut.Sering ditentukan dalam kontrak bahwa sebelum diputuskan suatu kontrak, haruslah terlebih dahulu diperingatkan pihak yang tidak memenuhi prestasinya untuk melaksanakan kewajibannya. Peringatan ini biasa dilakukan dua atau tiga kali. Bila peringatan tersebut masih tidak diindahkan, maka salah satu pihak dapat langsung memutuskan kontrak tersebut. Penulisan kewajiban memberi peringatan seperti ini sejalan dengan prinsip yang dianut oleh KUH Perdata yaitu ingebrekesteliling, yakni dengan dikeluarkannya “akta lalai” oleh pihak kreditur,75 dimana somasi (dengan berbagai perkecualian) pada prinsipnya memang diperlukan untuk dapat memutuskan suatu kontrak

2. Ketentuan Dalam Pasal 1338 Ayat (2) KUH Perdata

Apakah suatu kontrak yang sudah ditandatangani secara sah dapat dibatalkan/ditarik kembali? Untuk itu dijawab oleh pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata. Pada prinsipnya Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata tidak mempekenalkan ditariknya kembali suatu kontrak kecuali apabila dipenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tertentu agar suatu kontrak dapat dibatalkan sebagaimana dimaksud antara lain dalam pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata adalah sebagai berikut :

75Pasal 1238 KUH Perdata menjelaskan Siberutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau lalai dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai,atau demi perikatannya sendiri,ialah jika ini menetapkan, bahwa siberutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan

(35)

b. Kontrak tersebut haruslah dibuat secara sah. Sebab jika syarat syahnya kontrak tidak dipenuhi, batal atau pembatalan kontrak tersebut dapat dilakukan tetapi bukan lewat Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata, dan

c. Dibatalkan berdasarkan alasan-alasan yang disebutkan dalam undang-undang, atau

d. Dibatalkan berdasarkan kesepakatan semua pihak kontrak yang bersangkutan 3. Pengenyampingan Pasal 1266 KUH Perdata

Ada ketentuan dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dalam hal ini Pasal 1266, yang memberikan ruang yang besar bagi intervensi pengadilan dalam hal pemutusan suatu kontrak. Selengkapnya Pasal 1266 KUH Perdata menyebutkan:76

a. Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.

b. Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.

c. Permintaan itu juga harus dilakukan, meskikpun syarat batal merngenai tidak dipenuhi kewajiban dinyatakan di dalam perjanjian.

d. Jika syarat batal tidak di nyatakan dalam persetujuan, hakim adalah leluasa untuk, menurut keadaan, atas permintaan sitergugat, memberikan sesuatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun itu tidak boleh lebih dari satu bulan.

Karena itu, tidak mengherankan jika praktek sering ada ketentuan dalam kontrak yang mengenyampingkan berlakunya Pasal 1266 tersebut, yang berarti bahwa kontrak tersebut dapat diputuskan sendiri oleh salah satu pihak (tanpa campur pengadilan) berdasarkan prinsip exeptio non adimpleti contractus, jika pihak lainnya melakukan wanprestasi.

76

(36)

4. Prinsip Perlindungan Pihak yang Dirugikan

Salah satu prinsip yang sangat mendasar dalam Ilmu hukum kontrak adalah prinsip perlindungan kepada pihak yang dirugikan akibat adanya wanprestasi dari pihak lainnya kontrak yang bersangkutan. Berlandaskan kepada prinsip perlindungan pihak yang dirugikan ini, maka apabila terjadinya wanprestasi terhadap suatu kontrak, kepada pihak lainnya diberikan berbagai pihak sebagai berikut :77

a. Exceptio Non Adimpleti Contractus78

Berdasarkan prinsip Exeptio Non Adimpleti Contractus ini, maka pihak yang dirugikan akibat adanya suatu wanprestasi dapat menolak melakukan prestasinya atau menolak melakukan prestasi selanjutnya manakala lainnya telah melakukan wanprestasi.

Tidak semua yurisdiksi sipil telah memasukkan ini pepatah hukum Romawi ke dalam kode sipil mereka. Jelas, seperti pepatah hukum dapat mengakibatkan lingkaran yang tidak pernah berakhir, kedua belah pihak dalam kontrak diaktifkan, secara hukum, untuk menunggu kinerja yang lain sebelum melakukan sendiri.

77Ibid hal 96

78Exceptio non adimpleti intractus diadopsi dalam sistem hukum sipil di mana teori modern telah dikembangkan. Karena pengaruh luas dari sistem hukum Perancis pada undang-undang dan perkembangan doktrinal di sejumlah besar negara mengikuti sistem sipil, perhatian khusus layak untuk teori kontemporer Prancis Exceptio sebagai aturan umum hukum atau pertahanan tersedia dalam hukum Romawi, bahwa seseorang yang sedang digugat untuk non-kinerja kewajiban kontraktual dapat membela diri dengan membuktikan bahwa penggugat tidak melakukan sisi mereka tawar-menawar.

(37)

Hukum Perancis juga telah memberikan kontribusi terhadap penjelasan modern dari kondisi yang mengatur pelaksanaan exceptio non adimpleti contractus. Dalam hal itu, berikut ini harus diamati:79

1. Karena Exceptio ini adalah hasil dari saling ketergantungan kewajiban, hanya berlaku dalam konteks kontrak timbal balik.

2. Tidak ada ketentuan-ketentuan kontrak bertentangan menetapkan, misalnya, bahwa pihak lawan Exceptio ini harus melaksanakan kewajiban sebelum rekan-kontraktor melakukannya - seperti dalam penjualan secara kredit di mana pengiriman item yang dijual mendahului pembayaran penuh. dalam hal kontrak

3. Penggugat tidak, berdasarkan kontrak, manfaat dari sebuah istilah untuk melakukan, jika tidak, dia bisa menahan melaksanakan kinerja sendiri sampai timbul istilah.

4. Tidak ada itikad buruk diizinkan dalam pernyataan terdakwa ini Exceptio (misalnya, yang bertanggung jawab untuk kinerja non penggugat atau kewajiban non-kinerja milik sendiri).

5. Dalam hal kinerja tidak sempurna dan / atau tidak lengkap, itu harus "substansial" - "sérieux" dan "berat" menurut keputusan Prancis - dalam rangka untuk membenarkan suspensi tergugat kinerja. Di sini, pengadilan Perancis umumnya diperlukan bahwa "pembalasan" terdakwa tidak tidak proporsional dengan sifat non-kinerja penggugat.. Dalam kontrak penjualan, misalnya, default pembeli pada pembayaran bunga, meskipun membayar kepala sekolah, tidak akan memberikan penjual untuk mendapatkan keuntungan dari Exceptio dan menolak pengiriman dari objek yang dijual. 6. Akhirnya, untuk memohon Exceptio ini tidak ada kebutuhan untuk otorisasi

pengadilan sebelumnya atau untuk memberikan pemberitahuan ("mise en demeure"), kecuali ditentukan lain dalam kontrak

b. Penolakan Prestasi selanjutnya Dari Pihak Lawan

Apabila pihak lawan telah melakukan wanprestasi, misalnya mulai mengirim barang yang rusak dalam suatu kontrak jual beli, maka pihak yang dirugikan berhak untuk menolak pelaksanaan prestasi selanjutnya dari pihak

(38)

lawan tersebut, misalnya menolak menerima barang selanjutnya yang akan dikirim oleh pihak lawan dalam contoh kontrak jual beli tersebut.

c. Menuntut Restitusi80

Ada kemungkinan sewaktu pihak lawan melakukan wanprestasi, pihak lainnya telah selesai atau telah mulai melakukan prestasinya seperti yang diperjanjikan dalam kontrak yang bersangkutan. Dalam hal tersebut, maka pihak yang telah melakukan prestasi tersebut berhak untuk menuntut restitasi dari pihak lawan, yakni menuntut agar kepadanya diberikan kembali atau dibayar setiap prestasi yang telah dilakukannya. Hak untuk menuntut restitusi ini dalam Hukum Jerman disebut dengan Rucktriit atau Ablehnungder Leisting, sementara istilah resolution dalam Hukum Prancis mengacu kepada baik hak pihak yang dirugikan untuk menuntut restitusi maupun haknya untuk menolak pemenuhan prestasi selanjutnya dari pihak yang telah melakukan wanprestasi.

5. Prinsip Keseimbangan Berupa Perlindungan Pihak yang Melakukan Wanprestasi

Ada kemungkinan bahwa sungguh pun salah satu pihak telah melakukan wanprestasi, tetap sebagian prestasi telah dilakukan atau terdapat cukup alasan untuk menunda sementara pelaksanaan prestasi ataupun ada alasan-alasan lain yang menyebabkan kepentingan pihak yang melakukan wanprestasi pun mesti

80 Pengembalian suatu nilai tambah yang telah diterima oleh para pihak yang melakukan wanprestasi, nilai mana terjadi sebagai akibat dari pelaksanaan kontrak oleh pihak lain dari yang melakukan wanprestasi

(39)

dilindungi. Karena itu dalam ilmu hukum kontrak dikenal dengan prinsip keseimbangan, yakni keseimbangan antara kepentingan pihak yang dirugikan dengan kepentingan dari pihak yang melakukan wanprestasi. Seperti telah dijelaskan bahwa oleh hukum kontrak diberikan untuk melakukan terminasi kontrak (dengan berbagai konsekuensinya) kepada pihak yang dirugikan oleh tindakan wanprestasi, akan tetapi untuk menjaga keseimbangan, kepada pihak yang telah lalu melakukan wanprestasi juga diberikan hak-hak atau perlindungan tertentu.

Perlindungan hukum kepada pihak yang telah melakukan wanprestasi tersebut sebagai berikut :81

a. Mekanisme Tertentu Untuk memutuskan Kontrak

Agar pemutusan kontrak tidak dilaksanakan secara sembarangan sungguhpun pihak lainnya telah melakukan wanprestasi, maka hukum menentukan mekanisme tertentu dalam hal pemutusan kontrak tersebut. Mekanisme tersebut adalah sebagai berikut :

1. Kewajiban melaksanakan Somasi (Pasal 1238 KUH Perdata)

2. Kewajiban memutuskan kontrak timbal balik lewat pengadilan (Pasal 1266 KUH Perdata)

b. Pembatasan terhadap Pemutusan Kontrak

Seperti telah dijelaskan bahwa jika salah satu pihak telah melakukan wanprestasi, maka pihak lainnya dalam kontrak tersebut berhak untuk memutuskan kontrak yang bersangkutan. Akan tetapi terhadap hak untuk 81Ibid,hal 98

(40)

memutuskan kontrak oleh pihak yang telah dirugikan akibat wanprestasi ini berlaku beberapa restriksi yuridis berupa :82

1. Wanprestasi harus serius

2. Hak untuk memutuskan kontrak belum dikesampingkan 3. Pemutusan kontrak tidak terlambat dilakukan

4. Wanprestasi disertai dengan unsur kesalahan

Untuk itu akan ditinjau satu per satu dari restriksi yuridis tersebut. a. Wanprestasi Harus Serius

Sebagaimana diketahui bahwa tidak terhadap semua wanprestasi pihak yang dirugikan dapat memutuskan tersebut. Melainkan pihak yang dirugikan harus dapat pula menunjukkan bahwa wanprestasi tersebut tersebut merupakan wanprestasi yang serius. Jika hanya terhadap wanprestasi yang tidak serius, yakni jika salah satu pihak tidak melakukan suatu kewajiban kecil, maka pihak lainnya tidak berhak untuk memutuskan kontrak tersebut tersebut, walaupun tidak tertutup kemungkinan bagimnya untuk memintakan ganti rugi jika cukup alasan untuk itu. Mekanisme penentuan sejauhmana serius atau tidaknya suatu wanprestasi terhadap suatu kontrak adalah sebagai berikut :83

1. Melihat apakah ada ketentuan dalam kontrak yang menegaskan pelaksanaan kewajiban yang mana saja yang dianggap wanprestasi terhadap kontrak tersebut atau

82Ibid hal 98 83 Ibid hal 98

(41)

2. Jika tidak ada ketentuan dalam kontrak, maka hakim dapat menentukan apakah tidak melaksanakan kewajiban tersebut cukup serius untuk dianggap sebagai suatu wanprestasi terhadap kontrak yang bersangkutan. b. Hak Untuk Memutuskan Kontrak Belum Dikesampingkan

Umumnya diterima dalam teori hukum kontrak bahwa hak untuk melakukan pemutusan kontrak karena pihak lainnya telah melakukan wanprestasi tidak berlaku lagi manakala pihak yang dirugikan tersebut telah menyampingkan hak untuk memutuskan kontrak tersebut. Pengenyampingan hak untuk memutuskan kontrak mempunyai konsekuensi hukum sebagai berikut :84

1. Hilangnya Hak Untuk Memutuskan Kontrak

Sekali pihak yang dirugikan karena tindakan wanprestasi dari pihak lain telah menyampingkan haknya untuk memutuskan kontrak yang bersangkutan, maka dia tidak dapat lagi nantinya mengubah pendiriannya itu. Artinya, haknya untuk memutuskan kontrak tersebut sudah hilang karena dilepaskannya itu.

2. Tidak berpengaruh terhadap Penerimaan Ganti Rugi

Seperti telah diketahui bahwa dengan dikesampingkannya hak untuk memutuskan kontrak, maka yang bersangkutan. Akan tetapi yang hilang hanyalah haknya untuk memutuskan kontrak, karena dalam ilmu hukum kontrak diterima prinsip bahwa sungguhpun pihak yang dirugikan karena wanprestasi telah melepaskan haknya untuk memutuskan kontrak yang 84 Ibid, hal 99

(42)

bersangkutan, tetapi dia tetap berhak untuk menerima ganti rugi jika dia memang menderita kerugian akibat wanprestasi dari pihak lainnya itu.

Pada prinsipnya, penyampingan hak untuk memutuskan suatu kontrak oleh pihak yang dirugikan oleh adanya tindakan wanprestasi dapat dilakukan dengan dua jalan sebagai berikut :85

a. Dilakukan Secara tegas

Dalam hal ini pihak yang berhak memutuskan kontrak tersebut menyatakan dengan tegas bahwa dia telah menyampingkan haknya untuk memutuskan kontrak.

b. Dilakukan dengan Tindakan

Akan tetapi yang lebih sering terjadi adalah bahwa pihak yang berhak memutuskan suatu kontrak tidak menyatakan penyampingan secara tegas, melainkan dapat dismpulkan dari tindakan-tindakan yang dilakukannya. Misalnya dia masih bersedia bahkan menggunakan barang yang dikikirmnya oleh pihak pembeli, sungguhpun barang tersebut tidak seperti yang diperjanjikan, atau terlambat mengirimnya.

c. Pemutusan Kontrak Tidak terlambat Dilakukan

Pemutusan kontrak oleh pihak yang dirugikan karena pihak lain telah melakukan wanprestasi haruslah dilakukan dalam waktu yang pantas (reasonable time). Hal ini untuk memberikan kepastian bagi pihak yang telah melakukan wanprestasi untuk meneruskan atau tidak wanprestasi yang belum sempat dilaksanakannya. Apabila selama jangka waktu yang wajar terhadap pemutusan kontrak tidak digunakan untuk memutuskan kontrak yang bersangkutan, maka dia telah “terlambat” memutuskan kontraknya atas dasar bahwa dia telah “menerima“ atau mentoleransi” dasar tindakan yang mendukung unsur wanprestasi tersebut, sehingga dia tidak dapat lagi memutuskan kontrak yang bersangkutan

(43)

d. Wanprestasi Disertai dengan Unsur Kesalahan

Apakah unsur kesalahan disyaratkan agar pihak lainnya dalam kontrak dapat memutuskan kontrak, atau memperoleh hak untuk menerima ganti rugi. Untuk itu, ada berbagai variasi dari sistem hukum di satu negara dengan negara lain, dalam system hukum Prancis misalnya, disana berlaku ketentuan bahwa pada prinsipnya unsur kesalahan diperlukan untuk dapat diputuskan suatu kontrak atau dibayar suatu ganti rugi. Prinsipnya persyaratan unsur kesalahan ini dalam hukum Prancis terdapat beberapa perkecualian. Dalam hukum Prancis, relevansi dari elemen “kesalahan” dalam hal terminasi kontrak atau pemberian ganti rugi terwujud dalam dua bentuk sebagai berikut:86

1. Jika Unsur “Kesalahan”diperlakukan untuk memberikan ganti rugi, maka unsur “keselahan” tersebut juga diperlukan untuk menggunakan hak hak dari pihak yang dirugikan untuk dapat memutuskan kontrak

2. Pada prinsipnya pemutusan kontrak merupakan “discresi” dari pengadilan. Karena itu dalam kewewenangan discresi tersebut. Pihak pengendalian akan mempertimbangkan bias atau tidaknya suatu kontrak diputuskan, salah satu faktor yang dipertimbangkan adalah sejauh mana seriusnya keselahan dari pihak yang melakukan wanprestasi.

Bagaimana halnya dalam sistem KUH Perdata Indonesia? Pada prinsipnya KUH Perdata tidak mengisyaratkan eksistensi unsur "kesalahaan” agar suatu kontrak dapat diputuskan oleh pihak yang dirugikan atau agar dapat dituntutnya suatu pembayaran ganti rugi. Akan tetapi berdasarkan Pasal 1266 KUH Perdata yang melibatkan pengadilan untuk memutuskan kontrak timbal balik, maka penggunaan diskresi pengadilan untuk memutuskan kontrak tersebut juga antara lain akan

86

(44)

menggunakan faktor "kesalahan" pihak pelaku wanprestasi untuk dapat menentukan apakah kontrak tersebut juga antara akan menggunakan faktor “kesalahan” pihak pelaku wanprestasi untuk dapat menentukan apakah kontrak tersebut dapat diputus atau tidak. Dengan demikian, menurut sistem KUH Perdata Indonesia, maka pada prinsipnya asal ada kewajiban yang tidak dilaksanakan, dan kewajiban yang tidak dilaksanakan tersebut cukup material (material breach), maka suatu kontrak sudah dapat diputuskan dan ganti rugi sudah dapat di mintakan. Asal saja ketidakterlaksanaan kewajiban tersebut bukan kewajiban tersebut bukan karena hal-hal yang bersifat force majeure, yang untuk ini tidak diatur oleh hukum yang mengatur tentang wanprestasi, tetapi sudah merupakan wilayah hukum yang lain, yakni hukum yang mengatur tentang force majeure dan tentang "risiko."

6. Syarat Restorasi Dalam Terminasi Kontrak

Pihak yang dirugikan karena wanprestasi atas kontrak pada prinsipnya dapat memutuskan kontrak yang bersangkutan. Akan tetapi, jika pemutusan kontrak tersebut dilakukan dengan maksud agar pihak yang dirugikan dapat mendapatkan kembali prestasinya yang telah diberikan kepada pihak yang melakukan wanprestasi, maka pihak yang dirugikan oleh wanprestasi tersebut mempunyai kewajiban untuk melakukan restorasi (restoration), yakni kewajiban dari pihak yang dirugikan untuk mengembalikan manfaat dari prestasi yang sekiranya telah dilakukan oleh pihak yang melakukan wanprestasi tersebut.

(45)

Bentuk-bentuk dari tindakan restorasi oleh pihak yang dirugikan oleh wanprestasi kepada pihak yang melakukan wanprestasi adalah sebagai berikut :87 a. Pengembalian benda secara fisik

Apabila pihak yang melakukan wanprestasi telah menyerahkan suatu benda tertentu kepada pihak lainnya dalam rangka melaksanakan kewajibannya berdasarkan kontrak, tetapi kemudian pihak yang dirugikan ingin memutuskan kontraknya, maka sebagai tindakan restorasi, pihak yang dirugikan harus menyerahkan kembali benda tersebut "secara fisik" kepada pihak yang melakukan wanprestasi yang bersangkutan. b. Pembayaran kompensasi

Akan tetapi jika benda tersebut tidak dapat dikembalikan secara fisik, maka apabila ingin memutuskan kontrak, pihak yang telah dirugikan oleh wanprestasi tersebut harus memberikan kompensasi sejumlah manfaat yang diterimanya. Hal ini dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:

1. Karena benda tersebut menyatu dengan bendanya pihak yang dirugikan oleh wanprestasi, ataupun

2. Karena prestasi yang telah diberikan oleh pihak melakukan wanprestasi tersebut berupa benda yang tidak dapat dikembalikan, misalnya dalam bentuk jasa.

7. Akibat Dari Terminasi Kontrak

Dalam suatu kontrak Apabila telah diputuskan karena pihak lainnya telah

(46)

melakukan wanprestasi, maka akan berlaku beberapa akibat hukum sebagai berikut:88 a. Timbulnya Kewajiban untuk Melakukan Restorasi

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa bagi pihak yang ingin memutuskan kontrak karena pihak lainnya telah melakukan wanprestasi berlaku kewajiban untuk melakukan restorasi terhadap pihak yang telah melakukan.wanprestasi tersebut.

Dalam hal ini, jika pemutusan kontrak tersebut dilakukan dengan maksud agar pihak yang dirugikan dapat mendapatkan kembali prestasinya yang telah diberikan kepada pihak yang melakukan wanprestasi, maka pihak yang dirugikan oleh wanprestasi tersebut mempunyai kewajiban untuk melakukan restorasi (restoration), yakni kewajiban dari pihak yang dirugikan untuk mengembalikan manfaat dari prestasi yang sekiranya telah dilakukan oleh pihak yang melakukan wanprestasi tersebut.

b. Berlaku Sera Ex Tunc ataupun Ex Nunc89

Dengan diputuskannya kontrak oleh pihak yang dirugikan karena pihak lainnya telah melakukan wanprestasi, apakah dengan demikian keadaan dikembalikan seperti sebelum kontrak dilakukan (ex tunc) yakni yang mempunyai efek yang retrospektif (kontrak tersebut dianggap sama sekali tidak ada), ataupun kontrak hanya

88Ibid, hal 104

89Ex-tunc adalah ungkapan Latin, yang dalam bahasa Spanyol harfiah berarti"sejak itu", digunakan untuk berbicara tentang suatu tindakan yang menghasilkan efek dari saat yang sama dimana tindakan itu asalnya, kembali kepada situasi hukum dengan keadaan sebelumnya.Ketentuan ex nunc hanya dapat berakibat dari saat timbulnya, ke selanjutnya.Dalam pengujian peraturan perundang-undangan di MA terdapat dua macam pembatalan peraturan.yakni, ex tunc dan ex nunc. Ex tunc bersifat retroaktif sedangkan ex nunc bersifat prospektif

(47)

membebaskan para pihak untuk melaksanakan kewajibannya untuk masa setelah wanprestasi, sementara apa yang telah dilakukan sebelum wanprestasi tetap dianggap sah, yang disebut sebagai mempunyai efek yang ex nunc, yakni yang mempunyai efek yang prospektif.

Tidak kelihatan ketentuan yang tegas dalam KUH Perdata Indonesia tentang efek dari berlakunya pemutusan kontrak karena pihak lainnya telah melakukan wanprestasi ini. Akan tetapi dalam ilmu hukum kontrak terdapat berbagai pandangan tentang efek yang retrospektif atau prospektif ini, bergantung kepada hukum dari negara mana yang diberlakukan. Pemutusan kontrak dalam hukum Prancis, atau yang disebut dengan resolution mempunyai efek yang retrospektif (ex tunc), sementara pemutusan kontrak dalam hukum Jerman atau yang disebut dengan rucktritt dahulunya juga mempunyai akibat yang retrospektif. Tetapi dalam hukum Jerman yang modern, pemutusan kontrak sudah dianggap sebagai tindakan yang mempunyai efek ex nunc. Di samping itu, di negara-negara yang berlaku hukum Common Law, tidak ada ketentuan yang unum, tetapi pendekatannya dilakukan secara kasus per kasus, dalam arti ada kasus yang diterapkan efek yang ex tunc, tetapi ada pula kasus yang menerapkan efek yang ex nunc.

c. Akibat terhadap Hak Untuk Mendapatkan Ganti Rugi

Seperti telah disebutkan bahwa jika ada pihak yang dirugikan karena wanprestasi dari pihak lainnya, maka pihak yang dirugikan tersebut dapat memutuskan kontrak yang bersangkutan. Pada prinsipnya dalam ilmu hukum diterima prinsip bahwa upaya pemutusan kontrak karena wanprestasi tersebut tidak

(48)

diberlakukan secara bersamaan dengan upaya paksaan untuk melaksanakan kontrak, karena jelas itu merupakan dua hal yang bertentangan.Akan tetapi dengan pemutusan kontrak masih dimungkinkan diberlakukan juga upaya ganti rugi dalam kasus yang sama, jika ada alasan untuk itu.

Hanya saja, prinsip pelarangan penerimaan ganti rugi secara double selalu dielakkan dalam kontrak, karena hal tersebut dapat merupakan penerimaan tanpa hak (unjust enrichment). Karena itu jika dalam satu kasus yang sama, di samping berlaku hak dari pihak yang dirugikan untuk memutuskan kontrak, berlaku juga ganti rugi, maka ganti rugi tersebut haruslah dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak menjadi upaya ganti rugi kedua di samping upaya pemutusan kontrak yang bersangkutan.

Referensi

Dokumen terkait

Senang Kharisma Textile mewujudkannya dalam bentuk pemberian upah, jaminan sosial, dan fasilitas kesejahteraan yang baik.. Perusahaan ini merupakan salah satu dari

Tujuan umum yang dilakukan adalah untuk meningkatkan prestasi belajar siswa dan meningkatkan semangat kebangsaan yang dimiliki dalam diri siswa dengan menggunakan Model

Nilai p value 0,000 < α = 0,05 menunjukkan ada perbedaa rerata skala nyeri pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada

Tegangan output sensor dapat diproses sebagai input analog arduino uno dan dijadikan acuan untuk pengendalian LED , buzzer dan actuator berupa exhaust fan .Kemampuan

Hasil yang diperoleh dari proses radiografl neutron dengan daya 700 kW menunjukkan bahwa simulasi ini cukup baik untuk meniru keadaan yang mungkin terjadi pada iradiasi elemen

Instalasi CSSD melayani semua unit di rumah sakit yang membutuhkan kondisi steril, mulai dari proses perencanaan, penerimaan barang, pencucian, pengemasan &

Dalam temuan penelitian tentang dampak penerapan program EDS bagi pengembangan SMA Negeri 1 Gresik antara lain mempermudah dalam penetapan RKS/RKAS, memudahkan untuk

Melalui kegiatan berdiskusi, siswa mampu membuat peta pikiran mengenai urutan peristiwa dengan memperhatikan latar cerita pada teks nonfiksi dengan benar.. Dengan melakukan